Anda di halaman 1dari 402

1

2
3
4
5
6
7
8
Mungkin saja, sekali seseorang itu hancur, maka
hari untuk menyempurnakan diri itu pun tidak akan
pernah tiba, namun atas nama hasrat cinta ini, aku
harus hancur. Aku harus memulai sebuah revolusi.

Mentari Terbenam. Osamu Dazai

9
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Seiring jendela-jendela kereta yang hanya terbuka


sekitar lima senti, semerbak aroma laut perlahan sudah
merambat masuk.
Kala itu tepatnya Minggu saat tengah hari, dan
tidak ada lagi penumpang selain diriku di kereta ini.
Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai
ketika libur musim panas. Tapi di awal April seperti
sekarang ini, masih ada cukup lama waktu hingga
pantai kembali ramai didatangi. Karenanya, mungkin
hanya anak SMP saja yang berlibur ke pantai di musim
semi begini .... Termasuk diriku.
Kereta bergerbong dua ini berderu melewati
tikungan lambat. Tembok dari pengunungan dan hutan
bambu tiba-tiba lenyap dari pandanganku, lingkup
pandangku meluas bersama dengan aroma laut yang
semakin tajam. Rangkaian atap kereta serta
pemandangan air laut bercorak tembaga tua itu
menggelap di bawah langit yang mendung.
Kereta itu bergoyang lalu berhenti di sebuah stasiun
kecil.
Kuambil ranselku dari rak bagasi. Saat berjalan ke
peron terbuka, segera kulihat gundukan-gundukan
kelabu di antara pegunungan hijau yang ada di
kananku.

10
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Aku tidak tahu kapan hal itu mulai ada, tetapi


lembah yang di sana itu sudah berubah menjadi tempat
pembuangan yang besar. Aku pun tidak tahu legal atau
tidaknya tempat pembuangan tersebut, namun ada
banyak truk dari berbagai penjuru yang datang untuk
membuang alat-alat elektronik maupun mebel
rongsokan ke sana. Sejenak waktu berlalu, tempat itu
mendadak berubah sunyi. Begitu sunyi, hingga terasa
seolah saat-saat itu merupakan lima belas menit
sesudah akhir dunia — sebuah ruang yang terasingkan
terbentuk karenanya.
SMP tempatku bersekolah dulu berdekatan dengan
pantai, lalu karena suatu hari secara tidak sengaja aku
tersesat, aku pun menemukan tempat ini, maka diam-
diam kunamai tempat ini <Toko Swalayan Keinginan
Hati>. Nama itu pernah muncul dalam sebuah novel,
meski panjang dan sulit diucapkan, namun bukanlah
masalah, karena toh, aku tidak berniat
memberitahukannya pada siapa pun.


Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus
musik — meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus
lain, namun aku hanya mau menekankan alasan tentang
tidak umumnya pekerjaan beliau bagiku. Karena hal
tersebut, makanya rumahku dipenuhi dengan

11
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

berbagai sound system, pita rekaman, CD, partitur


musik, dan berbagai barang lainnya yang berhubungan
dengan musik. Karena sudah tidak tahan, sepuluh tahun
yang lalu ibuku lari dari rumah ini. Sedang aku, meski
tidak memiliki rencana ataupun inspirasi kala itu,
namun di malam saat aku berumur enam tahun
tersebut, aku bersumpah pada diri sendiri kalau aku
tidak akan pernah menjadi seorang kritikus musik.
Mari kesampingkan hal itu sejenak. Perlengkapan
di rumah kami adalah barang-barang yang
dipergunakan untuk bekerja, namun ayahku
memperlakukannya dengan sembrono. Beliau merusak
semuanya — baik pengeras suara, pemutar piringan
maupun pemutar DVD. Karena jarang sekali ada yang
membelikanku mainan saat masih kecil, jadi aku sering
membongkari perlengkapan rusak tersebut, dan
perlahan mempelajari cara memperbaiki serta
merakitnya. Lalu kini, hal tersebut sudah jadi semacam
setengah hobi bagiku.
Karena kebutuhan hobiku ini, maka setiap sekali
dalam dua-tiga bulan aku mengunjungi <Toko
Swalayan Keinginan Hati> yang berdekatan dengan
pantai itu. Aku pergi menggunakan kereta bergoyang
untuk mengumpulkan beberapa komponen berguna di
sana. Saat berjalan sendirian di kumpulan rongsokan
itu, aku merasa seolah-olah menjadi satu-satunya
manusia yang tersisa di dunia ini, dan perasaan itu
sendiri cukup menyenangkan.

12
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia


Akan tetapi, bukan aku satu-satunya orang yang
mengunjungi tempat pembuangan tersebut kala itu.
Saat berjalan melewati hutan dan menuju ke arah
lembah, kulihat sebuah gunung yang terbentuk dari
tumpukan lemari es dan mobil rongsokan yang akan
terlihat meski dalam cuaca apa pun. Yang mengejutkan
lagi, aku juga mendengar suara piano.
Pada awalnya, kukira kalau aku hanya asal dengar,
tapi saat melangkah keluar dari hutan dan melihat ke
timbunan rongsokan yang tepat di depan mataku ini,
aku menyadari kalau suara piano itu bukan sekadar asal
dengar. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar
seperti permukaan laut yang tenang .... Dan setelahnya,
suara klarinet segera terdengar olehku.
Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi kurasa aku pernah
mendengarnya. Mungkin sebuah konserto piano abad
kesembilan belas dari Negara Perancis. Tapi kenapa
suara tersebut kudengar di tempat semacam ini?
Aku memanjat naik ke atap mobil bekas dan mulai
mendaki timbunan rongsokan. Melodi piano itu
berubah menjadi semacam sebuah musik mars. Pada
awalnya, kupikir suara piano itu berasal dari radio yang
masih menyala, tapi pemikiran itu pun lenyap dalam

13
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu


pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.
Aku melihat ke bawah sesampainya di puncak
timbunan tersebut, dan pemandangan yang
menyambutku begitu mengejutkan hingga membuat
napasku tertahan.
Sebuah grand piano besar terkubur di antara rak
piring dan ranjang yang rusak. Tutupnya memantulkan
kilauan hitam seolah dicelupkan ke dalam air dan
tersingkap keluar bagaikan sayap seekor burung. Di
sisi sebelah piano, uraian rambut berwarna merah tua
berayun seiring dengan keindahan suara instrumen itu.
Ternyata itu seorang gadis.
Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring
disertai pandangan terpaku pada tangannya, alis
panjangnya sedikit tertarik ke belakang. Bunyi
melengking nan elok yang dimainkannya seolah bagai
tetesan air hujan di penghujung musim dingin yang
terpercik tetes demi tetes dari dalam piano.
Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.
Wajah tegas dan kulitnya yang putih pucat itu
bukan sesuatu yang umum di dunia ini, begitu cantik,
hingga aku tidak bisa mengalihkan pandanganku
darinya; rambut merah tuanya berkerlap-kerlip bagai
batu amber yang meleleh di bawah sinar mentari.
Aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi ...
kenapa?

14
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

15
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Aku tidak bisa mengingat namanya. Begitu pula


dengan lagu yang dimainkannya.
Tidak ada orang lain lagi di sekitar sini, jadi
harusnya yang kudengar hanyalah suara piano yang
diiringi deburan ombak yang tersaring melewati hutan,
lalu kenapa? Kenapa aku mendengar suara orkestra?
Langsung kusadari bahwa piano yang ada di
bawahku ini mengeluarkan getaran dan sedikit suara
setiap kali dipaksa memainkan nada rendah. Tidak
hanya itu, sepeda yang terkubur di dalam reruntuhan di
sana, peti kemas yang berkarat, layar LCD yang rusak,
semuanya — semua saling beresonansi bersama piano
itu.
Rongsokan yang terkubur di dalam lembah sampai
ikut bernyanyi.
Namun gema musik tersebut menggerakkan
ingatan-ingatanku akan orkestra yang diwakili nada-
nada ini.
Mungkin itu hanyalah halusinasi pendengaranku,
namun itu terasa begitu nyata.
Entah bagaimana aku tahu potongan musik yang
dimainkannya, tapi sebenarnya lagu apa itu?
Kenapa — kenapa musik itu begitu menyentuh
hatiku?
Barisan allegro terdengar bagai langkah tergesa
yang mengalir ke muara luas di hadapan senja, di mana
musik perlahan masuk ke adagio. Gelembung-

16
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

gelembung not kecil dari dasar laut yang tidak


terhitung jumlahnya menyeruak ke permukaan dan
berangsur-angsur tersebar ke luar. Setelahnya, gemuruh
orkestra kembali terdengar dari kejauhan, dan kali ini
suara tersebut akan tetap lanjut beriringan—
Akan tetapi, musik itu mendadak terhenti.
Aku menahan napasku, dan menatap turun ke arah
piano sembari terpaku di puncak timbunan rongsokan
ini layaknya seekor kerang.
Gadis itu berhenti memainkan pianonya dan
menatapku dengan pandangan tidak ramah.
Suara Orkestra yang tersamar, suara piano yang
menggema, bahkan suara desiran angin yang melalui
pepohonan — semuanya telah menghilang, membuatku
sejenak berpikir bahwa kiamat benar-benar datang.
"... sudah berapa lama kamu berdiri di sana?"
Ia akhirnya bicara. Suaranya jernih seperti gelas
anggur yang jatuh pecah ke lantai. Ia terlihat marah.
Aku kehilangan pijakan, lalu terpeleset dari lemari es
tempatku berdiri.
"Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kamu
berdiri di sana?"
"Eng, yah ...."
Aku akhirnya bisa bernapas setelah memaksa
keluar suaraku.
"... mungkin sewaktu cadenza."
"Cadenza di awal?"

17
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Dengan cepat ia berdiri. Rambut halus berwarna


merah tuanya menjuntai dari bahunya. Saat itulah
kusadari bahwa ternyata ia mengenakan gaun terusan
berwarna putih.
"Jadi kamu mendengarnya dari awal?"
Mau bagaimana lagi! Terus, ia mau suruh aku apa?
Melakukan tari suku Indian sambil berteriak-teriak
agar bisa ia tonton? Perlahan kutenangkan diri ini
sembari melihat wajah memerah dan rambutnya yang
terkibar. Aku tidak berbuat salah, 'kan? Hanya saja, ia
sudah datang lebih dulu daripada aku.
"Dasar cabul! Maniak!"
"Bukan, tunggu sebentar!" kenapa aku dituduh
seperti itu?
"Kamu benar-benar menguntitku sampai ke sini!"
"Menguntit .... Oi! Aku ke sini hanya untuk
mengumpulkan beberapa rongsokan!"
Segera seusai ia menutup tutup piano itu, ada
sesuatu yang beresonansi bersamanya. Lalu, lemari es
tempat aku berdiri bergetar hebat. Lemari es tersebut
sedikit miring, kemudian meluncur ke bawah dengan
membawa diriku.
Aku terguling menjauh dari lemari es yang miring
dan kap mobil rusak itu, dan tertuju ke dasar lembah
tempat piano berada. Bahuku menabrak kaki piano.
"... aduh!"

18
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Tepat saat aku mulai berdiri, kusadari kalau


wajahnya sudah tepat di depanku, dan mata biru
lautnya menatapku serius. Aku terkejut dan tidak bisa
bergerak. Aku hanya bisa menatap bibirnya yang
bergetar lembut bagai kelopak bunga kamelia.
"Kalau bukan untuk menguntitku, lalu kenapa kamu
bisa ada di sini?"
"Eh? Ah, tidak, begini ...."
Ia mengerutkan keningnya. Kekuatan sihir
misterius yang mengikatku agaknya sedikit melemah.
Aku akhirnya bisa mengendalikan diriku, dan mulai
mundur ke belakang sambil tetap duduk di tanah.
"Aku bilang, aku ke sini untuk mengambil beberapa
komponen audio! Terkadang aku memang sering
datang ke sini. Bukan mau menguntitmu."
"... sungguh?"
Kenapa juga aku harus berbohong? Lalu, apa gadis
ini merasa kalau ia mungkin sedang diikuti seseorang?
"Pokoknya, segera pergi dari tempat ini, dan jangan
bilang pada siapa-siapa kalau aku ada di sini. Kamu
juga harus menghapus ingatan tentang musik yang
kamu dengar barusan."
"Bagaimana caranya ...."
"Kamu ... benar-benar ... tidak boleh ...
mengatakannya!"

19
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Matanya tampak berkaca-kaca, seolah bintang-


bintang sedang berjatuhan dari langit. Saat melihatnya,
aku pun jadi tidak bisa berkata apa-apa lagi."
"Aku mengerti, aku akan pergi, kamu puas?"
Kuangkat ranselku ke bahu dan mulai memanjat
timbunan rongsokan. Kemudian suara aneh sebuah
mesin mendadak terdengar dari belakangku, dan yang
mengikutinya adalah teriakan, "Ah! Yah!"
Saat kutolehkan pandanganku, kulihat sebuah tape
recorder seukuran genggaman tangan ada di atas
piano, dan benda itu mengeluarkan bunyi aneh.
Mungkinkah selama ini ia merekamnya ...? Kaset di
dalam tape recorder itu sepertinya berputar bolak-
balik. Aku tidak tahan melihat wajah cemasnya saat ia
terus menggenggam tape recorder itu. Aku berjalan
mendekatinya lalu kucoba menekan salah satu
tombolnya.
"... apa ..., apa ini rusak?"
Ia bertanya dengan suara tersedu-sedu sambil
membuka tape recorder itu dengan hati-hati. Ia
memperlakukannya seperti telur yang hampir menetas.
"Ah, jangan begitu. Kamu tidak boleh langsung
membukanya seperti itu."
Ia segera berhenti membuka penutupnya. Aku
meletakkan ranselku di piano, dan mengambil obeng.
Matanya terbelalak melihat hal itu.
"... kamu mau membongkarnya?"

20
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

"Jangan khawatir. Akan kuperbaiki dengan hati-


hati."
Saat kuambil tape recorder itu dari tangannya,
kusadari kalau itu bukan tape recorder biasa,
melainkan tape recorder dua sisi untuk merekam dan
memutar kaset. Tidak hanya dapat memutar sisi A dan
B secara bersamaan, tetapi juga dapat merekam secara
bersamaan. Meski begitu, label yang tertulis di tape
recorder tersebut memakai bahasa yang belum pernah
kulihat sebelumnya, sudah pasti itu bukan bahasa
Inggris.
"Bahasa apa ini?"
"Bahasa Hongaria," jawabnya lirih. Ternyata itu
buatan Eropa. Bisa kuperbaiki tidak, ya?
Setelah kulepas sekrup dan
membuka casing luarnya, yang tampak di hadapanku
adalah bagian dalam yang terbuat dari komponen-
komponen yang kukenali. Standar Internasional benar-
benar bermanfaat.
"Apa itu masih bisa ... diperbaiki?"
"Mungkin."
Kuturunkan penutup piano lalu menggunakannya
sebagai meja kerja, kemudian perlahan kubongkar tape
recorder itu. Seperti yang kukira, pita magnetiknya
tertarik keluar dari kaset. Pita itu mencuat keluar dan
mengumpul membentuk sebuah gulungan kusut,
seperti halnya timun laut yang memuntahkan organnya.

21
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Karenanya aku membutuhkan waktu cukup lama untuk


melepas kaset itu.
"... maaf, apa tape recorder ini sejak awal memang
sudah rusak?"
"Eh? Ah, eng ..., kasetnya tidak akan berhenti
berputar meski sudah selesai, jadi pitanya akan kusut
kalau tombol stop tidak segera ditekan."
Jadi begitu, penghenti otomatisnya memang sudah
tidak berfungsi.
"Ka-karena kamu tiba-tiba muncul, aku jadi lupa
menekannya."
Jadi, lagi-lagi ini salahku? Mending beli baru saja
sana.
"Apa tape recorder ini penting bagimu?" aku
berkata begitu, karena ia masih menggunakannya
meski sudah rusak.
"Eh?" ia menatapku dengan terkejut, lalu
menundukkan kepalanya dan berkata, "Eng ...."
Hongaria, ya. Berarti gadis ini bukan orang Jepang,
ya? Dari bentuk wajahnya, menurutku ia sepertinya
orang keturunan campuran. Sembari memikirkannya,
aku menggali timbunan rongsokan untuk mencari
beberapa komponen, hingga akhirnya operasi
bedah tape recorder ini selesai setelah komponen-
komponen yang dibutuhkan itu ketemu. Tape
recorder itu tidak akan lepas kendali lagi, baik saat
memutar ulang maupun mempercepat kasetnya.

22
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

"Yak, selesai sudah."


"Eh ..., ah, eng," wajahnya menunjukkan rasa tidak
percaya.
Aku hampir menekan tombol putar untuk
memastikan tape recorder itu bekerja dengan normal,
namun tiba-tiba ia merenggutnya dari tanganku.
"Ka-kamu tidak boleh mendengarnya."
Ia ubah volume suaranya sampai ke yang paling
kecil, lalu menekan tombol putar untuk memastikannya
bekerja dengan baik.
"... te-terima kasih."
Ia peluk tape recorder itu erat-erat, dan berterima
kasih padaku dengan suara lemah sambil menundukkan
kepalanya disertai wajah memerah. Entah kenapa, aku
juga jadi merasa malu, karena itu aku berpaling dan
mengangguk.
Saat semua peralatan selesai kubereskan dan
memasukkannya ke dalam ransel, tiba-tiba ia bertanya,
"Kenapa banyak sekali macam-macam barang yang
kamu bawa?"
"Sudah kubilang, aku suka mengutak-atik mesin,
itu sebabnya aku mencari berbagai komponen di
tempat ini!"
"Memangnya ... itu menyenangkan?"
Pertanyaannya yang tiba-tiba itu membuatku
bingung untuk menjawabnya.

23
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

"Hmm ..., aku tidak begitu yakin kalau


memperbaiki mesin yang rusak adalah sesuatu yang
bisa membuatmu merasa senang. Akan tetapi, semua
orang tampak begitu bahagia ketika mereka
mendapatkan kembali sesuatu yang mereka anggap
sudah hilang."
Saat kami saling bertukar pandang, wajahnya
kembali memerah, karena itu ia segera berpaling. Saat
menatap wajahnya dari samping, muncul sebuah
desakan untuk menghujaninya dengan berbagai
pertanyaan. Kenapa kamu ada di sini?Atau yang lebih
penting ..., Kamu siapa? Apa judul lagu yang kamu
mainkan tadi? Lalu, Aku ingin dengar seperti apa
musik yang sudah kamu rekam itu? Munginkah
orkestra yang kudengar tadi bukan sekadar
halusinasiku saja? Aku memikirkan semua hal
tersebut, tapi mungkin ia akan kembali marah kalau
aku benar-benar menyodorkan pertanyaan-pertanyaan
itu padanya.
Ia meletakkan kembali tape recorder itu ke piano,
lalu menggunakan rak sebagai pengganti tempat duduk
dan mengarahkan pandangan pada kakinya. Aku ingin
tetap berbincang dengannya, namun suasananya sudah
tidak pas, dan aku tidak punya kesempatan berbicara.
Lupakan saja, rasanya ia juga menganggapku sebagai
seorang pengganggu. Mending pulang saja, deh.
Mungkin ketika nanti aku kembali ke tempat ini,
aku tidak akan lagi bisa bertemu dengannya, 'kan?

24
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Atau mungkin ia kemari karena tidak ada piano di


rumahnya? Aku memikirkan hal-hal tersebut sembari
bersiap mendaki timbunan rongsokan. Tepat pada saat
itu, suaranya datang dari belakangku,
"Eng—"
Aku menoleh.
Dari samping piano ia terlihat sedang gelisah. Kali
ini ia tidak tampak marah, namun wajahnya memerah
karena malu.
"Apa rumahmu dekat dari sini?"
Kumiringkan kepalaku.
"... tidak. Kira-kira dari sini empat jam jika
memakai kereta."
"Jadi kamu mau ke stasiun sekarang?"
Ia langsung tampak lega saat kuanggukan kepala
ini. Digantungkannya tape recorder itu di dekat
pinggang, dan mulai mendaki lereng yang terbentuk
dari rongsokan berukuran besar sembari mengikutiku.
"Jadi kamu juga mau pulang? Kalau begitu, aku
tetap di sini saja, ya?"
"Tidak boleh! Jangan berhenti, tetap jalan!"
Apa-apaan itu ....
Dengan rasa kesal kuhindari timbunan rongsokan
yang bergelombang itu, dan perlahan berjalan kembali
ke hutan dekat lembah. Ia terus mengeluhkan tentang

25
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

kakinya yang sakit dan bagaimana sewaktu ia hampir


terjatuh, namun masih saja ia mau mengikutiku.
"Sebentar ...."
Kutolehkan pandanganku dan memanggilnya. Ia
terkejut, dan terlihat gelisah dari jarak tiga meter di
belakangku.
"A-ada apa?"
"Jangan-jangan kamu lupa jalan pulang, ya?"
Karena kulitnya lebih cerah daripada orang Jepang
pada umumnya, terlihat sangat jelas ketika wajahnya
memerah. Meski ia menggelengkan kepalanya kuat-
kuat, sepertinya tebakanku tepat. Mau tidak mau aku
hanya bisa menghela napas,
"Yah, aku juga tersesat saat pertama kali ke sini."
Satu langkah keliru saat berjalan dari pinggir laut
ke arah stasiun cukup untuk membuat seseorang
tersesat.
"Ini bukan yang pertama. Mungkin ini sudah ketiga
kalinya bagiku."
"Jadi kamu masih tidak bisa mengingat jalurnya
meski sudah tiga kali ke sini ...."
"Sudah kubilang bukan begitu!"
"Kalau begitu, ya pulang saja sendiri."
"Uh ...."
Ia menggertakkan giginya dan menatap tajam ke
arahku. Aku tidak punya pilihan selain berhenti

26
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

berdebat dengannya dan berjalan keluar dari hutan


tanpa berbicara. Saat dalam perjalanan, aku melihat
truk berwarna ungu melewati kami, mungkin truk itu
hendak ke sana untuk membuang rongsokan. Hutan
kembali sunyi setelah truk itu pergi menjauh. Samar
suara truk seiring gesekan ranting pohon,
mengingatkanku akan keanekaragaman ensembel dari
konserto piano kala itu.
Benar-benar sebuah pengalaman mengejutkan yang
membuatku kehilangan napas. Akan tetapi, keajaiban
tersebut mungkin tidak akan terjadi andai gadis ini
tidak memainkan piano di tempat tidak biasa semacam
itu. Aku meliriknya sambil terus berjalan ke depan.
Terus, kapan aku pernah melihatnya, ya?
Mungkinkah ia teman yang tanpa sadar telah
kulupakan? Kenapa juga ia tanpa malu bersikap seperti
itu di depanku?
Tidak mungkin juga, 'kan?
Andai aku mengenal seorang gadis yang
meninggalkan kesan mendalam seperti itu padaku,
tidak mungkin aku bisa melupakannya.


Usai berjalan menuju kota kecil di antara gunung
dan laut yang dipenuhi lereng serta jalur melandai,

27
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

mendadak terlihat pemandangan rumah-rumah yang


berjejer bersamaan dengan stasiun kereta. Hampir
semua lampu penghias di jalur melengkung pertokoan
sudah tidak lagi menyala, sementara, bangunan
bertingkat empat yang merupakan peninggalan zaman
Shouwa, sudah terpajang papan iklan Glico di atapnya.
Terasa begitu nostalgia. Di kiri, rambu dengan
logo JR beserta nama stasiun digantung di atas tempat
yang tampak seperti rumah percetakan. Tidak ada lagi
makhluk bergerak selain kami berdua, juga beberapa
ekor kucing yang sedang mengais sisa-sisa makanan di
depan pintu toko soba ini.
"Kita sampai."
"Aku sudah tahu."
Hanya itu yang dikatakannya sebelum menyerbu
masuk pintu stasiun.
Aku berdiri terdiam di tempat, memikirkan kembali
apa yang seharusnya kulakukan setelah ini, bahkan aku
pun tidak bisa memanggil namanya. Apa boleh buat.
Ini adalah perjumpaan pertamaku dengan dirinya, dan
ia juga memintaku melupakan semua hal tentangnya.
Sebaiknya aku kembali saja mengumpulkan
beberapa rongsokan.
Aku berpaling darinya, dan saat hampir pergi,
seseorang berkata,
"Hei, yang di sana."

28
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Suara itu berasal dari seorang polisi paruh baya


yang berjalan keluar dari sebuah pos polisi kecil di
seberang bundaran bus. Sepertinya yang dimaksud
bukan diriku, deh. Gadis itu membatu, dan menoleh
takut-takut. Polisi itu berjalan ke arahnya dan bertanya,
"Maaf, Anda ini Ebisawa-san, bukan?"
"... eh? Eng, yah ...."
Wajahnya memucat karena terkejut.
"Ah, benar. Bahkan pakaian Anda cocok dengan
yang dideskripsikan. Keluarga Anda juga sedang
mencari, 'kan? Tampaknya saat terakhir kali kabur dari
rumah, Anda juga pergi ke suatu tempat di sekitar sini.
Pokoknya, ikut dengan saya. Saya akan hubungi
keluarga Anda."
Seorang gadis yang kabur dari rumah, toh .... Dan
ternyata ini juga bukan yang pertama kali baginya, yah,
lebih baik aku jangan ikut campur, deh. Saat kembali
berjalan dan melewati polisi itu, aku merasakan ia
sedang menatapku seperti hendak memohon
pertolongan. Sial, ujung-ujungnya aku malah tetap
menghiraukannya.
Tatapan berkaca-kaca dan penuh harap itu seolah
berkata, Seumur hidup aku akan membencimu jika
kamu tidak menolongku.
Tubuhku, berhentilah. Abaikan saja dirinya.

29
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Namun sudah terlambat. Aku bukan manusia kalau


memilih diam dan menghindar setelah melihat
tatapannya itu.
"Eng ...."
Sambil bercucuran keringat kutatap polisi itu, dan
hendak mulai bicara. Ia hampir membawa gadis itu ke
pos polisi, dan saat menoleh, ekspresi di wajahnya
seperti menunjukkan kalau ia baru saja menyadari
keberadaanku.
"Saya rasa bapak salah orang. Gadis ini sedang
dalam perjalanan bersama saya."
"Hah?"
Ekspresi polisi itu menjadi terlihat aneh, seolah
tanpa sengaja ia mengunyah siput atau semacamnya.
"Cepat lepaskan. Nanti kami bisa menunggu lebih
lama lagi kalau melewatkan kereta yang sebentar lagi
datang."
"Ah, uh .... Hmm."
Ia segera pergi menjauh saat aku mengangguk pada
pak polisi itu, lalu kami berdua dengan cepat berjalan
menuju stasiun kereta. Aku tidak tahu apakah ia paham
yang barusan kukatakan, tapi tidak ada artinya jika
terus berada di sana.
Setelah membeli tiket dan melewati gerbang, kami
melirik ke arah bundaran bus.
"Berhasil tidak, ya .... Omong-omong, andai kita
tertangkap, kamu akan bekerjasama denganku, 'kan?"

30
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

"A-aku ...," gadis itu memegang tiketnya kuat-kuat,


dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. "Aku
tidak minta pertolonganmu!"
"Baiklah kalau begitu, akan kutemui pak polisi tadi.
Berbohong itu tidak baik."
Wajah gadis itu berubah merah dan terdiam tanpa
kata. Meski begitu, ia memukul punggungku berkali-
kali.
"Lain kali kalau kabur dari rumah, pilih tempat
yang tidak bisa ditemukan oleh orang tuamu!"
"Bukan begitu! Ini bukan seperti yang kamu
pikirkan ...."
Jadi sepertinya akulah yang sok ikut campur urusan
orang di sini. Apa mungkin ia sebenarnya
membenciku? Hei, aku sudah menawarinya
pertolongan!
Ia menahan kemarahannya, dan menatap tajam ke
arahku, lalu berjalan menuju peron yang terhubung ke
jalur Kudari. Ternyata arah pulangnya berlawanan
denganku. Aku merasa sedikit lega, namun di saat
bersamaan juga sedikit menyayangkannya.
Pada saat itu, stasiun memainkan musik yang
menandakan kedatangan kereta. Musik yang sangat
kukenal — <Dua Belas Variasi pada 'Ah! Haruskah
kuceritakan, Bu'> gubahan Mozart.
"Ah ...."

31
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Lampu bohlam di kepalaku tiba-tiba menyala. Aku


ingat! Aku ingat siapa dirinya. Benar, bukankah pak
polisi tadi bilang kalau marganya Ebisawa?
"Ebisawa ... Mafuyu?"
Ia sudah hampir dua langkah naik ke tangga, namun
ia begitu tekejut hingga terdiam di tempat. Saat ia
menoleh, wajahnya sudah memerah, dan kedua
matanya terlihat bagai langit kelam berawan yang
seolah segera menumpahkan hujan lebat.
Pantas saja ia tidak terasa asing bagiku — aku
pernah melihatnya di sampul CD maupun di TV
sebelum ini. Ia merupakan pemain piano berbakat yang
menjadi pemenang termuda Kompetisi Piano
Internasional yang dihelat di Eropa Timur saat masih
berumur dua belas tahun. Penampilan perdananya kala
itu juga mendapat tepuk tangan dari semua yang hadir.
Ebisawa Mafuyu.
Gadis misterius ini telah merilis sejumlah album
mulai dua setengah tahun lalu, namun ia menghilang
dari dunia permusikan saat menginjak umur lima belas.
Dan sekarang, tokoh misterius itu berada tepat di
depanku, memegang pagar pengaman dengan ekspresi
hampir menangis.
"... kamu ... tahu siapa aku ...?"
Suaranya yang tergagap nyaris tenggelam oleh
suara di persimpangan jalur kereta, namun tetap
kuanggukan kepalaku sedikit. Bukan hanya tahu

32
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

identitasnya, bahkan aku bisa mengingat semua judul


lagu yang dirilis olehnya.
"Ya, aku tahu. Karena aku punya semua CD-mu,
dan ...."
"Lupakan semuanya!"
"Eh?"
"Pokoknya, lupakan semuanya!"
Aku ingin mengatakan sesuatu, namun aku hanya
bisa menatapnya berlari menaiki tangga, rambutnya
yang merah tua terkibar di belakangnya. Tepat saat itu,
suara *ding ding ding* yang merupakan tanda
diturunkannya pembatas rel di persimpangan mulai
terdengar di telingaku. Sejenak, aku hanya bisa berdiri
terdiam dalam keadaan linglung.
"—Hei!"
Sebuah suara terdengar di sampingku. Aku
menoleh, dan melihat sebuah siluet putih dari peron
yang berlawanan. Kami bertukar pandang sejenak, lalu
ia, Ebisawa Mafuyu, mengayunkan tangannya dan
melemparkan sesuatu padaku.
Sebuah benda berwarna merah terlempar melewati
jalur kereta. Kuangkat tangan ini dan berusaha
menangkapnya, tapi benda itu mengenai pergelangan
tanganku lalu jatuh dekat kakiku. Ternyata itu
sekaleng cola.
Sebuah kereta kemudian melaju di antara kami.

33
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Ia lalu masuk ke dalam, dan kereta itu


meninggalkan stasiun setelah pintunya tertutup,
meninggalkanku sendiri di peron. Kaleng cola itu
menggelinding di lantai dan hampir terjatuh ke jalur
kereta, tapi segera kuambil sebelum terlambat. Masih
terasa dingin, mungkin ia membelinya dari mesin
penjual otomatis di sana. Apa jangan-jangan ia
membelikanku cola ini sebagai semacam tanda terima
kasih?
Ebisawa Mafuyu.
Aku sudah mendengar semua CD-nya, meski tentu
saja bukan aku yang membelinya. Semuanya diberikan
pada ayahku secara gratis, karena beliau seorang
kritikus musik. Setiap bulan koleksi musiknya
bertambah sekitar beberapa ratus keping, tapi karya
milik Ebisawa merupakan satu-satunya yang tidak
pernah membuatku bosan saat mendengarkannya.
Bahkan, urutan lagunya pun meninggalkan kesan yang
dalam padaku. Kunikmati saat-saat menelusuri kilasan
yang tidak disengaja dari ritme hangat di tengah
melodinya yang jelas, mantap, dan tidak bernyawa itu.
Lalu kuingat kembali lagu yang dimainkannya saat
di tempat pembuangan, harusnya lagu itu tidak ada di
dalam CD-nya, 'kan? Jika lagu itu pernah kudengar
dari CD, sudah pasti aku mengingatnya.
Sebenarnya apa yang sudah ia hadapi dan temui
selama ini?

34
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Ia bukan seseorang yang memainkan lagu segalau


itu.
Kata-katanya terus terngiang di
telingaku, Pokoknya, lupakan semuanya!
Kuambil kaleng cola itu, lalu duduk di bangku.
Konserto piano yang membuat penasaran juga suara
Ebisawa itu terus bergema di kepala hingga keretaku
tiba.


Itulah yang terjadi padaku saat libur musim semi
sebelum mulai masuk SMA, sebuah kebetulan yang
sulit dipercaya.
Sesampainya di rumah, aku terus mengulang <Dua
Belas Variasi pada 'Ah! Haruskah kuceritakan, Bu'>
yang direkam oleh Mafuyu di CD-nya. Saat
mendengarkannya, aku jadi teringat kembali kejadian
saat itu, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain
menganggap semua itu hanyalah mimpi. Sebab tidak
mungkin rongsokan-rongsokan itu bisa beresonansi
dengan sebuah piano, dan tidak mungkin pula benda-
benda itu mengeluarkan suara layaknya sebuah
orkestra.
Satu-satunya hal yang bisa membuktikan kalau
semua itu nyata adalah cola yang ia berikan padaku,

35
Bab 1: Toko Swalayan di Akhir Dunia

yang kemudian menyembur mengenaiku saat kubuka


tutupnya. Ya ampun, minuman berkarbonisasi itu
benar-benar tidak boleh dikocok maupun dilempar.
Seusai kulap lantai ini dengan kain sampai bersih,
rasanya seolah sisa-sisa kepekaanku terhadap dunia
juga ikut lenyap.
Meski ia menyuruhku untuk melupakan semuanya,
tanpa disuruh pun pasti akan kulupakan. Aku ini orang
yang sibuk, bahkan aku tidak bisa mengingat mimpi-
mimpi yang kualami kemarin lusa.
Pada saat itu, jelas aku tidak menyangka akan
bertemu Mafuyu kembali di situasi semacam tadi.

36
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

Di dunia ini terdapat sebuah jenis hubungan, yaitu


tipe yang tidak mengenakkan. Dan begitulah jenis
hubungan yang aku dan Aihara Chiaki miliki. Karena
rumah kami saling berdekatan, tidak heran kalau kami
bersekolah di tempat yang sama sejak SD hingga SMP.
Meski begitu, kami berada di kelas yang sama selama
sembilan tahun berturut-turut, bahkan kami pun
sekolah di SMA yang sama. Mungkin akan ada yang
bilang kalau itu karena kepandaian kami yang tidak
berbeda jauh, tapi masalahnya adalah, kami berdua
sama-sama berada di kelas 1-3. Tidak ada yang bisa
kukatakan, selain ikatan menjijikkan kami memang
begitu dalam.
"Bukankah ini hebat? Aku payah dalam
Matematika dan Bahasa Inggris, jadi aku bisa
mencontek Nao. Nao sendiri tidak begitu pandai dalam
Olahraga, Sedangkan aku jago dalam Olahraga. Mulai
sekarang, ayo kita saling bantu," tidak lama setelah
berakhirnya upacara pembukaan, Chiaki mengatakan
hal itu sambil menepuk pundakku diselingi
suara *papapa* dari kelas kami yang masih berbaun
lilin. Ia memang jago dalam Olahraga, tapi bagaimana
caranya ia membantuku dalam pelajaran itu?
"Anak ini hebat, lo. Kamu bisa melihat kumpulan
CD yang menggunung saat membuka pintu rumahnya,
dan semuanya akan jatuh berserakan."

37
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

"Wah, kok bisa begitu? Memangnya rumahnya itu


semacam toko musik, ya?"
"Lalu kenapa kamu bisa ada di rumahnya?"
Dengan menggunakanku sebagai batu pijakkan,
Chiaki begitu cepat membaur dengan para perempuan
di kelas kami yang baru ditemuinya belum lama ini.
Kami berdua adalah satu-satunya murid lulusan SMP
kami terdahulu yang diterima di sekolah ini, itu
sebabnya tidak ada satu anak pun yang kami kenal di
sini. Kemampuan adaptasinya memang mengerikan.
"Hei, apa hubunganmu dengan perempuan itu?"
Seorang anak lelaki yang agak tertarik
mencondongkan tubuhnya padaku dan bertanya sambil
berbisik.
"Hah? Ah, bukan apa-apa, kami dulu cuma satu
SMP."
"Tapi, bukankah saat upacara pembukaan tadi kamu
membantu mengikatkan dasinya?" anak lelaki lain tiba-
tiba bertanya dari belakangku, sampai membuat
wajahku memucat karena kaget. Jadi mereka sempat
melihatnya, ya?
"Eng ..., yah, itu karena ...."
"Benarkah?! Sialan! Jadi kalian berdua itu suami
istri?!"
"Bukankah itu terbalik? Harusnya si perempuan
yang bantu si laki-laki!" mereka menggunakan situasi
yang sulit dijelaskan itu sebagai topik pembicaraan.

38
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

Sial, gara-gara itu aku jadi kesal pada Chiaki. Aku


sudah mengajarinya berkali-kali — setidaknya ingatlah
bagaimana cara mengikat dasi sendiri!
"Apa waktu SMP dulu kalian pernah pacaran?"
Kugelengkan kepala berkali-kali untuk
menyangkalnya. Semua anak lelaki di sekelilingku pun
menghela napas lega. Mereka menarikku menjauh dari
para perempuan, dan kelompok kami pun bergeser ke
pojok kelas. Mereka mulai bisik-bisik bicara.
"Aihara Chiaki adalah salah satu barang bagus di
kelas kita! Itu hal yang luar biasa."
"Awalnya kupikir kalau aku suka gadis berambut
panjang, tapi kini aku sadar ternyata itu salah."
Dengan ekspresi tercengang, kudengarkan penilaian
dari para anak lelaki itu. Dan kulihat kembali diri
Chiaki yang masih duduk di atas meja sambil
berbincang di sisi lain ruang kelas. Gaya rambutnya
dulu sangat pendek dan dibelah tengah, hingga
membuatnya tampak begitu garang. Tetapi sejak ia
meninggalkan klubnya saat musim gugur di tahun
ketiga kami SMP, ia mulai memanjangkan rambutnya.
Kini, rambut pendeknya terlihat lebih indah dan
semakin feminin. Tapi tunggu, masalahnya adalah ....
"Gadis itu punya temperamen buruk layaknya
seorang pemula dalam bela diri Judo. Bukankah kalian
sebaiknya berpikir untuk menjaga jarak darinya?"

39
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

"Ia masuk ke Klub Judo? Aku ikut gabung saja


tidak, ya?"
"Memangnya di sekolah ini ada Klub Judo?"
"Biar begitu, sebagian besar Klub Judo
memisahkan anak lelaki dengan anak perempuan."
"Kenapa harus dipisah? Harusnya mereka
memperbolehkan semuanya berlatih ne-
waza bersama!"
Mereka ini dengar tidak, sih?
Namun karena tahun lalu punggungnya terus-
menerus dilanda cedera, maka ia tidak pernah lagi
berlatih Judo. Di saat yang hampir bersamaan ketika
kami diterima masuk SMA, tanpa alasan yang jelas, ia
mulai berlatih bermain drum. Padahal, dulu ia tidak
pernah punya minat pada musik. Tidak mungkin ia
mulai berlatih bermain drum karena keinginannya
sendiri. Iya, 'kan? Sedangkan alasan kenapa ia mau
menjadi seorang penabuh drum, inilah yang Chiaki
katakan padaku—
"Di awal tahun kemarin, saat dokter bilang kalau
aku tidak boleh lagi berlatih Judo, kuminum beberapa
gelas saké karena putus asa ...," anak di bawah umur
belum boleh meminum saké! "Saat aku jatuh tertidur
dalam keadaan mabuk, Bonzo muncul dalam
mimpiku."
Bonzo adalah penabuh drum Led Zeppelin, dan ia
mati kehabisan napas karena menghirup muntahannya

40
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

sendiri dalam keadaan mabuk. Hal yang tidak begitu


enak didengar. Lagi pula, Chiaki tidak mungkin bisa
melihat arwah Bonzo dalam keadaan hampir mati,
'kan?
"Lalu ia bilang padaku, Yang tersisa untukmu
hanyalah drum. Karena Bonzo yang bilang begitu,
maka aku tidak punya pilihan selain melakukannya.
Iya, 'kan?"
"Apa itu benar-benar Bonzo?"
"Aku melihatnya melambaikan tangan terus-
menerus padaku sambil berdiri di padang bunga dekat
tepian sungai. Itu memang Bonzo, kok. Bahasa
Jepangnya sungguh mengesankan, meski ia berbicara
dengan dialek Tsuguru."
... bisa jadi itu arwah kakeknya yang meninggal
tahun lalu.


Baru setelah memasuki SMA, akhirnya aku tahu
alasan sebenarnya Chiaki mulai berlatih drum. Setiap
hari sepulang sekolah, ia terus-menerus menggangguku
agar bergabung dengan Klub Riset Musik Rakyat.
"Nao tidak punya keahlian selain dalam bidang
musik, 'kan? Jadi, gabung saja sama kami."

41
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

"Kamu terlalu ikut campur. Lagi pula, Klub Riset-


Was-Wes-Wos itu sebenarnya apa? Tidak ada klub
semacam itu, 'kan?"
Aku coba mengingat lembaran brosur pengenalan
klub-klub di sekolah yang kudapatkan saat upacara
pembukaan, juga pawai orang-orang yang menunggu di
gerbang sekolah agar mendapat murid baru sebagai
anggota klub mereka. Aku tidak melihat ada klub
dengan nama serumit itu. Dan bicara soal musik, aku
cuma orang yang punya wawasan dalam hal
mendengarkan saja ....
"Yang dimaksud musik rakyat di sini sebenarnya
mengacu pada musik rock! Kalau kami menyebut band
rock secara terang-terangan, para guru tidak akan
menerimanya; lagi pula, hanya dengan Kagurazaka-
senpai dan aku saja, tidak mungkin kami akan diterima.
Jadi kumohon, bergabunglah dengan klub kami!"
Rupanya itu alasan yang membuat ia mati-matian
memaksaku untuk bergabung ....
"Berhenti memaksaku masuk ke klub yang bahkan
belum terbentuk! Terus siapa lagi Kagurazaka-senpai
itu?"
"Seseorang yang luar biasa dan keren dari kelas 2 -
1."
Seusai sesi tanya jawab tadi, semua teka-teki
akhirnya terpecahkan. Tampaknya Chiaki bertemu
dengan Si Kagurazaka itu saat musim panas tahun lalu.
Rekomendasi yang membuat ia masuk ke SMA ini,

42
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

juga alasan ia mulai bermain drum, itu semua karena Si


Kagurazaka itu. Lelucon murahan. Kuambil tasku lalu
berjalan keluar kelas. Semua teman sekelas kami
ternyata sudah memusatkan perhatian mereka selama
kami berbicara tadi, dan itu rasanya sungguh
memalukan. Chiaki mengejarku dan berkata, "Tunggu
dulu! Apa salahnya bergabung dengan klub? Lagi pula,
kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"
"Aku tidak akan bergabung ke klub itu meski aku
memang sedang tidak punya kerjaan."
"Kenapa?"
"Karena ... aku tidak akan bisa betah."
Sebenarnya aku ingin bilang, Kamu pernah
memaksaku untuk ikut pelatihan Judo, dan akhirnya
aku menyerah dalam waktu singkat, sekitar dua
minggu —harusnya kamu juga tahu itu. Tapi, pada
akhirnya aku tidak pernah mengatakannya.
"Benarkah? Terus apa yang mau kamu lakukan di
masa SMA-mu?"
Belajar — tapi tentu saja aku tidak bisa membuat
diriku berkata munafik selain memberi jawaban
bernada politis semacam itu.
"Berarti hidupmu membosankan, dong?"
Jadi ia pikir, hidupnya itu menarik, begitu?
"Untuk apa kamu peduli dengan bosan atau tidaknya
hidupku?" aku mengatakannya dengan spontan, dan
Chiaki tiba-tiba berhenti. Saat aku menoleh ke

43
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

belakang, kulihat Chiaki mengalihkan pandangannya


dariku dan sedikit menundukkan kepalanya. Ada apa
lagi sekarang?
Chiaki menolehkan wajahnya, lalu bertanya, "...
kamu pikir untuk apa aku berbuat seperti ini?" aku jadi
bingung harus menjawab seperti apa.
"Karena kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"
Tangan Chiaki lalu menggapai kerah jasku.
Sebelum aku sempat berpikir, tubuhku sudah berputar
di udara, kemudian punggungku membentur lantai
lorong.
"... aduuuh!" mataku berkunang-kunang dan sesaat
aku tidak bisa bernafas. Meski begitu, aku mencoba
berdiri dengan bertumpu pada tanganku yang
menempel di tembok.
"Jangan gunakan lemparan bahu seenakmu begitu,
tahu?!"
"Itu bukan lemparan bahu. Yang tadi itu bantingan
badan."
"Bukan itu masalahnya! Kamu mau membunuhku,
ya?!"
"Bo-bodoh!"
Chiaki menginjak pahaku, berbalik, lalu pergi. Apa-
apaan tadi itu?!


44
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

45
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

Alasanku tidak bergabung ke sebuah klub adalah


karena suatu alasan yang sangat negatif seperti, Semua
itu merepotkan. Meski begitu, ada alasan lain di
samping hal tersebut yang bisa dianggap sebagai
sesuatu yang positif — ada yang bisa kukerjakan seusai
sekolah.
Setelah menatap Chiaki yang pergi, aku turun ke
lantai satu, lalu menuju sebuah lapangan kecil setelah
berjalan keluar dari gerbang belakang sekolah. Di
dekat pembakaran sampah yang sudah berkarat dan
usang, berdiri sebuah gedung sempit. Gedung itu
berbentuk persegi panjang sederhana yang terbuat dari
semen, mirip dengan toilet umum di taman. Pada sisi-
sisinya terdapat beberapa pintu. Karena sudah lama
tidak ada yang pernah menggunakannya, tembok
maupun pintu-pintunya telah diselimuti debu, yang
membuatnya cukup kotor. Tanpa sebab atau alasan
yang jelas, sekolah swasta ini semakin memperluas
wilayahnya, ditambah lagi, jumlah murid yang masuk
di sekolah ini semakin menurun — semua ini
menyebabkan jumlah fasilitas maupun ruang kosong
yang tidak digunakan semakin bertambah.
Di hari ketiga aku bersekolah, kutahu kalau
ruangan yang terletak di sisi kiri gedung ini ternyata
bisa dimasuki. Selama penelusuranku di sekitar
lingkungan sekolah, kucoba memutar gagang pintu
ruangan itu. Sambil mengeluarkan bunyi *kra kra*,

46
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

pintu itu pun terbuka begitu saja. Kemudian, kusadari


kalau menekan gagang pintu secara diagonal ke kanan
bawah lalu memutarnya 45 derajat, kuncinya akan
terbuka.
Di dalamnya, terdapat sebuah rak besi tinggi,
sebuah loker dan sebuah meja belajar tua. Temboknya
ditempeli dengan bahan penyerap suara, dengan
banyak lubang bundar yang ukurannya hampir sama.
Dilihat dari tanda yang tertinggal di lantai, dapat
diketahui kalau tempat ini dulunya ruang piano. Lalu
kini, satu-satunya yang bisa disebut perlengkapan
sekolah hanyalah sistem audio mini yang terletak di
samping meja.
Sebenarnya, SMA ini almamater ayahku. Aku
pernah dengar dari beliau, kalau sekolah ini dulunya
punya Klub Musik, tapi dibubarkan tidak lama setelah
beliau lulus. Beliau sering bercerita dengan setengah
bercanda, Murid-murid pada zaman Ayah dulu punya
kelakuan yang buruk, itu sebabnya sekolah
membubarkannya. Justru, mungkin memang seperti
itulah yang terjadi.
Ada keuntungan dari tembok penyerap suara — aku
bisa membawa setumpuk CD-ku ke ruangan ini dan
mendengarkan lagu kesukaanku sekeras yang aku mau.
Ini adalah cara yang bagus untuk menghabiskan waktu
seusai sekolah. Kalau aku ada di rumah, ayahku pasti
sudah memutar rekaman musik klasik keras-keras.

47
Bab 2: Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlantar

Itulah yang membuatku tidak punya tempat untuk


menikmati musikku ini dengan tenang.
Karena kondisi ruangan ini tidak terlalu bagus,
kedap suaranya belumlah sempurna. Aku harus
menyisipkan handuk di celah-celah sekitar pintu
sebelum menyalakan sistem audio. Pada hari itu, CD
pertama yang kudengarkan adalah album rekaman
konser Bob Marley, yang membawaku ke
suasana reggae. Mungkin aku sudah terpengaruh oleh
kata-kata Chiaki.
Berarti hidupmu membosankan, dong?
Padahal aku tidak pernah sekalipun
memikirkannya. Yang ada, hal tersebut cukup
membuatku sakit kepala. Dan hanya karena aku tidak
bergabung ke sebuah klub, hidupku malah dianggap
membosankan. Begini saja tidak apa-apa — anggap
saja kalau yang kulakukan ini kegiatan Klub Apresiasi
Musik! Toh, aku juga tidak pernah merepotkan orang
lain. Aku memang menggunakan ruangan ini tanpa izin
terlebih dahulu, tapi karena ruang kelas ini sepertinya
lama tidak pernah digunakan, ditambah fakta bahwa
aku menjaga ruang kelas ini tetap bersih —selama aku
bisa memastikan kalau tidak ada orang luar yang bisa
mendengar musik yang sedang kuputar, maka tidak
jadi masalah, 'kan?

48
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

Di pagi hari, sewaktu homeroom, ketika wali kelas


kami — yang dijuluki goinkyo (karena beliau terlihat
seperti Mito Koumon) — membawa serta seorang
gadis masuk ke dalam kelas, seketika itu juga suasana
kelas langsung membeku. Aku tidak menyadari
perubahan suasana yang terjadi, karena saat itu aku
merasa mengantuk sembari mendengarkan discman-ku.
Baru setelah Chiaki, yang duduk di depanku,
berbalik dan mendorong bahuku, dengan cepat
kulepas earphone yang menempel di telingaku. Tidak
peduli ada atau tidaknya homeroom, ruang kelas ini
selalu dipenuhi percakapan di tiap paginya. Meski
begitu, aku masih bisa mendengar beberapa teman
sekelas yang berbisik kala itu.
"Hei, gadis ini ...."
"Yak, sepertinya begitu."
"Ebisawa—"
"Eh~? Serius? Padahal kata orang, keberadaannya
kini belum diketahui, 'kan?"
Pandanganku tertuju ke podium pengajar,
dan discman-ku hampir saja jatuh ke lantai. Gadis di
podium itu menata rambutnya ke belakang. Karena
gaya rambut itu sama persis dengan yang ada di iklan,
maka semua orang langsung mengenalinya. Ia memang
Ebisawa Mafuyu. Ia mengenakan seragam sekolah

49
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

kami, tapi itu terasa seolah seseorang telah mengerjai


kami. Apa-apaan ini? Aku tidak mengerti apa yang
goinkyo katakan, dan untuk sesaat aku tidak bisa
memahami fakta kalau ia pindah ke sekolah kami.
"Dipersilakan bagi Ebisawa-san untuk
memperkenalkan diri," kata goinkyo dengan santai
sambil menyerahkan sebatang kapur kepada gadis itu.
Mafuyu memegang kapur itu dengan ibu jari dan
telunjuknya saja. Setelah memandang tidak nyaman
pada kapur tersebut disertai wajah memucat, ia
berputar menghadap papan tulis. Saat itu juga, kapur
yang dipegangnya terselip dari jari-jarinya, dan suara
patahan tiba-tiba memecah keheningan ruang kelas.
Kesunyian yang lebih senyap mengikuti setelahnya.
Yang dilakukan Mafuyu hanyalah terdiam menatap
pada kapur (yang mungkin sudah hancur). Goinkyo
hanya bisa mengelus pelan-pelan jenggot
kebanggaannya, sedangkan bagi kami, para murid yang
baru masuk sekitar satu bulan, tahu bahwa gelagat
sensei yang semacam itu adalah pertanda jika beliau
tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Hmm, yah ...," ujar sensei dengan suara lemah,
dan sesudah mengambil kapur yang terpecah jadi dua
itu, beliau memberikannya pada Mafuyu. Akan tetapi,
saat Mafuyu mengambil kapur tersebut, jari-jarinya
jelas tampak gemetaran.

50
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

Pada akhirnya, Mafuyu menatap ke lantai dan


menggelengkan kepalanya. Ia lalu meletakkan kapur
itu pada tempatnya.
"Saya tidak mau menulis nama."
Setelah ia mengatakan hal tersebut, udara di dalam
kelas terasa seolah dialiri arus listrik. Tunggu, apa yang
sebenarnya dara muda itu katakan?
"Cuma nama saja harusnya tidak apa-apa, 'kan?"
kata goinkyo. Beliau berkata dengan nada rendah dan
pelan, namun jelas terlihat kebingungan yang beliau
tampakkan dari gerakan tangan di sekitar pahanya.
Saya tidak mau."
"Hmm .... Kenapa?"
"Saya tidak suka nama marga saya."
Efek perkataan Mafuyu terasa bagai sedang
menuangkan nitrogen cair pada ruang kelas yang sudah
membeku. Kusadari pula ekpresi Mafuyu sewaktu ia
menggigit bagian bawah bibirnya. Itu adalah ekspresi
yang sama seperti yang ditunjukkannya hari itu — hari
di mana kami pertama kali bertemu, ekspresi yang
ditunjukkannya ketika kami berpisah.
Tapi tentu saja, aku tidak berbicara sepatah kata
pun. Yang menjadi penyelamat kala itu adalah anak
perempuan yang duduk di kursi depan.
"Tidak apa-apa, Sensei. Kami semua sudah tahu
namanya, kok."
"Benar. Namanya Ebisawa Mafuyu, 'kan?"

51
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

"Yak—"
Suasana kelas berubah jadi begitu aneh. Bisik-bisik
seperti, "Bukankah ia pianis yang itu ...," dan "Aku
pernah melihatnya di iklan", saling bersahutan.
Kusadari kaki ramping Mafuyu sedikit gemetar akibat
reaksi yang ditunjukkan teman sekelas kami. Mungkin
aku satu-satunya orang yang menyadari tanda bahaya
itu.
"Ah, hmm, kalau begitu ...," goinkyo melihat ke
arah Mafuyu, dan berkata dengan tenang. "Ebisawa-
san, apa ada yang ingin kamu sampaikan pada teman-
teman sekelasmu?"
Seorang gadis tiba-tiba mengangkat tangannya dan
bertanya. "Boleh tahu kapan kamu akan mengeluarkan
album berikutnya?"
Aku tidak begitu ingat namanya, tapi aku ingat
kalau gadis itu memang banyak bicara. Pertanyaan itu
adalah ujung tombak dari rentetan pertanyaan
berikutnya.
"Bukankah kamu pernah bilang akan belajar ke
Sekolah Musik?"
"Tidak ada lagi iklan baru yang menyertakanmu.
Kenapa begitu?"
Beberapa anak laki-laki yang masih bingung
tentang situasi ini bertanya. "Iklan apa?" "Itu, lo ...,
iklan asuransi. Masa tidak tahu?" "Oh, iklan itu. Aku

52
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

tahu." "Hmm? Yang benar?" Suasana ruang kelas tiba-


tiba menjadi ramai.
Mafuyu menatap langit-langit dengan pandangan
tegang, dan saat itulah ia tiba-tiba berkata dengan suara
nyaring dan melengking.
"Tolong lupakan semuanya."
Kesunyian yang meliputi ruang kelas tampak bagai
permukaan danau yang membeku.
Suara tegang Mafuyu terus bergema di ruang
kelas — sama seperti waktu itu.
"... aku akan menghilang di bulan Juni, jadi
kumohon, lupakan saja aku."
Tidak seorang pun berbicara setelah mendengar
Mafuyu berkata begitu, dan tidak seorang pun tahu
harus seperti apa lagi berkata-kata. Hal yang
menyelamatkan kami dari ketidaktahuan ini adalah
bunyi bel yang menandakan akhir homeroom.
"Ah, be-begitukah? Kalau begitu ..., Ebisawa-san,
silakan duduk di kursi yang ada di sana."
Goinkyo menunjuk ke belakang kelas. Saat aku
tersadar, kusadari kalau ternyata ada satu kursi kosong
di samping kiriku.
"Di sini yang menjabat ketua kelas adalah Terada-
san, jadi silakan bertanya padanya apa yang belum
kamu pahami."
Terada-san adalah anak yang pertama kali bertanya
pada Mafuyu. Goinkyo lalu menjepit daftar hadir dan

53
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

catatan pelajaran yang sudah terbundel di bawah


lengannya, dan dengan cepat berjalan keluar dari kelas.
Mafuyu lalu meneguk air liurnya dan sedikit
mengatur pernapasan. Sesekali ia meninjau ruang kelas
dengan pandangan tidak ramah dan penuh waspada,
sebelum melangkah turun dari podium pengajar tanpa
bersuara. Ruang kelas pun sunyi senyap. Semuanya
menatap pada setiap gerakannya saat ia berjalan di
antara deretan meja dan tempat duduk. Mungkinkah
Mafuyu memang akan menghilang andai kami sekejap
saja melepaskan pandangan darinya? Ah, itu
kedengarannya sangat bodoh — mustahil, namun
akhirnya aku tetap mengikuti perbuatan mereka.
Mungkin dikarenakan semua tatapan tersebut, hingga
Mafuyu sengaja menutupi wajahnya saat melewati
kursiku. Suara langkah kaki tiba-tiba berhenti di
sampingku—
"—ah!"
Ia menyadarinya. Mafuyu menunjuk ke arahku
dengan jarinya yang sedikit gemetar, dan berteriak
sambil terkejut. "Ke-ke-kenapa kamu ada di sini?"
Kulingkari kepalaku dengan kedua lengan, lalu
menempelkannya ke meja. Kusadari kalau semua anak
di kelas ini sedang memandangiku. Sudahlah, jangan
ganggu aku.
"Apa? Jadi kalian berdua saling kenal?" Chiaki
menatap Mafuyu, lalu menatapku. Aku menggelengkan

54
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

kepalaku berkali-kali, seakan hendak mengelap meja


dengan dahiku hingga bersih.
"Tidak, tidak, tidak, aku tidak kenal dengan anak
ini. Ia pasti salah orang."
Namun Mafuyu lalu berkata. "Kenapa kamu
berbohong?!"
"Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk
melupakanmu?"
"Nah, itu kamu ingat! Kamu ingat kalau aku yang
dulu memintamu untuk melupakanku!"
Ahhhh ..., aku tidak tahu lagi, deh.
"Hmm, makanya tadi kubilang kalau aku sudah
lupa semuanya. Lagi pula, kamu ini siapa?"
"Dasar pembohong!"
Kurasa percakapan kami tadi pasti terdengar sangat
bodoh. Obrolan antar teman sekelas kami pun menjadi
semakin keras, sementara tatap mata penasaran Chiaki
bahkan terasa lebih menusuk. Jam kedua adalah mata
pelajaran Sastra Lama yang paling kubenci, namun di
saat yang sama, sosok guru bahasa yang sudah tua itu
terlihat seperti sang penyelamat di mataku.

55
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

Meski aku mempertimbangkan wajah cantik jelita


dan status selebritinya, Mafuyu adalah tipe gadis yang
sengaja tidak ingin kudekati. Sejak hari kepindahannya
di sekolah ini, dirinya terus dikelilingi sekelompok
gadis yang ingin tahu dan ingin bertanya berbagai hal
padanya. Namun kadang, selain berkata, "Tidak tahu"
dan "Aku tidak mau jawab", ia sulit sekali memberi
jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut.
"Kenapa di saat yang kurang pas begini, ia malah
pindah ke sekolah ini?"
Saat istirahat makan siang, Chiaki menatap ke arah
kerumunan orang itu dan pelan-pelan bertanya.
"Padahal sekolah kita cuma SMA biasa, lalu ia
mengambil Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan.
Kenapa begitu, ya?"
Di sekolah ini, kami harus memilih antara Musik,
Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran seni
pilihan. Sejujurnya, rasanya agak aneh seorang pianis
tidak memilih bidang yang lebih ia kuasai.
"Kalau mau tahu, tanya langsung sama orangnya
sana."
Chiaki melambaikan tangannya dan berkata. "Aku
tidak bisa menerobos tembok manusia yang
mengelilinginya," ia lalu mengambil beberapa potong
makanan dari bento-ku dan memakannya dalam gigitan
besar. Akhir-akhir ini, aku menyiapkan lebih banyak

56
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

makanan di bento-ku, mengantisipasi kalau-kalau ia


mengambil sebagiannya.
"Terus, kapan dan di mana kamu bertemu
dengannya?"
"... di dalam mimpi?"
"Kamu mau kulempar ke UKS, ya?"
"Tidak, tidak. Duh, susah menjelaskannya."
"Masih ada banyak waktu sebelum istirahat makan
siang selesai, jadi kamu bisa menjelaskannya dari
awal," tatapan Chiaki menunjukkan tampang seolah
tidak ingin dibantah, walau kini ia sedang tersenyum.
Saat aku berusaha menghindari topik itu, tahu-tahu ia
sudah menghabiskan bento-ku dengan begitu cepatnya.
Mafuyu terus menunjukkan perilaku antisosial
selama pelajaran berlangsung tanpa sedikit pun ada
rasa peduli — ia tidak mencatat, dan buku pelajarannya
sering jatuh ke lantai. Meskipun statusnya masih murid
pindahan, tapi ada beberapa guru yang tidak
memberinya perlakuan khusus, dan segera memintanya
naik ke podium pengajar; namun ia bersikeras tetap
duduk di kursinya dengan menjawab, "Saya tidak
mau," jujur, kupikir sikapnya itu tampak begitu keren,
karena tidak mungkin aku mampu berbuat begitu meski
aku ada keinginan untuk melakukannya. Dari yang
Chiaki katakan padaku, yang ia lakukan saat pelajaran
Olahraga hanyalah duduk dan mengamati dari pinggir
lapangan.

57
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

Saat istirahat makan siang di hari kedua


kepindahannya ke sekolah ini, sepertinya Mafuyu
menganggap situasi yang dikelilingi gadis-gadis
penasaran itu membuatnya sedikit geregetan, dan
beberapa kali seolah meminta bantuanku dengan
menatap penuh harap pada diriku melalui celah tembok
manusia. Yah, aku tidak bisa membantunya meski ia
mengharapkannya.
Sebagian besar pertanyaan yang ditanyakan para
gadis itu adalah hal-hal tidak penting berupa, seperti
apa studio itu; selebriti mana yang ada di perusahaan
penyiaran, dan apakah ia kenal dengan mereka. Saat
aku akan memundurkan kursiku dan berlari menjauh
dari kerumunan tersebut, tiba-tiba kudengar
suara *bam*, yang menandakan ada seseorang yang
menggebrak meja. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu
berdiri di tengah kerumunan para gadis, dan
menunjukku melalui celah tembok manusia. Dia
berkata sambil berlinang air mata. "Tanya anak itu.
Maniak itu punya semua albumku, dan harusnya ia
tahu banyak tentangku."
Hah? Apa?
Mafuyu menendang jatuh kursinya, dan berlari
melewatiku lalu keluar dari ruang kelas dalam sekejap.
Tatapan yang tidak terhitung jumlahnya terarah
padaku, dan Ketua Kelas Terada-san yang pertama
bicara.

58
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

"... apa hubungan antara maniak ini dengan


Ebisawa-san?" kenapa aku dipanggil maniak?!
"Dari percakapanmu dengannya, kedengaran seperti
kamu sudah mengenalnya."
"Ya, ya."
Gadis sialan, ia benar-benar mengatakan hal yang
tidak bertanggung jawab cuma untuk melarikan diri
dari mereka ....
Seorang anak lelaki berkata. "Anak pesolek ini
mungkin tahu, karena ayahnya kritikus musik."
"Musik klasik, ya ...."
"Jadi kamu sudah mengenalnya?"
"Ayahmu pasti tahu banyak tentangnya, 'kan?"
"Tanyakan beberapa pertanyaan saat kamu pulang
nanti! Seperti alasan Ebisawa-san memilih belajar di
sekolah ini. Ebisawa-san menolak bicara apa pun
mengenai dirinya."
Mana mungkin aku tahu soal yang begitu. Iya,
'kan? Mereka pikir dunia musik klasik itu kecil? Meski
aku jadi kepikiran, dengan ambigu, kuanggukan saja
kepalaku agar bisa kabur dari situ.
Padahal sudah diperlakukan dingin begitu, namun
ia masih saja ingin berbicara pada Mafuyu. Apa ketua
kelas memang bermaksud ingin berusaha agar Mafuyu
dapat bergaul dengan seisi kelas, atau itu karena
kesabaran tingkat tingginya yang lahir dari sebuah rasa

59
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

ingin tahu? Aku tidak tahu, deh. Mungkin sebagian


kecil dari keduanya.


Hari itu, sekembalinya ke rumah, akhirnya kusadari
betapa kecil dunia ini sesungguhnya.
"Tetsurou, kamu masih ingat Ebisawa Mafuyu?"
Kutanyakan hal itu pada ayahku sewaktu aku
mempersiapkan makan malam, yang kala itu juga
berada di ruang makan. Aku sudah lupa sejak kapan
aku mulai memanggil ayahku dengan nama depannya
— apa mungkin sesaat setelah ibuku pergi dari rumah?
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa lagi
menganggapnya sebagai seorang ayah setelah kejadian
itu.
Tetsurou duduk jongkok di atas kursi dengan
mengenakan jersey-nya. Beliau menggunakan
mangkok dan sumpitnya untuk bermain drum dengan
irama waltzgubahan Tcaikovsky, yang terdengar
nyaring lewat pengeras suara. Beliau terus
meneriakkan. "Makan malamnya belum siap?"
memangnya seperti itukah pria berumur empat puluh
tahunan — yang juga telah memiliki anak lelaki —
berperilaku?

60
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

Tetsurou menoleh, tapi tangannya masih bermain


drum dengan mangkok. Kemarahan yang tiba-tiba,
mulai berkembang dalam diriku. Aku merebut
sumpitnya, lalu mematikan pengeras suara. Yang
dilakukan Tetsurou cuma merengut seperti anak kecil.
"Aku tanya, apa kamu masih ingat orang yang
bernama Ebisawa Mafuyu?"
"Hmm? Ya, aku ingat. Ebisawa Mafuyu, ya, Bach
masih yang paling cocok untuknya. Ada beberapa
bagian yang tidak mengalir dengan lembut di dekat
semua partita-nya, tapi di situlah letak pesonanya.
Terkadang, muncul beberapa anak muda yang bisa
memainkan musik Bach dengan sangat baik.
Contohnya ...."
"Cukup, aku tidak mau dengar pandanganmu
mengenai hal itu."
Lupakan saja, deh. Di mata Tetsurou, gadis itu
mungkin cuma salah satu dari sekian banyak pianis
yang ada, jadi bisa dimaklumi kalau beliau hanya
bicara hal-hal mengenai musik saja. Saat aku akan
berjalan kembali ke dapur sambil memikirkan hal
tersebut, Tetsurou lanjut berbicara.
"Tapi Ayah dengar kalau ia pindah ke sekolahmu,
ya?"
"Tahu dari mana? "
Aku berbalik karena terkejut, dan hampir terjatuh
setelah tidak sengaja menendang pot.

61
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

"Ebichiri dan Ayah dulunya pernah jadi teman


sekelas di sekolahmu. Karena Ebichiri adalah direktur
di sekolah itu, sudah pasti ia akan memaksa anaknya
untuk belajar di sana."
"Ah ..., benar juga, gadis itu kan putrinya."
Ebisawa Chisato — atau lebih sering dipanggil
Ebichiri — adalah salah satu dari sedikit konduktor
terkenal. Ia pernah mengabdikan penuh dirinya untuk
Orkestra Simfoni Boston dan Chicago, dan ia juga
merupakan salah satu musisi terkenal dunia. Kebetulan,
Tetsurou-lah yang memberinya nama panggilan
tersebut —kritikus memang orang-orang mengerikan.
Salah satu topik yang sering diperbincangkan
ketika Mafuyu memulai debut adalah; ternyata ia anak
dari 'Ebichiri yang namanya dikenal di seluruh dunia'.
Pasti ada beberapa orang yang ingin coba
memasangkan ayah dan anak tersebut untuk tampil
dalam satu panggung, namun Mafuyu lebih dulu
menghilang dari dunia musik sebelum hal itu menjadi
kenyataan.
"Masalahnya, sekolah kami tidak lagi punya Musik
sebagai mata pelajaran utama, kok ia masih mau saja
pindah ke sekolah itu?"
"Ayah dengar itu karena putrinya yang terus-
menerus mengeluh. Padahal sudah dipastikan kalau ia
akan dimasukkan ke Sekolah Musik, tapi putrinya
bilang kalau ia tidak mau. Ebichiri tidak punya pilihan
selain mengizinkannya belajar di SMA biasa, makanya

62
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

gadis tersebut pindah ke sekolahmu. Ia tidak lagi


bermain piano, 'kan? Saat pertama kali mendengar
permainan pianonya, Ayah merasa kalau ia salah satu
tipe pianis yang bersifat merusak. Melodi balasannya
terdengar seperti pertengkaran antar anggota keluarga."
Hmm? Tapi ....
Hari itu aku mendengarnya bermain piano saat di
<Toko Swalayan Keinginan Hati>.
Jadi ia ... tidak lagi bermain piano? Kenapa?
"Oi, makan malamnya belum siap?"
"Makan malamnya~belum~siap?" Tetsurou mulai
menyanyikan kata-kata itu dengan nada pada bagian
<Engkau tidak 'kan pergi lagi> dari <Pernikahan
Figaro>. Berisik, tahu. Kunyah saja rekaman atau
apalah sana!
Kalau ia benar-benar meninggalkan piano karena
suatu alasan, dan akhirnya memilih belajar di sekolah
kami daripada di Sekolah Musik, maka masuk akal jika
ia pindah di waktu yang kurang pas begini. Meski
begitu, kenapa ia sampai meninggalkan piano?
Aku menggelengkan kepalaku dan tidak ingin lebih
jauh memikirkan hal tersebut. Kalau anak-anak di
kelasku mendengar hal yang barusan dikatakan ayahku,
mereka mungkin akan berpikir kalau aku memang
banyak tahu tentang Mafuyu. Kami cuma teman
sekelas yang duduk bersebelahan, dan tampaknya ia
memiliki sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh orang

63
Bab 3: Kebohongan, Bento, Partita

lain. Karena tidak mungkin ia mengganggu hidupku


atas kemauannya sendiri, satu-satunya yang bisa
kulakukan hanyalah mengabaikannya saja. Iya, 'kan?
Tapi tetap saja, Mafuyu datang mengganggu
hidupku di hari berikutnya—
—dengan cara yang sama sekali tidak terduga.

64
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

Saat jam pelajaran berakhir, Mafuyu langsung


menghilang dari ruang kelas. Sejak kepindahannya
kemari, keberadaan dirinya sepulang sekolah telah
menjadi misteri terbesar Kelas 1-3.
"Sepatunya masih ada di rak, jadi kurasa ia tidak
langsung pulang ke rumah."
"Ketua, kemarin kamu pulang jam berapa?"
"Hmm— sekitar jam lima."
"Aku sempat melihat Mafuyu di dekat ruang guru."
Homeroom akan segera dimulai, tapi keberadaan
Mafuyu masih belum terlihat. Sekelompok anak
perempuan sudah berkumpul di sekitar mejanya —
yang berada di sebelahku — dan saling bertukar
informasi hanya untuk kalangan mereka sendiri.
Berhentilah mencampuri urusan orang lain!
"Kupikir ia suka menggambar karena memilih Seni
Rupa sebagai mata pelajaran pilihan, jadi aku coba
mengajaknya untuk bergabung ke Klub Seni .... Tapi ia
kabur setelah mengatakan hal aneh padaku. Apa-apaan
itu?!"
"Omong-omong, anak itu tidak melakukan apa-apa
selama jam pelajaran, 'kan? Yang dilakukannya cuma
membuka buku gambar dan meletakkannya begitu
saja! Apa ada yang salah dengan otaknya?"

65
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

"Harusnya ia memilih Musik saja. Ia juga sudah


sering membuat masalah bagi para guru, 'kan?"
Semua penilaian tentang Mafuyu semakin merosot
tajam sejalan dengan berlanjutnya pembicaraan
mereka, walau hal demikian itu sudah bisa ditebak.
"Maniak, apa ada yang kamu tahu tentangnya?"
Tiba-tiba aku dilibatkan dalam pembicaraan
mereka.
"Bisa tidak, kalian tidak memanggilku dengan
sebutan itu ...."
"Bagaimana kalau Kritikus Ekslusif Mafuyu?"
"Wah, kedengarannya seperti penguntit."
"Aku juga tidak mau dipanggil begitu."
"Terus bagaimana kalau keduanya digabung,
jadi, Kritikus Maniak?"
"Jangan seenaknya menggabung-gabungkan kata!"
berkat fitnah Mafuyu yang tidak berdasar itu, aku pun
menjalani masa suram dalam hidupku. "Kami cuma
satu kali bertemu, itu pun sebelum masuk SMA, jadi
aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya."
Kenapa mereka malah menatapku dengan
pandangan tidak percaya?!
Bel mulai berbunyi, tapi Mafuyu masih belum
masuk ke kelas, dan seperti biasanya, Chiaki juga
belum datang. Sepertinya, setiap pagi ia berlatih
bermain drum di suatu tempat. Keuntungan menjadi
seorang penabuh drum adalah bisa berlatih hampir di

66
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

mana saja, asal punya sepasang stik drum, sebuah


metronom dan sekumpulan majalah tua.
Bel pun berhenti berbunyi, tapi di saat sensei
hendak menutup buku hadir, pintu belakang kelas tiba-
tiba terbuka.
"Masih sempat! Aku masih sempat, 'kan?" teriak
Chiaki sambil berlari masuk ke kelas. Tanpa alasan
yang jelas, ia menarik Mafuyu bersamanya. Mafuyu
yang terdiam menunjukkan wajah kesal, dan berusaha
melepas genggaman tangan Chiaki yang
mencengkeramnya.
Guru kami sebetulnya orang yang baik, pada
mereka berdua beliau berkata. "Saya tidak akan anggap
kalian telat, segeralah duduk di kursi kalian masing-
masing," kalau cuma Chiaki saja yang telat, sensei
mungkin tidak akan ragu mencap telat pada daftar
hadirnya.
"Maaf, pinjami catatanmu sebentar. Akan kusalin
dengan cepat."
Chiaki merebut buku catatanku sesudahnya ia
duduk.
Kutatap punggungnya saat ia menyalin catatanku
dengan menggebu-gebu, lalu kutanyakan dengan suara
pelan. "Kalian berdua dari mana?"
"Aku berlatih di koridor lantai tiga, lalu kulihat ada
Mafuyu. Sepertinya ia tersesat."

67
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

"Aku tidak tersesat ...," gumam Mafuyu. Aku diam-


diam menatap sekilas ke arahnya — ia tampak sedikit
marah, wajahnya pun agak memerah. Apa artinya ...
gadis ini ternyata buta arah? Sekolah ini memang
cukup luas, tapi tetap saja aneh jika tersesat saat
menuju kelas sendiri. Iya, 'kan?
"Aku mengambil jalan memutar menuju ruang
musik, dan saat aku kembali ...."
"Baik, pelajarannya akan dimulai, jadi berhenti
dulu mengobrolnya," tegur sensei, dan teman sekelas
kami pun menahan tawanya.
Ruang musik? Untuk apa ke sana? Kebimbanganku
tidak bertahan lama, karena sensei memintaku
menjawab pertanyaan yang ada di PR kami. Maka dari
itu, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah fokus
mengambil kembali buku catatanku dari Chiaki.


Seperti biasa, saat sekolah usai, aku menghidar dari
upaya Chiaki yang memaksaku untuk bergabung ke
klubnya. Aku berjalan turun ke perpustakaan untuk
mengembalikan buku yang kupinjam, lalu menuju ke
arah ruang kelas tidak terpakai yang ada di belakang
gedung utama sekolah. Saat berbelok melewati pojok
gedung — yang cerobong asap pembakarannya terlihat

68
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

jelas — suara gitar listrik yang teredam terdengar


sampai ke telingaku.
Suara itu berasal dari ruang kelas yang selama ini
kugunakan. Mendadak terlintas di pikiranku: Apa aku
meninggalkan ruangan itu dalam keadaan CD masih
diputar? Sial! Tapi saat kudekati pintu dan
mendengarkannya baik-baik, kusadari kalau ternyata
aku salah sangka. Dari dalam ruang kelas, terdengar
nada yang belum pernah kudengar sebelumnya, tapi di
saat bersamaan, melodi itu sungguh tidak asing bagiku.
<Rapsodi Orang Hongaria No. 2> gubahan Liszt.
Sebuah permainan solo piano yang sangat sulit.
Selama friska yang memanjakan telinga, nadanya
dibarengi dengan not-not yang dimainkan berulang-
ulang pada kecepatan tinggi; terlebih, yang
kudengarkan adalah versi gitarnya. Apa-apaan ini? Aku
tidak punya CD yang sehebat itu .... Eh, tunggu, ini
dimainkan secara langsung — berarti saat ini ada
seseorang yang memainkannya dengan gitar listrik
yang terpasang pada amplifier yang sudah
kumodifikasi.
Aku hanya bisa merinding. Tidak mungkin nada
seperti itu dimainkan seorang diri, meski ia punya
empat tangan sekalipun. Akan tetapi, melodi yang
masuk ke telingaku ini jelas-jelas berasal dari satu
gitar. Jadi, siapa yang memainkannya ...?
Kuraih gagang pintu.

69
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

Saat itu, ingatan tentang piano besar yang terkubur


dalam tempat pembuangan muncul kembali di
ingatanku.
Kudorong gagangnya turun secara diagonal, dan
memutarnya di saat yang bersamaan. *Kacha* —
bunyi logam yang teredam pun terdengar, dan aku bisa
merasakan sensasi kunci yang terlepas itu melalui
tanganku ini. Saat aku membuka pintu, musik itu
berhenti dengan suara berdecit.
Mafuyu duduk di meja panjang dan menatapku
dengan ekpresi terkejut. Gitar pernisan miliknya
hampir jatuh dari pahanya. Kurasa ekspresiku saat itu
hampir serupa dengan ekspresinya.
Kenapa bisa — Mafuyu ada di sini? Di ruang
kelasku (yang kugunakan tanpa izin), sambil
memegang sebuah gitar? Apa yang sebenarnya sedang
terjadi di sini? Kapan dan bagaimana mimpi ini
dimulai? Mungkinkah, semua yang terjadi sejak
pertemuanku dengannya saat libur musim semi
hanyalah sebuah mimpi—
"... kenapa?"
Mafuyu mulai tersadar sedikit lebih cepat dan
duluan bicara. Aku pun sedikit mundur ke belakang
karena kaget.
"Eh? Ah, tidak .... Tunggu, hentikan, bisa mati aku
kalau kamu hantam dengan gitarmu itu!"

70
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

Wajah mafuyu sudah memerah. Sambil


mengejarku, ia ayunkan Statocaster miliknya yang
agak berat itu ke arahku. Kubanting pintu saat
menutupnya agar bisa kabur dari Mafuyu.
"... kenapa kamu ada di sini? Dasar Maniak!
Penguntit!"
Jeritan Mafuyu terdengar dari celah pintu. Tunggu,
seharusnya akulah yang menanyakan pertanyaan itu!
"Sejak awal, ruang kelas ini memang sudah
kupergunakan, jadi kenapa kamu malah masuk
seenaknya?" yah, walau aku juga menggunakannya
tanpa izin ....
"Aku ..., aku sudah dapat izin dari Mukoujima-
sensei."
"Hah?"
Mukoujima Maki-sensei, meski kadang ada yang
memanggilnya Maki-chan. Beliau guru Musik yang
masih muda dan dianggap mudah bergaul sekaligus
tegas di saat bersamaan. Begitu rupanya, jadi itu
sebabnya Mafuyu beralasan pergi ke ruang musik pagi
tadi? Eh, tunggu, kenapa ia diizinkan menggunakan
ruang kelas ini? Itu berarti, kalau aku meminta izin
pada guru, apa aku juga boleh menggunakan ruang
kelas ini?
"Cepat enyah dari sini!"
Itulah yang dikatakannya, padahal aku sudah
memindahkan setumpuk besar CD-ku, melengkapi

71
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

komponen amplifier, bahkan mempersiapkan beberapa


alas duduk — sudah kuhabiskan banyak tenaga untuk
membuat ruang kelas ini agar menjadi senyaman
mungkin! Meski ia ingin aku enyah dari sini, jangan
harap aku akan berkata, Baiklah kalau begitu. Lalu
pergi sesuai perintahnya!
"... eh, apa-apaan itu? Bisa-bisanya sensei ...."
Ia tidak menjawab. Yang terdengar justru suara
seperti kuku raksasa yang sedang mencakar tembok —
ternyata itu suara feedback dari gitar listrik. Cepat
hentikan, kalau tidak amplifier-nya bisa rusak!

Yang bisa kulakukan cuma mendesah dan menjauh dari


pintu ruang kelas.


Kembali ke gedung sekolah, gelombang kemarahan
dalam diriku bergejolak saat berjalan menyusuri
koridor. Tempat itu adalah daerah kekuasaanku — ia
datang belakangan, tapi ia sudah ada di sana sambil
duduk dengan santainya. Mana bisa aku terima? Kalau
begitu, aku mau protes sama Maki-sensei. Tapi entah
kenapa, kemarahanku mereda saat kudekati pintu ruang
persiapan musik. Sebuah poster Ohtsuki Kenji
ditempel di pintu geser — mungkinkah sensei adalah
penggemar band rock Kinniku Shoujo Tai? Terus, apa

72
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

tidak jadi masalah bagi beliau jika terang-terangan


menempel poster semacam itu di pintu masuk ruang
guru?
Aku beradu tatap dengan Ohtsuki Kenji saat
berusaha menenangkan diri. Bisa kudengar samar-
samar melodi santai dari latihan sebuah konser band di
ruang sebelah — sebuah musik latar dari game
simulasi <Take the 'A' train>.
Tidak peduli ia mau bilang apa, ia juga
menggunakan ruang kelas tanpa izin — kalau aku
protes pada sensei, nanti aku bisa kena masalah.

Hmm, meskipun begitu, kalau ia mau supaya aku


menyerah begitu, yah—
"Ya? Apa kamu mencariku?"
Aku melompat kaget, bersamaan dengan suara yang
mendadak muncul dari belakangku, keningku pun
membentur wajah Ohtsuki Kenji. Aku menoleh ke
belakang, dan melihat Maki-sensei sudah berdiri di
belakangku sambil sedikit tersenyum. Beliau
mengenakan blus putih dipadu dengan rok mini, dan
karena beliau begitu cocok dengan pakaian semacam
itu, para murid diam-diam menjulukinya Guru Erotis.
Beliaulah alasan kenapa murid kelas satu khususnya
lelaki yang memilih Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai
mata pelajaran pilihan, menjalani hidupnya dengan
penyesalan. Meski begitu, seusai mengikuti pelajaran
beliau, justru murid lelaki yang memilih Musik sebagai

73
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

mata pelajaran pilihanlah yang akhirnya lebih


menyesal.
"Eh? Ah, bukan apa-apa."
"Jangan khawatir, masuk saja. Aku juga sedang
ingin minum teh. Mau temani?"
Dengan itu, beliau pun menyeretku masuk ke ruang
persiapan.
Ruang persiapan musik hanya berukuran setengah
dari ruang kelas biasa. Karena ada sebuah rak yang
dipenuhi lembaran not musik serta sebuah piano biasa,
tempat ini pun jadi cukup sesak.
"Oh, ada air panas di teko, terus kantung tehnya ada
di laci. Lalu, potong kue madunya sekalian, ya."
Jadi aku semua yang mengerjakan?
"Ah, tehnya satu cangkir saja, lalu potong kuenya
jadi tiga bagian."
"Eh? Sensei tidak minum?"
"Kamu ini bicara apa? Teh itu jelas untukku. Tidak
ada yang bilang kalau itu untuk dirimu."
Yah, aku harus berkata apa lagi?
"Kalau kamu sebegitunya mau minum teh, hisap
saja ampas kantung tehnya. Kubolehkan, kok."
Tidak, terima kasih. Ah, aku pulang saja, deh ....
Sensei lalu menepuk punggungku dan berkata kalau
itu cuma lelucon. Aku akhirnya bisa duduk di kursi

74
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

setelah menyiapkan dua porsi teh dan kue. Tepat saat


itu, sensei tiba-tiba berkata.
"Kamu kemari mau membahas soal ruang musik di
gedung itu, 'kan?"
Aku hampir menyemburkan teh yang baru
kuseruput.
"Ba-bagaimana Sensei bisa tahu?"
"Wah, kamu ini. Aku sudah tahu semuanya, kok.
Contohnya tentang kamu yang telah menggunakan
ruang kelas tanpa izin selama dua minggu; bagaimana
kamu memodifikasi pemutar CD agar bisa
dihubungkan ke perangkat audio luar; atau tentang
kamu yang telah memperbaiki kabel penerima radio ...,
juga tentang alas duduk di sana, yang sangat nyaman
ketika diduduki ...."
"Ahh ....!"
Aku jadi berpikir apa aku seharusnya bersembunyi
saja di bawah meja atau semacamnya. Tunggu dulu,
kalau aku melakukannya, bisa-bisa nanti aku dibantai.
"Tapi karena kamu membersihkan tempat itu
dengan begitu teliti, aku pura-pura saja tidak
melihatnya. Lagi pula, cuma aku saja satu-satunya
orang yang tahu."
"Maaf, maaf, saya tidak akan melakukannya lagi."
"Karena Mafuyu-chan bisa langsung
mempergunakannya, jadi rasanya itu kebetulan sekali."

75
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

76
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

Kulepaskan kedua tangan yang melindungi


kepalaku, lalu menatap wajah sensei.
Beliau lalu berkata sambil tertawa. "Kamu mau
protes tentang hal itu, 'kan?"
"Tidak .... Lagi pula saya tidak dalam posisi mau
protes, kok."
"Tidak masalah bagiku kalau kamu juga mau
menggunakannya. Asalkan Mafuyu-chan sudah
memberi izin khusus padamu, aku tidak akan
keberatan. Kalian berdua mestinya saling mencoba
akrab satu sama lain."
"Tidak, sepertinya itu mustahil."
Bicara soal itu, aku benar-benar bingung mengenai
situasinya.
"Jangan-jangan, Sensei dan Mafuyu sudah saling
kenal, ya?"
"Ya. Aku dulu pernah jadi murid ayahnya, dan
dulu aku sering sekali bermain bersama Mafuyu-chan."
Ekspresi sensei tampak sedikit kesepian.
"Sedangkan Mafuyu-chan ..., ada sesuatu yang
telah terjadi, hingga akhirnya ia pindah ke sekolah ini.
Ia bilang padaku kalau menginginkan sebuah ruangan
yang bisa ia gunakan sendiri. Itu memang permintaan
egois dari seorang putri kepala sekolah, tapi karena ia
tidak membuat masalah bagi siapa pun, jadinya ...."
"Oh, begitu ...," jadi para guru diam-diam sudah
menyetujuinya.

77
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

"Jadi, kamu juga bisa menggunakan ruang tersebut,


itupun kalau kamu mau berbagi dengan Mafuyu-chan."
Jadi pada akhirnya, akulah yang diusir keluar!
"Tapi, kenapa ia memainkan gitar? Saya dengar ia
tidak lagi bermain piano, apa itu benar? Ia sebenarnya
mau masuk ke Sekolah Musik, 'kan? Lalu kenapa ia
malah pindah ke sekolah ini?"
"Aku tidak bisa mengatakannya ...," ekspresi sensei
segera berubah jadi serius. "... lagi pula, ia sendiri tidak
ingin ada orang lain yang tahu. Sejujurnya ...,
menurutku akan lebih baik kalau ia tidak melakukan
hal itu, namun pada akhirnya, keputusan tetap ada di
tangan Mafuyu-chan sendiri."
Aku tidak mengerti sedikit pun tentang yang
sedang sensei bahas di sini, dan Mafuyu juga tidak
menjelaskan apa pun padaku.
Karenanya, masalah terbesar bagiku saat ini adalah
tentang apa yang harus kulakukan dengan ruang kelas
tersebut. Kalau masalahnya adalah pihak sekolah tahu
kalau aku menggunakan ruang kelas itu tanpa izin, lalu
dengan keras melarangku untuk mempergunakannya
lagi, maka aku dengan ikhlas merelakannya. Akan
tetapi, kalau aku harus duduk di samping Mafuyu
sambil mendengarkan CD-ku sementara ia bermain
gitar, biar bagaimanapun caranya, jelas tidak mungkin
bisa aku melakukannya!

78
Bab 4: Stratocaster, Teh Merah

"Kenapa kamu tidak mencoba bicara padanya?


Siapa tahu kalian bisa saling berbagi ruang kelas
bersama. Iya, 'kan?"
"Saya sudah coba bicara, tapi ia malah berusaha
membunuh saya dengan hantaman gitarnya."
"Kamu itu terlalu cepat menyerah! Pemuda macam
apa itu?"
Seusai rentetan omelan yang tiba-tiba dari Maki-
sensei, akhirnya aku pun diizinkan meninggalkan ruang
persiapan musik.

79
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

Sejujurnya, ada yang tidak sempat kuberitahukan


kepada Mafuyu — sebuah persoalan besar yang ada di
ruang kelas itu, yaitu celah di sekitar pintu. Peredam
suara di ruang kelas tersebut tidaklah sempurna, jadi
suara masih akan terdengar keluar dari ruangan.
Karenanya, beberapa hari kemudian, sebuah rumor
tentang permainan mengagumkan dari gitar solo yang
bisa terdengar dari lapangan seusai jam pelajaran pun
menyebar ke seluruh sekolah.
"Lagu yang mana? Apa itu <Charari ~Susu Keluar
Dari Hidung~>?"
"Aku juga pernah mendengarnya. Kepalaku pun
jadi pusing kalau lama-lama mendengarnya."
Sebenarnya itu <Toccata dan Fugue di D minor,
BWV 565> gubahan Bach. Anak itu memang benar-
benar menyukai Bach, ya? Homeroom masih belum
dimulai, jadi dengan setengah hati kudengarkan saja
gosip pagi yang disebarkan para gadis, selagi aku
mengingat-ingat lagu yang Mafuyu mainkan kala itu.
"Kemarin ia juga memainkan <Perpisahan>.
Permainannya begitu cepat. Pada awalnya aku tidak
tahu lagu apa itu."
"Ah, jadi itu <Perpisahan>?"
Aku juga sudah pernah mendengar <Perpisahan>
dalam versi gitar. Awalnya Chopin menggubah lagu itu

80
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

untuk dimainkan dalam tempo yang cepat — kira-kira


empat kali lebih cepat dari tafsiran sekarang — jadi
dalam artian tertentu, permainan Mafuyu itu
sesungguhnya adalah versi yang benar. Aku ingin
mengatakan itu, tapi semuanya pasti akan
menjulukiku kritikus maniak atau penguntit, makanya
aku memilih tetap diam. Tunggu, ada apa ini? Apa gen
kritikus dari Tetsurou melakukan sesuatu yang aneh
pada tubuhku? Cepat hentikan!
Guru kami membuka pintu kelas sebelum bel
sekolah selesai berbunyi, yang kemudian diikuti
Mafuyu dari belakang. Seluruh kelas tiba-tiba
tenggelam dalam kesunyian. Semuanya saling bertukar
pandang sejenak sebelum kembali ke kursi masing-
masing, seolah tidak sedang terjadi apa-apa — satu-
satunya yang tidak sadar dengan situasi ini adalah
perempuan itu sendiri. Meski begitu, tampaknya
Mafuyu sempat merasa kalau ada sesuatu yang sedang
terjadi. Saat ia berjalan menuju kursinya, ia menatap
semuanya dengan pandangan bingung.
"Pulang sekolah nanti, mau coba
mendengarkannya, tidak?"
"Kalau begitu, nanti kucoba mendengarnya
sebelum kegiatan klub dimulai—"
Kudengarkan orang-orang yang berbisik demikian
dan menyadari ada beberapa anak lelaki yang melirik
Mafuyu sambil menyeringai lebar. Belum ada
seminggu Mafuyu pindah ke sekolah ini, tapi jumlah

81
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

gadis yang berniat mengobrol dengannya sudah turun


hingga mendekati nol — ia mungkin diperlakukan
sebagai makhluk langka oleh semua orang.
Akan tetapi, hal itu juga jadi masalah buatku.
Tempat itu sebenarnya ruang istirahatku, dan sekarang,
sudah ditempati oleh orang lain. Sepertinya aku harus
merebut kembali ruang kelas itu dari tangan Mafuyu.


Aku menemukan sebuah cara yang sangat licik
untuk mengunci diriku sendiri di ruang itu dan
membuat Mafuyu tidak bisa masuk ke dalamnya. Saat
jam pelajaran Matematika — yang merupakan jam
keenam di hari itu — berakhir, segera kuambil tasku
lalu berlari keluar kelas seusai membungkuk tanda
berpisah kepada guru.
Akan tetapi, aku tercengang sesampainya di
kompleks bangunan musik tua yang ada di belakang
gedung. Di sana sudah tergantung gembok yang
mengunci pintu ruang kelas. Sial, berani-beraninya ia
melakukan ini pada ruangan (yang kuakui) milikku ini!
Saat menatap gembok yang ada di depanku, aku
jadi ingat penjepit kertas dan obeng yang kusimpan
dalam tasku. Jangan remehkan kemampuan yang
kudapat dari memodifikasi sistem audio semenjak

82
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

kecil, ya — hanya butuh seutas kawat panjang dan tipis


untuk bisa membuka gembok murahan ini. Tunggu, ini
bisa dianggap tindak kejahatan, 'kan? Bicara soal itu,
bisa-bisa aku game over kalau terlihat sedang berusaha
membuka gembok ini. Akan tetapi, kalau aku
melakukannya dengan cepat, mungkin ini bisa selesai
kurang dari satu menit ....
"Sedang apa kamu?"
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku.
Aku hampir saja melompat setinggi tiga meter karena
ketakutan. Saat aku menoleh—
Ternyata itu Mafuyu. Ia benar-benar marah, dan
rambut merah tuanya terlihat seolah berdiri di atas
kepalanya.
"Dasar kriminal, kamu pasti berniat mencongkel
gemboknya, 'kan? Tolong jangan pernah lagi dekat-
dekat denganku."
Memang mestinya begitu, tapi atas dasar apa ia
punya hak membentakku?
"Kenapa kamu selalu saja mengikutiku?"
Lancang sekali. Jadi ia juga memperlakukanku
seperti seorang penguntit? Menguntit itu tindak
kejahatan, tahu! Dan aku bisa kena masalah kalau ia
benar-benar menuntutku. Tampaknya hidupku kini
berada dalam situasi yang buruk.

83
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

"Bukan begitu, asal kamu tahu ..., aku selalu


menggunakan ruang kelas ini sebelumnya,
dan amplifier itu juga aku yang memodifikasinya."
Aku menjelaskan sambil berusaha keras menahan
diri.
"Kamu sudah seenaknya menggunakan ruangan ini
tanpa izin!"
"Tapi Mukoujima-sensei juga sudah memberiku
izin untuk menggunakan ruang kelas ini ...,"
"Ini ruang untuk latihan, bukan tempat untukmu
bersantai dan menghabiskan waktu sambil
mendengarkan CD!"
Mafuyu mendorongku ke samping. Ia buka
gemboknya, masuk ke ruang kelas, lalu menutup
pintunya. Aku terdiam di tempat dan termenung selama
beberapa detik. Kemudian, tanpa pikir panjang, aku
menerobos masuk ke dalam, membuka paksa pintu
seolah berusaha menghancurkannya.
"Berhenti memperlakukanku layaknya orang bodoh
yang cuma bisa membuang waktu. Hidup itu memang
sekadar menghabiskan waktu sampai akhirnya mati."
"Terus, kenapa kamu tidak mati saja sana?"
Apa ia baru saja mengatakan hal yang amat kejam
padaku?
"Tidak boleh. Kalau aku mati, ibu dan adik
perempuanku akan sangat sedih," aku membiarkan
diriku mengucapkan omong-kosong.

84
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

"Aku sudah tahu, kok, kalau keluarga yang kamu


punya cuma seorang ayah tidak berguna," apa maksud
jawabannya itu? Sial, apa anak ini sudah membaca
artikel-artikelnya Tetsurou? Ayahku yang bodoh itu
selalu menyebut namaku dalam artikelnya. Misal: Cara
konduktor ini melakukan adagio sama lambatnya
seperti anakku ketika ia membuat salad kentang. Meski
begitu—
"Kuakui kalau ayahku memang tidak berguna, dan
terserah kalau kamu menganggapnya orang bodoh
kalau kamu memang suka. Akan tetapi, orang yang
akan merasa terganggu atas semua komentar tadi
adalah aku. Cepat minta maaf — terutama padaku!"
"Keberadaan kritikus itu sendiri yang mengganggu.
Mereka selalu saja menulis omong kosong."
Hei, hei, apa-apaan ini? Ekspresi Mafuyu
mendadak tegang, dan ia terlihat seolah hampir
menangis. Terus, kenapa di tempat begini aku malah
bertengkar dengannya?! Sewaktu memikirkannya, tensi
pikiranku langsung menurun.
"Padahal bukan mereka yang memainkan lagu-
lagunya. Yang mereka lakukan cuma
mendengarkannya dengan asal-asalan, lalu mulai
mengatakan omong kosong seperti yang barusan kamu
katakan."
"Eng, yah ...," tadi aku memang sempat
mengatakan omong kosong — aku sebenarnya mau
mengatakan itu, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kusadari

85
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

kalau itu cuma akan jadi balasan yang lemah.


Karenanya, aku cuma bisa menutup mulutku.
"... kalau cuma gitar. Aku juga bisa
memainkannya!"
Kata-kata itu tanpa sengaja keluar dari mulutku.
Walaupun itu bukan omong kosong.

Sebagai lelaki yang menikmati berbagai jenis musik


rock, aku pun dulunya bermain gitar; meski hal itu
kulakukan sewaktu musim panas saat kelas dua SMP
dulu. Waktu itu aku menemukan gitar klasik yang
sudah berdebu di gudang rumahku, yang kemudian
kugunakan untuk berlatih prelude <Stairway to
Heaven> dengan sungguh-sungguh.
Meski begitu, sudah lama aku tidak pernah
menyentuhnya.
Mafuyu menyipitkan mata dan tatapannya menjadi
dingin. Ekspresinya terlihat seolah berkata, Aku
bertaruh kalau tadi itu cuma omong kosongmu saja.
Tepat saat aku mau mengatakan hal lainnya,
Mafuyu tiba-tiba mengambil gitarnya yang tersandar di
dekat meja, lalu mencolokkannya pada amplifier. Ia
kemudian berjalan ke sisiku, dan secara paksa
memasangkan full-size headphone ke kepalaku.
"A-apa ...?"
"Jangan bergerak!"

86
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

Dengan lembut ia mengambil pick dengan kedua


jari dan memetik senar gitarnya. Tiba-tiba saja aku
terhanyut ke dalam alunan melodi. Di antara disonansi
yang kuat, not-not menurun yang kian berubah,
mengucur bagai air terjun yang mengalir dari puncak
tebing. Yang mengikutinya adalah
liukan arpeggio yang megah sekaligus menyeramkan,
seiring melodi halus yang diisi hentakan kaki
bersamaan dengan tarian — di mana keduanya
terangkat dari dasar lembah.
Itu adalah ..., <Etude Op. 10, No. 12> gubahan
Chopin.
Badai mulai berkecamuk dalam pikiranku, akan
tetapi, lagu itu pun disela paksa oleh cadenza yang
tiba-tiba.
Aku tercengang. Mafuyu melepas headphone-nya
dari kepalaku, lalu suara dari kehidupan nyata perlahan
merangkak masuk ke telingaku. Detak jantungku; suara
napasku; suara mesin dari jalanan di kejauhan; suara
sorakan tim bisbol sewaktu pemainnya berlari
ke base — segala suara yang kudengar tadi serasa tidak
nyata.
Mafuyu membungkuk dan menatapku, seolah ia
berkata, Apa permainan gitarmu terdengar seperti
ini? Kesunyian pun langsung meliputi.
"... dengan ini, apa kamu masih bisa bilang, Kalau
cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya, hah?"
Aku ingat kalau ia juga berdesah.

87
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

Aku sebenarnya ingin berkata, Berhenti


memperlakukanku layaknya orang bodoh, tapi aku
tidak bisa mengatakannya dengan tegas.
"Sudah kubilang. Pergi sana. Ini tempat untuk
latihan."
"Apa susahnya memainkan alat musik?" protesku.
"Jadi maksudmu, kalau aku membawa gitar ke sini, aku
juga bisa menggunakan ruang kelas ini, begitu?"
"Jangan meniruku kalau kamu tidak punya
kemampuan. Enyah sana!"
Sewaktu aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa,
Mafuyu mendorongku keluar dari ruangan.
Tidak lama setelah itu, lagu lain mengalir dari celah
di belakang pintu yang tertutup rapat. Itu adalah <Mars
Pemakaman> gubahan Chopin dari <Sonata Piano No.
2 di B♭ minor>. Ia sengaja ingin cari gara-gara, ya?
Eh, tunggu, ia tidak tahu kalau suaranya bisa terdengar
dari luar, 'kan?"
Sial.
Aku menekan telapak tanganku di pintu sambil
menundukkan kepala. Selama beberapa saat, kubiarkan
suara gitar Mafuyu meresap ke dalam tubuhku.
Perlahan lagu itu berubah menjadi perih yang tidak
tertahankan, namun aku sendiri justru tidak bisa
meninggalkan tempat itu.
Aku sempat berpikir — kenapa gitar?

88
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

Mestinya ia bermain piano saja dengan sepenuh


hati. Dengan begitu, aku bisa saja mendengarkannya
bermain piano sambil berlagak naif pada diriku
sendiri, Meski ia masih belia, tekniknya sungguh
brilian. Kenapa ia harus masuk ke duniaku? Hampir
semua lagu yang dimainkannya adalah komposisi
piano, 'kan? Lelucon macam apa itu?!
Jangan meniruku kalau kamu tidak punya
kemampuan.
Aku jadi teringat kembali kata-kata Mafuyu. Tidak
sengaja pundakku terturun, dan kulepaskan tanganku
dari pintu. Jika dibandingkan teknik tingkat tinggi
Mafuyu, tidak seorang pun bisa punya kemampuan
seperti itu yang bisa diterima oleh nalar, tidak peduli
siapa pun orangnya. Terutama bagiku, karena aku
sudah menyerah bermain gitar setelah tiga bulan
memainkannya.
Mau bagaimana lagi. Itu adalah ruang kelas yang
dulunya kupakai tanpa izin, soalnya tempat itu begitu
menggoda untuk dijadikan tempat buat mendengarkan
keras-keras CD favoritku tanpa perlu mengenakan full-
size headphone. Yah, sebenarnya cuma itu saja, sih.
Aku tidak akan merasa benar-benar kesusahan meski
tanpa ruang tersebut.
Tepat saat aku berbalik dan akan kembali ke
gedung utama—
"Shounen, kamu sudah menyerah?"
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku.

89
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

Aku melompat kaget dan segera menoleh ke


belakang. Yang terlihat di mataku adalah sosok
seorang gadis berseragam, yang setengah berlutut di
atas pintu — di atap bagian bawah ruang musik. Ia
memperlihatkan sesimpul seringai besar dan
menantang. Aku tidak bisa bergerak sedikit pun, dan
hanya bisa terpaku melihatnya.
... si-siapa itu?
Ia memiliki paras yang cantik, dengan sepasang
mata yang memberi tatapan tajam menakutkan. Ia
terlihat seperti kucing betina yang kabur dari
lingkungan terawat — layaknya yang ada di Mesir atau
pada keluarga bangsawan lain — yang
membesarkannya. Kulihat warna lencananya, dan
memastikan kalau ia adalah murid kelas dua.
"Apa kmau mau kabur dengan wajah putus asa
begitu, tepat setelah menerima pelajaran darinya?
Kamu bisa jadi bulan-bulanan sungguhan kalau begini,
kamu tahu?"
"Eng, yah ...," kakiku yang kaku akhirnya bisa
bergerak — aku lalu mundur sedikit "... apa yang
sedang kamu bicarakan?"
Gadis itu menggumamkan sebuah lagu. Itu adalah
<Born to Lose> karya Ray Charles.
"Terlahir untuk kalah. Tidakkah kamu merasa kalau
lagu ini diciptakan untukmu?"

90
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

"Kita semua memang terlahir untuk kalah.


Bukankah dari dulu sudah begitu?" eh, tunggu, kenapa
aku menjawabnya? Mestinya aku kabur saja.
Kelihatannya ini tidak bagus. Sebaiknya aku jangan
dekat-dekat dengan orang sepertinya.
Ia lalu tertawa dengan senangnya.
"Jadi, Shounen, sebenarnya kamu sudah cukup puas
dengan jawabanmu, 'kan? Aku jadi sedikit lega.
Kenapa tidak kamu keluarkan saja senjatamu? Padahal
negerimu sedang diporak-porandakan musuh."
*Duk-duk* Ia berbicara sambil mengetukkan
tumitnya pada pintu ruang latihan. Kenapa sampai
kubiarkan diriku dikritik begitu olehnya? Lagipula,
dirinya itu siapa?
"Mestinya tadi Mafuyu memainkan <Etude Op. 10,
No. 12> gubahan Chopin — <Etude Revolusioner> —
untukmu."
Ia mengatakannya dengan telunjuk teracung. Aku
mengangguk sambil bergumam, "Hmm ...," hingga aku
pun mendadak teringat sesuatu—
Padahal tadi aku mengenakan full-size headphone,
'kan? Bagaimana ia bisa tahu?
Senyum kejamnya itu bahkan bisa membuat seekor
gajah pingsan.
"Aku bisa mendengar semua lagu revolusi yang ada
di dunia ini."

91
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

92
Bab 5: Toccata, Gembok, Revolusi

Dengan lincah ia melompat turun dari atap, dan


rambut panjangnya yang dikepang ke belakang
mengambang di udara bagaikan bulu ekor hewan
keramat. Tanpa bersuara ia mendarat di antara diriku
dan pintu, lalu segera berdiri menegakkan badannya.
"Aku ingin menjadikan Mafuyu rekanku.
Karenanya, Shounen, aku butuh bantuanmu. Kumohon,
bantulah aku."
Tidak, hentikan. Aku sungguh tidak tahu apa yang
sedang ia bicarakan—
"Namaku Kagurazaka Kyouko."
Kagurazaka. Nama itu pernah kudengar di suatu
tempat sebelumnya. Aku pun mulai menelusuri
ingatanku.
Oh, iya, Chiaki pernah menyebut nama itu padaku
sebelumnya.
Kagurazaka-senpai lalu mengulurkan tangannya
padaku.
"Klub Riset Musik Rakyat mengajakmu bergabung
menjadi anggota."

93
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

"Jadi katamu, kamu berpapasan dengan


Kagurazaka-senpai?"
Di pagi yang baru, di dalam ruang kelas, Chiaki
memandang wajahku sambil menanyakan hal itu.
"Begitu, deh," jawabku dengan nada kesal. "Meski
rasanya lebih tepat kalau dia yang menungguku
daripada dibilang berpapasan."
"Terus ..., kamu jadi bergabung dengan klub?"
"Kenapa kamu pikir aku mau bergabung?!"
"Karena senpai itu ... orang yang pasti akan
mendapatkan apa saja yang diinginkannya."
Kagurazaka-senpai mengatakan hal yang sama
menakutkannya padaku sewaktu di lapangan kemarin.
Di depan ruang latihan, sambil jarinya menunjuk
padaku, ia berkata, Kalau itu memang sesuatu yang
kuinginkan, apa saja akan kulakukan untuk
mendapatkannya, baik dengan cara jujur ataupun
curang. Tidak peduli apa itu Ebisawa Mafuyu, ruangan
ini, ataupun dirimu.
Setelah ia mengatakan hal itu padaku, barisan
sonata lagu berkabung gubahan Chopin terdengar dari
ruang latihan, dan kebetulan berada tepat pada bagian
akhir di mana angin topan mengamuk di pemakaman
— untuk sesaat, aku merasa seperti akan mati.

94
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

Berhenti mengingatkanku akan hal-hal


menakutkan! Meski sudah berusaha melupakannya,
Chiaki justru membuat ingatan-ingatan itu kembali
menyeruak di pikiranku.
"Aku pernah dengar ... kalau ia dulu sangat
menginginkan sebuah gitar yang harganya satu juta
yen. Karena itu ia bekerja di toko musik yang menjual
gitar tersebut, dan ia pun berhasil mengetahui
kelemahan ..., eh, berteman dekat dengan manajer toko,
hingga akhirnya ia bisa memperoleh gitar itu secara
gratis."
"Terus apa gunanya ada polisi?!"
"Kalau gitar itu saja bisa senpai dapatkan, sudah
pasti Nao adalah hal mudah baginya."
Jadi maksudnya, aku tidak lebih berharga dari satu
juta yen, begitu?
"Bisa satu klub dengan orang macam begitu — aku
benar-benar tidak paham jalan pikiranmu."
"Tapi Kagurazaka-senpai itu sangat keren!"
Hmm ..., ia mungkin kelihatan keren kalau kulihat
dari jarak dua kilometer.
"Menikahi senpai bukanlah hal yang buruk, 'kan?"
"Terserah kamu saja! Tapi karena Jepang tidak
mengakui pernikahan sesama jenis, menikah di Kanada
saja sana! Betul, Kanada!" dan jangan pernah kembali
lagi!

95
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

"Tapi baik senpai maupun aku sama-sama tidak


bisa memasak. Kenapa Nao tidak ikut kami saja?"
"Kenapa aku harus ikut segala?!"
Saat mengatakan itu pada Chiaki, pintu belakang
ruang kelas terbuka, dan Mafuyu masuk ke dalam. Bel
persiapan kebetulan berbunyi di saat bersamaan, seolah
mengingatkan semua anak bahwa mereka masih di
ruang kelas. Gadis itu melirikku dari samping, lalu
duduk di kursinya tanpa bersuara. Pada saat bersamaan,
aku berdiri dengan kesal dan berjalan keluar dari ruang
kelas.
Langkah-langkah kaki terdengar dari belakangku.
"Kamu ini kenapa?" tanya Chiaki sambil
mengejarku.
"Aku mau ke toilet! Jangan mengikutiku."
"Aku dengar dari senpai ... kalau kamu dikalahkan
Ebisawa-san, ya?"
Aku menghentikan langkahku. Bel dimulainya jam
pelajaran pun berbunyi, dan murid-murid yang
berkumpul di koridor serasa ditelan oleh ruang kelas
mereka masing-masing. Pada akhirnya, yang tersisa di
sini cuma Chiaki dan aku.
"Kamu tidak bisa langsung menganggap itu sebagai
kekalahan."
"Bukankah ia bilang kalau ... mereka yang tidak
bisa memainkan alat musik tidak diperbolehkan

96
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

mendekati ruang kelas itu ... makanya kamu melarikan


diri. 'kan?"
"Kalau kamu pikir bisa memprovokasiku dengan
ucapan semacam itu, kamu salah besar! Jangan
meremehkan kurangnya motivasiku!" mendengar kata-
kata itu keluar dari mulutku, mau tidak mau aku jadi
mengasihani diri sendiri.
"Nao tahu caranya bermain gitar, 'kan?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan tahu atau
tidaknya cara bermain gitar," dan yang lebih penting
lagi .... Aku sudah membuang gitar yang dulu
kugunakan, jadi untuk saat ini aku sama sekali tidak
memiliki gitar.
"Tidak apa-apa kalau kamu mau berlaih dari awal
lagi! Senpai sangat ahli dalam hal itu, jadi kamu bisa
memintanya mengajarimu."
"Kalau memang begitu, kenapa tidak kamu minta
saja senpai agar langsung mengajak Ebisawa-san
bergabung ke band? Padahal ia tahu kalau Ebisawa-san
sangat ahli dalam memainkan gitar dan ingin sekalian
mendapatkan ruang latihan itu sebagai ruang klub. Iya,
'kan?"
Aku sama sekali tidak merasa kalau hal itu ada
hubungannya denganku! Aku cuma berharap mereka
tidak menggangguku lagi.
Chiaki tiba-tiba membisu .... Sial, kelihatannya ia
hampir mau menangis dan ingin menghajarku di saat

97
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

yang bersamaan. Tapi kenapa? Apa aku mengatakan


sesuatu yang membuatnya marah?
"... apa kamu tahu alasan senpai mengajakmu
bergabung? Apa kamu benar-benar berpikir kalau
kamu cuma barang pelengkap setelah mendapatkan
Ebisawa-san?"
Kata-kata Chiaki terdengar seolah ia memaksa itu
keluar dari dalam mulutnya.
"... aku ... tidak ... tahu!"
Aku gemetar, dan mundur beberapa langkah.
Punggungku membentur dinding koridor.
"Nao, kamu benar-benar bodoh! Di pemakamanmu
nanti, aku akan bilang, Hidup Nao sangat
membosankan!"
Ucap Chiaki sambil berlari kembali ke ruang kelas.
Dengan berat hati aku berjalan masuk ke toilet, lalu
duduk di atas penutup toilet. Apa-apaan yang barusan
itu?!
Akan bagus sekali kalau aku tahu caranya bermain
gitar, tapi ... itupun jika aku bisa mendapat motivasi
diri setelah mendengar Mafuyu bermain gitar. Aku
duduk di atas penutup toilet sambil merangkul lututku
dengan kedua tangan. Suara bel pun terdengar. Aku
tidak bergerak sedikitpun .... Ini adalah pertama kalinya
aku membolos pelajaran ..., dan itu baru satu bulan
sejak dimulainya tahun ajaran baru — bukankah itu

98
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

terlalu dini? Ini langkah paling awalku menuju jalan


menjadi anak SMA yang sama sekali tidak berguna!


Pada akhirnya, aku kembali ke kelas di jam
pelajaran kedua. Aku adalah jenis orang yang suka
menyerah di tengah jalan, aku pun tidak punya
keberanian untuk pergi ke pusat permainan. Terlebih,
jam pelajaran ketiga dan keempat adalah Olahraga —
sungguh menakutkan jika berhadapan dengan gurunya
kalau aku membolos.
Di separuh waktu istirahat makan siang, aku
berjalan menuju ruang musik lama sambil berpikir
kalau ada baiknya jika kuambil semua barang milikku
dari sana. Tepat saat aku berjalan ke lapangan, aku bisa
mendengar suara gitar; seolah suara itu mengaduk-
aduk otakku. Jadi gadis itu memainkan gitar saat
istirahat juga? Cih, kupikir sebaiknya aku datang lain
kali saja. Tepat saat akan kembali ke kelas,
pandanganku tertarik oleh sesuatu yang diletakkan di
samping pintu ruangan. Itu ... kantung sampah yang
berisi sampah yang tidak bisa dibakar. Kira-kira isi di
dalamnya itu apa, ya?
Aku mendekati kantung sampah itu, dan mengintip
ke dalam; kemarahan meledak dalam diriku. Di dalam
kantung itu terdapat banyak CD — The Beatles, The

99
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

Doors, Jimi Hendrix, The Clash — yang kesemuanya


adalah koleksi berhargaku! Berani-beraninya gadis itu
berbuat begini! Kudobrak pintu itu dengan paksa dan
menghempaskannya. Suara gitar mulai menghujam
telingaku, namun sesegeranya menghilang.
"... sudah kubilang, jangan masuk seenaknya!"
Mafuyu duduk di bantal di atas meja sambil
memeluk gitarnya. Kedua alisnya naik saat mengatakan
hal itu, tapi aku belum mau mundur.
Aku mengangkat kantung sampah itu dan dengan
marah memprotesnya. "Apa yang kamu lakukan?"
"Kabinetnya terlalu kecil, jadi aku
mengeluarkannya dari ruangan."
"Kamu pikir kumpulan CD ini milik siapa?"
"Kalau bukan milikmu, pasti tidak akan kubuang!"
Aku sangat marah sampai tidak bisa menjawabnya.
Apa maksudnya itu!
"Oi, karena kamu bermain gitar, seharusnya kamu
menghargai para perintis besar genre rock!" dan ia
seharusnya menghargai barang pribadiku juga!
"Aku tidak mendengarkan musik rock atau apalah
itu namanya. Aku juga tidak tahu apa-apa mengenai
musik itu. Yang pasti barang-barang itu mengganggu
pemandangan dan memakan tempat. Jadi cepat bawa
pergi sana!"
Mafuyu lalu mendorong diriku yang masih terkejut
ini agar keluar dari ruangan dan menutup pintu. Yang

100
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

terdengar di telingaku selanjutnya adalah <Sonata


Piano No. 12 di A♭ mayor> Beethoven. Lagu
pemakaman lagi?! Ia sengaja, ya?! Saat itu, sebuat
melodi cepat tiba-tiba muncul dalam pikiranku —
untuk sesaat kuabaikan lagu pemakaman tadi dan
memusatkan pikiranku .... Chuck Berry!
<Roll over Beethoven>.
Berani sekali ia mengatakan kalau kumpulan CD
itu memakan tempat. Padahal ia tidak pernah
mendengarkan CD-CD itu sebelumnya! Sudah
kuhabiskan separuh kehidupanku yang membosankan
untuk mendengarkan musik rock, tapi ia justru
meremehkannya? Awalnya aku ingin memukul pintu
ruangan itu dengan palu karena frustasi, tapi akhirnya
aku pun mengubah pikiranku. Ada hal yang lebih baik
yang bisa kulakukan dengan kedua tanganku.
Kupeluk kantung sampah itu sambil berjalan
kembali ke ruang kelasku. Sambil menumpuk CD-CD
itu di mejaku satu demi satu, aku mulai memikirkan
bagaimana cara untuk mengalahkan Mafuyu .... Meski
tentu saja, aku tidak benar-benar berpikir untuk
memukulnya. Para anak lelaki dari kelasku pun
berdatangan. "CD sebanyak ini mau kamu jadikan
dagangan, ya?" "Wah, semuanya musik barat," aku
tidak memedulikan mereka meski mereka mengatakan
berbagai macam hal.
Apa yang harus kulakukan ...? Bagaimana cara
memberinya pelajaran? Baiklah, akan kutunjukkan

101
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

betapa hebatnya musik rock. Tapi, aku tidak bisa


begitu saja memberi CD secara paksa padanya, jadi—
Akhirnya kutemukan juga album Chuck Berry dari
tumpukan besar CD itu. Setelah memasukkan CD tadi
pada discman-ku, lalu kupasang earphone ke telingaku.
Jam pelajaran siang hari itu pun kuhabiskan dengan
mendengarkan lagu-lagunya.


Aku bergegas ke rumah sepulangnya sekolah, tapi
karena lupa membuka pintu pelan-pelan, alhasil, CD-
CD di rumah berjatuhan mengenaiku seperti tanah
longsor. Kutumpuk baik-baik serakan CD itu kembali,
lalu melepas sepatuku dan berjalan menuju koridor.
Dari ruang tamu terdengar komposisi gubahan
Bruckner.
"Tetsurou, ada yang mau kubicarakan denganmu!"
Aku membuka pintu ruang tamu. Tetsurou sedang
duduk di sofa dengan laptop di lututnya, dan beliau
sedang mengetik artikel dengan kecepatan tinggi,
sampai menimbulkan bunyi hantaman keras pada
kibornya — laptop itu sebentar lagi pasti rusak.
Dari pengeras suara terdengar suara
gebukan timpani, dan Tetsurou mengetik pada kibor
sambil mengeluarkan bunyi *darararara* bersamaan

102
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

dengan tempo musik yang terdengar — sepertinya


beliau tidak tahu kalau aku sudah pulang. Karena itu,
tanpa basa-basi kumatikan musiknya. Tersurou melorot
turun dari sofa.
"Apa yang kamu lakukan, Nak? Hal yang paling
membuat Ayah jengkel adalah saat simfoni terpotong
di bagian ketiga — bukankah sudah pernah Ayah
bilang sebelumnya?"
"Sebagai pria paruh baya yang sudah terpotong di
bagian ketiga kehidupannya, apa kamu pikir pantas
berbicara begitu?"
"Wah, Nao-kun, dari mana kamu memelajari
balasan sekasar itu? Ayah jadi sedih ...," itu dari kritik-
kritik pedasnya sendiri!
"Baiklah, sesekali harusnya kamu mendengar apa
yang kukatakan, paham? Berhenti tiduran di sana,
duduk yang baik — jangan bersimpuh di atas laptop!
Apa kamu mau kalau itu sampai rusak?"
Seusai erangan marah dan serangkaian omelan,
akhirnya aku berhasil membuat Tetsurou duduk di
posisi di mana beliau bisa mendengarkanku.
"Apa ada yang ingin kamu diskusikan dengan
Ayah?"
"Ya. Aku mau mengadakan rapat keluarga."
"Ada apa? Sekarang Ayah sedang tidak punya
keinginan untuk menikah lagi! Tapi kalau dengan gadis
seperti Chiaki, mungkin Ayah akan pertimbangkan."

103
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

"Berhenti berkhayal, dasar kriminal! Tidak akan


lagi ada perempuan yang tertarik menikah denganmu!
Dan bukan itu yang mau kudiskusikan!"
"Kalau begitu, apa yang mau kamu beli?"
Nada bicara Tetsurou tiba-tiba menjadi serius, dan
itu membuatku lidahku tercekat selama beberapa saat
karena kaget.
"Kamu ingin sesuatu, 'kan?"
"Eng ..., iya."
Aku duduk di sofa setelah menenangkan diri.
Pada dasarnya, akulah yang bertanggung jawab
terhadap keuangan keluarga kami, tapi bukan berarti
aku bisa menggunakannya sesukaku. Aku harus
mengadakan rapat keluarga kalau ingin membeli
sesuatu yang mahal.
"Aku ... ingin sebuah gitar."
"Bukankah sudah ada satu di rumah?"
"Sudah kamu rusak saat mengayunkannya sewaktu
menonton pertandingan bisbol dulu! Apa kamu lupa?!”
Apa orang seperti beliau yang tidak menghargai
alat musik ini, masih layak menjadi kritikus musik ...?
"... apa ini demi seorang gadis?"
Tiba-tiba Tetsurou menanyakan hal itu.
"Eh? A-apa?"

104
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

"Hanya ada satu alasan bagi seorang lelaki jika


tiba-tiba menginginkan sebuah gitar. Supaya mereka
bisa populer di kalangan para gadis!"
"Omong kosong macam apa itu? Minta maaf sana
pada semua gitaris di seluruh dunia!"
"Ayah akan menolaknya kalau tidak kamu akui
dengan jujur," aku tidak bisa berkata apa-apa. Kenapa
sikapnya begitu menjengkelkan?!
"Memangnya kamu pikir berapa harga sebuah
gitar? Untuk gitar yang biasa, bisa lima puluh sampai
enam puluh ribu yen, 'kan? Sedangkan dari dana yang
bisa kamu gunakan sesukamu, kamu hanya punya
sekitar dua puluh ribu yen. Iya, 'kan?"
"Kenapa kamu sampai tahu persis mengenai hal
ini?"
Aku merengut dan menenggelamkan diriku di sofa.
"Kenapa kamu tidak mencari uang sendiri! Cukup
tulis beberapa artikel saja buat Ayah."
Tetsurou mendorong laptopnya yang ada di meja ke
arahku.
"Tidak .... Aku tidak mau melakukannya
lagi," kudorong kembali laptop itu. Aku pernah
membantu Tetsurou untuk beberapa artikelnya sewaktu
beliau sudah mendekati tenggat waktu. Awalnya
kupikir kalau tidak mungkin artikel yang ditulis anak
SMP akan diterbitkan di majalah musik resmi, tapi
sedikit tidak kusangka, ternyata editor benar-benar

105
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

menggunakannya. Apa mungkin Tetsurou sudah


sedikit menyuntingnya atau semacam itu? Omong-
omong, apa majalah itu tidak apa-apa? Sejak saat itu,
artikelku sering diterbitkan di majalah atau di sampul
CD, dan Tetsurou akan memberikan royalti dari
artikel-artikel itu.
Meski begitu, uang yang dihasilkan dari artikel itu
tidak sepenuhnya masuk ke uang sakuku. Tetsurou
bilang kalau tigapuluh persen adalah milikku,
sementara tujuhpuluh persen akan digunakan untuk
kebutuhan keluarga. Pernah kucoba sesekali
memprotes dengan berkata, "Kenapa aku tidak bisa
memakai semua uang penghasilanku?" dan dia
menjawabnya dengan, "Karena Ayah pun begitu!" aku
tidak bisa membalas jawaban itu. Alhasil, aku harus
mengadakan rapat keluarga kalau ingin membeli
sesuatu yang melebihi anggaranku.
Akan tetapi, aku tidak perlu mengadakan rapat
keluarga seperti ini kalau aku kembali menulis artikel
atas nama Tetsurou. Kalau begitu, apa yang harus
kulakukan dengan majalah musik yang sama sekali
tidak sadar kalau sudah menerbitkan artikel yang
ditulis oleh anak SMP ...? Tapi andai aku menulisnya
pun, butuh waktu dua bulan agar bisa menerima
royalti; dan aku ingin sesegera mungkin membeli gitar
itu supaya bisa latihan.
"Tanggapan-tanggapan dari artikel yang kamu tulis
cukup bagus. Kamu memang mewarisi keahlianku —

106
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

hebat sekali! Kebetulan sejak pagi tadi Ayah baru bisa


menulis dua baris saja, jadi tolong bantulah sedikit!"
Kuharap beliau berhenti mengatakan hal
semacam mewarisi keahlian begitu. Aku tidak akan
pernah mau bantu menulis artikel lagi!
"Kalau kamu tidak mau bantu, berarti harus kamu
akui kalau kamu ingin membeli gitar supaya bisa
populer di kalangan para gadis! Kalau tidak, Ayah
tidak akan menyetujuinya."
"Kenapa kamu begitu keras kepala soal itu!"
"Karena dulu kamu sempat berlatih bermain gitar,
tapi langsung berhenti begitu saja."
Aku memeluk bantal dan terdiam. Ucapan Tetsurou
terkadang selalu tepat sasaran, bahkan di antara
lelucon-leluconnya — kurasa itu pasti kebiasaan paling
buruk miliknya.
"Memang benar, tapi ...."
"Itu sebabnya, jika seorang lelaki melakukan itu
karena ingin populer di kalangan para gadis, maka
bukanlah masalah! Akui saja. Soalnya saat ini kamu
harus meyakinkan hatimu. Bila kamu menyerah
ditengah jalan, seumur hidup kamu tidak akan punya
pacar!"
Kata-kata barusan terdengar konyol, tapi entah
kenapa juga terasa begitu meyakinkan. Aku hening
sejenak, merenungi yang baru saja dikatakannya. Demi
gadis, ya — semua ini awalnya memang gara-gara

107
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

Mafuyu, tapi lebih pada alasan di mana aku ingin


memberinya pelajaran ...?
"... baiklah. Aku ingin bermain gitar supaya bisa
populer di kalangan para gadis. Jadi, cepat setujui!"
"Wuaah, sampai bisa mendengar kalimat konyol
seperti itu dari mulut Nao-kun — Ayah jadi sangat
sedih~"
"Tetsurou, kamu tidak pantas mengatakan itu!"
Aku marah dan melemparkan bantal ke Tetsurou,
tapi tidak kusangka beliau mengambil laptop dan
menggunakannya sebagai tameng seranganku.
"Cuma bercanda! Jangan lupa pakai namaku saat
membayar, kalau tidak, mereka tidak bisa meminta
bayarannya padaku."


Kemarahanku mereda setelah aku melempar koran-
koran dan pisang yang separuh dimakan ke arah
Tetsurou. Aku kembali ke kamarku dan merenung
sambil tiduran di kasur.
Sebelum ini aku memang tidak pernah punya alat
musik yang cukup layak digunakan. Toko CD musik
pun sebenarnya juga memajang beberapa gitar, tapi aku
tidak berniat mendapatkan barang yang kurang
meyakinkan. Meski begitu, rasanya tidak nyaman jika

108
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

aku mencari toko alat musik di jalanan dengan


sungguh-sungguh begini. Kalau bisa, aku ingin
mencari gitar yang harganya murah.
Setelah merenunginya beberapa saat, teleponku
berbunyi — ternyata nomor Chiaki. Kalau aku
berbicara dengannya soal keinginanku membeli gitar,
ia pasti akan membuatku bergabung ke Klub Riset-
Was-Wes-Wos itu, jadi untuk saat ini aku tidak akan
membahasnya.
"—Nao? Jam sebegini masih terlalu cepat untukmu
berada di rumah, dasar pengecut."
"Apa hubungannya? Oh, iya, ada hal ... yang ingin
kuminta bantuan darimu."
"Bantuan? Memangnya ada apa? Akan
kudengarkan, tapi sebagai gantinya kamu akan
bergabung dengan klub kami."
"Tidak akan. Begini, apa kamu tahu toko alat musik
yang cukup bagus?"
"Toko alat musik? Kenapa?"
"Ya untuk membeli alat musik. Aku mau membeli
gitar."
Aku jadi sedikit menyesal, tapi tetap saja kukatakan
alasanku padanya. Sudah kuduga, ia begitu ingin tahu
penyebabnya.
"Kenapa, kenapa? Apa kamu memimpikan
seseorang? Eric Clapton, ya?"

109
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

Aku tidak sama dengannya! Dan juga, Clapton


masih hidup!
"Jangan-jangan ... ini soal ucapan Ebisawa-san
padamu tempo hari, ya?"
Sejenak aku tidak bisa berkata apa-apa.
"Ah! Kok diam? Benar, ya~"
"... bukan begi—"
"Ehh, Nao dan Ebisawa-san—"
Kami berdua kembali menelan perkataan kami di
tengah-tengah kalimat pada saat bersamaan. Kesunyian
sejenak mengikutinya. Bisa kudengar pengumuman
kedatangan kereta dari teleponnya — apa mungkin ia
menelepon dari stasiun selagi dalam perjalanan pulang
atau semacamnya? Chiaki akhirnya berkata.
"Baiklah, mumpung sekarang aku dalam perjalanan
pulang, bagaimana kalau pergi bareng?"
"Eng ..., kamu tidak harus ikut. Katakan saja
tempatnya, biar aku ke sana sendiri."
"Ah, tidak apa-apa. Aku sudah jadi pelanggan di
sana, jadi akan lebih murah kalau kita bareng ke sana."
"Terima kasih, tapi ...."
"Oh! Keretanya sudah datang. Sampai ketemu lagi
di stasiun."
Ia menutup teleponnya sebelum aku sempat
mengutarakan pikiranku. Entah kenapa, suaranya
terdengar sedikit parau. Aku jadi sedikit tidak nyaman,

110
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

tapi aku tetap mengambil lima puluh ribu yen dari


amplop yang berisi uang untuk kebutuhan keluarga dan
memasukkannya dalam dompetku sebelum berjalan
keluar rumah. Sebelum naik ke sepedaku, kuletakkan
tangan ini di dada dan memastikannya sekali lagi ....
Masih terasa hangat. Ini bukan sekadar keinginan
sesaat.


Untuk mencapai toko alat musik yang Chiaki
tunjukkan padaku, kita harus keluar dari pintu masuk
utara stasiun kereta, lalu berjalan turun melalui
jembatan hingga mencapai landasan tangga di ujung.
Setelah berjalan menuruni tangga, toko tersebut
terletak tepat di persimpangan jalanan pertokoan dan
daerah pemukiman yang cukup sepi. Toko itu diapit di
antara dua bangunan besar dan agak terlihat seperti
punggung buku yang tipis. Sebuah papan nama
bertuliskan Toko Musik Nagashima terpasang di atas
pintu masuk. Toko itu memang sedikit sempit, tapi
temboknya didekorasi dengan gitar-gitar di kedua sisi,
mulai dari lantai dasar hingga atap — yang membuat
toko ini terlihat cukup mengintimidasi. Musik yang
diputar di toko tersebut biasanya bergenre heavy
metal dari Eropa Utara, yang menambah aura
intimidasinya.

111
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

Chiaki berkata padaku sebelum memasuki toko,


"Aku pelanggan di toko ini, jadi kalau kamu pintar
menawar, kamu pasti mendapatkan harga murah dan
memuaskan," aku sendiri tidak punya pengalaman
dalam hal tawar-menawar, jadi aku tidak merasa terlalu
percaya diri mengenai hal tersebut.
"Tapi, kenapa kamu mau bermain gitar lagi?
Padahal tadi pagi kamu masih tampak tidak
bersemangat."
Ujung-ujungnya ia tetap bertanya.
"Hmm— tiba-tiba saja aku merasa ingin bermain
gitar."
"Kamu pikir aku baru mengenalmu kemarin? Kamu
bukan tipe orang yang melakukan hal secara tiba-tiba
begini, tapi ... terserahlah. Halo~"
Chiaki menggandeng tanganku lalu berjalan masuk
ke toko. Bahkan di lantai dasar pun dipenuhi gitar-gitar
yang disandarkan di dudukan pajangan. Aku berjalan
melewati gitar-gitar itu dan berjalan masuk. Akhirnya,
kami pun sampai di loket di antara tumpukan CD dan
lembaran partitur – entah kenapa, perasaan nostalgia
menghinggapiku.
"Apa manajer tokonya ada?"
Saat Chiaki mengatakannya, seorang pria berjalan
keluar dari pintu belakang loket. Rambut
berantakannya disisir begitu saja ke belakang. Padahal
ia masih muda, tapi wajah capeknya itu terlihat cukup

112
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

menyedihkan — bagaikan kentang yang ditelantarkan


selama tiga minggu setelah diunduh dari ladang.
"Oh, Chiaki. Maaf, tapi aku sedikit sibuk sekarang
...."
"Yah, maaf, tapi anak ini cuma pengunjung biasa.
Ia mau membeli gitar."
Saat Chiaki bermaksud menarikku ke depan
pemilik toko, seseorang muncul dari pintu belakang
loket.
"Pak Manajer! Senar-senar yang ada di stok sama
sekali tidak sesuai— hmm?"
"Eh? Hari ini Senpai kerja?"
Aku tercengang selagi berdiri di antara Chiaki dan
loket. Kagurazaka-senpai mengenakan celemek kerja
berwarna hijau — dengan logo toko tercetak di sana —
dan di tangannya memegang sebuah buku catatan.
Bagaimana bisa? Kenapa ia ada di sini?
"Ah, rekanku Aihara. Kami sedang mengecek
persediaan kami hari ini, tapi tiba-tiba kami
kekurangan tenaga bantu. Omong-omong, kita bertemu
lagi, Shounen. Bagus sekali. Cepat buat keputusan dan
bergabunglah ke klub, oke?"
"Eng ..., ah, tidak .... Eh, kenapa?"
Aku jadi ingat kalau Chiaki pernah bercerita
padaku kalau senpai bekerja di toko musik supaya bisa
memperoleh gitar .... Jadi tempat ini yang ia maksud?

113
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

Harusnya dari awal aku sudah tahu .... Sial, aku


terpedaya! Ini konspirasi!
"Tidak usah tergesa-gesa! Ini tokoku, jadi tidak
perlu sungkan."
"Eng ..., ini tokoku ...," sedikit protes dari manajer
toko.
"Toko milik Manajer, toko milikku juga, 'kan?
Omong-omong, jumlah senar merek Martin Extra di
stok sama sekali tidak sesuai. Apa Manajer
menaruhnya di tempat lain?"
"Ah, tidak, mengenai itu ..., aku tidak tahu kalau
supervisornya sedang tidak ada!"
"Manajer, kamu memang tidak bisa diandalkan ...."
Manajer toko itu terlihat seperti akan menangis.
"Kalau begitu, apa boleh buat. Shounen, aku punya
waktu luang, jadi akan kubantu kamu dalam memilih.
Apa yang kamu butuhkan?"
"Eh? Ya-yah, aku tidak ingin membeli apa-
apa," sesegera itu juga aku berbohong.
"Ia ingin membeli gitar. Apa saranmu, Senpai?"
Potong Chiaki. Meski tidak ada gunanya aku
mencoba tetap berbohong.
"Hmm. Berapa uang yang kamu punya, Shounen?"
"Yah ...."
"Oh, cukup banyak juga! Sekitar lima puluh ribu
yen."

114
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

"Jangan ambil dompetku seenakmu! Dan jangan


seenakmu juga melihat isinya!"
Kurebut kembali dompetku dari tangan Chiaki.
"Lima puluh ribu, ya .... Kamu hanya bisa membeli
barang murahan dengan uang sebanyak itu di toko ini,
tapi uangmu itu akan terbuang percuma."
"Jangan bilang begitu ...," jawab manajer toko
sambil merengut. Aku memang tidak tahu siapa
namanya, tapi aku mulai mengasihaninya.
"Shounen, bagaimana kalau begini? Kita akan
bermain jan-ken-pon. Kalau kamu menang, akan kujual
sebuah gitar seharga seratus ribu yang masih disimpan
di gudang dengan separuh harga. Kalau aku yang
menang, akan kupilihkan sebuah gitar yang sesuai
dengan anggaranmu. Bagaimana?"
"Tunggu sebentar, Kyouko-chan. Kenapa kamu
sampai selancang itu?" manajer toko itu kebingungan.
"Senpai bilang setengah harga, ya .... Memangnya
tidak apa-apa?"
"Jangan khawatir. Tertulis dengan jelas pada bab
pertama Das Kapital: Orang-orang menjual tenaga
fisik mereka pada pembeli, bukan untuk memenuhi
kebutuhan pribadi sang pembeli, namun untuk
memperbesar modal pembeli."
"Aku tidak begitu paham ...."
"Sederhananya, hampir semua alat musik di toko
ini dijual dengan harga yang terlalu tinggi, jadi kami

115
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

masih akan untung meski aku menjualnya separuh


harga."
"Kyouko-chan ...," manajer toko itu hampir
menangis.
"Manajer toko ini mengganggu sekali. Jan-ken-
pon-nya kita mainkan di luar saja, yuk. Shounen,
Kamu jadi terima tantanganku, tidak?"
Kagurazaka-senpai menggenggam tanganku dan
menarikku keluar toko.
Meski sangat menyedihkan bagi si manajer toko,
tapi yang dikatakan Kagurazaka-senpai tadi cukup
masuk akal. Atau lebih tepatnya, terlalu bagus untuk
jadi kenyataan, soalnya aku tidak dirugikan sedikit pun.
"Kalau harga dari menjual murah sebuah gitar
adalah aku harus bergabung dengan klub, lebih baik
aku pulang saja."
"Tidak perlu bagiku sampai memberi syarat segala,
tahu? Lagi pula, tidak pernah terpikir olehku akan
kalah dari pecundang sejak lahir sepertimu," sial, ia
benar-benar blakblakan.
"Baiklah, aku mengerti. Kamu akan menjual gitar
yang pantas padaku tidak peduli hasilnya, 'kan? Kamu
tidak akan memberiku barang cacat atau semacamnya,
'kan?"
"Tentu saja! Aku bersumpah demi nama dan
reputasi toko ini!"
"Yah ..., baiklah."

116
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

"Siap? Aku akan sedikit mengalah padamu."


Kagurazaka-senpai sekilas tersenyum puas dan
menunjukkan sesuatu di antara jari telunjuk dan jari
tengahnya. Itu adalah ... pick gitar. Eh? Telunjuk dan
jari tengah?
Itu artinya ia tidak akan mengeluarkan gunting? Eh,
tunggu .... Apa itu jebakan? Ia mengecohku agar aku
jatuh dalam jebakan? "Jan—ken—pon!" bersamaan
dengan suara senpai, aku langsung mengeluarkan batu.
Jari-jari senpai terbuka membentuk kertas — pick-
nya terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah.
"... Shounen, kamu orang yang cukup jujur."
Ia mengelus kepalaku dengan lembut. Licik!
Sebenarnya, ketimbang menuduh senpai licik, haruskah
aku menyalahkan diriku sendiri karena mudah terjebak
perangkapnya? Sewaktu senpai menunjukkan senyum
kemenangan di wajahnya, bisa kulihat manajer toko
menghela napas lega di belakangnya.
"Baiklah kalau begitu ..., aku akan pergi ke gudang
untuk mencari gitar yang sesuai dengan anggaranmu."
Aku sedikit menenangkan diri dan berjongkok di
tempat. Chiaki mendekat ke sampingku dan berkata.
"Nao lemah sekali, ya."
"Berisik ...."
"Kamu sudah kalah duluan saat menerima
tantangan senpai tadi."

117
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

Aku mengangkat kepalaku, dan setelah melihat


senpai mengambil gitar abu-abu metalik keluar dari
gudang, akhirnya aku mengerti yang dimaksud Chiaki.
"Ini Aria Pro II seharga 54.600 yen, sudah
termasuk pajak. Yah, untuk pembulatan, kuberi harga
lima puluh ribu saja."
"Eng ..., kok senarnya empat?"
"Hmm? Masa kamu tidak tahu? Ini bas. Senar bas
lebih sedikit dari gitar biasa, dan nadanya lebih rendah
satu oktaf."
"Bukan, aku sudah tahu itu. Maksudku,
kenapa Senpai malah menjual bas padaku?"
Aku ke sini untuk membeli gitar!
"Bas termasuk keluarga gitar, 'kan?"
"Eng ..., yah, tapi—"
Chiaki meletakkan tangannya di bahuku dan
berkata.
"Karena Klub Riset Musik Rakyat kekurangan
pemain bas — itu alasannya. Kamu paham sekarang?"
Butuh waktu dua detik bagiku untuk paham,
sebelum aku terkejut menyadarinya — aku sudah jatuh
dalam perangkapnya. Sejak awal, niat gadis itu adalah
supaya bisa memilihkan gitar yang akan kubeli, itu
sebabnya ia menjanjikan kalau aku akan mendapatkan
gitar tidak peduli apa hasilnya. Orang yang tidak
menyadari rencananya ... hanyalah diriku seorang.
"Tung-tunggu ...."

118
Bab 6: Pemakaman, Rapat, Dana

"Aku tidak tertarik mendengar kata-kata dari


pecundang. Butuh nota?"
Ucap Kagurazaka-senpai sambil sekilas tersenyum.
Ternyata ia juga punya sisi manis—
"Aku tidak pernah berpikir ingin memainkan bas
...."
"Yah, kamu juga tidak begitu bisa menguasai dasar-
dasar bermain gitar, 'kan?"
Protes lemahku segera ditolak senpai.
"Lagi pula, kamu ingin menantang Ebisawa
Mafuyu dengan gitar, 'kan?"
"Uh ...."
Untuk beberapa saat aku tidak bisa berkata apa-apa.
"Gadis itu bisa memainkan gubahan Chopin dan
Liszt hanya dengan sebuah gitar. Shounen, dilihat dari
kemampuanmu sekarang, tidak ada kesempatan
bagimu untuk menang dengan gitar!"
Bukan berarti aku bermaksud menantangnya atau
semacam itu, hanya saja—
"Akan tetapi, kamu bisa menang kalau
menggunakan bas."
Kagurazaka-senpai menyodorkan bas berat itu ke
tanganku—
"Akan kumenangkan dirimu."

119
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

Dibandingkan gitar listrik, kelebihan yang terlihat


jelas dari bas listrik adalah suaranya baru bisa didengar
jika sudah dihubungkan ke sumber listrik.
Aku membeli bas tersebut atas bujukan
Kagurazaka-senpai dan membawanya ke kelas
keesokan harinya. Dengan segera aku dikelilingi
teman-teman sekelasku. "Ayolah. Mainkan apa saja,"
meski semuanya memintaku untuk bermain, aku tetap
berdalih, "Tapi ini bas, jadi suaranya tidak akan
terdengar!" kemudian kabur. Akan berbeda ceritanya
kalau yang kubawa adalah gitar, jadi baguslah aku
membeli bas — dengan pemikiran itu, aku juga bisa
sedikit menghibur diriku yang sudah dipermainkan
senpai.
"Tapi kenapa bas?"
Seorang anak lelaki menanyakan hal yang tidak
pernah kupikirkan sebelumnya.
"Ah, aku juga jadi kepikiran. Lagi pula, kamu tidak
begitu memerlukannya, 'kan?"
"Hei, Kritikus, lebih baik kamu menjelaskannya
dengan istilah yang gampang."
"Jangan memanggilku kritikus!" kurebut bas itu
dari tangan teman sekelasku, lalu memasukkannya
kembali ke pembungkusnya. Sebenarnya, menjelaskan
pada mereka tidak akan efektif jika hanya lewat kata-

120
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

kata saja, tapi untuk menjaga reputasi semua pemain


bas di dunia, maka aku harus memberikan mereka
gambaran.
"Kalian, duduk di sana."
"Baik, Nao-sensei."
"Tolong jangan pakai istilah musik sewaktu
menjelaskan."
Cih, mereka benar-benar mengantisipasi pidatoku.
Beberapa anak lelaki duduk bersimpuh di sekitar
kursiku, karenanya, di saat begini aku tidak boleh
sampai salah bicara. Bagaimana ini? Kujilati bibirku
sambil memikirkan cara untuk memulai penjelasanku.
"... baiklah, mari kita mulai dengan mengingat
wajah goinkyo."
"Lo, kok?"
"Jangan banyak tanya. Lakukan saja perintahku."
Beberapa anak lelaki memejamkan mata mereka,
sementara sebagian lainnya menatap langit-langit.
Karena beliau terlihat sama persis seperti Mito
Koumon, jadi sangat mudah untuk mengingat wajah
guru kami itu.
"Baiklah selanjutnya, coba pisahkan janggut dari
wajahnya. Sudah?"
"... baik, sudah."
"Ah, kelihatan seperti Enari Kazuki saat masih
muda."

121
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

"Enari memang masih muda."


"Oke, oke. Selanjutnya, bayangkan goinkyo tanpa
rambut."
"Nao-sensei, ini maksudnya apa, ya? Semacam tes
psikologi begitu, ya?"
"Kalian akan tahu nanti. Bagaimana? Kalian bisa
membayangkannya?"
"Bisa sih, tapi bukankah rambut goinkyo cukup
lebat?"
"Dibandingkan jenggot, masih lebih mudah
menghilangkan rambutnya."
"Dan ini langkah terakhir. Hilangkan garis
wajahnya, lalu bayangkan seperti apa rupa beliau
sekarang."
Wajah semua anak seperti hendak berkata, "Eh?"
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak paham!"
"Garis wajah itu maksudnya apa? Telinga dan
semacamnya, begitu?"
"Bukan, bukan itu. Yang kumaksud adalah buang
bentuk wajahnya. Bayangkan seperti mata, hidung, dan
mulutnya muncul dari permukaan datar. Ya, seperti
itu."
Satu persatu teman-teman sekelasku bergumam,
"Hmm .... Hmm ...." beberapa dari mereka menekan

122
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

jari-jarinya ke dahi mereka, sementara yang lain


menjambak rambut mereka sendiri.
"... tidak bisa, itu tidak mungkin bisa. Hal yang sia-
sia kalau membuang garis wajahnya!"
"Sekeras apa pun aku mencoba, lingkar wajahnya
selalu muncul di pikiranku."
"Coba lebih keras! Kalian selalu mengatakan
dengan bangga, Dalam pikiranku, aku bisa membuang
pakaian renang yang dikenakan oleh para model
vulgar yang cantik-cantik itu, siapa pun mereka! ya,
'kan?"
Eng ..., padahal mereka tidak perlu berusaha
sekeras itu.
Mereka berjuang keras selama sekitar dua menit
sebelum akhirnya menyerah. Karena itu aku langsung
memberi kesimpulan.
"Sekarang, gunakan analogi tadi pada istilah musik,
maka bas terlihat seperti garis wajah buatku. Kalian
paham?"
Orang-orang yang menontonku masih terlihat
sangat bingung.
"Itu seperti kalian membayangkan lagu-lagu
dimainkan tanpa gitar ataupun alat musik lainnya, tapi
tidak bisa membayangkannya tanpa bas. Dan
karenanya, aku tidak bisa menjelaskan dengan baik
kenapa bas begitu penting buatku."
"Jadi begitu ...."

