Anda di halaman 1dari 84

Cerpen 1

Makan Malam yang Tertunda

Muhtadi Chasbien

Sejak kejadian itu, kau paling benci acara makan malam. Bahkan, kini kau lebih suka
menyendiri di kamar dibandingkan melakukan sesuatu yang melibatkan bapak atau ibumu. Kau
bukan lagi wanita ceria yang di bibirnya selalu tersungging senyum merekah. Bila suatu ketika
kau tersenyum, itu lantaran pikiranmu berjumpa dengan kenangan indah masa dulu. Kenangan
bersama kekasihmu sebelum bapakmu melarangmu bertemu dengannya.
Di awal kisah cintamu, keluargamu setuju. Bahkan beberapa kali kekasih dan bapakmu
menjalin keakraban, semisal sepotong waktu sore yang digunakan mereka bermain catur di
beranda. Dari jendela berkaca gelap, kau tersenyum senang melihat raut muka tegang mereka.
Tiga kali kauabadikan momen itu melalui bidikan kamera. Suatu saat akan kutunjukkan foto ini
kepadamu, Mas, gumammu. Kau terus mengintip mereka hingga ibumu yang membawa dua
cangkir teh hangat menghampiri. “Percayalah, kelak status mertua-menantu akan disandang
mereka,” katanya seraya menyuruhmu cepat-cepat membawa teh itu ke beranda.
Sore itu, hujan turun saat kau tiba di beranda. Sentuhannya pada atap rumah dari seng
sedikit menganggu pendengaran. “Diminum dulu tehnya!” katamu sedikit nyaring. Bapakmu
hanya melirik sebentar. Setelah itu ia kembali asik dengan permainan caturnya. Aroma teh yang
kauhidangkan tak mampu menggodanya.
“Apakah kau juga hanya akan meliriknya?” tanyamu pada kekasihmu. Tanya yang
bernada perintah itu dijawab dengan seduhan sekali oleh kekasihmu. “Enak. Komposisinya pas,”
jawabnya. Sanjungannya sedikit membuat mukamu merah tersipu-sipu. Kauyakin, kekasihmu
menduga kau lah yang membuat teh itu.
“Calon suami takut istri,” kata bapakmu meledek. Kau dan kekasihmu tersenyum.
“Skak...” Tiba-tiba suara kekasihmu membuat bapakmu terkejut. Ada kekecewaan di raut
mukanya meski sebentar. Ia kalah pada laki-laki yang kaucintai sejak dua tahun lalu
“Aku suka menantu yang pintar main catur. Apalagi menjadi inspirator bagi pemuda di
desanya,” bapakmu berujar. Sebuah tepukan ringan diberikan pada punggung kekasihmu. Kau
pun memberikan dua jempol untuk bapakmu dengan wajah berseri-seri dan menarik bibir ke
samping. Setelah itu ia beranjak pergi.
Kursi bapakmu yang awalnya berhadap-hadapan, kauubah arah menghadap halaman.
Kauhempaskan tubuhmu di atasnya. Hujan waktu itu sudah berhenti. Tersisa rintik-rintik yang
suaranya terdengar merdu. Namun air kiriman dari luapan parit di samping rumahmu masih terus
mengalir di halaman rumah. Pandanganmu tertuju pada aliran air itu; aliran air yang
menghanyutkan daun-daun yang jatuh karena terpaan angin dan hujan barusan.
“Bapak minta bantuanmu. Kalau berhasil, ia akan penuhi keinginanmu,” katamu pelan.
Kekasihmu mengubah arah kursinya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahmu hingga
berjarak kira-kira sejengkal. “Bantuan apa? Aku pasti akan membantunya meski tanpa imbalan,”
katanya sambil tersenyum.
Sapuan tanganmu kauberikan pada wajahnya. Kau cemberut. Dahimu berkerut. Itu
pertanda kau sedang kesal. “Kau harus minta sesuatu. Minta kita dikawinkan secepatnya bila
berhasil!” pintamu. Lalu kau tertawa dan menutup muka dengan kedua tangan kananmu yang
jarinya direnggangkan
Ada jeda beberapa detik sebelum suaranya meluncur lembut ke gendang telingamu. “Iya
iya,” katanya seraya membelai rambutmu bagian atas kepala berkali-kali. “Beliau butuh bantuan
apa, Sayang?” lanjutnya. Namun, sebelum kau menjawab, hanponenya berdering. Ia mohon izin
mengangkatnya. Saat menelpon, tubuhnya semakin menjauh darimu.
Lima menit berikutnya ia kembali duduk di kursi. Kau hendak melanjutkan obrolan tadi,
namun keburu pamit pulang. Katanya, ada pertemuan dengan pemuda. Wajahmu kembali
cemberut, namun tak dihiraukan olehnya.
Besoknya, kau bertemu di pos ronda. Pagi itu kau melanjutkan obrolan kemarin yang
belum selesai. Sebenarnya kau malas membahas bor keparat itu. Andai kemarin bapakmu tak
menyodorkan banyak pertanyaan setelah kekasihmu pulang, kau pasti tak akan mengajak
kekasihmu bertemu.
“Assalamu alaikum. Selamat pagi, Tuan Putri. Apa kabarmu pagi ini?” sapa kekasihmu
mengawali percakapan pagi itu. Ia terlambat dari waktu yang disepakati. Kau paham, sapaan
seperti itu adalah upayanya agar kau tak marah karena menunggu lama.
Kau tak menjawab salamnya, juga pertanyaannya. Kau hanya menggeser tubuhmu ke
kanan. Memberi isyarat agar laki-laki itu duduk di sebelah kirimu.
“Bapak mengajakmu makan malam. Kuharap kau mau,” katamu ketus. Pura-pura
mendongkol.
“Kapan?”
“Nanti malam di rumah.”
“Siap. Ada lagi?”
Kau menarik napas dalam-dalam. “Bapak menanyakan kesanggupanmu lagi.
Kesanggupan untuk membantunya.”
“Aku akan membantunya.”
Kau menoleh pada kekasihmu. Seutas senyum kau berikan padanya. “Sungguh?”
“Sungguh.”
“Kau tahu bapak minta bantuanmu dalam hal apa?”
Kekasihmu menggelengkan kepalanya dua kali.
“Bapak ingin kau perintahkan teman-temanmu berhenti menghalangi proses pengeboran
air tanah,” katamu. Kekasihmu terkejut. Matanya membesar. Mata itu menatapmu tajam. Kau
memilih menghindar.
“Tanah yang dibor itu milik Bapak, Mas. Apanya yang salah bila dilakukan pengeboran
di sana?” Kau menurunkankan tempo suaramu dan menatap ke depan.
“Lokasi pengeboran sangat dekat dengan mata air yang digunakan warga. Bila
pengeboran tetap dilakukan, kemungkin akan mematikan mata air itu.”
“Tapi itu hanya kemungkinan.”
“Kau bisa menghitungnya sendiri sudah berapa banyak sumber air di desa ini yang mati
karena di sekililingnya dilakukan pengeboran,” jawabnya tegas.
Diam-diam dalam hati kau mengikuti perintah kekasihmu; menghitung jumlah mata air
yang kini tak berair. Menurut hitunganmu ada empat sumber mata air; Sumber Kokap, Sumber
Sandian, Sumber Benteng, dan Sumber Kemmasan. Satu-satunya yang masih tersisa hanya
Sumber Raje. Sumber yang berjarak sekitar 17 meter dari lokasi pengeboran bapakmu.
“Jika kau tak bisa membujuk teman-temanmu, minimal jangan kau tampakkan pada
bapak bahwa kau ada di kelompok mereka!”
“Aku kasihan pada warga, lebih-lebih warga miskin.”
“Ya sudah, terserah. Aku yakin jika kau sungguh-sungguh mencintaiku, kau pasti
melakukan sesuatu yang sekiranya tak membuat kita berpisah,” katamu. Lalu kau pergi
meninggalkannya di pos ronda. Kekasihmu berusaha mencegahmu. Tapi kau tetap berlalu.
Sorenya, sebuah pesan masuk ke handponemu. Aku sangat mencintaimu Liya. Aku akan
perjuangkan hubungan kita. Tanpa kausadari air mata bahagia meluncur deras dari sudut
matamu. Di pikiranmu, terbayang kau dan kekasihmu bersanding di pelaminan.
Ingatanmu kembali mengembara. Kali ini kenangan makan malam yang muncul di
otakmu.
Malam itu, kekasihmu datang memenuhi undangan makan malam. Sebelum ia bertemu
orang tuamu, kau menghampirinya. “Terima kasih telah datang ke rumah kami,” katamu.
Kekasihmu tersenyum dan mencoba meraih tanganmu. Namun secepat kilat kau menaruhnya di
belakang. Dalam hati sesungguhnya kau ingin menyambut tangan itu dan berjalan bergandengan
tangan menuju ruang tamu, tempat bapakmu menunggu.
“Calon menantuku datang,” kata bapakmu. Ibumu yang awalnya ada di dapur bergabung
juga ke ruang tamu. Kekasihmu menyalami mereka. Kau hanya tersenyum melihatnya.
“Mau minum apa, Nak?” tanya ibumu.
“Aku tahu minuman kesukaannya, Bu,” katamu.
Semenit berikutnya kau datang membawa segelas air putih. “Jangan bercanda, Nak!” kata
ibumu pelan. Lalu ia pergi ke dapur dan datang lima menit berikutnya dengan tiga gelas teh
hangat.
“Kok hanya tiga gelas, Bu? Untukku mana?” tanyamu.
“Kamu minum air putih saja,” jawabnya sambil tersenyum. Kau pura-pura cemberut.
Cemberutmu kau sudahi saat bapakmu membahas pengeboran.
“Setelah pengeboran selesai, aku yakin Sumber Raje akan berhenti mengalir. Aku akan
menjual air bor pada warga sekitar. Tentu hal ini akan menambah pemasukan keluarga kami.”
Kekasihmu tak menjawab. Hatimu deg-degaan. Kau berharap jawaban kekasihmu selaras
dengan keinginan bapakmu. “Mereka tak punya jalan lain selain membeli air padaku. Mau
melakukan pengeboran, mereka tak punya lahan. Sebab semua tanah yang diramal mengalir air
di dalamnya, hanya di tanah milikku.”
“Dalam undang-undang sudah jelas, dalam radius 200 meter dari mata air tidak boleh
dilakukan pengeboran. Teman-teman berencana akan membawa kasus ini ke jalur hukum,”
kekasihmu berujar.
Tiba-tiba bapakmu memukul meja keras-keras. Teh hangat yang belum diminum tumpah
membasahi taplak meja. Kau dan ibumu gemetaran. Di dahimu keluar keringat dingin.
“Kau harus menghentikan mereka!” teriaknya.
“Justru aku yang menyuruh mereka menempuh jalur hukum bila bapak tetap ngotot
melanjutkan pengeboran.”
Bapakmu berdiri lalu melayangkan tangan kanannya ke pipi kekasihmu. Ia tak
menghindar apalagi melawan. Tamparan ayahmu dibiarkan memerahkan pipi kanannya. Ia lalu
pergi. Kau berusaha mengejar kekasihmu. Namun teriakan dan hardikan ayahmu membuat
langkahmu berhenti. Bahkan ia melarangmu bertemu dengan kekasihmu setelahnya.
Esoknya, ayahmu kembali marah-marah padamu. Lantaran alat-alat bor dijarah oleh
warga.
Cerpen 2

Bulan Takepe’
Syarif Alhamidi

Pagi ini anak-anak demikian riuh di kelas, mereka bersiul-siul menirukan


siul burung kutilang. Dan tiba-tiba saja mereka ribut bertanya, "Bapak,
bulan kelahiran bapak bulan apa, ya?"
"Bulan Takepe'," jawab pak Hardi sembari tetap menulis di meja kerja.
"Bulan Takepe' itu bulan apa pak, kok baru dengar", tanya salah satu dari
mereka.
"Kalian ingin tahu?"
"Iya pak" jawab anak-anak riuh.
"Coba kalian lihat di kalender". Lalu beberapa orang anak berdiri dan
menghampiri kalender yang tergantung di dinding kelas. Setelah
membolak-balik lembaran kalender.

mereka berkata, "tidak ada pak, tidak ada bulan Takepe' di kalender ini".
"Masa tidak ada? Coba cari lagi" kata pak Hardi tersenyum sambil berkata
dalam hati bahwa mereka pasti tidak akan menemukannya.
"Sudah pak, sudah kami cari, tidak ada" Banu menjawab seraya tetap
membolak-balikkan kalender.
"Kalau bulan Dzulqa'dah ada nggak?" Pak Hardi bertanya lebih detail.
"Kalau Dzulqa'dah ada pak".
"Baik anak-anak silahkan kalian duduk di tempat masing-masing, akan
saya terangkan apa itu bulan Takepe'," anak-anak yang semula berfiri berebutan
kembali ke tempat duduknya.
"Bulan Takepe' adalah sebutan lain untuk bulan Dzulqa'dah. Kita suku
Madura menamakan bulan Dzulqa'dah dengan nama tersebut." Urai psk
Hardi. Anak-anak kembali riuh dengan mengucapkan kata oo bersama-
sama
"Mengapa dinamakan Takepe' pak?" Tanya Santi.
"Pertanyaan yang bagus. Untuk menjawab pertanyaanmu, ingatkah hari
raya agama Islam apa saja?"
"Ingat pak, Idul Fitri dan Idul Adha" jawab seorang anak.
"Idul Fitri ada di bulan apa?" Tanya pak Hardi "Bulan Syawal pak"
jawab mereka hampir bersamaan.
"Kalau Idul Adha?" Kejsr psk Hardi.
"Dzulhijjah pak" jawab mereka lagi.
"Nah, diantara dua bulan yang ada hari rayanya itu ada bulan Dzulqa'dah,
menurut orang Madura bulan ini terjepit di antara dua bulan yang ada hari
rayanya itu. Apa bahasa Maduranya "terjepit"?" Tanya pak Hardi seraya
tertawa.
Dengan riuhnya sambil tertawa-tawa mereka menjawab "takepe' pak"
"Nah sudah tahukan mengapa orang Madura menamakan bulan Dzulqa'dah dengan
nama Takepe'?" "Iya pak, karena takepe'" sahut mereka serempak.
"Tapi pak pertanyaan
kami yang pertama belum dijawab oleh bapak" kata salah seorang dari
mereka. "
Ah itu rahasia perusahaan. Sudah kalian istirahat dulu" pak Hardi
tersenyum sembari berjalan keluar kelas tanpa mendengarkan protes
anak-anak
(Syarif Hamid. Dasuk, April 19)
Cerpen 3

"Thank You, Pak Satpam.."


Shanti Dwijayanti Parnarini

Pagi tadi, aku bergegas berangkat ke kota. Kartu ATMku expired, tidak bisa dipakai semalam.
Padahal ada transaksi pembayaran yang harus segera dilakukan. Sementara aku bukan tipe orang yang
terlalu suka menggunakan aplikasi banking di HP.

Sesampai di Bank yang namanya terdiri dari 3 abjad itu aku melirik ke arah parkiran. Lumayan terisi
beberapa sepeda motor. Setelah parkir, ku cuci tangan di tempat yang tersedia.

Beruntungnya saat mengambil nomor antrian, aku hanya menunggu sekitar 10 menit. Tidak ada
masalah yang berarti di customer service. Cukup menunjukkan buku tabungan, KTP asli, ATM lama, dan
mengisi formulir singkat. Sempat ditanya nama ibu kandung, dan disuruh buka masker sebentar untuk
dipotret pake webcam yang ada di komputernya. Sekitar 15 menit prosesnya, kartu ATM yang baru
sudah bisa langsung dipakai. Hanya dikenai biaya administrasi 10ribu, semua sudah selesai.

Untungnya mesin ATM lumayan sepi. Langsung kutekan untuk transfer ke sederet angka rekening
tujuan. Tapi koq gagal terus ya? Padahal itu sesama bank, bukan beda bank. Ku coba sampai 3x tetap
gagal terus. Padahal nomernya aku yakin sudah betul.

Akhirnya aku bertanya pada Pak Satpam yang sedang berdiri tak jauh dariku.

"Pak, ini koq gagal terus ya saya. Padahal nomernya sudah betul." Tanyaku dengan sopan.

"Sesama bank atau berbeda bank, Ibu?" Jawabnya tak kalah sopan.

Aku serahkan selembar kertas berisi tulisan nomer rekening tujuan padanya.

"Oh ini sesama bank ya, Bu. Harus diberi kode angka bank di depannya." Lanjutnya lagi.

"Pantesan saya gagal terus. Tadi langsung saya ketik nomer rekeningnya. Kalau boleh tahu limitnya
berapa ya Pak?"

Aku menyahut dengan mengajukan pertanyaan yang berbeda. Pak Satpam menjelaskan semuanya
dengan sabar dan detail. Kalau kartunya warna biru, limitnya sekian. Berbeda lagi kalau warna hitam.
Berkali-kali aku mengucapkan terima kasih pada Pak Satpam. Bahkan sebelum aku beranjak pulang,
aku mengucapkan terima kasih kembali. Sebuah hal yang sederhana bagi orang lain, tapi merupakan
sebuah bantuan yang sangat berharga buatku yang jarang sekali melakukan transaksi perbankan.

Thank you, Pak Satpam. Semoga suatu saat pekerjaannya bisa naik posisi menjadi salah satu
Customer Service yang duduk dengan nyaman di dalam ruangan. Karena keramahannya sangat berkesan
untuk nasabah awam sepertiku.

Cerpen 4

LEPAS
Nurut Taufik
Matahari sudah bergeser ke barat. Bayangan benda yang disinarinya sudah jauh
melebihi panjang bendanya. Di waktu-waktu segitu, Brudin punya kebiasaan pergi ke tepi sawah
yang berada dekat rumahnya sekedar untuk meluruhkan kepenatan yang iya rasakan setelah
seharian menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Sebenarnya aktivitas
harian Brudin tidak begitu berat. Tetapi rutinitas kerja yang selalu sama tiap harinya itulah yang
menyebabkan kejenuhan muncul dalam hidupnya.
Brudin melepaskan pandangannya sejauh yang iya bisa. Ada kenikmatan tersendiri yang
iya rasakan yang mungkin tidak bisa dia gambarkan. Pandangannya tertuju pada sebuah kursi
yang ada di tepi sawah. Kursi itu sebenarnya sudah tidak utuh lagi. Sebagian kakinya ditopang
seruas bambu menyebabkan posisi kaki kursi tersebut tidak rata. Agar nyaman digunakan, salah
satu kaki kursi diganjal dengan batu. Ada keinginan Brudin untuk duduk di kursi itu.
Selesai menikmati kenyamanan berdirinya, Brudin duduk. Hati-hati sekali dia letakkan
pantatnya di dudukan kursi. Khawatir kursi itu tidak kuat menahan berat badannya. Ternyata
kursi itu pas sekali dengan ukuran pinggangnya. Seakan-akan kursi itu sengaja diletakkan dan
disiapkan untuk dirinya. Hanya sayang, kakinya terjuntai tidak bisa menyentuh tanah yang
disebabkan kaki kursi itu lebih panjang dari aslinya karena diganjal dengan batu. Tetapi itu tidak
mengurangi kenyamanan duduknya.
Sejenak Brudin memperhatikan sawah yang sudah dua bulan tidak ditanami oleh
pemilikya. Dia berfikir jika sawah itu ditanami padi, misalnya. Setidaknya dalam satu bulan ke
depan bisa menghasilkan beras dan mampu menyediakan kebutuhan makan lima puluh orang
dalam waktu dua bulan. Kalau diuangkan, tentu si pemilik sawah banyak menerima uang dari
hasil panennya.
Di pikiran pemilik sawah mungkin tidak pernah terbersit seperti apa yang Brudin
pikirkan. Maklum, pemilik sawah adalah orang yang terlalu banyak memikili aset sehingga
banyak yang tidak sempat dia urus.
Si pemilik sawah sebenarnya cukup dermawan. Menurut perkiraan Brudin, sekalipun
sawah itu ditanami, hasilnya bisa dipastikan tidak akan dia uangkan. Biasanya hasil sawah itu
disumbangkan kepada orang-orang yang sempit rejekinya. Apalagi di masa sekarang. Masa
dimana orang-orang banyak yang gagal menjemput rejekinya.
Brudin kembali mengkalkulasi hasil yang akan didapat oleh si pemilik sawah. Kali ini
kalkulasinya bukan pada finansial yang akan diterima pemilik sawah. Tetapi, berapa banyak
amal yang akan dia dapatkan dari mendermakan hasil panennya.
Brudin sempat membandingkan si pemilik sawah dengan dirinya. Jarang sekali dia
mendermakan sebagian harta yang dimilikinya. Memang penghasilannya hanya cukup untuk
biaya hidup sekeluarga. Tetapi dengan kondisi itu akankah menghalangi dirinya untuk menjadi
seorang penderma? Entahlah.
Tiba-tiba salah satu kaki kursi yang Brudin duduki terperosok ke dalam tanah. Dia
tersadar dari apa yang mempermainkan pikirannya mulai tadi. Dia tersenyum dan menarik nafas
panjang. Dia bangun dari duduknya. Dia perbaiki kembali kursi yang berdiri timpang itu dengan
memberi ganjal batu pada bagian yang terperosok tadi.
Brudin duduk kembali di kursi itu. Rasa nyamannya sama seperti ketika dia duduk tadi.
Dia merasa seperti tidak pernah beranjak dari kursi itu.
Pandangannya kembali ia arahkan ke tengah sawah. Perhatiannya tertuju pada beberapa
anak yang dengan riangnya bermain bola di tengah sawah. Di atas hamparan jerami yang sudah
mulai mengering mereka saling tendang bola diiringi dengan suara riuh teriakan yang kadang
tidak jelas maksudnya.Sebuah keberuntungan bagi mereka karena sawah yang tidak ditanami
memberikan kesempatan bagi mereka untuk dimanfaatkan sebagai tempat bermain.
Brudin tersenyum. Dia mendapatkan pelajaran baru tentang hidup. Keceriaan anak-anak
yang bermain di tengah sawah merupakan bagian dari perjalanan hidup mereka yang akan
menjadi bekal untuk menjemput nasibnya kelak. Sederhana memang. Tapi itulah yang terjadi.
Brudin teringat akan masa kecilnya dulu. Dia tidak pernah merasakan susah bahkan
tidak pernah tahu apa arti susah itu. Kebutuhannya sudah ada yang menanggung. Mau makan
tinggal ambil, mau jajan tinggal minta. Enak benar di masa-masa itu.
Semakin memperhatikan anak-anak yang bermain di sawah, Brudin semakin asyik
memanjakan pikirannya untuk mempelajarinya. Sungguh anak-anak tidak pernah memiliki beban
hidup. Sama seperti dirinya dulu. Tidak seperti dirinya saat ini yang setiap hari dikejar target
hidup untuk menjaga dirinya dan keluarganya agar terlepas dari kebangkrutan hidup.
Tarikan nafas panjang yang kedua kalinya dilakukan Brudin. Jam tangan di lengannya
mengajaknya untuk beranjak dari tempat duduknya. Sebenarnya masih banyak yang akan dia
nikmati waktu itu. Tetapi tidak dia turuti keinginannya karena ada kewajiban lain yang tidak
boleh dia abaikan apalagi ditinggalkan. Dia tersenyum kembali. Entah senyum yang keberapa
kalinya. Yang pasti ada perasaan beda yang iya rasakan ketika pantatnya diangkat dari dudukan
kursi dan meninggalkan sawah.
Cerpen 5

Warisan
Tutuk Nuryati

Aku masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Padahal, kemarin sore Ibu masih baik-baik saja.
Namun, sekitar jam setengah sepuluh malam, asmanya tiba-tiba kambuh. Dan obat semprot yang biasa
Ibu pakai tak mampu meredakan sesak napas yang ia rasakan. Badan Ibu tiba-tiba lunglai, wajahnya
pucat dan terasa dingin. Dengan sigap Mas Pras menyiapkan mobil dan membawa Ibu ke rumah sakit.
Namun terlambat, sesampainya di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa Ibu sudah tiada.

Aku shock mendengar pernyataan dokter hingga tak sadarkan diri. Tahu-tahu aku berada di rumah
dan banyak orang di sini. Padahal, baru tiga bulan yang lalu Ayah berpulang dan kini Ibu.Hati ini sungguh
tidak siap kehilangan orang yang sangat aku sayangi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan.

"Nduk, untuk acara tahlilan dilaksanakan habis magrib. Mau diberi suguhan apa?" Mak Iyem orang
kepercayaan Ibu sekaligus asisten rumah tangga di rumah ini datang bertanya. Pantas saja, hari sudah
siang dan belum ada persiapan. Jika tidak dipersiapkan dengan matang, bisa jadi omongan orang
sekampung. Begitulah tradisi di desa ini.

"Menurut Emak apa enaknya ya?"

"Untuk hari pertama, biar nggak ribet nasi pecel sama telur ceplok saja ya, Non, terus diberi lodeh. Sama
kerupuk." aku setuju dengan usul Bi Iyem, ekonomis apalagi ini tanggal tua. Tabunganku terkuras untuk
biaya masuk sekolah kedua anakku dan biaya selamatan kematian Bapak tiga bulan lalu. Dan sekarang
Ibu.

"Iya dah Mak. Nggak apa-apa Tapi pantes, kan, ya?"

"Apa? Nasi pecel. Nggak Budhe nggak setuju. Memalukan." tiba-tiba Bude warti muncul dari balik pintu.

"Lalu apa baiknya menurut Budhe?" Aku meminta pertimbangan Budhe. Mungkin ada masukan yang
lebih baik.
"Kasih aja rawon," tukas Budhe cepat.

Aku dan Bi Iyem saling pandang. Wanita yang sudah melayani keluargaku selama 20 tahun itu, sangat
paham kondisi keuanganku saat ini.

"Keluarga kita ini keluarga terpandang. Masa' ngasih suguhan nasi pecel? Bukannya kamu dari kecil
sudah diasuh Siti dan Ridwan, harusnya sudah tau, dong, kebiasaan di keluarga kami."

Kata "kami" yang diucapkan Budhe dengan nada berbeda, seolah mengingatkan tentang siapa diriku
sebenatnya. Ya, aku memang hanya anak pungut. Anak tetangga yang diadopsi dan diangkat derajatnya
oleh keluarga Ridwan. Orang tua angkatku tidak memiliki keturunan, hingga akhir hayatnya. Menurut
cerita beliau sebelum mengadopsi aku, mereka hendak mengasuh salah satu keponakan-keponakannya,
tapi tidak diizinkan, karena saat itu orang tua angkatku masih miskin.

"Dasarnya bukan darah daging sendiri begitu itu," ucap Budhe dengan ketus. Lalu melenggang keluar
tanpa rasa berdosa.

Kata-kata Budhe seperti anak panah yang dengan cepat melesak menembus jantung, membuat aku
limbung di saat hati dan pikiranku tengah kalut. Tak terasa air mata ini mengalir deras di pipi.

"Nduk!"

Kudengar Mak Iyem berpekik. Tapi kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.

"Alhamdulillah kau sudah sadar." Sapa Mas Pras sesaat setelah aku membuka mata. Tangannya lembut
membelai kepala.

"Masih pusing?" tanyanya sambil membantuku yang tengah berusaha bangun dan bersandar pada
headboard. Aku tak menjawab. Hanya kupaksakan bibir ini tersenyum pada sang kekasih hati.

"Ada apa, sih, Sayang?" tanyanya lagi. Aku tak menjawab. "Mak, kenapa istri saya sampai pingsan lagi?"
Kini laki-laki yang sudah delapan tahun membina rumah tangga denganku bertanya pada Mak Iyem.

"Eh ...," Mak Iyem membuka mulut, tapi sebelum sempat berkata-kata aku menatapnya, memberi kode
agar ia tak menceritakan apapun tentang kejadian yang baru aku alami. Mak Iyem mengerti, lalu dia
pergi kebelakang.

Selepas Mak Iyem pergi, aku langsung menelusup dalam pelukan Mas Pras. Menumpahkan segala sakit
yang ada di hati melalui air mata. Namun, aku tidak mau bercerita kepadanya saat ini. Dia tidak boleh
tahu. Mas Pras bisa marah dan sakit pada Budhe. Masalah akan jadi runyam. Biar cukup aku saja.

"Ikhlaskan, ya. Kamu harus kuat. Masih ada aku dan anak-anak. Mereka butuh kamu. Jika kamu terus
bersedih seperti ini bagaimana dengan mereka." Mas Pras mengira aku masih belum bisa menerima
kepergian Ibu.
Mas Pras melonggarkan pelukannya, "Dengar, aku nggak mau lihat kamu nangis lagi. Sekarang kamu
makan dulu ya." Laki-laki di hadapanku itu mengambil makanan yang di berikan Mak Iyem lalu menyuapi
aku makan. Dia memang selalu berhasil menghiburku di saat sedih. Aku sangat beruntung memiliki dia.

"Oalah, Nak kamu sudah siuman?" Bulek Marni memasuki kamar.

Bulek Marni adalah adik dari almarhum Ayah. Dia juga mertuaku. Sedangkan Budhe Warti adalah kakak
dari almarhumah Ibu. Dulu awalnya aku di jodohkan dengan Mas Arya, anak dari Budhe Warti. Mungkin
karena tidak ada jodoh, perjodohan itu batal. Lalu Mas Arya menikah dengan gadis Sumatra dan
menetap di sana. Sejak perjodohan batal itulah, Budhe Warti memang menjadi agak ketus padaku. Dan
aku sudah biasa.

"Pras, ada Pak Faisal di luar. Katanya ada barang datang. Kamu diminta kegudang secepatnya," tukas
Mama mertuaku pada anak semata wayangnya.

"Aku keluar dulu ya, Sayang. Ingat pesanku tadi!" Mas Pras melangkah keluar setelah sebelumnya
mencium keningku.

"Ya sudah kamu istirahat dulu ya, Nak." Bulek Marni juga mengekor di belakang suamiku.

"Ma ..., " mertuaku itu menghentikan langkahnya dan berbalik memandangku, "buat suguhan tahlilan
nanti, enaknya apa?" lanjutku meminta pertimbangan.

"Sudah kamu nggak usah pikirkan itu dulu. Biar Mama yang urus," ucap Bulek dengan lembut.

"Ma ...." Aku masih mau bercerita tentang kondisi keuangan kami.

"Iya Mama ngerti. Pras udah cerita. Kamu tenang saja ya."

Aku beruntung memiliki suami dan mertua yang menyayangi aku. Meskipun awalnya canggung. Dari
kecil terbiasa dengan panggilan bulek lalu harus beralih memanggilnya mama.

Pernikahan aku dan Mas Pras, juga sempat menjadi buah bibir di desa. Ada yang menganggap ini adalah
siasat agar harta keluarga Ridwan tidak jatuh ke tangan orang lain. Jadi aku dinikahkan dengan
keponakannya. Namun bagiku itu bukan masalah besar, karena kami memang saling menyayangi satu
sama lain.

"Dasar pelit. Almarhum adikku nggak suka pecel. Kok, malah dibuatin pecel," Budhe tiba-tiba muncul.
"Kalau kamu sayang sama uangmu atau emang nggak ada uang ya coba, to, kamu buka lemari Ibumu.
Pasti banyak uangnya 'kan. Nggak mungkin Ibukmu nggak punya uang. Wong, perhiasane aja lo dulu
banyak. Gitu aja, kok, repot. Masa cuma gara-gara uang mau mempermalukan keluarga. Ingat keluarga
kita ini keluarga terpandang," cerocos Budhe dengan sengit. Entah sejak kapan dia selalu mondar-
mandir ke kamarku. Padahal sebelumnya ke rumah ini saja jarang. Walaupun Ibu sakit-sakitan.
"Aku nggak tau Budhe, aku nggak pernah tanya-tanya." Memang sejak tahu bahwa aku anak pungut,
aku berusaha tahu diri. Dengan tidak menanyakan dan meminta sesuatu dari Ibu. Apalagi setelah
menikah jangankan untuk itu meminjam barang-barang Ibu sebisa mungkin aku hindari. Sudah cukup
bagiku, Ayah dan Ibu mendidik dan membesarkan aku.

"Hallah! Bohong banget. Paling sudah kamu minta kamu jual buat modalin Pras. Iya to?" Budhe Warti
masih terus mencecarku. Aku tak kuasa menahan tangis. Ya Allah ternyata Budhe selama ini berpikiran
buruk padaku.

"Mbak! Hati-hati kalau ngomong!" Mama mertuaku naik pitam, tidak terima anaknya dihina.

"Hallah ... nggak usah munafik ya Marni, kamu menikahkan anakmu dengan Agni biar harta warisan
Ridwan bisa kamu kuasai, kan?"

"Astagfirullah Mbak," pekik Bulek Marni.

"Ingat ya, aku dan anakku juga berhak atas harta Ridwan," cicit Budhe Warti mengingatkan kami.

"Sudah-sudah, Mbak! Apa-apaan sih. Sekarang ini kita lagi dalam masa berkabung. Saudari kita yang
meninggal baru saja dikubur Mbak. Dia saudara kandung kamu Mbak Warti. Tega-teganya Mbak malah
ngomongin soal warisan sekarang. Astagfirullah, astagfirullah!!" Mama mertuaku terduduk lemas di
dipan tempat aku terbaring sambil bercucuran air mata.

Kami bertiga terdiam untuk beberapa saat. Kemudian Budhe Warti keluar tanpa mengeluarkan sepatah
katapun.

"Kamu yang sabar ya Nak. Ini ujian buat kamu."

Aku memeluk erat wanita yang telah melahirkan suamiku. Entah mengapa hati ini merasa begitu sedih,
miris sekali. Harusnya kami di sini masih dalam masa berkabung. Mendoakan kepergian Ibu agar tenang
di alam sana. Tanah kuburan Ibu masih basah. Bahkan, belum dua puluh empat jam jasadnya berkalang
tanah, tapi warisannya sudah diributkan.

Aku menjadi bertanya-tanya, benarkah cucuran air mata yang keluar ketika melihat kematian adalah
ungkapan kesedihan? Ataukah jangan-jangan hanya sebuah luapan rasa kegembiraan? Setelah
penantian yang panjang untuk hal yang bernama warisan. Naudzubillah ....

(Bersambung)
Cerpen 6

Makan Malam yang Tertunda


Muh. Lutfi
Sejak kejadian itu, kau paling benci acara makan malam. Bahkan, kini kau lebih suka
menyendiri di kamar dibandingkan melakukan sesuatu yang melibatkan bapak atau ibumu. Kau
bukan lagi wanita ceria yang di bibirnya selalu tersungging senyum merekah. Bila suatu ketika
kau tersenyum, itu lantaran pikiranmu berjumpa dengan kenangan indah masa dulu. Kenangan
bersama kekasihmu sebelum bapakmu melarangmu bertemu dengannya.

Di awal kisah cintamu, keluargamu setuju. Bahkan beberapa kali kekasih dan bapakmu
menjalin keakraban, semisal sepotong waktu sore yang digunakan mereka bermain catur di
beranda. Dari jendela berkaca gelap, kau tersenyum senang melihat raut muka tegang mereka.
Tiga kali kauabadikan momen itu melalui bidikan kamera. Suatu saat akan kutunjukkan foto ini
kepadamu, Mas, gumammu. Kau terus mengintip mereka hingga ibumu yang membawa dua
cangkir teh hangat menghampiri. “Percayalah, kelak status mertua-menantu akan disandang
mereka,” katanya seraya menyuruhmu cepat-cepat membawa teh itu ke beranda.
Sore itu, hujan turun saat kau tiba di beranda. Sentuhannya pada atap rumah dari seng
sedikit menganggu pendengaran. “Diminum dulu tehnya!” katamu sedikit nyaring. Bapakmu
hanya melirik sebentar. Setelah itu ia kembali asik dengan permainan caturnya. Aroma teh yang
kauhidangkan tak mampu menggodanya.

“Apakah kau juga hanya akan meliriknya?” tanyamu pada kekasihmu. Tanya yang
bernada perintah itu dijawab dengan seduhan sekali oleh kekasihmu. “Enak. Komposisinya pas,”
jawabnya. Sanjungannya sedikit membuat mukamu merah tersipu-sipu. Kauyakin, kekasihmu
menduga kau lah yang membuat teh itu.

“Calon suami takut istri,” kata bapakmu meledek. Kau dan kekasihmu tersenyum.

“Skak...” Tiba-tiba suara kekasihmu membuat bapakmu terkejut. Ada kekecewaan di raut
mukanya meski sebentar. Ia kalah pada laki-laki yang kaucintai sejak dua tahun lalu

“Aku suka menantu yang pintar main catur. Apalagi menjadi inspirator bagi pemuda di
desanya,” bapakmu berujar. Sebuah tepukan ringan diberikan pada punggung kekasihmu. Kau
pun memberikan dua jempol untuk bapakmu dengan wajah berseri-seri dan menarik bibir ke
samping. Setelah itu ia beranjak pergi.

Kursi bapakmu yang awalnya berhadap-hadapan, kauubah arah menghadap halaman.


Kauhempaskan tubuhmu di atasnya. Hujan waktu itu sudah berhenti. Tersisa rintik-rintik yang
suaranya terdengar merdu. Namun air kiriman dari luapan parit di samping rumahmu masih terus
mengalir di halaman rumah. Pandanganmu tertuju pada aliran air itu; aliran air yang
menghanyutkan daun-daun yang jatuh karena terpaan angin dan hujan barusan.

“Bapak minta bantuanmu. Kalau berhasil, ia akan penuhi keinginanmu,” katamu pelan.

Kekasihmu mengubah arah kursinya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahmu hingga


berjarak kira-kira sejengkal. “Bantuan apa? Aku pasti akan membantunya meski tanpa imbalan,”
katanya sambil tersenyum.

Sapuan tanganmu kauberikan pada wajahnya. Kau cemberut. Dahimu berkerut. Itu
pertanda kau sedang kesal. “Kau harus minta sesuatu. Minta kita dikawinkan secepatnya bila
berhasil!” pintamu. Lalu kau tertawa dan menutup muka dengan kedua tangan kananmu yang
jarinya direnggangkan

Ada jeda beberapa detik sebelum suaranya meluncur lembut ke gendang telingamu. “Iya
iya,” katanya seraya membelai rambutmu bagian atas kepala berkali-kali. “Beliau butuh bantuan
apa, Sayang?” lanjutnya. Namun, sebelum kau menjawab, hanponenya berdering. Ia mohon izin
mengangkatnya. Saat menelpon, tubuhnya semakin menjauh darimu.

Lima menit berikutnya ia kembali duduk di kursi. Kau hendak melanjutkan obrolan tadi,
namun keburu pamit pulang. Katanya, ada pertemuan dengan pemuda. Wajahmu kembali
cemberut, namun tak dihiraukan olehnya.

Besoknya, kau bertemu di pos ronda. Pagi itu kau melanjutkan obrolan kemarin yang
belum selesai. Sebenarnya kau malas membahas bor keparat itu. Andai kemarin bapakmu tak
menyodorkan banyak pertanyaan setelah kekasihmu pulang, kau pasti tak akan mengajak
kekasihmu bertemu.

“Assalamu alaikum. Selamat pagi, Tuan Putri. Apa kabarmu pagi ini?” sapa kekasihmu
mengawali percakapan pagi itu. Ia terlambat dari waktu yang disepakati. Kau paham, sapaan
seperti itu adalah upayanya agar kau tak marah karena menunggu lama.

Kau tak menjawab salamnya, juga pertanyaannya. Kau hanya menggeser tubuhmu ke
kanan. Memberi isyarat agar laki-laki itu duduk di sebelah kirimu.

“Bapak mengajakmu makan malam. Kuharap kau mau,” katamu ketus. Pura-pura
mendongkol.

“Kapan?”

“Nanti malam di rumah.”

“Siap. Ada lagi?”

Kau menarik napas dalam-dalam. “Bapak menanyakan kesanggupanmu lagi.


Kesanggupan untuk membantunya.”

“Aku akan membantunya.”


Kau menoleh pada kekasihmu. Seutas senyum kau berikan padanya. “Sungguh?”

“Sungguh.”

“Kau tahu bapak minta bantuanmu dalam hal apa?”

Kekasihmu menggelengkan kepalanya dua kali.

“Bapak ingin kau perintahkan teman-temanmu berhenti menghalangi proses pengeboran


air tanah,” katamu. Kekasihmu terkejut. Matanya membesar. Mata itu menatapmu tajam. Kau
memilih menghindar.

“Tanah yang dibor itu milik Bapak, Mas. Apanya yang salah bila dilakukan pengeboran
di sana?” Kau menurunkankan tempo suaramu dan menatap ke depan.

“Lokasi pengeboran sangat dekat dengan mata air yang digunakan warga. Bila
pengeboran tetap dilakukan, kemungkin akan mematikan mata air itu.”

“Tapi itu hanya kemungkinan.”

“Kau bisa menghitungnya sendiri sudah berapa banyak sumber air di desa ini yang mati
karena di sekililingnya dilakukan pengeboran,” jawabnya tegas.

Diam-diam dalam hati kau mengikuti perintah kekasihmu; menghitung jumlah mata air
yang kini tak berair. Menurut hitunganmu ada empat sumber mata air; Sumber Kokap, Sumber
Sandian, Sumber Benteng, dan Sumber Kemmasan. Satu-satunya yang masih tersisa hanya
Sumber Raje. Sumber yang berjarak sekitar 17 meter dari lokasi pengeboran bapakmu.

“Jika kau tak bisa membujuk teman-temanmu, minimal jangan kau tampakkan pada
bapak bahwa kau ada di kelompok mereka!”

“Aku kasihan pada warga, lebih-lebih warga miskin.”

“Ya sudah, terserah. Aku yakin jika kau sungguh-sungguh mencintaiku, kau pasti
melakukan sesuatu yang sekiranya tak membuat kita berpisah,” katamu. Lalu kau pergi
meninggalkannya di pos ronda. Kekasihmu berusaha mencegahmu. Tapi kau tetap berlalu.
Sorenya, sebuah pesan masuk ke handponemu. Aku sangat mencintaimu Liya. Aku akan
perjuangkan hubungan kita. Tanpa kausadari air mata bahagia meluncur deras dari sudut
matamu. Di pikiranmu, terbayang kau dan kekasihmu bersanding di pelaminan.

Ingatanmu kembali mengembara. Kali ini kenangan makan malam yang muncul di
otakmu.

Malam itu, kekasihmu datang memenuhi undangan makan malam. Sebelum ia bertemu
orang tuamu, kau menghampirinya. “Terima kasih telah datang ke rumah kami,” katamu.
Kekasihmu tersenyum dan mencoba meraih tanganmu. Namun secepat kilat kau menaruhnya di
belakang. Dalam hati sesungguhnya kau ingin menyambut tangan itu dan berjalan bergandengan
tangan menuju ruang tamu, tempat bapakmu menunggu.

“Calon menantuku datang,” kata bapakmu. Ibumu yang awalnya ada di dapur bergabung
juga ke ruang tamu. Kekasihmu menyalami mereka. Kau hanya tersenyum melihatnya.

“Mau minum apa, Nak?” tanya ibumu.

“Aku tahu minuman kesukaannya, Bu,” katamu.

Semenit berikutnya kau datang membawa segelas air putih. “Jangan bercanda, Nak!” kata
ibumu pelan. Lalu ia pergi ke dapur dan datang lima menit berikutnya dengan tiga gelas teh
hangat.

“Kok hanya tiga gelas, Bu? Untukku mana?” tanyamu.

“Kamu minum air putih saja,” jawabnya sambil tersenyum. Kau pura-pura cemberut.
Cemberutmu kau sudahi saat bapakmu membahas pengeboran.

“Setelah pengeboran selesai, aku yakin Sumber Raje akan berhenti mengalir. Aku akan
menjual air bor pada warga sekitar. Tentu hal ini akan menambah pemasukan keluarga kami.”

Kekasihmu tak menjawab. Hatimu deg-degaan. Kau berharap jawaban kekasihmu selaras
dengan keinginan bapakmu. “Mereka tak punya jalan lain selain membeli air padaku. Mau
melakukan pengeboran, mereka tak punya lahan. Sebab semua tanah yang diramal mengalir air
di dalamnya, hanya di tanah milikku.”
“Dalam undang-undang sudah jelas, dalam radius 200 meter dari mata air tidak boleh
dilakukan pengeboran. Teman-teman berencana akan membawa kasus ini ke jalur hukum,”
kekasihmu berujar.

Tiba-tiba bapakmu memukul meja keras-keras. Teh hangat yang belum diminum tumpah
membasahi taplak meja. Kau dan ibumu gemetaran. Di dahimu keluar keringat dingin.

“Kau harus menghentikan mereka!” teriaknya.

“Justru aku yang menyuruh mereka menempuh jalur hukum bila bapak tetap ngotot
melanjutkan pengeboran.”

Bapakmu berdiri lalu melayangkan tangan kanannya ke pipi kekasihmu. Ia tak


menghindar apalagi melawan. Tamparan ayahmu dibiarkan memerahkan pipi kanannya. Ia lalu
pergi. Kau berusaha mengejar kekasihmu. Namun teriakan dan hardikan ayahmu membuat
langkahmu berhenti. Bahkan ia melarangmu bertemu dengan kekasihmu setelahnya.

Esoknya, ayahmu kembali marah-marah padamu. Lantaran alat-alat bor dijarah oleh
warga.
Cerpen 7

Maling di Siang Bolong


Ririn Rahmawati

Sekitar satu bulan ini, aku diresahkan dengan kelakuan maling yang semakin
bergerak cepat. Bagaimana tidak? Pepaya yang mulai maron, sudah dulu diembatnya.
Lagi-lagi ketika periksa pepaya yang mulai mengintip warna kuning, dan rencana akan
dipetik beberapa hari kemudian, tidak tahu kemana rimbanya. Dan itu terjadi berulang
kali. Bahkan sampai aku bercanda dengan suami, hayoo siapa yang duluan? Siapa
yang cepat, dia yang dapat. Pagi ketika menyiram masih ada, sore sudah tidak ada.

Sepertinya maling kates (pepaya) adalah hal yang sepele, harganya pun tidak
seberapa. Tetapi kalau sering dilakukan, namanya apa bukan bajing? Hewan yang
kehadirannya sebagai hama perusak terutama pada tanaman kelapa dan kebun buah.
Mungkin lantaran dianggap binatang hama dan perusak ini kemudian muncul istilah
“bajingan”. Hmmm serem! Na’udzubillah semoga kita semua dijauhkan dengan sifat
seperti itu.

Kates kaliforniaku manis sekali. Daging buahnya berwarna merah dan tidak
cepat membusuk. Suamiku menanam beberapa pohon kates di sela-sela kebun cabe
jamuku. Setiap pagi atau malam rutin disirami. Pohon katesku tidak begitu tinggi,
sehingga tidak seberapa sulit untuk memetiknya. Aku pernah menjual kates sendiri
hanya sekali. Karena harganya terlalu murah ketika di beli tengkulak, berbanding
terbalik dengan kondisi buahnya yang besar-besar dan manis, hanya dihargai empat
ribu lima ratus perbiji. Kemudian tengkulaknya bermain curang, mengembalikan kates
yang bukan katesku, sebagai sampel bukti bahwa daging buah katesku tidak berwarna
merah. Sejak merasakan kekecewaan itu, aku tidak lagi menjualnya. Hanya dikonsumsi
keluarga dan aku bagikan kepada tetangga serta teman. Menurutku, sudah merata
kubagikan.

