Anda di halaman 1dari 8

Serpihan Asa Penggores Pena

Oleh Hanifa Anindia

Seorang gadis remaja duduk di bangku kecil sebuah rumah. Netranya


tidak terlepas dari pemandangan langit senja. Ketika lembayung mengantarkan
sang matahari pulang ke peraduannya. Di atas pangkuannya ada sebuah buku
bersampul merah jambu. Dengan sepenuh hati dia mulai menggoreskan penanya

Ketika senja tiba..

Dia yang memberi warna

Hadirnya setia membersamai langit

Mengantarkan sang matahari

pulang ke peraduannya

Meskipun langit berubah kelabu,

Dia tidak merasa pilu

Mekipun malam memadamkan kemilaunya

Dia tak pernah bertanya

pendarnya membawa semilir angin yang sejuk

Menyampaikan pesan kepada makhluk bumi

Beristirahatlah dalam buaian malam

Hingga…

Belum sempat ia menyelesaikan puisinya tiba-tiba sesosok pria keluar


dari dalam rumah. Dengan kasar pria itu merebut paksa alat tulis yang gadis itu
pegang.
“Senja! Sudah berapa kali Ayah bilang, berhentilah menulis hal tak berguna
seperti ini!” Pria itu terlihat marah.

Kemudian dilemparkannya buku bersampul itu ke lantai. Gadis remaja itu adalah
Lembayung Senja. Sekuat tenaga ia tahan air mata agar tidak jatuh. Dia tidak
berani melawan ayahnya yang sangat ia hormati.

“Belajarlah dengan baik! Ayah ingin nilai rapotmu bagus!” ucapnya tegas seakan
tak peduli dengan Lembayung yang bersedih.

“Iya Ayah, aku janji,” sahut Lembayung.

“Buat apa berjanji kalau besok dilanggar lagi!” ketus ayah Lembayung.

“Jangan lupa besok jadwal les bimbel! Jangan sampai membolos!” perintahnya
sebelum pergi meninggalkan Lembayung.

Rumi, sang pengasuh hanya menatap Lembayung dengan iba.

“Neng, apakah Neng baik-baik saja?” tanya Rumi.

Seperti biasa Lembayung akan menjawab dengan senyuman.

“Neng jangan marah sama pak Rama. Bapak sebenarnya sayang sekali sama
Neng.” ucap Rumi menghibur.

“Iya, terimakasih, Bi.” Lembayung pamit pergi ke kamarnya.

Muncul pertanyaan di benak Lembayung mengapa ayahnya membenci puisi. Bagi


Lembayung menulis puisi adalah cara menumpahkan segala perasaan, keinginan,
harapan, dan cita-citanya.

Pagi ini Lembayung pergi ke sekolah tanpa bersemangat. Setiba di


sekolah Bu Hana memberinya selembar kertas berisikan pendaftaran lomba
menulis puisi. Sekolah telah memilih dirinya menjadi peserta lomba. Ia ingin
sekali mengikuti perlombaan itu, tapi mengingat perangai ayahnya, pasti akan
sulit untuk mendapatkan izin.

“Lembayung Ibu harap kamu bisa mengikuti perlombaan ini,” pinta Bu Hana.
“Emmm… Bu sebenar-” ucap Lembayung

“Ibu yakin kamu bisa. Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan bakat
menulis yang kamu punya. Kami sangat berharap kepadamu,” potongnya.

“Yang terpenting kamu mengikuti lomba ini, urusan menang atau kalah jangan
kamu pikirkan,” Ibu Hana meyakinkan Lembayung.

“Maaf Bu saya tidak bisa berjanji, nanti saya pikirkan lagi,” jawab Lembayung.

“Baiklah apapun keputusanmu nanti, Ibu akan menerima,” terlihat gurat kecewa
di wajah Ibu Hana. Hal itu membuat Lembayung tidak enak hati.

Saat Lembayung kembali ke kelasnya, ia disambut dengan pertanyaan Alvi,


sahabatnya.

“Lembayung, bagaimana? Kamu akan mengikuti lomba ini bukan?” tanya Alvi
antusias.

“Entahlah aku masih bingung,” jawab Lembayung.

“Kamu ikut saja! Menurutku ini kesempatan yang bagus,” ucap Alvi.

“Persoalan sebenarnya adalah bagaimana mendapatkan izin dari ayah. Kamu


tahukan ayahku bagaimana?” ucap Lembayung lesu.

“Aku tahu, tapi coba saja dulu bicara pada ayahmu,” saran Alvi.

“Hmm…baiklah aku akan coba,” sahut Lembayung

“Semangat, Bestie!” seru Alvi memberikan semangat kepada temannya.

