Anda di halaman 1dari 95

LOST MELODY: A LOVE ETCHED IN TUNES

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA PELAJARAN BAHASA


INDONESIA

GURU PENGAJAR: LUH PUTU ARIES WIDYASTUTI

Disusun Oleh:

Nanda Intan Nadiva

XII IPS 3/26

Jalan Borobudur 1, Kota Malang, Jawa Timur


Profil Penulis

Nanda Intan Nadiva dilahirkan pada


04 November 2006, Kota Malang,
Jawa Timur.
Penulis menempuh pendidikan di
SDN Tunjungsekar 5 (2012-2018),
SMPN 11 Malang (2019-2021),
SMAN 9 Malang (2021-2024).
Penulis memiliki hobi untuk
bermain alat musik seperti gitar dan
menyukai film bergenre romansa,
sehingga cerita ini dibuat
berdasarkan imajinasi penulis.
Analisis Unsur Intrinsik

1. Tema: Romansa, Drama


2. Tokoh dan penokohan:
- Jeffrey: ramah, apresiatif terhadap seni, hangat,
humoris.
- Abel: ramah, antusias, dan penuh semangat.
- Evelyn: ceria, sensitif, kompleks.
- Claresta: musisi yang berbakat dan memiliki
dedikasi tinggi, ramah, serta hangat.
3. Alur: mundur
4. Sudut pandang: orang pertama pelaku.
5. Latar:
- Waktu: tahun 90 an
- Tempat: Paris, Perancis.
- Suasana: romantis, menegangkan, sedih.
6. Gaya bahasa: deskriptif, naratif, metafora. Penggunaan
dialog antar karakter diatur secara realistis, memberikan
kesan keakraban dan interaksi yang alami di antara
mereka. Beberapa ungkapan cenderung imajinatif, seperti
“lampu-lampu kota yang berwarna-warni menciptakan
suasana magis” atau “alunan musik kembali mengisi
udara.”

GAUN PUTIH, ORKESTRA MELODI


GRAND

Dalam cahaya remang, aku duduk sendiri di tepi pantai,


mengingat wajah lembutnya. Suara ombak menjadi seruling
melodi, membawaku pada kenangan manis bersamanya.

Dia, dengan rambut panjang yang bergelombang, seperti benang


emas yang menari dengan lembut di tiap gerakan angin. Ingatan
akan keindahan itu menghiasi pikiranku seperti lukisan abadi di
langit senja. Aku merenungi setiap detik ketika matahari terbenam
mencuri warna dari rambutnya, meninggalkan kenangan yang
terpahat dalam bayang-bayang kehidupanku. Terkadang, angin
laut membawa serpihan aroma yang membangkitkan memori,
membuatku merasakan sentuhan halus rambut yang kini hanya
ada dalam kenangan.
Matanya, serupa permata coklat yang menakjubkan dan
mengandung kehangatan. Setiap kilatan cahaya di dalamnya
seperti menyimpan cerita tak terucapkan, memancarkan
kelembutan yang menghanyutkan hati siapa pun yang
menyaksikannya.

Aku merindukan sosokmu disini.

Duduk di pasir yang lembut, aku membiarkan pena mengalir di


halaman kosong buku ini, menciptakan kisah cinta yang tak
pernah pudar. Di hadapan lautan yang berbisik dengan rahasia,
kata-kata terukir dengan penuh kelembutan, membawa kembali
kenangan indah bersamamu yang kini telah tiada. Setiap kalimat
adalah serpihan rindu yang merayap, mencoba menangkap
kehangatan tatapan dan sentuhan yang pernah kita bagi di bawah
sinar senja.

Claresta Serenity, gadis yang kutemui 18 tahun yang lalu. Entah


apa awal yang pasti bagaimana kita bisa dekat, namun aku
bahagia bisa mengenalmu.

Kala itu di tahun 1995, aku pertama kali bertemu denganmu di


orkestra biola yang rutin diadakan tiap minggunya di gedung
Melodi Grand.

Saat itu aku terpukau oleh caramu membawakan lagu Carmen


Suite No. 1 karya Georges Bizet dengan indah. Aku bisa
menangkap nuansa romantis dan keindahan yang melekat pada
kisah cinta dan petualangan Carmen.

Kau mengenakan gaun putih yang nampak seperti gaun itu


memang dibuat hanya untukmu. Di tengah pertunjukanmu
menampilkan orkestra, aku menggambar sosokmu di buku
harianku. Cantik.

Kala itu aku bekerja sebagai pengisi background musik di kafe


Java & Jazz, aku memainkan piano disana. Itulah sebabnya aku
tertarik pada pertunjukan orkestra ini.

Setiap minggu, setelah pertunjukan orkestra berakhir, aku selalu


menantikan momen di depan gedung Melodi Grand. Aku berdiri
di sana, menunggu kedatanganmu. Di bawah cahaya lampu
gedung yang redup, hatiku berdebar-debar setiap kali pintu
gedung terbuka.

Suara langkah kaki yang mendekat membuat hatiku berdegup


lebih cepat. Dan kemudian, kau muncul, keluar dari pintu gedung
dengan langkah anggun. Gaun putihmu yang memesona
menambahkan sentuhan elegan pada malam itu. Kulihat senyum
lembut di wajahmu, seakan meresapi keindahan musik yang baru
saja kau bawakan.
Aku terlalu hanyut dalam memperhatikan sosokmu hingga
pikiranku buyar saat nomor telepon bos ku terpampang di layar
ponselku.

“Iya, Bos?”

“Sudah jam berapa sekarang ini, Jeff?”

“Saya-“

Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, dia mematikan


telepon sepihak. Aku pun langsung bergegas menuju kafe dengan
menaiki mobil sedan Toyota Carolla putih jadulku.

Sesampainya di kafe, aku langsung menuju ke tempat piano ku


berada. Posisi piano diletakkan di tengah menyebarnya meja
pelanggan. Aku memang berada di tengah, namun aku bisa
merasakan bahwa orang bahkan tak tertarik untuk melihatku.
Mungkin karena jazz sangat minim pengagumnya.

Aku terlahir dari keluarga yang bisa dikatakan berkecukupan.


Pekerjaan ini adalah untuk mengisi waktu luangku, karena Ayahku
adalah seniman atau lebih tepatnya pelukis yang karyanya selalu
mendapat tawaran harga melejit. Ayah bilang aku cukup
menikmati masa mudaku, karena Ayah tau kalau aku punya masa
depan di bidang seni juga.
Sementara aku mulai memainkan melodi lembut di piano, suasana
kafe seolah menyatu dengan nada-nada jazz yang tercipta.
Pelanggan hanya sesekali melirik, tetapi sebagian besar masih
asyik dengan urusan masing-masing.

Tiba-tiba, sosok wanita dengan gaun merah menyala memasuki


kafe. Dia melangkah dengan anggun, dan matanya langsung
tertuju padaku. Aku menjadi sedikit gugup, dan aku mencoba
mempertahankan fokus pada melodi yang sedang aku mainkan.

Wanita itu duduk di salah satu kursi di dekat piano, tersenyum


tipis sambil menyaksikan pertunjukanku. Setelah lagu selesai, dia
mengangguk dan mengacungkan jempol. “Jazz memang memiliki
daya tariknya sendiri, bukan?” ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk, sedikit terkejut oleh perhatiannya. “Terima


kasih.”

Aku melanjutkan permainan pianoku sampai malam berganti


menjadi fajar. Kafe ini tidak pernah sepi. Kulihat wanita itu
ternyata tertidur lelap di meja sebelah tempatku berada. Aku tak
mengenalnya, tapi dia memiliki selera yang bagus.

Aku pun pamit kepada bos untuk pulang.

Di perjalanan pulang, jalanan sepi. Aku memutar lagu Elvis


Presley di sepanjang perjalanan.
Akhir akhir ini aku terpikirkan untuk menikah, tapi sayang tidak
ada calonnya. Usiaku sekarang sudah 27 tahun, entah apa yang
kucari hingga saat ini. Ayahku tidak menuntutku untuk cepat
berkeluarga, tetapi diluar itu aku tau dia menginginkan penerus.

Mungkin aku akan mencoba untuk mencari calon istriku mulai


besok, aku bisa mengandalkan wajah menawanku ini.

Sesampainya di rumah, aku melakukan hobiku untuk melukis di


balkon. Terkadang aku melukis abstrak sesuai dengan suasana
hatiku. Terkadang juga aku melukis sosok yang indah bagiku,
Claresta contohnya.

Sudah 1 tahun aku tidak pernah absen untuk menonton


pertunjukan orkestra di Melodi Grand, tetapi dia sang pemain
biola hanya datang 1 bulan sekali di hari minggu yang tak pasti.
Alasan mengapa aku menantikannya adalah karena dia bisa
menyampaikan pesan dari setiap nada nada yang dia mainkan.
Alunan musik orkestra yang membawaku pada kedamaian. Aku
juga bisa mengimprovisasi permainan pianoku dari situ.

Hidupku cukup sunyi, karena aku tak terlalu berurusan dengan


orang lain. Namun aku memiliki sobat karib sejak SMA, yaitu
Abel. Dia adalah pemain cello yang gemar melakukan berbagai
kompetisi. Dia cukup terkenal dengan nama Abel Halton,
siapapun pasti mengenalnya. Dia adalah pemain cello terbaik dari
Paris.

Aku membuka buku harianku. Tiba tiba aku ingin menggambar


wanita bergaun merah yang menemuiku di cafe tadi. Aku
mengabdikan semua orang yang berkesan bagiku di buku ini,
tanpa membawa perasaan lebih dalam akan maknanya.

Matanya hitam pekat dan rambutnya pendek bergaya wolfcut. Aku


suka warna rambutnya yang berwarna kemerahan seperti wine.
Bisa dibilang gaunnya cukup berantakan, dan make up seadanya.
Mungkin itu seni menurutnya.

Di tengah kesibukanku menggambar, aku mendapat telepon dari


Abel.

“Hai bro!” ucapan awalku menyambutnya.

“Hai Jeff! Aku menang kompetisi kali ini!” ucapnya dengan nada
bahagia.

Aku pun tersenyum mendengarnya, “aku sudah menduganya sih.”

“Haha ini semua berkat dukunganmu juga, makasih loh.”

“My pleasure.” Jawabku.

“Aku akan mengatur jadwal untuk mengunjungi Paris, atur


jadwalmu juga dong.”
“Iya iya.”

“Yasudah, jaga diri ya!”

“Kau juga.”

Aku pun mematikan panggilan dan melanjutkan aktivitasku.


Sesekali aku bermain piano, namun tetap saja aku masih merasa
jenuh.

Aku pun memilih untuk keluar menikmati udara segar, dan


mendengarkan musik.

Dari kejauhan aku samar samar melihat wanita gaun merah


kemarin berjalan mendekat ke arahku.

Aku memimcingkan alisku bingung.

“Kita bertemu lagi secara kebetulan.” Ucapnya disertai senyuman


lebar. Dia pintar merancang skenarionya.

“Rumahmu di sekitar sini?”

Dia mengangguk. “Aku berjalan jalan karena bosan.”

“Begitu rupanya.” Jawabku seadanya.

“Apa kau akan berada di cafe itu lagi nanti?”

“Aku bekerja disana, setiap malam aku ada disana.”

Dia mengangguk paham.


“Aku Evelyn, siapa namamu?” tanyanya sambil tersenyum ramah.
Aku bisa bilang dia cukup manis.

“Aku Jeffrey.” Aku membalas senyumannya pula.

“Syukurlah tetanggaku bukan orang aneh.” Ucapnya.

“Kau suka jazz?” tanyaku.

Dia mengarahkan pandangannya sepenuhnya ke arahku, bersiap


menjelaskan dunianya.

“Ya, ayahku adalah anggota band bergenre jazz. Walaupun tidak


terkenal tetapi dia menciptakan musik yang indah.”

Aku langsung tertarik dengan jawabannya, “apa nama band nya?”

“Midnight Serenade.”

Aku terkejut mendengar nama band-nya. Aku sering


mendengarkan lagu lagu dari Midnight Serenade di perjalanan
pulang kerja. Mereka sangat amat terkenal di kalangan pengagum
jazz.

“Apa!? Itu band favoritku!” ucapku girang.

Evelyn juga terkejut dengan reaksiku, dia tersenyum semakin


lebar.

“Serius!? Aku sangat menghargainya.”


“Minta kan tanda tangannya untukku.”

Dia mengangguk.

