Di taman kecil Kota Bernisse, akhirnya aku bertemu Elske. Berlatar sepotong
senja yang dilabuhi ratusan merpati. Sisa musim dingin mengentalkan salju
di punggung daunan. Di sudut taman, beberapa orang duduk santai
sembari melantunkan lagu Schoon ver van jou. Sebagai salah satu anggota
residensi, tentu aku agak canggung, karena pengetahuanku perihal etika
Belanda sangat terbatas, tapi bukan soal itu, hal lain, karena ia kukenal
sebagai seorang penulis terkenal, dengan banyak job dan banyak karya
serta impian banyak penerbit. Alasan itulah yang mengharuskanku berkata
sebagus mungkin, seindah mungkin.
Kami duduk di kursi besi yang panjang. Aku langsung berhadap-hadapan dengannya,
pandanganku terantuk pada kacamata tipisnya yang transparan, mantel biru yang seperti
dipenuhi bulu-bulu dan scarf putih yang melilit hingga nyaris menyentuh lututnya.
Kepalanya berbalut topi bobble. Helai rambutnya yang pirang, menyampiri punggungnya
dengan urai yang bergelombang.
Kali ini, Elske datang bersama wanita tua tunanetra yang selalu dijaga oleh seekor
anjingnya. Ia sangat hormat pada wanita itu, seperti takut kehilangan dia.
“Apa dia ibumu?” akhirnya meledak tanya singkatku.
Dia menggeleng. Tersenyum, tapi tak meledakkan jawaban apa-apa. Aku masih ingat, dia
adalah wanita yang sering ada di foto-foto Instagramnya. Suatu ketika, aku pernah
membaca postingannya, wanita tunanetra itu ia sebut malaikat.
“Namaku Margreet Wigburg. Aku hanya penyuka Kippenwaterzoi, yang setia mendampingi
perempuan ini ke mana pun pergi,” wanita tua itu seketika menggetarkan bibir bekunya,
bersamaan dengan tangan kanannya yang merogoh sebuah bungkus plastik dari tas yang ia
taruh di sampingnya. Lalu ia membuka bungkus itu, sup khas Belanda menguarkan harum
yang renyah.
Aku mengangguk canggung, seolah jawaban wanita tunanetra itu adalah luapan
ketersinggungannya atas pertanyaanku tadi. Aku sebatas mengangguk-walau cara itu tak
mampu membuatnya mengerti karena ia tak bisa melihat-aku tak tahu hendak berkata apa,
kecuali memandang bibirnya yang berlipat-lipat naik-turun, dilumur basah oleh kuah sup itu.
Beberapa kali ia melempar isi sup itu ke arah anjingnya yang menderum di samping kaki
kursi. Anjing jenis Dutch Shepherd itu menjilat-jilat makanan yang ia berikan,
menggonggong halus dan memutar pandangannya ke wajah wanita tunanetra itu.
Elske menyodorkan semangkuk sup yang sama di depanku, menyilakanku makan. Tentu aku
bahagia, menikmati sup itu membuatku kian kerasan di taman ini, di sisi Elske. Akhirnya
kami pun bercakap masalah tulisan. Elske menjelaskannya dengan campuran sehidang
senyum, kadang kala sambil membetulkan tangkai kacamatanya, hingga bayangan
sepotong senja itu jatuh menyemburat warna lembut di cembung lensanya. Sedang wanita
tua itu tak henti menggetarkan bibirnya dengan isi sup pada mangkuk yang ia pegang.
Anjingnya kadang berdiri dengan dua kaki depan menyentuh paha wanita tunanetra itu. Ia
tertawa, anjingnya menggonggong, hampir seirama dengan kepak ratusan merpati yang
pindah ke sisi taman yang lain.
Setelah beberapa saat kami berbincang, sempat juga Elske kutanya cara menulis yang
bagus. Ia sejenak mematung, pandangannya mengitari kaki langit. Tangan yang bertopang
di atas lututnya, menyentuhkan jari ke bibir tipisnya.