Suatu siang, tidak sengaja suamiku mendapati gelagat aneh dari seseorang
yang berada di kebun keluarga. Dan terbukti, ketika mengecek kates, sisa-sisa jejak
getahnya masih basah. Dua buah kates telah raib. Tidak hanya kates, dia membawa
mangga di tangannya. Karena ketahuan, mangga itu diletakkan. Kemudian segera
menghilang menjahui arah. Ada dua nama yang sudah kukantongi. Satu nama yang
dicurigai terindikasi secara langsung, nama kedua dari penuturan tetangga. Selama ini
aku diam saja, tetapi kok kelakukan maling ini semakin merajalela? Apa iya, yang
punya kebun kates tidak diberi kesempatan untuk memakannya?. Setiap kali mau
diambil sudah tidak ada. Ketika terlupa ketinggalan saat memetik pun, juga diambilnya.

Meskipun hanya kates, tetapi kalau adabnya sudah salah, tetap saja haram
mengambil yang bukan miliknya. Dan itu akan mendarahdaging. Apa yang ia makan
ataupun misalnya dijual, uang hasil mencuri, meskipun tidak seberapa harganya tetap
saja haram. Bagaimana kalau dimakan oleh anak cucunya? Barangkali melalui rejeki
yang tidak halal seperti ini, suatu saat nanti karakter mencuri itu akan menurun kepada
anak cucunya. Maka tidak heran ketika menemui seseorang yang mencuri, dilihat
nasabnya juga seorang pencuri. Na’udzubillah!

Bikin geregetan dengan ulah maling yang satu ini. Mungkin sudah menjadi
kebiasaannya. Selalu mengawasi kepunyaan tetangga. Apalagi keluargaku tidak setiap
waktu menunggui kebun yang letaknya beberapa meter dari rumah dan terhalang oleh
mushola. Ditambah lagi pekerjaan keluargaku, mulai pagi hingga siang mengajar,
menjadi kesempatan emas untuk mengambilnya.

Maling oh maling! Kenapa kau tak sadar juga? Ada CCTV Allah yang
merekammu. Kadang kuberpikir, apakah mendiamkan itu berarti mengijinkan untuk
diambil? Lain rasanya ketika memberi dengan ketika orang mengambil seenak sendiri
tanpa ijin. Karena masih terbersit tidak ikhlas di dalam hati. Apakah misalnya alasan
kemiskinan bisa mengalahkan hati nurani, sehingga menghalalkan mencuri? Ketika
pagi-pagi ke pasar, kudapati yang bersangkutan menjual kates. Entah apa yang ada
dibenaknya. Mungkin sampai pohon katesku tidak berbuah lagi, dia akan berhenti
mencuri. Apakah kelakuan seperti ini, patut dibiarkan? Hanya karena takut menjauhkan
hubungan baik dengan tetangga? Apakah perlu dijebak untuk membuktikan secara
langsung? Ah… Aku tidak tahu harus bagaimana. Ketika dimaklumi malah
membuatnya semakin bergerak bebas. Aku seperti orang bodoh saja.

Cerpen 8

TERNYATA, YANG MELEMPAR RUMAHKU ADALAH JIN


Moh. Yasin, S.Pd.

Allah SWT menciptakan makhluknya di permukaan bumi ini tidak hanya yang dapat
dilihat oleh mata. Akan tetapi, Allah SWT juga menciptakan makhluk yang tidak terlihat oleh
mata semisal jin.
Jin adalah makhluk halus atau gaib yang hanya bisa dilihat oleh orang – orang tertentu
saja. Artinya tidak semua manusia dapat melihat atau bahkan berkomunikasi dengan makhluk
yang satu ini.
Tulisan ini adalah sebuah kisah nyata yang menimpa pada kehidupan keluargaku.
Pada tahun 2006 sekitar pukul 17.20 WIB, waktu aku mau berangkat ke masjid untuk salat
maghrib berjamah, ketika itu aku masih di teras depan rumah.
Tiba – tiba, “ Sssssstttt bruuukk !” sebuah lemparan batu yang secara tiba – tiba
melintas pas di depan wajahku yang kemudian mengenai tiang teras rumah.
Aku terkejut, “ buset “ gumamku dalam hati.
Tidak hanya lemparan batu yang hampir mengenai wajahku tapi juga genting atap
rumahku tidak luput juga dari lemparan batu.
Sampai – sampai isteriku dengan histeris berteriak sambil berlari keluar rumah.
“ Abi....abi.... ada yang melempar rumah kita “.
“ Ya, barusan juga aku ada yang melempar hampir mengenai wajah “.
Kemudian aku hanya bisa tertegun dengan isteriku di teras depan rumah.
“ Oh, ya .... aku harus ke masjid dulu, kamu sana masuk ke dalam rumah tidak ada apa
– apa “. Aku berusaha menenangkan isteriku.
Setelah selesai salat maghrib sesampainya di rumah aku dan isteriku tidak habis pikir
siapa yang telah melempar aku dan rumahku.

********

Keesokan harinya pun masih sama seperti kemarin masih ada suara – suara lemparan
batu di atap rumahku. Dan waktunya sama ketika sudah hampir azan maghrib, kali ini aku
perhatikan arah datangnya batu tersebut.
Hari semakin gelap lemparan batu terus berlanjut. Setelah aku perhatikan lemparan
batu berasal dari arah barat rumahku. Tapi disebelah barat rumahku adalah lahan kosong yang
ditumbuhi pohon sukun yang cukup besar dan pohon pisang cukup rimbun.
Setelah aku mengetahui arah datangnya batu, aku langsung bergegas dengan sebilah
bambu di tangan. Aku ajak anak – anak yang nongkrong di pinggir jalan.
Sambil tergesa – gesa.
“ Ayo, ikut aku !” aku mengajak anak – anak yang lagi nongkrong di jalan.
“ Ada apa, mas !”
“ Rumahku ada yang lempar, arahnya dari barat rumah “.
Dengan membawa pemukul seadanya kami pun bergegas menuju lahan kosong yang
rimbun di sebelah barat rumah.
Dengan langkah hati – hati seperti sedang mengintai mangsa. Aku dan teman – teman
periksa satu per satu setiap rimbunan semak – semak dan pepohonan. Aku tidak menemukan
siapa – siapa.
Dan anehnya semakin dicari, semakin gencar lemparan batu yang mengarah ke
rumahku. Aku dan teman – teman tidak habis pikir, siapa kira – kira yang telah melempar
rumahku.
Di saat kami sedang duduk di halaman rumah, aku dikejutkan oleh sebuah lemparan
batu.
“ Buuukk !” batu itu jatuh di halaman pas diantara teman – teman yang sedang duduk.
“ Eh, Dia melempar lagi !”
“ Hei, kalau benci sama orangnya jangan lempar rumah, keluar !” kataku sedikit
menggertak.
Tanpa sengaja aku melihat ke atas pohon sukun yang rimbun, dan ada lemparan lagi
yang mana batu berasal dari atas pohon sukun.
Akhirnya aku dan teman – teman bergerak kembali, kali ini fokus pencarian pada
pepohonan bagian atas siapa tahu yang melempar itu sembunyi di atas pepohonan. Di cari
dengan seksama arah pepohonan bagian atas tidak berhasil juga, akhirnya kami bubar.
Aku dan isteriku masih timbul tanda tanya siapa gerangan yang telah usil melempar
rumahku dengan batu.

********

Pada hari ketiga terjadi lemparan lagi, kali ini dari arah belakang rumah mengenai
bagian dapur.
Di bagian belakang rumahku adalah Lapangan Tenis Kemenag yang langsung
tersambung dengan Madrasah Aliyah Negeri ( MAN ) Sumenep.
Setelah selesai salat maghrib, aku langsung menuju Lapangan Tenis Kemenag lewat
pintu masuk MAN. Aku perhatikan disekitar lapangan itu tidak ada orang sama sekali.
Dengan penuh tanda tanya aku pulang ke rumah. Aku bilang ke isteriku bahwa
dibelakang tidak ada siapa – siapa.
Suara – suara lemparan batu masih terus kudengar. Kemudian aku berfikir, aku harus
mengumpulkan batu – batu yang di buat untuk melempar.
Di kumpulkanlah batu – batu yang di buat melempar tadi. Setelah ku perhatikan batu
yang di buat melempar seperti bekas reruntuhan rumah kuno, ku taruh batu itu pada sebuah
plastik.
Kemudian aku berfikir lagi.
“ Jangan – jangan yang melempar rumah ku, jin !”
“ Ah, kamu ada – ada saja “, kata isteriku sambil ketakutan.
Keganjilan – keganjilan dari pelemparan batu itu mulai dari hari pertama sampai hari
ketiga terus berkecamuk di benakku.
Lemparan batu tidak pernah mengenai orang, hanya sedikit tipis atau hampir kena.
Dan meskipun atap rumah ku dilempar dengan bertubi – tubi, tapi anehnya tidak sedikit pun
genteng rumahku pecah atau bocor pada saat hujan. Karena kejadian ini terjadi pada musim
penghujan.
Sehingga aku semakin yakin bahwa pelemparan ini dilakukan oleh jin.

********

Keyakinanku itu semakin nyata, setelah sore itu anak ku yang masih berusia dua
setengah tahun sedang bermain bola dihalaman rumah. Tiba – tiba dengan perasaan ketakutan
berlari menghampiriku.
“ Abi .... Abi ..... aku melihat orang berambut panjang di sebelah barat rumah “
sambil suaranya terbata – bata.
Aku pun keluar mengikuti anakku.
“ Disini tadi aku melihat orang itu “ anakku sambil menunjuk ke arah sebelah barat
rumah.
“ Mana ?”
“ Tadi, disini ?”
“ Dua orang perempuan, berambut panjang “. Sambung anakku lagi.
Setelah kejadian itu, keyakinanku bertambah kuat bahwa yang melempar rumahku
adalah jin.
Keesokan harinya, aku sepakat dengan isteriku untuk membawa batu – batu yang
sudah aku kumpulkan ke orang yang paham akan dunia jin.
Kemudian aku teringat bahwa aku punya guru waktu Madrasah Dinyah dulu yang
bisa berkomunikasi dengan jin.
Di bawalah batu – batu itu ke kediaman KH Asy’ari, itu nama guruku. Setelah
sampai di kediaman beliau ku tunjukkan batu – batu itu, sambil ku ceritakan kronologis
kejadiannya.
Kemudian pak kyai masuk kedalam kamar pribadinya. Setelah keluar kemudian
menjelaskan kepadaku bahwa yang melempar rumahku dengan batu adalah jin.
Setelah itu aku diberi amalan yang harus ku baca setiap malanya, selain itu juga aku
di beri satu botol kecil minyak wangi yang harus ku taruh di atas pintu masuk rumah.
Setelah pulang dari rumah pak kyai, aku berharap kejadian ini akan segera berlalu.
Ku pasang botol kecil di atas pintu masuk rumah sesuai petunjuk beliau dan malamnya ku
amalkan, amalan yang di kasih beliau.
Meskipun pada malam itu masih ada suara lemparan – lemparan batu, tapi aku
yakin pada akhirnya akan hilang dengan sendirinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya tidak ada lagi lemparan – lemparan
batu ke atap rumahku. Alhamdulillah kehidupan keluargaku tidak lagi di hingggapi rasa
ketakutan.
Jin adalah makhluk halus yang memang benar adanya. Dalam kehidupannya, jin
akan berinteraksi sesama jinnya. Sama seperti kita manusia yang akan saling bersilaturrahmi
dengan sesamanya.
Akan tetapi kita tidak boleh takut pada jin dan sebangsanya, karena jin dan
sebangsanya adalah juga makhluk ciptaan Allah SWT. Tapi jangan menyombongkan diri karena
kesombongan akan menghancurkan kita.

********

Cerpen 8

TERNYATA, YANG MELEMPAR RUMAHKU ADALAH JIN


Moh. Yasin, S.Pd.

Allah SWT menciptakan makhluknya di permukaan bumi ini tidak hanya yang dapat
dilihat oleh mata. Akan tetapi, Allah SWT juga menciptakan makhluk yang tidak terlihat oleh
mata semisal jin.
Jin adalah makhluk halus atau gaib yang hanya bisa dilihat oleh orang – orang tertentu
saja. Artinya tidak semua manusia dapat melihat atau bahkan berkomunikasi dengan makhluk
yang satu ini.
Tulisan ini adalah sebuah kisah nyata yang menimpa pada kehidupan keluargaku.
Pada tahun 2006 sekitar pukul 17.20 WIB, waktu aku mau berangkat ke masjid untuk salat
maghrib berjamah, ketika itu aku masih di teras depan rumah.
Tiba – tiba, “ Sssssstttt bruuukk !” sebuah lemparan batu yang secara tiba – tiba
melintas pas di depan wajahku yang kemudian mengenai tiang teras rumah.
Aku terkejut, “ buset “ gumamku dalam hati.
Tidak hanya lemparan batu yang hampir mengenai wajahku tapi juga genting atap
rumahku tidak luput juga dari lemparan batu.
Sampai – sampai isteriku dengan histeris berteriak sambil berlari keluar rumah.
“ Abi....abi.... ada yang melempar rumah kita “.
“ Ya, barusan juga aku ada yang melempar hampir mengenai wajah “.
Kemudian aku hanya bisa tertegun dengan isteriku di teras depan rumah.
“ Oh, ya .... aku harus ke masjid dulu, kamu sana masuk ke dalam rumah tidak ada apa
– apa “. Aku berusaha menenangkan isteriku.
Setelah selesai salat maghrib sesampainya di rumah aku dan isteriku tidak habis pikir
siapa yang telah melempar aku dan rumahku.

********
Keesokan harinya pun masih sama seperti kemarin masih ada suara – suara lemparan
batu di atap rumahku. Dan waktunya sama ketika sudah hampir azan maghrib, kali ini aku
perhatikan arah datangnya batu tersebut.
Hari semakin gelap lemparan batu terus berlanjut. Setelah aku perhatikan lemparan
batu berasal dari arah barat rumahku. Tapi disebelah barat rumahku adalah lahan kosong yang
ditumbuhi pohon sukun yang cukup besar dan pohon pisang cukup rimbun.
Setelah aku mengetahui arah datangnya batu, aku langsung bergegas dengan sebilah
bambu di tangan. Aku ajak anak – anak yang nongkrong di pinggir jalan.
Sambil tergesa – gesa.
“ Ayo, ikut aku !” aku mengajak anak – anak yang lagi nongkrong di jalan.
“ Ada apa, mas !”
“ Rumahku ada yang lempar, arahnya dari barat rumah “.
Dengan membawa pemukul seadanya kami pun bergegas menuju lahan kosong yang
rimbun di sebelah barat rumah.
Dengan langkah hati – hati seperti sedang mengintai mangsa. Aku dan teman – teman
periksa satu per satu setiap rimbunan semak – semak dan pepohonan. Aku tidak menemukan
siapa – siapa.
Dan anehnya semakin dicari, semakin gencar lemparan batu yang mengarah ke
rumahku. Aku dan teman – teman tidak habis pikir, siapa kira – kira yang telah melempar
rumahku.
Di saat kami sedang duduk di halaman rumah, aku dikejutkan oleh sebuah lemparan
batu.
“ Buuukk !” batu itu jatuh di halaman pas diantara teman – teman yang sedang duduk.
“ Eh, Dia melempar lagi !”
“ Hei, kalau benci sama orangnya jangan lempar rumah, keluar !” kataku sedikit
menggertak.
Tanpa sengaja aku melihat ke atas pohon sukun yang rimbun, dan ada lemparan lagi
yang mana batu berasal dari atas pohon sukun.
Akhirnya aku dan teman – teman bergerak kembali, kali ini fokus pencarian pada
pepohonan bagian atas siapa tahu yang melempar itu sembunyi di atas pepohonan. Di cari
dengan seksama arah pepohonan bagian atas tidak berhasil juga, akhirnya kami bubar.
Aku dan isteriku masih timbul tanda tanya siapa gerangan yang telah usil melempar
rumahku dengan batu.

********

Pada hari ketiga terjadi lemparan lagi, kali ini dari arah belakang rumah mengenai
bagian dapur.
Di bagian belakang rumahku adalah Lapangan Tenis Kemenag yang langsung
tersambung dengan Madrasah Aliyah Negeri ( MAN ) Sumenep.
Setelah selesai salat maghrib, aku langsung menuju Lapangan Tenis Kemenag lewat
pintu masuk MAN. Aku perhatikan disekitar lapangan itu tidak ada orang sama sekali.
Dengan penuh tanda tanya aku pulang ke rumah. Aku bilang ke isteriku bahwa
dibelakang tidak ada siapa – siapa.
Suara – suara lemparan batu masih terus kudengar. Kemudian aku berfikir, aku harus
mengumpulkan batu – batu yang di buat untuk melempar.
Di kumpulkanlah batu – batu yang di buat melempar tadi. Setelah ku perhatikan batu
yang di buat melempar seperti bekas reruntuhan rumah kuno, ku taruh batu itu pada sebuah
plastik.
Kemudian aku berfikir lagi.
“ Jangan – jangan yang melempar rumah ku, jin !”
“ Ah, kamu ada – ada saja “, kata isteriku sambil ketakutan.
Keganjilan – keganjilan dari pelemparan batu itu mulai dari hari pertama sampai hari
ketiga terus berkecamuk di benakku.
Lemparan batu tidak pernah mengenai orang, hanya sedikit tipis atau hampir kena.
Dan meskipun atap rumah ku dilempar dengan bertubi – tubi, tapi anehnya tidak sedikit pun
genteng rumahku pecah atau bocor pada saat hujan. Karena kejadian ini terjadi pada musim
penghujan.
Sehingga aku semakin yakin bahwa pelemparan ini dilakukan oleh jin.

********

Keyakinanku itu semakin nyata, setelah sore itu anak ku yang masih berusia dua
setengah tahun sedang bermain bola dihalaman rumah. Tiba – tiba dengan perasaan ketakutan
berlari menghampiriku.
“ Abi .... Abi ..... aku melihat orang berambut panjang di sebelah barat rumah “
sambil suaranya terbata – bata.
Aku pun keluar mengikuti anakku.
“ Disini tadi aku melihat orang itu “ anakku sambil menunjuk ke arah sebelah barat
rumah.
“ Mana ?”
“ Tadi, disini ?”
“ Dua orang perempuan, berambut panjang “. Sambung anakku lagi.
Setelah kejadian itu, keyakinanku bertambah kuat bahwa yang melempar rumahku
adalah jin.
Keesokan harinya, aku sepakat dengan isteriku untuk membawa batu – batu yang
sudah aku kumpulkan ke orang yang paham akan dunia jin.
Kemudian aku teringat bahwa aku punya guru waktu Madrasah Dinyah dulu yang
bisa berkomunikasi dengan jin.
Di bawalah batu – batu itu ke kediaman KH Asy’ari, itu nama guruku. Setelah
sampai di kediaman beliau ku tunjukkan batu – batu itu, sambil ku ceritakan kronologis
kejadiannya.
Kemudian pak kyai masuk kedalam kamar pribadinya. Setelah keluar kemudian
menjelaskan kepadaku bahwa yang melempar rumahku dengan batu adalah jin.
Setelah itu aku diberi amalan yang harus ku baca setiap malanya, selain itu juga aku
di beri satu botol kecil minyak wangi yang harus ku taruh di atas pintu masuk rumah.
Setelah pulang dari rumah pak kyai, aku berharap kejadian ini akan segera berlalu.
Ku pasang botol kecil di atas pintu masuk rumah sesuai petunjuk beliau dan malamnya ku
amalkan, amalan yang di kasih beliau.
Meskipun pada malam itu masih ada suara lemparan – lemparan batu, tapi aku
yakin pada akhirnya akan hilang dengan sendirinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya tidak ada lagi lemparan – lemparan
batu ke atap rumahku. Alhamdulillah kehidupan keluargaku tidak lagi di hingggapi rasa
ketakutan.
Jin adalah makhluk halus yang memang benar adanya. Dalam kehidupannya, jin
akan berinteraksi sesama jinnya. Sama seperti kita manusia yang akan saling bersilaturrahmi
dengan sesamanya.
Akan tetapi kita tidak boleh takut pada jin dan sebangsanya, karena jin dan
sebangsanya adalah juga makhluk ciptaan Allah SWT. Tapi jangan menyombongkan diri karena
kesombongan akan menghancurkan kita.

********
Cerpen 9

Work From Home Tidak Selalu Berdaster


Karya Ngumpriyatun

Masa pandemi Covid-19 masih hangat-hangatnya menjadi perbincangan semua warga , baik di
dunia nyata maupun dunia maya.

Pagi ini aku sudah nampak rapi sebagaimana akan berangkat melaksanakan keawjiban ke
sekolah, berbaju batik dan bersepatu,sedangkan suamiku masih benah- banah di halaman
rumah,sambil memandangiku tiba-tiba menghampiriku dan bertanya,“Mau kemana Mik kok
sudah rapi”, tanya suamiku. “Nggak kemana-mana , hanya nanti agak siang mau ke kantor setor
berkas”,jawabku. Hari itu aku berpakaian rapi tidak seperti biasa memakai daster , karena masih
dalam suasana bekerja dari rumah atau Work From Home .

Akupun melanjutkan tugasku di depan laptop yaitu untuk memotivasi ,monitoring para guru
yang sedang melaksanakan pembelajaran daring melalui media Whatsapp Group dan mengganti
guru kelas 2 dalam pembelajaran daring , sampai menunggu saatnya pukul 09.30 WIB.

Pukul 09.30 adalah agendaku untuk mengikuti Kegiatan "Seri Webinar Inspirasi Bercerita " Via
Zoom Meeting dengan tema "Kepemimpinan Kepala Sekolah Di Masa Krisis covit -19 :
Tantangan, Kebijakan & Peluang" yang diadakan Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan
Kepala Sekolah (LPPKS).

Informasi kegiatan Webinar ini aku dapat dari Fanpage FB LPPKSPS Kemdikbud 3 hari
sebelum pelaksanaan
Awalnya aku nggak tau seperti apa Zoom Meeting itu, hanya sekilas liat di status WA ponakan
yang mengajar di MIN Malang dalam pembelajaran daringnya menggunakan aplikasi tersebut,
bahwa aplikasi itu adalah video teleconference.

Setelah aku baca informasi itu akupun langsung trial and error untuk browsing dan instal
aplikasi tersebut dan langsung bergabung melalui ID yang sudah ada disediakan

Kegiatan Webinar ini menggunakan aplikasi Zoom Meeting yang tentunya melalui
teleconference tentunnya bertatap muka dengan semua peserta KS/PS se-Indonesia yang tercover
dalam kegiatan ini.

Dan yang lebih membuat greget adalah bertatap muka dengan para nara sumber Nasional seperti
Ibu Direktur Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan
(P3GTK) yaitu Dra. Santi Ambarukmi ,M.Ed dan Ketua Asosiasi Kepala Sekolah imdonesia
(AKSI) DR Asep Tapip Yani,M.Pd dan narasumber nara sumber lainnya.

Pukul 09.00 WIB aku sudah mengaktifkan Zoom Meeting , sambil mengotak atik pengaturan
pada aplikasi Zoom Meeting, baik audio, video volume ,dll.

Sekitar sepuluh menit sebelum dimulai para peserta Webinar sudah mulai bermunculan. Mereka
tampak rapi sebagaima bekerja di kantor . Akupun sejak pukul 08.00 WIB sudah rapi.

Di sela sela penantian permulaan acara , ada teman video call ,” Hello, Assalamualaikum , lagi
dimana ini kok sudah rapi?’’. “Ini di rumah saja Work From Home”, Jawabku.

