pulang ke peraduannya
Hingga…
Kemudian dilemparkannya buku bersampul itu ke lantai. Gadis remaja itu adalah
Lembayung Senja. Sekuat tenaga ia tahan air mata agar tidak jatuh. Dia tidak
berani melawan ayahnya yang sangat ia hormati.
“Belajarlah dengan baik! Ayah ingin nilai rapotmu bagus!” ucapnya tegas seakan
tak peduli dengan Lembayung yang bersedih.
“Buat apa berjanji kalau besok dilanggar lagi!” ketus ayah Lembayung.
“Jangan lupa besok jadwal les bimbel! Jangan sampai membolos!” perintahnya
sebelum pergi meninggalkan Lembayung.
“Neng jangan marah sama pak Rama. Bapak sebenarnya sayang sekali sama
Neng.” ucap Rumi menghibur.
“Lembayung Ibu harap kamu bisa mengikuti perlombaan ini,” pinta Bu Hana.
“Emmm… Bu sebenar-” ucap Lembayung
“Ibu yakin kamu bisa. Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan bakat
menulis yang kamu punya. Kami sangat berharap kepadamu,” potongnya.
“Yang terpenting kamu mengikuti lomba ini, urusan menang atau kalah jangan
kamu pikirkan,” Ibu Hana meyakinkan Lembayung.
“Maaf Bu saya tidak bisa berjanji, nanti saya pikirkan lagi,” jawab Lembayung.
“Baiklah apapun keputusanmu nanti, Ibu akan menerima,” terlihat gurat kecewa
di wajah Ibu Hana. Hal itu membuat Lembayung tidak enak hati.
“Lembayung, bagaimana? Kamu akan mengikuti lomba ini bukan?” tanya Alvi
antusias.
“Kamu ikut saja! Menurutku ini kesempatan yang bagus,” ucap Alvi.
“Aku tahu, tapi coba saja dulu bicara pada ayahmu,” saran Alvi.
Dua langkah lagi menuju pintu masuk ruang les, Lembayung memutar
badannya. Diayunkan langkahnya menjauhi tempat itu. Kali ini ia ingin mengikuti
kata hatinya. Ia akan mengikuti lomba itu dan akan berusaha membuat puisi
sebagus mungkin. Bergegas ia menghentikan angkutan umum menuju rumah
kakeknya. Lembayung kembali bersemangat. Ia ingin menang, menorehkan
prestasi untuk sekolahnya. “Semangat Lembayung kamu bisa!” Ia memberi
semangat pada dirinya sendiri.
“Senja, ini hadiah ulang tahun dari Ibu. Nanti kalau kamu sudah bisa menulis
dengan baik ini akan menjadi teman terbaikmu. Tulis apa yang kamu rasakan.
Apakah itu kebahagian atau kesedihanmu, ia akan mendengarkanmu dengan
setulus hati.” Lembayung mengeluarkan buku itu dari dalam tas kemudian mulai
menggoreskan penanya.
Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa jam menunjukan pukul lima
sore. Bergegas Lembayung membereskan bukunya ke dalam tas. “Gawat aku
terlambat pulang! Ayah pasti marah,” gerutunya.
“Tunggu sebentar Kakek antar sampai rumah,” kata Kakek sambil mengambil
kunci motor tuanya di atas meja.
Lembayung hanya bisa menunduk tak mampu menjawab. Tangan Pak Rama
meraih tas yang dipegang Lembayung kemudian dengan kasar mengeluarkan
semua isinya ke lantai. Amplop berisi lembaran pendaftaran lomba puisi pun ikut
terjatuh bersamaan dengan buku bersampul merah jambu.
“Apa ini?” Pak Rama mengambil amplop itu kemudian mengeluarkan dan
membaca isinya. “Apa ini Senja?” Pak Rama mengulangi pertanyaannya.
“Itu itu formulir pendaftaran dari sekolah untuk lomba puisi…,” cicit Lembayung
sambil tetap menunduk.
Pak Rama mengambil buku bersampul merah jambu sambil berkata, “Mungkin
buku ini harus Ayah hancurkan agar kamu berhenti menulis puisi konyol begitu!”
Tangan kanan Pak Rama akan merobek buku itu. Namun tiba-tiba tangan
seseorang menyentuh lembut Pundak Pak Rama.
“Rama jangan terlalu keras pada Senja! Biarkan Senja melakukan apa yang dia
sukai!” ujar Kakek.
“Apa yang salah dengan menyukai puisi?” tanya Kakek. “Menurut Bapak itu hobi
yang baik. Setiap anak mempunyai kemampuan dan bakat yang berbeda. Tugas
kita sebagai orang tua hanya mendukung dan mendampingi mereka,” nasihat
Kakek.
“Maafkan Pak, Mungkin di sini sayalah masalahnya. Ketika saya melihat Senja
berkutat dengan puisinya saya selalu diingatkan kembali pada kenangan buruk
yang menimpa ibunya. Kalau saja dulu Airani tidak mengikuti perlombaan itu,
mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya tidak ingin kehilangan Senja,
sudah cukup saya merasakan kesedihan kehilangan ibunya,” jawab Pak Rama
“Sudah cukup Senja kehilangan kasih sayang ibunya. Jangan sampai dia
kehilangan kasih sayang ayahnya juga,” ujar Kakek.
“Alvi, kamu kenapa sih? Nyeret orang brutal amat, salah sarapan ya?Lepas
nggak?” kesal Lembayung.
“Kamu kalau nggak diseret jalannya kaya siput, cepetan!” oceh Alvi.