Kami pun bercengkrama mengenai musik dan juga kehidupan di


kota ini. Aku jadi mengetahui latar belakangnya begitu pula
karakteristiknya.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, aku pun


segera menuju ke cafe. Kali ini Evelyn ikut bersamaku. Katanya
dia akan mencoba melamar kerja disana.

“Kau yakin mau melakukan pekerjaan ini denganku?” tanyaku


padanya.

“Ya, aku cukup mahir memainkan saksofon.”

“Semoga kita bisa mendapatkan perhatian lebih dengan kolaborasi


ini.”

Sesampainya di cafe aku langsung mengajaknya menghadap ke


bos.

“Coba tunjukkan kemampuanmu.” Ucap bos kepada Evelyn.

Evelyn pun segera mengeluarkan saksofonnya dan


memainkannya.

Jari jemarinya yang lentik menekan setiap nada di saksofonnya.


Bos menyimak dengan penuh perhatian, sorot matanya
menandakan apresiasi terhadap kemampuan Evelyn. Suasana cafe
menjadi semakin hidup, dan pelanggan ikut terhipnotis oleh
alunan saksofon yang memesona.

Tidak lama kemudian, suasana terputus oleh tawaran dari bos


untuk memberikan kesempatan tampil secara rutin. Evelyn pun
setuju dengan antusiasme yang memancar dari wajahnya.

Sejak saat itu, Evelyn menjadi penghias tetap di cafe tersebut,


menciptakan momen-momen indah dengan melodi saksofonnya
yang memikat hati. Setiap penampilannya tidak hanya menghibur
pelanggan, tetapi juga membuka pintu kesempatan baru untuknya
dalam dunia musik.

Kami sering menghabiskan waktu bersama, lambat laun kami


menjadi semakin dekat. Setiap hari, perjalanan kami bersama
menjadi semakin berwarna. Meskipun awalnya Evelyn terlihat
ceria, lambat laun sifat galaknya mulai muncul. Kami sering
beberapa kali berargumen namun bisa menyelesaikannya dengan
baik.

Seperti biasa, hari ini kami juga bekerja. Evelyn sering mampir ke
rumahku untuk sarapan bersama atau menonton film. Dia sudah
seperti adik bagiku.
“Kau tidak bosan memakan ini setiap hari?” Tanya Evelyn sambil
mengaduk ngaduk sereal di mangkuknya tanpa nafsu makan.

“Mau telur orak arik?” Tawarku

Dia menggeleng pelan, “Kalau begini mending aku pulang saja


deh.”

Aku hampir membiarkannya pulang, tapi aku ingat dia akan


merajuk jika aku melakukannya.

“Mau makan apa?” tanyaku sedikit malas.

Evelyn memanyunkan bibirnya dan menaikkan bahunya pertanda


dia juga tak tahu harus makan apa.

“Di rumahmu ada makanan?”

“Kalau boleh jujur lebih bervariasi dari yang ada disini.”

Aku menghembuskan nafasku sebal, mungkin ini caranya untuk


mengatakan sarapan bersama di rumahnya.

“Yasudah ayo makan di rumahmu.”

Senyuman langsung terukir di wajah cantiknya.

“Ayo!”

Kami langsung berjalan kaki ke rumah Evelyn, setelah 15 menit


kami sampai di kediamannya.
Rumah Evelyn cukup besar dan mewah, ini pertama kalinya aku
memasuki rumahnya.

Ketika pintu rumah Evelyn terbuka, aku terpesona oleh interior


yang elegan. Kami duduk di ruang makan yang lapang, dihiasi
dengan perabotan modern dan nuansa hangat. Evelyn menghilang
sejenak, kemudian muncul dengan sebuah nampan berisi
croissant, buah segar, dan kopi hangat.

“Selamat datang di rumahku, semoga suka dengan sarapannya,”


ucap Evelyn sambil tersenyum ramah. Kami menikmati makanan
dengan percakapan yang santai, seolah menghapus kepenatan
rutinitas harian.

Setelah sarapan, Evelyn mengajakku berkeliling rumahnya. Kami


menjelajahi ruang tamu yang elegan, perpustakaan pribadinya,
dan taman yang indah. Sambil berjalan, dia bercerita tentang
kenangan hidupnya, menciptakan ikatan yang semakin erat di
antara kami.

Waktu berlalu begitu cepat, dan sebelum aku menyadari, sudah


sore. Kami memutuskan untuk menonton film favorit kami di
ruang keluarga yang nyaman. Suasana hangat dan keakraban
semakin terasa, membuat rumah Evelyn menjadi seperti tempat
kedua bagiku.
Setelah menyelesaikan film, aku menyadari betapa beruntungnya
memiliki teman seperti Evelyn. Kehangatan hubungan kami tidak
hanya tercermin dari rumahnya yang mewah, tetapi dari
kebersamaan dan keakraban yang tumbuh di setiap momen
bersama. Dalam hati, aku bersyukur memiliki sahabat seperti
Evelyn dalam keseharianku.

BUKAN DIA ORANGNYA


Sudah 8 bulan sejak aku bekerja bersama Evelyn, kami kian
menjadi dekat layaknya saudara kandung. Aku kakaknya dan dia
adiknya. Tak pernah terbayangkan di benakku untuk memiliki
perasaan romantis padanya. Kami bahkan pernah saling menginap
di salah satu rumah kami karena jadwal kerja yang terlalu malam,
lagipula rumah kami jaraknya dekat.

Sudah 5 bulan aku tidak melihat Claresta sejak terakhir kali dia
tampil minggu itu. Aku selalu datang ke gedung Melodi Grand
dengan Evelyn , namun aku tak pernah membicarakan Claresta
padanya. Dia nampak menikmati pertunjukan meskipun baru
pertama kali melihatnya. Bahkan semangatnya masih sama hingga
saat ini.

Evelyn pernah menawarkan padaku untuk mengisi pertunjukan


mingguan di Melodi Grand, namun aku menolak. Aku tahu bahwa
penonton disini pastinya memiliki selera musik yang bagus,
namun aku belum sebaik itu. Kemampuanku belum selayak itu
untuk ditonton dengan serius.

Kemampuan bermain saksofon Evelyn semakin meningkat, dia


yang dulunya tidak bisa mengimbangi nada pianoku perlahan
mulai menciptakan melodinya di tengah dinamika nada saksofon
dan piano.

Evelyn tidak tertarik untuk mendalami kemampuan saksofonnya.


Dia hanya ingin hidup sebagai manusia biasa dengan hobi
bermusik. Aku pun sama dengannya, suka bermusik bukan berarti
harus menjadi musisi.

Hari ini aku absen bekerja karena lelah, kami tidak memiliki hari
libur. Meskipun pekerjaan kami melelahkan, namun tenaga yang
kami keluarkan tidak sebanding dengan respon pendengar.
Kadang aku merasa lelah dan ingin berhenti. Aku akan
memainkan jazz untuk diriku sendiri. Namun aku sadar, musik
dirasakan dengan hati bukan telinga. Aku belajar untuk
menyampaikan nada nada dengan hati dan pikiran.

Evelyn belum menghubungiku sama sekali sejak kemarin malam.


Kami berselisih karena Evelyn merasa kita harus berbicara dengan
Bos untuk memberikan satu hari libur bagi kami setiap
minggunya. Namun aku menolak karena Bos tidak akan
menggubris. Dia mungkin akan mencarikan pengganti kita diam
diam.

Aku menawarkan pada Evelyn untuk bergantian dalam


membawakan musik. Biasanya kami selalu melakukan duet non
stop selama 6 jam penuh. Aku menyarankan agar kita melakukan
duet 2 jam pertama dengan penampilan solo masing masing 2 jam.
Dengan begitu kami dapat beristirahat 2 jam. Evelyn nampak
setuju namun ia tetap kesal. Aku paham bahwa sangat tidak apa
apa jika Evelyn merasa jenuh, pekerjaan ini memang melelahkan.
Aku memintakan cuti untuk Evelyn selama 1 minggu, aku akan
membiarkannya istirahat beberapa saat.

Jam menunjukkan pukul 8 malam. Suasana di Paris masih sama,


dingin namun hangat. Dengan langkah yang ringan, aku
memutuskan untuk menjelajahi jalanan Paris yang terkenal
dengan cahaya malamnya yang memukau. Jalan-jalan kecil yang
dipenuhi lampu-lampu jingga memancarkan pesona khas kota ini.

Saat melewati Sungai Seine, cahaya dari Menara Eiffel yang


berkilauan membuat malam semakin memesona. Suasana sekitar
membius hati yang merindukan keindahan romantisme kota cinta
ini.

Tak jauh dari situ, aroma harum kopi dari kafe-kafe kecil menyapa
hidungku. Aku memutuskan untuk mampir ke salah satu kafe
yang terlihat menarik. Di dalam, suasana hangat dan desain
vintage menciptakan tempat yang sempurna untuk menghabiskan
waktu sendirian.

Duduk di sudut dengan secangkir kopi di tangan, aku membiarkan


diriku meresapi keindahan malam Paris. Para pejalan kaki yang
lewat dengan santai, pasangan yang berjalan berdua, dan
senyuman dari orang asing yang terlewat membuat malamku
semakin istimewa.
Sementara itu, musisi jalanan mengisi udara dengan melodi yang
menenangkan. Aku menikmati momen ini, membiarkan detik-
detik berlalu tanpa terburu-buru. Malam yang dingin namun
hangat di Paris benar-benar menyihir hatiku, menciptakan
kenangan yang sulit untuk dilupakan.

Sambil menikmati secangkir kopi, aku memutuskan untuk


menggambar di buku kecil harianku. Aku tak menyadari bahwa
ternyata Claresta juga berada di kafe yang sama denganku kala
itu. Saat aku menggambar, tiba tiba musik terhenti dan orang
orang berlarian berkerumun ke dekat sungai Seine. Suara biola
merdu mengudara. Tunggu, aku kenal suara ini. Aku pun langsung
bergegas mendekati kerumunan. Dan benar saja, dia kembali.
Claresta Serenity kembali muncul di hadapanku.

Dia membawakan lagu dengan penuh semangat. Lagu yang


dinyanyikannya begitu memikat, mengisi udara di sekitar sungai
Seine. Sorot mata Claresta penuh emosi, seolah menghidupkan
setiap nada yang dinyanyikannya. Aku terpesona, seperti
terhanyut dalam alunan melodi yang mengalun begitu indah.

Tanpa ragu, aku bergabung dengan kerumunan yang memuja


penampilan Claresta. Sorak sorai dan tepuk tangan memenuhi
udara ketika dia menyelesaikan lagu. Saat dia menatapku, senyum
hangat terukir di wajahnya. Kami saling bertukar senyuman, dan
aku merasa ada magnet tak terlihat yang kembali menghubungkan
kami.

Malam itu, Claresta mengenakan gaun hitam yang terhampar


begitu elegan di sekitar tubuhnya. Gaun hitam itu seolah menjadi
bagian tak terpisahkan dari pesona alaminya. Cahaya lampu kafe
menyinari rambut panjangnya yang tergerai indah, menciptakan
siluet memikat yang membuatnya terlihat seperti bintang malam
yang turun dari langit. Cantik. Lagi lagi aku hanya terpikirkan
kata cantik saat melihatmu.

Dia memainkan 2 lagu dengan begitu singkat, lalu datang pada


penghujung waktu dimana dia berpamitan. Aku pun kembali ke
tempat duduk awalku di kafe. Tak sadar buku harianku terbuka
lebar, memalukan. Melodi musik yang tadinya terhenti sebentar
kini kembali mengudara dan para kerumunan juga kembali
beraktivitas.

Aku menghentakkan kakiku pelan mengikuti ritme alunan musik


yang mengudara, musik klasik yang hangat. Kembali kugoreskan
tinta bolpoinku untuk melanjutkan gambar yang belum selesai.

Keesokan harinya aku dikejutkan oleh kehadiran Abel tiba tiba di


Paris. Di pagi hari yang damai, ketukan di pintu apartemenku
begitu keras. Awalnya aku hampir memarahinya, namun begitu
aku melihat bahwa ternyata itu Abel, aku langsung menarik
emosiku. Abel memang jail sedari dulu.

“Surprise bud!” sontaknya sambil memelukku erat.

Aku pun tersenyum dan membalas pelukannya, sesekali aku


memukul punggungnya agar dia melepaskan pelukannya.

Abel berjalan berkeliling di sekitar kamar apartemenku yang


minimalis. Apartemen ini cukup luas untuk diriku sendiri, hanya
Evelyn dan Abel yang pernah mampir.

“Suasananya masih sama, kau tidak berubah sama sekali.”