“Emangnya WFH harus pakai serapi itu?”, tanyanya lagi. “Iya dunk sesekali , sekalian nanti aku
mau ke kantor setor berkas,maaf sudah dulu ya sampai ketemu nanti , aku ada acara webinar,
assalamulaikum”.Sahutku memotong obrolan

Oleh karena bekerja dari rumah atau Work From Home bisa juga rapi sebagaimana pergi ke
kantor, apa kata dunia jika video teleconference pakai daster. Jadi Work From Home Tidak
Selalu Berdaster.
Cerpen 10

ORANG KETIGA
Yuliana Hamisatul Laili

“Echaaa…”
Aku mendengar suara Farel berteriak di depan pagar rumah. Aku yang bertengger di dahan
pohon jambu di halaman samping terkejut alang kepalang. Mau apa bocah itu datang kesini?
Bukankah sudah kukatakan tadi di telepon kalau aku tidak akan kuliah sore ini. Dasar bocah
brilliant, rajin sekali. Pasti dia mau ngajak aku untuk kuliah. Aku meloncat turun dari pohon
jambu. Kulihat Farel tersenyum melihatku menghampirinya.
“Rel…mau apa ke sini?”
“Husstt…sinis amat nanyaknya…” Farel tersenyum singkat mendengar pertanyaanku. Cowok
yang terkenal ganteng dan keren ini menatapku sejenak.
“kuliah yuk…” Katanya lagi.
“Nggakkk…!!!” Aku melotot mendengar kata-katanya. Makhluk dari planet mana sih ini orang.
Apa tidak mendengar kalimat-kalimatku di telepon tadi? Hari ini aku tidak mau kuliah. Kenapa
masih datang menjemputku? Seperti biasa, Farel menatapku dengan tatapan teduhnya, entah
kenapa aku tak berani menolak ajakannya, walaupun sebenarnya aku sedang males untuk kuliah.
“ Oke…tunggu sebentar ya, aku mandi dulu” Aku langsung masuk ke dalam rumah dan
bergegas.
Aku berangkat kuliah bersama Farel.
Ruang kuliah sudah ramai. Aku berpisah dari Farel tadi di parkiran. Seperti biasa aku selalu
bergabung dengan teman-teman. Berpindah-pindah dari gerombolan mahasiswa-mahsiswa yang
sedang nongkrong untuk sekedar menyapa mereka, sebelum masuk kelas. Kusapu pandanganku
mengitari seluruh ruangan, mencari kursi yang kosong. Aku tertegun sejenak, aku melihat farel
melambaikan tangan ke arahku sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Segera kuhampiri
Farel dan duduk di sebelahnya.
“Darimana saja kamu, Cha?” Farel berbisik di sampingku. Aku menoleh sedikit.
“ Nongkrong” jawabku sambil nyengir. Farel memandangku dingin. Aku tahu, ini jawaban yang
paling tidak dia sukai. Nongkrong. Aneh…!!! Kok ada anak muda sekeren dan setampan dia gak
suka nongkrong. Bergabung dengan mahasiswa yang lainpun sangat jarang. Namun, sosoknya
yang cenderung introvert itu justru yang jadi rebutan cewek-cewek kampus. Sudah sering kuliat,
mahasiswi-mahasiswi yang mencoba sok akrab dan kadang genit yang menggoda Farel, tapi
sosok di sampingku ini sepertinya tidak menanggapi sama sekali.
Kualihkan pandanganku ke depan, Pak Rahmat sudah mulai membuka mata kuliah sore ini.
Masih dengan rasa malas, aku menyimak penjelasan-penjelasan beliau. Sebenarnya dosen ini
adalah dosen yang sangat profesional. Materi-materi yang disampaikan selalu bisa dicerna
dengan baik oleh mahasiswa. Namun belakangan ini, aku kurang begitu semangat mengikuti
mata kuliahnya. Karena setiap mata kuliah Pak Rahmat, kelasku pasti akan ramai. Kalau tidak
aku yang ditunjuk untuk memberikan pendapat tentang materi-materinya, pasti aku yang
dijadikan contoh untuk materinya. Bisa dibayangkan, anak-anak selalu iseng menggodaku. Dan
hari ini aku sedang tidak ingin mendengar godaan teman-temanku. Syukurlah, mata kuliah pak
Rahmat bisa kulalui dengan baik. Aku bersyukur hari ini gak jadi bolos.
Aku sejenak istirahat di kafe kampus. Sendiri kunikmati jus jeruk kesukaanku. Hari ini ada mata
kuliah sampai malam. Sambil menunggu mata kuliah selanjutnya, aku buka diktat kuliahku,
untuk sekedar merefresh otak. Halaman demi halaman kubuka, tiba-tiba aku merasa ada
seseorang yang duduk di sampingku.
“Nongkrong kok gak ngajak-ngajak” Farel membuka pembicaraan sambil menyeduh kopi
hitamnya. Aku tertegun
“Tumben…biasanya kamu gak suka nongkrong, Rel”.
“ Siapa bilang?” Jawabnya enteng.
“ Hmm…, sudah belajar belum? Nanti mata kuliah Pak Rokan lhoo…” Tanyaku.
“ Belum…kamu sedang belajar ya? Bacain yang keras dong, biar aku ikut belajar juga”. Aku
melotot mendengar permintaannya. Aku tau dia hanya ingin menggangguku saja. Makhluk yang
bernama Farel ini, sekampuspun tau, meskipun tanpa belajar dia pasti mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari dosen. Dan sampai saat ini, aku masih belum bisa melangkahi
kemampuannya.
Dengan santai Farel mengaduk-aduk minumannya. Dia tidak memperhatikan sekelilingnya,
padahal kulihat mahasiswi di meja-meja sebelah mencuri-curi pandang sekedar ingin menikmati
wajah kerennya.
“ Cha…anterin aku beli kado ya…”
“ Haaa…untuk siapa?”
“Temenku mau ultah, Cha, aku gak tau harus beli kado apa”
“Kapan?”
“ Nanti, sepulang kuliah, kita kan bareng…bisa?” tanyanya kembali.
“Oke boss…asal ada makannya…” Kataku sambil nyengir.
“ Huhh…dasarrr…” Jawabnya tersenyum sambil melihat jam tangannya.
“ Cha…sudah waktunya Pak Rokan, yuk masuk dulu” Farel membereskan diktat kuliahku yang
berserakan di meja, diambilnya semua dan segera menarik tanganku menuju ruang kelas.

*******
Mobil Farel melaju di atas aspal yang licin. Hujan baru saja menyiram bumi. Bau tanah basah
menyeruak di rongga paru-paruku. Aku suka sekali aroma ini. Dengan santai Farel
mengemudikan mobilnya. Seperti biasa, dia banyak diam tanpa kata-kata. Itu adalah ciri
khasnya. Farel Pramana Putra. Mahasiswa jurusan teknik informatika ini terkenal sebagai
mahasiswa yang brilliant dan ganteng. Dengan kulit putihnya yang mirip cowok korea, dan
postur tubuh 180 cm dengan berat badan 70 kg merupakan makhluk ideal dambaan setiap cewek.
Ditambah dengan mobil sport yang menemaninya kemana-mana, pasti tak seorangpun cewek
yang akan menolak ajakannya. Namun sayang, Farel terlalu pendiam untuk sekedar ber “say
hello” dengan teman-teman kampus. Wajahnya yang tampan, sangat dingin. Hingga cewek-
cewek di kampus hanya berani memandanginya dari jauh.
Dan aku. Namaku adalah Maorisya Attilla Putri. Bapak dan ibuku sama-sama bekerja sebagai
pegawai pemerintah biasa. Sudah beberapa tahun ini Bapak pensiun, namun ibuku masih aktif
bekerja sebagai karyawati di sebuah instansi pemerintah di kotaku. Wajahku biasa saja, dengan
kulit kuning langsat bermata bulat dan rambutku yang panjang sebahu tidak ada yang istimewah.
Namun, aku tergolong anak yang periang dan pandai bergaul. Aku suka sekali membantu teman-
teman dalam hal apapun. Mereka merasa lebih senang meminta pertolonganku, karena mereka
tau aku tidak bisa berkata “tidak” untuk menolong orang-orang di sekitar. Aku anak bungsu dari
empat bersaudara. Ketiga kakakku semua laki-laki dan sudah berkeluarga. Itulah sebabnya aku
cenderung tomboy. Mungkin ini pengaruh dari kakak-kakakku. Kebanyakan teman-temanku
berjenis kelamin cowok. Entah kenapa, aku merasa enjoy berada di tegah-tengah mereka.
Meskipun begitu, aku juga punya dua orang sahabat cewek sejak masih sekolah dasar. Namun,
kuliah kami berbeda. Dua teman cewekku itu, Nanda dan Fatmi kuliah di Universitas yang
berbeda. Ketika ada waktu luang aku selalu berkumpul bersama mereka. Sahabat yang sudah aku
kenal sejak kecil, yang sudah kuanggap saudara bagiku.
“Cha, kira-kira mau beli kado apa ya?” Farel bertanya memecah kesunyian, membuyarkan
lamunanku.
“ Temenmu yang mau ultah cewek apa cowok, Rel?” tanyaku.
“ Cewek” jawabnya pendek. Spontan aku menoleh. Terbelalak.
“ Kamu punya temen cewek, Rel?” Tanyaku tak percaya. Aku menyembunyikan senyumku.
Geli. Farel diam, tak menjawab pertanyaanku. Aku merasa bersalah, kucoba mengembalikan
arah pembicaraan.
“ Kalo emang cewek, kamu bisa kasih hadiah tas, jaket, kaos, boneka, atau bunga, Rel..” kataku
memberi beberapa pilihan. Farel masih terdiam. Kurasa dia berpikir.
“ kamu bisa memberi kado bunga, Rel…seberapa dekat sih cewek ini denganmu?” Aku kembali
bertanya. Ada rasa yang berbeda. Namun, aku tak berani melanjutkannya.
“ Lumayan dekat, tapi aku gak mau memberi kado bunga, Cha…”.
“ Kenapa?”
“ Gak pa-pa…kado yang lain saja, apa ya?” tanyanya kembali.
“ Kalo boneka, Rel?” Farel tersenyum. Matanya terlihat berbinar.
“Oke, sip…Cha…ide-idemu ternyata boleh juga, kita langsung ke toko boneka ya…” Farel
mempercepat laju mobilnya. Aku tertegun, siapa gerangan temannya yang akan ulang tahun,
karena selama aku berteman dengannya, aku belum pernah melihatnya berjalan dengan cewek.
Hanya aku yang sering menemaninya di kampus. Teman-teman kampuspun sudah tahu
persahabatan kami.
Keluar dari toko boneka, aku memegang tas besar berisi kado untuk teman Farel. Farel
memintaku mencari boneka yang cocok untuk temannya. Aku memilihkan boneka Teddy Bear
berwarna pink yang lucu. Ternyata Farel juga suka. Farel menggandengku menuju parkiran. Aku
sedikit jengah, setiap orang yang berpapasan selalu memandang kami dengan takjub. Mungkin
mereka mengira kami adalah pasangan muda-mudi yang sedang pacaran. Sebenarnya aku merasa
senang, namun disisi lain, aku menyadari kalau hubungan kami hanya sebatas sahabat saja.
“Cha…kok bengong? Jadi makan nggak?” Farel bertanya sambil melepaskan tangannya dari
lenganku.
“ Jadi donggg…kita ke mie ayam Pak To ya, Rel?” kataku. Mie ayam Pak To adalah makanan
favorit kami berdua. Seringkali waktu pulang dari kampus kami mampir ke warung Pak To.
“ Oke…”
Hari minggu pagi.
Cha, kamu tau nggak…kalo Farel itu sudah punya tunangan?
Aku terkejut membaca pesan whatsapp Fatmi dari group trio centil sahabatku.
Hahh..tau darimana lu..??
Farel itu punya tunangan dari kecil, Cha…sepupunya sendiri, Hilda namanya. Apa dia gak
pernah cerita? Jawab Fatmi lagi.
Gak pernah tuch…dia jarang bicara masalah pribadinya.
ehhh…kamu temen baiknya kok bisa gak tau, sich?Kali ini ganti Nanda yang menjawab. Aku
semakin tidak mengerti. Group whatsapp trio centilku mulai rame pagi-pagi.
Coba tanyain sendiri ke Farel, Cha…kamu liat dech di jari manisnya, dia pake cincin, itu cincin
tunangannya. Jawab Fatmi lagi.
Emang kamu tau darimana, mi? Tanyaku penasaran.
Ciee…ciee…kepo ni yee… Kali ini Nanda kembali menggodaku.
Temen kampusku, teman SMA Farel. Gak sengaja aku bercerita kamu dan Farel. Akhirnya dia
juga cerita, Cha…Fatmi bercerita panjang lebar di group whatsapp trio centil. Aku terdiam
membaca komentar-komentar kedua sahabatku. Tak kujawab celoteh mereka. Farel. Sosok yang
kukenal selama ini memang sangat tertutup. Tidak pernah sekalipun dia berbicara tentang
masalah pribadinya. Jika bersamaku, dia lebih banyak diam mendengarkan celotehku saja. Jika
dia sudah bersuara, pasti pembicaraannya seputar perkuliahan. Pernah dia main ke rumahku. Gak
banyak percakapan diantara kami. Tiba-tiba saja dia bertanya,
“Echa…kamu sudah punya pacar?” Aku tertawa ngakak dengan pertanyaannya.
“Kalo aku dah punya pacar, pasti pacarku gak akan ngijinin kamu bermain kesini, Rel…”
Jawabku asal-asalan.
“Kamu mau tipe pacarmu itu seperti apa sich, Cha…?” tanyanya lagi.
“Seperti kamu, Rel…ha…ha…ha…” Aku tertawa ngakak. Farel mengacak-acak rambutku. Dia
tak melanjutkan pertanyaannya lagi.
***
Siang itu, kelas sepi. Aku mencari tempat duduk di tengah. Sengaja. Hari ini mata kuliah siang
sering kali membuatku ngantuk. Aku bisa sedikit memejamkan mata jika kantukku mulai tak
tertahan. Aku tersenyum sendiri. Dari pintu kulihat Rizal masuk. Dia langsung menghampiriku.
“Hai Cha…tumben sendiri, mana si Farel?” tanyanya padaku.
“ Gak tau ya, Zal…beberapa hari ini aku gak ketemu itu anak, mang kenapa?”
“ Eh Cha…kamu denger gosip, nggak?” Aku menoleh pada Rizal yang berada di dekatku.
“Katanya si Farel putus dengan tunangannya!” Rizal berbisik padaku. Spontan diktat di tanganku
terjatuh. Aku kaget setengah mati. Apa aku salah dengar? atau Rizal hanya asal bicara saja?
Tapi, setelah pembicaraanku dengan Fatmi dan Nanda, sepertinya Rizal tidak berbohong.
“ Yang bener, Zal? Kamu tau darimana?” Aku mulai kepo.
“ Tadi ada adik tingkat yang bergosip di café, kabarnya sich karena pihak ketiga!” bisik Rizal
lagi padaku. Aku semakin kaget. Mungkinkah? Aku tidak berani melanjutkan khayalanku. Lalu,
siapa yang dimaksud orang ketiga itu? Kelas mulai ramai. Dosen segera datang dan memulai
perkuliahan. Namun pikiranku tak lagi fokus, rasa kantuk yang biasanya menyerang di siang
hari, tiba-tiba sirna. Kulirik kursi bagian belakana. kosong.Tak kutemukan sosok yang kucari itu.
Kemanakah gerangan? Apa yang terjadi dengannya? Jika ada masalah, kenapa dia tidak berbagi
cerita padaku?Perkuliahan terasa lama, ceramah dari dosen tak lagi menarik perhatianku, rasanya
aku ingin segera pulang. Segera ingin mengetahui keadaan Farel. Perkuliahanpun selesai. Aku
segera ke parkiran, kunyalakan motor vespa kesayanganku dan segera berlalu dari kampus. Tak
kupedulikan teman-temanku yang mengajakku jalan-jalan sepulang kuliah. Rasa penasaranku
jauh lebih besar.
***
Rumah sepi. Entah Bapak ada dimana, salamku tidak ada yang menjawab. Kudengar guyuran air
dari kamar mandi, bergegas aku masuk ke kamarku. Ibu teropoh-gopoh menyambutku dari
kebun belakang. Dia tersenyum melihatku sudah pulang.
Kututup pintu kamarku, HP yang sudah ku pegang dari tadi segera beraksi, kutekan tombol
kontak, kucari nama Farel, terdengar nada pangil dari seberang.
“ Hallo Cha…apa kabar?” kudengar suara Farel. Suara yang beberapa hari ini tak menyapaku.
“ Hallo Rel…gimana kabarmu?”
“ Baik Cha…tumben nelpon, ada apa?” Sejenak aku terdiam, aku bingung mau mulai darimana.
Kutarik napas panjang. Kuatur setenang mungkin. Kusiapkan kalimat-kalimat yang kurasa tak
akan menyinggung perasaannya.
“ Rel, apa benar kamu punya tunangan?”
“Ya” jawabnya pendek.
“Apa benar kamu putus dengan tunanganmu?”
“Ya”
“Apa benar kamu putus karena pihak ketiga? Lanjutku lagi.
“Itu yang gak benar, Cha!” Tukasnya cepat. Aku terdiam. Tak kudengaar suara Farel juga.
“ Bisa kita ketemu, Cha?” Tanya Farel pelan. Aku masih terdiam. Banyak sekali pikiran yang
berkecamuk di benakku.
“Baiklah”
“Makasih, Cha”. Dan teleponpun terputus.
***
Malam minggu.
Aku bersiap-siap sambil menunggu Farel. Sudah sejak tadi aku berpamitan pada Bapak dan
Ibuku kalau aku diajak keluar dengan Farel. Bapak dan Ibu memberi ijin, karena beliau sudah
akrab dengan Farel.
Mobil Farel terdengar berhenti di depan pagar. Aku bergegas keluar, menghampiri Farel yang
tidak turun dari mobilnya. Aku langsung masuk ke mobil Farel. Mobilpun melaju pelan.
Hening.Tak ada percakapan diantara kami. Akupun tidak berani membuka suaraku.
Farel menghentikan mobilnya di pinggir pantai. Angin menampar pipiku lembut. Rasa dingin
tiba-tiba menyergap kulit tubuhku. Aku masih diam.
Setelah memesan minuman dingin, aku mengikuti Farel yang mencari bangku kosong. Pantai ini
memang ramai jika malam minggu. Banyak keluarga ataupun pasangan muda-mudi yang
melepas akhir pekan mereka disini. Debur ombak yang lembut ibarat alunan musik alam yang
syahdu. Tenang. Farel duduk berhadapan denganmu.
“ Maafkan aku, Cha…”
“ Untuk apa permintaan maafmu, Rel?”
“ Pasti kamu merasa, kamulah orang ketiga itu”

Cerpen 11 (Nurul Ainy)


BUKAN SEBATAS IMPIAN
Oleh Nurul Ainy Fauzan
SMPN 1 Lenteng

"Lulus..."

Teriakku setelah melihat hasil ujian akhir yang terpampang di papan pengumuman sekolah.
Tawa dan tangis bahagia menghiasi wajah teman-teman yang dinyatakan lulus seratus persen.
Dengan senyum mengembang, kukayuh sepeda yang selama ini setia menemani. Tak
kupedulikan keringat membasahi baju seragam putih abu ini. Kutinggalkan gerbang madrasah
yang berada di lingkungan pesantren tempatku belajar. Ingin segera kutemui bapak dan ibu untuk
mengutarakan niat melanjutkan kuliah sebagaimana wejangan Ustad Yusuf, guru yang menjadi
idola di sekolah.

"Jadi perempuan itu harus pintar, kejar cita-cita setinggi langit." Begitu kata beliau yang selalu
terngiang di telingaku.

Walau bukan dari keluarga berada, tapi ingin sekali kuraih mimpi yang selama ini hanya
terpendam dalam hati.

Tiba di rumah, segera kuparkir sepeda dihalaman yang banyak ditumbuhi bunga-bunga indah
yang ditanam oleh ibuku. Setengah berlari kumasuki rumah yang pintunya terbuka.

"Assalamualaikum...." Sengaja kukeraskan suara.

"Waalaikum salam." Jawab ibu dan bapak bersamaan.

Kupeluk ibu dan bapak yang sedang duduk santai di ruang tamu yang sederhana sambil
menikmati kacang rebus.

"Ada apa Nad, kok sampai ngos-ngosan begitu nafasmu." Ujar ibu sambil menggeser tubuhnya
agar aku duduk di sebelahnya.

Kuhenyakkan tubuh di kursi rotan yang sudah tampak mulai memudar warnanya.

"Pak, Nadia lulus ujian." Kataku sambil tersenyum.

"Alhamdulillah." jawab ayah dengan ekspresi wajah yang datar.

"Nadia ingin melanjutkan kuliah Pak." Lanjutku sambil memperhatikan wajah bapak yang tetap
datar tanpa ekspresi apapun.

Hening sesaat, kemudian kulihat bapak mengambil nafas.


" Kamu sebagai anak Bapak satu-satunya di rumah ini, tidak usah melanjutkan kuliah, karena
Bapak sudah menerima lamaran seseorang dan bulan depan kamu akan menikah dengan lelaki
pilihan Bapak."

Jedaaarrr...

Kalimat yang diucapkan bapak bagai petir menyambar di siang bolong. Hasrat untuk melajutkan
kuliah yang tadi bergelora pupus sudah. Asa yang telah kurajut selama ini kandas terhempas.

Ibu yang dari semula diam, kini menundukkan kepala. Tak ada seorangpun di rumah ini yang
berani melawan kehendak bapak. Setiap ucapannya adalah sebuah titah yang tak terbantah.

Runtuh seolah duniaku, lenyap pula segala impianku untuk menjadi seorang psikolog. Aku telah
gagal mendobrak pola pikir masyarakat sekitarku terutama bapak yang menganggap perempuan
tidak perlu pintar. Perempuan hanyalah konco wingking, bukan konco samping bagi suami. Air
mata sudah tak terbendung lagi di kedua netra ini. Rasa sedih dan kecewa berbaur di relung jiwa.
Segera kuberlari ke kamar tanpa tanya siapa calon suami yang mereka siapkan untukku.

Percuma!

Kutumpahkan segala rasa yang ada. Bantal dengan motif hello kitty basah oleh buliran bening
yang sedari tadi tiada mau berhenti.

Ibu menyusulku ke kamar. Dengan lembut dia usap kepala yang masih terbalut jilbab seragam
sekolah. Kupeluk ibu dengan erat. "Nad tidak mau menikah sekarang Bu, Nad masih ingin
melanjutkan sekolah, bantu Nad meyakinkan bapak." Pintaku pada ibu dengan tubuh bergetar.

"Maafkan ibu Nad, ibu tidak kuasa." Lirih ucapan ibu seakan takut didengar bapak.

***

Hari-hari selanjutnya kulalui tanpa gairah hidup. Keceriaan yang biasanya selalu menghiasi diri,
kini musnah sudah. Aku tidak mau tau dengan segala yang bapak rencanakan pada kehidupanku.

"Wajahmu pucat, kamu sakit, Nad?" Raisa sahabatku menatap penuh selidik.

Kugelengkan kepala sebagai jawaban bahwa aku baik- baik saja.


"Ke kantin yuk, kita rayakan kelulusan kita dengan menyantap bakso Pak Kumis untuk terakhir
kalinya." Ajak Raisa sambil menarik lenganku.

Saat aku dan Raisa menikmati bakso pesanan kami, tiba-tiba Rully dan Dena menghampiriku
dan menjabat tanganku.

"Selamat Nad, kamu lulus dengan nilai terbaik!"

"Terima kasih." Kujawab dengan senyum yang kupaksakan.

Untuk apa nilai terbaik kalau pada akhirnya aku harus segera menikah. Pada siapa nilai ini
kubanggakan.

***

Hari ini adalah hari pernikahanku. Hari yang bagi kebanyakan orang dianggap sebagai hari
yang sangat membahagiakan, tapi tidak demikian halnya denganku yang menganggap bahwa
hari ini adalah awal dari rutinitas dapur, kasur, dan sumur yang akan kujalani.

Kamar yang sederhana dihias begitu indah dengan aneka bunga yang harumnya menguar ke
seluruh ruangan sehingga menyegarkan bagi siapa saja yang menghidu. Ranjang yang menjadi
tempatku melepas penat selama ini, kini bertabur kelopak bunga mawar yang membentuk tanda
cinta. Sungguh suasa kamar ini bertolak belakang dengan suasana hatiku.

Bu Farida baru saja selesai memasang rangkaian melati sebagai pengganti jilbab di kepalaku
pertanda bahwa riasanku paripurna. Beliau mengarahkan tubuhku ke cermin yang melekat
dengan almari di kamar ini. Sambil memegang bahuku dari belakang tampak senyum indah
menghiasi bibir wanita yang masih tampak cantik di usianya yang tak lagi muda.

"Mbak Nadia cantik sekali seperti Citra Kirana." Puji beliau di telingaku.

Kalimat yang terlontar indah itu tidak serta merta mengusir mendung dihatiku. Walaupun hati ini
mengakui bahwa apa yang beliau ucapkan benar adanya.

Namun sayang nasibku tidak sebaik sang artis yang menikah dengan lelaki yang dicintainya.
Aku, sama sekali tidak mengenal siapa lelaki yang akan menjadi suamiku.
***

"Sah..."

Akhirnya kata itu yang menyadarkanku dari lamunan.

Ya Alloh.... kini Nadia Salsabila si kembang desa yang selalu peringkat satu di sekolah telah
resmi menjadi seorang istri, batinku menjerit lirih.

Budhe Lenny, kakak dari ibuku masuk ke kamarku. Dengan suaranya yang lembut beliau berkata
"Ayo Nduk...temui suamimu".

Budhe Lenny menggandeng tanganku menuju ruang tengah tempat dilaksakannya ijab kabul
tadi. Beliau membawaku hingga berada di depan lelaki yang kini telah sah menjadi suamiku.

Masih dengan menundukkan kepala kuremas kebaya brokat putih gading yang melekat dengan
indah di tubuh semampaiku. Wangi aroma melati yang menjadi penghias kepala tak mampu
menenangkan jiwa yang dirundung nestapa. Sebisa mungkin kutahan air mata agar tidak jatuh
menetes. Meski hati ini tengah menahan pedih yang tiada tara, aku tidak ingin mempermalukan
ibu dan bapak di depan tamu undangan yang hadir saat ini.

Sebuah tangan telulur padaku yang masih tak kuasa untuk tengadah. Kucium dengan takdim
sebagai wujud pengakuan bahwa sekarang dialah imamku. Lalu kuberanikan diri menatap wajah
lelaki yang berada di depanku.

"Ustad Yusuf..." gumamku lirih dengan tatapan tak percaya.

Beliau mengangguk dan tersenyum manis padaku.

Cerpen 12 (Sa’ullah)

Liburan Yang Tak Dirindukan

Pagi yang cerah tepat pukul 06.50 WIB jalan raya masih sepi, hanya beberapa motor dan
mobil yang melintas bisa dihitung dengan jari. Waktu itu, gerbang masuk bangunan SD Kali
Panas terbuka separuh saja, sedangkan di sebelah timur, pintu keluar tetap tertutup rapat dan
digembok. Mak Sarminti dan anaknya yang masih berusia 9 tahun bergegas masuk ke gerbang
sekolah. Ia memandang sekitar. Hanya tembok sekolah yang mulai ditumbuhi rumput liar dan
dau-daun kering berserakan di halaman sekolah yang ia temukan.

Pikirannya mulai gelisah sejak memasuki gerbang, sebab penjaga pintu yang biasanya
ada di pos jaga pagi itu tidak ada di tempatnya. Tak ada orang yang biasa lalu-lalang.

“Hmm.... di mana penjaga pintu sekolah ini?” gumamnya dalam hati, gelisah.

“Ayo, Nak, kita langsung masuk saja ke ruang kantor. Mungkin ada orang di sana. Aku
ingin bertemu dengan guru kamu atau jika ada dengan kepala sekolah.” kata Mak Sarminti
kepada putranya yang hanya semata wayang.

*********

Mak Sarminti menggandeng lengan anaknya menelusuri lorong-lorong di antara


bangunan sekolah yang sepi. Ia terus melangkah dengan harapan bisa menjumpai seorang guru di
sana.

“Ibu mau ke mana? ada keperluan apa? adakah yang dapat saya bantu, Bu?” kata suara
dari belakangnya.

“Sa..saya ingin bertemu kepala sekolah atau guru anak saya, si Masnadi ini, Pak.” jawab
Mak Sarminti, terkejut dan gugup, “apakah kepala sekolah ada, Pak?” tambahnya.

“Ya, ada, saya sendiri, saya bapak Rasuli, kepala sekolah, saya masih baru, sekira 2 bulan
ditugaskan di sini.” jawab pak Rasuli, memperkenalkan diri.

“Ooh, ya, kebetulan, saya memang ingin bertemu kepala sekolah.” kata Mak Sarminti.

“Silakan, masuk dulu, Bu. Duduklah. Kita bisa berbicara di ruangan saya.” jawab Pak
Rasuli mengajak Mak Sarminti dan anaknya.

“Mungkin ada yang dapat saya bantu, Bu” Pak Rasuli menawarkan.
“Begini, Pak, sudah 4 bulan anak saya ini tidak masuk sekolah. Katanya liburan. Padahal
di rumah dia hanya bermain saja tiap hari sama teman-temannya. Tidak belajar.” keluh Mak
Sarminti, “kalau tetap tidak bersekolah, bagaimana dengan nasib masa depan anak saya ini?
padahal dia belum bisa membaca.” tambah Mak Sarminti.

“Baiklah, Bu, sebenarnya sekolah ini selama wabah pandemi terjadi, walaupun anak-anak
tidak masuk ke sekolah, tapi tetap diberi materi pelajaran oleh guru-guru dari rumah masing-
masing. Itu yang disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau daring menggunakan hp android.”
jawab pak Atmojo, menjelaskan, “anak ibu bisa belajar secara online, bukan libur.”

“Maaf, apa itu daring? hp android? online? saya tidak mengerti, Pak. Maklum, saya ini
setiap hari cuma kerja bantu-bantu tetangga yang punya sawah. Saya tak pernah sekolah dulu
sebab orang tua saya tidak mampu membiayai saya sekolah, Pak. Suami saya juga tak pernah
bersekolah. Jadi, saya tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Akankah anak saya ini akan
bernasib seperti saya?” tanya Mak Sarminti, sambil menangis, sedih.

“Saya ingin anak saya masuk sekolah, Pak. Saya tidak punya alat itu. Anak saya juga
tidak bisa menggunakan alat-alat itu karena belum bisa membaca.” tambahnya.

“Jangankan membeli alat-alat itu, Pak, bisa makan saja sudah bersyukur. Walaupun ada
bantuan dari desa, itu digunakan untuk kebutuhan saya sekeluarga sehari-hari. Bahkan,
seumpama uang itu dibuat membeli alat itu tapi anak saya tidak tahu cara menggunakannya,
bagaimana? bukan hanya anak saya, Marsudi, anak Pak Marsum tetangga saya yang masih kelas
2 juga sama, hanya bermain layang-layang di sawah tiap hari.” tambah Mak Sarminti,
menjelaskan.

Ruangan jadi hening, sepi, tidak ada yang bersuara. Hanya bunyi jarum jam dinding yang
tergantung tepat di belakang Pak Rasuli yang terdengar mengiringi detak jantung dan terus
berjalan tanpa henti walau hanya sesaat.

“Maaf, Bu. Kami bukan tidak mau mengajari anak ibu atau tidak mau melayani,
membimbing anak ibu, tapi kondisi saat ini berdasarkan anjuran dari pemerintah memang belum
memungkinkan anak-anak untuk dikumpulkan di sekolah sebaimana biasanya. Resikonya terlalu
besar . Ini demi keselamatan kita bersama.” Pak Rasuli memberi alasan.
“Baiklah, Bu. saya berterima kasih kepada ibu yang telah menyampaikan apa yang
menjadi kendala anak-anak di rumah dalam pembelajaran jarak jauh ini. Saya bersama guru-guru
siap melakukan kunjungan dan memberikan pelajaran ke rumah-rumah anak yang mengalami
masalah dalam pembelajaran ini. Saya akan siapkan juga buku-buku pelajaran yang dibutuhkan.
Yang terpenting, ibu tetap semangat mendampingi anaknya untuk terus belajar.” kata Pak Rasuli,
memberi solusi dan motivasi.

“Terima kasih, Pak. Bapak sudah berkenan membantu anak-anak kami belajar.” jawab
Mak Sarminti, terharu, dengan mata berkaca-kaca.

“Sama-sama, Bu. Itu sudah menjadi tugas kami di sini. Namun, jangan lupa setiap ada
kunjungan belajar di rumah, tetap ikuti protokol kesehatan, pakai masker, sering cuci tangan,
jaga jarak, dan terus berdoa semoga pandemi ini segera berakhir.”

Mak Sarminti merasa puas dalam hatinya karena bayangan buram masa depan anaknya
telah sirna. Harapan yang terpendam mulai bergeliat lagi. Senyum ceria menghiasi wajahnya
yang mulai berkerut karena faktor usia. Ia mohon pamit pulang. Beban langkah kakinya terasa
ringan. Masih ada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya menghantui pikirannya.

*****&&*****

Sumenep, 02-08-2020

Sa’ullah_smpn1 kalianget

Cerpen 13

GOWES DI MASA PANDEMI


Karya: Lilis Suryaningsih, S.E

Sejak pandemi Corona, aku mulai gowes bersama tim gowes “Srikandi”. Tim ini
hanya terdiri dari sebagian besar tetangga kanan-kiriku yang berjumlah 10 orang. Seperti
biasanya Ku kayuh sepedaku bersama grup “Srikandi”. Keringat mulai mengucur di sekujur
tubuhku. Sesekali kuusap dengan lengan bajuku. Dress code kali ini kuning busuk dengan
kerudung warna putih, topi warna merah. Yang membedakan gowes kali ini tidak ada
penumpang yang memboncengku. Jadi rasanya ringan. Beban 20 kg berkurang.
“Lies …jangan cepet-cepet ngayuhnya”, pinta Ida. Aku mulai mengurangi kecepatan
mengayuh sepeda.” OK, aku akan menemanimu,” jawabku sambil ngos-ngosan. Tak terasa
belasan kilo sudah kami lewati bersama tim. Pas di jalan tanjakan tiba-tiba dering handphone
dari HP kecilku berbunyi. Kebetulan sepedaku tidak dikayuh melainkan kami semua jalan kaki,
karena tidak kuat melewati tanjakan. “Halo….ada apa kak?,” tanyaku dengan nada ngos-ngosan.
“Ini ada salah satu anggota, ada yang ga kuat,” kata kakakku. Ternyata kakakku jauh tertinggal
di belakang bersama Bak Adrid yang baru kali ini ikut. Kami semua berhenti di warung sambil
melepas lelah sambil menunggu kakak dan bak Adrid yang tertinggal. Syukur Alhamdulillah,
pemilik warung bersifat sangat baik. “ Ini dik, ada kacang rebus hasil panen sendiri,” kata si
pemilik warung. “Ya bu, makasih banyak,” jawabku dan teman-teman kompak. Selain rehat
sejenak, aku dan teman-temanku membeli berbagai macam yang di jual ibu pemilik warung. Ada
yang beli pop ice, air mineral bahkan ada yang membeli semangka yang lagi musim kali ini.
Seorang bapak-bapak dengan sepeda motornya berhenti di warung. Ternyata bapak
tadi adalah suami dari ibu pemilik warung tersebut. “Pak, saya mohon ijin untuk meminjam
sebentar sepada motor bapak,” pinta Nur temanku. “Ada salah satu teman kami yang tertinggal
dibawah sana,” Nur menjelaskan ke bapak si pemilik warung. “Oh, iya nak, tadi saya liat
temanmu tidur di pinggir jalan,” kata bapak si pemilik warung. “Ini kontaknya,” kata si bapak
sambil menjulurkan sebuah kontak. Nur dan bak Hosei langsung menyalakan sepeda motor yang
dipinjamnya.
Sepuluh menit kemudian sepeda motor yang ditumpangi Nur, berbeda orang yang
memboncengnya. Kalau tadi yang dibonceng Bak Hosei, tapi kali ini Bak Adrid. Ku liat wajah
Bak Adrid pucat pasi. Suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Ku julurkan tanganku dengan
sebuah air mineral. “Ini Bak Adrid silahkan diminum, biar kembali sehat,” pintaku ke Bak
Adrid. Bak Adridpun mengambil air mineral dari tangan kecilku. “Makasih ya dik,” kata Bak
Adrid dengan suara lemahnya. Tidak begitu lama kakakku dan Bak Hosei muncul dengan sepeda
yang dinaiki Bak adrid tadi. Kamipun beristirahat di warung tersebut sambil menunggu suami
dari Bak Adrid yang ditelponnya tadi waktu di bawah. Tidak berapa lama kemudian, suami Bak
Adridpun tiba di warung dengan membonceng putrinya yang cantik dengan sepeda motor yang
biasa dipakainya. Dengan tangan kekarnya suami Bak Adrid mulai membuka sadel sepeda
motornya. Ternyata suaminya mengeluarkan sebuah helm yang memang dipake kerap kali
gowes.
“Drid, kamu tuh kalah sama itu,” kata suaminya, sambil tangannya menunjuk ke
arahku. “Dia tuh kecil, tapi kuat,” kata suaminya sambil bercanda. Aku dan teman-temanku pun
tertawa lepas. Seperti tidak ada beban yang kami pikul lagi. Sebelum pulang, Bak Adrid pun
meminta untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Cekkrek…. Cekkrek….cekkrek
Berbagai macam gaya kami berpose, bak artis terkenal. Bisa dimaklumi, jaman dulu ga ada
gawai yang canggih seperti sekarang ini. Padahal boleh dikatakan kami semua tergolong emak-
emak rempong/ sudah berumur. Usia kami bisa dikatakan tidak muda lagi, sudah berkepala 4.
Tapi semangat untuk selalu sehat kuat dalam jiwa kami. Kamipun melanjutkan perjalanan tanpa
Bak Adrid.

Karang Panasan, 20-10-2020


Cerpen 14

Cerpen 15 (Matrasyit)
BERBAGI BERKAH
Matrasit

**Bila kau kuliti sebuah jeruk dari nampan di dekatmu, berapa yang hendak disisakan untukmu ?

===========

Pada malam itu seperti biasanya saya menghadiri rumah temanku yang sedang baru saja ditinggal
istrinya, Hastuti sebab meninggal dunia. Acara doa tahlilan digelar selama tujuh hari setiap ba'da isya
awal yang di hadiri oleh sekitar 600-an orang setiap malamnya. Lebih-lebih pada malam terakhir, malam
ketujuh warga sekitar tumplek-blek. Hal itu didukung oleh tingginya kepedulian sosial serta tingkat
kepadatan warga masyarakat yang notabene kaum nelayan yang tidak sedang melaut.

Sesampainya di tempat telah hadir lebih awal yaitu Habib Abdullah Al-Kherid untuk memimpin doa.
Duduk pula dua orang lain di sebelah kirinya yang belum saya kenal. Baru tahu setelah tuan rumah,
Saudara Ibnu Ziyad memberitahukannya bahwa kedua orang tersebut adalah salah seorang kakak ipar
dari anaknya yang sulung. Yang salah satunya baru kutahu bernama bernama Gus Muhammad Rofi'ul
Hamid Hinzi.

Beliau adalah putra dari Pengasuh Pondok Pesantren Riyadhul Jannah yaitu Almarhum KH. Abdurrachim
Syadzily yang masyhur. Adalah Abah dari Gus Rofi' bersama KH. Abdurrahman Baroqbah yang
mendirikan Majlis Maulid wa al-Ta'lim Riyadlul Jannah yang berpusat di Desa Pendem, Kecamatan
Junrejo, Kota Batu Malang. Dan beliau yang ditunjuk untuk mewarisi Mursyid Majelis Maulud wa al-
Ta'lim tersebut sehingga sekarang.

Seusai acara tahlilan hanya beberapa orang saja, yaitu saudara dan kerabat dekat tuan rumah yang
menemui para tamu. Sebagaimana umumnya orang Madura bila ada tamu yang telah lama tak kunjung
sua, terlebih beliau adalah seorang Kyai yang patut dihormati walau masih berusia muda. Mereka akan
disiapkan perjamuan plus yang barang tentu berbeda dengan yang lainnya. Dengan maksud
memuliakannya. Mulai dari buah-buahan sehingga makanan berat telah disiapkannya oleh tuan rumah.

Dalam pada itu beliau ikut menghaturkan makanan dan buah-buahan agar sama-sama mencicipi
barokah, sebagaimana yang ia sampaikan. Setelah beberapa waktu beliau mengambil sebuah jeruk dan
dikulitinya sehingga bersih. Dari per ruas jeruk itu lalu dihadiahkannya kepada kami yang bersebelahan
dan yang ada di depannya sehingga hampir semuanya kebagian seruas. Sedangkan beliau tidak
menyisakan satupun untuk dirinya. Lalu mempersilahkan untuk dimakannya, "Ayo silakan dimakan
semoga berkah Allah ada bersamanya. Semoga Allah menakdirkan kita ini saudara yang seiman dan
sehati dengan tidak putus-putusnya dalam bersilaturahim hingga yaumil akhir." sambil beliau menunjuk
dan mengusap dadanya. Mungkin kita menganggapnya hal yang sepele, namun hakikatnya merupakan
sesuatu banget yang berbuah inspiratif dan sangat dibutuhkan dalam era digital ini.

Dalam pada itu, saya jadi teringat terhadap sunnah Rasulullah. Bahwasanya Rasulullah selalu
membagikan setiap setiap sesuatu termasuk makanan kepada para sahabat yang ada di sekitarnya.
Rasulullah yang termasuk paling hebat dalam bersedekah.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia
yang paling dermawan, dan kondisi beliau paling dermawan adalah di bulan Ramadhan di saat bertemu
Jibril as, di mana Jibril as. salam sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu
Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia
paling (cepat) dermawan dengan kebaikan daripada angin yang berhembus.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga kita mendapatkan hidayah untuk dapat Ikhlas Berbagi dengan siapapun karena Allah. Dan kita
dapat terinspirasi dari nilai-nilai dan perilaku luhur yang dilakonkan oleh mereka yang Allah titipkan
kepadanya keunggulan perilaku sebagai media pembelajaran dalam kehidupan umat manusia dalam
menata peradaban dan terjadinya harmonisasi kehidupan itu sendiri. SEMOGA...

#by. Ahmad Rasyid

#Ambunten, 20 Agustus 2019

#CrystalMadrasahDiniyah

Cerpen 16 (Sri Suryani)

Terhempas

Sri Suryani

“Bangun, Nak,” seorang lelaki tua menggoyang-goyangkan pundak Jun dengan pelan-
pelan. Jun terbangun lalu mengusap matanya yang masih sembab. Sementara lelaki tua itu
meninggalkan Jun dengan membawa karung berisi rumput di pundak kanan dan sebilah arit di
tangan kirinya. Tapi Jun tidak peduli dengan lelaki tua itu, ia hanya memikirkan jiwa dan
raganya. Beberapa bulan yang lalu jiwa dan raganya serasa hancur ketika dinyatakan positif
terpapar virus corona sebelum menjalani isolasi di ruang rumah sakit. Tiga bulan lamanya ia
berjuang untuk membangun kembali jiwa dan raganya yang hancur itu. Tapi kini kembali hancur
berkeping-keping karena kejadian siang tadi. Kejadian itu yang telah membuat dirinya terbawa
ke tempat peristirahatan terakhir ibunya. Tempat ia menangis, meratap, menyesal, dan
menumpahkan perasaan bersalah sebelum tertidur di samping batu nisan ibunya

Siang itu, Jun mondar-mandir di sebuah ruang isolasi rumah sakit sambil sekali-kali
melihat jam dinding. Jarum jam tepat bertengger di angka 12. Angka yang sudah ditunggu-
tunggunya sejak pagi. Jantungnya berdetak semakin kencang mengalahkan detak jarum jam
dinding. Perasaan khawatir dan senang datang silih berganti. Sebentar-sebentar ia mendekati
pintu kalau orang yang ditunggu-tunggunya sudah datang. Ketika jam menunjukkan pukul 12.15,
terdengar pintu kamarnya diketok-ketok dari luar. Ia segera membuka pintu dan menyambut dua
orang berpakaian putih-putih seperti astronaut dengan pertanyaan beruntun.

“Bagaimana hasilnya, Dok? Saya boleh pulang kan, Dokter?”

“Selamat, Bapak Junaidi sudah bisa berkumpul kembali dengan keluarga,” ucap dokter
dengan mata berbinar-binar di balik face shield yang dipakainya.

“Berarti hasilnya negatif, Dok? Terima kasih, terima kasih sudah merawat saya selama
ini.”

Setelah dokter dan perawat itu pergi, Jun segera mengambil tas ransel yang sudah berisi
baju dan barang-barang miliknya. Tak lupa ia menyelipkan uang ribuan di bawah bantal.
Menurut adat di desanya, supaya tidak kembali lagi ke rumah sakit. Cepat-cepat ia keluar.
Sebentar saja ia sudah ada di pintu pagar rumah sakit. Terik matahari yang sangat menyengat
kulit pasti lebih terasa oleh siapa saja yang baru keluar dari kamar rumah sakit yang ber-AC.
Tapi tidak dengan Jun. Ia tampak tak merasakan itu. Ia terus melangkah menyusuri jalan beraspal
yang sempit dan berliku-liku. Hatinya berbunga-bunga sejak tahu hasil PCR swab test-nya
negatif. Sesekali matanya disempitkan karena silau tapi tak sedikit pun menyurutkan
semangatnya untuk segera sampai di desanya. Di sepanjang jalan wajah istrinya, anaknya yang
masih bayi, dan ibunya yang sedang sakit datang silih berganti di pelupuk matanya. Tampak
wajahnya berseri-seri membayangkan istrinya sambil menggendong anaknya menyambut
kedatangannya dengan sukacita. Tapi tatkala muncul wajah ibunya yang sedang sakit, wajahnya
berubah suram seperti cincin batu akik yang dipakainya karena tak pernah digosok.
Ibu Jun sakit-sakitan karena penyakit asma yang dideritanya sejak Jun masih SD. Namun,
ibunya terus berjuang membesarkan dua orang anaknya dengan menjadi buruh tani di desanya.
Sampai akhirnya penyakit asma ibunya semakin parah sehingga tak mungkin lagi bisa bekerja.
Waktu itu usia ibunya berumur sekitar 60 tahun. Untungnya kedua anaknya sudah bisa mandiri.
Kakaknya tetap berada di desa sebagai petani, mengolah sawah milik pamannya. Awalnya Jun
juga bekerja sebagai petani. Tetapi setelah setahun menikah ia memutuskan untuk bekerja di
Jakarta, menjaga toko milik tetangganya. Dengan bulat hati ia meninggalkan desa kelahirannya,
meninggalkan orang-orang yang disayanginya demi memperbaiki nasib seperti anak-anak muda
lainnya yang ternyata lebih sukses bekerja di kota. Sukses karena mereka bisa membangun
rumah yang bagus di desanya dan memajang mobil mewah di depan rumahnya ketika musim
mudik lebaran. Ya, Jakarta menurut mereka sangat menjanjikan hidup lebih baik daripada
bergelut dengan tanah seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Waktu itu istrinya
sedang hamil tua.

Jun terus melangkah mengikuti kata hatinya yang menyuruhnya untuk terlebih dahulu
menjenguk ibunya sebelum menemui anak dan istrinya. Alangkah terkejutnya ketika di depan
rumahnya banyak warga berkerumun. Jantungnya berdebar-debar kalau sesuatu yang buruk telah
terjadi kepada keluarganya. Ia segera menerobos kerumunan warga. Sebentar kemudian Jun
melihat kakak dan keluarga lainnya memegang arit di tangannya. Mereka bersitegang dengan
beberapa orang. Dengan sigap Jun mendekati kakaknya agar tidak sampai terjadi hal buruk yang
sering terjadi di desanya karena orang-orang di desanya sering menghadapi masalah tidak
dengan kepala dingin.

“Ada apa ini, Kak?” kata Jun sambil melihat kakak dan keluarga lainnya yang berjumlah
sekitar dua puluh orang. Lalu Jun melihat lawan mereka yang ternyata adalah tim medis, aparat
kepolisian, dan aparat desa.

“Pokoknya kami gak percaya dengan hasil swab itu,” ujar lelaki berkumis tebal yang
dipanggil kakak oleh Jun.

“Swab siapa, Kak?” tanya Jun penasaran.


“Mereka mengatakan kalau paman sakit terkena corona. Padahal karena kakinya tertusuk
duri waktu mencari makanan sapi-sapinya. Kami tidak akan membiarkan mereka membawa
paman.” Kakak Jun mendekati petugas dengan mengangkat arit yang dipegangnya.

“Betul, betul,” timpal keluarga Jun yang lain lalu diikuti oleh warga yang lain.

“Tenang, tenang, Kak!”

“Kami bisa tenang kalau mereka pergi dari sini.”

“Kami tidak akan pergi sebelum membawa pak Tohir ke rumah sakit,” ujar seorang
aparat kepolisian.

“Kami tidak akan membiarkan itu terjadi,” celetuk seorang laki-laki yang tidak kalah
ganas dengan Kakak Jun.

“Ya, ya ...” suara gemuruh warga yang semakin tidak sabar.

Jun segera mengambil sikap. Dia meminta izin kepada kakaknya untuk bernegosiasi
dengan para petugas. Setelah mendapat izin, Jun bernegosiasi dengan para petugas. Negosiasi
berlangsung 10 menit. Akhirnya para petugas memilih mengalah untuk sementara daripada jatuh
korban. Tak lama kemudian mereka pergi meninggalkan rumah pamannya lalu diikuti oleh
warga yang membubarkan diri termasuk keluarga Jun yang lain.

Kini tinggallah Jun dengan kakaknya. Cukup lama mereka berdiam diri di teras rumah
bercat hijau itu. Jun membiarkan kakaknya menenangkan diri dengan rokok yang diisapnya.
Setelah dirasa cukup tenang, Jun memulai pembicaraan.

“Kenapa Kak Rusli tidak membiarkan mereka membawa paman?” tanya Jun lirih.

“Apa?” Rusli berdiri dan memandang Jun dengan tajam seperti harimau siap menerkam
mangsanya. Rokok yang dipegang dimatikan ke asbak yang ada di meja dengan kasar.

“Kamu mau paman diperlakukan seperti kamu? Dipenjara di rumah sakit seperti penjahat.
Tak ada yang boleh menjenguk. Bahkan kalau meninggal tak ada yang boleh membawanya
pulang. Dikuburkan oleh rumah sakit tanpa dihadiri oleh keluarga dan masyarakat seperti yang
dialami ibu.”
“Kenapa dengan ibu, Kak?” Suara Jun bergetar.

“Ibu meninggal karena tertular oleh kamu.” Hati Jun remuk mendengar kalimat itu.
Kepulangannya beberapa bulan yang lalu bukan menyembuhkan malah mempercepat kematian
ibunya.

“Pergi kamu dari sini!” bentak Rusli sambil mendorong Jun dengan keras sampai Jun
hampir terjatuh.

Jun pun pergi meninggalkan kakaknya dan meninggalkan rumah yang dulu damai penuh
kebahagiaan. Kini rumah itu serasa panas terbakar oleh amarah kakaknya. Ia berharap pamannya
yang ada di dalam rumah itu tidak ikut terbakar.

Terik mentari semakin menampar wajah Jun. Wajahnya memerah memancarkan


kesedihan karena tidak diperbolehkan ziarah ke makam ibunya oleh kakak dan keluarga lainnya.
Tiba-tiba ia teringat istana kecil nan sederhana yang baru dua tahun ia bangun. Apalagi di dalam
istana itu kini sudah ada seorang putri mungil yang elok rupanya sebagai buah dari rasa cintanya
kepada seorang gadis desa yang kini menjadi ibu dari putrinya.

Langkah kaki Jun terhenti persis di depan pagar bercat kuning yang terkunci rapat.
Berkali-kali Jun memanggil nama istrinya tapi tak ada sahutan. Dilihatnya rumah-rumah di
sekelilingnya. Sepi. Biasanya ibu-ibu merumpi sambil duduk saling mencari kutu di rambut
mereka. Anak-anak yang biasanya berlarian bermain petak umpat juga tak ada satu pun. Semua
pintu tertutup rapat. Yang terdengar hanya suara ayam yang sedang menikmati padi yang
dijemur di depan rumah mereka. Kembali Jun memanggil nama istrinya lebih keras. Setelah
berpuluh-puluh kali, pintu rumahnya terbuka. Hati Jun sangat senang seperti mendapat air di saat
rasa dahaga mencekik lehernya setelah setengah jam lamanya berdiri dan berteriak-teriak di
depan pagar.

Seorang lelaki bertubuh gemuk dengan mengenakan sarung berwarna merah menyala
keluar menghampiri Jun dengan jarak sekitar dua meter.

“Pak, tolong bukakan pagar ini, Pak! Saya ingin sekali bertemu dan berkumpul kembali
dengan anak dan istri saya,” pinta Jun dengan wajah memelas.
“Tidak .... tidak bisa,” ucap lelaki itu dengan suara keras.

“Tapi kenapa, Pak?” tanya Jun dengan bola mata sedikit diangkat.

“Kami tidak mau kamu menularkan penyait terkutuk itu. Semua warga di sini tidak mau
menerima kamu kembali.” Jun terdiam. Ia baru sadar mengapa di sekitarnya sepi. Rupanya
mereka mengunci diri di dalam rumah karena takut tertular virus corona.

“Tapi, Pak. Hasil swab saya negatif sehingga saya diperbolehkan pulang.” Jun mencoba
menjelaskan dengan pelan-pelan.

“Kamu pernah mengatakan kalau hasil swab kamu negatif. Buktinya apa? Kamu dibawa
oleh mereka untuk diisolasi.” Jun terdiam. Ia menyadari kesalahannya. Setelah dua kali
melakukan PCR swab test hasilnya negatif, ia pulang ke desanya. Sebenarnya ia berjanji kepada
istrinya untuk pulang saat istrinya berjuang bertaruh nyawa demi kehadiran buah hati mereka.
Namun, pandemi corona membuatnya tak bisa meninggalkan kota Jakarta, kota yang menjadi
idaman sebagian besar pemuda di desanya.

“Sudah, Bapak tidak percaya lagi. Cepat pergi dari sini! Setelah benar-benar tidak
membawa virus itu lagi, kamu boleh pulang.”

Air mata Jun tak dapat dibendung lagi. Yang seharusnya meluap karena bahagia bisa
berkumpul lagi malah meluap karena sedih tidak bisa berkumpul lagi dengan orang-orang yang
sangat dirindukannya. Dengan lunglai ia membalikkan badan lalu melangkah seperti membawa
beban yang sangat berat di kakinya

“Mas .... Mas Junaidi ....!” teriak Syarifa, istrinya, menghentikan langkahnya. Dengan
cepat Jun kembali berbalik arah mendekati pagar kuning rumahnya. Ia hanya bisa melihat
istrinya yang meronta-ronta agar terlepas dari pegangan kuat bapak dan ibu mertuanya. Persis
ketika ia hendak dibawa ke rumah sakit untuk diisolasi. Kala itu istrinya berteriak histeris dan
meronta-ronta hendak menghampirinya tapi ditahan oleh aparat kepolisian.

Perlahan-lahan Jun melepaskan tangannya yang memegang besi pagar bersamaan dengan
tulang-tulangnya yang serasa remuk. Hatinya hancur berkeping-keping. Khayalan yang sudah
dirajutnya sejak di rumah sakit kini terurai karena ganasnya arus kehidupan. Kini ia mulai ikut
hanyut dalam arus itu tanpa tahu akan dibawa ke mana. Akankah ia mampu melawan arus yang
mungkin akan bertambah besar? Ataukah ia akan terombang-ambing bersama arus lalu arus itu
menghempaskannya jauh? Entahlah kapan arus itu akan membawanya kembali berkumpul
bersama anak dan istrinya.

Cerpen 17

Wanita Muda
Tohir

"Assalamualaikum..!!!" suara seseorang mengagetkan.


"Waalaikumsalam,adaapaya?"jawabkukaget.Terlihatdidepanrumahseorangwanitamuda
berdiri.Diamemakaidasterkuningmotifbungaserasidenganwarnakerudungnya.Tasnyajuga
lumayanbagus. Denganlemahlembutdiamintasumbangan. "NyoonkaridlaaneponPa'......."
Waduh,sayatidakmengirawanitasebaikinibisaminta-minta.Lamasayatertegun. Sekedarbasa-
basisayabertanya. "DarimanaBu?" DiamenyebutsalahsatuDesayangsayatahulokasinya.
"Silahkandudukduluya,tunggusebentar."
"Pak,sinitolongangkataninibarang,sayagakuat."suaraisterikudaridalamrumah.
"Oh,iyatunggu."Jawabkusambilberjalan. "Adasiapa."Tanyaisteriku
"Ituseorangwanitamintauang." "Siapa,apasampeyanpunyahutang?"Tanyanyalagi.
"Hutang?"Jawabkukaget "Orangpeminta-minta.Diawanitamuda.Lebihmudadarimu."
"Ha...,mana.Manaorangnya."Kataisterikusambilberjalankeluar.
"He...heBu,maukemana.Tunggudulu.Sayaakanjelaskan."Katakusambilberteriak.
Kulihatisterikumenolehkekanandankekiri. "Manaorangnya.Mana."Katanyapadaku.
Pengemisitusudahmenghilangdarirumah.Mungkindiamendengarsuararibut-ributtadidari
dalamrumah. Isterikutersenyumlebar.Sayapenasaran. "Adaapaini,"tanyaku. "Hehe...."Dia
hanyaterkekeh. "Dulusaatsayangaji."Katanya "Adaapa."Tanyakupenasaran.
"Dulu,saatsayangaji.KetikaadapengemisdatangkerumahtetangganyaPakKyai.Isteri
tetanggaPakKyaiselalumengajakpengemisitubekerja.
Misalnyaibuitumemipiljagung,makapengemisituselaludijakkerjadulu.Ataupunsaatkerja lainnya."
"Mausipengemisitubekerja?"Tanyaku. "Mau"jawabistriku.
"Ibuitumalahbilangsamapengemisnya.Kamuinimasihmuda.Ayosayaajaribekerja.Jadi
nantikalaupekerjaaninisudahselesai,kamuakansayakasihjagung.Jadiinihasilkerjamu.
Sebagaiupahatasbantuanmusayaucapkanterimakasih.
Dankamudapatduakeuntunganhariini.Belajarbekerjadandapatjagung."
"Terussipengemisitujawabapa."Tanyaku.
"Entahlah,apakahpengemisitumendengaratautidak,sayajugatidaktahu.Inicumacerita
koq."Jawabisterikumengakhiri.

Cerpen 18

Arti Sebuah Kejujuran


Pety Pujiastutik

Kejujuran memang selalu sulit dilakukan dan diamalkan. Tetapi dibalik mengamalkan kejujuran, ada
suatu kebahagian yang tak ternilai. Dahulu ketika Satrio masih anak anak, katakakanlah saat Satrio masih
SD. Dia belum begitu tahu makna dan arti sebuah kejujuran. Sedikit tertawa geli jika mengingatnya.
Memilih bohong atau jujur saat anak-anak itu sulit, contohnya waktu mengerjakan ulangan atau ujian.

Saat ulangan atau ujian berlangsung banyak teman yang mencontek, mereka bertanya kepada Satrio
“Kamu mau mencontek atau tidak?”. Hati kecil Satrio berbisik lirih “Apa aku harus seperti mereka? Ahhh
jadi menggangu konsentrasiku”. Waktu itu godaan kembali datang, saat salah satu teman memberi secarik
kertas contekan kepada Satrio. Akhirnya dia terima kertas itu. Tetapi diletakkan pada laci mejanya dan
tidak digunakan sama sekali, karena Satrio yakin dengan dirinya sendiri.

Akhirnya ulangan pada hari itupun telah usai dan dikoreksi dengan sistem tukar antar teman. Beberapa
waktu kemudian nilaipun keluar dan dibagi oleh Bu Tutik, Guru Satrio. Waktu itu dan sampai sekarang
tetap menjadi gurunya Satrio. Setelah itu Satrio dipanggil Bu Tuti. Dengan sedikit cemas, dia menghadap
gurunya. “Ada apa bu?” tanya Satrio saat itu. Bu Tuti tersenyum kecil dan menatap Satrio dengan penuh
kasih sayang. Beliau berkata “Nak, nilai ulanganmu tadi memang tidak sempurna, tetapi Ibu tahu kamu
sudah jujur mengerjakan soal tanpa mencontek. Ibu tahu beberapa dari teman-temanmu mencontek. Ibu
pesan, katakanlah dan lakukanlah semua dengan kejujuran meskipun itu pahit dibalik semua kejujuranmu.
Ibu yakin kamu akan menuai apa yang sudah kamu lakukan.” Satriopun menjawab “Baik Bu.” Seketika
semangat belajar Satrio membara. Dia menggunakan waktu belajar dengan baik. Hal-hal yang tidak
diapahami langsung ditanyakan ke Bu Tuti.

Sampailah di ujian kenaikan kelas dan pembagian raportpun dinanti dengan perasaan cemas. Tidak
disangka Satrio yang tidak pernah mendapat ranking di kelasnya, waktu itu meraih peringkat 1. Satrio
sangat senang dan mendapat hadiah buku dari Bu Tuti. Dari situlah Satrio mulai mengerti bahwa sebuah
kejujuran itu memanglah benar dan harus dilakukan sekecil apapun. Meski berat dan susah hasilnya
sungguh istimewa.

Pragaan,21 Oktober 2020

Cerpen 19

Berani Bermimpi
Bel istirahat berbunyi,beranjak ku langkahkan kaki
menuju kelas VII D. “ Assalamu’alaikum…”ku ucapkan salam
sebelum memasuki kelas. “Wa’ alaikum salam..Warahatullah
wabarakatuh” sahut anak-anak bersamaan. Seperti biasa ku
ucapkan salam dan mengabsen mereka. Ku keluarkan
lembaran-lembaran hasil ulangan harian mereka. “Anak-anak
hari ini akan ibu bagikan hasil ulangan kemarin”. Seperti biasa
ibu sudah urutkan nilai dari yang tertinggi ke nilai yang

Pilih terendah, karena bukan hal mustahil nilai yang ada di urutan

mimpimu dan terendah akan mencuat ke atas karena kerja keras dan
motivasi untuk lebih baik. Dan bukan hal yang mustahil juga
gambarkan
anak yang ada di nilai teratas menjadi lupa diri, dan
pada kanvas
menganggap remeh hal yang dipelajari hingga akhirnya
semesta agar
berada di urutan ke bawah “.” Ingat Motto kita ??” tanyaku.
semua orang “Man Jaddha Wa jaddha. Siapa sungguh-sugguh ia pasti
tau bahwa berhasil”. Sahut mereka. Semangat mereka seperti siraman
kamu berani air sejuk yang mengalir ditubuhku karena masih teringat
bermimpi dan awal-awal ku mengajar, mereka seperti sibuk dengan dirinya
mampu sendiri, begitu sulitnya memupuk disiplin waktu dan
mewujudkan konsentrasi mengikuti pelajaran.
nya Entahlah siapa yang salah mengenai budaya di pulau
(https:// ini, hampir 90% mereka tidak tinggal bersama orang tua
dedaunandotnet.wordp
mereka. Mereka seperti anak titipan dengan kebutuhan
ress.com/2012/01/24/
antara-mimpi-dan-cita- materi terpenuhi dari hasil kiriman orang tua yang bekerja di
cita) Negeri Seberang. Negara Malaysia menjadi tujuan untuk
memperoleh gundukan materi demi membangun rumah
impian, derajat yang tinggi, memperoleh pengakuan diri dari
lingkungan sekitar. Sehingga melupakan anak-anak mereka
sebagai investasi dunia akhirat yang tidak hanya
membutuhkan materi, tapi juga kasih sayang, perlindungan,
dan bimbingan mereka.
Sekolah adalah rumah kedua bagi murid-muridku , disinilah guru sebagai orang tua kedua bagi
mereka, guru-guru di sekolah ini diharap bisa mengisi kekosongan hatinya. “Ibu kok melamun..ayo bu
cepat bagikan hasil ulangannya..kami ingin tahu bu..” celetuk Mila menyadarkanku dari lamunanku.
“Maaf..Ibu tadi berpikir dan sangat berterimakasih..semangat kalian yang luar biasa telah membuahkan
hasil ulangan yang memuaskan”. “Alhamdulillah” sahut mereka sambil diiringi tepuk tangan yang
menggema di kelas.
“hasil tertinggi adalah..ayo ada yang bisa menebak?”Kulihat raut wajah anak-anak yang penuh rasa
khawatir menunggu nama-nama yang akan terpanggil berdasarkan urutan nilai yang diperoleh. “saya
bu….teriak Dyan dari ujung kelas”. Sambil tertawa, mencairkan suasana kelas yang terasa membeku.
“huu……..” serempak anak-anak menjawab teriakan dyan sambil tertawa,karena mereka mengetahui
kemampuan dyan yang tidak begitu menonjol prestasinya tapi mempunyai selera humor yang tinggi.
Tersenyum ku melihat tingkah mereka. “Baklah, ibu panggil ya..dan silahkan yang merasa namanya
dipanggil maju kedepan sambil mengambil kertas ulangannya”.” The highest test scores is…..Mila”.
”Alhamdulillah….” sahutnya sambil maju kedepan kelas diiringi tepuk tangan teman-temannya. Mila
salah satu anak yang ditinggal ayahnya sejak kecil ke negeri Jiran, yang sampai saat ini ayahnya belum
diketahui bagaimana keberadaannya sekarang. Langkah kakinya saat melangkah ke depan kelas
mengiringi rasa kagumku padanya, seorang anak yang tidak goyah dengan kerasnya kehidupan. “
Selamat ya mbak Mila, Alhamdulillah kerja kerasmu telah berbuah kebaikan “. “terimakasih Ibu atas
motivasinya selama ini”. Terharu ku mendengar jawabannya,sambil ku coba menahan bendungan air
yang akan keluar dari mataku.
Satu persatu nama anak-anak terpanggil dan maju ke depan kelas dengan raut wajah yang
berbeda.”Terimakasih.. ibu yakin kalian sudah berjuang keras untuk memperoleh nilai ini, semoga kalian
tidak pernah berhenti berjuang untuk terus berusaha lebih baik…”. “Aamiin….” Sahut anak-anak
serempak. Ku lanjutkan pembelajaran di kelas dengan penuh semangat seperti semangat mereka untuk
mengikuti pembelajaran di kelas.

Dering handpone berbunyi, menghentikan kegiatanku menemani anakku Nasrul yang lagi asyik
menonton TV . “ Assalamu’alaikum..…” dari seberang terdengar suara Pak Ain
“Wa’alaikumsalam..wr..wb, ada yang bisa saya bantu pak” sahutku. “Bu Arsih saya bisa minta
tolong untuk menunjuk salah satu anak yang punya prestasi baik di bidang IPA? Sekalian tolong
buat tim pembimbing beserta jadwal bimbingannya”. “ dalam rangka apa ya pak?”.” Persiapan
untuk OSK (olimpiade sains tingkat kabupaten) yang insyaa Allah akan dilaksanakan tanggal 7
Maret 2015”. Jawab pak Ain selaku wakasek kurikulum disekolahku. “siap pak , jadi kita punya
waktu sekitar 3 bulan untuk mempersiapkannya”. Sahutku bersemangat, karena moment ini
yang saya tunggu dengan harapan ada bibit unggul yang bisa mengembangkan prestasinya dan
membawa nama baik sekolah.”terimakasih Bu Arsih kita bicarakan lagi besok di sekolah, selain
itu tolong sampaikan sama bu Dina, bu Yanti dan Bu Arni untuk menunjuk perwakilan siswa
mewakili OSK matematika ”. “iya pak, sama-sama”. Jawabku mengakhiri percakapan kami di
handphone.
Siapa yang kira-kira bisa ku jadikan perwakilan sekolah? Gumamku dalam hati. Terlintas
gadis hitam manis yang selalu memperoleh nilai sempurna di setiap test yang kuberikan, anak
yang periang dan selalu antusias mengikuti pembelajaran di kelas. “Alhamdulillah…Mila”.
Kataku dengan suara keras sehingga teman-teman yang ada di luar teras menoleh ke dalam.
“hei …Arshi da apa “, Tanya Dina yang kelihatan kebingungan mendengar suaraku yang
terdengar keras di ruang tamu. “maap….ku senang saja, Alhamdulillah dah dapat anak yang
kucari”. “maksudmu….?” Tanya Yanti. Akhirnya ku ceritakan panjang lebar pembicaraan dengan
pak Ain di handphone tadi, sehingga akhirnya pilihanku jatuh pada Mila. “syukurlah…semoga
Mila bisa mengerjakannya dengan baik”. Sambung Arni . “aamiin ….dan kalian juga punya tugas
yang sama denganku”. “ What…tugas apa”. “ pesan pak Ain, Silahkan kalian tim matematika
berembug dan tentukan pilihanmu siapa anak yang dapat dikirim untuk OSK mewakili sekolah
kita ! “. “Aduch…ku kira hanya mapel IPA saja”, kata Yanti sambil menepuk kepalanya sendiri.
“ha..ha…Kita pasti bisa” sambung Arni dengan semangat. Alhamdulillah ku bersyukur tidak
sendiri menjalani kehidupan di pulau ini yang penuh banyak pengalaman yang jauh dari
sempurna.

