Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan wajah gelisah.
Mendengar kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil melihat
arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bias berbicara tentang cinta kurang dari 15
menit. Namun, sungguh terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30
menit. Apalagi sudah ada beberapa orang berdatangan ke telepon umum itu, sambil sengaja
mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.
Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah
gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya perasaannya berteriak
lebih keras. Menjadi tidak penting lagi baginya, apakah orang-orang itu mendengar atau
tidak. Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak selalu bertemu
orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”
Wanita itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat arlojinya, seolah-
olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi,
kemudian ia menyembunyikan wajahnya ke dalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan
tersendat-sendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu memberikan jawaban yang kurang
berkenan.
“Aku cuma salah satu di antara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak
ada artinya bagimu.”
Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi
memancarkan rasa takut kehilangan.
Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi ‘ck’ yang
sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan menghentak-hentakkan sepatunya.
Sebagian, untuk kesekian kalinya, melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.
“Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”
“Terlalu!”
“Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi
tanggung!”
“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”
“Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa celaka.”
***
Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih
keras.
“Kamu ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu.
Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”
Wanita itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih akan
berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih juga bicara, sungguh-sungguh
keterlaluan, karena pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu selama 42
menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa memperkirakan
waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah terlanjur menunggu
lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah yang disabar-
sabarkan.
“Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta,
kamu memang sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu
memikirkan aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”
Apakah yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon dengan
wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya tersenyum. Pasti yang disebut cinta itu ajaib
sekali, karena bisa menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang
gelisah jadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang
melelehkan aspal jalanan.
Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.
Pemandangan ini agak melegakan para pengantri. Pasangan yang bercinta di telepon biasa
memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu menunjukkan
kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan perasaan
seolah-olah dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-orang yang
menunggu itu, sambil lagi-lagi melihat arlojinya.
Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi. Alangkah
memabukkannya cinta yang bergelora itu. Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang
lama.
“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik merayumu?”
“Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?”
***
“Sebentar, sebentar.”
Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang terdekat
dengannya.
Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya, dan
mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.
Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada lagi yang
bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang berhembus. Daun-daun berguguran.
“Kamu kok bisa, sih? Kamu terga sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia meluncurkan
satu koin lagi.
“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang lain. Sambil menjepit
telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita
yang menangis karena cinta.
“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang sekaligus?”
Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini
membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita
menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta
bagi seorang wanita?
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di mana, seseorang bisa
begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah
kiranya yang berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah
menjadi gelisah?
“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya cinta?”
Jeglek! Tuuuuuuttt…
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada
lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa.
Pengantri yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya keperluan
penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya
dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali, meskipun hujan kini
turun dengan deras.
Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap menunggu, sampai basah
kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta.