Disusun Oleh:
“Iya, Bos?”
“Saya-“
“Hai Jeff! Aku menang kompetisi kali ini!” ucapnya dengan nada
bahagia.
“Kau juga.”
“Midnight Serenade.”
Dia mengangguk.
Seperti biasa, hari ini kami juga bekerja. Evelyn sering mampir ke
rumahku untuk sarapan bersama atau menonton film. Dia sudah
seperti adik bagiku.
“Kau tidak bosan memakan ini setiap hari?” Tanya Evelyn sambil
mengaduk ngaduk sereal di mangkuknya tanpa nafsu makan.
“Ayo!”
Sudah 5 bulan aku tidak melihat Claresta sejak terakhir kali dia
tampil minggu itu. Aku selalu datang ke gedung Melodi Grand
dengan Evelyn , namun aku tak pernah membicarakan Claresta
padanya. Dia nampak menikmati pertunjukan meskipun baru
pertama kali melihatnya. Bahkan semangatnya masih sama hingga
saat ini.
Hari ini aku absen bekerja karena lelah, kami tidak memiliki hari
libur. Meskipun pekerjaan kami melelahkan, namun tenaga yang
kami keluarkan tidak sebanding dengan respon pendengar.
Kadang aku merasa lelah dan ingin berhenti. Aku akan
memainkan jazz untuk diriku sendiri. Namun aku sadar, musik
dirasakan dengan hati bukan telinga. Aku belajar untuk
menyampaikan nada nada dengan hati dan pikiran.
Tak jauh dari situ, aroma harum kopi dari kafe-kafe kecil menyapa
hidungku. Aku memutuskan untuk mampir ke salah satu kafe
yang terlihat menarik. Di dalam, suasana hangat dan desain
vintage menciptakan tempat yang sempurna untuk menghabiskan
waktu sendirian.
“Tidak.”
“Kau punya potensi, Jeff. Untuk apa bertahan di kafe suram itu?
Ayolah.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Maksudnya?”
“Jadi Claresta sama sekali tidak akan tampil di melodi grand dekat
dekat ini?” tanyaku memastikan lagi.
“Ya. Kami akan kembali ke Amsterdam besok. Kau tidak ada cuti
sama sekali?”
“Kau akan baik baik saja, kan? Bisa tolong jaga dirimu selama
seminggu tanpaku?”
Aku bisa melihat raut sedih di wajahnya. Aku dan Evelyn sama
sama hidup sendirian, aku menjadi khawatir karenanya.
“Jahat sekali, kau pikir dengan siapa lagi aku akan menghabiskan
cutiku.”
Awal bertemu dengan Evelyn, aku pikir dia adalah orang pilihan
yang dikirim Tuhan padaku. Tapi kini aku sadar, bukan dia
orangnya.
“Boleh.”
Tak banyak orang di ruang musik itu, hanya ada 3 orang. Masing
masing membawa biola. 2 laki laki dan 1 perempuan. Perempuan
itu menghadap membelakangi kami. Rambutnya panjang
bergelombang, kulitnya putih bersih, dan wajahnya cantik berseri.
Jantungku berdegup kencang.
Aku tak menyangka Claresta yang terlihat ceria bisa sedingin ini.
“Boleh kan, Chris?” tanya Abel pada salah satu pria itu.
Aku rasanya tak punya harga diri untuk menatap raut wajah
Claresta. Namun berbeda dengan yang kubayangkan, dia justru
tersenyum manis ke arahku.
“Terimakasih.” Ucapnya dengan suara lembut dan sorot mata
hangat.
Claresta mengangguk.
Aku mengangguk.
Aku pun larut dalam suaranya dan menikmati suasana ini, hal
yang sama sekali tak terpikirkan olehku bisa sedekat ini
dengannya.
Dari dekat aku bisa melihat bulu matanya yang lentik dan
matanya yang besar. Cantik. Bagaimana bisa ada makhluk
secantik ini?
“Oh ya? Itu dekat dengan Melodi Grand, aku pasti akan mampir.”
“Ya, seperti yang kau tahu keluargaku berada di Paris. Aku biasa
keluar negeri untuk penampilan orkestra, tentu saja sendirian.”
Suatu hari, saat aku sedang asyik memainkan piano di Java and
Jazz, ponselku berdering. Kabar dari Abel membuatku langsung
antusias. Aku mengangkat telepon dengan cepat.
“Hai, Jeffrey! Apa kabar di Paris?” suara Abel terdengar penuh
semangat.
Kabar itu membuat hatiku berbunga. “Wow, itu luar biasa! Tentu
saja, aku sangat bangga padamu dan Claresta. Kapan
kompetisinya?”
Seiring waktu berlalu, kafe Java and Jazz kembali menjadi tempat
di mana musik dan cerita bersatu. Setiap lagu yang kuhentikan di
piano menjadi bagian dari perjalanan yang kuceritakan. Meski
kini aku kembali ke rutinitas, tetapi kenangan di Amsterdam
selalu hadir dalam setiap nadaku.