…………………………………………………………………………………………………………………………………..
Pagi yang cerah mengiringi langkah kami kesekolah, yang jaraknya tidak begitu jauh dari
kontrakan yang kami tempati. Masih terngiang ungkapan Kepsekku, kedatangan kami Ibarat
ujung tombak yang dapat memberikan semangat kepada anggota sekolah untuk bisa mencapai
hal yang lebih baik. Semoga kami bisa mewujudkannya, meski saat ini kami hanya berusaha
menjadi guru sekaligus orang tua kedua bagi murid-murid kami sambil menahan bendungan
kerinduan pada keluarga yang kami tinggal.
Sampai di sekolah, ku datangi guru mapel yang akan membantu membimbing anak-anak
persiapan OSK, ku utarakan maksudku dengan semangat . tapi diluar dugaanku memperoleh
jawaban yang seolah-olah menghancurkan gundukan semangat yang ku himpun dengan
berbagai rencana di kepalaku sejak tadi malam.”Sudahlah bu Arsih, untuk apa repot-repot
bimbing siswa..toh kita juga tidak akan dapat”. “Kita kan masih belum mencoba pak, saya yakin
murid kita tidak jauh kemampuannya dibandingkan siswa di daratan. Tugas kita yang utama
memberi kesempatan mereka untuk terus maju masalah hasilnya saya kira itu adalah wilayah
Tuhan yang Insyaa Allah jika Allah berkehendak tidak ada satupun yang mampu mencegahnya
begitu pula sebaliknya” berusaha ku bangkitkan semangat diri dengan harapan pemikiran
temanku dapat berubah. “Baiklah Bu…tidak ada salahnya kita coba, tolong sekalian siapkan
jadwal untuk mapel saya”. “Alhamdulillah…siap pak tugas saya laksanakan “.sambil mengangkat
tanganku di kepala seolah-olah posisi hormat. “ha..ha…lanjutkan” sambung Pak Alan tertawa
melihat tingkahku. Pak Alan merupakan salah satu guru yang akan membibing apel IPS.
Alhamdulillah akhirnya jadwal bimbingan sudah terbentuk dan teman-teman guru juga
semangat mengisi bimbingan belajar untuk persiapan OSK.
Saat ditunggu sudah tiba anak-anak yang sudah terpilih berkumpul di Pelabuhan untuk
berangkat ke kota, karena besok pelaksanaan OSK . Seorang wanita mendekatiku “Bu Arsih saya
nitip Miila “, ternyata wanita tersebut..Ibunya Mila yang berbicara dengan mata berkaca-kaca.
“ Siap Ibu jangan khawatir kami akan selalu Bersama Mila”. Jawabku sambil menepuk
pundaknya berusaha menghiburnya. “ doakan kami bu ..semoga sukses “.kata Bu Dina yang ada
di sampingku. “ Insyaa Allah selalu .. setiap penghujung malam saya selalu mendoakan untuk
Mila agar memperoleh yang terbaik apalagi pada saat saya melakukan ibadah puasa sunnah “. “
Masyaa Allah..terimakasih Ibu. semoga Allah mengabulkan hajat kita semua”. Sahut saya
dengan perasaan yang sedih bercampur haru karena begitu besar harapannya agar Mila bisa
sukses. “ Maaf Ibu kapal akan segera berangkat ..kami tinggal dulu “. kata Pak Amsar sambal
tergesa-gesa membawa beberapa tiket kapal di tangannya.
Alhamdulillah perjalanan lancar , setelah menempuh perjalanan skitar 4 jam
teroambang ambing di atas kapal Ekpress. Keberadaan kapal Ekpress di pulau ini sangat
membantu sebagai alat transportasi penghubung pulau ini dengan kota sehingga perjalanan
terasa lebih cepat , karena jarak pulau ke kota dapat ditempuh sekitar 9-11 jam jika
menggunakan kapal biasa. Setiba di kota dengan naik mobil angkutan umum kami tiba di
penginapan, “ Ibu lihat kalian sudah merasa capek , kalian Istirahat dulu “. Kataku sambil
menutup pintu kamar. “ terimakasih Bu sahut mereka serempak” selain Mila juga ada Ina dan
Ika sebagai perwakilan mapel IPS dan Matematika.
Keesokan harinya anak-anak sudah siap berangkat mengikuti kompetisi tapi dari raut
wajah mereka kelihatan bahwa mereka sangat khawatir , dan mereka minder karena hanya
anak pulau dengan segala keterbatasan yang ada. Tidak sama dengan anak-anak dari sekolah
lain yang lebih maju . “ Bagaimana kalian bisa mengerjakan kata Bu Arni ?” ketika melihat
anak-anak keluar dari kelas , tempat mereka ikut tes. “ Alhamdulillah bisa bu..” sahut mereka
dengan perlahan. “Alhamdulillah..kalian sudah berusaha maksimal..insyaa Allah juga akan
memperoleh hasil yang baik. Proses tidak akan menghianati hasil “. “ Ayo kalau mau jalan-jalan
atau membeli oleh-oleh untuk keluarga kami antar ..Insyaa Allah pengumuman sekitar
seminggu lagi, insyaa Allah besok kita pulang” . Kata Dina sambil memberikan tas anak-anak
yang Bu Dina pegang selama mereka pulang.
Setelah anak-anak memperoleh oleh-oleh untuk keluarga mereka di pulau, kami segera
pulang ke peninapan untuk beristirahat. Keesokan harinya kami pulang dengan sejuta Asa
semoga kami bisa masuk ke tahap selanjutnya.
Seminggu menunggu hasil lomba terasa sangat lama sekali, HP ku berdering dari Bapak
kepala sekolah “ Assalamualaikum Bu Arsih ..” Wa’alaikum salam..ya Pak ?“ sahut saya. “Bu
hasil OSK sudah keluar bu..”. “ Oh ya pak..bagaimana hasilnya?” saya menjawabnya dengan
ragu dan khawatir. “ Selamat ya Bu….”. “ kenapa Pak ?” Ya alhamdulillah siswa kita ternyata
dapat Bu yang terbaik juara 1 OSK untuk mapel IPA “ kata Kepsekku dengan semangat “
Alhamdulillah ya Allah.. terima kasih ya Allah..” sahut ku dengan senang . “ Tolong sampaikan
sama Mila.. Bu Arsih tentang hal ini dan Insyaa Allah 3 hari lagi Mila akan dapat bimbingan dari
Tim OSN Jawa Timur”. “ Siap Bapak terimakasih infonya akan saya sampaikan, sebentar lagi
saya akan berangkat ke sekolah “ kataku semangat sambil melihat jam dinding yang
menunjukkan jam 7.30 wib
“ Mila…”. Sembari berteriak ku memanggil Mila yang melewati Ruang guru. “ Iya Bu….”.
Mila berjalan mendekati saya . “ Mila Ibu punya kabar bagus buatmu.. “Selamat Mila..
Alhamdulillah doa kita dikabulkan sama Allah.. “ kataku sambil melihat raut wajah Mila yang
senang mendengar berita yang kusapaikan. “ Juara apa Ibu..??” “ Hm… Mila lupa ya…hari ini
sudah seminggu dari kompetisi OSK yang kalian ikuti. Mila Juara 1 OSK akan lanjut ke babak
selanjutnya kita akan lanjut ke tingkat provinsi” . kataku berusaha mengingatkannya. “ Ya
Allah.. iya bu saya lupa.. Alhamdulillah ya Allah..terimakasih Ibu atas bimbingannya selama ini”
katanya dengan senang. “ Itu berkat kerja kerasmu nak..dan yang pastinya do’a Ibumu yang
tidak pernah terputus untuk Mila….tolong sampaikan terima kasih Ibu untuk Ibunya Mila”.
Kataku sambil membayangkan seraut wajah dengan penuh harapan dan do’a saat mengantar
kepergiaan kami di Pelabuhan. “ Siap Ibu… akan saya sampaikan” sahutnya sambil meminta izin
untuk pergi ke kelas. Semoga Mila bisa berjuang lebih keras lagi untuk mengikuti Bimbingan ke
tingkat Propinsi, yang pastinya Tim pembimbing OSN Propinsi yang akan menemaninya selama
bimbingan.

BERSAMBUNG
Cerpen 20

????Belum Berjudul???
Oleh Risah Febriyanti

Perkenalkan namaku Aisyah Humairoh. Orang tuaku memberikan nama ini karena
mengharapkan aku kelak menjadi wanita yang sholihah seperti istri Rasulullah. Ketika aku
masih dalam kandungan, ibuku selalu mendengarkan lagu Aisyah, sampai aku lahir ibuku
selalu menyanyikan lagu Aisyah ketika menjelang tidur. Sampai sekarang usiaku yang
sudah dewasa tetap kuingat lirik lagunya. Akupun suka lagu ini.

Ibuku bernama Habibah, adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dia memiliki
adik kembar laki-laki, namanya om Hasan dan Husen. Kakekku bernama Sahid dan
nenekku Zahra. Dulu kakek dan nenekku berasal dari keluarga yang berkecukupan. Semua
kebutuhan dapat terpenuhi dengan mudah. Fasilitas yang lengkap seperti mobil, rumah
mewah, serta gaya hidup mereka yang highclass.

Walaupun ibuku hidup dengan segala fasilitas yang serba lengkap, tapi dia tidak
pernah menggunakan fasilitas kakek dan nenek. Sejak muda ibuku memiliki hobi memasak.
Dia selalu membuat kudapan tradisional yang berbahan tepung seperti nanggasari, lumpur
manis, lumpur gurih, kucur,dan masih banyak lagi macamnya. Sampai aku tidak hafal
karena beraneka ragam jenis olahan kudapan yang ibu buat, dan semuanya enak.

Hasil kudapan buatan ibu kemudian dititipkan ke warung-warung dan toko-toko di


sekitar komplek perumahan. Jualan ibuku laris manis, selalu saja tak bersisa. Ibuku punya
trik jitu dalam memasarkan jualannya. Entah bagaimana jelasnya yang kuingat setiap hari
menu kudapan yang ibu jual berbeda-beda, sehingga si pembeli tidak bosan untuk selalu
membeli olahan kudapan yang ibu buat.

Hasil penjualan langsung ibu tabung. Senang rasanya memiliki usaha sendiri.
Awalnya hanya sekedar hobi, namun ternyata hobi yang terbayar. Kakek dan Nenek yang
awalnya kurang berkenan karena ibu berjualan kue, alasannya malu karena gengsi dari
latar belakang keluarga yang kaya akhirnya mendukung usaha ibu. Rasa bangga dan haru
kakek dan nenek karena ibuku juga ikut berbagi dengan anak-anak yatim dan duafa baik
berupa makanan juga uang hasil dari jualan kue.

Di usia ibu yang masih beranjak remaja, tidak seperti umumnya di masa-masa
seperti ibu waktu itu, masih disibukkan dengan kumpul-kumpul dengan teman sebayanya
dan suka shoping ke mall. Itu semua jauh dari sifat ibuku. Dia lebih suka tinggal di rumah
saja melakukan hal yang menghasilkan sesuatu daripada mengamburkan uang untuk hal-
hal yang tidak penting. Bagiku ibuku adalah super women.

Beda dengan saudara kembarnya om Hasan dan Husen. Mereka memiliki


kepribadian yang jauh dengan ibuku. Usia ibuku dan om-omku hanya terpaut dua tahun.
Seperti remaja pada umumnya, om Hasan dan Husen suka kumpul-kumpul dengan teman
sebayanya, hura-hura, keluyuran di jam sekolah. Hal tersebut membuat kakek dan nenek
marah, kecewa, dan sedih. Sering kali kakek mendapat surat panggilan dari sekolah karena
perilaku yang buruk saudara kembar ibuku.

Ketika om Hasan dan Husen mendapat teguran dan kemarahan kakek, om-omku
selalu saja mengatakan kepada kakek bahwa ibukulah anak kesayangan kakek dan nenek,
sedangkan omku adalah anak yang selalu dinilai tidak baik dan pembuat ulah, padahal
kakek dan nenek tidak pernah membedakan rasa kasih sayangnya antara ibu dan saudara
kembarnya. Sungguh membuat kakek dan nenek sangat kecewa mendengarnya.

Sampai suatu saat om Hasan dan Husen pulang ke rumah dalam keadaan mabuk
berat, kakek nenek marah luar biasa. Tanpa nego lagi om –om kembarku akhirnya diusir.
Sambil ngomel tidak karuan,tanpa kontrol tidak terima atas keputusan kakek dan nenek,
akhirnya pergi tanpa membawa fasilitas dari kakek dan nenek lagi. Hingga sekarang.

Semenjak kepergian saudara kembar ibu, suasana di rumah lebih tenang. Tanpa
gangguan suara gaduh musik yang kerap kali terdengar mengganggu telinga karena disetel
dengan volume keras. Tak ada penyesalan sedikitpun dari kakek dan nenek . di rumah kini
hanya tinggal kakek, nenek, ibuku dan para asisten rumah tangga. Semua beraktivitas
seperti biasa. Ibuku saja yang merasa kehilangan saudara kembarnya walaupun
saudaranya tidak pernah menganggap ibu adalah saudara kandung mereka.
Waktu berlalu, suatu ketika kakek dan nenek memanggil ibuku di ruang tamu.
Tampak serius suasana malam itu. Hasil pembicaraan kakek adalah menyegerakan ibu
untuk menikah dengan pilihan kakek dan nenek.

“ Bibah, usiamu kini sudah cukup untuk berkeluarga, bapak dan ibu telah
menemukan jodoh yang menurut kami pantas dan cocok untukmu. Dia laki-laki yang baik
dan mapan.” Ujar kakek waktu itu. Ibuku tidak segera menjawab, hanya diam sejenak.

“Selama semua keputusan bapak dan ibu terbaik buat Bibah,” jawab Ibuku
menerima perjodohan yang dipilih kakek dan nenek.

Pernikahanpun dilaksanakan dengan sangat meriah. Teman-teman kolega kakek


turut hadir. Ibuku akhirnya resmi menjadi nyonya Susilo. Itulah nama ayahku. Dia sosok
ayah yang disiplin, pekerja keras, baik hati, benar-benar serasi dengan ibuku yang cantik
dan baik hati. Tanpa butuh waktu yang lama akhirnya akupun lahir ke dunia. Seluruh
keluarga besar sangat berbahagia dengan kehadiranku.

Sejak kecil ayah sangat memanjakanku. Apa saja yang aku ingikan selalu saja
dituruti. Segala yang kuinginkan selama ini bukanlah sesuatu yang berupa materi, akan
tetapi aku selalu mencari perhatian ayah, agar selalu ada buat aku dan ibuku. Hingga aku
menginjak remaja.

Ayahku adalah orang yang jujur dan amanah. Setiap pekerjaan yang dipercayakan
kepadanya selalu dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Inilah kelebihan sifat
ayah sekaligus kelemahannya, yang terkadang dimanfaatkan oleh orang yang kurang suka.

Sore hari seperti biasa aku menyiram tanaman favoritku di halaman rumah. Tiba-
tiba ada dua orang tamu laki-laki dengan salam menggugah keasyikanku menyiram bunga.
Ketika kulihat mereka, aku agak terkejut karena wajah mereka amatlah mirip atau lebih
jelasnya seperti saudara kembar.

“ Assalamualaikum , bisa kami bertemu dengan ayah dan ibumu?” Tanya mereka
berdua hampIr bersamaan pula.

“ Waalaikum salam, pak,”Jawabku. “ Maaf dengan bapak-bapak siapa ya?” tanyaku.


adalah kakak dari kedua saudaranya sehingga ibuku Ketika usiaku mengijak tujuh
tahun, ayahku meninggal karena sakit-sakitan.
Cerpen 21

Siluet di Balik Jendela


Oleh : Kuratul Aini

Rikzan menyesap kopi susu buatannya sambil menatap cerahnya sinar mentari yang
seakan menyapa dari balik jendela kamarnya. Hamparan sawah yang menghijau dan gagahnya
gunung merapi memang sangat dirindukannya. Sejak kepulangannya dari Kairo seminggu yang
lalu, dia tidak pernah melewatkan moment itu. Dengan memandanginya seakan membawa
Rikzan pada kenangan di masa lalu bersama Najwa yang kini entah berada berada dimana.

“Sudah Kuduga, kamu pasti ada di sini!” Rikzan sedikit terkejut mendengar suara itu.

“Mama bikin kaget aja,” jawabnya.

“ Ternyata kamu tidak berubah. Selama 13 tahun kau meninggalkan rumah ini. Aku kira
kau akan berubah tapi ternyata tidak.” Sambil tersenyum dan mengusap lengan anak
kesayangannya itu. Mirna ingat sejak pertama kali dia membawa Rikzan ke rumahnya, Rikzan
selalu menghabiskan waktunya di samping jendela.

“Aku dan Najwa selalu menunggu di jendela panti. Kami selalu berharap orang tua kami
akan datang menjemput kami,” jawab Rikzan ketika Mirna menanyakan alasannya .

“Sudahlah, jangan diingat lagi. Mama yakin dimanapun orang tuamu berada dia pasti
bangga padamu setelah melihat keberhasilanmu sekarang.” Mirna berusaha menghibur Rikzan.”

“Oh ya sana mandi, bukannya hari ini kamu ada intervie di kampus!” Mama berusaha
mengalihkan pembicaraan. Rikzan melihat jam di tangannya lalu menghabiskan isi mug lalu
menuju ke kamar mandi..

Mobil jazz putih membawa Rikzan membelah keramaian kota Jogja dengan ditemani
suara merdu Katon Bagaskara yang mendendangkan lagu Yogyakarta, Negeri di Awan hingga
Lara Hati. Tak terasa mobil itu telah memasuki sebuah kampus ternama di kota itu. Setelah
memarkir mobilnya di bawah pohon rindang, Rikzan segera menuju gedung rektorat tempat
intervie itu akan diadakan.

“Buk … , “

Tubuh mungil berkhimar merah maron itu menabrak tubuh Rikzan hingga buku yang
dipeganngnya terjatuh berceceran. Tampaknya dia sedang tergesa-gesa.

“Maaf !” ucapnya sambil mengumpulkan buku yang berserakan di lantai. Rikzan tak
bergeming. dia terpaku sambil memperhatikan gadis itu.
“Sekali lagi maaf, saya tidak sengaja,” katanya sambil memberikan buku itu pada Rikzan.
Mata mereka bersitatap. Mata bulat dengan alis mata tebal cukup membuat dada Rikzan berdesir
halus. Rikzan merasa mengenal mata bulat itu tapi siapa dan dimana. Rikzan tak menemukan
jawabannya.

Suara klakson mobil membuyarkan lamunan mereka. Lalu Gadis itu meninggalkan Rikzan.
Rikzan menatap punggung gadis itu hingga tak terlihat lagi. Rikzan meninggalkan tempat itu
menuju ruangan yang telah ditentukan. Beberapa jam kemudian Rikzan keluar dengan wajah
sumringah. Yah, dia telah diterima mengajar di kampus itu.

Rikzan diberi waktu satu minggu untuk menyiapkan segalanya. Dia memegang mata
kuliah filsafat. Dia mulai sibuk membuka buku, modul dan literature lainnya sesuai dengan mata
kuliah yang dipegannya. Untuk itu dia lebih suka menghabiskan waktu di dalam kamar. Telah
berjam-jam lamanya dia menekuri buku yang ada ditangannya. Rikzan merasa matanya lelah dan
mengantuk. Dia meletakkan bukunya di sofa lalu berdiri dan mengedarkan pandangannya ke
jendela.

Deretan rumah yang berjejer rapi terasa sunyi di malam hari. Hanya lalu lalang kendaraan
bermotor atau suara pedagang keliling yang menjajakan dagangannyalah yang di dengarnya.
Mata Rikzan terpaku menatap jendela rumah yang berhadapan langsung dengan rumahnya. Dia
melihat siluet sosok perempuan sedang duduk sambil menekuni sesuatu di balik jendela rumah
itu.. Rikzan kira rumah itu tak berpenghuni. Dia tidak pernah melihat orang keluar atau masuk ke
rumah itu. Tatapannya tidak pernah lepas dari jendela itu. Dia semakin penasaran akan sosok di
balik jendela itu.

Setelah makan malam Rikzan bercengkrama dengan ibunya sambil menonton televisi,
sedangkan ayahnya sedang menghadiri pengajian di masjid. Sebenarnya Ayahnya mengajak
Rikzan untuk hadir tapi karena ada beberapa modul yang belum terselesaikan sehingga Rikzan
menolak ajakan ayahnya itu.

“Kapan kau akan mulai mengajar di kampus itu?” kata Mama sambil tetap menatap
benda pipih yang sedang menayangkan sinetron kesukaannya itu.

“Dua hari lagi Ma!” kata Rikzan sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya.

Rikzan jadi ingat akan kejadian tadi sore. dia pun berniat untuk menanyakan hal itu pada
mamanya.

“Oh ya … Mama kenal dengan penghuni rumah di depan itu?”

“Ya, emangnya kenapa?”


“ Gak ada apa-apa sih cuma penasaran aja. Sejak aku pulang ke rumah ini tidak pernah
sekalipun aku liat ada orang di sana!”

“ Oh itu, Setahu mama rumah itu bukannya tidak berpenghuni. Rumah itu milik Pak
Sulaiman teman majlis taklim Ayah. Beliau tinggal di rumah itu sejak lima tahun yang lalu!”

“Tapi koq aku belum pernah melihat orang yang mama maksud itu keluar dari rumah
itu?”

“Pak Sulaiman meninggal setahun yang lalu karena serangan jantung. Kini tinggal
putrinya yang bernama Erika dan pembantunya yang ada di rumah itu!” Penjelasan mamanya
cukup membuka tabir tentang sosok di balik jendela itu. Sejak saat itu memandangi siluet di
balik jendela itu dari kejauhan sudah menjadi kebiasaannya.

###

Rikzan melangkahkan kakinya menuju ruang kelas H9 yang menjadi tujuannya. Yah hari
ini adalah hari pertama dia akan mengajar di kampus itu. Rasa grogi sih ada hanya saja dia
berhasil menepisnya. Memang hal ini baru pertama akan dilakoninya, Tapi semua teman-
temannya banyak yang tahu siapa Rikzan. Seorang mahasiswa lulusan terbaik Al Azhar yang
tidak hanya memiliki otak yang cerdas tapi juga pandai berdiskusi. Jadi berbicara di depan
umum bukan masalah baru baginya.

Semua mata menatap ke arah dosen baru itu dengan pandangan yang sulit ditafsirkan.
Terutama para mahasiswi. Rikzan memang memiliki paras yang ganteng dan tubuh yang atletis,
jadi tidak heran jikalau banyak gadis yang tergila-gila padanya. Tapi tidak dengan gadis yang
duduk di samping jendela itu, setelah melihat ke arah Rikzan sebentar, matanya kembali terpaku
ke luar jendela. Entah apa yang dipikirkannya.

“Perkenalkan saya Rikzan Anggawijaya,” kata Rikzan memperkenalkan diri sebelum


memulai perkuliahannya. Satu persatu dia memanggil nama mahasiswanya sebagai perkenalan.

“Erika Nur Maulidia!” Panggilnya.

Tampak gadis berkhimar hijau mengacungkan tangannya. Mata mereka beradu. Tak berapa
lama gadis itu menundukkan kepalanya. Kini Rikzan tahu bahwa gadis bermata bulat yang
berhasil membuat jantungnya berdetak tak karuan itu ternyata mahasiswanya.
###

Erika menghirup kopi buatan Bi inah dengan mata terpejam. Aroma kopi dapat
menenangkannya. Dia yang sebelumnya tidak suka kopi menjadi maniak kopi sejak kehilangan
orang-orang yang disayanginya, pertama Angga teman masa kecilnya, Azwan kekasihnya lalu
ayahnya. Ayah yang telah membesarkannya seorang diri sejak ibunya meninggal. Ayah juga
memilih untuk tidak menikah lagi karena ingin fokus membesarkannya.
Erika mengenal Azwan pada saat OSPEK. Azwan menjadi salah satu panitia acara
tersebut. Azwan berhasil meyelamatkannya dari hukuman panitia lainnya disaat dia melakukan
kesalahan. Sejak saat itu mereka menjadi dekat. Azwan juga sering membantu Erika
mengerjakan tugas. Tanpa mereka sadari kebersamaan itu menumbuhkan rasa cinta diantara
keduanya. Hingga pada saat Azwan wisuda, dia mengenalkan Erika pada orang tuanya.

Sehari sebelumnya Erika sibuk memilih baju yang tepat untuk dipakai di acara wisuda
Azwan. Dia tidak ingin mengecewakan Azwan di depan orang tuanya. Hari yang dinanti pun
telah tiba. Dengan ditemani Tami sahabatnya, Erika mencari keberadaan Rikzan setelah acara
selesai. HP Rikzan juga tidak bisa dihubungi. Setelah membutuhkan waktu cukup lama akhirnya
Erika berhasil menemukan Rikzan yang sedang berfoto dengan keluarganya.

