Anda di halaman 1dari 18

MAHEN ALGRAFA

Mengkisahkan seorang anak yang di tinggal oleh sang ibunda nya karena kedua orang tua anak ini
mengalami masalah dan anak ini tinggal bersama sang ayah nya dikarenakan sang ibunda nya yang
meminta agar sang anaknya tinggal bersama ayahnya. Dan cerita di mulai

2 tahun kemudian....

Semenjak kepergian Ibunya, Mahen benar-benar kehilangan sumber kasih sayang yang dia punya
selama ini. Cuma Ibunya yang perhatian. Cuma Ibunya yang selalu mengerti tentang perasaannya.
Namun, kenapa dia malah tega meninggalkan dirinya sendirian?

"Mahen kangen Mama..." ucap Mahen lirih. Laki-laki itu sedang berdiri di depan jendela, dengan tatapan
yang menatap kosong ke depan.

Mahen memejamkan matanya perlahan, membuat buliran bening mengalir dari kedua pelupuk
matanya.

2 tahun setelah kepergian Mawar, tidak membuat kondisi ekonomi Dani membaik. Dani masih sama
seperti biasanya. Tidak ada perkembangan sama sekali. Semua client yang dia ajak kerja sama selalu
menolak. Bahkan geng motor yang dia pimpin selama ini harus bubar, dan meninggalkan dirinya yang
sedang jatuh.

Dani meremas kepalanya frustasi. Dia tidak tau lagi harus bagaimana. Sekarang hidupnya benar-benar
hancur.

Tak lama kemudian, sesuatu terlintas di otak Dani. Pria itu perlahan mendongakkan kepalanya. "Apa gue
harus minta tolong sama Arga?"

Sepertinya memang Arga yang saat ini bisa membantu. Arga merupakan sahabatnya sejak SMA. Namun
dia tidak pernah bertemu lagi semenjak Arga membangun club motor Egrios.
4 tahun kemudian....

Kehidupan Dani sekarang jauh lebih baik. Perusahaannya kembali jaya. Bahkan banyak client luar negri
yang ingin mengajak bekerja sama dengan perusahaannya.

"Resall..." panggil Dani sedikit berteriak. Pria itu berjalan memasuki rumahnya dengan raut wajah yang
tampak bahagia.

Disisi lain, Mahen yang sedang menggambar di ruang tamu, lantas jadi menatap ke arah Ayahnya.

"Papa udah pulang? Kok tumben masih siang sih?" ujar Resal yang sedang menuruni anak tangga
dengan cepat.

"Sengaja. Karena Papa punya hadiah buat kamu," ucap Dani.

Resal terlihat kaget mendengarnya. "Se-serius?"

Dani mengangguk. Pria itu kemudian menyodorkan sebuah kunci mobil di hadapan Resal. "Mobil yang
kamu pengen."

Resal membulatkan mulutnya tak percaya. Kedua matanya melebar, lalu mengambil kunci mobilnya

dari tangan Dani. "Papa beneran beliin mobil ini?"

"Iya dong. Papa kan udah janji."

"Makasih banyak Pa!!" Resal langsung memeluk Ayahnya dengan erat.

"Sama-sama Sayang."

Mahen yang sejak tadi memandangnya, kemudian membuang muka ke arah lain. Dia mengambil
earphone yang berada di leher, lalu memakainya. Setelah itu, Mahen bangkit berdiri dan pergi dari sana.

Mahen tumbuh menjadi laki-laki introvert yang tidak suka dengan keramaian. Terlalu lama selalu
menyendiri, membuat Mahen jadi seseorang yang pendiam dan tidak suka banyak bicara.

Mahen sedang duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya, sambil menikmati semilir angin yang
menusuk lembut kulitnya.

Bola mata cowok itu terfokus pada selembar kertas yang sudah dia lukis menjadi sketsa abstrak. Jika
pikirannya sedang pusing, Mahen biasanya akan melampiaskan dengan mencoret-coret.

Tidak tau kenapa, rasanya lebih nyaman menyalurkan perasaan dengan menggambar.

"MAHEN!!"

Mahen sedikit terlonjak kaget, karena teriakan seseorang. Cowok itu pun langsung menoleh ke
belakang, dan melihat Resal yang sedang berjalan ke arahnya.

Mahen yang tadinya sedang duduk pun, lantas jadi beranjak berdiri.

Sesampainya di hadapan Mahen, Resal kemudian menyodorkan kunci motor miliknya pada Mahen. "Gak
ada kerjaan kan lo? Cuciin motor gue, besok mau dipake balapan."
Mahen jadi melirik pada kunci motor yang Resal sodorkan. Dia menatapnya sejenak, lalu beralih
menatap wajah Resal dengan dingin. "Sejak kapan, gue babu lo?"

Resal yang mendengar itu, langsung tersulut emosi. Dia pun mendorong bahu Mahen dengan kasar.
"Mulai berani lo, bantah perintah gue?!"

Mahen pun menjauhkan tubuh Resal dari hadapannya. "Gue juga punya kesibukan."

Resal semakin emosi, hingga tangan kanannya mengepal kuat. Sedetik setelahnya, mata cowok itu tidak
sengaja melirik pada kertas yang Mahen pegang.

Seketika Resal tersenyum smirk. Cowok itu pun langsung merebut kertas dari tangan Mahen, lalu
merobek dan menginjaknya.

Mahen terkejut bukan main, dengan kedua mata yang memelotot. "Lo udah gila?!"

"Lo yang gila!" sarkas Resal dengan mata elangnya. "Lo itu terlahir dari Ayah seorang mafia Mahen! Bisa-
bisanya lo mau jadi polisi! Otak lo di mana?!"

Mahen langsung terdiam saat itu juga. Mulutnya mendadak terasa membisu, sehingga sulit untuk
berkata-kata.

"Jangan tolol jadi orang! Udah dibesarin sama Papa, tapi jadi anak gak tau diri! Selama ini lo hidup enak
dari mana? Dari duit bokap lo!"

Mahen kembali menatap wajah Resal. Emosinya

mulai terpancing dengan perkataan Resal barusan.

