Anda di halaman 1dari 9

Nama : Adinda Nurrahma D Tanggal pengumpulan :

Kelas : XI AKL

Istiqlal dan Katedral

“Kamu mau mampir dulu gak?”

Aku segera melepaskan sabuk pengaman kursi dari tubuhku, lalu menoleh ke arahnya.

“Gak usah deh, lain kali aja. Lagian aku mau ke gereja.”

Aku tertawa kecil “Oke! Hati-hati dijalan ya!”

Aku menunggu mobilnya melaju dari halaman rumahku, lalu melambaikan tangan layaknya anak
kecil.

“Assalamualaikum.”

Ayah : “Kamu habis dari mana?”

“Habis jalan yah, sama mark.” Jawabku agak ketakutan. Dibanding dengan kebohongan lainnya, aku
lebih memilih jujur, daripada menumpuk dosa.

Ayah : “Kamu gak malu sama tetangga, dek? Kita ini orang terpandang, kok kamu pacaran sama
cowok beda agama sama kamu?”

Omongan Ayah ini sudah biasa aku telan mentah-mentah setiap hari. Ayah selalu bilang aku cuma
malu-maluin keluarga kita. Bahkan Ayah gak segan-segan buat bentak dan nampar aku kalau aku
menjawab omongannya.

Ayah : “Suruh dia kesini, Ayah minta kamu putus sama dia di depan Ayah. Dek, Ibu sama Ayah
ngelakuin ini buat yang terbaik demi kamu dan nama keluarga kita. Ayah sayang sama Adek”

Aku hanya tersenyum kecil. Aku takut, aku takut sama Ayah. Ayah, aku juga gak mau kayak gini,
pacaran dengan orang yang kepercayaannya beda dengan kepercayaanku. Tapi, aku gak bisa jauh-
jauh dari dia, mungkin efek udah terlalu lama kali.

Aku ambil wudhu, tersenyum didepan cermin dan berkata “Aku pasti bisa!”

“Kamu kenapa?” Mark mengelus punggungku pelan sambal memberikan air putih hangat.

“Ayah bilang kamu harus ke rumah. Tapi jangan kesana, aku gak mau kamu kena omel, ah, sama
Ayah”

Mark tertawa kecil sambil mengusap air mataku “Aku kan cowok. Masa aku takut kerumahmu Cuma
karena Ayahmu?”

Aku tertawa kecil, lalu menepuk pundaknya pelan. Seharusnya emang gak begini kan, dari awal?

“Selagi emang ayahmu gak suka sama aku. Mungkin aku bisa pin—”

Aku meyela “Jangan duakan Tuhanmu demi aku dan Ayahku.”

Aku tersenyum tipis, sudah berkali-kali Mark melontarkan kalimat itu sambil tertawa kecil, seperti
menertawakan lelucon.

Mark menoleh sebentar, lalu memberikan senyum hangat sambil menyodorkan sebotol air putih.
Rasanya aku sama sekali gak bisa menatap dia. Dia pun juga begitu, kita sama-sama capek, tapi
sama-sama gak bisa mengingkari kalo kita sama-sama mau berjuang juga.

“Eh iya, aku sampe lupa, kita mau ngerayain hari jadi ke 5 tahun kan?”

Aku menoleh, “Ah! Bener tuh. Besok janjian ya, di kafe biasa!”

“Oh iya, aku mau sholat dulu ya?”

“Iya, sini aku jagain barang-barangmu. Mukena-nya udah diabawa kan?”

“Iya mark, mukena dari kamu udah aku bawa”

“Alahhhh, gombal terus, kayak kamu gak punya mukena lain aja!”

“Kamu udah sholat subuh” Tanya Mark dengan suara aduh-aku-masih-mau-tidurnya itu.

“Udah, kamu ngapain bangun jam segini?” Tanyaku sambil melipat sajadah.

“Aku mau bangunin kamu, kamu kan suka telat bangun!”

Terdengar suara grasak-grusuk lalu kembali normal lagi.

“Oke, rencanamu hari ini apa?---- Aku dipanggil Ayah, bentar ya, nanti aku telfon lagi.”