Dengan membawa buket bunga di tangannya Erika segera menuju ke arah Rikzan.
Langkah Erika terhenti setelah melihat gadis manis berkerudung tosca pada Rikzan. Hatinya
sakit dan terluka, tapi hal itu ditepiskannya dan tetap melanjutkan langkahnya ke arah Rikzan.
Melihat kedatangan Erika, Rikzan lalu melepaskan diri dari perempuan itu dan menghampirinya
dengan tatapan yang berbeda. Setelah menerima bunga pemberian Erika, lalu Rikzan menarik
tangan Erika lalu membawanya kehadapan ibunya.

“Bu, perkenalkan ini Erika calon istriku!” ucap Rikzan dengan tegas.

Ibu Rikzan cukup terkejut mendengarnya. Hatinya gundah. Akhirnya apa yang ditakutkannya
selama ini terjadi juga, Rikzan akan memperkenalkan kekasihnya di hari wisudanya. Rikzan
tidak pernah tahu bahwa dia telah dijodohkan dengan Putri anak pak Ridwan sahabat Ayahnya
sesuai dengan wasiat ayah. Rikzan juga tidak tahu bahwa pak Ridwanlah yang telah membiayai
kuliahnya selama ini.

Sejak saat itu Rikzan mulai berubah. Rikzan jarang menemuinya . Bahkan terkadang
HPnya tak bisa dihubungi. Hingga sebuah chat masuk dan ternyata dari Rikzan yang
mengajaknya bertemu di tempat biasa. Dengan mengendarai mobil kesayangannya Erika
meluncur menuju tempat yang ditentukan.

Café itu cukup sepi siang ini. Erika mencari sosok yang beberapa hari ini sangat
dirindukannya itu. setelah menemukan orang dicarinya, Erika menuju ke tempat duduk Rikzan.
Setelah tidak bertemu selam hampir dua bulan, Erika melihat tubuh Rikzan agak kurusan dan
awut awutan. Sangatlah berbeda dengan Rikzan yang dikenalnya sejak lama yang selalu
berpenampilan rapi dan nyentrik.

“Minumlah, aku sudah memesankan jus alpukat itu untukmu,” kata Rikzan sambil
menatap ke luar jendela.
“Terima kasih, ternyata kau masih ingat minuman kesukaanku. Aku kira setelah dua
bulan menghilang kamu akan melupakanku” jawab Erika sambil memainkan sedotan di
gelasnya.

“Maafkan aku. Bukan maksudku untuk melakukan semua itu. aku hanya tidak ingin
membuatmu semakin kecewa padaku.”

“Apa maksudmu?”

“Kamu masih ingat gadis yang bersama ibuku pada saat wisuda. Namanya Putri. Dia
anak sahabat ayahku yang telah dijodohkan denganku sesuai wasiat Ayah. Ternyata Orang tua
Putri yang telah membiayai kuliahku selama ini.” Hati Erika terasa sakit mendengarkannya. Kini
dia mulai mengerti arti dari perubahan sikap Azwan. Dia berusaha menahan air matanya agar
tidak terjatuh di depan Azwan. Dia harus kelihatan tegar. Dia merasa takdir ternyata sedang
mempermainkannya saat ini.

“Sekali lagi maafkan aku. Seandainya aku tahu hal ini dari dulu, mungkin aku tidak akan
pernah merangkai mimpi-mimpi indah kita. Karena aku tahu hal itu hanya akan
mengecewakanmu dan akan membuat kita terluka. Aku harap kau mengerti.” Erika
meninggalkan Azwan tanpa sepatah katapun. Air matanya tak terbendung lagi. Dia berlari
sekencang-kencangnya untuk membuang semua gundah di hatinya. Jika mengingat hal itu maka
tanpa terasa bulir-bulir bening mulai jatuh di pipinya.

###

Rikzan memasuki rumah itu dengan hati gelisah. Teryata tempat ini tidak banyak
berubah. Mungkinkah dia akan menemukan orang yang dicarinya di tempat ini. Kenangan di
masa lalu terekam nyata di benaknnya. Rikzan masih ingat dengan jelas, hari dimana orang tua
angkatnya datang untuk mengadopsinya dan membawanya pergi dari panti ini. Najwa memegang
erat tangannya sambil menangis terisak-isak.

“Kak Angga, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Bukankah kakak telah berjanji akan
menjagaku!” Cekalan tangan Najwa semakin erat terasa.

“Aku akan selalu datang ke tempat ini untuk menemuimu.” Rikzan mengusap air mata di
pipi Najwa.

“ Aku berjanji jikalau besar nanti aku akan membawamu pergi dari tempat ini dan kita
akan hidup bersama selamanya!” lanjutnya sambil meraih tubuh mungil itu ke dalam
pelukannya.

“Maaf, ada perlu apa datang ke sini?” pertanyaan ibu tua itu membuyarkan lamunannya.
Rikzan masih ingat dia adalah bu Retno penjaga panti ini,
“Ibu lupa sama saya. Saya Angga penghuni panti ini yang telah diadopsi keluarga pak
Dirman 20 tahun yang lalu!” Rikzan meraih tangan Bu Retno lalu menciumnya. Bu Retno
memeluk Rikzan dengan erat. Dia ingat Angga adalah anak asuhnya yang paling penurut. Tak
jarang Angga atau Rikzan kecil membantunya berbelanja ke pasar.

“Lama sekali kamu tidak ke sini. Ibu kira kamu telah melupakan kami.” Tanyanya sambil
memegang tangan Rikzan.

“Maafkan aku bu. Setelah keluar dari pondok pesantren di jawa timur, aku melanjutkan
kuliah ke kairo sehingga membuat aku belum bisa mampir ke tempat ini,’ jawab Rikzan.

“Oh ya kamu masih ingat Najwa.” Desir-desir halus terasa di dada Rikzan ketika nama
itu disebut. Nama itulah yang menjadi alasan utamanya untuk datang ke tempat ini.

“Najwa juga diadopsi keluarga kaya, sama sepertimu. Tapi dia sering main ke sini dan
selalu menanyakanmu pada ibu!” kata Bu Retno.

“Setiap mampir ke sini dia selalu duduk di samping jendela itu, tempat dimana kalian
selalu bercegkrama bersama. Katanya dia ingin menjadi orang pertama yang akan melihatmu dan
berharap kau akan menjemputnya!” Ucapan Bu Retno cukup membuatnya menjengit. Rasa
bersalah mulai menyusup di dadanya

“Ternyata Allah telah menjawab doanya. Kalian dipertemukan di sini!” Rikzan masih
belum mengerti akan perkataan bu Retno.

“Maksud Bu Retno …?” Tanya Rikzan

“Najwa ada di sini! Temui dia sekarang. Dia ada di dalam sedang bermain dengan anak-
anak!” Perkataan Bu Retno membuat mata Rikzan berbinar. Lalu bergegas menuju ke dalam
panti.

Ada tiga orang perempuan disana. Ada yang sedang menyuapi makanan, memakaikan
baju atau sekedar bermain dengan mereka. Rikzan berdiri di depan pintu sambil
berteriak,”Najwa.”

Panggilan Rikzan membuat semua mata menoleh ke arahnya, terutama Erika. Erika
terkejut ketika ada seseorang yang memanggil namanya. Hanya orang-orang dari masa lalunya
yang mengenalnya dengan nama itu. Erika tertegun melihat sosok di depan pintu itu. Tatapan
mereka beradu. Sorot mata yang sama yang Rikzan temui di depan ruang rektorat, di kelas dan
di panti beberapa tahun yang lalu.
Biodata Penulis

Kurratul Aini, lahir di Sumenep, 16 Agustus 1978. Ibu dari 3 orang anak ini berprofesi sebagai
guru di SMPN 1 lenteng sejak tahun 2001 sampai sekarang. Lulusan Universitas Negeri Malang
pada tahun 2000 dan STKIP PGRI Sumenep di tahun 2006 ini memaknai menulis sebagai
sesuatu yang personal. Dengan menulis kita bisa menuangkan segala perasaan dan pengalaman
dalam sebuah coretan yang akan dikenang sampai kapanpun. Tulisan yang pernah dipublikasikan
diantaranya Kitab Pentigraf Edisi Khusus “Seperjuta Millimeter Dari Corona”, Pelangi Hati
Kumpulan Kisah ‘Anakku Guru Kecilku” dan Goresan Pena Guru Bahasa Kala Pandemi
Korona.

Cerpen 22
BIBIR TANPA BIAS NIKOTIN
Oleh: Nur Hasanah

Ku banting tubuhku ke kasur empuk tanpa ranjang di kamar kost. Telungkup, berguling,
terlentang kemudian telungkup lagi, risau. Ini membuatku berada di puncak kebencian pada hasil
sebuah usaha yang menempatkanku sebagai tuhan yang tidak bisa berbuat banyak terhadap hasil
ciptaannya.

‘Cling …’ suara notivikasi HP androidku, menandakan ada pesan masuk. Aku raih benda segi
empat datar, benda pengubah jarak dekat-jauh tersebut. Jari jempol mulai menekan tombol
angka pembuka, aku memberikan sandi pada smartponku ini, tidak lain karena aku sering lupa
untuk mengaturnya kembali keruang awal sehingga hal fatal pernah terjadi.

‘Bagaimana? Sudah ada balasan untuk semua tulisan yang kamu kirimkan?` tanpa berpikir
panjang, jari-jari merespon perintah otak.

‘Ada sebagian, hanya permintaan maaf karena tidak bisa mempublikasikannya’ terkirim,
centang dua berwarna abu-abu, pertanda belum dibaca.

Ku letakkan kembali HP ke tempat semula, mencoba terlelap. Nihil, sebuah bayang kehidupan
terpampang dipelupuk mata, seperti slide film yang siap untuk ditonton.

Berawal dari kesengajaan mengikuti pelatihan literasi, sekitar tiga tahun yang lalu. Niat utamaku
tulus, belajar. Namun ditengah-tengah sedang khusuknya mengais ilmu aku bersenggolan
dengannya. Tergabung dalam sebuah kelompok yang beranggotakan lima orang. Dia begitu,
memukau. Benar, jika adanya mengalihkan duniaku. Namanya Fadli.

Berkulit kuning langsat dengan wajah bersih. Wajah tirus tidak kurus, jika ingin membayangkan
sosoknya lebih mirip dengan artis Oemar Daniel. Fadli ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna.

Bibirnya merah tanpa bias nikotin, rokok. Berbeda denganku yang sesekali mencicipinya, dikala
masalah menghampiri. Ternyata candu itu bukan hanya milik narkoba.
Kaca mata minusnya semakin menekankan bahwa dia itu jenius, otaknya sering diasah,
sedangkan aku masih dengan otak utuh, tidak tersentuh.

“Menulis itu sama dengan menuang, jika ingin tulisanmu baik maka isilah dengan hal-hal yang
baik,” katanya kala itu, sebagai ketua kelompok dia tidak memonopoli tugas, meskipun aku tau
dia mampu melakukannya sendiri. Aku meliriknya, dia masih tetap fokus menjelaskan pada
kami, anggota kelompoknya.

Karyanya sudah tidak terhitung lagi yang telah terpublis, karya tulis sederhana yang sering aku
ejek. Entah mengapa dia tidak pernah marah, katika aku menilai tulisannya, yang menurutku
siapa saja bisa menulisnya. Dan anehnya, penggemar tulisannya banyak. Terbukti dari postingan
di akun Facebook , para followernya selalu bertanya kapan tulisannya mau di publis lagi?.

“Tidak perlu menggunakan bahasa langit, karena kita manusia. Pakailah, bahasa sederhana dan
mudah dipahami” dengan santai dia menjawab ejekanku. Jujur, aku juga mengagumi tulisannya,
sederhana, sarat makna, seperti ada ruh dalam setiap kata-katanya, Hobinya menulis cerita fiksi,
penjiwaan dalam karyanya sering membuat orang lain menagis, tertawa dengan penjiwaan yang
sering menyeret namanya jika dia pernah mengalami apa yang dia tulis. entah bumbu sedap apa
yang ia racik, menuntut yang baca untuk menyelesaikan sampai titik ahir.

Ada yang beda di sini, pada bagian relung terdalam. Desir aneh, menjalari setiap inci rasa.

‘ini salah,’ gumamku sendiri, tanpa ada yang mendengar kecuali Tuhan.

-----

“Menginaplah di sini, di luar masih hujan. Kamar kosmu sudah dikonci bukan?” Dia bertanya,
kujawab melalui anggukan, bahasa isarat mengiakan, karena mulutku masih penuh dengan
makanan yang disajikan.

Kamar kost yang dia tempati memang hampir sama dengan tempat kosku. Satu lemari, kasur
tanpa ranjang. Bedanya, di sini ada sofa panjang. Sama-sama jauh dari keluarga, membuat aku
merasa nyaman bersamanya.
“Kamu tidur di kasur, biar aku tidur di sofa” Dia memutuskan, aku masih meneruskan sisa
makan malam. Aku ketempatnya hanya ingin mengobati rindu dengan tabir belajar cara menulis
kalimat yang baik.

“Aku tidur duluan ya!,karena besok aku harus mengikuti apel pagi. jika takut kekamar mandi
bangunin aku,” ungkapnya kemudian, sambil mengeluarkan selimut tebal dari dalam lemari,
menaruhnya di dekatku, berlalu menuju sofa. Menanggalkan kaca mata minusnya, meletakkan
kemeja. Rebahan, dan terlelap.

Belum sepuluh menit terdengar halus dengkur nafasnya, aku mengamati dari jarak kurang
semeter. Kulit wajahnya, bersih. bibir merah yang menuntutku untuk terus mengamatinya, aku
tidak bisa tidur.

Inginya, bibir itu aku raih, kemudian aku nikmati seperti mengulum permen karet, liar. Otak
yang tidak bisa singkron dengan rasa, mencipta debar yang bertalu-talu di dada.

Bangun, kuikat rambut sebahuku, dengan tali pengikat yang kujadikan gelang. Menuju kaca
yang tertempel didinding.mengamati setiap inci bentuk wajahku.

‘ Gila’ batinku mengumpati diri. Mengusap kasar wajah dengan kedua tangan, dan membiarkan
gundah itu menghilang.

Tidak ada yang lebih menakutkan selain menghadapi perasaan diri, akan rasa yang sama
besarnya dengan logika. Bukan setan penunggu kamar mandi yang aku takutkan, akan tetapi
setan yang bersemayam di pikiran, memancing hasratku untuk selalu berada didekatnya.

Kembali kekasur, mencoba terpejam. Entah berapa lama, antara sadar dan lelapku, aku
melihatnya turun dari sofa yang dia tempati, menghampiriku dan menyelimuti tubuhku dengan
selimutnya, Hangat.

Terbangun oleh sinar mentari pagi, ku edarkan pandangan. Terlihat dia keluar dari kamar mandi,
dengan rambut masih basah, handuk yang hanya melilit pada tubuh bagian bawahnya.
Menampilkan tubuh maskulinnya, ingin kutarik dalam selimut.
“Bangunlah, segera mandi. Banyak tugas yang harus dikerjakan,” katanya, sambil memercikkan
sisa air rambutnya ke wajahku. Ku tangkis dengan memasukkan wajahku dalam selimut, dia
menarik selimutku. Aroma sabun dan sampoo semakin memupuk desir aneh itu.

“Ia … ia … aku bangun” aku bergegas merapikan tempat tidur, beranjak ke kamar mandi.
Sebelum masuk ke kamar mandi aku menoleh, masih nampak senyum manisnya, membuatku
terkena penyakit hipertensi akut akibat senyumannya.

---

Ada yang tidak biasa, senyum di wajahnya memudar. Hidungnya memerah, kedua tangannya
menyatu berbentuk gumpalan, saling meremas antara jari kanan dan jari kiri, aku mengamatinya.
Luapan emosi kemarahan sangat nampak tersirat kepermukaan.

“Aaaaaaaahhh ….” Dia berteriak, aku masih terdiam.

“Aku sudah berusaha menjadi suami yang baik, kenapa … kenapa …” sambil menjambak
rambulnya, dia meracau. Entah apa yang mendorongku untuk menyodorkan teh botol yang aku
beli sebelum mampir ke kostnya.

“Aku belum haus” tolaknya ketus. Kutarik kembali teh yang ku sodorkan.

“Isteriku menggugat cerai, tuntutannya karena ia tidak bisa LDR. Padahal setiap minggu aku
selalu menyempatkan diri untuk menyambanginya, diajak kesini selalu tidak mau. Padahal aku
bekerja untuk mencukupi kebutuhannya” panjang kali lebar penjelasannya, inginnya aku
menghiburnya, mengejeknya, menertawainya. Tapi ini bukan saatnya, terlihat dia sangat rapuh.

“Aku gagal,” gumamnya pelan.

aku masih setia menjadi pendengar dari keluh kesahnya, mencari titik bahagia dari deritanya,
namun tidak kutemukan. Menelusuri setiap inci hati, mempertanyakan rasa menggebu. Yang ku
temukan adalah aku tidak terima jika dia menderita. Rasa persahabatan lebih besar dari rasa
ingin memiliki, alasannya karena alat reproduksi kehidupan kami sama. Biarlah begini adanya.

Pentigraf : 23
ROMANTIKA CINTA
Karya: SITI MARWIYAH, S. Pd
SMPN 5 Sumenep

Entah sudah berapa lama aku mengingat angka 177, mulai dari sehari, sebulan , setahun,
bahkan berwindu-windu. Terlalu istimewa angka itu bagiku sehingga sulit untuk melupakan dan selalu
tersimpan di lubuk hatiku. Angka tersebut merupakan nomor kostku yang menyimpang berbagai
kenangan manis. Masih terbanyang jelas diingatanku awal aku berjumpa dengan seseorang yang
menegurkanku karena aku ikut menari di acara ulang tahun temanku, aku agak kesal saat itu ketika ia
mengajakku duduk di pojok ruang kost dan memberikan nasihat. Dalam hatiku bertanya –tanya, siapa
dia, kenal tidak, bertemu tidak, malah menegurku, dan mengapa hanya aku , mengapa yang lain tidak ,
mengapa……, jadi penasaran juga aku. Hari demi hari aku lalui yang lalu sudah kuabaikan tidak
kupikirkan, hanya yang aku ingat dia bernama “Arjuna”.

Perhatian demi perhatian terus ia berikan, ia mengajarkanku ilmu-ilmu akademik, agama,


sastra, dan lain-lain. Bahkan jika aku pusing, stres, memikirkan tugas kuliah yang tidak kelar-kelar,
malah dia yang ikut khawatir, dia yang berusaha memberikan motivasi dan bantuan hingga aku bisa
menyelesaikannya. Kamipun sangat dekat, kemana-mana selalu bersama , ngobrol, jalan-jalan, dan
belajar sampai suatu hari Arjuna menyatakan hatinya padaku, Akupun menerima dan menyambutnya
dengan hati berbunga-bunga . Hari -haripun aku lalui dengan indah, senyumku selalu tersunggging
dibibirku , bungapun tumbuh bermekaran, dan mewangi menghiasi taman-taman kost, mentaripun
selalu tersenyum dan menyapaku di setiap pagi , sinarnya begitu mempesona dan gemerlap , menyinari
alam raya, begitulah suasana hatiku saat itu yang selalu berbunga-bunga dengan aroma cinta,

Suatu hari aku melihat Arjuna sedang jalan -jalan di taman kota dengan seorang gadis berambut
panjang, aku sangat penasaran siapa dia , aku berusaha mendekat, dan mengintipnya dekat pohon
cemara. Mereka asyik sekali bersendau gurau , sambil bergandengan tangan, sesekali Arjuna mencubit
pipi gadis yang mungil itu,dan membelai rambutnya yang terurai rapi. seketika itu pula darahku seperti
mendidih, tanganku gemetar, jantungku berdetak cepat hatiku mulai berkecamuk, ada rasa kesel dan
marah di dada yang bergemuruh. Spontanitas aku samperin mereka lalu aku berkata pada Arjuna
dengan nada marah“. Oh….. jadi seperti itu kelakuan kamu dibelakangku ya ? suka ganti- ganti cewek,
dasar laki-laki tak tahu diri, dasar hidung belang !”, aku tuding wajah Arjuna. Arjuna terlihat kaget dan
tercengang-cengang. Lalu Arjuna berkata ,”Desi….Desi dengarkan dulu , dengarkan aku ,sambil menarik
tanganku, aku tidak melakukan …..itu adalah…a..”.belum tuntas Arjuna bicara langsung aku balik bicara,
“hey dak usah banyak alasan, dak usah banyak komentar, aku dak mau berteman dengan kamu lagi aku
dak suka, lebih baik kita putus……putus…!” Aku hendak bergegas pergi tiba-tiba gadis berambut panjang
itu menarik tanganku dan berkata,” Mbak ..mbak Desi dengarkan aku, aku tidak ada apa-apa dengan
kakak Arjuna, kami ini bersaudara, kakak sudah salah menilai kakak Arjuna!”, seketika wajahku
memerah dan aku tak punya kekuatan menatap Arjuna, aku malu sekali karena aku sudah berprasangka
buruk pada Arjuna. Untunglah Arjuna pengertian dan bisa membawa suasana, ia mendekat dan
memegang pundakku, seketika itu pula aku minta maaf pada Arjuna dan adiknya. Dan kamipun pulang
dari tempat itu dengan perasaan senang.

Cerpen 24

Terlambat
Afiatur Rizkiyah, S.Pd
“Ah…!” desah Mira sembari membalikkan badannya kemudian mendekap guling di
sampingnya. Malam ini, Mira susah sekali untuk tidur. Masih teringat kejadian kemarin malam
saat mendapat sepucuk surat warna merah muda itu. Terbayang wajah Arman dengan
senyumnya yang simpatik. Kertas merah muda berisi ungkapan hati Arman yang selama ini dia
sembunyikan, telah dibaca Mira.

Untaian kata puitis dalam surat Arman, membuat Mira terpukau.

Seraut wajah memerah

Kala kusapa saat senja

Tak kuasa ku pendam rasa

Padamu kulabuhkan asa

Mira, ijinkan ku arungi bahtera

Suka dan duka kita lalui bersama

Kan kugenggam tanganmu

Pada orang tua kita bermohon restu

Baris puisi dalam kertas yang berulang kali Mira baca, membuatnya tersadar, ternyata Arman
menaruh hati padanya. Mira menemukan jawaban dari sikap yang ditunjukkan Arman tiap kali
lewat di samping rumahnya, Yah, akhir-akhir ini, Mira sering melihat Arman berjalan dengan
kepala tertunduk, seakan malu, saat melewati rumah Mira. Rumah Mira dan Arman memang
dekat. Hanya butuh beberapa langkah saja.

Arman, sosok pria pemalu di kampung Mira. Namun di balik sifatnya yang pemalu, Arman
adalah pekerja keras dan pria yang baik. Dia rajin dan taat beribadah. Hampir tak pernah ia
tinggalkan salat berjamaah di masjid. Terutama salat Asar. Tak heran, jika Mira dan Arman
sering bertemu di saat-saat tersebut.

Sebab biasanya Mira sudah asyik membaca buku di teras rumahnya setelah salat Asar
ditunaikan. Mira yang hobi membaca, memang tak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk
duduk santai nongkrong bersama teman-teman lain jika sore menjelang. Mira lebih suka
membaca apa saja, kadang majalah atau novel yang ia pinjam dari sekolah.

Kembali Mira membaca surat dari Arman. Mira tidak menyangka, Arman yang pemalu bisa
membuat surat seindah itu berikut puisi untuknya. Karena diam-diam Mira pun ternyata suka
pada Arman. Tapi Mira bingung, harus menjawab apa pada Arman, sebab tadi sore, ibu Mira
sudah menerima perjodohannya dengan Mas Irfan.
Sumenep, 22 Oktober 2020

Afiatur Rizkiyah

Anda mungkin juga menyukai