“Baiklah!” ia mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.
“Aku akan menulis tentang Kippenwaterzoi,” ia melirik mataku dan tangannya menepuk
halus punggung wanita tunanetra yang duduk di sampingnya. Wanita itu mengakhiri
makannya yang kulihat masih nikmat. Lalu memulai ceritanya, persis saat tangannya
menggosokkan pelan sehelai tisu ke bibirnya.
Jemari Elske lincah melemparkan jasad ratusan huruf di layar laptopnya, memanjang rata
dengan pengaturan justify. Huruf-huruf yang ia susun di laptopnya itu semua berasal dari
apa yang dikatakan wanita tunanetra itu. Elske hanya menyalin kata-kata yang diucapkan si
wanita, kadang menunggunya sesaat saat si wanita tunanetra tengah berpikir, mengerutkan
dahi untuk menemukan kata-kata yang indah di sela-sela diamnya. Dan Elske akan
mengetik lagi jika wanita itu sudah nyerocos mirip anjingnya yang menggonggong.
Intinya, aku pun tahu bahwa Kippenwaterzoi adalah semacam makanan berbentuk sup.
Pada awalnya makanan ini bernama Waterzooi, terbuat dari ikan, baik air tawar maupun
laut, mengingat daerah tutorialnya yang dekat dengan laut. Namun, sekarang ini, Waterzooi
menggunakan bahan yang lebih mudah, yaitu ayam. Bahan yang berubah ini turut
mengubah nama makanan ini menjadi Kippenwaterzoi.
Elske menulis semua itu dengan bibir tak usai menggantung senyum. Di balik kacamatanya
terlihat bola matanya berbinar. Saat kuteliti, apa yang ia tulis sama persis dengan yang
diucapkan wanita tunanetra. Aku jadi berkesimpulan, hari ini, tepatnya ia bukan menulis,
tapi menyalin. Namun biarlah, toh apa pun yang terjadi di depanku kini, yang penting
keinginanku tercapai untuk bertemu dengan penulis muda terkenal, yang selama ini hanya
kukenal lewat Instagram.
Saat kelam mulai menyambangi taman, wanita itu menyudahi ceritanya tentang
Kippenwaterzoi. Elske semringah seraya melipat laptop dan memasukkannya ke dalam tas.
Kami pun berpisah, mereka beranjak ke arah kafe, melewati jalan yang dipagari ribuan
lampu, wanita tunanetra itu berjalan agak terseok dengan tangan berpegang ke lengan
Elske. Sedemikian hormatnya Elske kepada wanita itu hingga ia rela membantu menjinjing
tasnya dengan beban yang terlihat agak berat, bahkan kadang rela membantu anjingnya
saat talinya tersangkut di pangkal sebuah tiang.
Aku hanya menggeleng, yang kudapatkan kini, bukan bertemu Elske dengan sosok seorang
penulis, tapi lebih pada seorang pembantu, yang melayani tuannya jalan-jalan ke taman.
Hari-hari setelah itu, aku kembali bertemu Elske di beberapa tempat, di Desa Kinderdijk,
Kanal Amsterdam, Taman Bunga Keukenhof, Maastricht Vrijthof, Bloemenmarkt, dan di
beberapa tempat lain di sana, tapi masih belum seperti yang kuinginkan, Elske masih
bersama wanita itu, lengkap bertiga dengan anjingnya. Lalu ia hanya menulis hal-hal yang
diceritakan wanita itu, tak pernah menulis dari pikirannya sendiri, walau aku tak menampik,
cerita wanita itu yang ia tulis di taman kecil Kota Bernisse beberapa waktu lalu sudah dimuat
di media dan menjadi topik hangat warganet. Bisa mungkin karena cerita itu hanya
pengaruh nama Elske yang sudah terkenal. Dan biasanya, ia akan mendapat upah
Kippenwaterzoi jika ceritanya yang Elske dapat darinya dimuat.