123
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

"Aneh. Rasanya aku bisa mengerti apa yang ingin


kamu sampaikan, tapi di saat bersamaan, aku juga
masih belum paham."
Mereka ini mengerti atau tidak, sih? Akan tetapi,
aku lebih khawatir kalau mereka mengerti, karena yang
kukatakan tadi cuma omong kosong.
"Tapi Nao-sensei benar-benar mengesankan. Kamu
punya potensi untuk meneruskan seni dari ayahmu."
"Mana mungkin aku mewarisinya!" kenapa aku
harus membiarkan diriku dikatai seperti itu oleh teman
sekelasku?
Setelahnya, bel persiapan kelas berbunyi. Pada saat
yang bersamaan, pintu belakang kelas — pintu yang
dekat dengan bagian kanan belakang dari mejaku –
terbuka.
Mafuyu berdiri di dekat pintu. Pandangan
pertamanya mendarat ke mejaku yang dikerumuni
beberapa anak, lalu berpindah ke sarung gitar di
tanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah.
"... minggir."
Sebuah kata yang lembut dan dingin dari Mafuyu
cukup untuk membuat para anak lelaki, yang
mendengarkan omong kosongku tadi, menyingkir dari
jalan .... Oi, oi, jangan ke mejaku, cepat kembali ke
kursi masing-masing!

124
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

"Nao-sensei ...," salah satu anak mendekatkan


wajahnya ke sampingku, lalu berbisik, "Jadi ini? Jadi
alasanmu mengambil bas itu karena Ebisawa-san?"
"Eh? A-apa?" suaraku menjadi sedikit aneh.
"Belakangan ini kamu sering ke lapangan, 'kan?"
"Begitu, jadi dia bisa lebih dekat dengan
perempuan itu karena basnya ini? Pintar sekali, Nao-
sensei!"
Para anak lelaki tersebut melirik ke arah Mafuyu.
Jangan bergosip kalau orangnya masih ada di sekitar!
Karena sikap sinisnya itu, semenjak hari kedua
kepindahannya kemari, hampir semua perempuan di
kelas telah menjadi musuhnya. Biarpun begitu, tidak
satu pun dari anak lelaki di kelas yang memedulikan
hal tersebut, dan malah mengkhawatirkannya. Yang
menunjukkan jalan saat kami pindah kelas, atau
meminjaminya buku pelajaran saat ia lupa
membawanya — semuanya dilakukan oleh para anak
lelaki.
Para anak lelaki yang selalu berkumpul di sekitar
mejaku ini mungkin melalukan hal tersebut untuk
alasan yang sama. Mereka benar-benar bodoh.
"Oh, iya, Ebisawa-san ...."
Salah satu anak pemberani berbalik dan berkata
pada Mafuyu. Mafuyu mengalihkan pandangannya dari
buku pelajarannya ke wajah anak itu, dan dengan pelan

125
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

berkata, "Tolong jangan memanggilku dengan nama


margaku."
"Kalau begitu— Mafuyu ...."
"Jangan memanggilku dengan nama depan juga.
Menjijikkan."
"Mafuyu menganggapku menjijikkan .... Satu-
satunya alasanku untuk hidup telah sirna."
"Jangan khawatir, wajahmu tidak semenjijikkan
yang kamu pikir."
"Benar, wajahku. Tunggu, apa maksudmu?"
Pindahlah ke tempat lain kalau ingin melakukan
komedi spontan. Bicara soal itu, ia memang pernah
mengatakannya saat hari pertamanya di sini, tapi apa
sebegitunya ia membenci nama marganya sendiri? Aku
selalu berpikir kalau ia cuma berbohong karena
keadaannya saat itu. Tapi kenapa? Apa di masa lalu
ada seseorang yang mengejeknya dan memberinya
nama panggilan Ebimayo?
"Jadi Ebisawa-san bermain band juga? Apa guru
pianomu akan marah jika tahu kalau kamu bermain
gitar?"
Sewaktu anak itu berbicara padanya dengan
semangat menggebu, sisi wajah Mafuyu membeku.
"Lalu, kamu hebat juga dalam membagi waktu,
karena bisa berlatih dua alat musik berbeda di saat
bersamaan."

126
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

"Kurasa ia berlatih dua alat musik sekaligus.


Karena komposisi yang dimainkannya sama."
"Yang benar?!"
Mafuyu mengalihkan pandangannya kembali ke
buku pelajarannya. Meski begitu, kusadari kalau
pandangannya sedikit kosong.
"Bagaimana ... kalian bisa tahu?" saat ia berbicara
dengan kepala menunduk, para anak lelaki perlahan
menjadi tenang.
"Eng .... Yah ...."
"Kamu selalu berlatih di lapangan sepulang
sekolah, 'kan? Kami bisa mendengarmu sepenuhnya."
"Ah, itu terkenal sekali, lo! Semua anak tahu soal
itu."
Mafuyu tiba-tiba berdiri. Bibirnya gemetaran, dan
wajahnya berubah hijau.
"Selama ini ... bisa terdengar?"
Oh, sial. Ia tidak tahu? Sambil merengut
mengantisipasi apa yang mungkin akan terjadi, dengan
pelan aku menyela.
"Yah ..., aku memang tidak mengatakannya, tapi
kemampuan kedap suara ruang kelas itu tidak
sempurna. Suara bisa keluar lewat celah-celah pintu."
Wajah Mafuyu menjadi pucat pasi dalam sekejap,
kemudian menjadi merah. Bibirnya gemetaran tanpa
henti.

127
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

Kurebahkan sambil kulindungi kepalaku di atas


meja, mengantisipasi pukulan yang akan datang
darinya, tapi yang kudapat hanya suara langkah kaki
berlari menjauh diikuti suara pintu tertutup.
Sebuah kesunyian yang tidak nyaman menyelimuti
seluruh kelas 1-3.
Kuangkat kepalaku. Semuanya pura-pura tidak
mengerti, namun tatapan mereka berkata kalau akulah
yang bertanggung jawab terhadap hal ini.
"... Nao, apa yang kamu tunggu? Cepat kejar!"
Anak yang kehilangan alasan hidup karena Mafuyu
menganggap dirinya menjijikkan tadi, mengatakan hal
itu dengan dingin padaku.
"Kenapa aku?"
"Karena kamu yang bertugas menghadapi Ebisawa-
san!" sang ketua kelas, Terada-san, tanpa alasan jelas,
mengatakan itu padaku. Dan para anak perempuan di
sekitarnya bersamaan mengangguk sambil berucap,
"Mhmm!"
Tunggu, aku yang bertugas? Apa maksudnya itu?
"Ayo lekas, kalau tidak, pelajaran akan dimulai!
Cepat!"
Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan,
tapi ada sesuatu di dunia ini yang dikenal dengan
suasana keadaan, sesuatu yang sulit untuk ditahan.
Terdorong oleh hal itu, aku beranjak dari kursiku.

128
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

Saat keluar dari ruang kelas, aku hampir


bertabrakan dengan Chiaki yang berlari ke arahku
sambil terengah-engah.
"Kamu ini sedang apa? Barusan aku melihat
Ebisawa-san ...."
"Ia pergi ke mana?"
"Eh? Ah, eng ..., baru saja ia menuruni anak tangga
tadi— Nao? Tunggu! Nao, kamu mau ke mana?"
Bel persiapan kelas berbunyi hampir bersamaan
dengan saat kugeser Chiaki ke samping agar bisa
berlari menjauh dari ruang kelas.


Mafuyu mengunci diri di ruang kelas dekat
lapangan. Meski pintunya tertutup rapat dan tidak
terdengar suara dari dalam, aku langsung
mengetahuinya saat aku memasuki lapangan, saat
melihat gembok yang tergantung di pintu terbuka.
Aku bediri di depan ruang musik lama, dan mulai
menyusun pemikiranku. Sedang apa aku ini? Aku
mengikuti kemauan teman-teman sekelasku dan keluar
mencari Mafuyu, tapi aku harus apa? Apa aku harus
meminta maaf padanya? Lantas, salahku itu apa?
Harusnya aku kembali saja ke ruang kelas dan
berkata pada teman-teman di sana, "Aku tidak tahu ia

129
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

pergi ke mana?" kemudian membiarkannya. Akan


tetapi, kakiku ini tidak mau bergerak.
Segera setelahnya, bel persiapan kelas yang kedua
berbunyi, aku pasti sudah telat untuk masuk kelas
sekarang. Lupakan, sebaiknya aku sekalian saja bolos
di jam pertama! Seharusnya bukan masalah besar
sesekali melewatkan satu atau dua pelajaran. Terlebih
lagi, ada yang ingin kukatakan pada Mafuyu. Aku
meraih gagang pintu, dan menekannya ke bawah secara
diagonal dengan sedikit paksa.
Mafuyu sudah menumpuk tiga alas duduk di atas
meja, dan ia duduk di atasnya sambil tangannya
merangkul lutut. Saat aku memasuki ruang kelas itu,
yang ia lakukan hanya mengangkat wajahnya dari
lutut.
"Sungguh disayangkan jika kamu
mempergunakannya seperti itu. Aku membawa ketiga
alas itu ke sini agar bisa kutaruh berjejer di atas meja,
lalu kugunakan sebagai alas tidur. Aku tidak bercanda,
jadi jangan ditumpuk begitu."
Mafuyu tidak begitu banyak mengubah posisinya,
namun ia mengangkat tubuhnya sedikit untuk
mengambil dua alas dengan tangan kirinya, sebelum
melemparkannya ke wajahku. Aku melempar satu
kembali ke tempatnya semula, dan meletakkan yang
satunya di lantai agar aku bisa duduk di atasnya.
"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Mafuyu dengan
suara serak.

130
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

"Aku ke sini karena ingin membolos, tapi aku tidak


menyangka ada orang lain lagi di sini. Wah, kebetulan
sekali — meski aku jadi sedikit terganggu."
"Pembohong."
Tahu dari mana kalau aku berbohong? Tunjukkan
buktinya! Ayo tunjukkan! Tapi benar juga, sih — aku
memang berbohong.
"Kenapa ... kamu tidak memberitahuku?" tanya
Mafuyu berbisik sembari memandang ke bawah. Aku
menoleh ke belakang untuk melihat celah di pintu,
yang menyebabkan kedap suara ruang itu tidak
sempurna.
"Yah, kamu tidak pernah bertanya, sih!"
Lagi-lagi aku dilempar alas. Kenapa ia sampai
marah begitu?
"Bukanlah hal buruk meski suaranya terdengar
keluar. Toh, kamu juga tidak sedang melakukan hal
yang memalukan."
"Bukan begitu."
Mafuyu merangkul erat kedua kakinya hingga
menempel dada dan meringkuk di pojok meja. Aku
tidak bisa berkomunikasi dengannya. Apa yang harus
kulakukan?
"Kamu sudah pernah merilis CD permainan
pianomu, tapi kamu tidak mengizinkan orang lain
mendengarkanmu bermain gitar? Bukankah itu aneh?"
"Kamu tahu apa?"

131
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

Mafuyu melontarkan sebuah pertanyaan yang


terujar pelan di antara kami.
Tiba-tiba sebuah gelombang amarah naik di dalam
diriku.
"Ya mana kutahu!"
Aku mengalihkan pandanganku dari Mafuyu. Kalau
tidak kulakukan, aku tidak tahu apa yang akan Mafuyu
lakukan setelah ia menghabiskan cadangan alas yang ia
gunakan untuk melempariku.
"Soalnya kamu tidak mau bilang apa-apa, 'kan?
Katakan saja dengan jujur apa yang mengganggumu,
karena aku tidak tahu cara membaca pikiran!"
Ini sama dengan saat kami pertama bertemu, dan
terjadi lagi saat hari pertamanya pindah sekolah.
Mafuyu tidak mengatakan apa pun, membuatku
mengira-ngira apa aku harus ikut campur dan
mengkhawatirkannya. Akan tetapi, yang kudapat
hanyalah pandangan jijik, ataupun keluhnya soal
diriku.
"—Kalau aku memberitahumu, apa kamu akan
membantuku?"
Dengan takut-takut kuangkat kepalaku dan
memandang Mafuyu. Matanya yang menangis itu
tampak seperti aliran sungai yang bermuara ke laut —
warnanya memudar dan muram.
"Kalau kukatakan padamu segala yang
menggangguku, apa kamu akan melakukan sesuatu

132
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

untukku? Kalau aku ingin kamu berenang ke Amerika,


apa kamu akan berenang ke sana untukku? Kalau aku
ingin kamu memotong tangan kananmu dan
memberikannya padaku, apa kamu akan benar-benar
memotongnya untukku? Kalau aku ingin kamu mati,
apa kamu akan mati untukku?"
Aku tidak bisa berkata-kata. Yang kurasakan cuma
hawa dingin di sekitarku. Perasaan itu seperti ketika
mencoba mengintip ke dasar jurang yang sangat dalam
di malam yang gelap tanpa bulan, dan melihat sesuatu
yang seharusnya tidak terlihat dari permukaan air.
"Kalau kamu tidak bisa melakukannya, jangan
bicara seenaknya."
"Eng .... Apa kamu benar-benar ingin agar aku
melakukan semua itu untukmu?"
Mafuyu menggeleng. Sepertinya ia diam-diam
sedikit menangis.
"Tidak."
"Kalau ... kamu tidak mengatakannya dengan jelas,
bagaimana orang lain bisa tahu? Cukup katakan saja.
Kamu tidak akan rugi apa-apa."
"Kalau begitu, kembalikan aku ke masa lalu,
kembali ke saat aku mulai memainkan piano."
"Aku bukan Tuhan, jadi bagaimana aku bisa
melakukannya?!"
Yang berarti, memang ada sesuatu yang
mengganggunya. Kenapa ia begitu membenci piano?

133
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

Dan juga ....


"Bagaimana dengan yang ini — tolong berhenti
mengikutiku. Kamu mengganggu pemandangan."
Aku tidak mengikutinya! Ini adalah satu hal yang
harus kuperjelas padanya.
"Sudah kukatakan berkali-kali, sejak awal aku
sudah menggunakan tempat ini. Orang yang seenaknya
menerobos masuk ke tempat ini adalah kamu sendiri,
'kan? Jadi aku tidak mengikutimu."
Aku melirik ke pojok ruangan. Stratocaster polos
miliknya diletakkan di sana.
Aku berdiri, membuka loker, dan mengeluarkan
handuk yang selama ini sudah begitu sering digunakan.
"Lihat, ada celah di sisi pintu yang ini, 'kan? Kamu
harus menutupnya dengan handuk ini. Hasilnya
memang tidak sempurna, tapi kamu akan punya kedap
suara yang lebih baik dengan cara ini. Dan juga ini ...."
Aku mengeluarkan sebuah sapu dan pengki dari
loker, lalu menunjukkan barang-barang tersebut
padanya.
"Bersihkan tempat ini dengan benar. Apa kamu
tidak melihat betapa kotornya sekitaran tembok dan
lantai itu? Aku bekerja cukup keras untuk membuatnya
sebersih sekarang ini. Perlu kamu ingat, aku di sini
untuk mendapatkan ruanganku kembali. Tidak
mungkin aku membiarkan seorang gitaris muda

134
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

sepertimu, yang bahkan belum pernah mendengarkan


musik rock, terus bersikap arogan!"
Aku mengatakan kata-kata angkuh itu tanpa sadar,
lalu menyesalinya segera setelahnya. Mafuyu
menatapku dalam keadaan tercengang dengan mata
yang masih diliputi air mata. Tidak lama setelahnya, ia
menarik napas dalam-dalam, lalu berkata,
"... jadi itu alasanmu membawa bas ke sekolah?"
Beberapa saat lalu, ia benar-benar menangis seperti
anak kecil. Lantas kenapa ia sekarang menunjukkan
ekspresi menyebalkan? Memangnya aku tidak boleh
membawa bas ke sini?
"Apa kamu pikir bisa menang hanya dengan beralih
ke bas? Dasar bodoh!"
"Silakan bicara sesukamu. Permainanku yang
sekarang memang masih belum bagus, tapi aku pasti
bisa segera mengejarmu. Baiklah, kita selesaikan
urusan kita untuk selamanya dengan ruangan ini
sebagai hadiahnya!"
Sambil mengatakan hal itu, kuambil sapu tadi dan
mengarahkan gagangnya ke Mafuyu. Aku
mengatakannya! Mafuyu sepertinya sudah tidak bisa
apa-apa lagi — ia cuma berdiri di sana dengan mata
terbelalak. Kuanggap ia lebih terkejut karena kata-
kataku ketimbang bingung akan tindakanku.
Setelah mengembalikan sapu dan pengki tadi ke
loker, kuambil semprotan kaleng dan meletakkannya di

135
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

meja. Setelah melihat semprotan kaleng tersebut,


Mafuyu memiringkan kepalanya karena bingung.
"... pembasmi serangga?"
"Betul. Kadang kamu bisa bertemu kelabang di
ruangan ini, meski belakangan ini kamu akan jarang
bertemu kecoak."
Tidak lama setelah aku meninggalkan ruangan, bisa
kudengar suara pintu terbuka keras di belakangku. Aku
menoleh, dan melihat Mafuyu berlari keluar ruangan
dengan wajah pusat pasi.
"... apa lagi?! Aku sudah pergi seperti yang kamu
minta, jadi diami tempat itu dengan tenang. Lagi pula,
kamu masih dianggap telat meski kembali ke kelas
sekarang—"
"Ke-ke-kenapa kamu tidak mengatakannya sejak
awal?"
Wajahnya, yang sudah hampir menangis,
membuatnya benar-benar tampak seperti anak kecil.
"Kenapa? Kamu tidak pernah bertanya, sih!"
jawabku sama seperti sebelumnya. "Selama ini kamu
sudah menempatinya, 'kan? Jadi itu bukan masalah."
"Dasar bodoh!"
Lengan atasku dipukulnya berkali-kali. Gadis yang
menyusahkan.


136
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

137
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

Akhirnya, kami kembali ke kelas setelah jam


pertama berakhir. Karena Mafuyu memegang lenganku
dengan ekspresi hampir menangis, aku cuma bisa
mengaku kalah. Kuhabiskan waktu kurang lebih satu
jam di ruang latihan untuk membunuh semua serangga
yang bisa kutemukan, serta menutup dengan plester
semua celah di mana serangga bisa masuk.
Kupikir itu tidak ada gunanya. Makhluk seperti
kelabang dan semacamnya bisa dengan mudah masuk
melewati lubang yang hanya selebar dua milimeter,
'kan?
"Ah, hime-sama sudah kembali."
"Jadi kalian benar-benar kembali bareng ...."
Aku merasa sedikit terintimidasi saat semuanya
memandang ke arah kami sewaktu melangkah ke
dalam ruangan. Eh, tunggu ..., hime-sama?
Ketua kelas, Terada-san, berjalan mendekat,
menempel ke meja, dan berkata,
"Setelah berdiskusi, kelas ini telah memutuskan
kalau kami akan memanggilmu hime-sama mulai hari
ini."
Awalnya wajah Mafuyu berubah putih pucat, tapi
kemudian segera memerah. Aku selalu merasa meski ia
tidak mau banyak bicara, siapa pun bisa dengan mudah
mengetahui apa yang dipikirkannya lewat perubahan
ekspresinya.

138
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

"... ke-kenapa?"
"Kamu tidak suka dipanggil dengan namamu
ataupun nama margamu, 'kan? Sangat merepotkan bagi
kami jika ingin berbicara denganmu."
"Ja-jadi itu alasannya ...."
Seorang anak perempuan di samping Ketua kelas
dengan santai berkata, "Kalau kamu berlutut dan
meminta maaf, kami tidak akan memanggilmu dengan
nama memalukan itu."
"... tidak akan."
"Oh, baiklah. Kalau begitu, mohon kerja samanya
mulai sekarang, Hime-sama."
"Besok giliran Anda piket, Hime-sama. Karena itu,
Anda harus datang lebih awal. Jangan seperti biasanya
di mana Anda selalu hampir telat."
Ah, ia lagi-lagi hampir menangis. Ada apa dengan
murid-murid kelas ini — apa mereka menjahili
pendatang baru? Tapi memang salah Mafuyu sendiri
hingga ia mengalami ini. Itu sebabnya, sedikit pun aku
tidak merasa kasihan padanya. Biarpun begitu, ada apa
dengan perbedaan sikap pada anak muda Jepang zaman
sekarang?
"Ah, kalau ada yang Hime-sama butuhkan, Anda
bisa mengatakannya pada Nao," kalimat dingin dari
ketua kelas langsung meyegel takdirku tanpa perlu
menunggu persetujuanku. Aku hampir jatuh dari kursi
ketika mendengarnya.

139
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

"Kenapa aku?"
"Nao, begini, ya ...."
Anak lelaki yang duduk di kursi di samping
depanku menjelaskan, "Kita selalu memanggil
pangeran atau tuan putri dengan sebutan Yang Mulia,
'kan? Kamu tahu kenapa?"
"Aku tidak tahu ..., dan apa hubungan antara dua
hal itu?"
"Itu artiya, kita adalah orang-orang bawahannya
yang juga melayani mereka — seperti itu. Dan
sangatlah tidak sopan berbicara langsung kepada
keluarga kerajaan, kita hanya bisa berbicara pada
pelayannya saja."
"Ohhh—" "Hari ini aku dapat pengetahuan baru,"
para anak lelaki bodoh di sekitarku menjadi
bersemangat.
"Yang artinya, sang pelayan yang dimaksud adalah
dirimu!"
"Aku? Kenapa?" meski aku memprotes dengan
berulang kali memukulkan tinjuku ke meja, tidak
seorang pun menghiraukanku; karena keputusan itu
telah diterima oleh banyaknya murid di kelas ini, dan
terlalu kuat bagiku untuk menolaknya. Aku melihat ke
arah satu-satunya yang mungkin menjadi penyelamatku
— Chiaki. Akan tetapi, yang dilakukannya hanyalah
melihat ke arahku dan Mafuyu dengan pandangan

140
Bab 7: Handuk, Pembasmi Serangga, Plester

curiga. Ia lalu menunjukkan ekspresi aneh sebelum


berbalik menghadap podium pengajar.

141
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

Kubawa basku kemudian berlari dari ruang kelas


segera setelah sekolah berakhir untuk menuju ke atap.
Begitu sampai di sana, kulihat seorang gadis
berseragam sedang duduk di atas tepi pagar ram sambil
menatap ke langit. Rambutnya tertiup angin, dan ia
sepertinya sedang dalam suasana hati yang baik.
Rupanya itu Kagurazaka-senpai.
"Bukankah kamu terlalu lamban, Shounen? Bel
pulang sekolah saja sudah berhenti berbunyi."
"Tidak, Senpai yang datang terlalu cepat ...."
Bagaimana caranya ia bisa sampai ke sini sebelum
bel berhenti berbunyi? Padahal saat itu pelajaran masih
berlangsung.
"Melodi penanda waktu yang berasal dari pabrik
seberang ini saling bersahutan dengan suara bel
sekolah kita, yang secara kebetulan dan terdengar
menarik, menghasilkan sebuah komposisi nada.
Kuharap kamu bisa mendengarnya, Shounen."
"Hah?!" Omong-omong, bukankah agak berbahaya
duduk di tempat setinggi itu?
Senpai lalu melompat turun dari pagar dan
mendarat tepat di depanku.
"Apa kamu sudah putuskan untuk bergabung
dengan klub kami?"

142
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"Yah ...," kuturunkan bas yang bergantung pada


pundakku lalu menyandarkannya di pagar. Aku sedikit
bimbang dengan kata-kataku, "Aku memang
membutuhkan bantuan Senpai untuk mempelajari bas,
tapi kalau bergabung dalam band ...."
"Kenapa?" senpai mengangkat alisnya yang tampak
indah itu.
"Tidak, aku hanya ingin mendapatkan kembali
ruang kelas itu supaya bisa mendengarkan CD-CD-ku.
Aku tidak memainkan bas ini demi Senpai."
"Tapi tadi kamu cepat-cepat kemari seperti yang
kuperintahkan."
"Itu hanya karena aku butuh bantuan Senpai supaya
bisa memberi pelajaran pada Mafuyu."
"Jadi yang kamu maksud bantuan itu, kamu
memanfaatkanku supaya bisa mengajarimu bermain
bas? Jadi kamu memanfaatkanku seperti aku
memanfaatkanmu, begitu?"
Cara ia mengatakan hal itu sedikit blakblakan, tapi
aku tetap mengangguk dengan jujur. Untuk bisa
menang melawan Mafuyu, aku tidak perlu menjaga
citra diriku.
Sebuah senyuman muncul di wajah senpai.
"Hmm, jadi begitu. Rupanya kamu tidak lagi
memiliki ekpresi seorang pecundang."
Senyumnya itu tidak sedramatis biasanya — justru,
itu senyuman yang sangat alami. Aku terkejut.

143
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"Bukankah ini bagus? Aku sudah memprediksi


kalau kamu pada akhirnya pun akan tetap bergabung.
Jadi, ayo kita mulai!"
Senpai berjongkok dan mengeluarkan berbagai
macam barang dari tas punggungnya ke lantai.
Sebuah amplifier mini dengan baterai di dalamnya,
kabel untuk amplifier, dan juga senar pengganti untuk
bas.
"... tapi, kenapa kita harus berlatih di atap?"
"Shounen, apa menurutmu langkah pertama dalam
berlatih bas?"
Ia menanyakan itu padaku sambil mengeluarkan
senar-senar dari tasnya lalu merentangkannya.
"Hmm ..., bukankah berlatih fingering langkah
kepiting?"
Itu adalah jenis latihan berulang untuk melatih
kemampuan dasar. Pemain menentukan tempo tetap,
dan mulai menekan fret secara berurutan dari telunjuk
sampai kelingking, lalu memainkan setiap skala secara
berurutan. Karena tangan kiri sedikit demi sedikit
bergerak mendekat secara horizontal, beberapa orang
menyebutnya fingering langkah kepiting.
Kedengarannya seperti latihan pemula, tapi itu
adalah dasar dari bermain gitar. Biarpun begitu, senpai
menggelengkan kepalanya.
"Ada hal lain yang perlu kamu lakukan sebelum itu.
Itulah alasan kenapa aku memanggilmu ke atap."

144
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

Senpai menarik senar itu kuat-kuat di kedua


ujungnya.
"Aku sudah membuat tali rentang dari atap ini
sampai ke asrama seberang dengan sebuah senar.
Kamu harus ke gedung seberang dengan berjalan di
atasnya."
Aku terkejut. Hampir saja kujatuhkan basku ini
sewaktu mengeluarkannya dari sarungnya.
"... eh?"
"Kamu tidak akan bisa menjadi pemain bas kalau
tidak bisa menggantungkan hidupmu pada senar-
senarnya. Akan kudoakan keselamatanmu. Mungkin
kamu akan mati jika terjatuh, jadi sebaiknya siapkan
terlebih dahulu mentalmu."
"Tidak, tidak, tidak, tidak, Senpai ini bicara apa?"
"Ya ampun," senpai mengangkat bahunya, "Untuk
menjadi seorang pemain bas, kamu perlu melewati
latihan khusus yang membahayakan hidupmu.
Memangnya kamu tidak tahu? Bahkan para pemain bas
terkenal di Jepang sudah melewati berbagai macam
latihan yang membahayakan hidup mereka. Contohnya,
memukul kepala berulang kali dengan kaleng timah,
atau membiarkan diri terkena kobaran api atau ledakan
gas ..., dan lain sebagainya."
"Pemain bas Jepang terkenal yang Senpai maksud
itu ... siapa?"
"Mendiang Ikariya Chousuke."

145
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"The Drifters itu grup lawak, 'kan?!" kubanting


sarung bas yang kupegang ini ke lantai.
"The Drifters itu juga nama sebuah band! Mereka
pernah jadi band pembuka sebelum konser The
Beatles. Kamu memang tidak sopan, Shounen."
"Aku tahu itu, dan jangan mengalihkan
pembahasan!"
"Soal tali rentang itu cuma bercanda. Hal pertama
yang perlu kamu lakukan adalah mengganti senar
basmu. Karena alat musik itu sudah disimpan di toko
dalam waktu yang cukup lama, kelenturan senar-
senarnya perlahan-lahan berkurang."
O-orang ini memang ....
Kurasa tidak ada gunanya mengatakan sesuatu, jadi
aku mengganti ke-empat senarnya tanpa berkomentar.
"Alasan sebenarnya aku memanggilmu ke atap
adalah itu!"
Kagurazaka-senpai menempelkan dirinya ke pagar
dan menunjuk ke bawah. Tanpa perlu melihat ke arah
yang ditunjuknya, bisa kupahami yang Senpai maksud
adalah suara gitar yang kini sedang kudengar. Ruang
kelas yang digunakan Mafuyu berlatih gitar berada
tepat di bawah kami.
Padahal aku sudah mengajarinya cara membuat
agar ruangan itu kedap suara dengan handuk, lantas
kenapa aku masih bisa mendengar suara gitarnya?
Suara riang melodi itu adalah <Pavane bagi Tuan Putri

146
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

yang Mati> gubahan Ravel. Apa itu akibat dari


keterkejutannya karena dipanggil hime-sama oleh
teman-teman sekelas?
"Bermula dari tujuh hari yang lalu."
Kagurazaka lalu menyandarkan punggungnya di
pagar dan menatap ke langit.
"Aku bolos mulai dari jam pelajaran pertama dan
tinggal di sini sampai sekolah usai sambil
mendengarkan suara jalanan."
Untuk apa sebenarnya ia pergi sekolah?
"Lalu matahari pun mulai terbenam, dan saat seolah
akan turun hujan, terdengarlah suara gitar. Itu
merupakan <Clavier Bertemperamen Sama> gubahan
Bach dari Buku II. Akan tetapi, ia melewatkan fugue-
nya dan memainkan preludenya saja. Aku begitu kesal
hingga tidak menyadari kalau hujan sudah mulai turun
— aku duduk dan terus mendengarkannya."
"Senpai bisa kena flu kalau seperti itu ...."
"Yang dimainkannya hanyalah prelude. Berlanjut
terus hingga sampai di No. 24 dalam B minor — itu
sebuah siksaan yang manis. Kemudian kudengar suara
pintu terbuka, jadi kuintip ruang tersebut dan kulihat
seorang gadis cantik berjalan keluar. Rambutnya
berwarna merah tua yang tampak cerah — seperti
sirup maple beku. Hal itu cukup untuk membuatku
jatuh hati padanya."
Basku terselip dari lututku lalu jatuh ke lantai.

147
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"Anu ..., Senpai?"


"Hmm?"
"Tapi Mafuyu itu perempuan?"
"Memangnya kenapa? Aku suka dengan hal-hal
yang cantik. Di mataku, jenis kelamin bukanlah
masalah. Menurutmu kenapa aku membiarkan Aihara
Chiaki bergabung sebagai rekan band kita? Alasannya
adalah karena ia imut."
"Tolong jangan mengucapkan hal yang di luar
dugaan tadi dengan santai begitu."
"Biar bagaimanapun, tidak pernah kusangka ia bisa
memainkan drum sebaik itu dalam waktu kurang dari
setahun."
"Chiaki bisa menangis jika tahu Senpai berkata
begitu."
"Tidak masalah. Aku akan terus terang
memberitahukan soal seleraku ini pada Rekan Chiaki."
"Jadi semua orang sungguh berpikir kalau Senpai
adalah orang yang bisa mendapatkan apa pun yang
diinginkan?"
Aku terkejut hingga tidak bisa berkata apa-apa.
Tidak kusangka jika ia orang yang seperti itu.
Seharusnya aku belajar bas sendiri — masih belum
terlambat buatku untuk melarikan diri. Aku mulai
menyetel basku sambil memikirkan hal itu.
"Akan tetapi, Ebisawa Mafuyu tidak mendengarkan
sepatah kata pun ucapanku. Ditambah, saat aku

148
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

melakukan pengamatan mendetail, untuk suatu alasan


yang tidak diketahui, kamulah satu-satunya orang di
sekolah ini yang dapat berbincang dengannya."
Aku terkejut dan mengangkat kepalaku.
Yang terlihat di depanku kini adalah senyum
menggemaskan nan berbahaya milik senpai, yang
pernah sekali ia gunakan di pekan itu.
"Karenanya, Shounen, aku butuh bantuanmu."
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa menatap
langsung mata senpai — yang bisa kulakukan hanya
mengalihkan pandanganku kembali pada bas di
tanganku. Seumur hidup, itulah pertama kalinya
seseorang berkata begitu padaku. Tidak, tunggu
sebentar, tenangkan diri dan pikirkan pelan-pelan.
Senpai bilang kalau aku hanyalah bidak yang akan
digunakannya.
"Jadi rencana Senpai sesungguhnya adalah
mengumpulkan sekumpulan gadis manis, 'kan? Bukan
benar-benar mengenai band."
Kukatakan keraguan itu dalam diriku, tapi yang
Kagurazaka-Senpai lakukan hanyalah memiringkan
kepalanya dan menatapku dengan berulang kali
mengedipkan mata.
Semua percakapan yang kulakukan dengannya
bukanlah sekadar halusinasiku semata, 'kan? Pemikiran
seperti itu tiba-tiba terlintas di benakku.

149
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"Shounen, apa kamu tahu alasan manusia terlahir


ke dunia ini?"
Apa maksud dari pertanyaan tiba-tiba ini? Mana
mungkin aku tahu!
"Jawabannya sederhana. Manusia terlahir di dunia
ini untuk cinta dan revolusi."
Tiba-tiba angin berhembus melewati kami,
mengibaskan rambut panjang milik Senpai. Aku
hampir terjatuh meski hanya merasakan hembusan
ringan pada bahuku. Kenapa ia mengatakan semua ini?
Apa aku salah paham mengenai arti dari kehidupan?
Sejenak, pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benakku.
"Lev Trotsky .... Kamu mungkin tidak
mengenalnya, 'kan?"
Aku sudah kehabisan tenaga menggelengkan
kepala.
"Ia adalah revolusionis kedua sebelum yang
terakhir! Ia kabur ke Meksiko setelah kalah dari
koleganya, Joseph Stalin, di kancah persaingan politik.
Ia mati sebelum menyaksikan awal dari revolusi dunia.
Meski begitu, ketidakberuntungannya itu bukanlah
karena tidak ada Stalin di sisinya ....."
Tanpa kusadari, senpai pun mengambil bas dari
tanganku dan mencolokkan kabelnya ke amplifier.
"Ketidakberuntungannya itu karena Paul
McCartney tidak di sisinya. Revolusionis terakhir, John

150
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

Lennon — ia sangat beruntung memiliki Paul


McCartney di sisinya."
Senpai menahan emosinya yang meluap-luap dan
mulai memetik senar-senar bassku dengan kukunya.
Serangkaian nada kuat dan tidak sesuai terdengar keras
dari amplifier yang merangsang pendengaranku. Aku
sama sekali tidak bisa mengerti — bagaimana bisa
senar bas setebal itu bisa menciptakan suara bernada
tinggi? ia memainkan prelude lagu The Beatles yang
berjudul <Revolution>. Itu adalah lagu revolusi yang
ditulis oleh John Lennon, dan itu adalah lagu yang
sering disalahartikan.
"Karenanya, cinta, revolusi, dan musik adalah hal
yang tidak terpisahkan dari hidupku. Kekuatan untuk
mendorong ke revolusi tanpa akhir; kekuatan untuk
menemukan Paul yang hanya ada untukku; dan
kekuatan untuk mengubah pemikiran-pemikiran ini
menjadi lagu yang aku nyanyikan — tidak ada
perbedaan di antara ketiganya. Shounen, apa kamu
puas dengan jawaban yang kuberikan?"
Apa jawaban tadi benar-benar ditujukkan untuk
pertanyaanku ...?
"Ah, aku benar-benar tidak paham maksud
perkataan Senpai."
Saat aku hampir mengutarakan pemikiranku lebih
lanjut, senpai bergumam, "Ya ampun," sambil
mengernyitkan alis dan menggelengkan kepalanya.
Lalu ia kembali bicara, " Apa boleh buat. Untuk

151
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

mudahnya agar kamu bisa paham, ini seperti, Terlepas


dari soal mengumpulkan gadis-gadis manis, aku
sebenarnya memang serius membentuk sebuah band."
"Kalau begitu, jelaskan saja seperti tadi dari awal!"
Sarung bas itu kubanting kembali.
"Terasa lebih baik jika lebih puitis."
"Senpai selalu menganggap orang lain itu bodoh,
'kan? Dan berhentilah memasang wajah angkuh itu —
aku tidak sedang memuji."
"Shounen, reaksimu cukup menarik. Sini, sini."
Senpai tersenyum malu-malu. Sini? Tidak sopan
sekali!
"Baiklah, ayo kita mulai memodifikasi basmu. Aku
sedikit kesusahan dengan kelihaianmu mengalihkan
pembahasan."
Aku? Jadi ini salahku? Saat aku hendak akan
membantah, senpai tiba-tiba mengembalikan bas itu
padaku.
"Kita harus menciptakan bunyi yang sesuai
sebelum kamu mulai berlatih. Lihat, aku sudah
membawa berbagai macam pick up di sini. Kamu
sudah menyiapkan peralatanmu, 'kan?”
Senpai mengeluarkan beberapa suku cadang gitar
dari tasnya. Pick up adalah suatu alat yang menangkap
getaran dari senar. Dengan mengganti bagian ini, akan
terjadi perubahan besar pada nada yang dikeluarkan
alat musik. Modifikasi lainnya termasuk mengganti

152
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

kabel bagian dalam dan semacamnya. Kasus yang


paling ekstrim adalah membuat beberapa lubang pada
gitar itu sendiri.
"... jadi, kita akan memodifikasi bas ini sekarang
juga?"
"Bas Aria Pro II milikmu itu termasuk murah, tapi
aku memilihnya secara khusus dengan
mempertimbangkan timbre dari Stratocaster milik
Ebisawa Mafuyu. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Bas
ini tidak bisa mengeluarkan nada yang menyajikan
respon sempurna terhadap gitar miliknya."
Senpai menunjuk ke bawah pagar pengaman.
Serangkaian petikan cepat dan mengagumkan dari gitar
yang dimainkan Mafuyu terdengar dari arah itu. Aku
pun mengerti, jadi itulah alasan senpai memanggilku
ke atap?


Aku dan senpai berulang kali mempertimbangkan
bagaimana memodifikasi bas itu. Ini terasa begitu
menarik, karena kebetulan aku juga cukup ahli dalam
hal ini.
"... suara dari basmu sudah bisa disetarakan dengan
bas milik Greg Lake."

153
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

Setelah dua jam, sembari memuji, Kagurazaka-


senpai mengambil bas yang telah selesai itu di antara
tumpukan serutan kayu, serpihan logam serta bagian-
bagian dari potongan senar. Aku jadi sedikit tersipu
karenanya.
"Kenapa kamu tidak mengutak-atik Les Paul
milikku juga? Aku ingin membuat nadanya sedikit
lebih berwarna."
"Tidak, aku tidak punya keberanian mengutak-atik
gitar semahal itu."
Senpai cuma tertawa lalu mulai membereskan
peralatan dan sampah-sampah yang ada.
"Usahakan sesering mungkin untuk
menyambungkan basmu ke amplifier saat kamu sedang
berlatih, sehingga tubuhmu bisa merasakan suaranya
dan mengingatnya sewaktu bermain di pertunjukkan
yang sesungguhnya nanti."
Aku menggangguk, dan sekali lagi mencolokkan
bass ku ke amplifier mini. Kejernihan suara bas ini
benar-benar berbeda dengan saat pertama kali aku
membelinya. Ini dimodifikasi sedemikian rupa agar
dapat menandingi kejernihan timbre gitar Mafuyu yang
dimainkan dengan ketepatan menakjubkan. Kalau pun
ditanya, aku cukup percaya diri dengan hasil
modifikasiku.
Sejak saat senpai yang secara tidak masuk akal
memaksaku membeli bas ini, aku tidak sungguh
merasa kalau alat musik ini adalah milikku. Akan

154
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

tetapi, bas ini kini terasa seperti bas yang telah


berlumuran keringat kerja kerasku selama sepuluh
tahun — aku bisa menggunakannya dengan nyaman.
Ini adalah rekan yang kuciptakan dari awal. Akhirnya
aku pun bisa mulai berlatih.
"Tentu saja aku tidak akan membuatmu berlatih
hal-hal dasar berulang kali. Itu tidak perlu, karena
kamu bisa berlatih sendiri di rumah. Mungkin ini
sedikit mendadak, tapi sekarang aku ingin kamu
memainkan sebuah lagu untukku."
Senpai meletakkan selembar partitur yang ditulis
tangan tepat di depanku.
"kamu tahu lagu ini?"
Aku mengangguk. Tidak ada judul di partitur itu,
tapi aku langsung tahu setelah melihatnya sekilas.
"Aku tidak akan membantah kalau melodi bas
memang tidak begitu menarik perhatian. Hampir tidak
ada lagu yang dapat dikenali orang-orang hanya dari
suara bas saja. Tapi ada satu pengecualian, yaitu lagu
ini. Karenanya, kurasa semua pemain bas harus
memulai dari lagu ini, dan juga berhenti di lagu ini."
Lagu itu adalah <Stand by Me> karya Ben E.
King. *Bum, bum, badabum, bum* .... Seperti itulah
ritme basnya — memang benar, hanya dengan dua bait,
kita bisa menyimpan nadanya dalam ingatan.

155
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"Kalau begitu sesuaikan ritmemu dengan metronom


dan mainkan lagu ini! Terus mainkan sampai malam
tiba dan bintang-bintang bermunculan, mengerti?"
Setelah selesai menyanyikan liriknya, senpai
melambaikan tangannya sebelum membuka pintu dan
pergi. Aku mendesah, duduk di lantai dan mengambil
basku.
Meski senpai sudah sering mengejutkanku, tidak
sekalipun aku berpikir kalau ia akan membuatku
memainkan lagu secepat ini.
Hei! Bukankah harusnya ia ada di sini bersamaku?


Setelah satu jam berlatih, aku merasa ada sesuatu
yang janggal. Pada dasarnya, aku tidak tahu perasaan
apa ini.
Hingga aku melepaskan jari-jariku dari senar dan
menghentikan metronom, aku baru menyadarinya—
Aku tidak lagi mendengar suara gitar Mafuyu. Aku
menengadah dan melirik sekilas ke jam di atas tembok
pintu masuk — hampir pukul enam. Mafuyu biasanya
akan terus bermain sampai waktunya gerbang sekolah
ditutup, jadi seharusnya ia belum pulang. Mungkin ia
pergi ke toilet atau semacamnya?

156
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

Kutingkatkan sedikit tempo dari metronomnya dan


mulai bermain dari awal lagi. Kali ini, aku
menggumamkan liriknya sambil bermain.
Akan tetapi, ritme dari liriknya berbeda dengan
ritme bas, sehingga membuatku kesulitan
memainkannya. Jari-jariku sekali lagi berhenti bermain
karena perasaan janggal yang kurasakan sedari tadi.
Pintu atap seharusnya tertutup, namun ternyata kini
sedikit terbuka. Kusandarkan basku ke pagar lalu
berjalan menuju pintu. Sewaktu membukanya, aku
melihat Mafuyu yang ketakutan sedang berdiri di balik
pintu. ia mundur selangkah, tapi langkahnya meleset
dan hampir saja jatuh dari anak tangga di belakangnya.
Saat tangannya bergerak liar di udara, segera kuraih
lengannya dan menariknya ke atas.
"... kamu sedang apa di sini?"
Setelah dengan susah payah menegakkan dirinya,
Mafuyu menyingkirkan tanganku dari lengannya. Ia
segera memalingkan wajahnya lalu menjawab,
"Kedengarannya berisik sekali di atas sini."
Kulirik bas di belakangku dengan sedikit terkejut.
Ia bisa mendengarnya? Tapi aku tadi tidak membuat
suara seberisik itu.
"Kenapa kamu berlatih di tempat seperti ini?"
Mafuyu menatap tajam ke arahku. Ia sepertinya agak
tidak senang.

157
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"Bukankah aku sudah mengajarimu cara membuat


ruangan itu kedap suara dengan handuk?"
"Kalau aku melakukannya, aku tidak bisa cepat-
cepat kabur kalau sesuatu muncul di ruangan itu."
Sesuatu yang muncul di ruangan itu apa?
"Itu ..., saat sesuatu itu ... muncul di ruangan ... atau
semacamnya ...."
Mafuyu menundukkan kepalanya sambil
mengucapkan hal yang ambigu.
"Oh, maksudmu seperti kelabang atau kecoak?"
"Wa! Wa!" Mafuyu menutup kedua telinganya
sambil menginjak kakiku beberapa kali. Aduh! Dirinya
itu kenapa?!
Ia mengubah situasi ini menjadi sesuatu yang agak
konyol, jadi yang bisa kulakukan hanyalah kembali ke
basku. Untuk suatu alasan yang tidak kuketahui,
Mafuyu mengikutiku.
"Eh ... Ada apa lagi?"
"Nadanya sumbang."
Mafuyu menggembungkan pipinya dan menunjuk
basku dengan sedikit kesal.
"Eh?"
"Senar ketiga terlalu datar. Rasanya sangat tidak
nyaman saat aku mendengarkannya tadi. Jadi kamu
tidak menyadarinya?"

158
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

Aku pun mengecek tuner-ku, dan memang sedikit


sumbang. Ia bisa mendengarnya dari tiga lantai di
bawahku? Sehebat itukah dirinya?
"Pinjam."
Saat aku sedang mencoba memperbaikinya,
Mafuyu tiba-tiba merampas bas itu dariku. Ia segera
memutar pemutar senarnya beberapa kali untuk
memperbaiki nadanya lalu mengembalikannya padaku.
"Terima kasih bantuannya! Aku akan membayarmu
sepuluh yen setiap kali kamu melakukannya, jadi
mohon bantuannya lagi ke depannya."
"Dasar bodoh."
Aku tiba-tiba teringat sesuatu, dan mulai
memainkan <Stand By Me>.
"Apa judul lagu ini? Aku pernah mendengarnya di
suatu tempat," tanya Mafuyu. Luar biasa, tepat seperti
perkataan Senpai. Untuk seorang gadis yang diasuh di
bawah pengaruh musik klasik, ini mungkin satu-
satunya lagu yang bisa dikenali Mafuyu hanya dari
suara basnya saja.
"Judulnya <Stand By Me>."
"... menceritakan tentang apa?"
"Tentang apa? Eh? Hmm ..., ceritanya tentang
seseorang yang berjalan menyusuri rel kereta,
kemudian tiba-tiba ia menemukan mayat di sebelah
jalur rel itu."
Mafuyu mengerutkan alisnya.

159
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"... apa ini bualanmu lagi?"


"Tidak, aku tidak bohong," walau sebenarnya itu
adalah sinopsis dari film dengan judul yang sama dan
bukan lirik dari lagu itu.
Tidak lama kemudian, Mafuyu duduk di samping
pintu atap sambil mendengarkan teknik basku yang
masih kasar. Sebenarnya sampai kapan ia mau berdiri
di sana? Sulit bagiku untuk bermain kalau kau ada
dirinya di sini, kuharap ia segera kembali ke
tempatnya. Mungkin karena Mafuyu mengamati
permainanku, aku jadi salah memainkan nada beberapa
kali.
"Apa kamu senang?"
Tiba-tiba Mafuyu menggumamkan pertanyaan itu.
Aku berhenti bermain dan menengadah ke atas.
"... apa kamu senang saat memainkan bas?"
Aku tidak paham bagaimana menjawab pertanyaan
mendadak darinya itu.
"Hmm, lumayan. Cukup menyenangkan bisa sedikit
demi sedikit memainkan lagu yang kusuka."
"Begitukah?"
Mafuyu tidak terlihat tertarik sedikit pun. Yang
dilakukannya hanya mengamati lantai.
Kutanyakan pertanyaan yang sama padanya, "Apa
kamu tidak senang saat memainkan gitar?"
"Tidak sama sekali."

160
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"Kalau tidak senang, kenapa tidak berhenti saja?"


"Kenapa kamu tidak mati saja?"
Aku menggenggam setang basku kuat-kuat
lalu menarik napas dalam-dalam. Baiklah, tidak apa-
apa, jangan marah. Tidak akan ada habisnya kalau aku
terus-terusan menganggap serius kata-katanya. Aku
harus bersikap lebih dewasa.
"Kalau memang tidak senang, kenapa setiap hari
kamu terus menutup dirimu di ruang latihan untuk
bermain gitar? Pulang dan mainkan saja pianomu itu!"
"Bukan urusanmu."
Tentu saja itu urusanku! Ia sudah mengambil paksa
tempat istirahatku. Iya, 'kan?
"Kalau begitu ..., bisakah untuk tidak
menggemboknya? Di hari Jumat, seusai sekolah kamu
langsung pulang ke rumah, 'kan? Bisakah di hari itu
saja kamu membiarkanku menggunakan ruang
latihan?"
"Tahu dari mana kalau hari Jumat aku langsung
pulang ke rumah? Dasar maniak!"
Ini tidak ada hubungannya dengan diriku yang
maniak atau tidak. Hal tadi bisa dengan mudah kulihat
dengan kedua mataku ini.
"Tidak! Jangan dekat-dekat denganku!"
Percakapan kami pun berakhir seperti itu.
Aku terus berlatih dengan tenang, tapi Mafuyu
tidak terlihat berniat akan pergi. Ia berjalan mondar-

161
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

mandir di sekitar pintu, ragu-ragu apakah sebaiknya


kembali ke bawah atau tidak. Dirinya itu sedang apa?
"—Hime-sama?"
Mafuyu terkejut dan berbalik ke arahku.
"Apa kamu juga akan memangilku seperti itu?"
"Terus aku harus memanggilmu seperti apa?
Ebisawa-san?"
Tatapannya tajam ke arahku.
"Mafuyu?"
Kali ini ia menundukkan pandangannya ke bawah
lalu mengangguk sambil sedikit menggigit bibirnya.
Jadi dia bisa menerimanya kalau aku memanggil
dengan nama depannya? Tapi sulit bagiku
memanggilnya seperti itu!
"Katakan saja kalau ada yang mau kamu katakan.
Kemarin aku sudah bilang begitu, 'kan?"
"Kenapa sikapmu sok hebat begitu?"
Apa hak dirinya berkata seperti itu padaku? Akan
tetapi, saat aku bermaksud menatap balik padanya,
Mafuyu mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang canggung —
ia bergumam pelan,
"... ada sesuatu yang bergerak-gerak di belakang
kabinet dan berdengung."
Eh? Oh ..., jadi itu alasannya datang kemari?
"Kamu punya pembasmi serangga, 'kan?"