Hidup enak? Bahkan, Mahen tidak pernah merasakan hal itu selama ini. Bergelimang harta, tidak
membuat kehidupannya terasa bahagia.

"Sejak kapan gue hidup enak? Lo yang enak, bukan

gue," balas Mahen setelah terdiam cukup lama.

"Lo didiemin makin ngelunjak!"

Bugh

Resal melayangkan tinjuan yang begitu keras tepat di rahang Mahen. Hal itu, membuat wajah Mahen
langsung menoleh ke samping, dengan rasa nyeri yang amat terasa.

Mahen mengusap singkat pipi kanannya. Dia pun kembali menatap Resal, tanpa ada niat untuk
membalasnya.

"Gue aduin Papa, mampus lo!" ujar Resal, lalu pergi dari sana.

Mahen memandangi kepergian Resal hingga menghilang dari hadapannya. Cowok itu pun kemudian
mendudukkan tubuhnya kembali, sambil menghembuskan napas panjang.

Mahen sedikit meringis saat sudut bibirnya terasa perih. Bukannya takut untuk melawan, namun Mahen
sedang tidak ingin mencari masalah dengan Ayahnya.
Bruk

Mahen jadi terdiam, saat mendengar suara. Dia lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari
dari mana asal sumber suara tersebut.

Hingga tidak lama kemudian, kedua matanya langsung melebar saat melihat seorang gadis yang jatuh
dari tembok rumahnya.

"Akh!" Gadis itu memegangi bokongnya yang terasa sakit dan ngilu.

"Gak waras lo? Kalo lo mati gimana?!" omel Mahen saat sudah sampai di sana.

Gadis berambut panjang yang terurai indah itu mendonggakkan kepala, menatap Mahen. "Mati? Ini
buktinya aku masih hidup."

"Gila," cerca Mahen.

Setelah kejadian itu mereka semakin dekat dan mereka sering bermain di belakang rumah mahen. Suatu
hari Safira tidak kunjung datang ke belakang rumah Mahe dan itu membuat Mahe kebingungan karena
setiap menjelang sore Safira pasti ke belakang rumah namun hari ini tidak mahen pun segera pergi ke
rumah Safira dan mahen mengetuk-ngetuk pintu rumah Safira ternyata Safira tidak ada di rumah alhasil
mahen kembali pulang ke rumah nya karena waktu sudah sore dan ayah nya yaitu Dani akan pulang jadi
mahen segera pulang ke rumah.

Saat mahen sudah sampai di rumah ternyata ayah mahen sudah ada di rumah dan ayah mahen pun
bertanya kepada mahen.

" habis dari mana kamu?" Tanya Dani.

" keluar sebentar" jawab mahen.

" kamu ini bukannya belajar malah keluar gak jelas dasar anak sial, kamu ini ya nggak ada beda nya
dengan ibu mu kok bisa ya saya dulu menikah dengan orang yang tidak tanggung jawab ke anak nya
sendiri " kata Dani

" STOP! Ayah boleh hina aku tapi jangan pernah hina ibu ku " kata mahen.

Dani pun menampar mahen karena mahen sudah membentak dirinya.

" sudah lebih baik kamu ke kamar belajar" tutur Dani.

Mahen pun langsung pergi meninggalkan sang ayah nya yang berada di ruang tamu.

Mahen menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia menunduk, dan meremas kepalanya dengan kuat.

Kata-kata Ayahnya jadi terus berputar, menghantui pikiran Mahen. Memang benar, Ibunya tidak
bertanggungjawab. Tapi, dia mampu memberikannya kasih sayang.

Sedangkan Ayahnya? Mahen tidak pernah diperlakukan layak seperti Resal. Selalu Mahen yang
mengalah. Selalu Mahen yang jadi sasaran jika ada masalah. Kenapa dirinya tidak bisa merasakan apa
yang Resal dapatkan dari Ayahnya?
"Mahen mau ketemu Mama. Mahen kangen, Mahen butuh Mama buat nampung semua rasa sakit
Mahen Ma..." 'ucap Mahen dengan kedua bahu yang gemetar hebat. "Cuma Mama yang sayang Mahen.
Cuma Mama yang bisa buat Mahen bahagia. Cuma Mama yang Mahen punya di dunia ini..." Air mata
pun berhasil lolos membasahi kedua pipinya.

"Mahen capek. Mahen capek, harus jadi robot Papa. Mahen pengen hidup bebas kayak Bang Resal.
Kenapa Mama malah ninggalin Mahen sendirian?" Mahen semakin menenggelamkan kepalanya, dengan
kedua bahu yang bergetar karena menangis.

Dunia begitu kejam, bagi kehidupan Mahen yang tidak pernah mendapatkan bahagia.

Mahen butuh suasana yang tenang dan sepi. Sesampainya di halaman belakang, Mahen pun
mendudukkan tubuhnya di atas rumput hijau yang tak beralas. Kali ini dia sedang tidak ingin
menggambar. Mahen hanya ingin menyendiri dan melamun.

Hingga tak lama kemudian...

"Mahen!"

Mahen sedikit terlonjak kaget, dan langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Dia
menemukan Safira yang sedang melambaikan kedua tangan lengkap dengan senyuman lebar.

" dari mana aja Lo, gw cariin di rumah kok nggak ada " tanya mahen.

" oh, gw tadi habis pergi sama orang tua gw ada perlu sebentar " jawab Safira dan mahen pun percaya.

" tumben kok Lo lemes banget " tanya Safira.

" Tadi habis beresin rumah jadi agak lemes dikit " jawab mahen.

Setelah berbincang-bincang Safira pun berpamitan ke mahen karena dia mau pulang takut di cariin
orang tua nya.

" mahen gw pulang dulu ya, takut orang tua gw khawatir " mahen pun menjawab " oh, mau gw anter? "
jawab Safira " gak perlu Lo kecapekan ntar mending Lo istirahat aja"

Mahen pun hanya mengangguk.

Setelah Safira pulang mahen pun masuk ke kamar nya dan belajar.

Beberapa bulan kemudian...

Mahen pun lulus dari masa SMP-nya sebentar lagi ia akan memasuki SMA dan di saat kelulusan mahen,
dia mendapatkan nilai tertinggi dari seluruh angkatan dia mahen pun bangga karena hasil belajarnya
selama ini tidak sia-sia.