Aku langsung menutup panggilan dari mark dan turun ke bawah. Ayah sedang asyik membaca buku-
buku filosofi. Padahal akhir-akhir ini emosi Ayah mereda cukup kuat. Ayah gak marah lagi aku jalan
sama Maraka, Ayah cuma nitip pesan untuk segera menyelesaikan hubungan ini.

“Kenapa Yah?”

Ayah mendongak lalu tersenyum, “Hari ini ada Haikal. Kamu bisa kan ketemu dia?”

Aku tersenyum kikuk lalu mengangguk kecil. Haikal kesini, untuk apa? Memang keluarganya HAikal
punya bisnis dengan Ayah? Tapi kenapa Haikal yang datang kesini? Bersama orang tuanya lagi. Ah,
pertanyaanny muncul terus dibenakku.

“Dek, turun sini. Haikal udah datang.”

Ting.

Maraka: Aku di depan rumahmu nih.

Aku panik, keduanya datang diwaktu yang sama.

Maraka : Itu mobil siapa? Kayaknya Ayahmu gak punya mobil deh..

Snifia : Itu Haikal, kamu jangan masuk, oke?

Aku langsung turun kebawah, dengan pakaian ala kadarnya lalu duduk didepan Haikal. Yang aku dan
Haikal lakukan? Hanya diam. Sama-sama gak berani ngobrol dan gak berani menatap juga

Ayah : “Kamu sama Haikal kok diem aja? Kan mereka bertemu sengaja mau bikin kalian berdua
ngobrol.”

Aku duduk tepat disamping HAikal. Wah, ini jalan-jalan terseru lagi, karena aku dan Haikal hanya
pernah pergi sekali berdua dan kayaknya udah bertahun-bertahun yang lalu, aku lupa juga itu kapan.

Aku mencoba menghubungi Mark lagi, agak gusar sebenarnya, kenapa dia tidak membalas telfonku.
"Nelfon siapa?" Jaehyun menoleh sebentar dan kembali fokus dengan jalanan.

"Menurutmu, siapa lagi kalo bukan Mark?"

Jaehyun berhenti di depan taman, lalu mengambil peci dan beberapa peralatan shalat lainnya.

"Mark gak akan kemana-mana. Sholat dhuha dulu yuk?"

Aku meng-iyakan ajakannya dan turun dari mobilnya. Kalo gak salah, di ujung sana, itu mobil Mark.
Tapi tetap deh, jangan mengira-ngira, takutnya aku juga salah orang. Aku masuk ke dalam masjid,
mengambil wudhu dan shalat dhuha. Ini jadi shalat dhuha terberat setelah nenek meninggal waktu
itu. Iya, berdoa sambil menangis kenapa aku bisa sebodoh ini. Ini semua memang salahku. Salah bisa
mengenal Mark dan jatuh cinta kepada orang yang salah.

Ting.

Mark: aku ketemu Jaehyun

Mark: makan yang bener sama dia, aku gak mau kamu sakit. aku lagi di gereja.

Mark: jangan khawatir.

Bohong Mark, kamu lagi menangis kan, dengan tangan basah diatas stir mobil?

"Makasih Jaehyun! Assalamualaikum, aku duluan ya."

Aku keluar dari mobil Jaehyun dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Aku
benar-benar lelah.

Dan pagi harinya, tebak apa yang aku dengar? Suara bentakan ayah dari lantai satu. Suara tangisan
ibu yang lumayan kencang juga memenuhi atmosfer rumahku. Aku segera turun, dan aku melihat
seseorang tertunduk didepan ayah.

"Mark?"

Aku diam. Kita saling menatap tapi sama sekali tidak ada pergerakan yang mencolok.

"Saya gak mau lihat muka kamu disini lagi. Untuk mengijakkan kakimu dirumah saya aja, saya masih
gak sudi! Gak ada orang tua yang mau anaknya pacaran dengan cowok beda agama kayak kamu!"
Mark hanya menunduk, diam, tidak bergerak.

"Saya gak segan-segan buat tampar kamu kalau kamu masih berani hubungin anak saya. Memang
kamu gak malu? Punya pacar yang beda kepercayaan dengan kamu? Saya juga yakin orang tuamu
marah seperti saya. Dan saya gak suka!"

Ayah mulai menaikkan tangannya, dengan cepat, aku menahan tangan ayah sebelum menampar
Mark.

"Ayah, Aku mohon."

Aku memeluk ayah, menangis dalam pelukannya. Ini gak adil, aku emosional. Aku takut kalau Mark
benar-benar menjauh dan pergi. Aku melepas pelukan ayah, dan menghadap langsung ke depan
Mark. Cowok itu jelas lagi menahan tangisannya. Bahkan dia masih sempat tersenyum didepanku.

"Selamat hari jadi yang ke 5 tahun, Mark. Maaf sampai kapanpun aku gak bisa ucapin selamat natal
buat kamu, dan gak bisa balas ucapan selamat berlebaran dari kamu."
"Kalau memang kamu mau menjauh, silahkan. Ini salah aku, bukan salahmu. Bukan salah takdir juga.
Memang jarak kita jauh, sejauh timur dan barat. Sejauh gimana kamu menggenggam salib dan aku
bersujud dengan tasbih."

Aku menyeka sedikit air mata yang turun, "Bahkan sejauh restu Tuhanku dan Tuhanmu. Memang
kita ini belum berjodoh Mark. Dan sekali lagi, Jangan duakan Tuhanmu untuk aku dan keluargaku.
Aku masih menerima kehadiranmu baik-baik. Aku mohon, tetap duduk, berdoa dan menangis di
depan Tuhanmu. Menangis sesukamu. Kepal tanganmu dan berdoa dihadapannya. Biar aku yang
sujud dihadapan Tuhanku, biarkan aku yang bertasbih dihadapan Tuhanku. Kita saling berdoa untuk
satu sama lain, kita harus tetap bahagia, oke?"

"Selamat pagi, putri cantik ayah." Sapa ayah setelah aku menarik kursi di meja makan.

"Selamat pagi juga, yah." Aku membalas dengan nada malas. Mataku masih sembab sisa kemarin
setelah Mark memelukku. Aku berdoa sebaik mungkin agar ayah gak memarahi dia lagi. Nyatanya?
ia langsung di usir oleh ayah.

Mulut ayah kemarin di kontrol oleh syaiton, mungkin. Aku sama sekali gak pernah mendengar ayah
semarah itu. Sampai wudhupun gak bisa mengobati rasa emosinya kemarin. Aku diam, gak nafsu
makan. Biasanya jam segini cowok itu akan datang dan bertanya kalau hari ini dia akan mengantar
ayah ke masjid untuk sholat jumat. Yah walaupun jawabannya sama.

Namanya kusebut terus dalam doa-doa terakhir. Aku merasa kesepian sekarang, biasanya ia juga
sudah menelfonku untuk sholat shubuh. Apa cowok ini benar-benar gak mau ketemu aku lagi?

"Mark, ada menghubungimu hari ini?" Tanya ibu sambil menyerahkan roti. Aku menggeleng lemas,
tatapan ayah berubah menjadi sangar lagi.

"Padahal niatku gak mau turun dan satu meja sama ayah. Tapi, ya sudahlah, aku bawa makanannya
ke kamar aja ya bu?" Aku langsung menarik piringku dan beranjak ke atas tanpa menatap ayah
sedikitpun. Memang aku pemberontak. Ayah rela merusak kebahagiaanku. Terserah ayah, aku dalam
fase membencinya.

"Mark? Kamu menelfonku?"

“Mark? Aku Jaehyun.”

Aku lesu, langsung mematikan telfonnya sepihak. Aku sedang gak mau di ganggu. Bawaannya hanya
ingin menangis. Ya jelas, aku memang merindukannya. Walaupun aku tau sekarang ia pasti sedang
bersimpuh di depan Tuhannya, aku masih merindukannya.

Mark: jangan terus terusan menangis

Mark: aku gak pergi kemana-mana, jangan khawatir.

Aku segera membaca dan mengetik balasannya, sebelum Mark mengirim sesuatu.

Mark: aku juga udah dengar berita taarufanmu sama jaehyun. yang bahagia ya, sayang.

Aku membanting piring didekatku, lalu menangis di bawah alam sadar. Sumpah, aku gak nyangka
ternyata ayah sempat bilang soal taaruf ini sama Mark. Sedangkan aku sendiri belum tau apa-apa.
Jadi kalau aku marah itu pantas, kan?

"Jaehyun, bisa minta tolong antar ke gereja tempat ibadah Mark?"


Jaehyun menoleh sedikit, "Iya, aku antar. Dimana?"

Belum sempat mengucapkan alamatnya, aku menangis lagi. Hey, apa cowok itu masih mau ketemu
sama aku? Pasti cowok itu masih sakit hati sama omongan ayah.

"Jalan aja dulu nan-- Mark!"

Aku turun dari mobil dan mengejar langkah Mark yang semakin cepat. Gerejanya memang dekat dari
sini. Langkahnya semakin cepat, aku lari dan menarik tangannya dengan cepat.

"Mark, kenapa? Kamu menjauh?"

Mark menunduk, dia berusaha mengontrol emosinya. Sesekali cowok itu menarik nafas yang cukup
panjang.

"Dengar, aku bukan menjauh dari kamu. Tapi kamu pasti ngerti keadaan aku yang hina di mata
ayahmu. Dia gak suka sama aku dan orang tuaku juga gak suka sama kamu. Kita ini emang gak
berjodoh."

Aku memeluk tubuh hangatnya dan menangis dipundaknya. Aku gak tahan menerima celotehannya
yang kasar.

"Peluk dan nangis aja sekarang. Karena habis ini yang kamu peluk dan tempat kamu nangis itu
Jaehyun. Bukan aku lagi. Aku bukan punyamu lagi, kamu juga bukan punyaku lagi.

"5 tahunnya bukan sia-sia kok. Yah, walaupun sampai kapanpun aku gak akan pernah bisa menjawab
salam-mu tapi yasudahlah. Kita memang gak berjodoh. Jangan menangis lagi, oke?" Kata Mark jauh
lebih lembut dari sebelumnya.

Aku masih memeluknya, dengan tenang di depan gereja. Dengan cukup kencang, Mark
mendorongku untuk segera menjauh. Sejak kapan Mark menjadi kasar?

"Aku bilang, aku tegaskan. Kita gak punya hubungan apa-apa lagi. Aku gak mau cowok itu salah
paham karena kamu nangis di depan aku. Dengar, dari sisi manapun kita cuma saling menguatkan.
Kita ini gak berjodoh."

"Jangan datang kesini lagi ya? Terserah sih, tapi mungkin Jaehyun bisa berantem sama aku kalo
kamu masih meluk dan nangis di depan aku."

Mark, kamu berubah. Kamu beda sekarang, kamu jauh lebih kasar sekarang.

"Jawab aku, kamu kenapa?" Aku berteriak sedikit kencang karena Mark udah ada di ambang pintu
gereja.

"Aku udah gak benar-benar mencintai kamu lagi."

"Jadi, bagaimana? Kamu terima lamaran dari Jaehyun?"

Aku gak berkutik. Aku cuma diam, ini masih terlalu pagi untuk otak dan hatiku bekerja. Lelaki yang
didepanku, dengan jas hitam dan senyuman penuh harap masih duduk dengan tegap. Aku jadi gak
enak sama ayah, aku gak mau buat beliau sakit hati. Ah sudahlah. Aku mengangguk.

Orang-orang disekitarku bertepuk tangan, dan memberi selamat. Sekarang cincinnya sudah melekat
di tangan yang sebelumnya biasa untuk di genggam oleh Mark. Cowok itu kemana? Aku rindu.
Aku dan Jaehyun, mungkin akan lebih baik dari aku dan Mark. Dengan arah kiblat yang sama, tasbih
yang sama dan cara berdoa yang sama. Tapi perasaanku tetap gak sebaik itu. Ayah selalu bahas
pernikahan aku dan Jaehyun agar dilakukan secepat mungkin. Terserah, aku cuma mau buat dia
bahagia. Aku pasrah.

"Ayah, aku izin masuk kamar duluan ya. Ada sesuatu yang perlu aku beresin. Permisi om, tante,
Jaehyun, aku izin ke kamar dulu ya." Aku benar-benar memotong pembicaraan ayah saat mulai
menyebutkan tanggal-tanggal pilihan untuk ijab qabul dan resepsi.