Akhirnya aku pun lebih penasaran kepada si wanita tunanetra itu ketimbang Elske. Saat
kami bertemu, aku lebih menanyakan wanita itu kepada Elske, tapi ia tetap tak bercerita
lengkap perihal wanita itu.
Suatu musim gugur, aku baru bisa bertemu Elske hanya berdua, tanpa wanita dan anjing itu.
Kami menapak jalan berbalut daun kering dan hamparan guguran bunga, jalan itu meliuk ke
sebuah gereja di kawasan Maastricht. Kala itu, aku lebih banyak bertanya tentang si wanita
tunanetra itu daripada soal menulis. Butiran dingin menggelinding pelan dari sudut mata
Elske saat ia memulai ceritanya. Sisa bayangan wanita itu seperti berputar dalam bola
matanya yang biru beku. Aku semakin yakin, betapa wanita itu sangat berharga dalam
hidupnya.
Kata Elske, dirinya bertemu wanita tunanetra itu di sebuah halaman gereja, ketika perayaan
hari Paskah. Wanita itu mengaku bernama Margreet Wigburg. Elske terkejut, karena nama
itu sudah terkenal di jagat sastra. Sejak buta, suaminya meninggalkannya begitu saja. Ia
hanya hidup dengan seekor anjing kesayangannya, berpindah dari satu tempat ke tempat
lain sambil mengharap uluran tangan para dermawan. Ia mengaku pernah menulis banyak
buku sebelum kecelakaan membuatnya buta. Buku-buku dan peralatan menulisnya
tersimpan di perpustakaan pribadinya yang sudah disegel oleh suaminya, termasuk
sertifikat, kartu ATM, dan surat-surat penting lainnya. Celakanya, orang-orang-bahkan
fansnya pun-tak mengenal Margreet lagi. Mereka tak percaya apabila ia memperkenalkan
diri bahwa dirinyalah penulis hebat itu, tapi mereka tetap tak percaya, dengan alasan
Margreet, si penulis itu, tidaklah buta.
Elske merasa iba padanya. Akhirnya ia mengajak wanita itu tinggal bersamanya. Saat
bersama Elske, ia pun tak bisa meninggalkan hobinya, berteman dengan seekor anjing dan
melahap Kippenwaterzoi setiap hari. Elske tak keberatan dengan hobi itu meski Elske harus
mengeluarkan uang setiap hari. Sebab, wanita itu suka membantu pekerjaan Elske di rumah,
terlebih-yang paling Elske suka-ia juga membantu Elske yang masih belajar menulis saat itu
untuk bisa menghasilkan tulisan-tulisan bagus kelas dunia.
“Kini, bakat menulisku sebenarnya masih ada, tapi takdir menghalanginya untuk sampai ke
pembaca. Sebab, pembaca lebih percaya bahwa seorang Margreet sudah mati ketimbang
percaya Margreet hidup buta seperti ini. Aku ingin tetap jadi cerpenis yang selalu punya
cerita bagus, kau yang menuliskannya dan kau yang mengirimkannya ke media atau
menerbitkan dalam bentuk buku, dan cantumkan namamu sebagai pengarang cerita itu,”
ungkap wanita itu suatu waktu, tapi Elske tak langsung menyetujuinya. Wanita itu tetap
memaksa hingga Elske pun melakukan apa yang ia mau: menulis banyak hal dari apa yang
diceritakan wanita itu, lalu mengirimkannya ke media dan diterbitkan dalam bentuk buku,
hingga Elske jadi penulis terkenal yang kaya raya. Selama itu, tak satu pun ada yang tahu
bahwa karya Elske adalah karya Margreet yang telah buta.
“Lalu kenapa kamu sekarang sesedih itu?” tanyaku saat kami sampai di pintu pagar gereja.
Elske menghentikan langkah, ia menatap wajahku tajam dan muram.