Setelah acara kelulusan selesai mahen langsung pulang ke rumah dan berganti pakaian dan mahen akan
pergi ke rumah Safira karena mahen ingin memperlihatkan nilai nya ke Safira. Tetapi saat mahen berada
di rumah Safira mahen tak melihat satu orang pun di rumah Safira jadi mahen pun pulang Karena ia juga
perlu istirahat dan mahen akan kembali lagi nanti kalo Safira sudah pulang.

Keesokan harinya...
Kemarin waktu mahen ada di rumah Safira yang ia kira orang yang di rumah pada pergi ternyata Safira
ada di rumah namun tidak di perbolehkan orang tua nya untuk ketemu dengan mahen karena penyakit
Safira kambuh lagi jadi Safira harus istirahat namun itu membuat safira sedih dan membuat safira masuk
rumah sakit karena penyakitnya.

Mahen yang mengetahui itu punpergi kerumah sakit karena ia khawatir dengan temannya. Sesaat
sampai di rumah sakit mahen melihat Safira terduduk lemah di atas kasur rumah sakit. Mahen pun
menghampiri Safira.

" Lo sakit apa Safira? " tanya mahen, Safira menjawab " gw sakit biasa doang mahenn "

Terang Safira. Namun mahen tidak percaya karena wajah Safira terlihat amat pucat dan membuat
mahen semakin khawatir.

" gapapa mahen gw beneran sakit biasaa " tutur Safira, dan mahen pun hanya bisa mengangguk karena
ia pun juga sedang sakit.

"Permisi..."

Mahen dan Safira sontak langsung membalikkan badan, saat melihat Dokter Rizal yang memasuki
ruangan.

"Maaf saya menganggu. Saya hanya ingin mengecek kondisi Safira," ucap Dokter Rizal tersenyum ramah
pada mereka.

Mahen pun mengangguk, sambil beranjak berdiri. "Saya perlu keluar, Dok?"

"Tidak perlu. Saya cuma sebentar kok," ucap Dokter Rizal, lalu berjalan mendekati Safira. Dia mengecek
detak jantung, denyut nadi, serta cairan infusan gadis itu.

Setelah selesai mengecek semuanya, Dokter Rizal lalu menatap Safira. "Kondisi kamu sudah stabil.
Semuanya normal."

"Makasih Dok," ucap Safira dengan senyuman manisnya.

"Sama-sama," balas Dokter Rizal. Beliau kemudian beralih menatap cowok asing yang belum pernah dia
lihat selama pengobatan Safira. "Apa karena kehadiran kamu, Safira jadi membaik?"

Mahen yang mendapat pertanyaan itu, jadi terperangah. Kemudian dia melirik ke arah Safira dengan
bingung.

"Emang rasa rindu, bisa jadi obat ya Dok?" tanya Safira.

Dokter Rizal kembali menatap Safira, dan menjawab, "Bisa dong, Safira. Hal-hal yang membuat
seseorang bahagia, bisa menjadi obat dari segala penyakit."

Safira pun manggut-manggut paham. Dia lalu menatap Mahen. "Makasih ya Mahen, udah jadi obat buat
aku."

Mahen yang masih kebingungan, hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.

"Terus jadi obat buat Safira ya? Dia butuh kamu," ucap Dokter Rizal menepuk-nepuk bahu Mahen.
Mahen pun membalasnya dengan anggukkan.

"Ya sudah, kalo gitu saya permisi dulu ya? Cepet

sembuh Saf," pamit Dokter Rizal, lalu pergi dari

hadapan mereka.

Setelah beberapa hari Safira pun pulang mahen ikut menemani Safira pulang dari rumah sakit tetapi saat
di tengah perjalanan mahen melihat abangnya yaitu resal sedang di pukuli oleh seseorang alhasil mahen
pun menghampiri abangnya itu.

" WOI BERHENTI PUKULIN ABANG GW " teriak mahen.

" siapa Lo tiba-tiba Dateng bikin rusuh " tanya orang itu.

" Gw yang harusnya tanya Lo siapa berani nya lo pukuli Abang gw " geram mahen.

" oh, kenalin gw temen Abang Lo dan Abang Lo ini punya utang sama gw 200jt dan dia belum bayar
utang itu dari 2 Minggu yang " jawab orang itu

" apa? Bang lu utang banyak gitu ngapain? " Tanya mahen ke resal.

" Gw kalah taruhan dan Lo ga usah ikut campur " ucap resal

" Gw disini cuma bantuin Lo, oh ya utang Abang gw ntar gw TF 10jt dulu sisanya ntaran " icao mahen.

" oke kalo gitu tapi gw harus pukulin Lo dulu karena Lo udah ganggu gw tadi " ucap orang itu.

Mahen di pukulin habis-habisan oleh orang itu dan mahen sempat di pukul oleh orang itu menggunakan
balik yang lumayan besar dan membuat mahen pusing di kepala nya karena terkena benturan tersebut.

Setelah kejadian itu mahen kembali mengikuti Safira karena takut Safira mencari nya yang menghilang
begitu saja saat mahen menyusul Safira, Safira melihat mahen agak sempoyongan saat mahen sedang
mengendarai montor nya dan Safira meminta ayahnya untuk berhenti Safira segera turun dari mobil dan
berlari ke arah mahen. Mahen pun terkejut karena Safira tiba-tiba lari ke arahnya.

" lo kenapa lari ke gw? " tanya mahen.

" lo gapapa kan hen? Kok lu naik montor nya sempoyongan"

" lu pusing ya mahen?" Tanya Safira dan mahen menjawab " gw gapapa gw tadi mau nginjak kucing
jadinya naik gw sempoyongan " Safira yang mendengar itu pun sedikit lega karena ia sangat khawatir
dengan temannya ini.

" yaudah gih sana masuk lagi ke mobil gw bakal ngikutin Lo dari belakang" Safira pun hanya
menggunakan dan kembali ke mobil.

Mahen pun sampai di rumah Safira langsung berpamitan ke orang tua Safira Karen ia harus pulang
kerumah.