Aku lari, naik ke atas dan membanting tubuh ke kasur dengan banyak air mata. Aku bingung, aku gak
mau bikin ayah sedih, tapi aku masih merindukan Mark sampai sekarang.

Mark: apa kataku? kamu beneran sama jaehyun kan?

Mark: udahlah, terima aja. jaehyun dengan keluargamu udah dekat dari dulu, dia yang ajarin kamu
hijab dan al-quran. aku gak sebaik jaehyun.

5 tahun Jaehyun pergi ke Amerika, dan 5 tahun itu juga Mark datang dan mengobati semuanya.
Siapa sekarang yang salah? Dia yang mengobati dia juga yang membuka luka baru lagi. Memang
rasanya aku gak boleh terpuruk sama keadaannya. Aku harus tetap menikah sama Jaehyun, dan
kalau bisa secepat mungkin. Terserah soal Mark. Kalau aku ingin juga kapanpun aku bisa datang ke
gereja yang biasa ia kunjungi.

Mark: oh iya, aku mau pulang ke canada.

Terserah, aku lelah Mark.

"Kamu sudah siap, belum?"

Ibu masuk keruanganku dengan balutan kebaya berwarna putih pucat. Aku sendiri memakai gaun
berwarna biru muda. Ini hari resepsi pernikahanku dengan Jaehyun. Walaupun sebenarnya aku
masih gak rela karena Mark sudah pulang ke Canada. Oh ayolah.

"Siap ke altar? Eh, maksudku ke Gedung resepsinya?"

Aku gelagapan dan dibalas dengan senyuman hangat ibu. "Sudahlah, jangan memikirkan Mark lagi."

"Ibu gak suka kamu terpuruk gitu. Kamu mau, Mark jadi sedih di Canada?"

Aku menggeleng sekilas. Ya, serindu-rindunya dengan pelukan hangatnya, aku tetap gak mau
membuatnya dia sedih. Sekarang bertambah dua lagi, perbedaan jarak dan agama. Aku ini gak boleh
terpuruk, dasarnya aku memang bukan jodohnya kan? Aku harus dukung apapun keputusannya. Aku
keluar dari ruangan bersama ibu dan ayah, mereka tetap memandangku dengan senyuman terbaik.
Aku belum bisa bahagia. Tolong. biarkan Mark datang. Biarkan aku melepas kerinduan dengan
melihat mata hitamnya. Biarkan aku membebaskan gudang tangis di hari dimana aku sudah milik
orang lain.

"Mark datang?"

"Ayah sama sekali gak minat juga mengundangnya."

"Aku tanya sama ibu, bukan ayah."

Aku melirik lalu berjalan dengan cepat ke pintu masuk gedung. Entahlah, rasanya campur aduk. Aku
gak suka, aku gak mau bicara sama ayah. Tapi aku menurutinya. Ah plin-plan.
- hey, selamat pagi, mark. kamu gak hapus namaku dari kontakmu kan? namaku masih favorite girl
bukan? maaf terlalu berharap, maaf.

Aku menghela nafas lagi.

- kamu dimana? udah di canada? atau lagi jalan jalan? atau belum berangkat, ya? kalau belum... bisa
datang kesini? aku tau aku egois tapi aku hanya ingin melepas kerinduan. aku sudah menahan rindu
hampir satu bulan. aku gak mau ini jadi fatal, aku cuma mau liat rambut hitammu. tapi aku gak
maksa, kamu bisa pergi kemanapun yang kamu mau, makasih ya? selamat pagi, mark.

Yang disana sedang menatap layar ponselnya sambil tersenyum, "Aku datang, gadis bodohku."

Mark duduk di dekat band yang sedang memainkan lagu-lagu romantis. Harusnya lagu-lagu itu akan
dimainkan pada pernikahannya dengan gadisnya yang sekarang sedang bersanding dengan Jaehyun.
Entahlah, sampai sekarang cowok itu masih harus menahan air matanya.