Selama jam pelajaran berlangsung Lembayung tidak bisa


berkonsentrasi. Pikirannya dipenuhi perlombaan puisi. Teman sebangkunya Alvi
beberapa kali mengingatkannya untuk mendengarkan guru yang sedang
menjelaskan di depan kelas. Tidak terasa jam pelajaran sekolah pun berakhir.
Dengan langkah gontai ia berjalan menuju gerbang sekolah. Disana Pak Ilham
sedang menunggunya untuk mengantar ke tempat les.

“Neng, sudah sampai,” ucap Pak Ilham.


“Terima kasih sudah mengantar saya, Pak!” jawab Lembayung.

“Sama-sama Neng. Semangat belajarnya ya, Neng!” Pak Ilham menambahkan.

Dua langkah lagi menuju pintu masuk ruang les, Lembayung memutar
badannya. Diayunkan langkahnya menjauhi tempat itu. Kali ini ia ingin mengikuti
kata hatinya. Ia akan mengikuti lomba itu dan akan berusaha membuat puisi
sebagus mungkin. Bergegas ia menghentikan angkutan umum menuju rumah
kakeknya. Lembayung kembali bersemangat. Ia ingin menang, menorehkan
prestasi untuk sekolahnya. “Semangat Lembayung kamu bisa!” Ia memberi
semangat pada dirinya sendiri.

Setelah bertemu kakeknya untuk meminta izin, ia masuk ke kamar


mendiang Ibunya. Ia bangga melihat berbagai piagam dan piala penghargaan
tersusun rapi di meja. Teringat kembali kenangan ketika ibunya memberi sebuah
buku bersampul merah jambu.

“Senja, ini hadiah ulang tahun dari Ibu. Nanti kalau kamu sudah bisa menulis
dengan baik ini akan menjadi teman terbaikmu. Tulis apa yang kamu rasakan.
Apakah itu kebahagian atau kesedihanmu, ia akan mendengarkanmu dengan
setulus hati.” Lembayung mengeluarkan buku itu dari dalam tas kemudian mulai
menggoreskan penanya.

Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa jam menunjukan pukul lima
sore. Bergegas Lembayung membereskan bukunya ke dalam tas. “Gawat aku
terlambat pulang! Ayah pasti marah,” gerutunya.

“Kamu mau kemana, Nak?” Kakek bertanya.

“Senja pulang dulu, Kek,” sahut Lembayung.

“Tunggu sebentar Kakek antar sampai rumah,” kata Kakek sambil mengambil
kunci motor tuanya di atas meja.

Dengan tergesa Lembayung turun dari motor kakeknya. Setelah


membuka pagar. Ia berlari menuju pintu rumah tanpa berpamitan pada kakeknya.
Ketika pintu terbuka dilihat ayahnya sedang duduk besidekap di kursi ruangan
tamu. Tatapannya menghunus tajam menahan marah. Lembayung tak berani
menatap ayahnya.

“Kamu dari mana, Senja? Jawab Ayah!” marah Pak Rama.

“Berani-beraninya kamu berbohong! Tadi Ayah menjemputmu di tempat ternyata


kamu bolos! Ayah tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi tingkahmu! Ayah
kecewa sekali!” ucap Pak Rama.

Lembayung hanya bisa menunduk tak mampu menjawab. Tangan Pak Rama
meraih tas yang dipegang Lembayung kemudian dengan kasar mengeluarkan
semua isinya ke lantai. Amplop berisi lembaran pendaftaran lomba puisi pun ikut
terjatuh bersamaan dengan buku bersampul merah jambu.

“Apa ini?” Pak Rama mengambil amplop itu kemudian mengeluarkan dan
membaca isinya. “Apa ini Senja?” Pak Rama mengulangi pertanyaannya.

“Itu itu formulir pendaftaran dari sekolah untuk lomba puisi…,” cicit Lembayung
sambil tetap menunduk.

“Jadi demi ini kamu berani membolos!?” hardik Pak Rama.

Pak Rama mengambil buku bersampul merah jambu sambil berkata, “Mungkin
buku ini harus Ayah hancurkan agar kamu berhenti menulis puisi konyol begitu!”
Tangan kanan Pak Rama akan merobek buku itu. Namun tiba-tiba tangan
seseorang menyentuh lembut Pundak Pak Rama.

“Rama hentikan, Nak! Tenangkan emosimu!” ucap Kakek menenangkan.

Mendengar ucapan Kakek, Pak Rama mengurungkan niatnya merobek buku


Lembayung. Disimpannya buku itu di atas meja kemudian dia melangkah menuju
kursi.