" cepet sembuh ya fir gw bakal selalu ada buat Lo" ucap mahen.
Hati Hafid merasa tersentuh setelah mendengar ucapan Mahen.

"Om, biarin saya yang menanggung semuanya " lanjut Mahen lagi seraya menatap wajah Hafid.

Hafid benar-benar dibuat terbungkam dengan semua pernyataan dari Mahen. Mengapa ada laki-laki
sebaik Mahen?

"Kamu belum mengenal lama Safira. Tapi kenapa kamu mau melakukan ini?" tanya Hafid tidak percaya.

Mahen menghela napas panjang dan menghembuskannya pelan. "Tidak perlu harus mengenal lama,
untuk menolong seseorang kan Om?"

Lagi dan lagi, Hafid dibuat terdiam dan membisu. Dia lalu menundukkan kepalanya dan mengusap wajah
gusar.

"Maafin saya Mahen... " ucap Hafid begitu menyesal. Dia tidak tau, jika kebenarannya ternyata seperti
ini. Selama ini, Hafid sudah salah menilai Mahen.

"Gak perlu minta maaf Om. Saya gak pernah merasa Om bersalah sama saya," jawab Mahen dengan
senyuman kecil.

Hafid pun lalu mengangkat wajahnya, menatap Mahen. Dia terdiam sejenak, sebelum berkata, "Kamu
bisa bantu saya?"

"Insyaallah Om."

"Tolong jaga Safira. Buat dia bahagia," ucap Hafid terlihat penuh harap.

Mahen jadi menautkan kedua alisnya, Tadi Safira yang bicara seperti ini. Sekarang. Ayahnya yang
memintanya untuk membuat Safira bahagia. Sebenarnya ada hal apa?

"Safira gak pernah sebahagia ini, sebelum ada kamu. Saya berharap, kamu bisa menjaga dan membuat
Safira ceria," lanjut Hafid.

"Tadi Safira juga udah bilang sama saya tentang itu, ucap Mahen.

"Terus kamu mau?"

Mahen mengangguk pelan. "Saya akan mencoba."

Hafid langsung memeluk Mahen ke dalam pelukannya. "Makasih Mahen. Saya cuma percaya sama
kamu.

" om Tante, mahen pulang dulu ya karena ayah sudah mencari mahen" ucap mahen.

" oh iya mahen terimakasih sudah mengantarkan Safira sampai rumah dengan selamat " ucap ibu Safira

Mahen pun hanya mengangguk dan langsung bersalaman ke orang tua Safira, setelah itu mahen
langsung menaiki montor nya dan pulang.

Saat ini Mahen, Resal dan Ayahnya sedang makanbmalam bersama. Rasanya Mahen lebih nyaman
makan sendiri di kamar, daripada harus bersama mereka yang ujung-ujungnya terasa seperti orang asing
"Resal," panggil Dani, membuat Resal jadi langsung menatapnya.

"Kenapa Pa?" sahut Resal

"Besok Papa akan mengenaikan kamu dengan sahabat Papa. Dia katanya ingin tau anak Papa."

"Sahabat Papa yang udah bantu kita?" tanya Resal

Dani mengangguk. "Iya. Dia juga besok akan membawa anaknya.

"Cewek apa cowok Pa?"

"Cowok."

"Wah... Baru juga mau Resal deketin," ucap Resal

cemberut. "Cewek mulu yang dipikirin." Dani geleng-geleng kepala.

Resal hanya tertawa pelan. Beberapa saat setelahnya, dia melirik ke arah Mahen yang seolah tuli dan
sibuk dengan makanannya sendiri.

"Mahen gak ikut juga?" tanya Resal, membuat Mahen mendadak jadi tersedak.

Cowok itu mengambil segelas air dan meneguknya. Dia yakin, sebentar lagi hatinya akan sakit jika
mendengar jawaban dari Ayahnya.

"Enggak."

"Loh kenapa? Kan Mahen yang akan jadi penerus bisnis Papa? Kalo Resal sih, lebih berbakat di agen
rahasia Papa." Dani memandangi Mahen yang sejak tadi hanya

menatap makanan. "Papa malu bawa dia. Nanti yang ada, dia bakal membisu kalo ditanya-tanya."

Tangan Mahen yang sedang menggenggam sendok, perlahan jadi mengerat karena penuturan
Ayahnyabbarusan.

"Papa gak akan mengenalkan Mahen sama sahabat Papa. Karena Papa bilangnya cuma punya anak satu.

Ucapan Dani kali ini mampu melukai hati Mahen sampai terasa sangat sakit. Lebih sakit daripada
pukulan yang pernah dia dapatkan. Kedua tanganbcowok itu pun sampai terlihat bergetar.

Resal melirik Mahen dengan senyuman puasnya. Dia lalu kembali menatap Ayahnya. "Jangan bilang gitu

Pa, kasihan," ucapnya pura-pura iba.

Dani hanya diam, dan sibuk menikmati makanannya. Dia tidak pernah peduli dengan perasaan Mahen.

Mahen yang sudah tidak kuat menahan rasa kesal, sesak, dan sakit itu, kemudian bangkit berdiri dan
pergi dari sana.

Cowok itu memasuki kamarnya, dan menjatuhkan tubuhnya di balik pintu. Mahen meremas kepalanya
dengan sangat kuat. Rasanya dia ingin berteriak dan menangis untuk meluapkan rasa sakitnya.

"Berani lo nangis, gue gampar lo Mahen!" ucap


Mahen dengan nada suaranya yang terdengar bergetar. Mati-matian dia menahan air mata yang sudah
membendung di kedua kelopak matanya.

"Lemah! Lo udah terbiasa denger ini semua sialan!"

makinya terus-terusan. Cowok itu terlihat seperti orang gila, karena memarahi dirinya sendiri.

Sekuat apapun Mahen mencoba menahan air matanya, itu semua tidak mempan. Buliran bening pun
berhasil meluruh keluar membasahi kedua pipinya.

"ARGHH LEMAH MAHEN! LO LEMAH!" Mahen

menampar pipinya sendiri dengan sangat kencang. Dia terus menyakiti dirinya, untuk melampiaskan
rasa sakit.

"Lo udah terbiasa dianggap mati dikeluarga ini!"

