Anda di halaman 1dari 4

RUMAH SENI

Tulisan tebal berhuruf kapital "JANGAN MASUK" di kertas karton terpampang di tengah
daun pintu ruangan, di ujung kanan dalam rumah. Ada ayah di sana, sedari pagi masih
serius bergelut melukis pemandangan alam, yang sampai sesiang ini pun belum
tuntas-tuntas.

Di satu kamar, adik laki-lakiku yang bungsu, sedang bertekun membaca sekaligus
menghafal naskah drama dengan mencoba berbagai karakter. Adik sedang memilih peran
apa yang paling cocok karena besok keempat temannya akan ke sini untuk menentukan
peran-peran, siapa kebagian siapa, siapa kebagian apa.

Di ruang tengah, kakak yang perempuan baru setengah jalan belajar menari, diiringi karaoke
dari vokal suara Ibu. Sementara aku sedang duduk seraya membaca puisi, sekali- kali
memerhatikan ibu dan kakak secara bergantian.

Hobiku menulis puisi, tetapi nanti menulisnya ketika malam tiba, di kamar, saat semua
penghuni rumah sudah tidur-agar aku bisa berkonsentrasi penuh sehingga bisa langsung
selesai sekali jadi. Semoga.

Namun di antara kami berlima, tak ada yang bisa berseni patung. Kami semua sudah takluk,
sungguh susah membuatnya.

Sore pun tiba, semua berhenti berkegiatan. Ayah keluar dari studio mini kedap suaranya
dengan raut wajah kisut, pakaiannya belepotan cat air. Adik segera pergi mandi.
Sedangkan, ibu dan kakak pergi ke dapur untuk memasak.

Lalu saat malam, kami mengelilingi meja makan bundar untuk bersantap.

Setelah selesai, berdiskusi saling bicara kendala seraya menikmati cemilan. Rencananya,
nanti ayah akan menampilkan lukisannya untuk lomba pada saat kaul hari jadi kabupaten.
Ibu akan ikut lomba bernyanyi, kakak pada lomba menari, serta adik berpartisipasi pada
festival drama bersama teman-temannya. Aku sendiri mengikuti perlombaan menulis
sekaligus membacakan puisi yang dibuat sendiri. Aku sungguh kecewa pada Pak Bupatiku
karena tidak mengadakan sayembara menulis cerpen. Meskipun begitu, semoga saja tahun
depan, hati Pak Bupati terbuka, sehingga akan menyertakan lomba menulis cerpen.

Pada diskusi ini, ayah mengeluhkan tahap finishing warna gambar gunung yang masih
dibiarkan kosong putih sewarna dasar kanvas. "Apakah diberi hijau atau biru? Sedangkan
dulu ketika muda saat hobi mendaki, tegakan pepohonan di lereng berwarna hijau. Yang
ayah bingung, dari kejauhan gunung itu kan berwarna biru."

Ibu yang pertama kali memberi saran. " Gunung dari kejauhan memang berwarna kebiruan
karena pantulan dari warna langit. Jadi, ayah sebaiknya memberi warna biru saja."

"Yang lain?" Ayah menunggu.


Kakak menimpali. "Sudah stigma orang, bahwa gunung itu berwarna biru dari kejauhan. Ya
sudah, warna biru saja." Ya, aku dan kakak pun sepakat dengan warna biru.

"Tetapi ayah pikir mending dibubuhi warna biru kehijauan, dan itu sudah." kata Ayah
kemudian terkekeh. Ya begitulah ayah, kadang suka serius kadang suka bercanda.

Ayah memang bukan seorang pelukis ternama. Tetapi katanya akan terus mendalami
melukis sebagai hobi, tetapi entahlah seberapa serius. Ayah pun tentu tahu diri. Meskipun di
rumah, selalu membanggakan hasil lukisannya kepada kami.

Aku pun penasaran ingin melihat lukisan yang telah jadi itu. Ayah tak berkeberatan, begitu
bersemangat mengajakku menuju studio lukisnya, lalu menggotong lukisannya ke ruang
makan ini. Ayah mewanti-wanti agar menyenderkan hasil karyanya dengan hati- hati di
dinding. Kami lalu menatap ciptaan ayah. Tak sepatah kata pun terucap. Menurutku sendiri,
gambar sawah terlalu vertikal, terlalu besar, tak sebanding dengan gunung yang seharusnya
tinggi. Ah, aku hanya bicara dalam hati. Aku tahu ayah tidak suka dikritik, aku tak mau
kejadian seperti beberapa bulan lalu terulang kembali, ketika ayah merobek-robek
lukisannya.

Lalu kini bagian ibu menceritakan keluhan olah vokalnya. "Pada satu bait lagu pop, ada
yang tidak tercapai pada nada tingginya. Padahal aku sudah berkali-kali mencoba. Tetap
saja tidak kesampaian. Padahal kan selama ini ibu sudah minum ramuan-ramuan tertentu."
Lalu kata ayah. "Sudah saja Bu. Mencari lagi lagu yang lain, yang sekiranya bisa dicapai."
Aku setuju dengan ayah yang harus menilai obyektif meskipun pada istri sendiri. Ibu
langsung menganggukkan kepala. "Usul yang baik."

Ayah lalu meminta Ibu bernyanyi. Setelah selesai sebait, kata Ayah, "Titik artikulasinya ya,
belum enak terdengar." Ibu malah cemberut seraya bersungut, "Emangnya goreng pisang,
enak," seraya mencomot satu buah. Aku juga menilai dalam hati, ya nyanyian ibu terdengar
bagus tidak, jelek juga tidak.