Tercium aroma baby powder darinya, aku baru tau dia memiliki
aroma seperti bayi.
Aku mengangguk paham lalu meneruskan memotong lobak
seperti yang diajarkan Evelyn.
“Ini lebih dari baik baik saja! Ini super enak!” ucapku semangat.
“Kau berlebihan.”
Tiba saat malam hari, kami berjalan jalan di sekitar menara Eiffel.
Banyak orang berlalu lalang dan lampu terang benderang.
Kami mengenakan mantel karena cuaca cukup dingin malam ini.
Sambil menyusuri jalan, kami berbincang bincang.
“Jeff, jika kau bisa memilih antara Amsterdam dan Paris mana
yang akan kau pilih?” tanya Evelyn tiba tiba.
“Tentu.”
“Mari tunggu saja kau menjadi jomblo tua.” Ucap Evelyn dengan
nada mengejek.
“Jujur saja, aku adalah pelanggan disana. Saat aku merasa bosan
aku berkunjung dan mendengarkan iringan musik yang kau
mainkan. Aku merasa tenang saat mendengarnya, aku merasa
hidupku lebih berwarna sesaat. Sejak saat itu aku datang ke kafe
itu untuk mengisi kebosananku.”
Dan seperti halnya melodi yang tercipta di piano Java and Jazz,
hidupku pun terus berkembang menjadi kisah yang penuh warna,
diwarnai oleh irama persahabatan, cinta, dan musik yang
membentuk harmoni indah di setiap langkahku.
Malam harinya kami berkunjung ke Melodi Grand untuk
menonton orkestra bersama.
“Hai.” Jawabku.
“Terima kasih, Claresta, untuk malam yang luar biasa ini. Aku
sangat menikmatinya,” ucapku dengan tulus.
Claresta tersenyum, “Aku juga, Jeff. Mari kita buat lebih banyak
kenangan seperti ini di masa depan.”
“Sakit?” tanyaku.
Selama ini dia memang sering merajuk, tapi kali ini berbeda.
Claresta tersenyum.
“Claresta.” Panggilku.
Jantungku berdebar.
Aku tak berani menatap matanya. Namun aku benar benar tulus
terhadap kata kataku.
“Aku juga merasa begitu. Dan kau tahu, aku menyukaimu, Jeff.”
“Benarkah?”
“Ya, sejak pertama kali kita bertemu. Kamu seperti melodi yang
memikat hatiku.”
Malam itu, tepi Sungai Seine menjadi saksi bisu dari kisah cinta
yang tumbuh di antara kami. Setiap detik terasa istimewa, seolah
waktu berhenti sejenak untuk memberi ruang pada kebahagiaan
yang kami rasa.
Beberapa hari kemudian aku memutuskan untuk menemui Evelyn.
Beruntungnya dia membukakan pintunya meski raut wajahnya
datar.
Evelyn mendorongku.
Hope i can find someone who looks like you. If you changes your
mind i’ll be waiting for you on this corner of the street. I’m not
moving.
Evelyn Joe
“Maaf Jeff, tidak akan ada yang berubah sekalipun aku tetap
disini. Kau ingin menusukku lebih dalam lagi? Aku ingin hidup
Jeff bukan menjadi pelengkap hidupmu.” Ucapnya dengan mata
berkaca kaca.
“Tidak bisa kah kau tetap disini?” ucapku dengan nada memohon.
“Jeffrey, aku tahu ini sulit bagimu. Namun, kamu tidak sendiri.
Aku di sini untukmu,” ucap Claresta dengan lembut, sambil duduk
di sebelahku.
Aku menutup mata, meresapi setiap nada yang dipetik oleh biola
Claresta. Melalui musiknya, aku merasa ada kekuatan yang
mengangkat semangatku. Claresta mengerti bagaimana musik
dapat menjadi penghibur yang luar biasa.
“Jeff, aku ingin tahu lebih banyak tentang musik yang kau
ciptakan di Java & Jazz. Apa yang menginspirasimu?” tanyanya
dengan penuh ketertarikan.
Aku bercerita tentang kecintaanku pada musik jazz dan
bagaimana setiap melodi memiliki kisahnya sendiri. Claresta
mendengarkan dengan penuh perhatian, dan aku bisa melihat
kekagumannya terpancar dari matanya.
Hari-hari itu terus berlalu, penuh dengan tawa, curahan hati, dan
harmoni persahabatan. Claresta dan aku menjadi semakin dekat,
menciptakan ikatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
“Terima kasih untuk semua kenangan ini, Jeff. Aku akan kembali,
dan kita akan membangun lebih banyak kenangan bersama,” ucap
Claresta sambil menahan isak tangis.
Aku tersenyum dan mencoba meredakan emosiku, “Aku akan
menunggumu, Claresta. Lakukan yang terbaik di sana, dan
bawalah semangat Paris ke New Zealand.”