Aku mengedikkan bahuku sambil tersenyum sedih. Terasa


menyedihkan semua orang berubah dan berkembang namun aku
tetaplah berada di titik yang sama. Mengapa begitu sulit bagiku
untuk mengekspresikan perasaanku dengan baik.

Abel beralih memperhatikan lukisanku yang tertata acak di


tembok, dan banyak yang kuletakkan asal di balkon.

Setelah puas melihat lukisan, dia beralih duduk di kursi pianoku.


Bersiap menekan tuts piano. Abel cukup mahir memainkan
beberapa alat musik. Dia mempelajarinya untuk memudahkan
menciptakan harmonisasi di lagunya.
Setelah bermain piano sebentar, Abel mengajakku keluar. Kami
pun berjalan jalan menyusuri kota ini di siang hari yang terik.
Kami mampir di kafe yang ku kunjungi kemarin malam.

Dia memesan kopi Americano, dan aku memesan Cappucino.

“Bagaimana kehidupanmu sejauh ini?” tanyanya.

“Sama saja, aku masih menikmati melukis dan jazz.”

Pria berambut buzz cut berkacamata dihadapanku ini mengangguk


paham.

“Kau benar benar tidak tertarik ikut pameran?”

Pertanyaan yang sama selalu ditanyakannya seolah aku akan


berubah pikiran.

“Tidak.”

Abel segera mengoceh tentang apa yang seharusnya aku lakukan.


Dia akan berbicara cukup lama. Aku mengambil buku harianku
dan mencoba menggambar pria mengoceh di hadapanku ini.

“Kau punya potensi, Jeff. Untuk apa bertahan di kafe suram itu?
Ayolah.”

Mata biru seperti lautan itu menatapku kesal.


Tiba tiba buku harianku diambilnya dan dia menghembuskan
napasnya kasar. Wajar jika dia lelah, tapi aku harus bagaimana
lagi. Kubiarkan dia membuka lembar demi lembar buku harianku.

Aktivitasnya terhenti setelah membuka halaman ketiga. Matanya


terbuka lebar dan alisnya memincing. Dia melanjutkan
menjelajahi halaman berikutnya dan semakin menunjukkan reaksi
kaget. Aku dibuat heran oleh tingkahnya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Kau menyukai dia?” tanyanya sambil menunjukkan gambar


Claresta yang kugambar kemarin malam.

“Aku hanya kagum.” Jawabku tenang.

Abel tertawa mendengar jawabanku.

“Kau masih sering berkunjung ke Melodi Grand, kan? Claresta


tidak akan ada disana selama 3 bulan kedepan.”

Aku terkejut mendengar ucapan Abel.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyaku.

“Aku bergabung dengan orkestra nya untuk kompetisi bulan


Maret.”

Tunggu, bagaimana bisa?

“Kau menemuinya dan meminta bergabung?” tanyaku.


Abel menggeleng.

“Dia yang menemuiku. Katanya sih dia ingin menonjolkan


permainan biolanya dengan kolaborasi cello. Aku setuju setuju
saja karena tidak ada agenda tahun ini.”

“Aku kemarin melihatnya bermain di dekat sungai Seine. Apa


kalian berangkat ke Paris bersama?”

“Tidak, sebenarnya kami tidak ada rencana untuk break dari


latihan. Tetapi aku bilang bahwa aku merindukan temanku di
Paris-“

Belum selesai Abel berbicara aku memotongnya geli. “Bukankah


kau terlalu berterus terang?!”

Abel terkekeh lalu melanjutkan kalimatnya.

“Lalu Claresta bilang dia ingin berkunjung ke Paris untuk


memainkan biola. Sepertinya Paris memiliki kesan tersendiri
untuknya.”

Aku tersenyum mendengar ucapan Abel. Ternyata Claresta adalah


orang yang baik.

“Mau berkenalan dengannya?” tanya Abel disertai senyum


menggoda.
Jantungku berdebar sesaat. Membayangkannya saja aku tidak
bisa.

“Stop it, Bel.”

Abel nampak puas melihatku tersipu merah merona.

“Aku tidak begitu dekat dengannya, tapi kami sering bertukar


pikiran untuk persiapan kompetisi. Dia memang sangat ramah,
tapi ketika berbicara dengannya kau akan merasakan benteng
yang dia buat.”

“Maksudnya?”

“Dia sedikit tertutup dan menghabiskan sebagian besar waktunya


untuk bermain biola. Dia selalu tersenyum lebar dan menyambut
semua orang. Tapi tidak semudah itu untuk dekat dengannya.”

“Bergabunglah dengan kami.” Tambah Abel.

“Tidak, deh.” Jawabku tidak percaya diri.

Abel memanyunkan bibirnya kecewa. Padahal dia tahu kalau


kemampuanku tak sebaik dirinya. Apalagi disandingkan dengan
Claresta? Yang ada aku mengacaukan pertunjukannya karena
gugup.

“Jadi Claresta sama sekali tidak akan tampil di melodi grand dekat
dekat ini?” tanyaku memastikan lagi.
“Ya. Kami akan kembali ke Amsterdam besok. Kau tidak ada cuti
sama sekali?”

Aku berpikir sejenak. Membosankan juga karena aku tidak pernah


mengambil cuti.

“Kau mau mengajakku?” tanyaku.

“Berkunjunglah setidaknya 3 hari.”

Aku diam mempertimbangkan. Aku harus membicarakan ini


dengan Evelyn dan bos dulu. Terutama Evelyn, apa dia akan baik
baik saja kutinggal?

“Aku akan membicarakan ini dengan Bos dulu.”

“Take your time.”

Selesai berbincang bincang dengan Abel di Cafe, aku menemui


Evelyn. Abel juga pergi untuk membeli beberapa keperluan
sebelum berangkat ke bandara besok.

“Aku mau cuti 1 minggu.” Ucapku pada Evelyn yang sibuk


membaca buku dengan ekspresi tak senang.

Mendengar ucapanku, wajahnya semakin sukar.

Evelyn tak merespon apa apa dan tetap mengalihkan


pandangannya pada buku yang ia pegang.
Gadis itu merebahkan badannya di sofa putih panjang di ruang
keluarga. TV nya menyalah namun ia bahkan tidak menoleh pada
benda itu.

Aku menghembuskan nafasku kasar. Perlahan aku mendekatinya


dan duduk di sofa sebelahnya.

“Kau tak senang? Bukankah kau ingin cuti?”

Dia tetap manyun dan menghiraukan ku. Masalah sekecil ini


apakah harus diperpanjang seperti ini?

“Aku akan membicarakan tentang cuti seminggu sekali juga pada


Bos, jangan terlalu memikirkannya.” Ucapku berusaha untuk
mengurangi kekesalannya.

“Baca apa sih? Serius sekali.” Aku mengintip isi bukunya.

Evelyn langsung mendorongku, aku tak sadar bahwa jarak kami


terlalu dekat tadi.

“Lakukan apa yang kau mau.” Ucap Evelyn.

Ia kembali membaca bukunya dengan raut kesal.

Tingkahnya yang seperti anak kecil terkadang membuatku gemas,


dia seperti adik kecil bagiku.

Aku beranjak menuju dapur untuk memastikan apakah dia sudah


makan.
Di dapurnya hanya ada sereal dan susu. Mungkin dia sudah
makan.

“Kau tak bertanya kenapa aku cuti satu minggu?”

Ucapku sekali lagi walaupun aku tahu dia akan menghiraukanku.

“Aku akan mengunjungi Amsterdam bersama temanku.”

Aku beranjak mendekati Evelyn, kali ini aku sungguh bertanya


padanya.

“Kau akan baik baik saja, kan? Bisa tolong jaga dirimu selama
seminggu tanpaku?”

Aku bisa melihat raut sedih di wajahnya. Aku dan Evelyn sama
sama hidup sendirian, aku menjadi khawatir karenanya.

“Lakukan apa yang kau mau selama cuti, bersenang senanglah


dengan temanmu. Atau berkunjunglah ke tempat orang tuamu.”

Evelyn meletakkan bukunya di meja dan beralih menatapku.

“Jahat sekali, kau pikir dengan siapa lagi aku akan menghabiskan
cutiku.”

Aku tersenyum mendengarnya.

“Tidak mungkin aku mengajakmu.”


“Yasudah nikmati liburanmu, jangan khawatirkan aku. Aku baik
baik saja, sana pergi.”

Aku memeluknya sebelum pergi.

“Telepon aku kapanpun terjadi sesuatu.” Ucapku.

Evelyn mengangguk sambil tersenyum. Aku pun meninggalkan


kediamannya.

Awal bertemu dengan Evelyn, aku pikir dia adalah orang pilihan
yang dikirim Tuhan padaku. Tapi kini aku sadar, bukan dia
orangnya.

LESUNG PIPI, SENYUM MANIS, GADIS


DINGIN

Aku dan Abel sudah berada di Amsterdam. Kami menghabiskan 2


jam penerbangan. Aku langsung menuju ke apartemen Abel.
Suasana Amsterdam menyambutku. Setelah sampai di apartemen
Abel, kami merencanakan untuk menjelajahi keindahan
Amsterdam. Kami memulai petualangan kami dengan
mengunjungi museum seni terkenal dan menikmati keindahan
arsitektur khas kota ini. Suasana ramah penduduk setempat
membuat kunjunganku semakin berkesan.
“Nanti sore ada latihan, mau ikut?” tanya Abel padaku.

“Boleh.”

Abel terkekeh mendengar jawabanku.

“Manfaatkan waktumu dengan baik.”

Kami melihat lihat lukisan di sepanjang museum.

Setelah puas menjelajahi museum seni, kami berkeliling


menyusuri kanal-kandal indah Amsterdam. Pemandangan malam
yang memukau membuat kami terpukau. Setelah makan malam di
salah satu restoran lokal, Abel membawa aku ke latihan dansa
yang ternyata sangat menghibur.

Waktu berlalu dengan cepat, dan kami semakin terlibat dalam


kehidupan kota ini. Kami sering menghadiri acara budaya,
mencicipi kuliner khas, dan mengeksplorasi sudut-sudut
tersembunyi Amsterdam. Suasana hangat penduduk lokal
membuat kunjungan kami semakin berwarna.

Pada suatu hari, Abel mengajakku untuk menyewa sepeda dan


menjelajahi daerah-daerah pinggiran yang indah. Kami menikmati
udara segar sambil bersepeda di sepanjang tepi sungai.
Petualangan kami di Amsterdam terus berlanjut, memperkaya
pengalaman dan kenangan tak terlupakan.
Dalam perjalanan kami menjelajahi daerah pinggiran, Abel
tersenyum lebar sambil berkata, “Apa pendapatmu tentang
keindahan alam Amsterdam, teman?”

Aku menjawab sambil tersenyum, “Luar biasa, Abel! Udara segar,


pemandangan sungai, dan tentu saja sepeda ini membuat
semuanya lebih seru.”

Abel tertawa, “Sepertinya kamu mulai menyukai gaya hidup


Amsterdam, huh?”

Aku mengangguk, “Iya, benar-benar mengagumkan. Dan besok,


apa rencanamu?”

“Nanti kita bisa menjelajahi pasar lokal di dekat sini. Mungkin


kita bisa mencari sesuatu yang menarik,” kata Abel sambil
mengayunkan sepedanya.

Saat kami berhenti di sebuah kafe kecil, Abel bertanya,


“Bagaimana dengan latihan dansa tadi? Menurutmu bagaimana?”
Sambil tersenyum, aku menjawab, “Seru sekali! Terima kasih
sudah mengajakku. Rupanya, Amsterdam tak hanya indah secara
fisik, tapi juga penuh dengan pengalaman menyenangkan.”

Abel tertawa, “Tentu saja! Inilah pesona Amsterdam yang


membuat orang betah. Ayo nikmati setiap momennya!”

Setelah menikmati kopi di kafe, kami melanjutkan petualangan


kami ke pasar lokal. Di sana, aroma rempah-rempah dan warna-
warni buah-buahan segar memikat perhatian kami. Abel memilih
sebuah buah eksotis dan bertanya, “Coba tebak, apa namanya?”

“Apa ya?” tanyaku sambil penasaran.

“Itu namanya dragon fruit. Rasanya lezat dan menyegarkan,” jelas


Abel sambil tersenyum.

Kami berdua memutuskan untuk membelinya dan melanjutkan


menjelajahi pasar. Sambil berjalan-jalan, kami melibatkan diri
dalam percakapan dengan penjual lokal, mengetahui lebih banyak
tentang kehidupan sehari-hari di Amsterdam.
Pada malam itu, setelah kembali ke apartemen Abel, kami
menikmati dragon fruit sambil bercerita. Abel menunjukkan foto-
foto dari latihan dansanya, membuat suasana semakin hangat.