162
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

"Aku sudah menyemprotkannya ke seluruh ruangan


sebelum cepat-cepat kabur ke sini."
Ya ampun, bukan begitu cara menggunakan
pembasmi serangga! Itu bukan jenis boron yang
digunakan untuk mengasapi serangga sampai mati.
"Tidak ada gunanya kalau kamu tidak
menyemprotkan langsung ke serangganya!"
"Kamu menyuruhku melakukan hal seperti itu?"
Mafuyu mengatakannya sambil menggertakkan
giginya dengan air mata di sudut matanya. Tubuhnya
tampak sedikit gemetaran. Apa begini caranya minta
tolong pada orang lain? Meski begitu, kalau kubiarkan,
Mafuyu tidak akan pernah menggunakan ruangan itu
lagi, yang berarti kemenangan ada di tanganku?
"Kalau kamu tidak ingin melakukannya, bagaimana
kalau kembalikan saja ruangan itu padaku layaknya
seorang wanita dewasa?"
"Dasar berengsek!" ucap Mafuyu padaku sambil
menahan air mata, "Baiklah, biar kulakukan sendiri."
Mafuyu lalu membanting pintu, dan dari langkah-
langkah kakinya terdengar seperti menuruni tangga.
Silakan dan berusahalah semampunya!
Aku pun lanjut memainkan <Stand by Me>.
Meski begitu, aku agak penasaran bagaimana
hasilnya, jadi aku mengintip dari sela-sela pagar ram.
Mafuyu berdiri di luar ruang latihan dengan kaku,
tangan kirinya mengepal. Setelah menatap gagang

163
Bab 8: Tuan Putri, Revolusionis

pintu selama beberapa saat, ia pun meraihnya, namun


segera berhenti, seolah tenaga dalam dirinya habis
tersedot. Ia berdiri di sana tanpa bergerak, dan
punggungnya gemetaran tiada henti. Karena ia terlihat
sangat menderita, kumatikan amplifier, meletakkan
basku lalu berdiri.
Ternyata suara berdengung itu bukan disebabkan
oleh serangga. Setelah melewati anak tangga yang
menuju lapangan, aku pun masuk ke ruang latihan.
kucoba menggoyangkan kabinetnya dan sesuatu yang
tersangkut di belakangnya tiba-tiba jatuh dengan
suara *pak*. Ternyata itu adalah sampul depan dari
album pertama Iron Maiden. Suara berdengung itu
mungkin suara gemerisik dari halaman sampul depan
tersebut yang disebabkan oleh resonansi gitar Mafuyu.
Sebenarnya aku sempat berpikir akan kehilangan
sampul depan itu untuk selama-lamanya. Itu sebabnya
aku sangat senang saat mendapatkannya kembali.
Dengan senangnya, kutunjukkan sampul itu ke Mafuyu
yang di dalamnya ada gambar zombie mengerikan —
dan jelas saja, ia pun menyemprotkan pembasmi
serangga tadi ke wajahku sambil berteriak dan
menangis.

164
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Kalau Ebisawa-san tidak suka bermain gitar,


kenapa ia masih memainkannya?"
Chiaki menyambungkan pemutar musik miliknya
dengan pengeras suara mini, terdengar alunan
komposisi <Rangkaian Inggris> untuk
iringan sarabande. Ia bertanya padaku sambil
mengetuk lututnya dengan jari mengikuti irama
komposisi itu.
"Dia mahir sekali bermain piano. Bahkan sewaktu
ia bermain gitar, semua bagian yang dimainkannya itu
komposisi untuk piano, 'kan?"
"Mungkin dia belum tahu banyak soal gitar."
Kagurazaka-senpai menyebar banyak partitur ke
lantai, dan dengan serius mengamatinya sambil
menjawab pertanyaan Chiaki.
Karena Klub Riset Musik Rakyat masih belum
resmi diakui, aktivitas klub ini sering dilakukan di atas
atap. Meski aku bukan salah satu anggotanya, senpai
selalu saja mengajakku ke atas atap sepulang sekolah
— Aku curiga kalau secara perlahan ia berencana
menjeratku untuk bergabung dalam klub. Karena ada
rapat anggota klub, makanya Chiaki juga di sini.
"Jadi, apa pendapatmu setelah mendengarkan CD
mafuyu?"

165
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

Kemarin, sekitar lima hari yang lalu sejak aku


berlatih sesuai intruksi senpai, ia pernah bilang padaku.
"Besok tolong bawakan semua CD dan partitur
yang Mafuyu mainkan. Karena kamu tinggal dengan
seorang kritikus musik, pasti di rumahmu menyimpan
seluruh koleksi karyanya, 'kan?"
Partitur dan CD itu sudah pasti ada di rumahku, tapi
yang jadi masalahnya adalah untuk mencari
kesemuanya. Kuhabiskan waktu semalaman untuk
mencari partiturnya di perpustakaan Tetsurou yang
berantakan itu, dan alhasil, aku hampir telat datang ke
sekolah. Senpai tampak senang sewaktu melihat
partitur-partitur yang kubawa. Yang kutahu, senpai kini
sedang mencocokkan partitur sambil mendengarkan
permainan Mafuyu.
"Rupanya permainan Ebisawa Mafuyu berkutat
pada gubahan Bach; tapi tidak mungkin ia
memainkan fugue dengan gitar — secara logika itu
mustahil, 'kan?"
"Bisa jadi," aku mengangkat bahu.
Fugue merupakan istilah dalam bahasa Italia yang
berarti melarikan diri. Gaya komposisi ini berkembang
di awal era musik modern — tepatnya era Baroque —
yang kemudian disempurnakan oleh Bach. Gaya ini
memanfaatkan berbagai suara yang masuk pada waktu
yang berbeda dan saling berkejaran dengan melodi
awal — karena itu, biasanya istilah itu juga
disebut nada yang berlarian.

166
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

Artinya, karena gitar biasanya hanya memainkan


satu melodi saja, maka sangat sulit bagi Mafuyu jika
ingin memainkan fugue.
"Nah, kalau kamu ingin menantangnya, kamu harus
bisa memainkan pada bagian fugue-nya ...."
"Begitu .... Eh? Senpai bilang apa tadi?"
Seketika tanganku berhenti memetik bas.
"Jadi yang katanya ada rapat angota itu ternyata
untuk ini?"
"Memangnya kamu kira untuk apa?" ucap senpai
kaget. "Shounen, Kupikir sekarang waktunya kamu
untuk sadar, perbedaan kemampuanmu dengan
Ebisawa Mafuyu diibaratkan seperti semut putih
dengan paus biru. Mustahil menang bagimu jika tidak
memikirkan strategi."
"Aku tahu, tapi apa tidak bisa kasih perumpamaan
yang sedikit halus?"
"Bagaimana kalau apel dengan bumi?" sambung
Chiaki.
Itu lebih parah!
"Biar bagaimanapun, kamu tidak punya kesempatan
jika melawannya dengan komposisi Bach," tandas
senpai.
"Eh, tunggu, jadi aku harus memainkan musik
klasik?"
Senpai menengadahkan pandangannya dari partitur
dan tampak lebih terkejut.

167
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Memangnya apa lagi? Apa kamu punya rencana


lain untuk memberi pelajaran padanya?"
"... eng, ya ...." sejujurnya aku tidak pernah
memikirkan hal ini. "Aku memang masih belum yakin,
tapi kurasa jika sesuatu seperti aku memainkan
semacam musik rock padanya, mungkin saja ia bisa
sedikit kagum padaku?"
"Kamu pikir, orang yang punya teknik tinggi dalam
bermain gitar seperti dirinya akan terguncang karena
permainan yang mau kamu tampikan itu, hah? Ingat —
aku yang susah kalau kamu sampai melupakan ini —
aku ingin Ebisawa Mafuyu masuk ke Klub Riset Musik
Rakyat. Yang berarti, aku menginginkan dirinya
sebagai salah satu anggota band."
"Eh?"
Lalu?
"Jadi, nantinya kita harus bisa memainkan sebuah
komposisi bersama dengan Ebisawa-san, 'kan" sambil
membalikkan partitur yang di lantai, Chiaki lanjut
berkata, "Itu berarti, kita harus memainkan komposisi
yang Ebisawa-san tahu."
Kagurazaka-senpai lalu mengelus kepala Chiaki
dengan lembut. Begitu, jadi karena itu kita akan
memakai fugue. Bagian yang Mafuyu sukai, tapi tidak
bisa ia mainkan sendiri.
Basku sudah dimodifikasi agar sesuai dengan
timbre gitar Mafuyu, yang berarti .... Untuk inikah

168
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

tujuannya? Tapi ..., eh? Jadi aku yang bergabung ke


klub juga termasuk dalam rencananya? Jadi semua itu
sudah dipikirkan oleh senpai? Padahal sudah jelas
kukatakan kalau aku hanya menginginkan ruangan itu,
dan bukan untuk bergabung ke dalam klub.
"Bagaimanapun juga, ia tidak akan langsung suka
dengan permainan kita, bahkan jika kita sudah hati-hati
memilih salah satu fugue dari Bach .... Selain itu, meski
kita berhasil menyeretnya ke dalam pertarungan ini,
keahlian Shounen tidak bisa mengimbangi gadis itu
hingga saat-saat terakhir, bahkan mungkin bisa
langsung selesai begitu saja," senpai mengigit bibir
bagian bawahnya sambil melempar partitur yang ia
pegang. "Meski begitu, kita masih punya kesempatan
jika Shounen di pihakku dan menjalani latihan
bertahun-tahun, tapi hal semacam itu butuh banyak
waktu."
Aku juga tidak ingin latihan yang semacam itu!
Rasanya hidupku sudah tidak akan sama lagi jika
menjalani latihan semacam itu.
"... hei, Nao. Bukankah Ebisawa-san pernah bilang
kalau ia akan menghilang di bulan Juni?"
Setelah mendengar perkataan Chiaki tadi, aku lalu
menatap ke atas langit dan perlahan mulai mengingat
kata-kata itu. Seingatku, Mafuyu mengatakan itu di
hadapan seluruh penghuni kelas di hari ia baru pindah
ke sekolah kami. Karena berbagai hal tidak

169
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

menyenangkan yang ia lakukan setelahnya, aku jadi


benar-benar lupa soal ucapannya tersebut.
Kata-katanya itu — apa yang sebenarnya ingin ia
sampaikan?
Senpai lalu bertanya pada Chiaki, "Menghilang di
bulan Juni? Apa setelah itu ada lagi yang
dikatakannya?"
Chiaki menekan bibir bagian bawahnya dengan jari
sambil berpikir sejenak sebelum menggelengkan
kepala.
"Aku akan menghilang di bulan Juni, jadi kumohon,
lupakan saja aku, itu saja yang dikatakannya. Apa
maksudnya? Apa ia akan pindah sekolah lagi? Atau ia
akan belajar di SMA yang berafiliasi dengan sekolah
musik?"
"Kalau begitu, gawat," senpai melipat kedua
tangannya lalu lanjut berkata, "Kalau kita bisa
mengajaknya bergabung ke klub, aku bisa memakai
pesonaku untuk mengikatnya. Biarpun begitu, semua
akan berantakan kalau ia keburu menghilang sebelum
itu terjadi."
"Senpai, Undang-Undang Kesusilaan itu ada.
Senpai tahu sendiri, 'kan? Senpai tidak bisa seenaknya
bertindak di luar batas kewajaran."
"Jangan khawatir. Aku bisa membuatnya terpesona
padaku tanpa melanggar tindakan asusila."

170
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

Lalu apa maksud dari perilaku penuh hasratnya


tadi?
"Jadi ..., Shounen, kalau kamu tidak punya
ketetapan hati untuk mati demi cinta dan revolusiku ....
Oh!"
Tiba-tiba Senpai mematikan dicsman-nya.
"... ada apa?"
"Ebisawa Mafuyu datang."
Aku melirik ke bawah melalui pagar dan melihat
punggungnya. Dengan rambut panjangnya yang
berwarna merah tua itu, seketika ia langsung lenyap ke
dalam gedung musik lama. Aku yakin senpai tidak
melihatnya, tapi dari mana ia tau kalau Mafuyu datang?
Apa ia seekor hewan buas?
Perlahan bersama-sama kami merebahkan tubuh ke
lantai dan dengan sabar menunggu. Beberapa detik
kemudian, terdengar suara gitar. Eh? Komposisi apa
ini? Rasanya aku pernah mendengar ini sebelumnya,
tapi aku tidak bisa mengingatnya. Petunjuk yang
kudapat adalah kalau ia memainkan gubahan Liszt.
"—Ini Paganini."
Ucap senpai di telingaku. Aku jadi ingat.
Niccolò Paganini, seorang violinis yang dijuluki
sang Iblis dikarenakan teknik permainannya yang
begitu mumpuni. Ia juga cukup berbakat sebagai
komposer, tapi karena tidak percaya diri, ia tidak

171
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

pernah merilis komposisinya itu. Karenanya, semua


karya-karyanya itu sudah hilang entah ke mana.
konserto dan capriccio'violinnya — bersama
dengan 'etude' piano yang digubah Franz Liszt
berdasarkan capriccio-nya — mungkin satu-satunya
karya yang ditinggalkannya pada era musik modern.
Yang Mafuyu mainkan sekarang
adalah etude gubahan Liszt.
Serasa seperti tulang di dalam tubuhku akan retak
oleh getaran seintens itu jika aku mendengarnya lebih
lama. Chiaki pun merasa ngeri mendengarnya.
Permainan yang penuh amarah.
"... begitu ..., Paganini, ya."
Lagi-lagi senpai bergumam. Aku berbalik arah, dan
melihat ia sedang mencari-cari dalam tumpukan CD
Mafuyu dengan tampang serius; tangan kirinya pun
ikut dipakai memeriksa partitur. Ada apa ini?
Akhirnya, senpai menemukan CD dan partitur yang
ia cari.
"Ketemu."
"Semua itu mau dibuat apa?"
"Shounen, apa aku boleh meminjam ini?"
"Ya, boleh saja ...."
"Kalau begitu, aku pulang duluan, ya. Ada lagu
yang ingin kugubah."
"Maksudnya, lagu yang tadi?"

172
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Yak, Shounen — Paganini. Kita akan lakukan


persis seperti yang Paganini lakukan dulu. Kita bisa
menang dengan ini."
Wajah senpai dipenuhi oleh semacam energi, walau
aku sendiri masih bingung. Maksudnya itu apa? Semua
yang dibawanya tadi bukanlah gubahan Paganini—
"Itu sudah pasti. Orang yang bisa mengajari
Beethoven hanyalah Beethoven seorang, 'kan?"
Sekejap Senpai mengedipkan matanya dengan
manis sebelum turun ke bawah sambil membawa
partitur dan CD. Seperti biasanya, ia selalu mengatakan
yang orang lain tidak mengerti. Yang Paganini lakukan
dulu?
Meski sekeras apa pun memikirkannya, aku masih
saja tidak mengerti. Jadi kurebahkan basku ini di paha.
"Senpai tampak senang sekali—"
Chiaki bergumam sendiri sambil menatap Senpai
yang meninggalkan kami berdua. Yah, perempuan itu
memang selalu terlihat senang, 'kan?
"Aku tidak menyangka kalau senpai begitu
menyukai Nao."
"Yang diinginkannya itu Mafuyu, bukan aku. Aku
ini hanya jembatan penghubung antara kedua orang
itu."
Chiaki menyipitkan matanya lalu menatapku,
sepertinya ia merasa tidak puas terhadap sesuatu.
"... apa?"

173
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

174
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Hmm— tidak apa-apa."


Tiba-tiba Chiaki berdiri lalu duduk tepat di
belakangku, punggungnya bersandar di punggungku.
Karena terkejut, aku sedikit memajukan posisi
dudukku, tapi karena ia menyandarkan punggungnya
kembali, aku jadi tidak bisa bergerak.
"Senpai bilang kalau kita ini seorang pejuang."
Tiba-tiba terdengar suara Chiaki.
"... pejuang?"
"Iya. Kamu belum pernah dengar? Klub Riset
Musik Rakyat ini hanyalah sebuah garda untuk menipu
Dunia. Sebenarnya, kita ini adalah pasukan revolusi."
"Tidak, sama sekali tidak," sebuah garda untuk
menipu dunia? Senpai bilang begitu? Ayolah!
"... apalagi, ya? Senpai juga pernah
bilang, International Keenam atau Partai Garda Depan
atau apalah itu."
Bukankah hal semacam itu bisa menyesatkan
murid-murid mengenai pergerakan yang terjadi pada
sebuah era? Lagi pula, apa maksudnya yang keenam?
Memangnya yang kelima sudah ada?
"Aku tidak tahu mana di antara kata-katanya yang
memang sebuah kebenaran dan mana yang hanya
sebuah candaan."
"Bisa jadi semua perkataanya tadi itu ternyata
benar, 'kan?" Chiaki tertawa, "Tapi bagaimana kalau
memang hanya sebuah candaan? Tidak mungkin juga

175
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

kamu bisa memahami kebenaran dari kata-kata


candaan yang senpai buat. Ya, 'kan?"
"Oh— kurasa bisa juga seperti itu."
"Saat kompetisi musim panas lalu, ingat tidak,
sewaktu aku cedera karena kesalahanku sendiri? Saat
itu, dokter bilang kalau aku selamanya tidak bisa lagi
untuk berlatih judo."
"Eh? Bukankah dokter bilang kalau itu hanya
sebulan saja?"
"Hmm— aku bohong padamu. Waktu itu Nao
sangat khawatir, karena itu aku tidak bisa mengatakan
yang sebenarnya."
Jadi semua perkataan dokter waktu itu juga
bohong?! Aku merasa bersyukur sewaktu melihat
dirinya yang baik-baik saja setelah mengalami cedera,
tapi setelah kuingat lagi, rupanya saat itu aku memang
bodoh sekali.
"Aku benar-benar merasa depresi, tahu? Dari
ekspresimu saja sudah bisa terbaca — kamu pasti
berpikir kalau cederaku ini sangat serius. Aku tidak
sanggup mengatakan yang sebenarnya karena hal
tersebut sudah lama berlalu."
"Aku ... tidak pernah menyangka kalau sampai
seserius itu."
"Ya, sebenarnya memang seserius itu."
Chiaki lalu membenturkan belakang kepalanya ke
kepalaku.

176
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Seandainya aku tidak pernah bertemu Kagurazaka-


senpai, mungkin selamanya aku akan merahasiakan ini
darimu."
Ia mampu berhenti dari judo karena sekarang ia
bermain drum — apa itu yang sebenarnya mau ia
katakan? Tapi apa Chiaki memang sepeka itu?
"Dulu aku sering kabur dari rumah saat larut
malam, berkeliling sendirian di sekitar stasiun. Banyak
orang yang datang mau mencari gara-gara denganku.
Karena aku sering dikira laki-laki — ditambah, aku
tidak bisa menggunakan kekuatanku karena cedera —
aku jadi sering melalui masa-masa sulit. Biarpun
begitu, aku masih bisa meladeninya asal tidak lebih
dari tiga orang."
Justru yang benar itu jangan diladeni!
"Saat itu aku pernah dikejar, dan aku berlari hingga
ke lantai dasar sebuah gedung. Setelah itu aku tersadar
kalau aku sedang berada di kelab pertunjukan musik,
dan tiba-tiba senpai menghadang mereka yang sedang
mengejarku. Senpai sungguh keren — senpai pun
membelikanku minuman dan menyuruh mereka untuk
membayar tiket masuk.
... itu dibilang keren?
"Ah, tapi senpai juga menyuruhku untuk membayar
tiket masuk."
"Sudah kuduga."

177
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Karena saat itu aku tidak bawa uang, aku hanya


bisa membayarnya dengan tubuhku ini."
Rasanya saat ini juga aku ingin memukul kepalanya
dengan kipas kertas seperti acara lawak di TV, tapi
kuurungkan.
"Jadi, maksudnya pejuang tadi itu apa?"
Sebutan itu terdengar seperti istilah yang
menggambarkan suara dengkuran dalam film-film.
"Yak, senpai pernah menjelaskan soal itu, untuk
melakukan sebuah revolusi, setidaknya senpai
membutuhkan tiga orang lagi. Ketua, bendahara dan
semacam komandan pasukan. Dengan bergabungnya
Nao, berarti tinggal Ebisawa-san saja."
"Tunggu, aku belum bilang setuju untuk bergabung,
'kan?"
Tiba-tiba sandaran punggung Chiaki tidak
kurasakan lagi. Aku jatuh mengenai lantai dan
kepalaku membentur dengan cukup keras — rasa
sakitnya menyebar sampai ke rahang.
"Uh ...."
Setelah aku membuka mata, kulihat wajah Chiaki
dalam pandangan terbalik, menatapku dari dekat. Aku
menelan ludah karena terkejut.
"Tidak ada lagi alasan bagimu untuk menolak,
tahu? Lagi pula kamu juga sudah membeli bas."
"Soalnya itu—"

178
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

Chiaki memegang kepalaku di kedua sisi dengan


kedua tangannya. Aku tidak bisa lagi bergerak.
"... apa karena Ebisawa-san?"
Karena Ebisawa-san — itu sedikit berbeda dari
yang hendak kukatakan, meski begitu, aku
menganggukkan kepalaku tanpa sadar.
"Kenapa? Kenapa semua ini karena dirinya? Kamu
tidak harus sampai memaksa diri demi dirinya, 'kan?
Dan lagi, belakangan ini kamu sudah sering berlatih
tanpa henti, teknik permainanmu juga semakin
berkembang. Kamu tahu? Aku sendiri terkejut dengan
dirimu yang sekarang."
Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya jika ia
menanyakan hal itu lagi padaku.
"Semua itu kulakukan demi mendapatkan kembali
ruanganku," jawaban itu mungkin terdengar seperti
alasan yang dibuat-buat.
Soalnya, jika aku memakai alasan karena ingin
mendengarkan CD-CD-ku dengan tenang sepulang
sekolah, pasti akan muncul saran yang berupa cara -
cara alternatif dalam mendengarkan CD-CD tersebut.
Kalau begitu, apa ini demi reputasi musik rock?
Atau demi harga diriku sendiri? Sehebat apa pun aku
menjelaskan, semuanya tidak akan terasa benar. Biar
bagaimanapun, aku tetap harus menantang dirinya.

179
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

Untuk beberapa saat, aku memikirkan hal tersebut


di otakku. Chiaki lalu melepaskan pegangannya dan
membantuku mengangkat tubuh bagian atasku.
"Bagaimana caranya kalian berdua bisa saling
kenal?"
Chiaki kembali duduk dan bersandar di
punggungku lalu menanyakan hal tersebut.
"Kenapa kita malah membahas soal itu?"
Sulit untuk menjelaskan soal yang terjadi saat itu,
itu sebabnya aku tidak punya keinginan membicarakan
hal tersebut.
"Tadi aku sudah bercerita tentang perkenalanku
dengan senpai. Sekarang giliranmu."
Aku tidak mampu memikirkan alasan yang bagus
untuk menolaknya — Chiaki pun kembali
membenturkan kepalanya ke belakang kepalaku —
membuatku mulai mengingat kejadian waktu itu. Aku
pun bercerita tentang toko yang penuh dengan sampah
layaknya akhir dunia, begitu pula tentang Mafuyu yang
memainkan sonata piano.
Ada satu bagian yang tidak kuceritakan, yaitu
bagian di mana rongsokan-rongsokan di sana
mengeluarkan suara seperti orkestra.
Kemungkinan ia tidak akan percaya — dan untuk
beberapa alasan, lebih baik hal tersebut tetap
kurahasiakan, bahkan untuk orang seperti Chiaki.

180
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Tempat itu sepertinya menarik. Kapan-kapan aku


mau ke sana, ah."
"Jangan, tempat itu tidak menarik sama sekali."
Tumpukan sampah yang sangat besar layaknya
sisa-sisa tulang-belulang korban hasil perang itu
dibiarkan membusuk dari waktu ke waktu — di antara
tumpukan tersebut, berdiri sebuah piano. Semua terasa
sunyi seolah gambaran akhir dunia terpapar di tempat
itu — Mafuyu mungkin satu-satunya orang yang masih
bisa hidup di tempat tersebut.
Aku mencoba untuk mengingatnya lagi, mengingat
alunan melodi dari sonata piano yang dimainkan
Mafuyu saat itu. Melodi yang terbentuk dari
rangkaian arpeggio, seperti gelombang di permukaan
laut yang bergerak secara perlahan. Apa itu gubahan
Debussy ..., eh, tunggu, apa mungkin Prokofiev, ya?
Aku masih tidak bisa mengingat komposisi yang
dimainkannya kala itu.
Ditambah, itu rasanya seperti sesuatu yang tidak
bisa disentuh. Waktu itu Mafuyu bilang padaku kalau
ia ingin agar aku melupakan komposisi yang
dimainkannya itu.
Kalau begitu, komposisi tersebut pasti menyimpan
sebuah cerita. Bagi Mafuyu, komposisi tersebut bisa
mengarah pada suatu rahasia yang dipendamnya.
Dan aku pun tersadar kalau aku benar-benar tidak
mengerti tentang Mafuyu.

181
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Intinya ...."
Suara Chiaki tiba-tiba terdengar dan membuyarkan
lamunanku.
Tanpa kusadari, Chiaki sudah berjongkok di
depanku sambil menatap mataku.
"Kamu begitu peduli terhadap Ebisawa-san, ya?"
"Hmm ..., hmm?" samar-samar kujawab, "Eh ...,
apa? Kamu ini bicara apa?"
"Tidak usah pura-pura bodoh."
Chiaki menyunggingkan senyum yang tampak
dibuat-buat sambil menepuk dahiku. Setelahnya, ia pun
berdiri.
"Baiklah, aku mau pulang dulu. Panggil saja aku
jika kamu butuh teman latihan. Yah, tapi sepertinya itu
tidak perlu."
Chiaki lalu berjalan masuk ke dalam gedung tanpa
menoleh ke arahku. Kini tinggal aku sendiri di atas
atap yang luas ini dengan ditemani oleh alunan melodi
kesepian yang Mafuyu mainkan di gedung bawah.
Kenapa semua perempuan di sekitarku ini punya
pribadi yang rumit? Kugelengkan kepala sembari
tanganku kembali mengambil bas.
Tiba-tiba aku teringat kejadian saat Mafuyu naik ke
atap sini tempo hari.
Setelah semua yang kulalui hari ini, aku mulai
kembali berlatih seusai menyetem basku.

182
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang


Keesokan harinya, setelah ia datang ke kelas,
Mafuyu menyerahkan sebuah benda persegi berwarna
abu-abu yang dikeluarkan dari tasnya padaku. Benda
itu dibungkus dengan rapi — apa ini?
"Nih ...."
"Eh? Apa?"
Dia menyodorkan benda itu ke tanganku.
Kuperhatikan benda tersebut dari segala sisi.
"Itu, itu untuk menebus ... kesalahanku. Aku
membelikannya untukmu."
Sekarang aku jadi bingung. Mafuyu membelikanku
sesuatu? Apa ini cuma gurauan?
"Tapi awas saja kalau kamu membukanya di sini!"
Aku mengangguk walau pikiranku sendiri masih
kebingungan. Meski begitu, teman-teman sekelasku
yang tidak mau mendengar penjelasan orang lain ini
mulai mengerumuniku — heboh seperti biasanya. Dan
salah seorang anak lelaki merebut benda itu dari
tanganku.
"Apa ini? Hadiah dari hime-sama? Oi, oi, yang
benar, nih?"
"CD, ya? Nao, apa boleh kubuka?"

183
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Eh, ah, tunggu ...."


Bungkusan yang menutupi benda itu pun dirobek
sebelum aku dan Mafuyu sempat menghentikannya.
Ternyata itu sebuah CD. Dan di bagian sampul CD itu
terlihat zombie membawa kapak berlumuran darah di
tangannya sambil berseringai. CD itu
bertuliskan [IRON MAIDEN – KILLERS].
"Bukankah sudah kubilang kalau jangan dibuka?!
Jangan perlihatkan benda itu padaku, menjijikan!"
Mafuyu berbalik dan terdengar seperti hampir
menangis.
"Mafuyu lagi-lagi bilang kalau aku menjijikan.
Satu-satunya alasanku untuk hidup telah sirna."
"Jangan khawatir, dia bukan mengataimu."
"Tapi zombie ini sedikit mirip denganmu, tahu?"
Teman-teman sekelasku kembali mengatakan hal-
hal bodoh. Kurebut kembali CD itu dari mereka.
"Eng ..., kamu membelikanku CD ini hanya karena
sampulnya?"
Aku sudah membuang sampul CD yang kutemukan
di belakang kabinet kemarin gara-gara Mafuyu yang
sudah menyemprotkan pembasmi serangga di benda
itu. Mafuyu mengangguk sambil membelakangiku
kemudian bergumam, "Buruan, singkirkan!"
Itu hanya sebuah sampul, kenapa ia sampai
sebegitunya? Aku membayangkan tentang Mafuyu
yang merasa jijik harena karena gambar zombie,

184
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

kemudian membayangkan ia ke toko musik lalu masuk


ke bagian heavy metal dan membolak-balik CD-CD di
sana — sampul CD-CD tersebut semuanya
mengandung gambar yang ekstrim — dan dengan
susah payah mencari CD Iron Maiden. Entah apa lagi
yang harus kukatakan padanya.
Terlebih—
"Ada apa?"
Mafuyu melirik ke arahku seakan tahu jika ada
yang mau kukatakan.
"Eng, tidak .... Bukan apa-apa."
"Katakan!"
"Hmm .... Mungkin aku kurang pantas mengatakan
ini, apalagi setelah kamu membelikan ini untukku. Tapi
yang kamu beli ini adalah album kedua. Sampul yang
rusak di ruangan itu sebenarnya dari album pertama."
Aku tidak bisa menyalahkannya karena kedua
album itu memiliki sampul yang hampir sama. Setelah
mendengarnya, wajah Mafuyu langsung memerah. Ah,
sial.
*Brak* — Mafuyu membanting tangannya ke meja
lalu berdiri.
"Biar kubeli sekarang."
"Jangan, pelajaran akan dimulai."
"Biarkan saja!"

185
Bab 9: Paus, Paganini, Pejuang

"Kebetulan sampul album kedua milikku juga


sudah jelek, jadi aku sungguh berterima kasih karena
kamu sudah membelikanku CD ini."
Sewaktu aku mencoba membesarkan hati Mafuyu,
bel sekolah pun berbunyi. Dan karena guru sudah
datang ke kelas lebih awal dari biasanya, Mafuyu pun
tidak jadi merealisasikan idenya tadi. Aku memang
benar-benar tidak paham soal perempuan!

186
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

Malamnya, setelah selesai makan malam seorang


diri, aku mulai berlatih bas. Di tengah latihan,
kudengar suara nyaring dari benda-benda yang
berjatuhan dari arah pintu utama.
"Oh .... Sebuah anugerah tiada tara bisa mati
terkubur dalam tumpukan mahakarya musik dari
berbagai zaman ...."
Di dekat pintu, Tetsurou yang mengenakan jas —
sebuah pemandangan langka — sedang tertimbun oleh
tumpukan CD yang berjatuhan. Beliau menatap langit-
langit sambil bergumam sendiri.
"Sebelum kamu mati, tinggalkan dulu uang yang
cukup supaya aku bisa tenang menjalani hidup."
Bicara soal itu, seingatku, aku sudah merapikan
CD-CD ini, 'kan? Sesering apapun aku merapikannya,
CD itu pasti akan ditumpuk sampai setinggi-tingginya
— percuma kalau ditegur. Aku mengeluh sambil
menggali tumpukan CD yang menimpa Tetsurou.
"Kalau aku mati, kamu harus menaruh partitur
<Sang Burung Api> gubahan Stravinsky di dalam
petiku. Jangan mainkan <Misa Massal pada D minor>
atau semacamnya, mainkan saja <Passion Santo
Matius>! Setelah itu aku akan menimpa catatan yang
dipegang Yesus Kristus lalu bangkit kembali dalam
dua hari."

187
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

"Itu tidak perlu. Pergi saja ke neraka dan jangan


kembali! Bukankah sudah kuberi tahu kalau mau
minum alkohol harus bilang dulu padaku?"
"Ah, hmm. Sudah lama aku tidak bertemu teman
sekelasku dari sekolah musik .... Hoeek ...."
Mahakarya musik dari berbagai zaman, bersama
dengan satu-satunya jas mahal milik Tetsurou, menjadi
kotor karena cairan berbau asam. Orang tua ini sudah
hampir mati karena mabuk.
"Ahhhh. Ini harus dicuci."
Setelah muntah di toilet, Tetsurou kembali dengan
wajah pucat. Bahkan setelah melihat betapa joroknya
jas yang beliau kotori itu, beliau beralasan kalau itu
bukan karena beliau. Hanya ada satu alasan kenapa
Tetsurou berpakaian serapi ini. Yaitu konser. Mungkin
karena bawaan dari pekerjaannya, makanya beliau
sering menghadiri sebuah konser, meski begitu, beliau
hanya punya satu setel jas. Harus bagaimana aku
menghadapi kelakuannya itu? Yang penting, aku harus
memberinya secangkir jus lemon hangat dulu biar
beliau tidak mabuk lagi.
"Uuuuh, aku hidup kembali. Aku memang pria
yang beruntung. Istriku pergi meninggalkanku, tapi
Tuhan memberikanku seorang anak yang sangat peduli
padaku."
Kenapa ibuku tidak berusaha keras
memperjuangkan hak asuhku?

188
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

"Aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan


wanita. Lima teman sekelasku tidak memiliki
pasangan, dan tiga di antaranya sudah bercerai!"
Tetsurou tiba-tiba dengan liriknya sendiri,
menyanyikan aria <Sang Wanita yang Lincah> dari
opera Rigoletto. Kututupi wajahnya dengan kantong
sampah supaya diam. Harusnya beliau tahu kalau kita
ini bertetangga dan jangan membuat keributan!
"Sama sepertimu yang mencoba berurusan dengan
gadis itu, 'kan? Kamu sudah menyerah berlatih gitar
atau apalah namanya itu, 'kan?"
"Aku masih memainkannya! Dan berhentilah
memperlakukanku seperti orang bodoh!" aku
menunjuk basku yang tergeletak di sofa.
"Tapi permainanmu payah, 'kan?"
"Yah, aku minta maaf kalau soal itu!" berarti
suaranya terdengar sampai keluar, ya? Untuk
kedepannya, kurasa aku tidak akan
memakai amplifier lagi saat berlatih di rumah.
"Wah, kok bisa? Apa gadis itu sebegitu hebatnya?
Ah, Ebisawa Mafuyu, kan? Tempo hari kamu sempat
menyinggungya. Gadis itu lumayan juga. Tahu tidak?
Ada semacam pembicaraan di komunitas kami .... Coba
perhatikan, pada sampul depan musisi perempuan, foto
yang digunakan biasanya foto yang diambil dari
samping — terutama pianis. Kalau ia cukup manis,
maka foto wajahnya sedikit dimiringkan, dan kalau ia
menawan, foto wajahnya diambil langsung dari depan.

189
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

Aku sudah menjalani profesi ini selama 15 tahun, dan


Mafuyu adalah perempuan pertama yang kuketahui
difoto dari bawah — eh? Kenapa, ya, Nao-chan?
Kenapa harus sampai difoto dari bawah?
"Berisik."
Kusimburkan segelas air ke wajah Tetsurou
"Kamu ini kenapa .... Belakangan ini sikap Nao-
chan dingin sekali. Jangan-jangan kamu membenciku,
ya?"
"Hei, Tetsurou ...."
"Hmm?"
"Apa kamu benci dengan yang namanya PPN"
"Eh? Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
"Jawab saja."
"Hmm, kalau ditanya benci atau tidak .... Kurasa
hal itu tidak perlu ada dalam hidupku, jadi mungkin
jawabannya adalah benci. Tapi aku sejak dari dulu
sudah membayar PPN, jadi aku sudah lupa rasa
bencinya itu."
"Hmm, jujur, begitulah perasaanku yang
sebenarnya padamu."
"... apa aku boleh menangis?"
"Kalau mau menangis, di luar saja, sana!"
Tetsurou mengapit botol wiskinya di ketiaknya dan
tampak seperti memang hendak keluar. Jika melihat
betapa beliau bisa mengganggu tetangga yang lain, aku

190
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

harus segera menghentikannya. Semoga beliau sadar


dengan umurnya dan cepat tidur!
"Namun rasanya kamu tidak mungkin punya
peluang pada Ebisawa Mafuyu. Soalnya .... Yah, kamu
tahu sendiri, kamu ini anak seorang kritikus musik, dan
ia juga tahu soal itu. Sebenarnya tadi aku baru kembali
dari konser Ebichiri yang kebetulan diadakan di
Jepang. Dan sebenarnya aku tadi juga sempat
mengajaknya minum, tapi ia bilang kalau ia akan
tampil secara langsung di TV, jadi sudah bisa ditebak
kalau ia pasti menolaknya. Biarpun begitu, kami
sempat saling mengobrol saat acara jamuan makan
malam. Sepertinya untuk sebulan ini ia akan menetap
di Jepang, setelah itu ia akan pergi jauh saat bulan Juni
nanti. Mungkin ia akan balik ke Amerika."
"Sudah kubilang, kamu itu salah paham .... Eh?"
Ebichiri — ayah Mafuyu — berada di Jepang?
Dan ia akan kembali ke Amerika bulan Juni nanti.
Kalau begitu, Juni yang Mafuyu katakan waktu itu ...,
maksudnya itu?
"... lalu, soal Mafuyu? Apa ada yang kamu dengar
tentangnya?"
"Hah?"
"Bukan apa-apa. Jadi ..., apa nanti ia akan ikut balik
ke Amerika?"
Sekitar tahun-tahun terakhir ini, Mafuyu mungkin
bepergian bersama ayahnya ke negara-negara di Eropa

191
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

dan Amerika untuk tur internasional. Ia tidak perlu


melakukan hal percuma seperti pindah ke sekolah kami
hanya untuk satu bulan, 'kan?
"Ia mungkin tidak akan bermain piano lagi. Aku
baru saja mendengar mengenai hal itu tadi, tapi
tampaknya para kritikus sudah menulis ulasan-ulasan
kejam tentang dirinya. Ia bahkan sampai pernah
mengikuti kompetisi yang tidak ada hubungannya
dengan Ebichiri, dan memenangkannya. Meski begitu,
ia tetap saja dihubung-hubungkan dengan nama besar
ayahnya.
"Ah ...."
Aku jadi ingat kejadian saat Mafuyu menatapku
penuh dengan kebencian tempo hari.
Keberadaan kritikus itu sendiri yang mengganggu.
Mereka selalu saja menulis omong kosong, aku yakin
kalau ia mengatakan itu.
"Gaya permainannya seakan mengundang kritikan
itu sendiri. Contohnya, sikapnya yang tidak
bersemangat; permainannya yang terlalu tenang;
penyampaian terhadap bagian-bagian dalam sebuah
komposisi yang buruk; musik yang terasa bagaikan
serangga yang merayap; atau gaya bermain yang terlalu
bergantung pada teknik .... Bahkan aku sendiri bisa
langsung memikirkan kritikan kejam sewaktu ia
bermain. Dan kalau aku mau, aku mungkin bisa
menulis ulasan tentang permainannya hingga tiga
puluh halaman. Tapi akan terasa bodoh kalau aku

192
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

sampai melakukannya — ini bukan soal memainkan


komposisi dengan bagus tapi soal memainkannya
dengan cemerlang."
"Jadi itu alasan Mafuyu tidak bermain piano lagi?"
"Entahlah. Para kritikus lain tampaknya juga
menulis tentang kehidupan pribadinya, meski itu tidak
ada hubungannya dengan musik, yah, mungkin karena
ia anak Ebichiri. Tahu sendiri, kalau ibunya itu orang
Hungaria dan mereka sudah bercerai."
"Ah .... Jadi ia memang anak blasteran, toh."
Mendadak aku teringat kejadian saat aku
memperbaiki tape recorder-nya dulu. Hongaria.
"Ah— jadi kamu tidak tahu? Yah, sebaiknya itu
tidak usah dibahas lagi. Aku merasa seperti paparazzi
yang sedang memburu berita."
Tetsurou membuka tutup botol wiskinya dan
langsung meminumnya. Aku sudah tidak punya tenaga
lagi untuk menahannya.
Saat aku menjalani kehidupan santaiku sebagai
murid SMP di Jepang, Mafuyu sudah melanglang
buana ke mancanegara. Di bawah tatapan
keingintahuan dan benci dari sekelilingnya, ia
menjalani hidup dengan rasa takut yang
menggentayangi ketika memainkan piano. Kehidupan
macam apa itu? Aku tidak sanggup membayangkan itu
semua.

193
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

Meski begitu, aku pun kembali ke permasalahan


utama. Kalau ia memang sudah tidak ingin lagi
bermain piano, kenapa kini ia bermain gitar?


Keesokan harinya, saat aku berjalan menuju kelas,
kudengar teman-temanku sedang berbincang soal
sebuah acara di TV.
"Acaranya ditayangkan langsung?"
"Ya, sepertinya ia sudah kembali ke Jepang."
"Mereka membahas apa saja?"
"Aku bingung dengan yang mereka perbincangkan.
Yah, walau tidak sebingung saat aku mendengarkan
musik klasik, sih."
"Apa mereka berdua ada kemiripan?"
"Tidak sedikit pun. Hime-sama lebih mirip
ibunya?"
Setelah mendengar sedikit pembicaraan mereka,
aku jadi tahu kalau mereka sedang membicarakan
Ebichiri. Sekilas aku melirik ke kursi Mafuyu yang
kosong.
"Pembawa acaranya juga menanyakan soal hime-
sama."

194
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

"Hubungan antara ayah dan anak itu tidak terlalu


harmonis, 'kan?"
Sejenak aku berpikir — mereka tahu kalau Mafuyu
sebentar lagi akan datang, tapi kenapa mereka masih
bergosip tentang dirinya dengan suara keras?
"Nao, ayahmu itu dulunya teman sekelas Ebichiri,
'kan?"
"... kamu tahu dari mana?"
"Maki-chan yang bilang! Beliau juga bilang, saat
Ebichiri masih mengajar dulu, ayahmu selalu
menggoda gadis-gadis."
Maki-sensei .... Semoga beliau tidak selalu
berlebihan sewaktu bercerita pada mereka.
"Eh, jadi Nao tidak tahu tentang hime-sama
sebelumnya?"
"Tapi dari yang kulihat kemarin, Ebichiri selalu
mengalihkan topik setiap kali pembawa acara bertanya
tentang anaknya. Apa kamu tahu alasannya?"
"Eng, begini ...."
Kulepaskan basku dari bahu lalu kurebahkan ke
meja. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun
berkata,
"Berhenti menanyakan hal-hal yang berhubungan
dengan dirinya, paham?"
Seluruh kelas melihat ke arahku dengan tatapan
kaget. Aku berpura-pura merapikan bukuku, dan lanjut
berkata,

195
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

"Jangan ganggu dirinya lagi. Ia itu bagaikan anak


kucing liar yang sedang terluka — kalau kalian
mendekat, ia mungkin akan langsung mencakar; tapi
kalau kalian membiarkannya sendiri, ia tidak akan
mengganggu. Gadis itu sudah punya sejumlah masalah
sewaktu tur internasional di Amerika, itu sebabnya—"
Saat aku menjelaskannya, semua perhatian murid-
murid di sekitarku langsung tertuju padaku. Bisa
kurasakan sensasi menusuk pada belakang pundakku.
Aku membalikkan badan, dan melihat Mafuyu sudah
berdiri di depan pintu kelas. Rona merah tampak dari
balik kulit cerahnya. Apa itu bawaan lahir dari ibunya
yang merupakan orang Hongaria? Mata besarnya
menatap ke arahku — sepertinya itu bukanlah tatapan
marah, tapi lebih seperti terkejut.
"... ah, begini, aku tidak ...."
Aku tidak yakin kalau aku kini sedang merangkai
kata untuk membuat alasan.
"Kamu memang ahli dalam menyebarkan berita,
ya."
Gumam dirinya sambil berjalan ke arah kursinya.
Sekelilingku pun sudah berpencar ke segala arah.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."
"Tolong jangan bicara padaku."
Suara Mafuyu bagaikan sepasang bilah gunting
yang memotong jarak di antara kami berdua. Aku
hanya bisa terdiam. Mereka yang sudah tidak di

196
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

sekitarku tadi mengedip-ngedipkan mata tanda


prihatin.
Chiaki yang tergesa-gesa masuk ke kelas segera
setelah bel berbunyi, melintasi diriku dan Mafuyu. Ia
menyadari suasana berbahaya ini.
"Ada apa ini?" ia menoleh padaku, lalu ke Mafuyu,
"Kalian bertengkar lagi?"
"Aku tidak pernah bertengkar dengan anak ini, jadi
jangan pakai kata lagi"
Ucap Mafuyu sambil membuang mukanya.
Chiaki hampir ingin mengatakan sesuatu, tapi aku
menarik lengannya dan memohon agar jangan
mengatakan apa-apa lagi.


Jangankan berbicara, bahkan Mafuyu sejak tadi
tidak sekali pun menoleh ke arahku. Ia langsung
bergegas keluar kelas setelah bel istirahat berbunyi.
"Ia marah ...."
"Hime-sama marah ...."
Seluruh penghuni kelas bergumam penuh
penyesalan, bersama dengan tatapan-tatapan mereka
yang tertuju padaku. Kali ini memang benar-benar

197
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

salahku, jadi tidak ada pilihan lagi bagiku selain berdiri


dan keluar kelas.
Aku berjalan ke arah lapangan menuju ruang
latihan di gedung musik tua. Tidak ada gembok yang
terpasang di pintu, dan pintu itu pun dibiarkan sedikit
terbuka. Diam-diam kuintip ke dalam ruangan, rupanya
tidak ada siapa-siapa. Ada apa ini?
Aku masuk ke dalam ruangan dan melihat gitar
yang sudah tersambung pada amplifier;
sebuah pick tergeletak sembrono di meja. Sepertinya
ada seseorang yang baru saja masuk kemudian
langsung bergegas keluar dari ruangan ini. Itu berarti,
harusnya tidak apa-apa kalau aku menunggunya di sini,
'kan? Aku pun tersadar kalau aku masih belum
memikirkan cara untuk meminta maaf padanya.
Kenapa Mafuyu sampai semarah itu padaku?
Aku duduk di alas empuk yang diletakkan di atas
meja sambil berpikir bagaimana caranya meminta
maaf. Tidak sengaja kujatuhkan pick tadi ke lantai saat
mengibaskan tanganku. Mungkin itu pick milik
Mafuyu. Aku pun menyadari sesuatu saat aku
mengambilnya — bentuknya agak aneh.
Bicara soal itu, pick adalah sepotong plastik tipis
yang berbentuk segitiga atau seperti onigiri. Walau
begitu, pick Mafuyu ini punya semacam cincin plastik
yang menempel di kedua belah sisinya.
Kucoba untuk menyelipkan jempol dan jari
telunjukku pada cincin plastik tersebut, dan posisi

198
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

jariku sekarang seperti sedang memegang pick pada


umumnya. Biarpun begitu, belum pernah
kulihat pick yang semacam ini. Aku pernah
lihat pick khusus telunjuk atau pick khusus jempol
yang aman untuk jari-jemari tersebut, tapi pick dengan
dua cincin plastik ....
"Jangan sentuh!"
Sebuah suara datang dari arah pintu, membuatku
hampir menjatuhkan pick tersebut. Mafuyu mendorong
pintu tersebut dengan pundaknya.
Kukembalikan pick itu ke posisi semula kemudian
menjauh dari meja.
"Anu, begini .... Aku minta maaf."
Aku menunduk dan melihatnya sedang
menggenggam kantung plastik kecil berwarna putih di
tangan kirinya .... Apa itu tas obat?
"Apa kamu sedang tidak enak badan?"
Mafuyu kaget mendengar pertanyaanku, dan
berkata, "Bukan apa-apa," ia lalu menaruh tas obat itu
di bawah bantal. Apa ia baru kembali dari UKS?
"Kamu mau apa?"
Sambil berdesah, Mafuyu menanyakan itu padaku.
Ini tidak seperti caranya yang biasa ia pakai untuk
mengusirku. Justru lebih menakutkan jika ia bersikap
seperti ini.