"Aku bisa menyumbang lagu?" Tanya Mark serendah mungkin, dan dijawab dengan anggukan
semangat dari vokalisnya.

Posisinya lumayan jauh dari tempat para orang-orang yang selalu berusaha bahagia. Mereka asik
dengan dunianya masing-masing, tanpa mengingat banyak orang yang membutuhkan bantuannya.
Yang membutuhkan kekuatan untuk mengatakan selamat malam dan selamat pagi.

"Maksutku menyanyikan lagu ini bukan untuk apa-apa, semoga gadisku merasakan apa yang saya
katakan sekarang."

Banyak pasang mata menatapnya, benar-benar menoleh kearah Mark yang mulai memainkan lagu
yang sedang hits dikalangan anak-anak muda di sini.

Mark menarik nafas untuk menahan tangisan dan emosinya pada chorus lagu. Bertahanlah, ucapnya
pada hatinya sendiri. Lagu ini memiliki makna yang dalam, yang tersirat untuk seseorang yang
sekarang sudah didekapan orang lain.

And thats because i wanna be your favorite boy. I wanna be the one thats make your day, the one
you think about as you lie awake. I can't wait to be your number one. I'll be your biggest fan and
you'll be mine. But i still wanna break your heart and make you cry.

Matanya mulai basah dengan air mata. Habiskan lagunya lalu datang kehadapannya, katakan
semuanya baik-baik saja. Katakan apapun yang terjadi dia akan selalu mendukung dan tersenyum di
belakang gadisnya.

I say that i'm happy?

I say that i'm happy?

But no, no, no, no, no, no, no, oh.

Mark gak akan merasakan sebahagia ini untuk setelahnya. Dia masih benar-benar mencintai
gadisnya.

I still wanna be your favorite boy.

I wanna be the one, I might just be the one.

Tangannya berhenti memetik senar gitar, dan menarik mikrofon yang tepat ada di depan wajahnya
Aku menahan tangis yang berlebih. Aku gak pernah merasa sesedih ini, atau memang aku belum bisa
berhenti menjadikan Mark sebagai kesayanganku? Aku jelas, aku jelas sekali masih
membutuhkannya.

"Untuk gadis yang sekarang sedang berdiri di pelaminan, masih ingat aku? Kalau tidak, salam kenal,
aku orang yang pernah menemanimu selama 5 tahun."

Aku menutup wajahku dan menunduk.

"Memang bukan maksutku ingin membuka kenangan lama. Maksutku hanyalah ingin datang, karena
katanya kamu rindu melihat rambut hitamku. Agar rindunya cepat selesai, sehabis ini rambutnya
berganti jadi warna coklat, oke?"

Mark tersenyum kecil kearahku, "Oh ayolah, jangan menangis. Aku datang kesini karena ingin
mengucapkan selamat atas pernikahan kalian. Bukan ingin membuat gadisku menangis."

"Maaf, maksutku bukan gadisku. Gadis Jaehyun. Jaehyun, tolong jaga dia baik-baik ya? Kelakuannya
masih seperti anak kecil. Jangan lupa belikan es krim atau gulali tiap minggunya, atau dia akan
mengunci dirinya di dalam kamar dan menangis. Mungkin kalau gak ada tante, Mark gak akan bisa
menemani anak tante sampai 5 tahun terakhir. Aku masih menepati janji dengan kata-katamu,
berdoa dan bersimpuh dihadapanNya. Aku masih ingat kata kata untuk jangan duakan Tuhanku
untukmu dan keluargamu. Baiklah, aku tepati. Aku izin pergi ya? Pergi ke Canada, aku mau pulang.
Aku mau tinggal disana, aku mau menjauh, aku gak mau kita masih berhubungan dan aku juga gak
mau menangis seharian terus-menerus. Bisa-bisa orang-orang salah faham. Aku cuma mau pamit,
aku izin pulang dan mungkin datang lagi kalau aku juga udah punya istri."

"Semoga kamu bahagia ya, selamat menempuh hidup bahagia yang baru. Selamat berbahagia, gadis
kesayanganku."

Aku menangis seusai acara resepsi selesai. Benar-benar ingin berhenti mencintai orang ini. Aku mau
dia bahagia disana, jelas ingin.