“Senja, pergilah ke kamarmu! Biar kakek berbicara sebentar dengan ayahmu,”


ucap Kakek.
Lembayung beranjak menuju kamarnya dengan perasaan campur aduk.
Lembayung duduk di pinggir tempat tidurnya seraya memikirkan apa yang baru
saja terjadi. Di ruang tengah Kakek duduk menyusul Ayah Lembayung.

“Rama jangan terlalu keras pada Senja! Biarkan Senja melakukan apa yang dia
sukai!” ujar Kakek.

“Tadinya saya mengira dengan memasukkan Senja ke les bimbel akan


membuatnya memiliki kesibukan dan melupakan kesukaannya menulis puisi,”
jelas Pak Rama.

“Apa yang salah dengan menyukai puisi?” tanya Kakek. “Menurut Bapak itu hobi
yang baik. Setiap anak mempunyai kemampuan dan bakat yang berbeda. Tugas
kita sebagai orang tua hanya mendukung dan mendampingi mereka,” nasihat
Kakek.

“Maafkan Pak, Mungkin di sini sayalah masalahnya. Ketika saya melihat Senja
berkutat dengan puisinya saya selalu diingatkan kembali pada kenangan buruk
yang menimpa ibunya. Kalau saja dulu Airani tidak mengikuti perlombaan itu,
mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya tidak ingin kehilangan Senja,
sudah cukup saya merasakan kesedihan kehilangan ibunya,” jawab Pak Rama

“Bapak mengerti kekhawatiranmu, Nak. Namun janganlah menyalahkan takdir!


Semua ini adalah kehendak Allah. Setiap manusia memiliki takdirnya masing-
masing. Jodoh, mati dan rejeki semua Allah yang mengatur. Tugas kita hanyalah
ikhlas dalam menjalaninya. Bapak tahu memang tidak mudah menjadi orang tua
tunggal, tapi berusaha dan bersabarlah,” ucap Kakek. Pak Rama terdiam mencerna
apa yang yang dikatakan Pak Halim, ayah mertuanya. Dalam hatinya ada rasa
sesal karena kemarahannya pada Lembayung.

“Sudah cukup Senja kehilangan kasih sayang ibunya. Jangan sampai dia
kehilangan kasih sayang ayahnya juga,” ujar Kakek.

Dari celah pintu kamar yang terbuka, Lembayung mendengarkan


percakapan kakek dengan ayahnya. Sekarang dia mengerti alasan mengapa
ayahnya melarang menulis puisi. Bukan karena ayah tidak menyayangnya, tapi
karena kecelakaan yang dialami ibunya menjadi trauma bagi ayahnya. Ia bertekad
tidak akan membuat ayahnya kecewa lagi. Tidak ada yang lebih penting dari
ayahnya sekalipun itu adalah menulis puisi yang sangat disukainya!

Sepulangnya Kakek, Ayah Lembayung membuka buku bersampul


merah jambu milik puterinya. Dibacanya puisi yang tertulis di sana. Kini Ayah
Lembayung tahu apa yang harus dilakukan. Ia membuka amplop pendaftran
lomba puisi itu. Setelah menuliskan sesuatu, ia memasukkan kembali buku beserta
amplop ke dalam laci meja kerjanya. “Maafkan Ayah, Senja,” bisiknya dalam
hati.

Hari berganti. Tidak terasa sudah dua pekan Lembayung mengikuti


les bimbel. Nilai mata pelajarannya meningkat pesat. Bahkan PTS kali ini
dilaluinya tanpa kesulitan. Pagi ini Lembayung pergi ke sekolah dengan
semangat. Belum sempat ia masuk ke dalam kelas seseorang menarik tasnya.

“Alvi, kamu kenapa sih? Nyeret orang brutal amat, salah sarapan ya?Lepas
nggak?” kesal Lembayung.

“Kamu kalau nggak diseret jalannya kaya siput, cepetan!” oceh Alvi.

“Ada apa sih!?” tanya Lembayung

Alvi tidak menjawab ditariknya tangan lembayung dengan tergesa-gesa.

Di depan papan pengumuman banyak siswa berkerumun. Alvi berhenti menarik


tangan Lembayung. Diajaknya Lembayung mendekat.

“Lihat Lembayung!Baca ini!” seru Alvi.

Kedua mata Lembayung membulat. Tak percaya apa yang telah


dilihatnya. Tiba-tiba Alvi merangkul pundaknya sambil berkata,“Selamat, sobat
kamu memang pantas menjadi juara!” Siswa lain pun bergantian ikut
mengucapkan selamat. Mata Lembayung berkaca-kaca. Setitik air terjatuh
membasahi pipinya. Ini bukan air mata kesedihan melainkan kebahagiaan.
Sekelebat sosok ayahnya muncul dalam benaknya. “Terima kasih, Ayah!” lirih
Lembayung.

Anda mungkin juga menyukai