“Aku sebenarnya sampai saat ini tak bisa menulis. Kebesaran karya dan namaku bertopang
permanen pada bakat wanita tunanetra itu. Tapi tak ada yang tahu kecuali kau. Sedang saat
ini dia sudah meninggal, otomatis aku tak bisa menulis,” Elske menunduk sedih. Air
matanya mirip daun-daun yang gugur. Aku terkejut mendengar itu.
Elske kemudian memintaku untuk menulis cerpen tentang Kippenwaterzoi untuk memenuhi
permintaan terakhir wanita itu sebelum meninggal. Aku pun mengiyakan, demi mengurangi
rasa sedih Elske. Berminggu-minggu aku tetap kebingungan atas kejadian yang tak terduga
itu, hingga cerpen yang Elske pinta hanya selesai pada judulnya: “KIPPENWATERZOI DAN
SEORANG PENULIS MUDA”.
GT, 07.19
A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa
cerpen, puisi, esai, dan artikel dimuat di berbagai media massa. Juara II Lomba Cipta
Puisi Tingkat Nasional FAM 2015. Buku cerpennya yang telah terbit berjudul Dukun
Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Ia juga guru bahasa Indonesia di MTs Al-
Huda II Gapura. Berdomisili di Jalan Raya Batang-Batang PP Al-Huda Gapura Timur,
Gapura, Sumenep, Madura
Gir
Cerpen S. Jai (Jawa Pos, 18 Agustus 2019)
SIANG, jelang pulang dari rumahmu. Di halaman berdebu itu, antara berbagi
menghirup udara terik dan aroma bangkai tikus yang tengik, kita sama-
sama menjadi telik. Kita menelisik bau daging busuk menusuk yang
barangkali telah cukup lama ngendon di tepian kali kecil depan terasmu itu.
Lantas kita berkelakar, bicara lelucon kelahiran, kehidupan, dan sudah barang tentu
kematian. Meski hanya dalam hitungan menit sekian detik; kematian tikus, kematian
manusia, dan kematian pengarang.
“Cak, kita sama-sama gendeng dalam menempuh jalan kematian,” katamu.
Dan memang kita telah berkali-kali mati. Mati berkali-kali.
Begitu pendek waktu, demikian sempit ruang, sementara begitu mahaluas samudra kata,
hingga kita sama-sama lupa kapan dan apa yang sebenarnya telah kita bicarakan. Mungkin
pula saat itu kita sebetulnya tidak sedang bicara apa-apa. Ataukah barangkali
sesungguhnya kita bicara dari hati ke hati melalui bahasa yang sulit dieja, namun kita telah
sama-sama mengerti kedalaman maknanya.
Ya, sebagaimana siang itu aku geret sederet kalimat; betapa engkau tak pernah urus
halaman rumahmu dari bau busuk binatang sial itu, yang barangkali tak hanya sekali pada
hari itu. Anehnya, betapa kamu rawat dengan teliti, tekun, sabar, penuh kasih pada latar,
taman, rerumputan, semak belukar, aroma kembang, bahkan butir kerikil atau selembar
daun yang jatuh bergulir di halaman-halaman buku teman, handai tolan, sahabat, kerabat,
murid, guru, sejawat yang mungkin tanpa bayaran itu.
“Buku adalah jendela dunia,” katamu.
“Jadi kau merawat jendela dan pintu rumah mereka juga?” sergahku.
Lalu, adakah bunyi, sunyi, atau frasa lain untuk ungkapan ini selain kegendengan atau
lelucon? Ngedan dan ngeden sebagai perawi dan perawat altar pemujaan orang waras atas
nama ungkapan paling klise di dunia; cinta kesenian?
Seperti biasa kita sama-sama menikmati kegilaan atau lelucon ini dengan gelak tawa.
Karena aku meyakini leluconlah mahkotamu dan gelak tawalah rumbai-rumbai
perhiasannya. Dan semoga benar adanya bahwa inilah lelucon kita, jikapun tak banyak
orang yang bisa menerima bahwa segala lelaku kita adalah doa. Sebagaimana engkau tak
pernah memberi jawaban padaku saat kutanya, “Sebenarnya engkau itu dalang, sutradara,
pengarang, perupa, penyair ataukah perawi halaman buku?” Rupanya sebagaimana tak
pentingnya pertanyaanku, kau pun tak memberiku jawab tersebab engkau meyakini aku
telah tahu jawabmu.