199
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

Tanpa basa basi kukatakan, "Aku ke sini untuk


meminta maaf padamu," di saat aku hendak
memikirkan kalimat selanjutnya, Mafuyu berkata,
"Kenapa? Kamu meminta maaf untuk apa?
Ceritakan saja soal diriku ke semua orang! Aku sama
sekali tidak peduli."
"Hei, biar aku jelaskan, jadi dengarkan aku dulu,"
kataku sambil menahan emosi. "Kemarin, Tetsurou,
yang juga ayahku, pulang ke rumah dalam keadaan
mabuk dan bercerita soal gosip yang didengarnya dari
para kritikus lain. Beliau bilang kalau ada beberapa
kritikus di Amerika yang menulis hal-hal buruk
tentangmu. Meski begitu, beliau tidak pernah
mengatakan apa pun secara rinci, itu sebabnya—"
"Itu sebabnya kamu tidak usah meminta maaf
padaku!"
Bisa kurasakan emosi yang seketika membakar
wajahku.
"Berhenti menyela omongan orang lain!"
"Apa, jadi kamu ke sini untuk melampiaskan
kekesalanmu padaku?"
"Bukan begitu ...." kutahan ucapanku sambil
berusaha sebisa mungkin menjaga emosi. "Baiklah, aku
mengerti. Aku ke sini untuk meminta maaf atas nama
para kritikus yang selalu saja menulis omong kosong."
Kebiasaanku yang sering mengatakan omong
kosong muncul kembali. Mafuyu mengedip-ngedipkan

200
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

matanya karena kaget, yang kemudian diikuti dengan


ekspresi terkejut.
"Tapi kamu bukan seorang kritikus, 'kan? Yang
kutahu itu ayahmu."
"Aku termasuk di antaranya."
Mafuyu memiringkan kepalanya. Tatapannya
penuh dengan kebingungan.
"Ya, itu benar. Aku sudah menulis artikel
mengatasnamakan Tetsurou hingga sekitar empat atau
lima kali, dan artikel itu rupanya terbit di majalah
musik. Itu sebabnya, aku harusnya wajib untuk
meminta maaf padamu, 'kan?"
Mafuyu lalu menggigit bibirnya. Setelah itu, ia
melihat lantai kemudian menggelengkan kepala.
"Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang mau
kamu katakan. Apa sebenarnya maksudmu?"
Tiba-tiba ia berkata dengan suara yang agak
bergetar.
"Kenapa? Kenapa kamu meminta maaf padaku?
Padahal aku sudah sering berlaku kejam padamu."
"Jadi kamu sebenarnya sadar, ya?"
"Dasar bodoh."
Mafuyu mengangkat kepalanya. Matanya dipenuhi
warna suram layaknya langit yang mendung — persis
seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Terasa lembab seakan sebentar lagi turun hujan.

201
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

"Aku tidak peduli dengan hal-hal kejam itu.


Terserah bagaimana mereka menulis tentangku atau
apa yang mereka tulis tentangku, aku tidak peduli. Aku
tidak seperti itu .... Tidak seperti itu ...."
Samar-samar kudengar suara Mafuyu yang beriak
dari kejauhan, dan perlahan terasa sulit untukku
bernapas. Aku jadi berpikir — ada di mana sebenarnya
dirinya itu? Gadis yang susah dipahami ini, dengan
aura ungu suram yang mengelilinginya, harusnya ia
berada tepat di depanku — tapi kenyataannya, seberapa
jauh jarakku dengan dirinya? Kenapa ... suara dan
tanganku tidak mampu menggapainya?
"Kenapa kamu peduli denganku? Ini sama seperti
yang dulu. Kenapa kamu menolongku? Kumohon,
tidak usah pedulikan aku lagi. Karena aku pun akan
segera menghilang."
Mafuyu menyandarkan gitarnya lalu duduk di atas
meja, ia rangkul lututnya hingga menyentuh dada dan
membenamkan wajahnya pada kedua lengan.
Kesuraman dari derasnya hujan terasa di sini, namun
hujan tersebut hanya turun pada dirinya.


Aku berjalan keluar dari ruangan, tapi aku masih
bisa mendengar suara samar dari hujan yang masih

202
Bab 10: Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat

turun. Meski begitu, langit pada bulan Mei ini justru


cerah dengan satu atau dua awan di atas gedung.
Aku berpikir dalam benakku — aku pasti
melupakan sesuatu; aku pasti melewatkan sesuatu yang
penting tentang Mafuyu. Meski begitu, aku tidak tahu
apa itu. Hingga saat ini, aku merasa kalau aku mulai
memahami sebuah hal, namun perasaan tersebut ditelan
semua oleh awan mendung khayalan yang berada di
dekat gadis itu. Kupaksa tubuhku untuk bergerak,
serasa basah kuyup, aku pun berjalan kembali menuju
kelas.

203
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

Tiga hari kemudian, di malam hari, Chiaki


membawa partitur ke rumahku.
"Kenapa belakangan ini kamu tidak ke atap? Hari
ini pun kamu langsung ke rumah sepulang sekolah!
Senpai jadi cemas, tahu?!"
Seperti biasa, Chiaki yang masih memakai seragam
sekolah memanjat pohon di pekarangan lalu masuk
lewat jendela kamarku. Ia mengatakan itu sambil
mengayunkan setumpuk partitur di tangannya.
"Hmm ...."
Aku memutar-mutar kabel headphone-ku dan lirih
menjawab,
"Entah kenapa, rasanya aku tidak begitu
bersemangat akhir-akhir ini."
"Untuk seseorang yang tidak punya motivasi seperti
dirimu, kamu tidak pantas mengatakan itu."
Aku jadi lebih tertekan. Aku naik ke kasurku lalu
menarik selimut sampai ke kepalaku.
"Iya, aku yang salah."
Chiaki duduk di dekat bantal dan menarik selimut
dari wajahku. Ia kemudian bertanya,
"Apa Ebisawa-san mengatakan sesuatu lagi
padamu?"

204
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

Aku tidak menjawab, dan justru menutupi wajahku


dengan bantal. Sejak hari di mana aku pergi untuk
meminta maaf kepada Mafuyu, aku belum pernah
menyentuh basku lagi. Pikiranku benar-benar kacau.
"Hei, apa jangan-jangan kamu mau berhenti?"
"... bisa jadi."
Aku sudah mempersiapkan diri untuk menahan
pukulan ataupun pitingan segitiga dari Chiaki, namun
ternyata, ia menatap langit-langit dan tidak berkata
apa-apa untuk waktu yang lama.
"... padahal kupikir kalau kita akhirnya bisa
membentuk sebuah band."
Kudengar ia menggumamkan sesuatu. Untuk
sesaat, aku merasa sudah terlalu banyak memikirkan
hal ini. Saat kuangkat kepalaku untuk melihat wajah
Chiaki, ia menyodorkan lembaran partitur padaku.
"Senpai menghabiskan begitu banyak usaha untuk
menggubah komposisi Beethoven agar menjadi partitur
untuk bas, semuanya itu demi dirimu!"
Dengan malas kutatap rangkaian not balok yang
menari di dalam lima baris paranada.
"Tidak, tidak bisa. Aku tidak mungkin bisa
memainkan komposisi ini."
"Itu karena kamu belum mencobanya, 'kan?"
Chiaki benar, jadi aku membaringkan tubuhku ke
kasur lalu menyembunyikan diriku dari balik selimut.
Tiba-tiba, Chiaki menekan seluruh berat tubuhnya ke

205
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

bagian sekitar pinggangku dan mulai berlatih drum di


punggungku. Seperempat ketuk, seperdelapan ketuk,
sepertiga ketuk, seperenam belas ketuk .... Ia
menggunakan stik drumnya dengan akurat untuk
memukul punggungku sesuai irama ketukan.
"Chiaki, sakit tahu?!"
"Aku tahu."
Apa maksudnya, Aku tahu, itu?! Jawaban macam
apa itu! Ia terus memukul-mukul punggungku sambil
tetap mempertahankan tempo. Tidak lama kemudian,
pikiranku menjadi lemah.
"Semua orang merasa sakit jika mereka terpukul
tepat di hati mereka."
Aku tidak tahu apa yang ia bicarakan. Namun, aku
mulai membayangkan rasa sakit di hatiku ketika
dipukul seperti drum. Ini mungkin cukup menyakitkan
untuk membuat mayat melompat keluar dari kuburan
mereka.
Aku tidak tahu apakah Chiaki semakin menjiwai
permainan drumnya, tapi ia perlahan-lahan mulai
memainkan tempo seperdelapan. Entah bagaimana,
rasanya seperti kepalaku adalah simbal dan tangan
kananku adalah floor tom. Tunggu, berhenti — Chiaki-
sama, rasanya sakit! Tidak lama kemudian, komposisi
tiba-tiba memasuki bagian refrein. Dengan ringannya
ia mulai masuk ke irama seperenam belas pada bahu
kiriku yang dianggapnya sebagai pengganti snare.

206
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

"Chiaki, tunggu, itu sakit! Aku bilang sakit!"


Aku terus menggeliat di bawah selimut, tapi
lawanku adalah mantan sabuk hitam Judo — ia tahu
persis di mana ia harus menerapkan kekuatan untuk
membuatku tidak mampu bergerak. Pada akhirnya, aku
harus menunggu sampai ia selesai bermain untuk satu
komposisi penuh sebelum diriku dibebaskan dari
tindihan bokongnya.
"Apa kamu tahu lagu yang kumainkan barusan?"
Chiaki bertanya padaku setelah aku berhasil
melarikan diri dari balik selimut. Senyum nakal
muncul di wajahnya.
"<Jenggot dan Boyne> dari Unicorn, 'kan?"
"Oh, kamu cukup jeli."
Meskipun kasus seperti ini jarang terjadi, sama
halnya dengan <Stand by Me> yang bisa langsung
dikenali hanya dengan barisan melodi bas, beberapa
lagu dapat dikenali langsung hanya dengan
mendengarkan suara drumnya saja. Sebenarnya,
keajaiban ini mungkin dapat terjadi murni karena
Chiaki dan aku tumbuh dengan mendengarkan musik
yang sama sejak TK, sebelum band Unicorn
dibubarkan.
"Sayang sekali, jawabannya adalah <Kepolosan
Asia>."

207
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

"Jadi kamu hanya bermain-main denganku?!"


Mengira bahwa hal itu sebagai sebuah keajaiban —
bukankah itu membuatku terasa seperti orang bodoh?
"Tidak, kok. Kita masih harus melakukan yang
terbaik, bahkan jika hidup itu membosankan! Aku akan
mendukungmu, meskipun hanya sedikit."
Sambil mengatakan itu, ia meraih sepatu yang
diletakkannya di atas mejaku lalu melompat keluar dari
jendela .... Kenapa tidak keluar lewat pintu utama saja?
Aku sendirian lagi. Aku duduk di tempat tidur dan
mengambil partitur yang ditinggalkan Chiaki. Temanya
begitu sederhana dan temponya juga cukup lambat —
kupikir, mungkin aku bisa langsung memainkannya.
Sampai titik di mana suara-suara kedua, ketiga dan
keempat perlahan berkejaran, tidak ada perubahan
dalam kesulitan untuk bagian yang harus kumainkan.
Meski begitu, variasi sebelumnya jauh lebih rumit, dan
untuk fugue, aku benar-benar harus memainkan melodi
yang sama sulitnya seperti melodi yang dimainkan
Mafuyu hingga akhir lagu. Biar bagaimanapun, itu
benar-benar mustahil! Kulempar partitur itu ke
samping lalu berbaring dan menatap langit-langit
sejenak. Punggungku masih sedikit sakit karena
permainan drum Chiaki tadi.
Hal-hal seperti betapa sulitnya komposisi itu, atau
diriku yang tidak punya motivasi sama sekali — itu
semua hanya alasan. Aku tahu sekali soal itu. Itu
sebabnya, Chiaki mungkin juga sudah tahu tentang hal

208
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

tersebut. Aku hanya malu akan diriku sendiri. Aku


sama sekali tidak mengerti tentang keadaan di sekitar
Mafuyu, tapi aku malah dengan antusias menantangnya
bertanding. Untuk mendapatkan kembali ruang kelas
sehingga aku bisa menghabiskan waktu sepulang
sekolah — hanya untuk sesuatu yang bodoh itu? Bodoh
sekali aku ini. Tapi itu justru menjadi alasan bahwa aku
tidak bisa menyerah di titik ini, kalau tidak, aku akan
menjadi orang yang lebih bodoh lagi.
Bergegas kuraih partitur dan pergi ke ruang tamu
untuk mengambil basku dari sarungnya.
Sewaktu aku sedang menyetem basku, sebuah senar
tiba-tiba putus. Seakan ingin memberitahuku bahwa
aku tidak mungkin bisa melakukannya.
Aku lalu berbaring di sofa dan berencana untuk
tidur, tapi bagian punggungku yang Chiaki pukul
dengan stik drum mulai sakit kembali. Karena itu,
kujejalkan partitur tadi ke dalam sarung bas,
menentengnya ke punggungku lalu berjalan keluar
melalui pintu utama.


Langit sudah mulai gelap ketika aku sampai di
Toko Musik Nagashima. Melalui sebuah celah
selebar pensil, bisa kulihat segala macam gitar yang

209
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

dipajang di toko; gitar-gitar itu bersinar di bawah


lampu sorot. Entah bagaimana, adegan itu terasa begitu
nostalgia hingga hampir membuat mataku berkaca-
kaca. Aku hanya sekali mengunjungi toko ini, lalu
kenapa aku sampai merasa seperti itu?
Karena tidak ada pengunjung yang datang,
Kagurazaka-senpai terlihat sedang menjaga toko
seorang diri. Ia berada di seberang meja kasir. Dengan
menggunakan sepotong kain kuning, dengan hati-hati
dan lembut ia membersihkan setang gitar yang semua
senarnya telah dilepas.
"Shounen, dari tadi aku membayangkan kalau ini
sudah waktunya bagimu untuk datang! Aku benar-
benar bahagia, kamu tahu?"
Setelah melihatku, ia pun meletakkan gitar dan
berdiri.
"Kamu kemari untuk membeli senar basmu, 'kan?"
Aku melompat kaget dan menganggukkan kepala
dengan linglung. Bagaimana senpai bisa tahu?
"Ada satu hal yang ingin kumintakan maaf
padamu."
Ketika senpai mengatakan itu, ia mengambil senar
bas dari rak dan membawanya ke sisi meja kasir yang
terdiri dari banyak kompartemen.
"... maksudnya?"

210
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

"Sebenarnya aku sudah melakukan sesuatu pada


senar ketiga, itu sebabnya senar tersebut jadi lebih
mudah putus."
"Haa?" aku berteriak aneh. "Kenapa Senpai
melakukan itu?"
"Kamu gampang menyerah, 'kan? Aku pikir
mungkin kamu akan mengurung diri di rumah jika
mulai bosan ketika sudah setengah jalan. Jika senarmu
putus saat itu maka .... Lihat, bukankah itu alasan yang
sempurna bagimu untuk datang menemuiku?"
Senpai lalu tersenyum sembari mengambil tiga
lembar uang seribu yen dari dompetnya dan
menaruhnya di kasir.
"Itu sebabnya, biar aku saja yang membayar
senarmu!"
Dibandingkan senar gitar, senar untuk bas harganya
sangat mahal, tapi pemilik toko akan siap membantu
ketika ingin mengganti senar. Aku terkejut, dan untuk
sesaat, aku tidak bisa berbicara. Aku selalu berpikir
penyeteman akan membuat senar jadi lebih gampang
dipakai, tetapi dalam kenyataannya, apa senar bisa jadi
lebih cepat putus?
"Apa yang akan Senpai lakukan jika aku
memutuskan untuk menyerah bermain bas karena
senarnya putus?"
"Berarti tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku
sudah memikirkan hal itu sebelumnya — aku akan

211
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

menyerah jika itu memang bukan takdirnya. Biarpun


begitu, kamu masih bergegas mendatangiku, 'kan?"
Ucap senpai dengan wajah tersenyum, hingga
membuatku tidak berkata-kata lagi.
"Kamu bawa partiturnya?"
Aku mengangguk dan mengambil partitur — yang
telah dinotasikan sendiri oleh senpai — dari dalam
sarung bassku.
"Jadi, kamu datang kemari bukan untuk mengeluh
soal sulitnya partitur ini bagimu, 'kan?"
"Tidak, itu .... Bukan apa-apa." aku mengalihkan
mataku dan berbohong.
"Sampai mana kamu bisa memainkannya?"
"... sampai sekitar variasi keempat, tapi aku terhenti
di bagian itu. Aku tidak bisa memainkan fugue-nya,
bahkan aku berpikir kalau tidak mungkin bagiku untuk
bisa melakukannya."
Senpai dengan cepat selesai menyetem senar bas
baru dan mulai memainkan bagian fugue-nya sembari
duduk di meja. Aku mendengarkannya dengan
perasaan yang campur aduk.
Musik yang keluar dari gitar Mafuyu terasa
bagaikan diiris langsung dari pilar es raksasa.
Sebaliknya, permainan Kagurazaka-senpai terasa
seperti sinar yang membekukan di musim dingin —
musik yang dimainkannya muncul tiba-tiba, dan
menembus awan. Terasa benar-benar luar biasa bisa

212
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

mendengar suara sejelas itu mengalir dengan lancar


tanpa kesalahan.
Setelah selesai dengan pertunjukkannya, senpai
mengembalikan bas itu padaku. Untuk sesaat, aku tidak
bisa memberanikan diriku menghadap senpai.
"Ini tidak sesulit itu! Aku juga tidak menggunakan
teknik-teknik khusus. Kurangi sampai setengah tempo,
dan mainkan setiap nadanya dengan hati-hati."
"Senpai ...."
Diam-diam kugumamkan itu selagi kepalaku masih
tertunduk.
"Hmm?"
"Mengapa tidak Senpai sendiri yang merekrut
Mafuyu? Lagi pula, permainan Senpai lebih baik
dariku."
"Bukankah aku sudah memberitahumu? Orang itu
harus dirimu."
Dengan lemah aku menggelengkan kepala.
"Meski itu aku, aku juga tidak bisa berbicara
banyak pada Mafuyu. Dia tidak mau mengatakan apa-
apa, dan semua yang kulakukan hanya membuatnya
marah saja ...."
Senpai mengambil dua kursi bundar dari balik meja
kasir lalu menempatkannya di lorong yang memajang
gitar. Dia kemudian menekan bahuku untuk
menyuruhku duduk.
"Ini bukan sekadar soal itu."

213
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

"... eh?" kutengadahkan kepalaku. Senpai sedikit


mengalihkan pandangannya dari wajahku, membiarkan
tatapannya perlahan melayang ke atas.
"Bukan hanya itu. Kamu tahu? Sebelum aku tahu
tentang keberadaan Ebisawa Mafuyu, aku sudah lebih
dulu tahu tentangmu."
Berangsur-angsur, aku mulai merasa sulit untuk
bernapas. Apa yang sedang dibicarakan senpai ini?
"Shounen, kamu tidak asing dengan majalah
musik Sahabat Musisi, 'kan? Pada edisi bulan Juli, dua
tahun lalu, aku membaca sebuah kritik yang dimuat di
dalamnya yang bertajuk, Handel dan ayat-ayat di
Alkitab. Artikel ini secara kasar menjelaskan tentang
komposisi Handel, termasuk hal-hal yang tidak
bersangkutan dengan musik, semua bisa ditafsirkan
sebagai ayat. Meskipun logika itu agak terlalu
mengada-ada, rasanya masih cukup luar biasa. Itu
artikel yang cukup menyentuh."
Aku masih merasa bingung selagi memeluk erat
basku dengan tangan.
Tentu saja aku tahu artikel itu. Soalnya, kritik itu—
"Aku melihat nama penulis artikel tersebut, yakni
Hikawa Tetsurou, seorang kritikus yang sangat
kukenal. Namun, ada sesuatu yang terasa cukup aneh.
Artikel itu ditulis dalam bahasa yang cukup sederhana
untuk dibaca bagi seorang murid SMP, dan contoh-
contoh di dalamnya harusnya tidak terdapat dalam

214
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

kurikulum sewaktu Hikawa Tetsurou masih SMP,


karena saat ini ia sudah berusia empat puluh tahunan."
"Ah ...."
Ternyata .... Ternyata ada seseorang yang
memerhatikan sesuatu dengan sedetail itu?
"Perasaan aneh itu membuatku menaruh kecurigaan
pada seluruh artikel. Kukeluarkan majalah-majalah
lama dan menelitinya, membaca ulang setiap kritik
yang ditulis Hikawa Tetsurou. Entah bagaimana,
beberapa artikel terasa menonjol dibanding yang lain,
dan semua artikel tersebut membawa perasaan aneh
yang sama. Aku juga mencari tahu lewat beberapa
ulasan CD dan berhasil menemukan <Finlandia> yang
dimainkan oleh Berlin Philharmonic Orchestra di
bawah arahan konduktor Karajan pada tahun 1959."
Aku menelan ludah. Tenggorokanku yang kering
terasa sakit.
"Namun, aku tidak bisa menemukan bukti yang
lebih nyata setelah itu, dan aku sama sekali tidak ada
mengenal orang-orang dari pihak penerbit. Yang aku
tahu adalah bahwa Hikawa Tetsurou memiliki seorang
anak. Itu karena, untuk beberapa alasan yang tidak
diketahui, ia telah menulis tentang anaknya di beberapa
artikelnya, bahkan ia sampai menuliskan nama
anaknya. Oleh karena itu, ketika aku melihat namamu
pada brosur pengumuman nama-nama murid baru —
rasanya kamu pun bisa mengerti betapa terkejutnya
aku, 'kan?"

215
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

Dengan senyum ringan di wajahnya, senpai


mendorong hidungku dengan jarinya.
"Kamulah pelakunya."
"... eng, apa maksudnya dengan pelaku?"
"Semua dugaanku benar, 'kan?"
Senpai tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku,
dan aku hanya bisa mengangguk.
Di dunia ini ternyata ada seseorang yang hanya
dengan membaca artikel saja, bisa menyimpulkan
kalau artikel yang kutulis itu atas nama Tetsurou.
"Itu sebabnya, sudah sejak lama aku
memerhatikanmu, Shounen. Aku butuh seorang
sekretaris dalam pasukan revolusiku, dan aku tidak bisa
memikirkan orang yang lebih cocok untuk posisi itu
selain dirimu. Jadi, aku tidak begitu saja memintamu
bergabung sembari aku berusaha merekrut Ebisawa
Mafuyu."
Senpai meletakkan tangannya di bahuku.
"—aku menginginkanmu."
Jangan berkata seperti itu padaku saat berada di
jarak sedekat ini, apalagi saat hanya berduaan begini.
Pikiranku jadi kacau, dan aku tidak bisa berkata apa-
apa. Untuk menghindari tatapan senpai, aku
memalingkan kepalaku lalu membereskan basku.
"Biar begitu, orang sepertiku ini ...."
Aku meyakinkan lagi mengenai masalahku.

216
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

"Band ini juga tidak akan mendapatkan apa-apa


meski aku bergabung. Aku tidak bisa bermain sebaik
Mafuyu, dan mungkin aku tidak akan pernah bisa
mengejarnya. Selama ini, aku ... selalu mendengarkan
musik sendirian."
Senpai menyipitkan matanya dan menatapku
sejenak. Kemudian ia tiba-tiba mengalihkan
pandangannya dan meneriaki belakangku.
"Rekan Aihara, sudah waktunya menunjukkan diri.
Mau bergabung?"
Dengan terkejut, aku langsung menoleh ke
belakang. Chiaki berdiri dalam bayang-bayang
beberapa gitar di dekat pintu. Dengan diam-diam, ia
memperlihatkan dirinya. Ada ekspresi lembut pada
wajahnya.
"Kamu pasti sudah mengikuti shounen sepanjang
perjalanan ke sini, 'kan? Pasukan revolusiku memang
bisa diandalkan. Rupanya kamu cukup mahir dalam
misi mengendap-endap."
"Aku tidak mengikuti dia," bantah Chiaki dengan
amarah sambil menghentakkan kakinya.
"Senpai, jangan mengatakan hal-hal yang bisa
membuat Nao takut!"
"Wajah cemburumu itu benar-benar
menggemaskan!"

217
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

Senpai membelai kepala Chiaki dengan penuh


kasih. Aku memandang Chiaki dengan ekspresi
tercengang.
Apa dia benar-benar mengikutiku sepanjang
perjalanan kemari? Apakah itu sungguhan?
Chiaki memelototiku sambil berkata, "Aku hanya
kebetulan mampir ke sini untuk melihat-lihat, dan
kebetulan saja Nao sudah ada di dalam, jadi rasanya
sungkan kalau aku ikut masuk."
Senpai lalu menghiburnya dengan mengatakan,
"Iya, iya. Aku paham," kemudian lanjut bertanya,
"Rekan Aihara, apa kamu membawa stik drummu?"
"... stik drum?" Chiaki memiringkan kepalanya, lalu
mengangguk.
"Hmm. Aku akan membangunkan manajer toko
yang tidur di dalam dan meminjam kunci studionya."
Senpai mengalihkan pandangannya kepadaku,
kemudian membentuk pistol dengan tangannya dan
berpura-pura melepaskan tembakan ke dadaku.
"Shounen, biarkan aku membakar gairahmu."


Lantai tiga Toko Musik Nagashima diubah
menjadi studio untuk disewakan. Terdapat dua pintu
yang tertutup erat sepanjang lorong panjang dan

218
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

sempit. Setelah membuka pintu di depanku, aku


disambut oleh ruang seukuran empat setengah tatami.
Sekitar setengah ruangan dipenuhi oleh set drum,
dengan dua amplifier gitar yang besar berdiri di setiap
sisi. Ada juga mikrofon dan peralatan rekaman, serta
bau asap karbon.
"Secara khusus, aku memperbolehkan kalian
masuk, semua berkat keuntungan yang kuterima
sebagai karyawan di sini," sambil mengatakan itu,
Kagurazaka-senpai mendorongku masuk ke studio.
Chiaki juga mengikuti.
"Wah — sudah lama aku tidak bermain drum
sungguhan."
Chiaki duduk di tengah-tengah set drum dan terlihat
cukup senan saat sedang menyetel snare.
Kagurazaka-senpai kemudian menghubungkan
basku dan gitarnya ke amplifier. Gitar senpai
adalah Gibson Les Paul, yang dikabarkan harganya
sekitar satu juta yen — meski aku tidak tahu kebenaran
kabar itu. Jika memang benar, itu mungkin bagian dari
seri lawas Koleksi Bersejarah. Dari warna gitar,
seharusnya itu replika dari seri keluaran tahun 60-an?
Kusandangkan tali selempang bas ke bahuku,
kemudian dengan agak ragu memetik senarnya.
Kebisingan yang tidak tertahankan itu pun memenuhi
studio kecil dan sempit ini.
Untuk beberapa alasan aneh, aku dituntun ke studio
ini oleh senpai, dengan begitu saja ....

219
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

"Tidak perlu memainkan yang sulit-sulit, Shounen.


Kamu hanya perlu mengikuti drum dan bermain dalam
rentang nada D di irama seperdelapan ketuk, itu saja."
"Haa."
Chiaki mengangkat tinggi stik drumnya ke udara
dan berkata, "Senpai sudah siap?"
Mereka berdua saling memandang untuk beberapa
saat. Seketika suara simbal menghilang, aku dikelilingi
oleh musik yang bergerak maju pada alur yang cepat.
Chiaki mulai menabuh irama seperdelapan yang
bertenaga dengan hi-hat, dan pada drum, dia
memadukan irama seperdelapan dengan irama
sepertiga. Suara petikan konstan gitar yang semakin
tinggi dan melengking terdengar seperti jejak goyah
para musafir yang menuju ke laut dengan tongkat di
tangannya.
Aku mencoba mengetuk-ngetukkan jariku dengan
irama yang dimainkan Chiaki, lalu perlahan mulai
memetik bas. Awalnya, aku tidak percaya bahwa nada
rendah yang menekan perutku benar-benar datang dari
basku. Dengan kakunya, tiga melodi yang berbeda
mulai berbaur bersama dan saling mengikat—
Kemudian terdengar suara nyanyian—
Itu adalah suara Kagurazaka-senpai.
Suara itu seperti bisikan malam di padang pasir —
meski suaranya agak serak, suaranya terdengar sampai
ke cakrawala di seberang sana.

220
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

221
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

Itu adalah lagu Led Zeppelin yang berjudul


<Kashmir>.
Itu adalah lagu yang sudah berkali-kali kudengar.
Lagu ini kudengarkan sewaktu di tempat tidur — di
pekatnya tengah malam — berulang kali hingga tak
terhitung jumlahnya. Dan sekarang, jari-jariku ini
memainkan nada-nada dari lagu tersebut.
Di bagian lagu tanpa lirik, gitar menjawab dengan
frasa musik yang sama. Chiaki mempertahankan irama
dan menabuh terus tanpa henti. Kuhapus semua yang
sudah senpai katakan padaku dalam benakku. Ketika
petikan gitar mulai meliuk dengan gaya musik Arab,
aku mulai mencari nada rendah yang tersembunyi di
dalam lagu, dan memainkan nada-nada itu dengan
ujung jariku.
Aku benar-benar merasa lagu tersebut bisa
berlanjut selamanya.
Itu sebabnya, ketika lagu itu akhirnya berakhir, aku
merasa seolah-olah ditinggalkan sendiri di padang pasir
yang terasing. Ruangan itu baru saja dipenuhi suara
gemuruh, tapi aku tidak mampu lagi menerka apakah
itu hanya suara riuh, gema, atau kenangan lagu
<Kashmir> yang telah meresap dalam pendengaranku.
Wajah Chiaki memerah, dan dia menatapku,
dahinya penuh akan keringat. Senyum penuh
kemenangan muncul di wajahnya. Aku kemudian
mengalihkan pandanganku, dan kali ini, sosok anggun
Kagurazaka-senpai muncul di depan mataku.

222
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

Aku tidak tahu kenapa — tapi aku tidak sanggup


memandang langsung wajahnya.
"... Shounen, jadi apa pendapatmu soal bas?"
Perlahan-lahan kutengadahkan kepalaku. Tidak ada
senyum di wajah senpai, tapi tatapannya terasa lembut.
"Jika kita menganggap band sebagai sebuah
individu, maka vokalis akan menjadi kepala, dan gitar
adalah tangan ...."
Senpai mengalihkan pandangan dari tangannya dan
menatap ke arah Chiaki.
"Jika drum adalah kaki, maka bagian apa
menurutmu yang diwakilkan oleh bas?"
Aku tidak bisa menjawab teka-teki senpai. Sejak
lahir hingga sekarang, aku selalu mengambil peran
sebagai seseorang yang hanya menerima sesuatu.
Senpai akhirnya menunjukkan senyum lembutnya
dan dengan cepat berjalan ke arahku. Ia menempelkan
telapak tangannya ke dadaku hingga membuatku
terhenyak. Tubuhku membeku.
"Ini, Shounen."
Saat kami saling berhadapan, senpai menatap
langsung ke arah mataku lalu melanjutkan,
"Jantung. Kamu paham sekarang? Tanpa dirimu,
kami tidak akan bisa bergerak."
Aku tertegun tanpa bisa berkata-kata. Aku
menjawab pertanyaannya bukan melalui kata-kata,
tetapi melalui detak jantungku sendiri.

223
Bab 11: Padang Pasir, Jantung, Kashmir

Jika aku menganggap band sebagai sebuah


individu.
Aku tidak bergerak maju dengan mengikuti jejak
mereka. Sebagai seseorang yang pertama kalinya
bermain musik bersama orang lain, itu adalah sesuatu
yang kuyakini sekarang. Jika aku hanya mendengarkan
CD di kamarku seorang diri, mungkin aku tidak akan
pernah mengerti hal tersebut.
Saat itu, aku mungkin memikirkan hal yang sama
seperti senpai pikirkan. Kalau saja Mafuyu ada di
sini—
Suara gitar itu. Kalau saja suara itu ada di sini—
Kucengkeram setang basku erat-erat. Akhirnya aku
pun mengerti — alasanku untuk bermain bas. Bukan
sekadar sebuah pembenaran, tapi sebuah alasan yang
sebenarnya — sehingga aku bisa menyampaikan gelora
membara ini pada Mafuyu.

224
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

Dua minggu telah berlalu dalam sekejap bersama


dengan larutnya kami dalam latihan, dan tidak lama,
akhir bulan Mei telah tiba. Kulit pada ujung jari kiriku
terasa keras seperti tanah kering. Karena senar bas
lebih tebal daripada senar gitar, kapalan di jariku
sedikit berbeda dari Kagurazaka-senpai.
"Kamu lebih terlihat seperti pemain bas sekarang."
Senpai tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa
keras saat jari kami bersentuhan layaknya adegan alien
dalam film <E.T.> Meski begitu, kapalan itu telah
sedikit mengubah indra perabaku — yang
memengaruhi pekerjaanku ketika melakukan sesuatu
yang perlu ketelitian terhadap mesin — hingga
membuatku sedikit kerepotan.
Namun, sebelum mengajukan tantangan pada
Mafuyu, ada hal yang mengharuskanku untuk
mempergunakan hobiku dalam mengutak-atik mesin.
Pada hari Kamis di minggu keempat bulan Mei,
Aku langsung berlari ke halaman sepulang sekolah. Di
saat yang sama, Chiaki mencoba untuk menahan
Mafuyu dengan cara apa pun — meskipun, jika
berpikir optimis, ia mungkin hanya bisa menahan
Mafuyu sekitar dua puluh menit saja. Aku harus
memenangkan pertempuran ini dengan kecepatan. Aku
mulai dengan membuka gembok, yang butuh waktu
kurang dari semenit. Kemudian, kuputar pegangan

225
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

pintunya sedikit, seperti biasanya, lalu membuka kunci


untuk memasuki ruangan. Mengulang skenario
imajinasiku yang telah kupikirkan sebelumnya, aku
mengambil peralatan dan kabel dari tasku lalu mulai
mengutak-atik amplifier. Dengan cepat kubuka
penutup belakangnya, membuat internal mesin terlihat
jelas. Aku pernah mengutak-atik amplifier beberapa
kali sebelumnya, jadi memodifikasi sirkuit bukanlah
masalah besar; sirkuit tersebut rupanya
menyembunyikan kabel yang baru diperpanjang hingga
membuatku menghabiskan banyak waktu.
Setelah semuanya selesai dilakukan, kukunci
kembali gemboknya. Ketika hendak kembali ke gedung
utama, aku tanpa sengaja menabrak Mafuyu.
Kami berdua hanya bisa berdiri terdiam. Tidak satu
pun dari kami yang saling melihat.
Sejak hari itu, kami tidak saling berbicara. Itu
sebabnya, teman-teman di kelas mengeluh soal
bagaimana satu-satunya akses informasi mereka
mengenai hime-sama telah tertutup. Meski begitu,
tidak satu pun dari mereka yang tahu rincian situasi
sebenarnya.
Saat aku mulai berjalan melewatinya, Mafuyu
berbicara.
"Apa kamu ... sudah menyerah?"
"... eh?"
"Bas. Biasanya kamu bermain bas di atap."

226
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

"Aku masih memainkannya? Hanya saja, aku


berlatih di atap gedung utara, karena aku tidak ingin
mengganggu seseorang yang punya pendengaran
tajam."
"Pembohong. Aku juga mencarimu di sana, tapi
kamu tidak ada."
Itu memang bohong. Belakangan ini, aku pergi
ke Toko Musik Nagashima untuk bertemu dengan
pemain bas kenalan senpai yang bertugas melihat dan
memperhatikan latihanku. Karena aku tidak berniat
untuk membiarkan Mafuyu tahu tentang latihan
seriusku, aku pun berbohong padanya.
"... tadi kamu baru saja bilang kalau kamu
mencariku? Apa maksudmu?"
"Ah, itu .... Jangan dipirkan, tidak ada apa-apa. Aku
hanya sedikit khawatir."
Suara Mafuyu menjadi lebih cemas, dan ia
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku hanya penasaran .... Apa kamu masih
memikirkan kejadian waktu itu?"
Aku melompat kaget, kemudian menoleh.
Sepertinya Mafuyu merasa sulit untuk berbicara, dan ia
terus menatap jari-jarinya.
"Kumohon lupakan saja itu. Aku baik-baik saja,
jadi kamu tidak perlu khawatir soal itu."
Kumohon lupakan. Aku sudah berkali-kali
mendengar kalimat itu dari Mafuyu.

227
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

Aku merasa sedikit marah. Rasanya aku akan


mengatakan perasaanku yang sebenarnya—
"Hei, kamu pikir otak manusia itu apa? Otak kita
tidak seperti hard disk. Kamu pikir dengan
tindakan Hapus Memori darimu akan membuatku
berkata, Oh, seperti ini? lalu aku akan melupakan
semuanya, begitu?"
Mata Mafuyu melebar, dan dia mengambil langkah
mundur.
"Aku tidak lupa, dan pada kenyataannya, aku ingat
segalanya dengan jelas. Kamu berkata, Apa kamu pikir
bisa menang hanya dengan beralih ke bas? Dasar
bodoh! oke, Jumat, sepulang sekolah besok ayo
bertanding. "
"... apa maksudmu bertanding?"
"Pertandingan antara permainan basku dan gitarmu,
itu maksudku. Jika aku sanggup mengimbangi
permainan gitarmu sampai akhir, maka itu akan
menjadi kemenanganku. Jika aku menang, maka aku
boleh menggunakan ruangan itu. Dan jika aku kalah,
aku tidak akan pernah mendekatimu lagi."
"Apa kamu serius ... tentang itu?"
Tentu saja! Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi, dan
berjalan melewati Mafuyu begitu saja.
Jujur, aku bahkan tidak percaya diri untuk menang.
Tapi Kagurazaka-senpai berkata sebelumnya, bahwa ia
akan memenangkanku dalam pertandingan ini. Oleh

228
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

karena itu, ini bukan "Aku akan menang," melainkan,


"Ia akan membawakanku kemenangan."
Seseorang yang akan menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya —
perasaan dingin yang menyusup tulang belakangku
ketika mempertimbangkan fakta bahwa beberapa kata
dari mulutnya cukup untuk memberikanku banyak
keberanian. Kurasa satu-satunya orang yang dapat
kuandalkan saat ini adalah senpai seorang.


"Shounen, kini kamu lumayan pandai bicara."
Kagurazaka-senpai mengatakan itu padaku saat aku
sampai di atap. Tampaknya ia telah mengawasi kami
dari pagar.
"Aku sungguh tidak percaya kalau tiga minggu
yang lalu kamu adalah pecundang."
"Jangan panggil aku pecundang!" kualihkan
pandanganku dari senpai. Entah kenapa, sejak hari itu,
aku merasa agak malu setiap kali melihat langsung ke
arahnya.
"Saat aku benar-benar memikirkannya, tidak ada
kerugian apa pun jika kalah dalam pertandingan ini.
Sekarang pun aku juga tidak bisa menggunakan
ruangan latihan, jadi tidak ada bedanya andai aku

229
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

kalah. Ini persis permainan janken yang kulakukan


dengan senpai waktu itu."
Separuh alasan untuk pikiran menyimpang itu
merupakan semacam ejekan buat diriku. Biarpun
begitu, senpai duduk di sampingku sambil memeluk
bas, dan mengilaskan senyum puas.
"Jadi kamu masih ingat perbuatanku saat
adu janken itu."
Aku menatap sisi wajah senpai dan memiringkan
kepala. Saat itu, senpai menantang
adu janken melawanku, dan memegang pick di antara
telunjuk dan jari tengahnya. Ketika melihat itu, kupikir
ia mencoba menipuku agar berpikir kalau ia tidak akan
mengeluarkan gunting, jadi aku mengira demikian —
dengan otakku yang sedang kacau, aku mengeluarkan
batu. Pada akhirnya, aku kalah dari senpai. Namun,
senpai tertawa keras dan berkata,
"Sebenarnya aku tidak berusaha membaca
pikiranmu, itu sebabnya aku bisa menggunakan cara
tersebut padamu. Bahkan jika aku melakukannya, itu
tidak akan meningkatkan peluangku memenangkan
permainan sederhana macam itu. Memangnya
menurutmu ada metode jitu untuk memenangkan
adu janken?"
"Eh?" itu artinya senpai menggunakan strategi
menang mutlak?
"Sederhana, kok. Keluarkan saja belakangan."

230
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

"Hah?"
"Sebenarnya tidak ada alasan khusus soal
memegang pick di antara jari-jariku, selain untuk
membingungkanmu sehingga kamu akan
mengeluarkan pilihan sesuai tempoku. Itu saja. Ingat
ini baik-baik. Strategi menang mutlak adalah dengan
mengeluarkannya belakangan."
Aku terkejut hingga tidak mampu berkata-kata, dan
hanya menatap wajah senpai yang penuh kemenangan.
Setelahnya, aku pun menghela napas panjang di antara
lututku. Itu tidak mungkin. Sejak awal, aku tidak punya
kesempatan untuk menang melawan orang seperti dia.
"Selalu dikatakan bahwa pertempuran dimenangkan
jauh sebelum hal itu dimulai — itulah yang sebenarnya
kumaksud. Yang berarti, cara kamu memancing lawan
ke dalam wilayahmu itu sangatlah penting. Oh benar,
apa kamu tahu alasanku memilih lagu ini untuk
pertandinganmu dengan Mafuyu? Biar kuberi tahu."
Setelah mengatakannya, ia mengambil partitur dari
arsip di dalam kotak belakang kami, lalu menyebarkan
lembaran partitur di depan kami. Ia kemudian berkata,
"Ada empat alasan kenapa aku memilih komposisi ini."
Harusnya Senpai bilang dari awal! pikiran itu
melintas dalam benakku untuk sesaat. Selama beberapa
hari terakhir, aku telah bertanya pada diri sendiri
sewaktu berlatih, Kenapa komposisi ini? namun,
setelah mendengarkan penjelasan panjang senpai, aku
hanya bisa menjawab dengan desahan.

231
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

"—jadi, kamu mulai percaya bahwa kamu punya


kesempatan untuk memenangkan ini?"
"Hmm .... Sedikit."
Aku menjawab jujur. Kesempatan menangku telah
meningkat beberapa kali lipat — sekitar 0,2%
sekarang! Itu mungkin yang kurasakan sekarang.
Senpai menyenggolkan bahunya padaku sambil
tertawa.
"Lumayan juga! Hanya kamu yang akan tahu
bagaimana berlangsungnya pertempuranmu. Aku
hanya tahu hasil pertempuranku sendiri karena aku
tidak akan ikut serta dalam pertempuran kalian
berdua."
"Jika kamu menggantikanku, kamu bisa menang ....
Apa itu yang Senpai mau katakan?"
Tanyaku lirih. Senpai menjawabku dengan suara
sedikit marah.
"Memangnya aku bisa menang?"
Aku menatap wajah senpai dengan terkejut.
"Bukankah sudah pernah kubilang? Itu harus
dirimu."
Aku tidak bisa menjawabnya, karena itu aku
kembali menundukkan kepala.
Senpai tiba-tiba mengambil secarik kertas dan
menggunakannya untuk menyodok ujung hidungku.

232
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

"Kalau begitu, ini adalah persiapan akhir. Tanda


tangani ini dulu supaya kamu siap secara mental.
Salinannya untuk Ebisawa Mafuyu."
Aku menengadahkan kepala untuk melihatnya. Itu
adalah formulir pendaftaran untuk bergabung dalam
klub, dicetak pada kertas kuarsa — terdiri dua lembar.
Di masing-masing lembar, kata-kata "Klub Riset
Musik Rakyat" ditulis rapi — menggunakan pena — di
dalam kotak di mana pemohon seharusnya memberikan
nama klub yang ingin diikuti.
Aku mengalihkan pandanganku dan mencoba
mengalihkan topik.
"Hmm ..., kurasa aku akan ... menyimpan formulir
ini untuk sementara."
"Kenapa? Aku sudah mengajarimu begitu banyak
tentang bas. Jangan-jangan ... kamu memang
membenciku? Apa begitu?"
Jangan menatapku dengan ekspresi sedih. Jelas itu
pura-pura.
"Hmm, bagaimana menjelaskannya, ya?"
Kuangkat bas dari lututku.
"Rasanya aku tidak memenuhi syarat. Standar
Senpai dan Chiaki terlalu tinggi bagiku."
"Aku sudah bilang sebelumnya, 'kan? Aku tidak
memintamu untuk mengikuti kami. Kamilah yang akan
mengikutimu."

233
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

Karena bas adalah jantungnya. Aku tahu itu, tapi


tetap saja ....
"Tetap saja, aku tidak bisa memutuskan akan
bergabung atau tidak. Setidaknya bukan sekarang. Itu
sebabnya ...."
Kuangkat basku dan menatap senarnya.
"Itu sebabnya, jika aku berhasil menang melawan
Mafuyu dan membuatnya bergabung dalam klub ...."
"Jika kamu bisa mengalahkannya, kamu akan ikut
bergabung juga?"
Aku mengangguk sebagai jawaban.
Jika tidak begitu, aku pasti akan menyesal. Entah
kenapa, rasanya seperti aku tidak memberikan
pendapatku pada segala hal yang dihadapakan padaku.
"Lalu ..., apa yang akan kamu lakukan jika kamu
kalah?" kalimat dari senpai itu membuatku terhenyak
karena terkejut. Aku belum memikirkan itu.
Walaupun begitu, aku harus membuat keputusan
sekarang.
"... jika aku kalah, aku akan terus bermain bas —
namun, aku tidak akan bergabung dalam klub. Senpai
telah membantuku selama ini, jadi aku tidak bisa
mengatakan hal semacam ..., Izinkan aku bergabung
dalam klub walau aku kalah."
Setelah hening sesaat, bisa kudengar Senpai
mendesah lembut di sebelahku.

234
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

"Aku baru memahaminya akhir-akhir ini, ternyata


kamu adalah pria yang punya harga diri tinggi."
Ia menyimpulkan sebuah senyuman lembut. Aku
hampir tidak bisa menjaga pandanganku, dan
mengalihkan mataku setelah sekilas menatap
wajahnya.
"Kita akan anggap ini sebagai janji di antara kita
berdua ... untuk saat yang akan datang. Ya, ayo kita
anggap seperti itu."
Senpai lalu mengambil obeng dari tasku — tanpa
izin — dan melepas penutup belakang basku. Ia lipat
dua formulir pendaftaran dan memasukkannya ke
dalam ruang kosong di antara kabel-kabel. Ia kemudian
menutup kembali penutup basku.
"... kenapa Senpai letakkan formulirnya di tempat
seperti itu?"
"Coba dengarkan. Seharusnya ada suara samar dari
kertas yang saling bergesekan."
Aku letakkan kembali bas ke lututku. Kemudian,
senpai memetik senarnya. Suara kertas yang saling
bergesekan—
"Tidak, aku tidak dengar apa-apa?"
"Tapi aku bisa mendengarnya!" itu berarti
telinganya setara dengan kucing, "Dan mungkin saja
Ebisawa Mafuyu bisa mendengarnya juga. Ia benar-
benar sensitif terhadap suara kertas yang saling
bergesekan, bukan? Suara kecil ini dapat

235
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

memengaruhinya tanpa sadar, menyebabkan ia menjadi


gelisah dan frustrasi."
Apa ada sebuah logika di balik itu?
"Jika kamu ingin menjadi sedikit lebih klenik, ini
adalah semacam mantra. Sama halnya dengan samurai
yang menjahit jimat pelindung pada pakaian mereka."
Senpai menepuk basku.
"Janji kita akan terpatri di dirimu sepanjang waktu.
Jadi jangan lupakan itu."
Setelah sejenak meragu, aku pun mengangguk.
"Semoga sukses."


Aku kebetulan bertemu Maki-sensei dalam
perjalanan pulang. Setelah masuk ke dalam kereta
biasa, yang berhenti di setiap stasiun, beliau bertanya,
"Belakangan ini tampaknya kamu sering mengobrol
dengan Mafuyu-chan?"
Aku menundukkan kepala saat berpegangan pada
gagang menggantung. Aku tertangkap oleh orang yang
merepotkan.
"Tidak, itu tidak bisa dianggap mengobrol."

236
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

"Terus terang dan katakan saja padanya kalau kamu


ingin berbagi ruangan. Kenapa anak lelaki itu suka
merepotkan diri?"
Memangnya aku bisa mengatakan itu? Aku? Pada
Mafuyu?
"Dan juga, akhir-akhir ini kamu melakukan apa
saja? Sepertinya kamu sering bersama dengan anak
kelas dua yang bernama Kagurazaka-san itu, ya?"
"Oh, itu ...."
Dengan jari-jarinya mencengkeram bagian
belakang kerahku, aku tidak punya pilihan selain
mengatakan yang sebenarnya.
"Sebuah pertandingan gitar?"
Maki-sensei tiba-tiba mengeluarkan suara aneh
hingga para penumpang lainnya mengarahkan
perhatian mereka pada kami.
"Haruskah kubilang kalau kamu itu bodoh, atau
sama saja dengan Kagurazaka-san ...."
Maki-sensei mendesah sambil menyuarakan
pikirannya. Apa Kagurazaka-senpai juga terkenal di
kalangan guru? Ia tampaknya sering tidak mengikuti
pelajaran, jadi bisa saja, ia salah satu orang yang
disebut "murid bermasalah" atau semacamnya?
"Memangnya Mafuyu-chan tidak keberatan dengan
tantangan itu? Bagaimana bisa?"
"Tidak, ia hanya tertegun."

237
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

"Ya, itu lebih masuk akal! Lalu apa yang akan


kamu lakukan? Apa kamu benar-benar mau
melakukannya?"
"Huh, ada banyak alasan di balik ini .... tapi saya
akan melakukan yang terbaik."
Jawabku samar. Aku tidak mungkin memberitahu
Maki-sensei tentang berbagai hal yang kami lakukan
untuk membuat Mafuyu berpartisipasi dalam
pertandingan.
Maki-sensei sejenak mengernyitkan alis matanya
yang indah itu lalu menekan jarinya ke pelipis.
"Dengar ..., aku sangat berterima kasih atas
interaksimu padamu Mafuyu-chan, tapi jangan terlalu
sering memprovokasinya. Ia gadis yang benar-benar
peka."
"Oh."
Bahkan jika beliau berkata begitu ..., entah kenapa,
aku tidak kuasa menahan marah saat beliau ingin aku
bersikap lembut terhadap Mafuyu. Gadis itu telah
banyak berkata buruk kepadaku, tahu?
"Hmm ...." Maki-sensei menyilangkan tangan di
depan dadanya. Ekspresinya menunjukkan bahwa
beliau tidak tahu harus berkata apa. "Kupikir, sebagian
besar masalahnya itu karena hal psikologis yang ia
miliki. Itu sebabnya—"
"... maksudnya? Hal psikologis apa yang Sensei
maksud?"