Oleh tetangga, ibu dikenal sebagai penyanyi amatir. Bila ada yang hajatan, atau acara 17-
an, Ibu selalu diundang ke panggung. Tetapi tanpa dibayar, lagi pula kata ibu, ini hanya
sebagai hobi. Ada satu yang aku kagumi setiap melihat ibu beraksi karena tidak
menggoyangkan badannya, hanya kakinya yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Ibu memang
sopan juga santun.

Saat giliran kakak yang penari latar bicara, merasa tak ada masalah. Namun ayah meminta
agar kakak menari sebentar. Lalu ayah menilai, ada beberapa gerakan yang tidak satu
irama dengan lagu dan musik. Menurut ayah, kalau bait lagu sedang bercerita sedih, maka
gerakan tarinya ya harus lembut perlahan dengan bertatapan mata sayu. Kalau bait lagu
sedang gembira, barulah bisa gesit dengan mata berbinar."

"Yang mana. Aku tidak ingat." Kakak malah sewot menyela. Kata ayah kemudian, "Kau
sendiri kan yang harus tahu yang mana, kau sendiri yang harus menjiwai, bukan orang lain."
Kakak hanya diam.
Saat bagian adik, tampak gugup, setelah mereguk seteguk air, bicara pula. "Aku kesulitan
untuk memerankan orang yang sedang marah. Padahal naskah sudah hapal benar-benar.
Mungkin karena aku tipe orang yang pendiam?"

Ayah kembali memberi saran. "Orang marah biasanya berbicara dengan nada tinggi dan
cepat, dibarengi dengan mata melotot. Ya, kau harus berkali-kali berpraktik. Atau berganti
peran saja, pilih yang lebih cocok dengan karaktermu. Ya kalau pemain drama profesional
sih bisa memerankan apa pun." Adik manggut-manggut. Memang Adik seorang yang
pemalu juga jarang bicara.

Aktivitas di meja selesai pula. Ayah mengajakku kembali ke studio mini lukisnya,
menggotong kembali lukisannya, membereskan alat-alat seninya. Ibu dan kakak merapikan
buku teks lagu-lagu, menyimpan kembali pada tempatnya. Demikian pula adik, menaruh
buku naskah dramanya di rak khusus.

Kemudian setelah menonton satu acara televisi yang kami sukai, masing-masing kembali ke
kamar. Tetapi aku tidak akan tidur, hendak menulis puisi. Semoga bisa menjadi puisi yang
bagus.

**

Tiba pula hari jadi kabupaten. Kegiatan lomba diadakan selama satu hari dari pagi sampai
malam,

Tiba pula hari jadi kabupaten. Kegiatan lomba diadakan selama satu hari dari pagi sampai
malam, bertempat di dua gedung kesenian dan di halamannya yang diteduhi terpal biru.
Ayah membawa satu lukisan kebanggaannya berupa pemandangan alam. Ayah begitu
gaya, bertopi pet, bersepatu pantopel, bercelana jeans belel biru dan kemeja polos biru
pula- seolah-olah pelukis top.

Perlombaan pun dimulai, lukisan-lukisan berjejer di halaman. Juri-juri berkeliling dengan


buku dan ballpoint di tangan. Menilai kelebihan kekurangan, sekaligus memberikan kritik
agar lebih baik lagi berkarya. Untuk kali ini, saat lukisan ayah ditimbang, tumben hanya
diam. Untuk lomba lukis, pesertanya antusias karena mencapai seratusan lukisan
se-kabupaten ini.

Untuk lomba karaoke, ibu sudah bersiap mental dengan dandanan terbaik, akan
menyanyikan satu lagu dari Raisa. Ibu kebagian nomor urut 6, percaya diri tampil di
panggung mini di dalam gedung. Ah, rupanya demikian pula dengan peserta-peserta lain
yang sama-sama percaya diri.

Lalu siangnya, kakak berlomba menari tunggal bergiliran dengan peserta-peserta lain di
dalam Gedung A sampai selesai. Kemudian Adik berlomba teater bersama
kawan-kawannya bersaing dengan grup-grup teater lainnya di dalam Gedung B. Aku sendiri
pada lomba puisi, kebagian malam hari.
Di pelantang suara, pada pukul 21.00, panitia mengumumkan bahwa nilai semua lomba
akan diumumkan seminggu kemudian.

**

Seraya menunggu hasil pengumuman, setiap ayah sepulang bekerja, kembali melukis.
Namun, ibu dan kakak perempuan yang sedang libur kuliah, setelah rutinitas sehariannya
selesai, menonton sinetron. Aku sepulang kuliah, menekuni membaca atau menulis puisi.
Sedangkan adik sepulang sekolah SMA-nya, kadang-kadang membaca naskah drama,
kadang-kadang membaca novel.

Hingga tibalah di malam pengumuman, kami berkumpul kembali di meja makan


mendengarkan siaran radio pemerintah daerah kabupaten-yang beberapa saat lagi akan
mengumumkan hasil lomba. Kami berharap, berdebar, berdegup, menggebu. Ayah tiba-tiba
bijak bicara. "Misalnya di antara kita tidak ada yang juara, tak apa, itu bukan tujuan utama.

Biarlah seni diproduksi mereka yang benar-benar profesional. Hanya yang jelas, kami
merasa bangga telah menjadi keluarga pecinta seni. Dengan seni, keseharian akan menjadi
lebih indah. Semisal saja musik yang nikmat didengar di telinga."

Di radio, panitia lomba pun selesai pula dengan secara terstruktur mengumumkan hasil
penilaian semua lomba. Oh tetapi, tak satu pun dari anggota keluarga yang menjadi
pemenang.

Kami saling berpandangan.

***

Bandung, Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai