Anda di halaman 1dari 6

CERITA TENTANG CERITA CINTA SEDERHANA

“Berceritalah tentang kesetiaan,” kata Dina kepada pacarnya, si juru cerita. Maka
juru cerita itu bercerita tentang kisah cinta paling romantis sedunia dan kupu-kupu.

Pada suatu malam, saat hujan baru saja berhenti dan bulan muncul dari balik
ranting dan bintang-bintang bertebaran dan angin meliuk-liuk membawa hawa dingin ke
seluruh lekuk-lekuk kota, sepasang suami-istri bercakap-cakap tentang bintang-bintang.

“Lihat, bintang-bintang itu indah sekali,” kata yang perempuan.

“Kamu lihat yang di sana,” sahut suaminya, “itu rasi bintang orion. Perhatikan baik-
baik, Kamu akan menemukannya.” Suaminya menunjuk langit dan menggerakkan
telunjuknya mengikuti bentuk rasi bintang orion.

“Aku tidak melihatnya,” ucap yang perempuan. Ia tak begitu mengerti macam-macam
rasi bintang.

“Perhatikan baik-baik,” suaminya mengulangi gerakan yang sama.

“Sudahlah, aku tidak tertarik dengan rasi bintang apapun. Kecuali jika Kamu bisa
menunjukkan kepadaku rasi bintang kupu-kupu. Lagipula, tidak cukupkah kita menikmati
keindahan bintang-bintang hanya dengan melihatnya saja?”

“Jangan hanya melihat saja. Jangan hanya jadi pengagum, Kamu harus tahu seluk-
beluk rasi bintang itu, Sayang.”

“Apa pentingnya?!”

“Supaya kita tidak hanya jadi pengagum,” kata suaminya.

Lantas yang perempuan meminta suaminya menceritakan mengenai seluk beluk rasi
bintang. Suaminya menceritakan seluk beluk rasi bintang dengan penuh cinta dan
kesabaran. Ia menjawab semua pertanyaan istrinya dengan sabar, jauh melebihi kesabaran
seorang guru yang menjelaskan rumus-rumus trigonometri kepada siswanya yang tak begitu
pandai.

Sekarang, sang suami hanya bisa mengenang istrinya saja, di beranda yang sama,
di malam yang berbeda.

“Kenapa begitu? Apakah mereka bercerai?” tanya Dina kepada pacarnya, si juru
cerita.

Mereka tidak bercerai, Sayang. Jawab si juru cerita. Hanya saja mereka belum saling
menemukan untuk kedua kalinya. Cinta memang seperti itu, kadang ada pertemuan untuk
saling menemukan yang kedua kalinya untuk jatuh cinta lagi dan untuk bersama lagi.

Istrinya meninggal tepat ketika berusia 45. Sebuah mobil telah menabraknya dan
meremukkan tulang-tulangnya. Ia sempat dibawa ke rumah sakit, tapi semuanya sudah
terlambat. Suaminya menangis, menangis sangat deras, bagaikan tiada lagi yang dapat
menangis lebih deras. Dan, ia menangis untuk yang pertama kalinya setelah tangisnya yang
terakhir ketika masih kecil.

Kini setiap hari, sang suami hanya duduk-duduk saja di beranda rumahnya yang
kecil sambil melamun. Ia mengunjungi setiap masa lalunya bersama istrinya.

Batapa ia sangat merindukan kecupan lembut dari bibir mungil istrinya pada pipinya
saat pagi hari saat ia masih mengantuk dan enggan untuk bangun dan hanya ingin
bermalas-malasan di tempat tidur dan kecupan mungil itu selalu berhasil membuatnya
bangun, tapi ia bangun hanya untuk menangkap istrinya lalu memeluknya erat-erat sambil
menjatuhkannya ke ranjang dan mereka akan saling memandang untuk beberapa detik,
lima detik mungkin, lalu ia akan bilang, aku mencintaimu, dan istrinya segera membalas
dengan senyum yang tak mungkin dilupakan, yang kini disadarinya, bahwa senyum istrinya
memang tak mungkin dapat ia lupakan dan memang ia tak berniat untuk melupakan
senyum itu.

Kalau istrinya mulai menyerah untuk membangunkannya, dan kemudian berjalan


keluar dari kamarnya, barulah ia akan bangun dan memeluk istrinya dari belakang.

“Kamu harus segera mandi, Mas,” kata istrinya sambil melepas pelukan suaminya
lantas mengambil handuk dan menyiapkan semuanya. Menyiapkan sarapan untuk mereka
berdua, menyiapkan kemeja, dasi, celana, kaos kaki, sepatu, tas dan segala hal yang
diperlukan oleh suaminya.

Sementara suaminya mandi, ia menyiapkan sarapan. Mereka selalu sarapan


berdua, hanya berdua, karena selama 25 tahun hidup bersama, mereka....

Mereka selalu sarapan di beranda rumah. Kecuali kalau hujan deras, biasanya
mereka akan sarapan di dapur.

Kini, setiap kopi yang ia minum dari cangkir istrinya terasa begitu melegakan
perasaan, tapi sekaligus pedih. Ia tahu, di tepi cangkir itulah bekas bibir istrinya menempel,
maka dengan minum dari cangkir itu, ia telah bersatu dengan istrinya dalam percumbuan
sederhana dalam sebuah lamunan panjang akibat kerinduan. Ia begitu merindukan kopi
buatan istrinya yang tek pernah sekalipun telat disajikan untuknya selama duapuluh lima
tahun pernikahan mereka.

Sudah dua minggu sejak kematian istrinya, ia tak berangkat ke kantornya. Untuk
beberapa hari, atasannya memang bisa mengerti keadaannya. Tapi setelah dua minggu ia
tak masuk kerja, ia dipecat. Sampai sekarang ia belum tahu kalau ia dipecat. Pagi ini, setelah
minum kopi dari cangkir istrinya, ia ingin berangkat kerja.

Ia bangkit dari duduknya. Meninggalkan beranda. Masuk ke kamarnya. Membuka


lemari baju. Memilih kemeja terbaiknya. Memakainya di depan cermin besar. Megambil
sebuah dasi. Lalu tertegun.

Ia begitu merindukan cara istrinya memasangkan dasi di lehernya, yang entah diberi
mantra apa, selalu berhasil membuatnya lebih percaya diri di hadapan teman-temannya.

Entah mengapa, semangatnya yang tadi tiba-tiba muncul kini tiba-tiba pergi. Ia
duduk terkulai di tepi ranjangnya. Betapa cinta bisa membuat seorang pria menjadi begitu
melankolis.

Ia melihat lukisan mawar hitam yang begitu dicintai istrinya dengan sendu. Lukisan
itu seolah-olah bicara kepadanya bahwa istrinya juga merindukan dia. Ia berdiri di bawah
lukisan itu sambil mamandang lukisan itu lama sekali seolah-olah lukisan itu memang bisa
berbicara dengannya.

“Dia sudah meninggal,” kata laki-laki itu, “tapi dia masih hidup. Di sini, di
jantungku.”

Lukisan mawar hitam, yang hitam sehitam warna darah yang telah membeku itu
seolah tersenyum. Seolah mengerti bahasa manusia. Seolah mengerti benar perasaan laki-
laki di depannya, sehingga ia berusaha menghibur laki-laki itu dengan tersenyum.
“Seperti kamu,” laki-laki itu bicara kepada lukisan mawar hitam, “dia juga hanya ada
satu di dunia ini. Aku tak akan pernah menemukan lagi wanita seperti dia, dengan cara
apapun aku mencari, tidak akan pernah, sama sekali tidak akan pernah aku temukan. Aku
mencintainya. Ia juga mencintaiku. Ia juga mencintai bunga-bunga. Dan, kamulah bunga
yang paling dia cintai. Mawar hitam. Aku tak pernah berhasil membawakan untuknya
setangkai mawar hitam. Jadi karena itulah kamu ada. Aku membuatmu selama berbulan-
bulan. Kalau tidak salah tiga bulan lebih dua minggu. Sekarang bisakah Kamu membuat
dia kembali? Pasti tidak bisa, kan?”

Laki-laki itu merasa sia-sia berbicara kepada sebingkai lukisan yang dibuatnya
sendiri untuk hadiah ulang tahun istrinya itu. Tapi entah mengapa ia jadi menyukai lukisan
itu. Jangan-jangan aku mulai menyukai semua hal yang istriku sukai, pikirnya. Ia geli
dengan pikirannya sendiri tapi kemudian berusaha membuktikannya dengan mengambil
sebuah buku cerita yang selalu dibaca istrinya. Ia akan membacanya. Setelah itu, ia akan
tahu apakah ia menyukai buku itu atau tidak.

Ia mulai membuka buku cerita itu, dan mulai membacanya. Tak lama kemudian, ia
tenggelam. Masih dengan kemejanya dan sebuah dasi yang urung dipakainya, ia membaca
buku itu sampai halaman terakhir. Saat ia menutup buku itu waktu telah bergeser manjadi
malam. Betapa ia membacanya selama berjam-jam. Dan sekarang ia ingin membacanya lagi.
Padahal baru sesaat ia menutup buku itu. Gagasan bahwa ia mulai menyukai semua hal
yang disukai istrinya tampaknya hampir terbukti.

Ia pergi ke dapur untuk membuat campuran susu dan teh dan gula dan air hangat
lantas meminumnya. Sebelumnya ia tak pernah suka. Tapi kali ini ia merasakan kenikmatan
minuman itu. Sungguh ajaib, pikirnya.

Kini, ia ingin melakukan pembuktian terakhir bahwa ia mulai menyukai semua yang
pernah istrinya sukai. Ia pergi ke halaman lantas terkejut karena di luar sudah gelap. Ia
lantas mengira-ngira berapa lama tadi ia membaca.

Ia masuk ke kebun bunga kecil di depan beranda rumahnya. Ada aster kuning dan
ungu. Ada anggrek menempel di pokok kayu jambu. Ada mawar, bukan mawar hitam. Dan
ada bunga yang lain yang tak ia ketahui namanya. Ia tak begitu mengerti nama-nama bunga.
Seperti istrinya tak begitu mengerti rasi bintang.

Ia amat-amati bunga-bunga itu. Warna-warna cerah ditingkah cahaya rembulan


yang keperakan menimbulkan perasaan yang menenangkan bagi dirinya. Ini aneh, pikirnya.
Betapa manusia bisa bahagia hanya dengan mengamati bunga. Sederhana sekali.

Tak butuh waktu lama, ia jatuh cinta pada bunga-bunga seperti jatuh cinta pada
istrinya dulu. Ia masih ingat betul bagaimana cara mereka bertemu. Mereka bertemu di
sebuah taman kecil dipinggiran kota.

Waktu itu, sore hari, ia sengaja mampir ke taman kota untuk beristirahat melepas
penat setelah seharian bekerja. Biasanya ia akan langsung pulang, lantas mandi, lantas
duduk-duduk di beranda rumahnya. Tapi entah bagaimana mulanya, ia ingin sekali mampir
ke taman itu. Sekali-kali, pikirnya. Mungkin begitulah takdir bekerja. Mempertemukan dua
orang yang tak saling mengenal lantas membuat mereka saling jatuh cinta.

Saat itu, seorang gadis—yang kelak akan menjadi istrinya—tengah mengajari


beberapa gelandangan membaca beberapa kata yang ditulis besar-besar pada papan putih.

Ia mengamati sebentar gadis itu, lantas ia merasakan kedamaian untuk waktu yang
cukup pendek: satu hari.
Hari berikutnya, ia sudah merindukan gadis itu. Atau lebih tepatnya, merindukan
kedamaian itu. Kedamaian yang kemarin dirasakannya hanya dengan melihat gadis itu
mengajari para gelandangan membaca.

Si gadis bukan tidak tahu bahwa ada seseorang yang memperhatikan dia. Dia tahu,
dan dia suka diperhatikan, dan dia menunggu.

Takdir telah bekerja. Sekarang keberanianlah yang harus bekerja. Semua pria butuh
keberanian untuk mendekati seorang gadis. Apalagi gadis cantik. Sore ini, dia mendapatkan
keberaniannya dan sang gadis mendapatkan pangerannya.