238
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

Maki-sensei menatapku tanpa mengatakan sepatah


kata pun. Beliau kemudian bergumam sendiri dengan
suara serak, "Jika itu Nao-kun, mungkin tidak apa-apa
kalau kuberi tahu ...," namun beliau langsung
menggeleng dan membatalkan pemikirannya tadi.
"Aku bukan orang yang berhak memberitahukanmu
soal itu. Akan lebih baik jika Mafuyu sendiri yang
menceritakannya padamu."
Hal psikologis. Aku ingat Mafuyu pernah
memegang erat sebuah tas obat di tangannya dulu.
Jadi Mafuyu benar-benar sakit? Aku tidak bisa
menebaknya dari luar, tapi kalau—
"Hmm, Maki-sensei ...." aku memikirkan hal lain
dan memutuskan untuk bertanya soal itu. "Mafuyu ....
Aku dengar ia akan segera pindah sekolah. Apa itu
benar?"
"Pindah? Kenapa?"
"... ah, tidak apa-apa."
Ia akan menghilang di bulan Juni. Tapi .... Apa
sebenarnya yang ia maksud? Aku tidak jadi
mengatakannya, dan kembali tenggelam dalam
pikiranku sendiri. Biar bagaimanapun, Mafuyu sama
sekali tidak mengatakan apa-apa padaku.
"Sebuah pertandingan gitar, ya .... Seperti itulah
masa muda! Mungkin saja itu merupakan hal baik."
Maki-sensei tersenyum sambil menatap ke
kejauhan.

239
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

"Mafuyu-chan memang tidak punya niat untuk


berteman. Walau mungkin terasa sedikit tidak masuk
akal untuk mendukungnya, namun ide yang cukup
bagus untuk memaksanya bergabung dalam klub. Dan
jika dia bergabung, aku akan menjadi guru
pembimbing klub kalian!"
"Jadi Sensei pikir ... saya bisa menang?"
"Tidak, sama sekali tidak."
Jawab Maki-sensei seketika. Kucengkeram erat
gagang menggantung dan menundukkan kepala dalam
kekecewaan.
"Biarpun begitu, kudengar kalau ia baru mulai
bermain gitar sejak setengah tahun yang lalu."
"Yang benar?" ia mampu mencapai keahlian seperti
itu hanya dalam setengah tahun? Tuhan benar-benar
tidak adil.
"Tetap saja, semua orang akan mengalami hal-hal
seperti ini. Iya, 'kan? Ada saat-saat ketika kamu hanya
perlu melakukan hal-hal yang memang perlu
dilakukan. Berikan yang terbaik, Nak. Tapi jika kamu
membuat Mafuyu menangis, aku tidak akan begitu saja
melepaskanmu."
Saat mengatakannya, Maki-sensei memberiku
tamparan keras di punggung.


240
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

Malam itu, Tetsurou tidak ada di rumah. Aku


menerima SMS darinya melalui ponsel, 「Ayah
sedang minum-minum bareng teman, jadi Ayah
mungkin tidak akan pulang malam ini,」 aku
berencana menanyakan beberapa hal tentang Mafuyu,
tapi pria itu tidak pernah ada di saat-saat penting
begini.
Aku kembali ke kamarku dan duduk di kasur.
Setelah meletakkan bas di pahaku, jari-jariku tanpa
sengaja mulai memetik senar. Aku kemudian sadar
kalau sedang memainkan konserto piano yang tidak
kukenal dengan basku ini.
Itu adalah bagian yang Mafuyu mainkan ketika di
tempat pembuangan sewaktu hari pertama kami
bertemu.
Aku pergi ke kamar Tetsurou dan mulai menyusun
CD dari berbagai konserto piano dari era romantisisme
terkini, kemudian membawa semuanya ke ruang tamu.
Aku menghabiskan sepanjang malam dengan
mendengarkan CD tanpa jeda, bahkan sampai di titik di
mana aku melewatkan makan malam. Namun, aku
tidak berhasil menemukan komposisi itu dalam
memoriku. Itu tidak mengherankan, karena di situ ada
ribuan konserto piano.
Aku mematikan pengeras suara dan menyerah
mencarinya.

241
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

Tiba-tiba aku teringat pernyataanku pada Mafuyu


saat menyetem basku. Dan jika aku kalah, aku tidak
akan pernah mendekatimu lagi, kalimat itu tiba-tiba
terlintas dalam pikiranku. Aku ini sudah bicara apa?
Padahal aku bermaksud untuk tidak pernah lagi
mendekati ruangan itu, dengan begitu aku tidak akan
pernah mendekati Mafuyu. Juga karena kursi kami
tepat bersebelahan, maka mustahil bagiku untuk tidak
mendekatinya. Pada akhirnya, aku pun tidak berhenti
mencoba menjelaskan masalah ini dalam benakku
sendiri.
Bagaimana jika aku kalah? Aku terus memikirkan
itu.
Alasanku untuk berbicara dengan Mafuyu juga
akan ikut menghilang, 'kan?
Dan aku sudah bilang kalau tidak akan bergabung
dalam Klub Riset Musik Rakyat jika kalah. Itu karena
aku tidak memiliki keyakinan dalam memulai
sebuah band bersama senpai dan Chiaki.
Aku teringat lagu yang kami mainkan di ruang
rekaman hari itu — <Kashmir>. Itu adalah pengalaman
yang amat manis yang membuatku terengah-engah.
Tubuhku rasanya seperti terbakar dalam api.
Tidak ada kerugian apa pun jika kalah — itu
adalah sebuah kebohongan besar.
Tanpa kusadari, ada banyak hal-hal di sekitarku
yang mungkin saja akan hilang, hal-hal yang tidak
ingin kulepaskan.

242
Bab 12: Memori, Janji, Alasan

Jika aku kalah—


Kugelengkan kepala dan membuang pikiran itu
keluar dari otakku. Tidak ada gunanya memikirkan
semua itu sekarang.
Besok— yang bisa kulakukan hanyalah
memberikan yang terbaik dan beraksi!

243
Bab 13: Eroica

Langit pada hari Jumat di penghujung bulan Mei


dipenuhi oleh awan gelap. Aku tidak bisa tidur, jadi
aku berangkat sekolah lebih pagi. Begitu masuk ke
dalam kelas, aku segera dikelilingi oleh teman-teman
sekelasku.
"Kudengar kalau kamu akan bertanding dengan
hime-sama hari ini?"
"Apa? Apa maksudmu dengan bertanding?
Bagaimana jika ia kalah?"
"Apa mungkin ia akan menjadi budaknya seumur
hidup?" "Bukankah itu sama saja dengan yang
sekarang?"
Wajahku berubah hijau setelah mendengar semua
orang mengatakan hal-hal seperti itu.
"Eng ..., yah ..., kenapa ... semua orang tahu soal
ini?"
"Bukankah kemarin kamu membicarakannya
dengan Ebisawa-san di lapangan?"
"Kalian lihat?"
"Suasananya cukup bagus, tapi kamu tiba-tiba
mengatakan sesuatu seperti mengajak bertanding. Para
penonton benar-benar kecewa!"
Itu bukan berarti kami sedang menyelenggarakan
sebuah pertunjukkan.

244
Bab 13: Eroica

"Jadi, kapan kalian akan bertanding? Bertanding


dalam hal apa? Yang menang dapat apa?"
Ah, rupanya mereka tidak mendengar bagian
tentang bertanding setelah pulang sekolah, toh?
Baguslah. Walau sudah berusaha untuk mengalihkan
topik, tetap saja aku akhirnya mengatakan pada mereka
segala sesuatu selain tempat dan waktu bertanding.
"Sebuah klub baru? Dengan Ebisawa-san? Dan
Aihara-san? Beserta Kagurazaka-senpai juga?"
Kenapa mereka bersemangat sekali?
"Kagurazaka-senpai yang kamu maksud tadi itu
anak kelas dua?"
"Betul, yang terlihat seperti pemimpin
kelompok kunoichi, 'kan?"
Analogi macam apa itu? Aku tidak dapat
memahaminya sama sekali! Terlebih, apa senpai
seterkenal itu di sekolah?
"Membentuk band di ruangan sekecil itu bersama
tiga orang gadis? Nao! Tidak bisa dimaafkan, kamu
harus kalah!"
"Aku lebih suka kamu menang. lalu akan kuambil
alih posisimu dalam band." "Ya, kamu harus menang,
kemudian aku akan ikut bergabung." "Kamu tahu seluk
beluk tentang alat musik, 'kan?" "Aku bisa bertanggung
jawab memindahkan alat-alat musik." "Kalau begitu ...,
aku akan bertanggung jawab untuk menyeka keringat

245
Bab 13: Eroica

mereka." "Entah kenapa, aku jadi merasa lebih


termotivasi."
Dan mereka pun benar-benar mulai menyanyikan
lagu sekolah kami— Aku merasa sebaiknya aku harus
kabur dari kelas. Seketika mereka sedang
mendiskusikan waktu bertanding, Chiaki berjalan ke
dalam kelas. Semua orang terdiam. Aku selamat ....
"Apa kalian mengatakan hal-hal buruk tentangku?"
Beberapa anak menampilkan senyum canggung
sebelum kembali ke tempat duduk mereka. Tampak
semua orang akhirnya mengerti tentang etika dasar
bermasyarakat: tidak menggosipkan orang yang sedang
berada tepat di hadapannya.
Selama istirahat makan siang, mejaku penuh
dengan roti lapis, yang dibeli teman-temanku dari toko
— sepertinya mereka semua berdoa untuk
kemenanganku. Tapi mana mungkin aku bisa memakan
roti sebanyak ini!
"Nao, kamu tidak boleh kalah."
"Meski aku tidak terlalu yakin tentang yang terjadi,
kamu harus menang!" Satu per satu, mereka menepuk
bahuku dan menyemangatiku. Aku hanya bisa menatap
kosong pada piramida roti lapis di depanku. Bukan
berarti mustahil bagiku untuk memenuhi harapan
mereka, tapi karena semua orang begitu bersemangat
mengenai ini, jujur aku cukup merasa terganggu.

246
Bab 13: Eroica


Setelah pulang sekolah, aku membawa basku ke
atap. Senpai ingin aku pergi ke sana terlebih dahulu,
sebelum pertandingan, tapi sesampainya di sana, aku
tidak melihat ada dirinya di sekitar. Kemudian, aku
ingat kalau ia sedang bekerja hari ini. Lalu aku melihat
sesuatu di lantai, di dekat pagar di mana senpai
biasanya duduk. Aku berjalan ke sana untuk
memeriksanya. Rupanya itu album John Lennon yang
bertajuk <Rock 'n Roll>. Lagu kedua dari CD itu
berjudul <Stand by Me>. Aku mengambil pemutar CD-
ku dan menempatkan CD tersebut ke dalamnya.
Sewaktu kudengar suara serak dari John Lennon, aku
memandang ke bawah melalui pagar dan menunggu.
Aku mengambil sepotong roti lapis yang belum habis
dimakan lalu melahapnya ke dalam mulutku.
Setelah separuh lagu berlalu, tiba-tiba aku ingat
bahwa Mafuyu akan selalu langsung pulang ke
rumahnya pada hari Jumat. Sial, aku benar-benar lupa
tentang itu.
Tapi sesaat kemudian, punggung seorang gadis,
beserta rambut berwarna merah marunnya, mulai
terlihat. Aku merasa lega. Ada apa ini? Ia tidak perlu
berbuat hal yang biasanya tidak perlu ia lakukan.
Aku terus membiarkan alunan lagu dari earphone-
ku masuk ke dalam tubuh, bahkan di saat aku sedang

247
Bab 13: Eroica

melihat Mafuyu berjalan ke ruang latihan. Kugenggam


erat pagar dan berdiri terpaku di sana, hingga suara
John Lennon perlahan menghilang.
Kumatikan pemutar CD-ku lalu meraih basku.


Ketika sampai di ruang latihan, aku mendengar
Mafuyu memainkan sedikit komposisi Beethoven di
balik pintu. Aku menghentikan langkahku dan berpikir
tentang bagaimana aku harus memasuki ruangan. Aku
memikirkan berbagai ide bodoh, seperti menendang
pintu agar terbuka lalu berteriak, "Maaf mengganggu!"
tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengetuk
pintu saja.
Komposisi itu tiba-tiba berhenti, seolah-olah
terkejut.
Keheningan yang tidak nyaman ini bagai semburan
udara dingin yang menusuk tulang, merembes melalui
celah-celah kecil. Ini berlangsung selama beberapa
saat.
"Anu ...," akulah yang pertama bicara, tapi aku
tidak tahu harus berkata apa. "Aku ke sini untuk
bertanding denganmu. Kemarin aku sudah
mengatakannya, 'kan?"
Pintu pun terbuka.

248
Bab 13: Eroica

Gitar tergantung di bahu Mafuyu. Ia menatapku,


lalu menurunkan tatapannya.
"... kamu benar-benar datang."
Dari nada bicara Mafuyu, aku bisa merasakan
sesuatu yang tidak beres. Entah bagaimana, ia berbeda
dari biasanya.
"Sebagai perwakilan musik rock, aku di sini untuk
membalas dendam pada supremasi musik klasik yang
keras kepala."
"Dasar bodoh! Apa kamu serius tentang ini? Kamu
bahkan tidak tahu bagaimana melakukan hammer-
on beberapa hari lalu."
Jangan meremehkanku. Tunggu, kenapa ia sampai
tahu hal seperti itu?
"Kamu mengintip aku berlatih?"
"Ti-tidak."
Dengan wajah memerah, Mafuyu membanting
pintu dengan kedua tangannya.
"—Kenapa kamu harus berbuat begini? Apa kamu
begitu ingin menggunakan ruangan ini?"
Kenapa aku terus berbuat begini? Ah, bahkan aku
sendiri tidak tahu.
Senpai bilang kalau itu demi cinta dan revolusi.
Chiaki bertanya padaku sebelumnya, Kamu begitu
peduli terhadap Ebisawa-san, 'kan?

249
Bab 13: Eroica

Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa membiarkan


segalanya terus begini.
Mafuyu mengatakan dari balik pintu,
"Lakukan saja sesukamu di sana! Aku tidak peduli
lagi."
Untuk kali ini, aku memilih untuk tetap diam.
Baiklah. Aku sudah tahu kalau segalanya akan jadi
begini.
Aku mengambil basku, mencolokkan kabelnya,
kemudian berjongkok di dekat pintu. Ada lubang di
bawah engsel pintu di mana aku bisa langsung
mencolokkan kabel ke dalamnya. Ini adalah hasil dari
pekerjaanku selama lima belas menit kemarin —
sebuah kabel yang diperpanjang dari amplifier ke
pintu.
Ketika aku hendak membajak perangkat stereo,
gerak tanganku terhenti. Entah kenapa, tiba-tiba aku
teringat bagian tertentu dari sejarah musik yang
Tetsurou pernah ceritakan padaku sambil setengah
bercanda.
Bermula dari sebuah aliran sungai kecil di Jerman.
Sungai itu mengalir ke perkebunan bit gula, kemudian
menyebar ke seantero Eropa. Berbenturan dengan
musik lokal, berakhir entah ditelan oleh musik, atau
malah menelan musik itu sendiri. Lalu mengalir ke
laut, dan menyebar ke seluruh dunia. Seperti itulah

250
Bab 13: Eroica

lahirnya beragam hal di dunia ini, dan


musik rock adalah salah satunya.
Itu sebabnya, jika kita mencari sejarah invasi dan
integrasi yang membentang selama tiga ratus tahun,
kita akan menemukan bahwa segala sesuatu saling
terkait satu sama lain.
Aku lalu memasang kabel ke dalam lubang.
Tepat di saat itu, derit tajam memekik keluar
dari amplifier di balik pintu.
Hampir bisa kulihat wajah Mafuyu yang ketakutan.
"Apa yang sudah kamu lakukan?"
Dia menyadarinya. Sebagai jawaban, aku memutar
volume pada basku hingga maksimal. Ruangan
dipenuhi suara feedback.
"Hei, apa yang kamu laku—"
Supaya bisa meredam suaranya, aku memainkan
nada pembuka sebuah komposisi. Allegretto vivace.
Aku tidak boleh bermain terlalu cepat — seakan aku
menginjak lantai dengan tenaga, namun di saat
bersamaan, mencari pijakan untuk melangkah dengan
ujung kakiku. Menggunakan nada rendah untuk
menghentak batas-batas oktaf, kemudian mundur
sedikit dengan langkah yang sedikit ragu.
Bisa kudengar Mafuyu yang terhenyak. Tentu saja,
ia pasti tahu komposisi ini hanya dari delapan bar. Ia
telah merilis album dengan komposisi ini di dalamnya
dua tahun lalu di bulan Februari. Aku telah

251
Bab 13: Eroica

mendengarkan CD itu berkali-kali, hingga di titik CD


itu hampir rusak.
Itu adalah <Variasi dan Fugue untuk Piano di E♭
mayor> gubahan Beethoven ke-35 — variasi yang
kemudian digunakan dalam <Simfoni No. 3>. Ada
judul lain untuk komposisi piano ini. <Variasi Heroik>.


Waktu itu—
Kagurazaka-senpai mengatakan padaku ada empat
alasan untuk memilih komposisi tersebut.
"Kamu lihat sendiri, 'kan ...," senpai mulai
menunjuk pada partitur saat ia menjelaskan. "Ini adalah
bagian yang dimulai dengan melodi tunggal pada nada
rendah. Hanya bas yang akan bermain di pembukaan
32 bar — ia pasti akan langsung mengenali ini sebagai
<Eroica>. Dengan ini, kita akan lebih dulu melakukan
rentetan tembakan dan menarik lawan ke dalam musik
kita."
Dengan itu, senpai mengetuk tempo pada partitur
dengan jarinya.
"Ini allegretto vivace, jadi jangan pernah bermain
terlalu cepat. Salah satu senjata Ebisawa Mafuyu
adalah kemampuannya untuk memetik gitar secara
akurat pada kecepatan tinggi. Jika pertandingan

252
Bab 13: Eroica

berubah menjadi situasi di mana kecepatan akan


memutuskan pemenang .... Shounen, kamu akan
kehilangan semua peluang untuk menang. Namun,
kamu dapat mengatur kecepatan seluruh bagian dengan
pembukaan 32 bar — itulah alasan utama aku memilih
bagian ini."
"Tapi ...," ada sedikit kegelisahan dalam suaraku.
"pada bagian ini yang mengarah ke pembukaan, ada
tempat di mana empat suara menyatu, dan melodi
setelahnya akan dipimpin oleh Mafuyu! Jika ia mulai
tergesa maka ...."
"Shounen, yang kamu pikirkan hanya keadaan di
mana kamu mungkin bisa kalah ...."
Senpai menggeleng dan mendesah. Aku
meringkukkan tubuhku. Maaf, tapi aku memang
pecundang sejak lahir.
"Jangan khawatir. Ini adalah alasan kedua aku
memilih bagian ini. Variasi ini ...."
Senpai memeriksa lembaran partitur dengan cepat.
Sebuah variasi adalah bagian di mana tema utama yang
singkat berulang kali dimainkan dengan mengubah
gaya bermain, bahkan melodinya sendiri. Secara
umum, bagian-bagian yang sama diulang untuk
beberapa siklus.
"Hampir setiap variasi akan
memiliki ritardando dan fermata di dalam bagian
komposisi. Kamu sudah paham sekarang? Selalu
ada jeda setelah jarak tetap tertentu. Tidak peduli

253
Bab 13: Eroica

seberapa cepat Ebisawa Mafuyu mempercepat


tempo, fermata akan selalu mengganggu aliran
permainan, dan dengan itu, kamu bisa kembali
memainkan allegro-mu sendiri. Inilah yang membuat
komposisi musik ini unik."
*Fiuh*— aku menghela napas hingga bersuara.
Betul, semuanya jadi masuk akal sekarang. Aku yakin
ini adalah satu-satunya komposisi yang mungkin
kumainkan — jika memainkan komposisi ini, maka
aku benar-benar bisa menang.
"Dan alasan ketiga ...," senpai tersenyum sinis.
"Komposisi ini dimainkan dalam E♭ mayor."


Aku mengingat setiap kalimat yang sudah senpai
katakan, dan berjalan dengan langkah berat seiring lagu
pembuka. Pada akhir melodi bernada rendah yang
kumainkan, terdapat jeda panjang. Gitar Mafuyu
akhirnya mulai terdengar, dan suara gitar listriknya
mengakhiri jeda.
Aku menahan napas saat kami memasuki
pembukaan kedua; serangkaian melodi gitar sederhana
namun ragu-ragu pun muncul. Aku merinding dalam
sekejap. Penggunaan cerdik sinkopesasi bergerak dan
menyatu hanya dalam dua nada yang berkejaran. Akan

254
Bab 13: Eroica

tetapi, semua musik yang kita tahu lahir dari perasaan


memabukkan yang didapat ketika dua suara saling
berkejaran.
Dalam pembukaan ketiga, aku memainkan sebuah
baris melodi sederhana pada Mafuyu. Nada tinggi yang
melengking dari suara gitar berubah menjadi suara
rendah bas — tampak seakan langkah Mafuyu telah
menapak melintasi air terjun yang deras.
Gitar Mafuyu memimpin pembukaan keempat dan
mengambil alih tema utama. Seluruh melodi bergeser
satu oktaf lebih tinggi, dan melewatkan oktaf tengah di
bawahnya. Tempo mendadak bertambah cepat, dan
meski terhempas oleh kekuatan besar, aku akhirnya
berhasil mengambil celah di antara frasa melodi
Mafuyu, dan memaksanya agar terbuka lebar dengan
nada rendahku, yang berperan sebagai perantara di
antara frasa-frasa. Aku akan tamat jika gagal di sini.
Tidak akan ada lagi kesempatan bagiku untuk memulai
dari awal. Kupergunakan rem untuk menahan Mafuyu.

Kami akhirnya mencapai tema utama, tapi aku mati-


matian berusaha mengimbangi Mafuyu. Itu hanyalah
akor iringan biasa, tapi jari-jariku gemetar tanpa henti.
Aku sedemikian rupa berusaha menggunakan jeda
pendek untuk kembali ke tempo asli, tapi Mafuyu tidak
pernah melambat, meskipun memasuki variasi kedua
pada kecepatan yang menggebu-gebu — Mafuyu terus
bisa memainkan tiga nada sewaktu aku hanya bisa
memainkan satu nada.

255
Bab 13: Eroica

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum


memasuki variasi keempat. Ini akan menjadi krisis
utama.
Saat jemariku dengan lancar memetik legato enam
belas ketukan, kusadari kalau Mafuyu saat ini berada
dalam posisi yang kurang menguntungkan — tema
sederhana Mafuyu terdengar goyah di tengah naik
turunnya nada yang kumainkan. Ia mungkin berpikir
bahwa aku tidak tahu cara memainkan bagian itu. Aku
menahan napas dan memfokuskan perhatianku pada
bagian yang intens. Aku kemudian teringat kembali
kata-kata Kagurazaka-senpai.


"E♭ mayor itu—"
Saat ia dengan lembut membelai bas yang terbaring
di lututku dengan ujung jarinya, ia berkata,
"Kamu seharusnya tahu, 'kan? Itu salah satu nada
yang paling sulit untuk dimainkan pada bas dan gitar."
Aku mengangguk.
Sederhananya, tangga nada yang mudah bagi gitar
adalah yang tidak mengharuskan untuk menekan akor
sebanyak mungkin saat bermain. Namun, E♭ — yang
biasanya E♭ mayor — adalah nada yang lebih rendah
dari nada terendah yang dapat dimainkan oleh gitar

256
Bab 13: Eroica

ataupun bas. Alhasil, gitaris perlu menekan pada ujung


yang lebih tinggi dari akord sambil bermain, dan itu
sesuatu yang agak sulit untuk dilakukan dalam hal
pergerakan jari.
"Not E♭ mayor sama sulitnya untuk Ebisawa
Mafuyu, terutama di mana ia harus memainkan not
bernada tengah selama melodi bernada tinggi. Bahkan
jika kecepatan adalah senjata terbesarnya, ia pasti akan
sangat lemah dengan itu."
"Eng, tidak, tunggu ...."
Aku mengetuk basku sekali.
"Ini juga sama sulitnya bagiku untuk
memainkannya, 'kan? Bukankah begitu?"
Senar bas dan senar gitar akan disetel pada nada
yang sama, sehingga bagian itu akan sama-sama sulit
bagi kedua belah pihak untuk dimainkan. Untuk
mengatasi ini, senpai secara khusus telah menggeser
nada sampai naik setengah dalam komposisinya,
mengubahnya menjadi E mayor.
"Shounen ...," ekspresi mata senpai tidak lagi
menunjukkan rasa jengkel — sebaliknya, kini telah
berganti menjadi ekspresi kasihan. "Apa kamu masih
ingat yang kukatakan saat itu? Aku bilang kalau kita
akan melakukannya persis seperti yang Paganini
lakukan, paham?"
"Eh ...?"
Aku ... ingat hal itu.

257
Bab 13: Eroica

Itu adalah ... sesuatu yang terjadi pada hari senpai


memilih komposisi itu dari tumpukan besar CD dan
partitur. Setelah mendengar suara gitar Mafuyu, senpai
menyebut nama Paganini secara tiba-tiba.
"... tapi, bagaimana penjelasannya?"
"<Konserto Violin No. 1> gubahan Paganini. Kamu
harusnya tahu itu, 'kan?"
Aku memiringkan kepala dan mencoba mengingat
lagu-lagu yang pernah kudengar sebelumnya. Aku
kemudian teringat pengetahuan yang luas dari
Tetsurou—
"... ah!"
Bas di lututku jatuh ke lantai dengan bunyi
*gedebuk*.
<Konserto Violin No. 1> gubahan Paganini — pada
E♭ mayor.
Aku mengerti, begitu rupanya.
"Apa akhirnya kamu mengerti?"
"Aku harus menurunkan setengah nada ketika
menyetem basku?"
Kagurazaka-senpai tertawa dan membelai kepalaku
dengan lembut.
E♭ mayor adalah tangga nada yang sulit bagi
pemain biola, sama halnya untuk gitaris. Namun,
permainan solo dalam konser yang dimainkan oleh
Violin Iblis, Niccolo Paganini, ditulis dalam E♭

258
Bab 13: Eroica

mayor. Oleh karena itu, ia menyetem biolanya lebih


rendah setengah nada—
Aku hanya ... harus melakukan persis dengan yang
ia lakukan.
Dengan menurunkan senar bas setengah nada, aku
akan memaksa Mafuyu untuk mengambil not E♭
mayor yang sangat sulit, sementara aku memainkan not
E mayor yang paling sederhana.
"... itu benar-benar licik ...."
Kalimat itu tidak sengaja keceplosan dari mulutku.
"Di mana liciknya?" Kagurazaka-senpai menonjok
dahiku dengan pick. "Untuk mencapai kemenangan,
melakukan semua sebisanya hingga saat terakhir
sebelum bertempur itu diperlukan, bukan? Ini juga
merupakan sebuah tindakan untuk menghormati
musuhmu."
"Yah, bisa jadi ...."
"Alasan keempat, yakni kita akan
melakukan fugue setelah variasi," senpai pun
menyatakan alasan terakhirnya.
"Ebisawa Mafuyu pasti tidak akan lepas dari fugue.
Oleh karena itu, kita hanya perlu membiarkan ia tahu
bahwa komposisi musik ini bukanlah sesuatu yang
dapat dimainkan oleh satu orang saja. Itulah berbagai
alasanku kenapa memilih komposisi ini, <Variasi
Heroik>. Komposisi ini ada untuk memenangkanmu
dari Ebisawa Mafuyu, itu sebabnya—"

259
Bab 13: Eroica

Senpai meletakkan tangannya di bahuku dan


menatap langsung mataku saat dirinya berkata,
"—bulatkan tekadmu, dan beri ia pelajaran."


Setelah bermain melalui frasa yang berkelanjutan,
aku menyenderkan punggungku dengan kuat pada
pintu dan menarik napas dalam-dalam. Senar maupun
setang bas telah menjadi licin karena keringatku.
Variasi kelima akhirnya kembali ke dua suara melodi
sederhana, tapi waktu untuk beristirahat itu usai dalam
sekejap. Aku bergegas langsung ke variasi keenam
dalam C minor tanpa mendapatkan kesempatan untuk
memperlambat tempo. Itu adalah satu-satunya bagian
di mana penurunan setengah nada pada bas tidak
mampu memperlihatkan dampaknya. Seolah Mafuyu
telah membelah frasa pembukaan dengan sebuah
kapak. Melodi melengking menyeret tubuhku. Jariku
mulai berputar, dan aku beberapa kali salah
memainkan not. Aku hampir bisa melihat pertanyaan
beruntun dari Mafuyu yang muncul di tempat yang
telah kurencanakan untuk berhenti — sebagai
tanggapan, aku menjawab dengan menggunakan nada
serupa yang bercampur dengan desahanku.
Bahkan ketika kami memasuki kanon yang bagai
mimpi itu, Mafuyu hampir tidak menunjukkan belas

260
Bab 13: Eroica

kasihan. Jika aku terlambat satu ketuk saja, ia akan


segera menghancurkan baris melodiku yang berusaha
memperkirakan langkahnya, dan memulai melodi
lanjutan sendiri.
Aku kemudian bisa merasakan sedikit tekanan
mendorong punggungku. Meski tidak bisa melihatnya,
entah bagaimana, aku tahu ... bahwa Mafuyu bersandar
di pintu, sama sepertiku. Aku hampir bisa mendengar
detak jantung Mafuyu, walaupun bisa saja itu suara
detak jantungku sendiri ataupun gema suara bas.
Saat rangkaian backbeat mempertahankan melodi
variasi kesepuluh — melodi berbarengan dengan
sekumpulan capung beterbangan di sekitar kami —
Aku menjadi semakin bingung. Kenapa aku melakukan
hal seperti ini di tempat begini?
Aku lupa kalau aku sudah terlalu memikirkan
berbagai macam hal sewaktu melirik partitiur sebagai
upaya untuk mengimbangi permainan gitar Mafuyu.
Tips yang diberikan senpai padaku sudah hilang
sepenuhnya dari otakku.
Yang tertinggal hanyalah jari-jariku yang bergerak
dengan sendirinya.
Entah mana yang merupakan suara basku, dan
mana yang merupakan suara gitar Mafuyu. Aku tidak
tahu. Aria Pro II milikku yang telah dimodifikasi
dan Stratocaster Mafuyu seperti kembaran yang
berasal dari sepotong kayu yang sama — mereka
berbaur satu sama lain dengan sempurna. Aku tidak

261
Bab 13: Eroica

bisa menjelaskan fenomena tersebut hanya dengan


berkata basku dan gitar Mafuyu punya seteman yang
sama sehingga kedua alat musik itu bisa
berharmonisasi tanpa cela. Seolah kedua alat musik itu
berjarak beberapa milimeter saja, pemotongan sirkuit,
dan keseimbangan teliti dari nada tinggi dan rendah —
keajaiban yang terjadi hanya setelah integrasi dari
semua yang disebutkan di atas.
Mafuyu dan aku seperti tangan kanan dan kiri
seorang manusia—
Bersama dengan itu, variasi akhir pun tiba. C
minor. Itu mirip dengan luasnya laut di malam hari
yang baru saja dilanda badai dahsyat.
Guntur perlahan-lahan tidak lagi menggelegar,
namun masih bergema jauh di dalam awan.
Bisikan-bisikan dari dalam samudera.
Dengan tangan kananku, kupetik sebuah nada G
rendah yang terdengar tanpa henti.
Kemudian, bersama dengan terbelahnya awan, aku
akhirnya bisa melihat kedatangan fajar.
Dengan lemah kudengarkan gemuruh di perutku,
dan melemaskan tangan kiriku. Kemudian, sekali lagi
kucengkeram erat setang basku dengan telapak tangan
yang berkeringat ini.
Bagian fugue. Akhirnya aku tiba di sini.
Setelah mengusir semua pikiran-pikiranku yang
terbakar dalam api kegelapan, yang muncul di

262
Bab 13: Eroica

hadapanku adalah sesuatu yang penuh dengan


kemungkinan tak terbatas —ansambel yang berpendar
seperti kristal. Aku segera menarik keluar not pertama
dari frasa awal. Empat suara sederhana — yang telah
ada sejak awal perang — berbunyi, selagi melodi
utama fugue yang mengikuti aba-aba dan memulai
alirannya. Setelah empat bar, Mafuyu mulai mengejar
— mengejar diriku. Di antara dua melodi yang tidak
saling memotong dan yang tidak saling bersentuhan,
terdengar melodi yang tampak seperti fatamorgana.
Siapa sebenarnya yang memainkan itu? Jelas, itu
adalah Mafuyu dan aku. Kami terus-menerus
mengirimkan fragmen melodi, yang perlahan-lahan
bergabung menjadi baris melodi yang jernih — rasanya
terdengar seolah ada orang ketiga yang bermain
bersama kami. Aku tidak begitu tahu yang kini sedang
terjadi — yang kulakukan hanyalah memainkan semua
yang tertulis dalam partitur buatan senpai. Mafuyu
tampaknya telah menganalisis maksud nada ini dalam
sekejap, dan terus membalasku. Itu adalah satu-satunya
hal yang bisa kupahami. Namun, apa itu benar-benar
mungkin? Tanpa menggunakan kata-kata, hanya
menyampaikan perasaan kami melalui musik —
bisakah keajaiban ini sungguh terjadi? Atau akankah
keajaiban ini menghilang saat aku membuka mata—
... berangsur-angsur, hal tersebut pun memudar.
Aku berhenti menggerakkan jari-jariku.

263
Bab 13: Eroica

Melodi Mafuyu, yang seharusnya mengejarku, tiba-


tiba menghilang.
Bayangan kehangatan dari Mafuyu, yang kurasakan
di punggungku sejak tadi ... juga ikut menghilang.
Aku berbalik. Sebuah suara *ngiiing* datang dari
balik pintu. Itu suara samar yang dihasilkan
oleh feedback dari gitar.
Aku punya firasat buruk tentang ini.
"... Mafuyu?"
Aku mencoba memanggil dirinya. Ia tidak
menjawab.
Sebaliknya, aku mulai mendengar suara-suara tak
menyenangkan dari erangan dan tangisan melalui
celah-celah pintu.

264
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

"—Mafuyu?"
Tidak ada tanggapan yang kudengar, padahal aku
sudah berteriak keras dari luar, itu sebabnya aku mulai
mengetuk pintu. Tiba-tiba kudengar suara sesuatu yang
jatuh. Gemuruh suara feedback bergema di dalam
ruangan.
Kucoba membuka pintu dengan menekan keras
gagangnya, tapi untuk sesaat, aku lupa caranya
membuka kunci, dan hampir saja mendobrak pintunya.
Akhirnya aku ingat kalau aku harus menekan gagang
secara diagonal ke kanan bawah sebelum memutarnya.
Sewaktu pintu terbuka, Mafuyu yang seharusnya
bersandar pada pintu, justru ambruk ke tubuhku. Aku
segera menopangnya. Punggung Mafuyu membentur
basku, membuat amplifier mengeluarkan suara gaduh
yang kencang.
Kulit Mafuyu yang sudah putih itu tampak menjadi
lebih pucat.
"Kamu ... kenapa?"
Suaraku terdengar satu oktaf lebih tinggi karena
gugup.
"... tidak apa-apa."
"Apanya yang tidak apa-apa?! Kamu sanggup
berdiri?"
"Tidak, tapi ... aku tidak apa-apa."

265
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

Mafuyu menyingkirkan tanganku dan mencoba


duduk. Akan tetapi, bahunya langsung hilang
keseimbangan, dan kaki kanannya mendadak kram.
Setelah melihat tubuhnya berputar ke posisi yang aneh,
kubantu mengangkat tubuh bagian atasnya lalu
menyandarkannya ke dinding.
"Kenapa jadi begini ...," Mafuyu mulai terisak. Ia
memalingkan muka agar tidak menatapku, lalu
bergumam, "Kenapa? Aku sudah berusaha sebisa
mungkin untuk melupakan semuanya, lalu kenapa
kamu membuatku mengingatnya lagi?"
Apa maksud ucapannya itu? Aku benar-benar tidak
tahu.
Kusingsingkan bas ini dari bahuku. Sepertinya
senar-senar basku mengenai sesuatu hingga membuat
sebuah nada rendah bergema di seisi ruang kelas yang
kecil ini. Tangan kiri Mafuyu sedikit bergetar.
"Berhenti! Hentikan! Jangan memainkan suara apa
pun!"
Mafuyu yang tiba-tiba mendapat sejumlah
kekuatan, menyambar bas tersebut dari tanganku lalu
membantingnya ke lantai. Salah satu kenopnya terlepas
dari tempatnya. Dan terdengar suara melengking yang
mengerikan, mirip dengan suara sepasang cakar yang
sedang menggores tembok.
Tubuh Mafuyu lalu roboh ke arah dekat bas dan
gitar yang tergeletak di lantai, layaknya boneka yang
benang pengendalinya telah dipotong. Amplifier terus

266
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

mengeluarkan suara yang tidak enak didengar — mirip


seperti suara ratapan — tapi aku tidak tahu bagaimana
menghentikan suara itu. Bagaimana ini? Kenapa
sampai jadi begini? Apa yang harus kulakukan?
Pokoknya—
Sebaiknya aku pergi ke UKS terlebih
dahulu, akhirnya aku pun mampu memikirkan itu di
tengah suara feedback yang melengking.
"Akan kupanggilkan perawat sekolah."
"Aku tidak mau—"
Mafuyu mengerang. Apa yang si bodoh ini katakan
di saat begini? Pokoknya aku langsung berlari kencang
menuju gedung utama.


Sewaktu hendak bergegas masuk ke ruang UKS,
aku hampir menabrak Kumiko-sensei yang bertugas
sebagai perawat sekolah. Kumiko-sensei masih sangat
muda, dan rumor mengatakan kalau beliau dulunya
adalah berandalan yang sangat menakutkan. Dan benar,
hal pertama yang dilakukannya adalah menarik
kerahku lalu berteriak, "Jangan berlarian di lorong!"
yang kemudian beliau melepaskan cengkeramannya
karena menyadari sesuatu.

267
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

268
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

"Kamu dari kelas 1-3, 'kan? Sekelas dengan


Ebisawa-san?"
Aku masih terengah-engah karena berlari tadi,
alhasil, aku jadi sulit berbicara. Aku hanya bisa
mengangguk sebagai jawaban.
"Apa kamu melihatnya di kelas? Dirinya ada jadwal
ke rumah sakit hari ini, tapi pihak sana barusan
menelepon kalau ia belum datang."
Ia harus ke rumah sakit hari ini?
Jumat. Satu-satunya hari di mana Mafuyu langsung
pulang selepas pelajaran berakhir. Rumah sakit. Aku
terkejut. Saat mencoba mengatur napas, aku pun
terhenyak, "Mafuyu tadi ... pingsan."
"Di mana ia sekarang?" Kumiko-sensei masih
bersikap tenang, namun ada perubahan pada ekspresi
matanya.
"Di lapangan—"
Kumiko-sensei langsung mengambil beberapa obat
dari rak, lalu menggaet lenganku dan bergegas keluar
dari ruang UKS. Sesampainya di lapangan, kami
melihat Chiaki berjongkok di samping Mafuyu yang
pingsan. Kenapa ... Chiaki ada di sini? Apa mungkin ia
menunggu berakhirnya pertandingan kami?
"Aikawa-san, tolong minggir."
Beliau memberikan pertolongan pertama, lalu
menelepon seseorang— kuamati tindakan Kumiko-

269
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

sensei itu dengan tatapan kosong, sementara Chiaki


menatapku tidak berdaya.
"Ada apa ini?"
Aku hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi
pertanyaan Chiaki.
"Apa yang kalian lakukan sampai jadi seperti ini
...," tanya Kumiko-sensei sambil melotot sewaktu
beliau memeriksa denyut nadi Mafuyu.
"Kami hanya ... bermain gitar."
"Hanya itu? Bagaimana mungkin? Harusnya tidak
masalah baginya untuk memainkan alat musik."
Kumiko-sensei— apa beliau tahu tentang kondisi
Mafuyu?
"Apa pun itu, aku tadi sudah meminta orang tuanya
agar kemari. Beliau bilang akan segera datang."
Bahu kiri Mafuyu sedikit gemetar. Perlahan ia
mencondongkan tubuhnya ke kaki Chiaki lalu
mengangkat wajahnya, memperlihatkan ekspresi
kesakitannya.
"Tidak ..., aku tidak mau."
"Kamu ini bicara apa? Seharusnya hari ini kamu
memeriksakan diri ke rumah sakit, 'kan? Apa kamu
memang ada niat ingin mengobati penyakitmu? Kamu
tidak boleh gegabah! Kondisi tubuhmu berbeda dengan
orang biasa, jadi kita harus meminta tolong dokter yang
bertanggung jawab atas kesehatanmu itu agar ikut
datang ...."

270
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

Mafuyu menggelengkan kepala sewaktu air


matanya berlinang.
"Tidak, aku tidak mau ... orang itu melihatku dalam
kondisi seperti ini."
Kumiko-sensei mengabaikan protesnya, lalu
berbalik ke arahku dan berkata, "Jelaskan yang terjadi
dengan lebih rinci. Aihara, tolong ambil alas duduk
yang di sana itu, lalu letakkan di bawah Mafuyu."


Kulihat ada dua pria berjas berjalan ke arah kami
dari tempat parkir. Aku memang pernah melihat
Ebisawa Chisato hanya dari sampul CD saja, namun
terlepas dari itu —walaupun aku berada dalam jarak
yang cukup jauh — aku langsung tahu kalau orang
yang berjalan paling depan itu adalah ayah Mafuyu.
"Ada apa ini?"
Pertanyaan bodoh yang sama — yang pernah pula
ditanyakan seseorang sebelumnya — juga datang dari
mulut Ebisawa Chisato. Rambutnya disisir rapi dan
dibuat kelimis, meski ada sedikit uban yang berbaur.
Rautnya yang tegas dan jelas itu menampakkan
amarahnya. Maki-sensei tiba di lapangan setelah
mendapat telepon dari Kumiko-sensei. Setelah melihat
kedatangannya, ayah Mafuyu mulai berteriak,

271
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

"Aku tidak mengira ini bisa terjadi padahal kamu


ada di dekatnya! Bagaimana kalau ada apa-apa
terhadap Mafuyu?!"
"Anda tidak bisa mengharapkan saya selalu berada
di sisinya, bukan?" jawab Maki-sensei dingin. Dokter
paruh baya (orang itu pasti dokter, 'kan?), yang juga
ikut berdiri di samping Ebichiri yang sedang marah,
seolah berkata, Bawa nona muda itu ke dalam
mobil, pada Kumiko-sensei lewat matanya.
"Kenapa kamu tidak ke rumah sakit? Dengan siapa
saja kamu bergaul?"
Aku memalingkan muka dan berpikir apa
sebaiknya aku lari saja dari sana.
"Gitar? Kamu bilang gitar?! Kamu bercanda, siapa
yang membolehkanmu memainkan benda semacam
itu? Mafuyu, apa yang mau kamu lakukan dengan
mempelajari gitar tanpa sepengetahuanku? Apa kamu
tidak tahu pentingnya jari-jarimu itu? Kamu mungkin
tidak akan pernah bisa bermain piano—"
"Ebisawa-sensei! Tolong. Jangan sudutkan Mafuyu
seperti itu!"
Maki-sensei memohon dengan suara sedih.
"Aku tidak memindahkannya ke SMA biasa supaya
ia bisa memainkan benda semacam itu!"
Aku menggigit bibir sewaktu mendengarkan
teriakan Ebichiri yang menusuk. Ayahnya dan sang
dokter lalu memasukkan Mafuyu ke kursi belakang,

272
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

seakan gadis tersebut adalah jenazah yang dibungkus


kantung mayat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain
terdiam melihat semuanya.
Tepat sebelum pintu mobil ditutup, Mafuyu dan
aku saling melirik. Ekspresi di kedua matanya sama
seperti dulu — tidak mampu menyuarakan apa pun,
dan hanya bisa mencari sesuatu untuk diandalkan.
Kedua mata itu tampak bagaikan langit sebelum turun
hujan, dipenuhi awan mendung. Tidak, aku tidak bisa
membiarkannya pergi seperti itu. Aku hampir bisa
mendengar sebuah bisikan tepat di sampingku, namun
aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, atau
bergerak satu langkah pun.


Aku tidak terlalu yakin dengan yang terjadi setelah
itu. Mungkin aku dimarahi secara brutal oleh Maki-
sensei atau Kumiko-sensei? Mungkin alasan kenapa
aku tidak dapat mengingat detailnya adalah karena
keduanya tidak mau menceritakan yang telah terjadi
pada Mafuyu. Satu-satunya hal yang kuingat adalah
bahwa aku tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Chiaki-lah yang menggantikanku menjawab hampir
semua pertanyaan mereka.
Sudah pukul enam lewat sesampainya aku di
rumah, dan pengeras suara di ruang tamu sedang

273
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

memutar komposisi <Katalog Burung> gubahan


Messiaen. Burung puyuh, burung bulbul dan bahkan
burung sikatan hitam — hanya dengan piano tunggal
saja sudah cukup untuk meniru suara dari berbagai
jenis burung. Tetsurou berbaring menyamping di sofa,
mendengarkan musik sambil menyeruput segelas
wiski.
"Kamu sudah pulang, toh .... Ada apa? Kok kusut
begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Kugelengkan kepalaku pelan, lalu melepaskan bas
dari bahu dan melemparnya ke karpet. Aku lalu
merebahkan diri ke sofa.
Terlepas dari sikap Tetsurou yang sangat tidak
peka, namun ada kalanya, beliau akan memahami
perasaanku meski tanpa kata-kata. Pada saat itu,
tindakan terbaik adalah tidak menggangguku dan
membuat makan malamnya sendiri — persis seperti
yang beliau lakukan saat ini.
Di meja makan ada semacam daging gosong, serta
salad yang terlalu banyak diberi minyak. Yang
kumakan hanyalah beberapa sendok sup miso yang
tidak berasa.
"Hei .... Nao ...."
"Hmm?"
"Karena tidak ada keluhan, berarti makanan yang
kumasak hari ini lumayan, ya?"

274
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

"Tidak, jangan khawatir, rasanya tidak karuan


seperti biasanya. Aku kenyang."
Tetsurou tampak sedih karena celetukanku, tapi aku
mengabaikannya dan kembali ke ruang tamu. Aku
membenamkan diriku di sofa dan lanjut mendengarkan
kicauan burung-burung. Tiba-tiba aku ingin menangis.
Jadi saat itu Mafuyu sedang menungguku.
Seharusnya ia ke rumah sakit hari ini. Tapi karena
hal-hal yang kukatakan kemarin ..., diriku yang tidak
tahu apa-apa dan mengatakan hal-hal bodoh seperti,
"Jumat, sepulang sekolah besok ayo bertanding!"
karena itu, ia menungguku — dia memang
menungguku.
Lagu tentang burung itu telah berakhir. Tetsurou
melepas celemek dari tubuhnya lalu duduk di sofa
menghadapku. Tanpa bersuara beliau tuangkan wiski
ke gelasnya. Dalam situasi seperti ini, aku akan sangat
bersyukur jika beliau tidak mengajukan pertanyaan apa
pun tentang yang sudah terjadi.
"Oh, iya, Tetsurou ...."
"Hmm?"
"Menurutku ..., itu harusnya sebuah konserto piano
... yang terdiri dari tiga bagian, dan bagian
pertengahannya adalah sebuah mars. Apa kamu pernah
mendengar komposisi seperti itu sebelumnya?"
Lalu kugumamkan komposisi yang dimainkan
Mafuyu saat di tempat barang rongsokan dulu.

275
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

"—itu seharusnya konserto gubahan Ravel ...."


Jawab Tetsurou lalu bergumam melanjutkan dari
nadaku tadi.
Bulu kudukku langsung merinding.
"... gubahan yang mana?"
Maurice Ravel hanya menggubah dua konserto
piano sepanjang hidupnya. Yang pertama adalah
sebuah konserto piano pada G mayor, ditulis untuk
permainannya sendiri. Dan yang satunya adalah—
"Yang pada D mayor," jawab Tetsurou. Dan itu
adalah jawaban yang kulewatkan.
Konserto piano lainnya, pada D major, ditulis untuk
seorang pianis Austria bernama Paul Wittgenstein.
Paul kehilangan apa yang disebut sebagai nyawanya
pianis— yaitu lengan kanannya — sewaktu Perang
Dunia Pertama. Oleh karenanya, konserto piano yang
didedikasikan untuknya itu juga dikenal sebagai—
"<Konserto Piano untuk Tangan Kiri>."
Kenapa aku bisa telat menyadarinya?
Tanda-tandanya sudah banyak terlihat — Mafuyu
tidak pernah menggunakan sumpit dan tidak menyalin
catatan selama pelajaran. Selama pelajaran kesenian
ataupun pelajaran olahraga, ia tidak melakukan apa-
apa. Ditambah, ia menggunakan pick gitar aneh dengan
dua cincin yang disematkan pada jari telunjuk dan jari
tengahnya. Bahkan untuk seseorang yang tidak

276
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

sanggup menggenggam, bisa dengan mudah


memegang pick tersebut di antara ujung jari-jarinya.
Itulah alasan ia memilih gitar.
Jari-jari di tangan kanan Mafuyu ... mungkin saja
tidak bisa digerakkan lagi. Baru sekarang akhirnya
kusadari fakta tersebut. Sebuah takdir yang kejam telah
merenggut karier piano Mafuyu, biarpun begitu, ia
tidak bisa lari dari musik yang sangat dicintainya. Oleh
karena itu, ia menggenggam gitar dengan sekuat
tenaganya, seperti orang hendak tenggelam yang
bersandar sekuat tenaga pada sepotong kayu yang
mengapung.
Kenapa aku tidak menyadari itu sebelumnya?
Bahkan meski tidak ada yang memerhatikan ...,
seharusnya aku bisa menemukan jawabannya!
Kenapa—
Kenapa ia tidak memberitahuku soal ini? Aku
memang sama sekali tidak peka. Bahkan aku
bertingkah seperti anak kecil, bersikeras menantang
Mafuyu dalam pertandingan gitar. Aku memaksanya
untuk menunggu, namun pada akhirnya, aku justru
mencelakainya tanpa sadar.
Aku benar-benar tidak tahu, itu karena Mafuyu
sama sekali tidak menceritakannya! Aku sungguh ingin
menemukan orang dewasa yang bisa kujadikan tempat
untuk mengadu, tapi Tetsurou dan sarung bas yang
tergeletak di lantai itu hanya bisa terdiam. Aku pun lalu
teringat <Variasi Heroik> yang kumainkan bersama

277
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

Mafuyu, bersama dengan fugue yang terhenti di tengah


permainan. Perasaan macam apa yang Mafuyu rasakan
sewaktu mendengar ansambel yang tidak bisa
dimainkannya lagi, sewaktu melihat orang lain
memainkan melodi yang mewakili tangan kanannya
yang tidak bergerak?
Kenapa perasaan di lubuk hati ini selalu gagal kami
utarakan dengan kata-kata?