Mahen terus memukuli keramik menggunakan kepalan tangannya. Dia sangat sakit sekarang. Sangat,
sangat sakit. Mahen bisa menerima semua hinaan, cacian, atau kata-kata pedas dari mulut Ayahnya.
Namun, dia tidak kuat jika Ayahnya sampai tidak menganggapnya sebagai anak!

"Kenapa gue malah nangis? Kenapa lo lemah sekarang Mahen?" kesal Mahen pada dirinya sendiri yang
saat ini begitu rapuh. "Lo biasanya kuat. Lo gak pernah nangis kalo di hina sama Ayah lo sendiri. Tapi
kenapa sekarang lo cengeng, sialan!!"

Cowok itu meremas kepalanya dengan sangat kuat. Seluruh tubuhnya bergetar karena menangis.
Mahen terus terisak dengan air mata yang mengalir tanpa henti.

"Ma..., Mahen boleh nyerah? Mahen boleh nyerah sekarang?" gumam Mahen semakin mengepalkan
tangan kanannya. Bahkan jari-jarinya terlihat mengeluarkan darah karena terus memukul lantai tanpa
henti.

"Sakit Ma, Mahen gak kuat..." Cowok itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Jika dirinya tidak
mempunyai alasan bertahan hidup, mungkin Mahen ingin mengakhiri ini semua. Dia benar-benar lelah
dengan kekangan, dan penderitaannya di rumah ini.

"Mahen cuma manusia biasa, Ma. Mahen gak kuat terus dihina sama Ayah sendiri. Terus dicaci sama
Ayah sendiri. Kapan Mahen dapat keadilan? Mahen juga mau kayak orang lain. Mahen juga mau dapat
kasih sayang kayak Bang Resal," gumam Mahen semakin terasa sesak, seperti ada dua benda tajam yang
menghimpit dadanya sehingga sangat sulit hanya untuk sekedar menarik napas.

"Kenapa itu semua gak bisa Mahen dapetin? Kenapa Tuhan gak pernah dengerin doa Mahen? Kenapa
Ma..."

Mahen sudah tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Mulutnya terasa sangat berat untuk berucap. Dia
berusaha menetralkan tangisannya agar tidak semakin hebat.

Keesokan harinya...
Mahen tersenyum, karena keinginan pertamanya bisa terwujud. Dia harap, suatu saat nanti, semua
keinginan yang dia tulis bisa terwujud juga.

Namun beberapa menit setelahnya, seketika ekspresi Mahen sedikit berubah. Senyuman kecil yang
semula terbit di bibirnya perlahan mulai memudar.

"Wish kedua dan ketiga, mungkin bisa. Tapi yang keempat dan kelima-" Mahen menjeda ucapannya.
"Gue gak yakin," lanjut Mahen merasa ragu.

Seumur hidupnya, Mahen bahkan tidak pernah merasakan bagaimana rasanya mempunyai sosok
seorang Ayah. Mungkin wujudnya memang ada, tapi Mahen tidak pernah merasakan kasih sayang yang
diberikan layaknya Ayah kepada anaknya.

"Gue iri sama lo, Bang," gumam Mahen dengan bola mata yang kian terasa memanas. "Lo bisa dapetin
semua, yang gak bisa gue dapetin."

Mahen terdiam sejenak. Perlahan cowok itu menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang
mengepal di atas meja, karena menahan sesak. "Gue gak pernah iri dengan hal-hal mewah yang Papa
kasih buat lo. Tapi gue iri, dengan perhatian dan kasih sayang yang Papa kasih buat lo."

Mahen langsung terdiam dan memejamkan kedua matanya. Dia berusaha untuk kuat. Mahen tidak ingin
menangis cuma karena hal seperti ini.

Hingga setelah beberapa saat setelahnya, Mahen pun kembali membuka kedua matanya. Dia menatap
kosong ke depan, dengan menghela napas berat. "Gue pasti bisa. Selama jantung gue masih berdetak,
gue gak akan nyerah buat dapetin apa yang bisa lo dapetin Bang." Mahen harus yakin, dengan
harapannya. Saat Mahen ingin memejamkan matanya untuk tidur.btiba-tiba dia jadi teringat dengan
sesuatu. Mahen pun kembali membuka kedua matanya, lalu perlahan menyandarkan tubuhnya pada
sandaran kasur. Safra pernah bilang, dia mau jalan-jalan sama gue,

" kalo udah sembuh," ucap Mahen mengingat kata-kata gadis itu saat dirumah sakit. "Kayaknya..bakal
lebih indah, kalo gue ajak dia jalan-jalan pake sepeda."
Mahen tersenyum kecil membayangkan itu semua. Karena Safira juga habis pulang dari rumah sakit, jadi
dia ingin menjaga gadis itu dengan mengajaknya Jalan-jalan menggunakan sepeda. Cowok itu lalu
mengambil ponsel dan membuka akun Bank miliknya untuk mengecek saldo. Tertera dengan jelas jika
uangnya cuma tersisa 350.000

Mahen baru teringat, jika dia sudah meminjamkan 10 juta pada Resal. "Uang gue belum diganti?"
gumam Mahen Dia benar-benar lupa untuk mengecek saldo ATM-nya. Mahen pun kemudian dengan
segera beranjak dari atas kasur dan bergegas untuk menemui Resal. Dia ingin menagih hutang cowok
itu.

pintu kamar Resal yang tertutup. Dia terus

mengetuknya tanpa mengeluarkan suara. Disisi lain, Resal yang sedang tertidur pun jadi terganggu
dengan seseorang yang terus mengetuk pintu kamarnya. "SIAPA?!" bentaknya sambil berjalan menuju
pintu. Resal kemudian membukanya dengan kasar, dan terlihat Mahen yang ternyata pelakunya.
"Ngapain sih lo?! Gak tau apa, gue lagi tidur?!"

"Uang gue," ucap Mahen langsung to the poin.

Seolah lupa dengan kejadian itu, Resal menaikkan sebelah alisnya. "Uang apa?" tanyanya dengan nada
tinggi

"Yang gue pinjemin sama lo. Mau gue pake,"

Resal jadi terdiam. Hingga beberapa saat setelahnya, dia pun baru ingat dengan itu semua. "Cuma
sepuluhnjuta doang. Perhitungan banget lo sama gue."