Mereka menikah. Menikah dengan sederhana. Sesederhana cinta mereka.

Murid-murid si gadis—para gelandangan—makan sampai kenyang, sampai buncit,


sampai susah berdiri. Si gadis membiarkan. Kebahagiaan bagi mereka tidaklah mahal,
cukup makan sampai kenyang, begitu pikir si gadis. Jadi, apa salahnya membuat mereka
bahagia. Semua orang harus bahagia. Apalagi di hari pernikahanku.

Begitulah kisah cinta mereka dimulai.

***

Laki-laki itu masih di sana, di kebun bunga istrinya yang tak begitu luas. Ia memetik
beberapa bunga lantas menaruhnya pada sebuah vas yang telah diisi air kemudian menaruh
vas itu di atas meja berandanya. Ia kemudian duduk dan kembali melamun.

Seekor kucing mengeong di kakinya. Menggosok-gosokkan kepala pada celananya,


membuat bulu-bulu kucing itu menempel di sana. Ia meraih kucing itu.

“Sekarang, aku yang akan merawatmu, kucing manis,” kata laki-laki itu. Kucing itu
mengeong, mengucapkan terima kasih.

Istrinya sangat menyukai kucing. Kalau laki-laki itu tak melarang istrinya membawa
setiap kucing yang kelaparan di jalanan, pastilah rumah mereka dipenuhi hewan berbulu
itu.

“Kamu beruntung,” kata laki-laki itu kepada kucingnya, “kamu kucing pertama
yang dia bawa ke rumah. Jadi aku tidak menolakmu waktu itu.”

Kucing itu kini sudah gemuk. Istrinya merawat kucing itu dengan baik. Semua yang
dirawat istrinya selalu tumbuh dengan baik. Termasuk cinta mereka. Kini, ia memutuskan
untuk merawat semua cinta yang istrinya berikan. Kepada kucing itu, kepada bunga-bunga,
kepada lukisan dan rumahnya, kepada beranda tempat mereka berbincang tentang apa saja,
dan kepada anak-anak jalanan, kepada mereka itulah cinta tulus istrinya ditumpahkan.
Dan, tentu saja kepadanya.

Maka pada suatu pagi, ia pergi untuk membeli bibit-bibit tanaman bunga. Sepanjang
jalan, ia mencari-cari, barangkali ada anak kucing yang dibuang seseorang untuk ia bawa
pulang dan ia rawat. Ia juga mencari-cari anak-anak jalanan yang dulu mendapat pelajaran
membaca dari istrinya. Ia mengundang mereka semua ke rumahnya, untuk makan malam
dan untuk belajar membaca lagi. Ia mengizinkan siapapun dari mereka yang ingin tinggal di
rumahnya. Rumahnya jadi begitu ramai dan selalu berantakan.

Semakin hari, semakin banyak jenis-jenis bunga di kebun kecilnya. Semakin banyak
pula anak kucing yang ia bawa pulang, dari jenis apapun. Semakin banyak pula anak-anak
jalanan yang tinggal di rumahnya. Ia menjadi sangat sibuk.
Setiap sore hari, ia akan membacakan cerita-cerita atau dongeng-dongeng dari masa
lalu kepada anak-anak jalanan itu.

Dia melakukan semuanya sendiri. Ia menjadi sangat sibuk tentu saja. Dan
kehilangan banyak waktu untuk mengenang istrinya. Tapi bukan berarti cintanya mulai
pudar.

Buktinya, setelah seratus tahun merawat kebun kecilnya, kucing- kucingnya, dan
anak-anak jalanan yang menjadi anaknya, ia masih sempat mengenang istrinya pada malam
hari, saat semuanya tengah tertidur. Seorang diri, ia akan duduk di beranda kecilnya sambil
menatap bintang. Menunggu.

Kucing-kucingnya sudah berkali-kali berganti generasi. Anak-anak jalanan yang ia


rawat juga begitu. Tapi ia tetap tak berubah.

“Kau adalah ayah kami,” kata anak-anak jalanan yang sudah jadi tua, “tapi sekarang
kami lebih tua darimu.”