Baiklah, kita bersepakat sampai di sini tentang doa dan kesepakatan-kesepakatan perihal
mati. Sebuah tabungan hidup yang kata Kiai Tardji segobang-segobang serta seturut
Almukarom Barthes ihwal kematian yang memperbanyak kelahiran pembaca. Begitulah kita
jadi tahu dan senantiasa saling bertukar doa. Betapa pada suatu waktu sebagaimana
seorang ibu kita melahirkan sederet teks, bahasa, tanda sebagai anak-anakmu yang
menyebabkan engkau mati berkali-kali di mana roh kematianmu menjadi bidan yang
melahirkan puluhan, ratusan, mungkin jutaan pembaca, pencipta teks baru antar tanda
sebagai cucu cicitmu di hari ini dan kelak di hari kemudian.
“Cak, kau mengingatkanku…,” tedasku… “Pada sajak Gibran; anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri Sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri.”
Meski demikian, entah oleh suatu musabab, aku tak mengatakan padamu perihal ingatanku
yang lain: bahwa pada suatu hari engkau menyodorkan sebuah koran tempat sajakmu
bertebaran di salah satu halamannya, anak-anak tertawa, lidahnya dijulur-julurkan, seperti
mengejekku yang terpaku di hadapan istriku.
Kubayangkan betapa hidupmu berada di tengah sebuah taman fantasi yang eksotis bersama
anak-anak badung yang bermain dengan keliaran mahadahsyat dan mengingatkanku pada
sebuah bab novel Kundera, Kitab Lupa dan Gelak Tawa –sebuah novel yang konon
mengajarkan kepada kita bahwa jika kita mati, yang akan hilang dari kita bukanlah masa
depan, tetapi masa lalu.
Lantas, adakah bunyi, sunyi, atau frasa lain untuk ungkapan ini selain kegendengan atau
lelucon? Ngedan dan ngeden sebagai perawi dan perawat altar pemujaan orang waras atas
nama ungkapan paling klise di dunia; cinta kesenian? Cinta yang hampir menyebabkan kita
nyaris terpelanting dalam adagium “tak ada yang salah dalam berkesenian”, akan tetapi
beruntung terselamatkan sebagaimana pepatah lain “tiada yang benar dalam agama’’.
Cak, tersebab itulah pada hari ini aku bertanya lagi padamu; sesungguhnya kamu dalang,
sutradara, pengarang, perupa, penyair, perawi buku, atau bidankah? Akan tetapi setelah
kamu mati sungguh –dan semuanya akan menyusulmu kelak– entah mengapa aku jadi sibuk
merangkai jawaban dari pertanyaan tak penting itu, kendati aku sudah pastikan jawaban
sebenarnya darimu: gelak tawamu itu.
Cak, tentu engkau masih mengingatnya bagaimana meski aku belajar di Jalan Airlangga,
namun aku memilih berdiam di Gang Jetis Ketintang. Entah apa yang menggerakkanku
demikian. Pada kenyataannya, itulah jalanku, jalan satu-satunya yang telah kulakoni, dan
diberikan-Nya padaku. Tak lain, semata-mata, agar lebih cepat mengenalmu. Maka, jadilah
aku sering bertandang ke komunitasmu di institut. Menonton pertunjukan-pertunjukanmu,
menjadi saksi pergulatan dan kiprahmu.
Oiya, aku masih ingat kita pernah membaca cerita bersama bukan? Waktu itu kita masih
benar-benar merasa muda, membaca cerita dengan teriakan membahana di kelas sastra
yang diampu sahabat dan guru kita, Tengsoe Tjahjono. Mungkin tak sepertimu dengan
berpuluh-puluh cerita, kurasa itulah cerita, itulah kisah yang kubuat dan masih bisa kuhitung
dengan jemari sebelah tanganku saja.