"Karena doang, ya udah bayar," ujar Mahen dengan wajah datar, tanpa ekspresinya.

Resal pun berdecak kesal. "Nanti. Gue lagi gak ada duit," ucapnya yang ingin menutup pintu Dengan
cepat, tangan Mahen langsung menahannya.

"Gue lagi butuh. Uang tabungan gue habis.”|| Resal menjadi emosi, dengan Mahen yang terus keras
kepala. Tatapan cowok itu pun kini berubah

menajam. "Siapa suruh lo waktu itu malah transfer? Kenapa lo gak dipukulin aja, biar uang lo utuh!
Sekarang, lo minta ganti rugi sama gue?!" Mahen sedikit tidak percaya dengan respon yang barusan
dilontarkan oleh Resal. Setelah dia menolong abangnya itu, dia masih tidak tau untuk berterima kasih?

"Gue udah bantuin lo. Kalo gak ada gue, mungkin lo

bakal mati Bang," ucap Mahen dengan emosi yang tertahan.

"Gue gak selemah itu Sialan!" Resal merasa tidak

terima, dan langsung mendorong bahu Mahen dengan kasar. "Lo pikir, hidup gue bergantung sama lo
waktu itu? Gak usah sok pahlawan lo!"

Mahen benar-benar dibuat emosi dengan sikap Resal. Kedua tangannya semakin mengepal kuat. hingga
menampakkan urat-urat lengannya yang kian menonjol Melihat Mahen yang hanya diam, Resal pun
ingin menutup pintunya kembali. Namun Mahen dengan cepat menahannya agar tetap terbuka.
"GANTIIN LANG GUE DULU BANG!!" teriak Mahen yang tengah menahan pintu dengan sekuat tenaga.
"LO BUDEK APA GIMANA? GUE BILANG, GUE GAK ADA DUIT ANJING!!" balas Resal yang semakin emosi,
sambil terus mendorongkan pintunya agar bisa tertutup.

Mahen tetap tidak mau menyerah, sampai Resal bisa mengembalikan uangnya. Wajah cowok itu sampai
terlihat memerah, dengan kakinya yang gemetaran akibat menahan pintu.

Karena sudah tidak kuat lagi, Mahen kemudian mengumpulkan semua tenaganya dan menendang pintu
tersebut hingga membuat Resal yang berada di dalam sana jadi terpental jatuh.

Tubuh Resal langsung menghantam tembok. membuat kepalanya berbenturan dengan kencang Cowok
itu memegangi kepalanya yang terasa ingin pecah, sampai akhirnya Resal kehilangan kesadaran.

Mahen yang melihat kejadian itu, terkejut bukan main. Kedua bola matanya melebar sempurna. Dia
ingin berlari menghampiri Resal, namun langkahnya jadi tertahan karena suara seseorang.

"MAHEN!"

Mahen jadi menoleh ke samping, menatap Dani yang baru saja keluar dari kamarnya. Letak kamar pria
itu memang bersebelahan dengan Resal

"Suara apa itu?" tanya Dani sambil berjalan menghampiri Mahen

Mahen mendadak gugup setengah mati. Cowok itu menelan ludahnya susah payah, dengan keringat
dingin yang mulai turun membasahi pelipis serta telapak tangannya.

Sesampainya di hadapan Mahen, Dani yang akan bertanya lagi, spontan jadi terhenti, saat bola matanya
tidak sengaja melihat kaki Resal yang terselonjor di lantai. Sementara tubuhnya terhalang oleh pintu.

"Resall" Dani memelotot bukan main. Dengan cepat. pria itu berlari masuk menghampiri Resal.

Benar saja jika Resal sudah tergeletak di lantai dengan kedua mata yang terpejam. Dani pun meraih
kepala Resal dan menaruh di pahanya. "Resal bangun Resal, Resal Papa bilang bangun!"

Dani benar-benar terlihat sangat panik. Pria itu kemudian menoleh pada Mahen yang masih berdiri
memandanginya. "Apa yang udah kamu lakuin Mahen?!" tanyanya dengan wajah penuh emosi.

"Ma-Mahen gak sengaja Pa," ucap Mahen terlihat ketakutan Raut wajah Dani semakin terlihat
menyeramkan.

Pria itu pun kemudian menggendong tubuh Resal dan membaringkannya di atas kasur. Dani lalu
menelpon Dokter kenalannya dan menyuruhnya untuk segera ke rumah, Sementara disisi lain, Mahen
masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Dia tidak tau lagi harus apa sekarang. Kenapa
semuanya jadi seperti ini? Setelah selesai menghubungi pihak medis, Dani kemudian membalikkan
badannya menatap Mahen. Dia pun berjalan menghampiri cowok itu. Tanpa banyak tanya, Dani
langsung menarik kerah baju Mahen dengan kasar, lalu menubrukkan tubuh cowok itu ke tembok,
hingga membuat Mahen kesakitan.

Brug

"KAMU APAIN RESAL MAHEN?! erang Dani dengan kedua mata yang memelotot. Yakinlah, tatapan pria
itu terlihat seperti ingin membunuh.
"Ma-Mahen gak sengaja Pa," ucap Mahen sambil berusaha mengendorkan tangan Ayahnya yang
membuat lehernya terasa tercekik,

"GAK SENGAJA NGAPAIN, PAPA TANYA!!" Dani semakin dibuat emosi, karena Mahen yang tidak mau
memberitahu apa yang sudah dilakukannya. Wajah Mahen terlihat memerah, napasnya tersengal-sengal
karena cengkraman Ayahnya. Jangankan untuk berbicara, tenggorokannya saja terasa sangat sakit
sekarang "P-Pa. Sesek..."ucap Mahen yang akhirnya berusaha mengeluarkan suara. Rasanya dia seperti
ingin mati, karena sangat sulit memasok oksigen, Melihat wajah Mahen yang perlahan memucat
membuat Dani pun jadi melepaskan cengkramannya. Pria itu lalu membogem wajah Mahen
denganbkencang.