"Jaehyun, besok antar aku ke makam Mark ya?"

Selamat tinggal, sumber bahagiaku. Selamat tinggal untuk selama-lamanya. Terima kasih 5 tahunnya,
terima kasih atas semua ucapan bahagianya. Maaf aku belum bisa membalas dan mengembangkan
senyum manismu lagi.

Terima kasih juga recorder dan suratnya, aku simpan baik-baik. Aku besok akan mengunjungimu.

"Maaf memaksamu datang, Mark."

Aku memeluk nisan bertuliskan namanya. Aku memaksanya datang kepernikahanku. Aku yang salah.
Kalau Mark tetap berangkat ke Canada, mungkin kecelakaan ini gak akan terjadi.

"Maaf, Aku minta maaf. Aku salah. Aku hanya ingin melihatmu, tapi nihil. Kamu gak datang. Yang
datang hanya recorder dan surat. Yang datang hanya tangisan dan kerinduan yang berlebih. Kamu
harusnya tetap berangkat ke Canada. Kamu harus tetap kesana. Aku yang buat kamu meninggal
sekarang."

Aku menangis tepat disampingnya, bersama Jaehyun yang memelukku dari samping.

"Maafkan aku, tetap bahagia ya? Recorder dan suratnya aku simpan sekarang, aku bawa. Ini darimu
kan? Ini hadiah pernikahanku darimu? Tapi, terima kasih 5 tahun bahagianya. Maafkan aku, sungguh
maafkan aku! Bahagia di surga sana, ya Mark? Aku mendoakanmu dari sini. Kau benar benar
mencintaiku? Lalu katakanlah, aku terus bersamamu. Aku terus menjagamu dari jauh. Aku terus
memelukmu dari jauh. Aku terus berharap bisa bersanding denganmu."

Mark menghela nafasnya, "Aku sudah meminta kepada Tuhanmu. Sudah bertanya juga, apa yang
bukan hambanya bisa mencintai mahluknya? Apapun yang aku lakukan selama ini hanya untuk
merasa bahagia. Merasa kamu dibuat terlindungi oleh seluruh tubuhku. Aku tamengmu, aku benar-
benar gajahmu. Aku benar-benar menjagamu. Gadis yang dihadapanku jangan sampai pernah
menangis lagi. Jangan pernah meneteskan air mata lagi. Aku ingin melihat kamu senang, kamu
bahagia dengan semuanya. Bukan karena aku— Bukan karena aku kamu jadi seperti ini."

Mark diam sejenak.

"Kamu juga tau seberapa sayang aku sama kamu. Seberapa ingin selalu disampingmu. Kamu
mengerti seberapa jatuh aku kalau Tuhan memberikan peringatan untuk menjauh."

Shaloom, Assalamualaikum.

Kamu harus mengerti apa yang terjadi dengan hubunganku dan Mark. Kamu harus mengerti apa
yang terjadi. Kamu harus mengerti alasan apa yang Tuhan berikan untuk mengambil nyawa Mark.

Kamu tahu, apa yang salah?

"CCTV! Kami butuh cctv!" Pekikku, menerobos masuk ke kantor polisi.

"Nona, ada apa?"

"Buka CCTV lalu lintas di jalan ini, pada jam ini, SEKARANG!" Bentakku lebih kencang.

Polisi diam, membuka komputernya dan menampilkan sebuah klip cctv. Terlihat wajah semu Mark
keluar dari mobilnya, mengecek kap mobil yang penuh dengan asap.

Aku mendorong kursi yang ada didekatku. Tangisku pecah. Klip ini membuat hatiku hancur
berkeping-keping.

"AKU MEMBENCIMU, JAEHYUN!" Ini teriakanku, usai klip selesai dengan salah satu tusukan dari
pisau tajam menancap di perut Mark, mantan kekasihku.

Kalian paham kan, apa yang sekarang terjadi? Jadi jangan bertanya lagi. Mari kita tutup semua
perbincangan soal Mark dan Jaehyun, juga aku. Berhenti disini. Aku - membenci - Jaehyun. Dan
sampai kapanpun, aku tidak akan pernah memaafkannya.

Anda mungkin juga menyukai