Cak, aku juga masih mengingatnya tak berselang lama dari waktu itu, kita pernah
sepanggung bersama sebagai sesama aktor, meski dalam lakon yang berbeda dalam
festival naskah-naskah Jepang di Malang. Sebuah festival yang penuh bebunyian dawai dan
seruling yang memanjakan telinga.
“Cak, aku mengenalmu, mengenangmu saat itu, ucapan leluconmu tentang sebuah
pertunjukan yang tak tahu beda antara kebudayaan Tiongkok dan Jepang,” ungkapku.
Lelucon sekaligus lukisan dari cakrawala atas sebuah panorama pengetahuan. Hai! Itu
ketakjuban pertamaku padamu saat kita masih merasa benar-benar muda. Namun,
sekaligus gambaran demikian tajam mata pisau penglihatanmu, pendengaranmu, indramu.
Sejak itu aku tak pernah kehilanganmu. Sampai kemudian, andai kamu masih hidup, tentu
masih mengenangnya: Ketika gerakan reformasi bergulir. Kita pernah bersama kawan-kawan
menggelar pertunjukan wayang kampung Semar Nesu, yang mana engkau salah satu
dalangnya dan akulah salah seorang wayangnya. Tentang penguasa yang serakah. Orang
kampung yang marah. Tentara yang pongah. Mahasiswa yang gerah. Juga awak pertunjukan
serta penonton yang sama-sama lelah pada keadaan zaman. Ketika itu, sama sekali tak
pernah kuduga bahwa kelak di kemudian hari peristiwa itu adalah salah satu lelatu dari
ketekunanmu selain menatah kata dan menatah kulit wayang pula.
“Oh iya Cak, sebaiknya tak perlu ya kukisahkan bahwa di kesempatan lain, kita pernah
berpelukan setelah merayakan sebuah pertunjukan yang berlangsung selama lebih dari tiga
jam itu. Ya, tak perlulah,” pikirku.
Baiklah, rupanya memang banyak pula yang tak perlu kukisahkan. Terlebih seiring waktu
berjalan, meski aku merasa tak pernah kehilanganmu, pada kenyataannya bukan saja aku
kerap kau tinggalkan dari jejak pencapaianmu, keindahan hidupmu, gebalau hibuk ria
duniamu—mimpi, nyata—melainkan pula engkau sering lenyap dalam kesibukanmu
bertungkus lumus dengan anak-anak fantasimu.
Sementara aku memilih jalan sunyi, menyepi, menepi sebagai takdirku berharap tafakur,
yang sama sekali jauh dari segala takdir majenunmu itu.
Ya, terus terang aku belum sanggup menemukan jawaban, mencapai, menggapai, apalagi
menapaki dari segala takdir majenunmu itu karena terus diserobot gambaran-gambaranmu
bagaikan layar film sejak puluhan tahun lalu. Main teater bersama, kau menjadi dalang dan
aku wayangnya, membaca cerita, bertukar pandangan, berbagi rezeki, semeja makan
bersama, aku berutang padamu dan kau berutang padaku, juga kerap memanggul
tumpukan buku-buku sampai punggung kita sama-sama seperti batu.
Seandainya engkau masih hidup, akan kubisikkan sesuatu padamu: bahwa ternyata aku
masih takut pada hantu, mungkin juga seperti katamu, karena aku belum benar-benar
menjadi hantu atau Tuhan—sebagaimana pepatah lama; manusia berpikir Tuhan tertawa.
Begitulah ketika kian banyak gambaranmu yang berhumbalang datang, makin tak
kumengerti; bolehkah mengirim doa buatmu sambil memuja gelak tawa serupa mahkotamu
itu?
Sepeninggalmu, jikapun pada hari ini dan kelak di waktu kemudian, kusaksikan begitu
banyak mereka yang terbahak, maka tak kusangsikan lagi di antaranya pastilah anak-
anakmu. Aku bersaksi. (*)