“Siap untuk hari berikutnya?” tanyanya.

“Pasti! Amsterdam terus memberikan kejutan yang


menyenangkan,” jawabku penuh antusiasme.

Dengan semangat, kami melanjutkan petualangan kami di


Amsterdam, mengumpulkan kenangan indah dan menikmati
setiap momen yang ditawarkan oleh kota yang memukau ini.

Tak terasa waktu sudah berlalu begitu cepat, kami menuju ke


tempat latihan Abel.

Tak banyak orang di ruang musik itu, hanya ada 3 orang. Masing
masing membawa biola. 2 laki laki dan 1 perempuan. Perempuan
itu menghadap membelakangi kami. Rambutnya panjang
bergelombang, kulitnya putih bersih, dan wajahnya cantik berseri.
Jantungku berdegup kencang.

“Hai semuanya.” Sapa Abel yang membuat seluruh pandangan


tertuju pada kami.

Aku bisa melihat sorot mata mereka mengeryit melihatku, Abel


nampak menyadarinya.

“Ini temanku, dia dari Paris.”


Salah satu pria yang membawa biola itu tersenyum ramah padaku
sambil melambaikan tangan. Sedangkan pria satunya hanya
tersenyum tipis. Sementara wanita itu menatapku datar.

“Ayo dimulai.” Ucap wanita itu.

Aku tak menyangka Claresta yang terlihat ceria bisa sedingin ini.

Abel segera membuka tasnya yang berisi cello, dan langsung


membawanya di pangkuannya.

Mereka pun serentak memainkan alat musiknya. Suaranya sangat


merdu hingga memanjakan telinga siapa pun yang mendengarnya.

Pandanganku tertuju pada Claresta yang terlihat begitu anggun


dan terampil dalam memainkan biolanya. Jari jemarinya yang
kecil itu lincah menekan chord.

Ketika nada-nada indah melodi cello dan biola menyatu, ruangan


itu seolah terhanyut dalam keajaiban musik. Abel dan Claresta,
meskipun menunjukkan ekspresi serius, tetapi kepiawaian mereka
dalam bermusik memikat hati setiap pendengar.

Saat harmoni mereka mencapai puncaknya, suasana ruangan pun


berubah. Sorot mata Claresta yang tadi terlihat dingin, kini penuh
dengan emosi yang sulit dijelaskan. Abel, dengan penuh
semangat, menggerakkan busurnya dengan keahlian yang
mengagumkan.

Tak terasa, alunan musik mereka membentuk kisah tanpa kata-


kata. Setiap nadanya menciptakan gambaran yang mengalir begitu
alami, seolah-olah melukiskan perjalanan perasaan yang
tersembunyi. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak terhanyut
oleh keindahan musik yang mereka hasilkan.

Pada akhirnya, ketika melodi itu mereda, ruangan itu penuh


dengan keheningan. Abel dan Claresta saling tersenyum, seakan
saling mengerti satu sama lain melalui bahasa musik yang mereka
ciptakan bersama. Itulah momen di mana aku menyadari bahwa di
balik kesan dingin Claresta, tersembunyi bakat musik yang begitu
memukau.

Abel melambaikan tangannya, pertanda ia menyuruhku mendekat.

“Ayo kita makan malam bersama.” Ucap Abel padaku.

Aku menatap kikuk Claresta dan dia membalas tatapanku dengan


senyuman canggung.

“Boleh kan, Chris?” tanya Abel pada salah satu pria itu.

Chris mengangguk sambil meneguk air minumnya.

Kami pun beranjak keluar ke seberang, menuju ke tempat makan


sederhana.
Di restoran sederhana itu, aroma hidangan khas Belanda
menyambut kami. Kami duduk di meja yang nyaman, dan obrolan
hangat pun mulai mengalir. Meskipun awalnya agak canggung,
namun senyum Abel dan keramahan Chris membuat suasana
semakin nyaman.

Menu malam itu penuh dengan hidangan lezat, seperti “Holland


Delights” yang pernah kami nikmati sebelumnya. Kami berbagi
cerita tentang perjalanan kami, tertawa, dan merasakan
kehangatan persahabatan yang terbentuk di antara kami.

Claresta yang awalnya terlihat dingin, perlahan-lahan mulai


terbuka. Dia bercerita tentang perjalanan musiknya dan
bagaimana Amsterdam menjadi tempat di mana dia menemukan
inspirasi. Kami semua saling bertukar cerita, menciptakan ikatan
yang semakin kuat di antara kami.

Setelah makan malam, Abel mengajak kami berjalan-jalan malam


di sekitar pusat kota. Lampu-lampu kota yang berwarna-warni
menciptakan suasana magis yang memukau. Kami berhenti di
salah satu jembatan yang melintasi kanal, menikmati
pemandangan gemerlap kota Amsterdam.

“Ternyata Amsterdam begitu indah di malam hari, bukan?” kata


Abel sambil tersenyum.

Aku mengangguk setuju, “Betul sekali. Ini luar biasa.”


Chris dan Mark pamit pulang lebih dulu karena ada urusan. Kami
pun berjalan pulang ke apartemen Abel dengan langkah ringan
dan hati penuh kebahagiaan. Setibanya di apartemen, kami
kembali duduk bersama. Claresta mengeluarkan biolanya, dan
Abel dengan cello-nya. Mereka memutuskan untuk bermain
beberapa lagu yang tidak dimainkan sebelumnya.

Di dalam ruangan yang penuh dengan kehangatan persahabatan,


alunan musik kembali mengisi udara. Kali ini, melodi mereka
terasa lebih akrab dan penuh makna setelah pengalaman yang
kami bagi bersama hari ini.

Seiring malam berlalu, perasaan syukur dan kebahagiaan terasa


begitu mendalam. Kami memahami bahwa momen-momen seperti
ini adalah yang membuat perjalanan ini begitu berharga. Dengan
senyuman di wajah, kami berdua merenungkan betapa Amsterdam
telah memberikan kami pengalaman yang tak terlupakan.

“Temanku ini selalu melihat penampilan di Melodi Grand, loh.”


Celetuk Abel tiba tiba.

Sial, kenapa dia secara tiba tiba mengucapkan itu.

“Dia menantikan pertunjukanmu disana.” Tambahnya.

Aku rasanya tak punya harga diri untuk menatap raut wajah
Claresta. Namun berbeda dengan yang kubayangkan, dia justru
tersenyum manis ke arahku.
“Terimakasih.” Ucapnya dengan suara lembut dan sorot mata
hangat.

Jantungku hampir meledak dibuatnya.

Tiba tiba ponsel Abel berbunyi.

“Ah, maaf teman teman aku harus mengangkat ini sebentar.”


Ucapnya lalu beranjak keluar meninggalkanku dan Claresta
berdua. Iya, berdua. Bisa gila aku.

“Aku sudah lama tidak mengisi di Melodi Grand, karena ada


kompetisi bulan depan. Omong omong nama mu siapa?”

“Jeffrey.” Ucapku kikuk.

Dia mengangguk angguk. “Aku Claresta.”

Aku pun ikut menggangguk sepertinya.

Dengan perasaan campur aduk, aku dan Claresta duduk di


ruangan itu, menghadapi momen yang agak canggung setelah
Abel meninggalkan kami. Suasana hening seketika terasa, tetapi
Claresta dengan lembut memecah keheningan.

“Jeffrey, kamu juga seorang musisi?” tanyanya dengan senyuman


lembut.
Aku mengangguk, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati.
“Ya, aku bermain piano dan kadang-kadang gitar. Tapi tidak
sehebat Abel dan kalian semua, tentu saja.”

Claresta tersenyum ramah, “Setiap musisi memiliki keunikan dan


keindahan dalam musiknya sendiri. Bagaimana jika suatu hari kita
berdua berkolaborasi?”

Tawaran itu membuat hatiku berdegup lebih cepat. “Itu akan


menjadi suatu kehormatan bagiku. Tentu saja, jika kamu
bersedia.”

“Suatu saat, kita pasti bisa mengatur sesuatu,” katanya sambil


tersenyum hangat. Aku merasa lega karena Claresta begitu ramah
dan terbuka.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan Abel kembali ke dalam.


“Maaf ya, telepon penting,” ujarnya sambil kembali duduk di
sampingku.

Claresta tersenyum, “Tidak masalah, kami sedang berbincang


tentang musik.”

Abel menyambut kembali suasana akrab, “Itu bagus! Jeffrey,


Claresta adalah violinis yang luar biasa. Kita mungkin bisa
melakukan sesuatu bersama suatu hari nanti.”
Aku mengangguk, “Itu akan menjadi pengalaman yang luar
biasa.” Kami pun melanjutkan obrolan santai, membicarakan
berbagai hal, dari musik hingga perjalanan hidup.

Seiring waktu berjalan, aku semakin merasa bahwa Amsterdam


bukan hanya memberikan pengalaman indah dalam hal keindahan
kota, tetapi juga memperkenalkan aku pada teman-teman yang
luar biasa. Momen-momen seperti ini membuat perjalanan ini
menjadi lebih berharga dan tak terlupakan.

Keesokan harinya aku terbangun dengan apartemen yang sudah


kosong. Kala itu Abel keluar tanpa memberi tahuku karena
mendesak.

Aku pun menghabiskan waktuku dengan membaca buku, sambil


memutar lagu LP dari salah satu album Elvis Presley.

Tiba tiba terdengar suara ketukan di pintu apartemen. Aku pun


membukanya dan nampak sosok Claresta di hadapanku. Aku
terkejut.

“Hai, Abel ada?”

“Abel sedang ada urusan di luar.” Jawabku.

Claresta terdiam sesaat, karena canggung aku pun menyuruhnya


masuk.

“Mau menunggu?” tanyaku hati hati.


Dia mengangguk.

Claresta duduk di sofa ruang utama, aku menemaninya disana.

“Kau suka Elvis Presley?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Aku suka musik klasik.”

Dia sesekali mengetukkan kakinya untuk menikmati musik yang


mengalun di udara.

“Omong omong, aku suka bagaimana caramu memainkan musik


bisa tersampaikan dengan baik. Aku bisa merasakan entah itu
sedih, senang, ataupun marah. Kau berbakat.”

Aku menyesal telah mengatakan omong kosong.

“Aku belajar untuk menyampaikan emosinya meskipun aku tak


terlibat langsung seperti menyanyikannya agar emosinya terasa
nyata.”

“Kau orang Paris?” tanyaku penasaran.

Claresta mengangguk.

Aku bingung harus memulai topik apa lagi, jantungku berdegup


kencang hingga pikiranku tak karuan.

“Mau minum kopi?” tawarku.

“Aku tidak minum kopi, air putih saja.”


Aku pun mengambilkannya air putih dan cemilan. Ruangan hanya
dipenuhi suara LP yang kuputar. Sangat canggung.

“Kapan kau akan tampil di Melodi Grand lagi?” tanyaku.

Claresta diam sejenak berpikir dan mengestimasi kapan tepatnya


dia akan kembali ke Paris.

“Bulan depan aku pasti sudah kembali ke Paris. Kau sebegitu


menantikan aku ya?” tanyanya disertai senyuman.

“Melodi Grand terasa kurang jika tak ada tokoh utamanya.”

Claresta tersenyum tak percaya, “Kemarin aku berkunjung ke


Paris untuk memainkan beberapa lagu di dekat sungai Seine.”

“Ya, aku melihatmu.”

“Sungguh!?” Claresta membulatkan matanya tak percaya.

“Kebetulan kemarin aku mengunjungi kafe di dekat sana, dan aku


mendengar alunan biola merdu yang khas itu. Saat aku
menghampirinya, benar saja itu kau. Penampilanmu selalu keren,
selalu membuat siapapun kagum.”

Claresta terkekeh mendengar ucapanku. “Kurasa kau


menghujaniku pujian sedari tadi.”

Aku baru sadar aku tak bisa mengontrol lisanku.


“Katanya kau mahir berpiano, mainkan sebentar saja.” Ucapnya
sambil menunjuk piano di pojok.

Dengan senang hati aku mematikan LP dan menuju ke kursi


tempat piano itu berada.

Aku memainkan singkat lagu yang biasanya kumainkan saat


mengiringi di cafe.

Bisa kulihat Claresta mendekat dan duduk di sebelahku. Jarak


kami begitu dekat, aku berusaha untuk tetap fokus pada
permainan pianoku.

Kakinya mengetuk ngetuk sesuai dengan ritme yang kumainkan.

Claresta langsung bertepuk tangan saat aku selesai memainkan


piano.

Dia menoleh padaku dengan senyum manis dan wajahnya yang


cantik.

“Kau suka jazz ya?”

Aku mengangguk.

Aku mulai melanjutkan permainanku dengan memainkan lagu


Can’t Help Falling In Love milik Elvis Presley.

Claresta segera menangkap lagu yang kumainkan dan


bersenandung.
Suaranya lembut seperti madu, aku baru tahu dia bisa bernyanyi.

Aku pun larut dalam suaranya dan menikmati suasana ini, hal
yang sama sekali tak terpikirkan olehku bisa sedekat ini
dengannya.

“Aku terkejut kau bisa bernyanyi semerdu ini.” Ucapku terus


terang.

Claresta tersenyum malu lalu membiarkan kalimatku lewat begitu


saja.

Dari dekat aku bisa melihat bulu matanya yang lentik dan
matanya yang besar. Cantik. Bagaimana bisa ada makhluk
secantik ini?

Suasana mendadak menjadi canggung karena kami duduk terlalu


dekat. Aku pun beranjak ke sofa dan menyalakan TV.

Claresta tetap tak bergeming di tempat piano.

“Kau berencana untuk berkunjung berapa lama?” tanyanya.

“Satu minggu, aku sangat menyukai suasana Amsterdam.”

“Namun tidak sehangat di Paris.”

Aku setuju dengan perkataannya. Memang benar bahwa suasana


di Paris begitu akrab dengan romantisme.

“Jadi, apakah kalian berencana latihan hari ini?” tanyaku.


Claresta mengangguk, “Tapi sebelum itu aku dan Abel harus
berdiskusi mengenai aransemen lagunya.”

Aku mengangguk paham.

“Saat tiba di Paris mampirlah ke Java and Jazz, aku bekerja


disana.” Ucapku disertai senyuman.

“Oh ya? Itu dekat dengan Melodi Grand, aku pasti akan mampir.”

“Kau tinggal disini sendiri?” tanyaku.

“Ya, seperti yang kau tahu keluargaku berada di Paris. Aku biasa
keluar negeri untuk penampilan orkestra, tentu saja sendirian.”

Aku kagum padanya, dibalik popularitasnya ternyata dia orang


yang sederhana.

Kami pun melanjutkan obrolan santai, membicarakan berbagai hal


mulai dari musik hingga kehidupan sehari-hari. Meskipun
awalnya terasa canggung, tapi seiring berjalannya waktu, suasana
semakin nyaman.

Saat Abel kembali, dia membawa lembaran partitur yang baru


mereka susun. Mereka berdua tampak begitu serius membahas
detail aransemen musik. Aku pun memberikan mereka ruang
untuk bekerja, sambil tetap menikmati suasana di sekitar.
Beberapa jam kemudian, mereka selesai berdiskusi dan
memutuskan untuk mulai latihan. Ruangan itu kembali dipenuhi
dengan harmoni indah dari biola dan cello. Aku duduk di sofa,
terpesona oleh kemampuan mereka dalam menciptakan musik
yang begitu menghanyutkan.

Setelah latihan selesai, kami memutuskan untuk makan malam


bersama di salah satu restoran favorit di Amsterdam. Di sana,
obrolan ringan kembali mengalir, dan kami semakin akrab satu
sama lain.

Malam itu, sebelum pulang ke apartemen, Abel menawarkan


untuk berjalan-jalan malam di tepi kanal Amsterdam. Lampu-
lampu kota yang bersinar memantulkan cahaya di permukaan air,
menciptakan pemandangan yang begitu memesona. Kami berhenti
sejenak di salah satu jembatan, menikmati keindahan malam
Amsterdam.

“Terima kasih, Jeffrey, sudah menemaniku hari ini,” ucap Claresta


dengan senyuman tulus.
Senyuman itu membuat hatiku berbunga. “Sama-sama, Claresta.
Aku benar-benar menikmati waktu bersama kalian.”

Keesokan harinya, kami melanjutkan petualangan di Amsterdam.


Kami mengunjungi beberapa tempat wisata lain, termasuk taman
indah dan galeri seni terkenal. Setiap momen terasa begitu
berharga.

Pada suatu sore, Abel mengajakku dan Claresta untuk menghadiri


pertunjukan musik klasik di sebuah gedung konser terkenal. Suara
biola dan cello memenuhi ruangan, menghipnotis penonton.
Claresta sendiri juga terlibat dalam pertunjukan, memainkan
bagian yang memukau.

Setelah pertunjukan selesai, kami berjalan pulang dengan hati


penuh inspirasi. Abel mengajak kami singgah di sebuah kafe yang
terkenal dengan kue-kue tradisional Belanda. Kami menikmati
kue stroopwafel dan minuman hangat sambil berbincang-bincang.
Malam terakhir di Amsterdam kami habiskan di tepi sungai,
menikmati pemandangan malam yang spektakuler. Kami duduk di
atas tangga yang menghadap sungai, berbagi cerita dan tawa.
Sementara lampu-lampu kota berkilau di sekitar kami, aku merasa
bersyukur atas pertemuan indah ini.

Hari terakhir di Amsterdam, Claresta memberikan sebuah


souvenir kecil sebagai kenang-kenangan. Sebuah gantungan kunci
tradisional Belanda dengan gambar kincir angin yang lucu. Aku
sangat menghargainya.

Saat aku bersiap-siap untuk pulang, Claresta memberikan salam


perpisahan yang hangat. “Terima kasih, Jeffrey, untuk semua
momen indah ini. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu hari.”

Aku mengangguk, “Tentu saja, Claresta. Semoga karirmu terus


bersinar, dan sampai jumpa lain waktu.”

Pergi dari Amsterdam, aku membawa pulang kenangan tak


terlupakan. Pengalaman menjelajahi kota indah ini bersama Abel
dan Claresta sungguh menjadi babak baru dalam hidupku. Dalam
perjalanan pulang, aku merenungkan betapa musik dan
persahabatan dapat menyatukan orang dari berbagai belahan
dunia.

Sebagai pesan terakhir, aku mengirim pesan kepada Claresta,


“Terima kasih atas segalanya, Claresta. Kapan-kapan, mari kita
berkolaborasi dalam musik. Sampai jumpa!”

Dan dengan itu, Amsterdam menjadi bagian dari kisah hidupku


yang penuh warna dan memori yang akan kubawa selamanya.

Beberapa bulan setelah petualangan indah di Amsterdam, aku


terus menjalani kehidupan sehari-hari di Paris. Suasana kota yang
penuh dengan seni dan keindahan membuatku selalu terinspirasi.
Namun, kehangatan dan kenangan indah dari Amsterdam tetap
menjadi bagian yang tak tergantikan dalam pikiranku.

Suatu hari, saat aku sedang asyik memainkan piano di Java and
Jazz, ponselku berdering. Kabar dari Abel membuatku langsung
antusias. Aku mengangkat telepon dengan cepat.
“Hai, Jeffrey! Apa kabar di Paris?” suara Abel terdengar penuh
semangat.

Aku tersenyum, “Hai, Abel! Kabarku baik, bagaimana denganmu?


Apa yang baru?”

Abel tertawa, “Aku dan Claresta akan tampil dalam sebuah


kompetisi orkestra di Amsterdam! Ini sangat menggembirakan.”

Kabar itu membuat hatiku berbunga. “Wow, itu luar biasa! Tentu
saja, aku sangat bangga padamu dan Claresta. Kapan
kompetisinya?”

“Besok malam! Kami sangat bersemangat dan berharap bisa


memberikan penampilan terbaik,” ungkap Abel penuh semangat.

“Pasti kalian akan brilian! Aku benar-benar ingin bisa


menyaksikan penampilan kalian, tetapi sayangnya aku harus tetap
di Paris untuk urusan pekerjaan,” aku berkata dengan rasa
penyesalan.
Abel menanggapi, “Tenang saja, Jeffrey. Kami mengerti. Namun,
siapa tahu suatu saat nanti kita bisa berkolaborasi lagi. Sampaikan
salamku pada teman-teman di Java and Jazz ya!”

“Tentu, Abel. Sukses untuk penampilan kalian! Aku yakin kalian


akan memukau penonton di Amsterdam,” ucapku penuh
keyakinan.

Setelah berbincang sejenak, kami berdua mengakhiri percakapan


dengan harapan yang baik. Aku merasa bangga dan bahagia
melihat teman-temanku berhasil mengukir prestasi di dunia
musik.

Malam penampilan akhirnya tiba. Meskipun aku tak bisa hadir


langsung di Amsterdam, aku membayangkan atmosfer magis
dalam gedung konser tersebut. Dengan penuh keyakinan, aku
mengirimkan energi positif melalui pikiranku kepada Abel dan
Claresta.
Beberapa hari setelah kompetisi, aku menerima pesan dari Abel.
Mereka berhasil memenangkan kompetisi orkestra dan
mendapatkan apresiasi yang tinggi dari para penonton. Aku
merasa sangat bahagia mendengar kesuksesan mereka.

Dalam pesan singkatnya, Abel menuliskan, “Terima kasih atas


dukunganmu, Jeffrey! Kemenangan ini adalah bukti dari kerja
keras dan kolaborasi kami. Semoga suatu hari nanti kita bisa
berkumpul lagi untuk membuat musik bersama.”

Senyum tak terbendung muncul di wajahku. Aku merasa


bersyukur memiliki teman-teman sehebat Abel dan Claresta.
Meski jarak memisahkan kami, namun hubungan persahabatan
dan musikalitas kami tetap kuat.

Seiring waktu berlalu, aku kembali terpaku pada musik di Paris,


tetapi Amsterdam selalu menjadi tempat yang penuh kenangan
dan inspirasi. Sambil terus berkarya di dunia musik, aku tahu
bahwa tak peduli sejauh mana jarak membawa kami, persahabatan
kami akan tetap abadi. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti,
kami akan bersatu kembali di panggung musik yang penuh
impian.
Beberapa bulan setelah kisah di Amsterdam dan prestasi Abel dan
Claresta, aku kembali terbenam dalam rutinitas pekerjaan di Java
and Jazz di Paris. Suasana kafe yang selalu ramai dan penuh
dengan musik membuat hari-hariku tetap berwarna. Aku
melanjutkan perjalanan musikku di tengah gemerlap kota seni.

Suatu hari, Evelyn, teman sekaligus rekan kerjaku, menunjukkan


kegembiraannya saat aku kembali ke kafe setelah beberapa waktu
vakum. “Jeffrey! Selamat datang kembali! Kami merindukan
musik indahmu di sini,” katanya dengan senyum cerah.

Aku tersenyum membalas sambil berterima kasih. “Senang


kembali, Evelyn! Ada banyak cerita yang ingin kubicarakan.”

Kami duduk di sudut kafe yang nyaman, di mana aroma kopi


sedap menyelimuti udara. Sambil menyeruput kopi, aku mulai
menceritakan pengalaman luar biasa di Amsterdam bersama Abel
dan Claresta.

“Evelyn, kamu tak akan percaya betapa indahnya Amsterdam!


Dari museum seni yang megah hingga kanal-kandal yang
memesona. Aku bahkan berkesempatan melihat Abel dan Claresta
tampil dalam kompetisi orkestra di sana,” ucapku dengan
semangat.

Wajah Evelyn berbinar mendengar ceritaku. “Itu suara yang luar


biasa! Bagaimana penampilan mereka?”

Aku tersenyum, “Mereka memukau penonton. Suasana kompetisi


itu begitu magis, dan Amsterdam memberikan nuansa yang tak
terlupakan. Mereka bahkan berhasil memenangkan kompetisi!”

Evelyn menepuk-nepuk meja dengan gembira. “Hebat sekali! Dan


bagaimana suasana di Amsterdam? Apakah benar seperti yang
dikatakan orang-orang?”

Aku mengangguk, “Ya, Evelyn, sangat benar! Suasana hangat


penduduk lokal, keindahan alam, dan kekayaan seni membuat
kunjungan kami begitu berkesan. Aku merasa seperti terlibat
dalam kisah indah kota itu sendiri.”
Kami terus bercakap-cakap, dan aku terus menceritakan momen-
momen seru di Amsterdam. Evelyn mendengarkan dengan
antusias, dan aku merasa senang bisa berbagi pengalaman yang
begitu berarti bagiku.

Seiring waktu berlalu, kafe Java and Jazz kembali menjadi tempat
di mana musik dan cerita bersatu. Setiap lagu yang kuhentikan di
piano menjadi bagian dari perjalanan yang kuceritakan. Meski
kini aku kembali ke rutinitas, tetapi kenangan di Amsterdam
selalu hadir dalam setiap nadaku.

Dan sambil menikmati suasana kafe yang akrab, aku merasa


bersyukur bisa berbagi kisah tentang Amsterdam dengan teman-
teman di Paris. Meskipun jarak memisahkan, cerita dan musik
tetap menjadi penghubung yang kuat di antara kami.
KITA BERTEMU LAGI
Seperti biasa, aku menghabiskan waktuku bersama Evelyn.
Meskipun hanya satu minggu aku tidak bersamanya, rasanya dia
sudah banyak berubah.

“Jahat sekali kau tidak membawakan oleh oleh untukku.” Ucap


Evelyn dengan raut wajah cemberut.

Benar juga, aku terlalu banyak bersama Claresta hingga aku


melupakan Evelyn.

“Ayo nanti malam jalan jalan.” Ucapku.

Evelyn langsung menoleh dan terlihat dia sangat bersemangat.

“Ayo! Traktir aku loh!”

Aku merindukan sosok cerewet nan ceria ini.

Aku tersenyum lalu mengangguk.

“Apa yang kau lakukan selama seminggu itu?” tanyaku.

Aku mendekat padanya yang sedang berada di dapur untuk


menyiapkan sarapan. Kami berada di rumahnya karena Evelyn tak
mau makan sereal di rumahku.
Sambil memotong wortel dia menjawab pertanyaanku.

“Lebih membosankan dari liburanmu, aku hanya berada di rumah


dan sesekali keluar bersama temanku.”

Aku memperhatikan wanita berambut pendek berponi dan


bertubuh pendek di sebelahku. Tingginya yang hanya sebahu dan
tubuhnya yang mungil membuatku terkadang gemas karena dia
seperti adik kecil.

“Sepertinya menyenangkan, aku cukup lega bisa beristirahat


seminggu untuk tak berargumen denganmu.” Goda ku.

Evelyn melirikku tajam dan tertawa sarkas.

“Kalau begitu tak usah menemuiku, dasar.”

Aku tertawa mendengar ucapannya.

“Sayangnya aku tak mau sarapan sereal.” Ucapku.

Evelyn tersenyum mendengarnya, lalu dia beralih memasukkan


potongan wortel ke dalam panci yang berisi air mendidih.

Aku memutuskan untuk diam dan memperhatikan aktivitas


Evelyn. Dia terlihat sibuk mempersiapkan bumbu dengan
tangannya yang lincah meraih resep yang dibutuhkan.
“Bisa bantu aku?” tanya Evelyn sambil tetap fokus pada
kegiatannya.

Aku langsung sergap mendekatinya. “Apa?”

“Tolong potong lobak lobak ini dan masukkan bersama wortel.”

Aku pun mengikuti instruksinya dan mengambil lobak serta


memotongnya.

Evelyn sibuk dengan memasukkan bumbu ke dalam panci.

“Kenapa besar sekali potongannya?”

Evelyn tiba tiba berada di sebelahku dan mengomel.

“Kau tidak bilang apa apa.” Jawabku seadanya.

Evelyn menggelengkan kepalanya.

Tangan kecilnya meraih tanganku dan mengajarkan padaku


seberapa ukuran yang seharusnya.

Tercium aroma baby powder darinya, aku baru tau dia memiliki
aroma seperti bayi.
Aku mengangguk paham lalu meneruskan memotong lobak
seperti yang diajarkan Evelyn.

Evelyn kembali dengan aktivitasnya mengaduk masakan. Aku pun


memasukkan lobak ke dalam panci.

Setelah itu aku berdiri di sebelah Evelyn memperhatikan


bagaimana caranya memasak.

“Tinggal menunggu mendidih saja.” Ucap Evelyn.

Aku berinisiatif untuk membersihkan sisa sisa bahan yang tak


digunakan sambil menunggu matang.

Evelyn langsung memindahkan makanan yang matang ke dalam


mangkuk dan menghiasnya.

Aku pun membantunya membawa 2 mangkuk itu ke meja makan.

“Selamat makan.” Ucapnya disertai senyuman lebar yang terukir.


Aku pun membalasnya dengan senyuman sambil mengambil
sesuap dan mencobanya. Mataku terbelalak karena rasanya begitu
lezat.

“Rasanya baik baik saja kan?” Tanya Evelyn.

“Ini lebih dari baik baik saja! Ini super enak!” ucapku semangat.

Evelyn terkekeh mendengar reaksiku.

“Kau berlebihan.”

Aku pun melahap makananku.

Selesai makan kami bersantai di ruang tamu sambil membaca


buku dan mendengarkan LP dari The Beatles.

Yang kusukai dari Evelyn adalah aku merasa nyaman meskipun


harus berdiam diri dengannya tanpa ada rasa canggung. Rasanya
hangat seperti keluarga.

Tiba saat malam hari, kami berjalan jalan di sekitar menara Eiffel.
Banyak orang berlalu lalang dan lampu terang benderang.
Kami mengenakan mantel karena cuaca cukup dingin malam ini.
Sambil menyusuri jalan, kami berbincang bincang.

“Jeff, jika kau bisa memilih antara Amsterdam dan Paris mana
yang akan kau pilih?” tanya Evelyn tiba tiba.

“Tentu saja Paris. Meskipun Amsterdam menakjubkan, aku tak


bisa menomorduakan Paris.”

“Tapi kau terlihat lebih bahagia setelah berkunjung ke


Amsterdam.”

Aku memikirkan alasannya adalah karena aku menjadi dekat


dengan Claresta.

“Karena Amsterdam indah.”

Evelyn menatapku dengan tatapan geli.

“Seminggu itu aku pergi ke Melodi Grand sendirian, rasanya tak


menyenangkan meskipun penampilannya bagus.”

“Itu tergantung suasana hatimu.” Ucapku.

“Ayo kita pergi bersama besok.”

“Tentu.”

Di sepanjang jalan terdapat lampu jalan yang berwarna kuning


membuat suasana menjadi lebih hangat.
Semakin kami berjalan mendekati menara, semakin ramai orang
berdesakan karena terdapat makanan jalanan di sekitar.

Aku pun menggenggam tangan Evelyn agar kami tak terpisah


karena kerumunan.

Langkah kami terhenti di kafe tempatku berada beberapa minggu


yang lalu.

Kami memasuki kafe itu dan memilih tempat duduk di lantai 2


yang bersifat semi outdoor sambil menikmati keindahan Paris.

“Kau masih sendiri hingga saat ini?” tanya Evelyn.

Aku mengangguk. “Sendiri masih terasa menyenangkan.”

“Mari tunggu saja kau menjadi jomblo tua.” Ucap Evelyn dengan
nada mengejek.

“Atau mungkin aku yang akan pertama menikah di antara kita.”


Aku tak mau kalah menanggapinya.

Evelyn menatapku sinis.

Kami pun meneguk kopi masing masing sambil menikmati Paris.

Sesekali pandanganku tertuju pada Evelyn yang entah mengapa


malam ini ia terasa lebih berbeda dari biasanya. Dia banyak
membahas tentang diriku hari ini, seolah dia penasaran akan
semua yang terjadi padaku.
Evelyn yang biasanya adalah orang yang ramah, cerewet, dan
hanya membahas tentang dirinya sendiri.

Evelyn nampaknya menyadari aku memperhatikannya. Dia


langsung menatapku bingung, sementara aku hanya tersenyum
lebar menutupi ekspresi anehku.

“Bagaimana perasaanmu selama bekerja di Java & Jazz?”


tanyaku.

“Menyenangkan, aku jadi memiliki kegiatan untuk menghabiskan


waktuku. Aku juga senang karena bisa bertemu denganmu.”

Aku terkejut mendadak Evelyn berbicara serius.

“Jujur saja, aku adalah pelanggan disana. Saat aku merasa bosan
aku berkunjung dan mendengarkan iringan musik yang kau
mainkan. Aku merasa tenang saat mendengarnya, aku merasa
hidupku lebih berwarna sesaat. Sejak saat itu aku datang ke kafe
itu untuk mengisi kebosananku.”

“Sungguh? Aku terharu mendengarnya, padahal tidak ada yang


peduli dengan penampilanku.”

Evelyn nampak tak setuju dengan ucapanku.


“Tidak, ada beberapa orang yang mendengarkan musikmu dengan
hati. Kau orang berbakat Jeff.”

Setelah mendengar kata-kata tulus dari Evelyn, aku merasa


tersentuh dan berterima kasih. Malam itu di bawah cahaya lampu
Paris yang gemerlap, kami melanjutkan percakapan tentang
mimpi, kehidupan, dan arti persahabatan.

“Evelyn, aku merasa sangat bersyukur memiliki teman sepertimu.


Terima kasih telah menjadi pendengar setia musikku dan sahabat
sejati,” ucapku sambil menatap mata Evelyn dengan penuh rasa.

Evelyn tersenyum, “Aku juga bersyukur memiliki teman


sehebatmu, Jeff. Kita memang berbeda, tapi itulah yang membuat
hubungan kita istimewa.”

Perbincangan kami semakin dalam, membawa kami ke perjalanan


melintasi kenangan dan harapan. Kami tertawa, berbagi rahasia,
dan pada akhirnya, menyadari bahwa kebersamaan seperti ini
sangat berharga.
Tak terasa waktu berlalu, dan malam itu berakhir dengan
kebahagiaan dan kehangatan. Kami berdua berjalan pulang di
bawah langit bintang Paris, dengan hati penuh syukur akan
momen-momen indah yang telah kita lewati.

Malam itu, aku tidur dengan senyuman di wajahku. Tak hanya


karena kota Paris yang memesona, tetapi juga karena keindahan
persahabatan yang kian berkembang, melebihi batas-batas yang
pernah kubayangkan.

Esok paginya, aku dan Evelyn memulai hari dengan semangat


baru. Kami bersiap untuk menghadapi tantangan dan petualangan
yang menanti di depan. Meski mungkin tak tahu persis apa yang
akan terjadi, namun dengan Evelyn di sisiku, aku yakin segalanya
akan menjadi lebih indah.

Dan seperti halnya melodi yang tercipta di piano Java and Jazz,
hidupku pun terus berkembang menjadi kisah yang penuh warna,
diwarnai oleh irama persahabatan, cinta, dan musik yang
membentuk harmoni indah di setiap langkahku.
Malam harinya kami berkunjung ke Melodi Grand untuk
menonton orkestra bersama.

Aku terkejut karena Claresta ada di panggung malam itu, sesuai


dengan ucapannya selesai kompetisi dia akan berada di Paris lagi.

Penampilan pun dimulai dengan lantunan biola Claresta menjadi


tokoh utama penampilan malam ini. Semua orang bertepuk tangan
dan mengagumi penampilan Claresta.

Bisa kulihat Evelyn juga ternganga melihat penampilan Claresta,


ini pertama kalinya ia melihat Claresta.

“Ini yang terkeren dari yang pernah kulihat.” Ucapnya.

Selesai pertunjukan kami pun meninggalkan gedung.

“Hai Jeff!” teriak seseorang.

Ketika aku menoleh, ternyata Claresta datang mendekat ke


arahku.

“Hai.” Jawabku.

Claresta tersenyum manis. “Benar ternyata kau memang rutin


kemari.”

Aku tersenyum lalu membalas ucapannya. “Ya, penampilan ini


sudah kutunggu sejak lama.”

“Bagaimana? Kau menyukainya?”


Jantungku berdebar saat ia menanyakan itu. Jawabannya jelas aku
sangat amat menyukainya.

Aku mengangguk cepat dan penuh semangat.

Claresta tertawa melihat reaksiku.

Sementara Evelyn terlihat kikuk melihat interaksiku dengan


Claresta.

“Evelyn ini temanku Claresta.” Ucapku pada Evelyn agar ia tidak


terlalu kebingungan.

Claresta pun menyapa Evelyn dengan hangat.

“Senang bertemu denganmu.” Ucap Claresta sambil menjabat


tangan Evelyn.

“Evelyn, sepertinya aku ada urusan dengan Claresta. Tak apa


kan?”

Evelyn melihatku dengan ekspresi kesal saat aku menyatakan


punya urusan dengan Claresta. Dia menyikut perlahan lalu
berkata, “Urusan apa yang begitu penting hingga kau harus
meninggalkanku sendirian?”
Aku mencoba menjelaskan, “Ini hanya urusan sebentar, Evelyn.
Kita bisa melanjutkan malam ini setelah selesai.”

Evelyn terlihat cemberut.

“Baiklah kalian berdua nikmati waktu kalian, aku pamit. Senang


bertemu denganmu Claresta.” Ucap Evelyn datar lalu
meninggalkan kami.

Setelah Evelyn pamit, aku dan Claresta memutuskan untuk pergi


ke kafe terdekat. Suasana di kafe itu hangat dengan lampu-lampu
kecil yang menciptakan atmosfer yang nyaman. Kami memesan
kopi dan duduk di sudut yang tenang.

Claresta memulai percakapan, “Jadi, bagaimana kabarmu, Jeff?


Sudah lama tidak bertemu.”

“Aku baik, Claresta. Kehidupan di Paris membawa banyak


pengalaman baru,” jawabku sambil tersenyum.

Claresta mengangguk, “Paris memang tempat yang menakjubkan.


Dan bagaimana dengan Evelyn? Dia teman baikmu, kan?”
Aku menjelaskan perubahan yang terjadi selama seminggu
terakhir, tentang bagaimana Evelyn menjadi bagian penting dari
hidupku. Claresta mendengarkan dengan serius.

“Aku senang kau menemukan teman sejati di sini. Percayalah,


persahabatan seperti itu sangat berharga,” ucap Claresta dengan
tulus.

Percakapan kami beralih ke topik musik, mimpi, dan apa yang


kami harapkan dari masa depan. Claresta menceritakan
perjalanannya setelah kompetisi dan rencananya di Paris. Aku
merasa terhubung dengan ceritanya, seperti melihat sisi lain dari
kehidupannya yang selama ini tidak aku ketahui.

Di tengah obrolan, aku menyadari betapa beruntungnya aku bisa


berada di sini bersama Claresta, orang yang menginspirasi dan
memahami passionku terhadap musik. Kami tertawa, berbicara
serius, dan menikmati kebersamaan kami di kafe itu.

Setelah beberapa jam, kami memutuskan untuk pulang. Aku


merasa lebih dekat dengan Claresta, dan aku tahu bahwa malam
ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Saat kami keluar
dari kafe, udara Paris masih terasa sejuk, tapi hatiku dipenuhi
kehangatan dari malam yang indah ini.

Kami berdua berjalan pulang di bawah langit malam Paris yang


tenang. Cahaya lampu jalan memberikan nuansa romantis di
sekitar kami. Aku memutuskan untuk membuka lebih banyak
percakapan.

“Claresta, apa yang membuatmu memilih dunia musik klasik?


Aku penasaran,” tanyaku sambil melangkah santai.

Claresta tersenyum, “Sejak kecil, aku selalu terpesona oleh


keindahan musik klasik. Ketika mendengarkan melodi-melodi
indah dari Mozart atau Beethoven, aku merasa seperti tersentuh
oleh keajaiban yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.”

Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, “Itu memang luar


biasa. Bagaimana perasaanmu saat berada di panggung,
memainkan biola di depan banyak orang?”
Claresta terdiam sejenak sebelum menjawab, “Awalnya, tentu
saja, ada ketegangan. Tapi begitu aku memulai memainkan musik,
aku merasa tenggelam dalam dunia yang hanya dimengerti oleh
musik itu sendiri. Rasanya seperti memberikan bagian terdalam
dari diriku kepada penonton.”

Aku tersentuh oleh deskripsi Claresta tentang pengalaman


panggungnya. “Itu pasti pengalaman yang luar biasa. Aku bahkan
tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya.”

Claresta menatapku dengan tulus, “Setiap orang memiliki cara


unik untuk berbagi keindahan. Bagimu, mungkin melalui melodi
yang kau mainkan di Java & Jazz.”

Aku tersenyum, merasa dihargai oleh pandangan Claresta


terhadap musikku. “Aku beruntung bisa berbagi musik dengan
orang-orang di sana. Bagaimana dengan rencanamu di Paris?”

Claresta berbagi rencananya yang melibatkan pertunjukan di


beberapa tempat terkenal di Paris. Aku terkesan dengan
dedikasinya pada musik klasik dan mimpi-mimpi besarnya.
Saat kami sampai di depan apartemen Evelyn, aku merasa malam
ini adalah salah satu malam terbaik dalam hidupku. Kami berdua
berhenti di bawah langit bintang, dan aku bersyukur atas momen
ini.

“Terima kasih, Claresta, untuk malam yang luar biasa ini. Aku
sangat menikmatinya,” ucapku dengan tulus.

Claresta tersenyum, “Aku juga, Jeff. Mari kita buat lebih banyak
kenangan seperti ini di masa depan.”

Aku merasa beruntung memiliki teman-teman seperti Claresta dan


Evelyn di Paris. Mereka telah memberikan warna baru dalam
hidupku, membuka pintu untuk petualangan dan kebahagiaan
yang tak terduga. Kami berpisah dengan senyuman, dan aku
yakin, kisah persahabatan ini akan terus berkembang.

Keesokan harinya aku menemui Evelyn di rumahnya.


Aku menyodorkan makanan yang kubeli padanya untuk makan
malam. Dia menerimanya dengan wajah datar.

“Makanlah.” Ucapku khawatir karena wajahnya sedikit lesu.

Evelyn tak menjawab dan beralih duduk di sofa. Aku pun


mengikutinya.

“Sakit?” tanyaku.

Evelyn tetap diam tak bergeming. Aku pun meletakkan telapak


tanganku di dahinya untuk memeriksa apakah dia demam. Tapi
suhunya normal.

“Evelyn, ada apa?”

“Aku ingin sendiri, tolong pergilah.” Ucap Evelyn.

Aku menatapnya bingung lalu meninggalkannya sendiri.

Selama ini dia memang sering merajuk, tapi kali ini berbeda.

Selang beberapa hari kemudian Evelyn juga tak menemuiku


bahkan saat aku bekerja, Bos bilang Evelyn sudah mengundurkan
diri. Aku sudah berulang kali menghampiri rumahnya tapi dia tak
membuka pintunya.

Paris sudah memasuki musim dingin, aku khawatir dia tak


merawat diri dengan baik.
Aku pun memutuskan untuk berhenti bekerja. Aku tak bisa fokus
akhir akhir ini sehingga Bos merasa sudah tak cocok
mempekerjakanku.

Aku mendapat kabar dari Claresta bahwa ia akan tampil di Melodi


Grand nanti malam, dia ingin bertemu denganku lagi. Aku tak
memyangka hubunganku dengan Claresta semakin dekat namun
sebaliknya dengan Evelyn aku semakin merenggang.

Aku belum pernah menceritakan tentang Claresta pada Evelyn,


apakah mungkin dia merasa aku terlalu menyembunyikan banyak
hal?

Malamnya aku bertemu dengan Claresta selesai penampilan solo


biolanya.

Dia menghampiriku di depan gedung dengan senyuman yang


terlukis indah di wajahnya.

“Hai.” Ucapku sambil membalas senyumannya.

Claresta pun mendahuluiku untuk melangkahkan kakiku menuju


kafe tempat kita bercengkrama.

“Bagaimana harimu Jeff?”

“Baik, bagaimana denganmu?”


“Akhir akhir ini waktu terasa lebih lama, mungkin karena aku tak
memiliki siapapun. Aku tak menyangka bertemu denganmu bisa
membuatku menikmati waktu untuk berbicara dengan orang lain.”

Aku mengangguk paham lalu menatap wajahnya yang indah.

“Kau bisa menghubungiku kapanpun, aku akan dengan senang


hati.” Jawabku.

Claresta tersenyum.

Aku rasa ini waktu yang tepat untukku mengungkapkan


perasaanku padanya.

Aku mengambil nafas dalam dalam dan berusaha merangkai


kalimat di kepalaku. Berusaha tidak gagap karena menatap
matanya yang begitu cantik.

“Claresta.” Panggilku.

Claresta langsung mengalihkan pandangannya dari jendela dan


menatapku penuh.

Jantungku berdebar.

“Sejak pertama kali melihatmu aku jatuh suka padamu.”

Aku tak berani menatap matanya. Namun aku benar benar tulus
terhadap kata kataku.

Claresta diam tak bergeming. Selang beberapa saat ia bersuara.


“Jeffrey, sama halnya padaku.” Ucapnya disertai senyuman
merekah.

Aku terbelalak mendengarnya. Spontan aku langsung


menggenggam tangannya.

“Maukah kau berkencan denganku?” tanyaku.

Dia mengangguk. Sungguh ini menjadi malam berkesan dalam


hidupku. Tak pernah terbayangkan olehku bisa berkencan
dengannya.

“Pemandangan malam ini begitu memukau, bukan?” ucapku.

“Iya, benar-benar indah. Paris selalu punya cara untuk


menciptakan keajaiban sendiri.”

“Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu seperti ini,


Claresta.”

“Sama, Jeff. Ini malam yang menyenangkan. Bagaimana kamu


merasa?”

“Aku merasa beruntung memilikimu di sisiku. Semua terasa lebih


istimewa.”

“Aku juga merasa begitu. Dan kau tahu, aku menyukaimu, Jeff.”

“Benarkah?”
“Ya, sejak pertama kali kita bertemu. Kamu seperti melodi yang
memikat hatiku.”

“ Aku juga merasa begitu terhadapmu.”

Malam itu, di tepi Sungai Seine yang tenang, suasana semakin


intens ketika aku dan Claresta saling mendekat. Cahaya bulan dan
lampu kota memancarkan sentuhan romantisme di sekeliling
kami. Kami berdua bisa merasakan denyut jantung yang semakin
cepat, menandakan momen penting yang akan terjadi.

Kami berdua saling memandang, matanya penuh dengan


kehangatan dan keinginan. Tanpa kata, aku melibatkan bibirku
dengan lembut dengan miliknya, menciptakan sentuhan. Momen
itu terasa seperti melodi yang sempurna, mengiringi langkah-
langkah kita dalam tarian cinta di tepi Sungai Seine.

Hembusan angin malam menambah sensasi kelembutan di antara


kami. Aku merasakan sentuhan lembut tangan Claresta di
wajahku, seolah menyatukan dua jiwa yang saling mencari.

Malam itu, tepi Sungai Seine menjadi saksi bisu dari kisah cinta
yang tumbuh di antara kami. Setiap detik terasa istimewa, seolah
waktu berhenti sejenak untuk memberi ruang pada kebahagiaan
yang kami rasa.
Beberapa hari kemudian aku memutuskan untuk menemui Evelyn.
Beruntungnya dia membukakan pintunya meski raut wajahnya
datar.

Aku langsung memeluknya erat erat, aku merindukan sosok ini


sekaligus lega karena dia baik baik saja.

Evelyn mendorongku.

“Brengsek.” Ucapnya lalu meninggalkanku sendiri diluar dan


menutup pintunya dengan keras

Aku bingung apa maksudnya.

Aku mengingat ingat apa kesalahan yang pernah ku perbuat


padanya. Aku memutuskan untuk pulang dan menjernihkan
pikiran di rumah.

Saat aku membuka buku harianku, terdapat amplop terjatuh dari


sela sela halaman buku.

Aku mengambilnya dan membuka isi amplop itu. Ternyata itu


adalah surat
Dear Jeffrey

Aku memutuskan untuk menulisnya dalam surat ini dibandingkan


menyampaikannya langsung padamu.

Sejujurnya aku merasa nyaman bisa menjadi bagian dari hidupmu.


Berbagi canda, tawa, dan sedih bersama. Aku suka bagaimana
lesung pipimu terlihat ketika kau tertawa. Aku suka hangatnya
sorot matamu ketika menatap. Aku suka suaramu yang berat.

Sudah sejak lama aku ingin memberitahumu tentang perasaanku.


Bagaimana caramu memperlakukanku bukanlah hal yang biasa
bagiku. Aku senang kau bisa memahamiku lebih dari diriku
sendiri, begitu pula aku akan berusaha untuk menyesuaikan
langkahmu.

Mungkin aku hanya orang baru yang mampir dalam hidupmu,


maaf aku terlalu lancang mendekatimu.

Untuk pertama kalinya aku menyukai namaku, hanya karena


caramu memanggilku. Kita sering berargumen, mendengarkan
musik favorit kita, dan menikmati jalan malam di Paris.
Aku menyadari diriku yang kekanakan. Karena itu aku bersyukur
kau bersamaku. Maybe one day after a year or two i won’t be
loving you, Jeff. I’ll think of you once in a moon.

Aku akan meninggalkan Paris minggu depan jika kau tak


membalas surat ini. Aku harus melupakanmu dan melanjutkan
hidupku. Terimakasih atas semua kenangan indah yang kau
berikan padaku. Aku akan mengingatnya dengan baik.

Hope i can find someone who looks like you. If you changes your
mind i’ll be waiting for you on this corner of the street. I’m not
moving.

Evelyn Joe

Tanganku bergetar saat aku membaca surat ini. Mengapa aku


sangat terlambat untuk mengetahui ini?

Bodoh. Aku telah menyakitinya. Bodoh Jeffrey.

Aku langsung bergegas menuju rumah Evelyn dan terus mengetuk


pintunya meskipun ia tak membukanya.

“Evelyn mari kita bicarakan ini!” teriakku.

Perasaanku tak karuan.


Pintu tetap tak terbuka.

Aku memutuskan untuk menunggunya di depan pintu rumahnya.

Beberapa saat kemudian Evelyn keluar dengan membawa


kopernya.

Aku langsung mencegahnya.

“Kita bisa bicarakan ini dulu Eve.”

“Maaf Jeff, tidak akan ada yang berubah sekalipun aku tetap
disini. Kau ingin menusukku lebih dalam lagi? Aku ingin hidup
Jeff bukan menjadi pelengkap hidupmu.” Ucapnya dengan mata
berkaca kaca.

Rasanya sesak melihatnya terpuruk seperti ini. Namun aku tak


bisa menyangkal perasaanku.

“Tidak bisa kah kau tetap disini?” ucapku dengan nada memohon.

Evelyn tak kuasa menahan air matanya.

“Cukup Jeff.” Ucapnya lalu memasuki taksi yang sudah


menunggunya di depan rumahnya.

Hari itu aku merasa hampa karena Evelyn benar benar


meninggalkanku.
Beberapa hari setelah kepergian Evelyn, Claresta mengunjungi
rumahku. Dia melihat keadaanku yang sedih dan mencoba
menghiburku.

“Jeffrey, aku tahu ini sulit bagimu. Namun, kamu tidak sendiri.
Aku di sini untukmu,” ucap Claresta dengan lembut, sambil duduk
di sebelahku.

Aku tersenyum kecil, berterima kasih atas kehadirannya. “Terima


kasih, Claresta. Aku merasa kehilangan, tapi aku tahu aku harus
melanjutkan hidup.”

Claresta memahami, “Setiap perpisahan membawa rasa


kehilangan yang sulit. Tapi percayalah, waktu akan
menyembuhkan luka ini. Sementara itu, kita bisa mencari
kebahagiaan dalam musik dan persahabatan kita.”

Kami pun duduk di ruang tamu, Claresta membawa biolanya. Dia


mulai memainkan melodi yang menyejukkan hati, membiarkan
melodi itu mengisi ruangan dan menyapu perasaan sedihku.
“Musik memiliki keajaiban menyembuhkan, Jeffrey. Biarkan
melodi ini merangkulmu dan membawamu ke tempat yang lebih
baik,” kata Claresta.

Aku menutup mata, meresapi setiap nada yang dipetik oleh biola
Claresta. Melalui musiknya, aku merasa ada kekuatan yang
mengangkat semangatku. Claresta mengerti bagaimana musik
dapat menjadi penghibur yang luar biasa.

Setelah melodi selesai, Claresta meletakkan biolanya. “Bagaimana


perasaanmu sekarang?”

Aku merasa lebih baik, terima kasih padanya. “Terimakasih,


Claresta. Kau selalu tahu bagaimana membawa keindahan ke
dalam kehidupan.”

Dia tersenyum, “Itu karena kita memiliki ikatan melalui musik,


Jeffrey. Dan selalu ingat, aku di sini untukmu, seperti teman
sejati.”
Malam itu, di bawah cahaya lampu di ruang tamu, aku merasa
terhibur dan berterima kasih atas kehadiran Claresta yang
membawa cahaya ke dalam masa-masa yang sulit.

Selanjutnya, kami berdua melanjutkan untuk berbagi momen-


momen musik, tertawa, dan mendukung satu sama lain di tengah-
tengah kisah hidup yang terus berlanjut. Meskipun perasaan
kehilangan masih ada, namun bersama Claresta, aku menemukan
kebahagiaan dan kekuatan untuk melanjutkan.

Beberapa hari setelah kepergian Evelyn, aku memutuskan untuk


fokus pada kehadiran Claresta yang kini semakin erat dalam
hidupku. Claresta menjadi teman yang menghibur di saat-saat
sulit, membantu melewati kesedihan kepergian Evelyn. Kami
sering menghabiskan waktu bersama, menciptakan kenangan
indah yang menggantikan rasa kekosongan.

Suatu hari, Claresta mengajakku untuk berjalan-jalan di


Montmartre, sebuah daerah di Paris yang penuh dengan seni dan
keindahan. Kami menyusuri jalanan berbatu, menikmati
pemandangan kafe yang ramai, dan merasakan kehidupan kota
yang kental dengan inspirasi seni.

“Montmartre selalu memberikan energi positif, bukan?” ucap


Claresta sambil tersenyum.

Aku mengangguk setuju, merasakan kehangatan dari senyumnya


yang ikut memperindah suasana. Kami berdua menjelajahi toko-
toko kecil, melihat lukisan-lukisan jalanan, dan menghirup aroma
kopi yang menggoda di sepanjang perjalanan.

Malamnya, kami memutuskan untuk makan malam di restoran


kecil yang didekorasi dengan lampu-lampu kecil yang hangat.
Suasana romantisnya membuat malam semakin istimewa.

Claresta melihatku dengan penuh perhatian, “Bagaimana


perasaanmu setelah kepergian Evelyn? Aku tahu itu sulit bagimu.”

Aku menghela nafas, merasa bersyukur memiliki Claresta di


sampingku. “Tentu saja sulit, tapi kehadiranmu membuat
semuanya lebih ringan. Aku bersyukur memiliki teman seperti
kamu.”

Claresta tersenyum, “Aku pun bersyukur memiliki teman sebaik


kamu, Jeff. Kita akan melewati semua ini bersama-sama.”

Seiring berjalannya waktu, Claresta dan aku semakin akrab satu


sama lain. Kami sering menghabiskan waktu di kafe,
membicarakan segala hal mulai dari musik hingga mimpi-mimpi
masa depan kami. Ia menjadi pendengar yang setia dan penghibur
di setiap momen.

Pada suatu hari yang cerah, Claresta mengajakku untuk


mengunjungi taman yang indah di pinggiran kota Paris. Kami
duduk di bawah pohon yang rindang, sambil mendengarkan
alunan melodi lembut yang Claresta mainkan dengan biolanya.

“Jeff, aku ingin tahu lebih banyak tentang musik yang kau
ciptakan di Java & Jazz. Apa yang menginspirasimu?” tanyanya
dengan penuh ketertarikan.
Aku bercerita tentang kecintaanku pada musik jazz dan
bagaimana setiap melodi memiliki kisahnya sendiri. Claresta
mendengarkan dengan penuh perhatian, dan aku bisa melihat
kekagumannya terpancar dari matanya.

“Kau sungguh berbakat, Jeff. Musikmu mengandung emosi yang


mendalam,” ucap Claresta penuh penghargaan.

Hari-hari itu terus berlalu, penuh dengan tawa, curahan hati, dan
harmoni persahabatan. Claresta dan aku menjadi semakin dekat,
menciptakan ikatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Suatu malam, di tepi Sungai Seine yang indah, kami duduk


bersama di bawah bintang-bintang. Aku memandang mata
Claresta dengan penuh rasa terima kasih.

“Claresta, terima kasih untuk segalanya. Kau membuat


kehidupanku lebih berwarna,” ucapku.
Ia tersenyum, “Dan kamu membuat hidupku lebih indah, Jeff. Ini
adalah awal dari kisah yang penuh warna untuk kita berdua.”

Kami saling berpegangan tangan, menikmati keheningan malam


yang penuh makna. Dalam momen itu, aku merasa beruntung
memiliki Claresta di sampingku, dan aku tahu bahwa cerita ini
masih akan terus berkembang menjadi melodi yang indah.

Beberapa bulan berlalu, dan Claresta menerima tawaran untuk


tampil bersama orkestra di Selandia Baru. Meskipun aku merasa
bangga akan pencapaiannya, hatiku juga terasa berat karena
kepergiannya.

“Jeff, aku mendapat kesempatan luar biasa untuk tampil di New


Zealand. Ini adalah impian yang kujalani,” kata Claresta dengan
senyuman yang campur aduk perasaan.

Aku mencoba tersenyum membalas, “Aku sangat bangga padamu,


Claresta. Tentu, kamu harus mengambil kesempatan ini.”
Persiapannya untuk perjalanan ke New Zealand membuat waktu
bersama kami semakin berharga. Kami menjalani setiap hari
dengan intensitas, menciptakan kenangan yang akan kita simpan
dalam hati.

Sebelum keberangkatan Claresta, kami menghabiskan hari di


salah satu taman indah di Paris. Di bawah pohon rindang, Claresta
menarikku dalam pelukannya.

“Jeff, aku akan kembali, bukan? Aku tidak ingin meninggalkanmu


selamanya,” ucapnya dengan mata yang penuh haru.

Aku mengelus kepalanya, “Tentu saja, Claresta. Ini adalah


peluang yang luar biasa, dan aku mendukungmu sepenuhnya. Kita
akan tetap terhubung, meski jarak memisahkan.”

Malam sebelum keberangkatannya, kami berdua duduk di tepi


Sungai Seine. Cahaya lampu kota Paris menciptakan suasana yang
romantis. Claresta mengambil biola kesayangannya dan
memainkan melodi yang penuh emosi.

“Ini untukmu, Jeff. Melodi ini akan mengingatkanku padamu di


sana,” ujarnya dengan mata yang dipenuhi rasa.

Aku mendengarkan setiap nadanya, mencoba meresapi setiap


getaran melodi yang indah. Rasanya seperti melodi perpisahan
yang penuh dengan harapan.

Pagi setelahnya, aku mengantar Claresta ke bandara. Di pintu


keberangkatan, kami berdua saling berpegangan tangan dengan
erat. Tatapan mata kami adalah bahasa yang tak terucapkan,
mengandung segala rasa yang sulit diungkapkan.

“Terima kasih untuk semua kenangan ini, Jeff. Aku akan kembali,
dan kita akan membangun lebih banyak kenangan bersama,” ucap
Claresta sambil menahan isak tangis.
Aku tersenyum dan mencoba meredakan emosiku, “Aku akan
menunggumu, Claresta. Lakukan yang terbaik di sana, dan
bawalah semangat Paris ke New Zealand.”

Seiring pesawat Claresta menghilang di langit, hatiku terasa


kosong, namun aku yakin bahwa ini hanyalah sementara. Meski
berjarak jauh, Claresta dan aku akan tetap terhubung melalui
musik dan kenangan yang telah kita bagi bersama.

Setelah beberapa minggu tanpa jawaban dari surat yang


kusampaikan pada Claresta, kekhawatiranku semakin tumbuh.
Penuh kegelisahan, aku mencoba mencari tahu kabar tentangnya.

Suatu hari, seorang teman memberitahuku tentang kecelakaan


pesawat yang mengejutkan. Detak jantungku terhenti sejenak
ketika mendengar bahwa pesawat yang ditumpangi oleh Claresta
mengalami kecelakaan di New Zealand. Rasa panik dan
kehilangan menyelimuti diriku.

Dalam kebingungan dan keputusasaan, aku mencoba


mengkonfirmasi kabar tersebut. Setelah beberapa upaya,
kenyataan yang mengerikan pun terungkap. Claresta telah
meninggal dalam kecelakaan tersebut.

Suratku tak pernah sampai padanya, dan dia tak pernah


mendengar ungkapanku. Rasanya seolah-olah seluruh dunia
runtuh di sekitarku. Aku meratapi kehilangan orang yang begitu
dicintai.

Menghadapi kenyataan ini, aku merenung pada setiap kenangan


indah yang pernah kami bagi. Melodi biola yang pernah ia
mainkan untukku seakan terdengar dalam keheningan. Aku
menyadari betapa berharganya setiap momen yang kita habiskan
bersama.

Hati ini terasa hancur, namun aku mencoba menemukan kekuatan


untuk menjalani hari demi hari. Claresta mungkin telah pergi, tapi
melalui musik dan kenangan, dia akan selalu hidup dalam hatiku.
Dan meski suratku tak pernah sampai, aku percaya bahwa cintaku
padanya tetap tersimpan di alam baka.

Anda mungkin juga menyukai