Laki-laki itu hanya tersenyum.

Waktu terus berlalu, seratus tahun, duaratus tahun, tiga, empatratus....

Ia tetap mengenang istrinya setiap malam. Di beranda yang sama, di malam yang
berbeda.

Rumahnya sudah berkali-kali di renovasi, diperkuat dan diluaskan, kecuali beranda


kecilnya. Kebun bunganya juga diperluas. Ribuan spesies tanaman bunga ditanam di sana.
Semua biaya ditanggung oleh anak-anak angkatnya yang sudah sukses, yang sudah jadi
orang.

“Lihatlah istriku, kebun bunga kita tumbuh dengan baik, anak-anak kita juga
tumbuh dengan baik, kucing-kucing juga,” kata laki-laki itu pada suatu malam.

“Tapi aku belum menemukan mawar hitam seperti yang kamu ceritakan. Aku kangen
kamu. Apakah aku masih harus menunggu?”

Laki-laki itu terus menunggu. Terus menunggu sampai seribu tahun. Apa yang ia
tunggu? Hanya dia sendiri yang tahu.

Ia terus menunggu hingga malam yang ia tunggu tiba. Malam yang sama dengan
malam ketika ia dan istrinya bercakap-cakap mengenai bintang-bintang. Malam saat hujan
baru saja berhenti dan bulan muncul dari balik ranting dan bintang-bintang bertebaran dan
angin meliuk-liuk membawa hawa dingin ke seluruh lekuk-lekuk kota.

Saat itulah seekor kupu-kupu terbang berputar-putar di antara kebun bunganya.


Kupu-kupu itu bersayap cahaya. Awalnya ia kira itu kunang-kunang karena cahayanya.
Tapi setelah ia perhatikan ternyata kupu-kupu. Kupu-kupu itu hinggap sambil masih tetap
mengepakkan sayap cahayanya dengan pelan sehingga cahayanya berkerlap-kerlip seperti
lampu sirine mobil polisi.

Tak lama, ada satu ekor lagi kupu-kupu bersayap cahaya terbang dari balik pagar,
lalu hinggap pada salah satu bunga. Tak lama setelah kupu-kupu bersayap cahaya yang ke
dua muncul, datanglah seekor lagi, seekor lagi, seekor lagi, terus datang sampai kebun
bunga itu dipenuhi cahaya gemerlapan laiknya cahaya gemerlapan dalam sebuah konser
musik maha besar.

Laki-laki itu tertegun. Sejenak. Lantas ia mengerti.


“Rupanya aku tak harus menunggu lagi,” katanya sambil tersenyum.

Laki-laki itu lantas berjalan menuju kebun bunganya. Ia takjub melihat ratusan,
atau bahkan ribuan kupu-kupu bersayap cahaya dalam kebunnya yang terus menerus
mengepakkan sayapnya dengan irama yang pasti. Membuat malam itu begitu gemerlapan.

Ia merebahkan tubuhnya di tanah yang basah. Punggungnya terasa dingin.

Ribuan kupu-kupu itu terbang ke arahnya lantas hinggap di sekujur tubuhnya. Ia


menjelma menjadi cahaya. Ia mulai melayang perlahan diangkat oleh ribuan kupu-kupu. Ia
terus melayang menembus malam, memancarkan cahaya gemerlapan dari ribuan kupu-
kupu bersayap cahaya yang cahayanya mengalahkan ribuan noktah cahaya lampu di kota
itu. Pada ketinggian yang tak mampu lagi dicapai manusia, tubuhnya terurai menjadi
cahaya. Sementara itu, kupu-kupu bersayap cahaya yang mengangkatnya berubah menjadi
bintang-bintang. Ia dan ribuan kupu-kupu bersayap cahaya itulah yang setiap seratus tahun
sekali muncul sebagai rasi bintang kupu-kupu.

“Kapan rasi bintang itu terakhir kali muncul?” tanya Dina penasaran.

Seratus tahun yang lalu, jawab si juru cerita. Nanti malam, kita akan melihatnya
bersama, Sayang. Kalau kita beruntung.

Semarang, 4 Desember 2018

Anda mungkin juga menyukai