Bugh

Mahen langsung tersungkur ke lantai dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Tubuhnya sudah
terasa lemas, hingga tidak mampu lagi untuk berdiri. Tidak cukup sampai situ. Dani lalu menjambak
rambut Mahen hingga membuat wajah cowok itu menatapnya. "Mulai berani kamu sama Abang kamu
hah?"

Emosi Dani semakin meluap-luap. Dia sangat marah, karena Mahen yang berani membuat anak
kesayangannya tidak sadarkan diri, "Sa-sakit Pa..." rintih Mahen kesakitan. "Sakit kamu bilang?" Dani
malah semakin mengencangkan jambakannya. "Kamu udah berani kurang ajar Mahen!" Dani kemudian
menghempaskan kepala Mahen dengan kasar. Seolah tubuhnya sudah dikuasai oleh emosi. Dani benar-
benar kehilangan rasa kemanusiaannya pada Mahen. Jiwa psikopat yang pernah dia lalukan,
kininbangkit lagi.Dani kembali menarik baju Mahen, dan memukuli wajah cowok itu dengan bringas. Dia
akan menghajar Mahen sampai cowok itu tidak sadarkan diri seperti Resal.

Bugh

Bugh

Bugh

Pukulan bertubi-tubi terus dilayangkan diwajahnMahen, membuat hidung cowok itu kini mengeluarkan
darah. Sudut bibirnya robek yang juga membuat cairan kental merah pekat keluar dari mulutnya.

"P-Pa cukup... Sakit..."ucap Mahon yang sudah tidak berdaya. Seluruh wajah serta tubuhnya terasa
begitu sakit. Tuhan, rasanya Mahen sudah tidak kuat...

Seolah tuli, Dani terus memukuli Mahen tanpa ampun. Dia benar-benar akan berhenti sampai akhirnya
Mahen tidak sadar lagi.

Hingga pada akhirnya, kedua mata Mahen terasa berat untuk dibuka. Pandangannya mulai mengabur.
Tubuh Mahen terasa sangat sakit, perih, dan lemas. Dani langsung menghentikan kepalan tangannya
yang akan melayang di wajah Mahen, saat mata cowok itu terpejam secara perlahan, Dani pun
melepaskan tangannya yang tengah mencengkram baju Mahen, membuat tubuh cowok itu ambruk ke
lantai dengan darah yang bersimbah di seluruh wajahnya.

Dani hanya diam, dengan bola matanya yang terus memandangi Mahen.
"DEN MAHEN ANAK KANDUNG TUAN! KENAPA TUAN TEGA!" Bi Lala semakin meluapkan emosinya. Kini
dia tidak merasa takut sama sekali. Bi Lala sudah tidak bisa diam, di saat melihat seorang Ayah yang
berani melakukan hal keji pada anaknya seperti ini.

"APA SALAH DEN MAHEN SAMA TUAN!!"

Perlahan kedua tangan Dani pun mulai mengepal. Pria itu kemudian menundukkan kepala, berusaha
menahan amarahnya yang sudah mendidih.

Hingga setelah terdiam beberapa detik, Dani lalu berkata, "Bawa Mahen ke rumah sakit," perintahnya
dengan kedua tangan yang semakin mengepal kuat. Bi Lala hanya diam dan menangis sesegukkan.

"CEPETAN BAWA!!" murka Dani mengangkat wajahnya, menatap Bi Lala dengan nyalang.

Bi Lala pun segera beranjak berdiri dan ingin bergegas menuju lantai bawah untuk mengambil
ponselnya.

"CARI TAKSI DI DEPAN! JANGAN TELEPON AMBULAN!" ujar Dani. Dia tidak mau jika kasus ini sampai ke
tangan pihak berwajib. Bagaimanapun Mahen adalah anak kandungnya, dia bisa dipenjara dalam waktu
yang lama jika ketahuan melakukan penyiksaan terhadap anaknya sendiri.

Bi Lala pun jadi membalikkan badannya, menatap Dani yang terlihat begitu marah. "Ta-tapi lama Tuan.
Gimana kalo Den Mahen kenapa-napa?"

Setelah satu jam ditangani, akhirnya pintu ruang UGD pun terbuka. Mereka bertiga yang sejak tadi
menunggunya, lantas segera beranjak berdiri dan bergegas menuju seorang Dokter yang baru saja
keluar.

"Anda Ayahnya?" tanya Dokter Rizal menatap Dani. Pria itu hanya mengangguk.

"Mahen terlalu lama dibawa ke rumah sakit, sampai membuat detak jantungnya benar-benar lemah.
Saya menemukan banyak luka dalam di seluruh tubuhnya, terutama pada bagian wajah. Selain itu,
saluran pernapasan Mahen juga tersendat karena ada bekas memar di lehernya," ucap Dokter Rizal
menjelaskan semua kondisi Mahen secara jelas.

"Saat ini, Mahen kritis," lanjut Dokter Rizal.

Bi Lala yang mendengarnya langsung membekap mulut tak percaya. Kedua kakinya mendadak terasa
lemas, hingga akhirnya tubuh wanita itu terjatuh di bangku.

"Den Mahen..." isak Bi Lala menangis. Hatinya bagai diiris oleh benda tajam ketika mengetahui hal ini.

Dani jadi mengurungkan niatnya yang akan masuk menemui Mahen, saat melihat Bi Lala yang sedang
menangis di bangku.

Pria itu memandangi Bi Lala yang tengah. menundukkan kepala dengan kedua tangan yang menyatu di
depan dada.

Seketika perasaan Dani mendadak gelisah. Degup jantungnya, berdebar dua kali lebih cepat.

Perlahan Dani melangkahkan kakinya, menghampiri Bi Lala. "Ada apa sama Mahen?" tanyanya langsung,
tanpa basa basi.
Sontak Bi Lala jadi mengangkat kepalanya, menatap ke arah sumber suara. Dia melihat Dani yang kini
sedang menatapnya.

"Saya tanya, ada apa sama Mahen?!" bentak Dani dengan wajah emosi. Tangan pria itu mengepal
dengan kuat.

Belum sempat Bi Lala menjawab, pintu ICU sudah terlebih dahulu terbuka. Hal itu, membuat Dani dan Bi
Lala jadi segera menghampiri Dokter dan para suster yang baru saja keluar.

Dokter Rizal pun menatap Bi Lala dan Dani bergantian. Kemudian, beliau berkata, "Alhamdulilah, kondisi
Mahen sudah stabil lagi."

Bi Lala yang mendengarnya, langsung menghembuskannya napas lega. "Alhamdulilah. Terimakasih,


Dokter," ucapnya sangat senang. Bi Lala benar-benar takut untuk kehilangan Mahen.

Dokter Rizal hanya menjawabnya dengan anggukkan.

Sementara Dani, dia yang tidak tau apa apa, lantas bertanya pada Dokter Rizal. "Memang tadi Mahen
kenapa?"

"Mahen tadi sempat drop, dan hampir kehilangan detak jantungnya."

Dani langsung terdiam, dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.

"Beruntung Mahen kuat. Dia bisa melewati ini semua," ucap Dokter Rizal dengan senyuman manis.

Setelah terdiam cukup lama, Dani lalu menatap Dokter Rizal. "Saya boleh masuk?"

"Boleh Pak," jawab Dokter Rizal.

Tanpa banyak berkata lagi, Dani pun langsung pergi begitu saja dari hadapan mereka. Pria itu berjalan
memasuki ruangan Mahen.

"Ya sudah Bu, saya permisi ya?" pamit Dokter Rizal, kemudian pergi dari sana.

Bi Lala hanya menjawabnya dengan anggukkan. Wanita itu lalu kembali mendudukkan tubuhnya di
bangku.

Bi Lala menghela napas berat dan menghembuskannya. "Bahkan denger Den Mahen hampir meninggal
aja, Tuan masih gak panik sama sekali," ucapnya, merasa tak habis pikir.

"Segitu bencinya, Tuan sama Den Mahen?" Bi Lala menundukkan kepalanya. Hatinya terasa sakit,
melihat perlakuan Dani kepada Mahen.

Dani mengambil duduk di samping brankar Mahen. Dia memandangi wajah Mahen yang kini terlihat
begitu pucat.

"Mahen," panggil Dani tiba-tiba.

Pria itu kembali terdiam untuk beberapa saat. Lalu dia pun melanjutkan ucapannya, "Kamu anak yang
mandiri kan? Kamu paling gak suka, kalo ngerepotin orang lain?"
Dani terus memandangi sorot mata Mahen yang terpejam. "Kamu tau? Kali ini, kamu udah ngerepotin
Papa. Kamu udah nyusahin Papa. Papa capek, harus bulak balik nemuin kamu di sini."

Bahkan, melihat Mahen yang sedang koma di rumah sakit saja, tidak membuat hati Dani tersentuh
sedikit pun. Pria itu masih bersikap buruk pada Mahen.

Bola mata Dani lalu beralih pada tangan Mahen, yang saat ini, jari cowok itu sedang di jepit
menggunakan alat medis.

Dani memandangi tangan Mahen lumayan lama, sebelum akhirnya dia menggenggam tangan Mahen.
Dingin. Rasanya seperti tidak ada darah yang mengalir.

Kemudian, pria itu kembali menatap Mahen dengan tangannya yang masih menggenggam tangan
Mahen. "Jangan jadi anak yang lemah. Kamu hampir mati tadi."

Perlahan Dani mengangkat genggamannya dengan tangan Mahen, dan menuduhkan di hadapan wajah
Mahen. "Lihat, Papa udah genggam tangan kamu. Kamu gak pernah ngerasain kayak gini kan?"

Dani pun semakin mengeratkan genggamannya. Dia lalu mencium punggung tangan Mahen cukup lama.
Kemudian, Dani menatap Mahen. "Papa juga udah cium tangan kamu."

Tiba-tiba air mata mengalir di sudut mata kanan Mahen. Seolah, cowok itu bisa merasakan kehadiran
sosok Ayahnya. Mungkin, jika Mahen melihat ini semua, dia akan sangat bahagia.

Dani yang melihatnya, jadi terdiam. Hanya perlakuan kecil yang dia berikan pada Mahen, namun mampu
membuat cowok itu sampai menangis?

"Papa udah kasih kamu semangat. Jadi tolong bangun, jangan buat Papa repot terus, karena harus
ngurusin kamu," ucap Dani sambil menyusut air mata di wajah Mahen.

"Kamu dengar Papa kan Mahen?" tanya Dani. Dia yakin, walaupun Mahen sedang koma, namun cowok
itu masih mampu merespon ucapannya.

"Jangan lemah. Kamu harus hidup. Kamu bilang, kamu mau SMA kan?"

Dani jadi terdiam. Hingga beberapa saat setelahnya, dia kembali bersuara, "Mati-matian kamu belajar,
supaya bisa nurutin kemauan Papa. Tapi apa sekarang? Kamu malah kayak gini? Kamu gak mau,
nikmatin hasil perjuangan kamu?"

Dani memandangi luka memar yang dia berikan di wajah Mahen. Hatinya sedikit tergores, karena
merasa menyesal telah melakukan hal itu.

"Mahen," panggilnya lagi.

"Kamu selalu nurutin apa kemauan Papa. Dan sekarang, Papa minta sama kamu, supaya kamu bangun.
Bangun sekarang."

Percayalah, walaupun Dani berusaha untuk bersikap kejam pada Mahen, namun saat ini, kedua mata
pria itu tidak bisa bohong. Mata Dani terlihat memerah, karena mungkin masih ada tali ikatan darah
terhadap Mahen yang merupakan anak kandungnya sendiri.
"Kamu harus bangun. Papa benci, liat kamu kayak gini, paham?" Kemudian, Dani melepaskan
genggamannya dengan Mahen.

Pria itu masih terus memandangi wajah Mahen. Setelah beberapa detik terdiam, Dani lalu bangkit
berdiri dan pergi dari hadapan Mahen.

Sementara Mahen, dengan kedua mata yang masi setia terpejam, Mahen kembali meneteskan air
matanya. Dia bahagia, walaupun setelah nanti sadar, Mahen mungkin tidak akan pernah merasakan
momen ini lagi.

Anda mungkin juga menyukai