Bulan Juni tiba seminggu kemudian. Mafuyu benar-
benar telah menghilang. Ia tidak lagi datang ke
sekolah.
Teman-teman sekelasku sedang mendiskusikan
sesuatu, sesuatu yang tampaknya terjadi di hari Jumat
sebelum libur. Biasanya mereka selalu mengabaikan
perkataan orang, dan tidak memerhatikan suasana hati
orang tersebut, tapi kali ini, mereka tidak bertanya apa-
apa padaku.
"Soalnya Nao terlihat sangat tertekan ...," ujar
Chiaki dengan lembut sewaktu istirahat makan siang.
"Tertekan? Tidak," aku berbohong.
"Aku sampai bertanya pada Maki-sensei tentang hal
itu."

278
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

Nafsu makan Chiaki mendadak turun; ia tidak


mengambil apa pun dari bento-ku.
"Sepertinya ayah Ebisawa-san ingin kembali ke
Amerika. Kurasa ada dokter spesialis di sana, jadi akan
lebih mudah bagi mereka untuk melakukan
pemeriksaan atau menjadwalkan operasi .... Aku tidak
terlalu yakin rincinya, tapi sepertinya Ebisawa-san juga
akan ikut pergi."
"... begitu."
Jadi itu yang ia maksud dengan, Aku akan
menghilang di bulan Juni?
Apa itu berarti, Mafuyu tidak akan pernah kembali
lagi? Jadi karena itulah ia ingin kami melupakan
semuanya ....
Dan karena itu— aku tidak punya lagi kesempatan
untuk meminta maaf padanya, ataupun kesempatan
untuk tersenyum padanya. Aku tidak bisa lagi
membuatnya marah, atau menakutinya dengan
gambar zombie. Dan sebuah hal yang mustahil
meminta bantuannya untuk menyetem basku.
Jika sejak awal aku tahu kalau ia benar-benar akan
menghilang — jika aku tahu kalau yang dikatakannya
itu akan menjadi kenyataan — maka aku akan
melupakannya saja, dan akan sungguh kulakukan.
Berdasarkan keterangan Chiaki, entah kenapa,
Kagurazaka-senpai juga tidak masuk sekolah. Apa ia

279
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

juga merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada


Mafuyu? Itu tidak mungkin!
"Apa ia akan kembali setelah pemeriksaan
kesehatannya ...," gumam Chiaki. Aku mulai merasa
itu sudah tidak penting lagi. Akulah yang benar-benar
salah paham terhadap Mafuyu dan merusak segalanya.
Aku selalu berpikir kalau suatu saat Mafuyu akan
terbuka padaku, namun kenyataannya, ada sebuah
dinding di antara kami, sebuah dinding yang lebih tebal
dari pintu di ruang kelas praktik — yang suara pun
sampai tidak bisa melaluinya. Dan aku hanya bisa
mengagumi betapa indahnya musik itu — terlepas dari
kami yang saling berjauhan, hanya dengan memainkan
apa yang tertulis pada partitur, bisa kubayangkan kalau
Mafuyu sedang berada persis di sampingku. Sungguh
kuasa yang mengagumkan! Dan kini itu telah
menghilang dari pandanganku.


Sesampainya di rumah, kubawa basku ke pusat
daur ulang dan membuangnya di sana. Sepertinya saat
Mafuyu membanting basku ke lantai, ada semacam
aliran yang putus di suatu tempat. Bas itu tidak bisa
lagi mengeluarkan suara apa pun. Kuputar kenopnya
sampai maksimal, bahkan sampai kucoba membongkar
lalu memasangnya kembali, tapi tidak ada yang

280
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

berhasil. Dengan keahlian yang kupunya, masih ada


kemungkinan untuk memperbaikinya, akan tetapi, jujur
aku sedang tidak ada keinginan untuk melakukannya.
Setelah melihat pemandangan itu, Tetsurou pun
sampai tidak melontarkan lelucon seperti, Anakku
memang hebat, bisa menyerah dengan sangat
cepat, atau, Jadilah perjaka seumur hidup, beliau
bahkan sampai menyiapkan makan malam (yang
sangat menjijikkan). Aku selalu mudah memberi
tanggapan tidak berguna di situasi begini, namun aku
tidak bisa mengutarakan perasaan penting yang ada
dalam hatiku.
Sehabis makan malam, aku duduk sambil
merangkul lututku, menghadap Tetsurou yang sedang
mengerjakan artikelnya. Bisa kudengar pengeras suara
yang sedang memainkan <Tarian Hungaria> dengan
lembut di telingaku.
"... Tetsurou, apa kamu sudah dengar?"
"Hmm? Oh, itu ...," jawab Tetsurou tanpa
memindahkan pandangannya dari laptop, "Aku
mendengar ada sebuah kabar dari paparazzi yang
mengaku serba tahu dalam dunia musik. Apa kamu
mau tahu tentang itu?"
"Apa itu tentang ... tangan kanan Mafuyu?"
"Ternyata kamu sudah tahu!"
"... aku tidak tahu!"

281
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

Aku baru menyadari semuanya setelah tidak ada


satu pun yang bisa diperbaiki lagi. Tetsurou lalu
menyingkirkan laptopnya ke samping. Beliau
kemudian menatapku dan berkata,
"Mungkin sekitar tahun lalu? Sepertinya jari tangan
kanannya mendadak tidak bisa bergerak sesaat sebelum
ia memulai konser di Inggris. Konsernya pun
dibatalkan. Mereka membawanya ke beberapa rumah
sakit, tapi tidak bisa menemukan penyebabnya. Saat
itu, ada beberapa yang mengatakan kalau itu mungkin
saja dikarenakan gangguan obsesif-kompulsif."
Aku jadi teringat tatapan ketakutan di mata
Mafuyu, dan tiba-tiba terpikir, mungkinkah itu
berhubungan dengan ayahnya?
"Jadi itu alasan ia kembali ke Jepang. Mereka
berpikir bahwa rehat sejenak dari piano, dan beberapa
rehabilitasi, mungkin bisa membuatnya sembuh. Tapi
keadaan tidak terlihat seoptimis itu, 'kan? Kondisinya
semakin memburuk, dan ia harus pergi ke dokter untuk
pemeriksaan rutin."
Bisa kurasakan perih di dekat jantungku. Rupanya
itulah yang sedang Mafuyu sembunyikan. Ia mengusir
teman-teman sekelas yang berusaha mendekatinya, dan
tidak mau mengakrabkan diri dengan yang lain. Ia
cukup berhasil menjadi orang yang benar-benar
menjengkelkan. Ditambah, semua yang berusaha
mendekatinya itu adalah anak-anak bodoh, karena itu

282
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

tidak satu pun yang menyadari ada hal ganjil pada jari-
jemari tangan kanannya.
Bisakah kita tidak melakukan apa-apa tentang itu?
Aku sungguh berharap ada yang berkata, Itu semua
salahmu! atau, Ini sebenarnya bukan
salahmu, langsung, tanpa ragu di hadapanku. Namun,
setelah mendengar aku mengatakan itu, Tetsurou
dengan dingin menjawab,
"Memangnya aku bisa tahu? Pikirkan sendiri!"
Yang bisa kulakukan hanyalah menutupi kepalaku
dalam keputusasaan.
"... Tetsurou, apa yang ada di pikiranmu saat
menceritakan ini?"
Pertanyaan barusan sangat bodoh hingga aku
sendiri pun menyesal menanyakannya. Itu sebabnya,
setelah menanyakan itu, aku jadi tidak berani
memandang Tetsurou.
"Tidak ada? Aku hanya merasa kalau itu sedikit
disayangkan karena tidak bisa lagi mendengarkan ia
bermain piano. Aku sungguh berharap setidaknya ia
bisa membuat rekaman <Rangkaian Perancis> secara
keseluruhan! Tapi bagiku, ia hanyalah satu dari sekian
ribu pianis."
Kalau saja aku bisa berpikir sebagaimana halnya
beliau — bukankah itu akan jauh lebih mudah buatku?
"—soalnya itu memang tidak ada hubungannya
denganmu, 'kan?"

283
Bab 14: Dokter, Katalog Burung, Jawaban

Aku pun mengangkat kepalaku untuk menatapnya.


Tetsurou sekilas melirikku dan berkata, "Bodoh, kalau
begitu kenapa tadi bertanya?" lalu mengarahkan
kembali perhatiannya pada artikel yang dikerjakannya
tadi.


Setelah masuk ke kamarku yang ada di lantai dua,
aku langsung merebahkan diri ke ranjang tanpa
mengganti pakaianku. Kupejamkan mata, dan
berencana untuk melupakan semuanya, seperti yang
diminta Mafuyu.
Harusnya itu mudah untuk dilakukan. Aku begitu
yakin terhadap daya ingatku yang lemah, dan dalam
beberapa bulan, aku pasti sudah lupa kalau seseorang
yang bernama Mafuyu itu pernah ada. Dan aku tidak
akan mengingat apa pun yang berhubungan dengan
bas. Aku akan kembali ke kehidupan di mana
kuhabiskan waktu dengan membenamkan diri dalam
musik orang lain.
Andai saja aku tidak menghiraukan suara orang
yang mengetuk jendelaku dua hari kemudian ....

284
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Ketika itu, aku sedang berada di kamarku,


mendengarkan musik melalui headphone. Yang
kudengarkan adalah album dari Derek and the
Dominos. Saat itu hari Kamis malam — hari ketiga
Mafuyu tidak masuk sekolah. Angin di luar bertiup
sangat kencang, dan bisa kudengar gemerisik dahan
pepohanan di sisi trotoar.
Tetsurou sedang menghadap penerbit, jadi tidak ada
orang lain di rumah. Di saat begini, biasanya aku bebas
menggunakan pengeras suara di ruang tamu, tapi aku
terlalu malas untuk meninggalkan kamar. Makanya aku
terus berbaring di tempat tidur, mendengarkan
pengeras suara mini yang suaranya tidak terlalu jernih.
Suara drum Jim Gordon terdengar dari pengeras
suara, menenggelamkan suara-suara lainnya, itu
sebabnya aku sempat tidak menyadari suara itu. Tidak
sampai bagian pertengahan lagu, ketika melodi piano
mulai mengalun, akhirnya kusadari — seseorang telah
mengetuk jendela kamarku.
Tentu saja, kupikir itu Chiaki, karena tidak ada
orang lain yang melakukan hal seperti itu. Sekarang
sudah larut malam, ia mau apa? Akan tetapi, setelah
membuka tirai dan jendela, sepasang mata biru
menyambutku. Aku tercengang.
Orang yang muncul di depan jendela — yang
berdiri di perpanjangan atap — ternyata Mafuyu. Itu

285
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

memang dirinya. Rambutnya yang berwarna merah tua


itu terkibar tertiup angin dan terbelit pada kotak gitar
yang dipanggulnya.
"Kamu ...."
Ingin kukatakan sesuatu, tapi tidak ada lagi kata-
kata yang bisa terucap.
"Boleh aku masuk?"
Tanya Mafuyu tanpa ekspresi saat melepaskan gitar
dari bahunya lalu menyodorkannya padaku.
"Eh .... Ah, hmm, boleh."
Pikiranku berkecamuk, tapi aku tetap menerima
kotak gitar itu dan menyandarkannya ke dinding.
Terlepas dari keterkejutanku, aku tidak lupa
mengulurkan tangan pada Mafuyu dan menariknya
masuk setelah ia berpijak pada jendela dan melepaskan
sepatunya. Saat itu Mafuyu mengenakan gaun panjang
berwarna biru persis seperti yang dikenakannya saat
pertama kami bertemu ..., walau kelihatanya itu
membuat sulit bergerak.
Aku masih belum bisa memercayainya. Apakah ini
kelanjutan dari sebuah mimpi?
"... yang benar?"
Sewaktu melihat Mafuyu berdiri di kamarku, tidak
ada yang bisa kulakukan selain bertanya.
"Apa?"

286
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Eh, tidak, hanya saja ... agak aneh, seharusnya


kamu tidak bisa memanjat, 'kan?" Dan seharusnya
tangan kanannya itu juga tidak bisa digerakkan.
"Pergelanganku masih bisa digerakkan."
Jawab Mafuyu cuek sambil menggerakkan
pergelangan tangannya agar bisa kulihat. Terlepas dari
pergelangannya — sikutnya sendiri sudah penuh
goresan. Jadi maksudnya itu hanya jari-jarinya saja
yang tidak bisa ia gerakkan dengan bebas, dan karena
itu ia bisa memanjat kemari? Meski begitu ....
Mafuyu sadar jika aku menatapnya, lalu
memalingkan kepalanya, berkata pelan,
"Aku pernah mendengarnya dari Aihara-san
sewaktu di sekolah, soal ia memanjat pohon dan keluar
masuk kamarmu dengan bebas melalui jendela. Entah
kenapa rasanya aku ... sedikit iri, karena itu kupikir aku
harus mencobanya."
Tetap saja ....
"Kenapa—" kamu muncul di tempat seperti ini? Itu
pertanyaan yang sederhana, yang ditujukan langsung
ke pokok permasalahan, tapi entah kenapa aku tidak
mampu menyelesaikan pertanyaanku. Apa mungkin
karena kupikir ia akan pergi seketika aku
menanyakannya?
Pada akhirnya, aku justru mengatakan ini,
"Bagaimana kamu tahu alamat rumahku?"

287
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Mafuyu menatapku lama sebelum berjalan ke arah


kotak gitarnya. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari
dalam kotak itu dan menyerahkannya padaku.
"... John Lennon?" Itu sebuah album CD — yang
bertajuk <Rock 'n' Roll> — yang kudengarkan sewaktu
di atap hari itu. Mafuyu membuka kotak CD tersebut
dengan cekatan memakai tangan kirinya. Ada selembar
kertas terlipat di atas cakram perak berkilau itu. Saat
membukanya, aku melihat sebuah peta. Itu digambar
dengan sangat baik. Aku nyaris tidak mengira kalau
peta itu digambar dengan tangan. Peta tersebut secara
akurat menyertakan bangunan-bangunan penting di
dekat rumahku dan menjelaskannya secara rinci. Apa-
apaan ini ....
"Orang itu menyuruhku untuk tetap tinggal di
rumah dan jangan ke mana-mana," ujar Mafuyu. Orang
itu? Yang dimaksud itu pasti ayahnya, "Karena itu,
sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku tidak bisa
meninggalkan rumah. Saat hendak kembali
pemeriksaan, entah bagaimana, CD itu tanpa sadar
sudah ada di tasku."
Aku menatap wajah Mafuyu dalam keadaan
setengah bingung. ia lalu memiringkan kepalanya
sebagai jawaban.
"Bukankah itu kamu? Mengikutiku ke rumah sakit
lalu meletakkan ini ...."
"Siapa pula yang mau berbuat sebodoh—"

288
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Aku mendadak terhenti di tengah kalimat. Ada


seseorang yang bisa melakukan hal bodoh semacam itu
— orang yang bisa melakukan sesuatu dengan
seenaknya tanpa ragu-ragu, meski ia tidak tahu itu akan
berhasil atau tidak, dan tidak peduli jika itu akan
menyia-nyiakan separuh harinya serta sejumlah besar
upaya ....
"Itu Kagurazaka-senpai ...."
Jadi itu yang ia lakukan saat bolos sekolah ....
Omong-omong, apa sebenarnya yang ia rencanakan?
Tidak disangka ia memberitahu Mafuyu lokasi
rumahku .... Apa ada sesuatu yang ia ingin Mafuyu
lakukan?
"Maksudmu senpai yang punya rambut sangat
panjang, mata seperti macan kumbang, dan yang selalu
mengatakan hal-hal aneh?" ujar Mafuyu. Begitu.
Ternyata Mafuyu juga tahu siapa Kagurazaka-senpai
itu, toh?
"Hmm ..., seharusnya begitu."
"Tentang senpai itu, aku selalu—" saat Mafuyu
mulai berbicara, ia menyadari tatapanku dan tersentak
kaget. Ia segera memalingkan wajah dan
menggelengkan kepala, "Tidak, tidak ada apa-apa."
Mafuyu berjalan ke tempat tidur lalu duduk di
atasnya, menempatkanku dalam situasi di mana aku
tidak bisa mendekati tempat tidur ataupun keluar dari
kamar — yang bisa kulakukan hanyalah bersandar di
samping jendela. Mafuyu ada di kamarku sekarang —

289
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

jujur saja, aku masih belum terlalu yakin dengan yang


terjadi, tapi — Mafuyu benar-benar ada di sini.
"Begini ..., eng ...," Aku memilih kata dengan hati-
hati, "Aku tidak tahu ... kalau saat itu .... Jadi ..., aku
minta maaf."
"Kamu tidak tahu apa?"
"Tidak, itu ... soal ... tangan kananmu."
"Tidak perlu minta maaf. Aku justru merasa tidak
enak kalau kamu meminta maaf."
Aku juga merasa tidak enak!
"Lagi pula ..., kamu tidak salah."
Setelah mengatakannya, ia pun memalingkan
wajah.
"Itu bukan salahmu. Hal seperti itu kadang terjadi,
bagian kanan tubuhku mendadak tidak bisa bergerak
secara perlahan, bahkan, kadang aku tidak bisa
menggerakkan kakiku. Aku juga tidak mengerti kenapa
bisa begitu."
Untuk sesaat, aku tidak dapat berbicara. Bagian
kanan tubuhnya mendadak tidak bisa bergerak secara
perlahan?
"Kenapa ... kamu mengatakannya seolah itu bukan
hal besar?"
"Karena ... kurasa itu memang bukan hal besar."
Mafuyu menunduk dan menampakkan sedikit
senyum. Itulah pertama kali kulihat ia tersenyum,

290
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

walau itu terasa seperti ekspresi kesepian. Hatiku


sedikit sakit.
"Dan aku tidak begitu peduli jika memang tidak
bisa digerakkan. Tapi orang itu dan perusahaan
rekamannya mungkin akan kesulitan karena hal itu."
"Ah! Eng ..., yah ..., bukankah kamu akan pergi ke
Amerika? Kudengar kamu akan melakukan
pemeriksaan atau operasi di sana, ya?"
"Hmm, orang itu akan melakukan tur keliling
Amerika, dan beliau akan terbang besok."
"La-lalu alasanmu kemari di saat begini ...."
"Hmm, aku melarikan diri."
Aku mendesah keras. Ia melarikan diri? Lagi-lagi,
gadis ini sepertinya suka sekali kabur dari rumah, ya?
"Itu memang sudah rencanaku. Aku akan kabur di
malam sebelum akan dibawa ke Amerika. Lagi pula
hanya tangan kananku — aku juga tidak begitu peduli
jika tanganku tidak bisa sembuh. Aku hanya ingin
membawa gitarku dan pergi ke tempat yang jauh, jauh
sekali, sampai kakiku tidak sanggup lagi bergerak .... "
Mafuyu memejamkan erat matanya, seakan ia
berusaha sekuat tenaga untuk tidak menitikkan air
matanya.
"Lagi pula, aku akan menghilang di bulan Juni."
Jadi, itu maksud perkataannya selama ini — bukan
karena ia akan pergi ke Amerika untuk mencari

291
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

perawatan, tapi karena ia sudah memutuskan untuk


melarikan diri.
Lalu?
Sekuat tenaga kuurungkan pertanyaan itu sebelum
terlontar dari mulutku.
Ia akan lari ke tempat yang jauh, jauh sekali. Lalu?
Apa yang akan ia lakukan setelah itu?
Aku tahu Mafuyu pasti tidak bisa menjawab
pertanyaan itu — andaipun pertanyaan itu diarahkan
padaku, aku juga tidak tahu harus menjawab apa.
Manusia tidak berpikir jauh ke depan setelah mereka
memutuskan untuk melarikan diri dari sesuatu. Mereka
sangat putus asa, mencari tempat untuk bersembunyi—
".... kenapa kamu justru mencariku?"
"Karena ...," Mafuyu menatap jariku, lalu tiba-tiba
mengangkat kepalanya, "Karena waktu itu kamu bilang
kalau aku harus mengatakan dengan jujur apa pun yang
menggangguku. Kamu masih ingat?"
Aku memang mengatakan hal seperti itu
sebelumnya. Saat itu, Mafuyu bahkan meminta untuk
memotong tangan kananku agar diberikan padanya,
atau mengembalikan waktu sampai di masa sebelum ia
mulai bermain piano — Ah! Jadi itu maksudnya?
Astaga, kini aku jadi merasa ingin menangis lagi.
Ternyata Mafuyu sudah memberitahuku soal itu
sebelumnya! Hanya saja aku yang tidak menyadarinya
lebih awal.

292
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Jadi ...."
Sepertinya Mafuyu enggan melanjutkan
kalimatnya. Ia kembali menundukkan kepalanya.
"Saat ini, tanganku ... tidak bisa membawa koper,
karena itu .... Bersama ...." setelah mengatakan itu,
Mafuyu kembali memejamkan matanya, lalu
menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Maaf, anggap saja aku tidak pernah
mengatakannya."
Mafuyu tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arahku. Ia
mengambil gitarnya, dan saat hendak mengambil
sepatu lalu memanjat keluar jendela, aku langsung
memanggilnya.
"Tunggu!"
Mafuyu menoleh. Aku kehabisan kata-kata. Ia
menatap lurus ke arahku, dan yang semula ingin
kuucapkan telah hancur di dalam mulutku. Sebaliknya,
yang aku tanyakan justru sesuatu yang tidak
berhubungan dan konyol— "Apa kamu bisa keluar
lewat pintu utama saja?"
"Memangnya tidak ada orang lain di rumah ini?"
"Tetsurou sedang keluar. Mungkin beliau akan
kembali agak lama."
"Begitu ya. Tapi ini pertama kalinya aku memanjat
pohon, dan kurasa itu cukup menyenangkan."
Masalahnya, ekspresi wajah Mafuyu menyiratkan
yang sebaliknya. Tidak, tunggu, bukan itu maksudku!

293
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"... baiklah, apa ada lagi barang bawaanmu? Atau


ada lagi yang kamu tinggal di luar?"
Mafuyu terus memandangi wajahku, dan matanya
berkedip kebingungan.
"... hah?"
"Aku ikut."


Koper Mafuyu yang tidak terlalu besar tergeletak di
bawah pohon pekarangan. Di bagian atasnya
tergantung recorder yang dulu sempat kuperbaiki,
meski aku hampir lupa kapan melakukannya.
"Apa kamu benar-benar ikut denganku?"
"Kamulah yang menginginkanku ikut!"
"Yah, itu benar, tapi ... kenapa?"
Aku juga tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu harus
ke mana setelah ini.
Yang kutahu bahwa aku tidak bisa membiarkan
Mafuyu pergi seorang diri.
Kuambil koper itu dan memanggulnya di
pundakku. Ternyata ringan.
"Di mana basmu? Aku hanya melihat sarung gitar
kosong di kamarmu."

294
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Tiba-tiba Mafuyu menanyakan itu sewaktu kami


masih di pekarangan yang gelap.
"Sudah kubuang."
"Eh .... Kenapa?!"
Suara Mafuyu tiba-tiba meninggi.
"A-apakah gara-gara waktu itu? Aku tidak begitu
mengingatnya, tapi apa basmu rusak gara-gara aku
membantingnya ...?"
"Bukan, bukan karena itu. Meski tidak rusak
sekalipun, aku mungkin akan membuangnya juga,"
jawabku, dan itu pun tidak bohong. Kalau aku mau,
aku pasti bisa memperbaikinya. Apalagi aku tidak
ingin Mafuyu menganggap kalau itu salahnya.
"... kenapa?" Mafuyu menjadi semakin tertekan.
Kenapa, ya? Sesaat, aku tenggelam dalam
renungan.
"Karena ... aku tidak suka lagi."
"Bukankah kamu suka musik rock?"
Pertanyaan blakblakan, yang tidak memiliki belas
kasihan itu, membuat kepalaku sakit.
"Awalnya itu cukup menarik, dan rasanya luar
biasa sewaktu berlatih. Tapi ...."
Aku menutup mulutku. Kenapa ujung-ujungnya
aku malah membuangnya? Aku juga tidak bisa
menjelaskannya.

295
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"... ah, kalau itu karena ..., karena aku waktu itu
...."
Aku menggelengkan kepala dan memotong
perkataan Mafuyu.
"Ayo lekas. Tetsurou mungkin akan kembali
sebentar lagi."
Wajah Mafuyu terselimuti oleh gelapnya malam,
dan karena itu aku tidak bisa melihat jelas ekspresi
wajahnya. Tapi entah kenapa, rasanya yang ia
tunjukkan saat ini adalah ekspresi kesepian.
Aku mendorong Mafuyu keluar dari pintu sambil
memanggul gitarnya di bahuku.
"Kita mau ke mana?"
"Menurutmu kita harus ke mana?"
Mafuyu dan aku dengan bodohnya saling melempar
pertanyaan.
Kami berdua mulai berjalan bersama, melewati
jalan sepi di daerah pemukiman yang diterangi oleh
beberapa lampu jalan, lalu berjalan menuju stasiun
kereta.


Rencana pelarian kami mendapat halangan besar —
kereta terakhir telah berangkat. Stasiun kecil itu berdiri

296
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

sendiri di tengah kawasan perumahan, ditemani sebuah


toko kelontongan yang buka sampai larut malam di
dekatnya. Tidak ada seorang pun di stasiun. Sewaktu
berdiri di jalan setapak yang sangat luas, satu-satunya
teman perjalanan adalah bayangan kami sendiri, yang
membentang karena lampu-lampu jalanan di sekitar.
"Kita harus apa?" tanyaku putus asa
"Kita tidak akan mencari mayat di sepanjang rel,
'kan?"
Itu adalah hal acak yang pernah kusebutkan dulu,
tapi kini Mafuyu membalikkannya padaku.
"Apa kita memang harus berjalan kaki? Itu akan
terasa melelahkan!"
Lalu apa yang harus kulakukan jika kaki kanannya
jadi tidak bisa digerakkan seperti dulu?
"Kudengar kalau membeku adalah cara terindah
untuk mati. Benarkah?"
"Kamu tidak bisa mati membeku di Jepang saat
bulan Juni begini, paham? Terlebih, aku baru sadar,
ada yang mengganjal ...."
"Apa?"
"kenapa aku yang membawa gitar dan kopermu?"
Aku sempat lupa kalau ada gitar di punggungku,
dan itu benar-benar berat.
"Karena kamu yang bertanggung jawab membawa
barang bawaan!"

297
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Bukan itu ...," tunggu, kalau dipikir-pikir, apa


tidak apa-apa?
Kupandangi Mafuyu yang menyusuri rel, lalu
menyusulnya. Sosoknya dalam gaun berwarna pucat itu
tampak seperti meleleh dalam kegelapan dan
menghilang jika aku tidak waspada.
Setelah melewati pagar ram, kami muncul tepat di
samping rel yang gelap. Saat kami berjalan menyusuri
lereng yang landai, tiba-tiba Mafuyu bertanya tentang
ibuku.
"Soalnya ayahmu selalu membahas soal perceraian
dalam kritiknya."
Tetsurou berengsek, beliau seharusnya memikirkan
posisinya sebagai kritikus musik.
"Apa kamu masih ingat ibumu?" Mafuyu menoleh
dan bertanya.
"Tentu saja. Aku sudah SD sewaktu mereka
bercerai, dan kami masih bertemu sebulan sekali."
"Seperti apa ibumu?"
"Beliau orang yang serius, dan itu membuatku
gagal memahami alasan beliau melakukan hal bodoh
seperti menikahi Tetsurou. Beliau juga sangat juga
tegas jika menyangkut tata krama saat makan."
"Begitu, ya ...." Mafuyu kembali mengalihkan
pandangannya pada kereta di depannya.

298
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Omong-omong, Mafuyu juga tinggal bersama


ayahnya setelah orang tuanya berpisah. Jadi itulah
alasan ia bertanya kepadaku?
"Mamaku ...," lanjut Mafuyu sembari melihat ke
depan. Langkah kakinya tampak melambat sewaktu ia
berjalan tanpa sadar, "Beliau pergi sebelum aku SD,
namun kudengar kalau beliau menikah lagi dengan
orang Jerman, dan mereka tinggal di Bonn. Bahkan
tahun lalu aku sempat mencari tahu alamatnya ketika
melintasi Bonn selama tur Eropa-ku."
Apa mungkin nantinya ia tersesat? Aku
memikirkan itu dalam hati.
"Meski begitu, mama menolak menemuiku. Suami
beliau lalu menghampiri pintu, dan dengan bahasa
Inggris yang sangat sopan, beliau memintaku untuk
pulang."
Mafuyu berhenti berjalan. Ia tempelkan jari
kanannya yang tidak bergerak itu pada pagar ram
sambil menyandarkan dahinya. Tidak bisa kulihat
wajahnya, karena itu aku tidak tahu apa bahunya
gemetar karena ia menangis.
"Suami beliau bilang kalau aku mirip seperti mama,
jadi mama mungkin menolak bertemu karena takut
akan terpengaruh oleh itu. Apalagi mama juga seorang
pianis ...."
Mafuyu akhirnya menoleh, meski tidak
menampakkan ekspresi apa pun di wajahnya.

299
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Sehari setelahnya, kami berangkat ke London,


tepat sebelum pertunjukan, jari-jariku mendadak tidak
bisa digerakkan. Tapi aku ... tidak seharusnya
memedulikan itu—"
Sambil terus melanjutkan perkataannya, ia
genggam erat lengan kanannya dengan jari kirinya.
"Bahkan jika bagian kanan tubuhku tidak dapat
digerakkan, lalu bagian kiri, dan akhirnya, jantung
berhenti berdetak dan aku mati, selama aku dimumikan
dan bersama orang itu, beliau pasti akan
menempatkanku di depan piano dan merasa terhibur."
"... jangan mengatakan hal kejam seperti itu."
Mafuyu mengabaikan kata-kataku dan melanjutkan
langkahnya.
Beberapa pertanyaan yang tidak berani kutanyakan
tiba-tiba terlintas. Karena Mafuyu mungkin akan
menghilang, jadi kuputuskan untuk mencari jawaban
atas semua pertanyaanku itu.
"Apa kamu membenci ayahmu?"
Mafuyu tidak segera menjawab. Ia dua langkah di
depanku, namun ia melambat sambil menyeret
kakinya.
"Aku tidak pernah merasa begitu."
Suara Mafuyu itu perlahan mendarat pada aspal,
dan berguling tepat di sebelah kakiku.

300
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Ini bukan soal aku benci atau tidak .... Rasanya


seperti aku terjebak di rawa tanpa dasar, tidak berdaya
dan sendirian."
"Apa-apaan?! Bilang saja terus terang jika kamu
memang benci!"
Mafuyu terhenyak, lalu menoleh ke belakang
setelah menghentikan langkahnya. Aku juga tersentak
karena suaraku sendiri, tapi aku tidak bisa begitu saja
menutup mulut dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
"... kenapa kamu berbicara seolah mengerti
segalanya?"
"Karena itu sudah jelas! Kamu tidak suka ayahmu!
Kenapa kamu menjadikannya serumit itu? Sejak orang
tuaku bercerai, sudah berulang kali kukatakan pada
Tetsurou, Dasar makhluk bodoh tidak berperasaan,
aku sangat membencimu! Aku tidak hanya kehilangan
ibuku, tapi sosok seorang ayah! Syukurlah tidak
seluruh anggota keluargaku yang ikut mati."
Mafuyu menatapku dengan wajah memerah.
Rambutnya juga ikut gemetaran. Ia lalu buru-buru
berpaling dan lanjut berjalan ke depan.
Apa aku benar-benar pantas mengatakan hal
semacam tadi? Aku hanya bisa memikirkan itu setelah
Mafuyu mengalihkan tatapannya dari wajahku. Setelah
menyesuaikan kembali tali kotak gitar yang hampir
terlepas dari bahuku ini, aku segera kembali menyusul
Mafuyu.

301
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang


Setelah menempuh jarak sekitar empat stasiun
kereta, Mafuyu mulai mengeluhkan kakinya yang sakit.
Karena itu kami berjalan ke sebuah taman kecil di
pinggir rel dan beristirahat di atas bangku taman.
Taman itu hanya terdiri dari sebuah kotak pasir kecil,
dua pasang jungkat-jungkit dan sebuah bangku. Betapa
sepinya tempat ini.
"Apa kaki kananmu sakit?"
"Bukan itu saja, tapi dua-duanya. Ini tidak ada
hubungannya dengan yang itu."
Sepertinya rasa sakit tersebut hanya karena kami
berjalan terlalu lama. Dan aku cukup bersyukur karena
ada kesempatan beristirahat, soalnya tali dari kotak
gitar ini membuat bahuku sakit.
Kutengadahkan kepala melihat langit suram tanpa
bintang, dan tiba-tiba, sebuah pertanyaan serius
menghantamku — sedang apa aku tengah malam di
tempat seperti ini? Harus apa aku setelah ini?
Kugelengkan kepala, menatap ke kaki, lalu
memutuskan untuk sementara melupakan pertanyaan
tersebut.
"Kakiku selalu mudah lelah, dan sering sekali
kram."

302
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Kalau begitu kenapa tadi mau mencari mayat di


sepanjang rel?!
"... ah, jadi itu alasanmu tidak menginjak pedal saat
bermain piano?"
"Itu tidak ada hubungannya dengan ini. Lagi pula,
tidak perlu menginjak pedal saat memainkan karya
Bach."
"Bukan itu maksudku. Kurasa kamu bisa
memainkan nada panjang dengan baik walau tanpa
menggunakan pedal."
"Apa sebegitu seringnya kamu mendengarkan CD-
ku?"
"Karena selalu ada yang mengirim CD-CD itu pada
Tetsurou, mungkin aku sudah mendengarkan setiap
album yang telah kamu rilis."
"Menjijikkan."
Yang memainkannya juga dirinya, kenapa
malah menjijikkan?!
"Akan sangat bagus jika semua komposisi yang
kumainkan itu dibakar."
Kalau tidak mau, ya jangan direkam.
"Jadi kamu tidak suka piano, tapi dipaksa
memainkannya?"
Mafuyu mengangguk.
"Aku tidak pernah menganggap bermain piano
sebagai sesuatu yang menyenangkan."

303
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Tapi kamu terdengar seperti bersenang-senang saat


memainkan <Butterfly> gubahan Chopin?"
"Kritikus memang selalu suka menerka perasaan
musisi — kadang aku bertanya-tanya apa mereka
bodoh atau apa. Aku masih bisa memainkan lagu ceria
meski tidak dalam keadaan senang!"
Yah ..., itu tidaklah salah.
Musik hanyalah rangkaian dari nada-nada. Hak
bagi pendengarnya untuk menafsirkan perasaan yang
ada di dalamnya.
"Jadi kamu membenci piano dan tidak ingin
memainkannya lagi?"
"Aku juga tidak bisa lagi bermain piano. Aku hanya
bisa menggerakkan ibu jari dan telunjukku saja."
Mafuyu mengangkat tangan kanannya dan mencoba
menggerakkan jari-jarinya. Jari tengah, jari manis dan
jari kelingkingnya menekuk dengan lemah.
"Jika kamu menjalani pemeriksaan dan melanjutkan
operasi ...," apa mungkin akan ada kesempatan untuk
pulih?
"Karena itu aku kabur."
Mafuyu menempelkan tangan kanan di dada lalu
menutupinya dengan tangan kiri, seolah mencoba
melindunginya.
"Orang itu bilang bahwa impiannya adalah
memainkan <Konserto Piano No. 2> gubahan
Beethoven. Aku selalu bertanya-tanya, kenapa No 2?

304
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Padahal itu bukan komposisi terkenal."


Beethoven telah menulis lima konserto piano.
Menurut hasil penelitian, <Konserto Piano No. 2 pada
B? mayor> sebenarnya dirilis lebih awal dari No. 1,
dan itu adalah komposisi yang paling jarang dimainkan
di antara konserto piano lainnya.
"Akhirnya kusadari, setelah mencari-cari rekaman
di masa lalu, beliau telah memainkan konserto piano
lainnya bersama mama, sekaligus juga merekamnya."
Kamu—
Aku langsung membungkam mulutku.
Ingin kukatakan, Kamu berpikir terlalu jauh, tapi
aku sungguh tidak mampu mengatakannya.
"Lagi pula ..., kurasa tanganku tidak bisa
disembuhkan. Begitulah."
Dengan tangan kirinya, ia cengkeram erat
pergelangan tangan kanannya.
"Oleh orang itu, aku dididik hanya untuk bermain
piano. Begitu aku tidak lagi bermain piano, jelas aku
tidak akan sanggup bangkit kembali. Itu wajar."
"Lalu kenapa kamu bermain gitar?"
Bahu Mafuyu tersentak sembari memandang ke
bawah.
"Dan kamu hanya memainkan komposisi yang
pernah kamu mainkan pada piano sebelumnya. Apa
kamu sungguh membenci piano?"

305
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Mafuyu menggigit bawah bibirnya selagi mencari


jawaban. Ia kemudian memejamkan mata dan
mendesah.
"Awalnya ..., dulu ketika aku pertama kali bermain
<Tarian Hongaria> bersama mama, dengan empat
tangan, aku merasa benar-benar bahagia. Saat itu aku
masih berumur empat tahun, tapi kami akan selalu
meletakkan ini di atas piano dan merekam komposisi
yang kami mainkan."
Jari Mafuyu meraba permukaan recorder yang
tergantung pada kopernya itu.
Ternyata itu benar-benar peninggalan dari ibunya.
Dan sebelumnya ia juga berkata kalau itu adalah hal
yang penting baginya.
"Tapi itu baru permulaan, kemudian aku belajar
bagaimana memainkan semuanya, namun mama sudah
tidak ada lagi, dan aku ditinggalkan seorang diri. Yang
tersisa di dekatku hanyalah piano. Setelah
menyelesaikan satu komposisi, partitur lainnya akan
muncul di hadapanku. Aku sempat berharap jika
memainkan gitar, aku bisa mendapatkan kembali
perasaan yang serupa, dan pada awalnya aku cukup
terbawa suasana, tapi ...."
Ia angkat kedua kakinya ke atas bangku, lalu
merangkul lututnya dan menempelkan keningnya itu di
atasnya. Terdengar jelas perasaan tertekan dalam
suaranya.

306
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

307
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"... aku menjadi lebih terengah-engah saat


memainkannya, namun terasa menyakitkan jika tidak
kulakukan. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa.
Kepalaku dipenuhi kenangan tentang orang itu yang
menginginkanku memainkan ini dan itu, jadi apa yang
kurasakan sewaktu bermain piano sebelum itu semua
terjadi? Aku tidak bisa mengingatnya, dan mungkin,
entah di mana aku sudah melupakannya. Kenangan-
kenangan itu tidak akan pernah kembali lagi padaku,
karena aku sudah lama tidak memilikinya, sudah
sangat lama. Aku tidak bisa ... mendapatkannya lagi."
Tanpa sadar mataku terpejam. Yang bisa kudengar
hanyalah suara Mafuyu yang menderita.
Apa ia ... sungguh tidak bisa mendapatkannya lagi?
Jika demikian, maka tidak ada yang bisa kulakukan
untuk Mafuyu?
"... itu karena kamu terlalu lama memendamnya
sendiri. Kamu tidak akan bisa melangkah di jalan
musik jika terus seperti itu."
Tepat pada saat itu, aku teringat sebuah jawaban
dari sebuah novel misteri terkenal. Jika seseorang
pingsan di hutan yang sepi, apakah akan terdengar
suara? Jawabannya adalah tidak. Jika tidak sampai ke
telinga seseorang, sebuah bunyi tidak akan dianggap
sebagai suara, melainkan getaran udara.
"Aku juga telah belajar dari Chiaki dan senpai. Jadi
...."

308
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

Mendadak aku lupa yang harus kukatakan. Apa


yang sebenarnya mau kubicarakan? Akulah yang
sebenarnya menyerah! Aku tahu itu hanya akan
menyakiti Mafuyu, tapi aku justru membuangnya dan
berencana mengabaikan semuanya. Iya, 'kan?
"Apa kamu ... benar-benar memutuskan untuk
bergabung dengan band senpai itu?"
"Eh? Ah ..., hmm."
Benar. Omong kosong tentang merebut kembali
kepemilikan ruang latihan dan menjaga martabat
music rock itu sudah tidak penting lagi. Yang
kuinginkan adalah membentuk sebuah band bersama
Mafuyu. Kalau saja aku bisa seperti senpai dan dengan
jujur memberitahunya sedari awal ....
"Aku ingin memintamu bergabung dengan Klub
Riset Musik Rakyat jika aku menang. Kita berempat
bisa berlatih bersama sebagai band di ruang kelas itu."
"Membentuk sebuah band .... Aku tidak pernah
memikirkan hal semacam itu."
Ekspresi mata Mafuyu seakan sedang mencoba
melepaskan burung-burung yang hendak bermigrasi
pada penghujung musim gugur. Aku terpaksa
mengalihkan pandanganku.
"Maaf, aku terlalu terbawa emosi saat memaksamu
ikut dalam pertandingan itu. Rasanya seperti ... aku
sudah memberimu kenangan yang tidak
mengenakkan."

309
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Tidak!" Mafuyu tiba-tiba berteriak, "Tidak begitu.


Saat itu ..., aku sebenarnya bisa sedikit mengingat hari-
hari ketika memainkian piano dengan ceria. Terlebih,
<Variasi Heroik> adalah salah satu komposisi
favoritku. Suara basmu terdengar hebat — seolah
menyatu dengan suara gitarku hingga menjadi suara
dari satu alat musik. Itu pertama kalinya aku
merasakaan perasaan semacam itu. Itu seperti sihir."
Aku hanya bisa menundukkan kepala. Jika aku
membeli bas yang sama dan memodifikasinya dengan
cara yang sama, apa bas itu bisa menghasilkan suara
yang sama seperti saat itu? Mustahil. Satu milimeter
perbedaan dan sedikit perubahan voltase akan
menghasilkan perbedaan suara yang signifikan. Paduan
semacam itu bisa dianggap berada dalam ranah
keajaiban.
"Itu benar-benar seperti sihir. Mungkin ... seperti itu
rasanya bermain dalam sebuah band?"
"Mmm, aku sempat memikirkannya sewaktu kita
memainkan <Variasi Heroik>. Rasanya tangan
kananku menjadi normal kembali, dan itu seolah aku
kembali ke masa ketika bermain Piano bersama mama.
Jika itu keajaiban sebuah band ..., maka aku juga ingin
menjadi bagian dari itu."
"Begitukah ...?" Kuangkat kepalaku dan
menatapnya.
Air mata di sudut matanya itu memantulkan sinar
lampu jalanan.

310
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Tapi aku tidak bisa melakukannya. Hal semacam


membentuk band dengan orang lain itu ...."
"Tidak bisa? Kenapa?!"
Mafuyu menggeleng-gelengkan kepalanya, hampir
seakan ia menggunakan keningnya itu untuk
mengampelas lututnya.
"Aku tidak bisa. Soalnya aku pasti akan merusak
segalanya."
"Kamu bicara apa—"
"Bukankah kamu sudah membuangnya? Gara-gara
aku yang merusaknya ...."
Gumam Mafuyu. Aku hanya bisa menelan kembali
kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Kucengkeram
lenganku keras-keras.
"Aku sendiri tidak begitu mengerti ... alasan aku
melakukannya saat itu."
Ketika itu, Mafuyu mengambil basku dan
membantingnya ke lantai dengan kuat.
"Itu karena basmu hingga membuatku mengenang
banyak hal. Padahal aku sudah menghapus semua
kenangan itu! Karena ... kenangan itu ... sangat
menyakitkan ...."
Mafuyu sekuat tenaga menahan diri untuk tidak
mengucapkan kata-kata itu. Ia cengkeram erat
pergelangan kanannya itu dengan tangan kirinya. Apa
aku harus menutup telingaku?
Pada akhirnya, dia berdesah pelan.

311
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"... maaf."
Mafuyu tidak perlu meminta maaf. Aku lalu
menggelengkan kepala.
"Akulah yang merusak segalanya. Benar ..., aku
memang tidak bisa berjalan dengan kekuatanku
sendiri."
Ia rangkul lututnya dan membenamkan wajahnya di
atasnya.
"Dan tidak ada gunanya aku mengatakan semua ini.
Basmu tidak akan kembali, dan aku sudah ...."
Suara Mafuyu tertahan.
Aku sungguh tidak ingin mendengarnya berkata
seperti itu. Terlebih, aku mengikutinya bukan untuk
mendengar kata-kata itu keluar dari dirinya.
Aku harus apa—
Hanya satu kalimat yang keluar dari mulutku—
"Itu tidak akan begitu saja menghilang. Ayo kita
sama-sama mendapatkannya lagi."
Mafuyu perlahan mengangkat kepalanya agar bisa
melihatku. Matanya tampak sedikit sembab.
"... hah?"
"Mendapatkan lagi basku. Bas yang sudah
kubuang. Aku bisa memainkannya lagi setelah itu
kuperbaiki."
"Ta-tapi ...."
Mafuyu terisak.

312
Bab 15: Layla, Kereta, Semua yang Telah Hilang

"Kapan kamu membuangnya? Seharusnya itu sudah


diangkut, 'kan?"
"Kemarin lusa. Kemungkinan diangkut oleh truk
sampah."
"Apa kamu tahu diangkut ke mana basmu itu?"
"Mana kutahu? Itu sebabnya kita harus
mencarinya!"
Aku lalu berdiri, tapi Mafuyu masih merangkul
lututnya, menatapku dengan tatapan tidak berdaya.
Kami pasti akan menemukannya.

313
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

Kami menunggu hingga datangnya fajar sebelum


menaiki kereta pertama. Meski sudah pagi, tapi langit
masih tampak kelam, dan seakan hendak turun hujan.
"Hei, bukankah harusnya kamu pergi ke sekolah?"
Tanya Mafuyu selagi duduk di kursi kereta yang
bergoyang.
"Aku bolos. Tidak masalah kalau hanya sehari."
Terlebih, aku sudah banyak bolos pelajaran karena
suatu alasan, namun aku tidak menceritakannya.
"Apa kamu tidak mengirim pesan ke ayahmu
dulu?"
"Tidak perlu. Lagi pula, Tetsurou tidak akan begitu
peduli dengan hilangnya diriku asalkan masih tersedia
sarapan di kulkas."
"Tapi ...."
Padahal dirinya sendiri juga dalam pelarian, bisa-
bisanya mengkhawatirkan orang lain?
"Kamu yang mengajakku pergi, kenapa malah
mencemaskan hal semacam itu?"
"... karena kurasa kemarin hanya sekadar
spontanitas, makanya kupikir kalau hari ini kamu akan
pulang."
Oh, rupanya ia meragukanku.

314
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

"Yang kabur dari rumah itu kamu! Jadi ayahmulah


yang mungkin sekarang sedang mencarimu. Lagi pula,
kamu sudah beberapa kali melakukannya ...."
Mafuyu lalu menggelengkan kepala.
"Besok akan ada konser. Orang itu mungkin sedang
dalam perjalanan ke bandara."
"Yang benar saja? Padahal anak perempuannya
sedang kabur dari rumah ...."
"Tapi bagi orang itu ataupun orkestranya, akan jadi
masalah besar jika konduktornya tidak ada di tempat.
Iya, 'kan?"
Yah, ia ada benarnya, tapi ....
Meski kami tidak akan mudah ditemukan, namun
kurasa lebih baik berhati-hati jika sedang melewati pos
polisi. Mafuyu adalah orang yang tampak mencolok,
jadi ada kemungkinan orang lain bisa langsung
mengenalinya.
"Kita mau ke mana?"
"Ke Kantor Pemerintah Kota."
"Kantor Pemerintah Kota?"


Kami turun di stasiun yang berletak di tengah kota,
lalu berjalan melalui gerbang utara menuju area

315
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

perkantoran. Sebagai tanggapan atas saranku yang


tanpa pertimbangan serius itu, Mafuyu yang kabur dari
rumah ini pun tampak ketakutan.
"Bagaimana kalau mereka tahu kalau aku kabur
dari rumah ...."
"Tidak akan ketahuan jika kita bersikap
sewajarnya! Bahkan mereka mungkin tidak akan
sampai berpikir kalau kita berdua seorang pelarian jika
tetap bersikap kalem."
Lagi pula, akan terlihat aneh jika aku membawa
koper dan kotak gitar, makanya aku menyuruh Mafuyu
untuk menyembunyikannya di kamar mandi selagi aku
masuk ke dalam Kantor Pemerintah Kota.
"Sampah berukuran besar? Ada. Silakan periksa di
tabel sini."
Ucap seorang ibu gemuk di meja gerai itu sambil
mengarahkan pulpennya ke tabel klasifikasi sampah
sebelum aku sempat menyelesaikan pertanyaanku.
"Eng .... Begini .... Saya tidak sengaja
membuangnya, jadi kira-kira di mana saya bisa
menemukan barang yang tidak sengaja saya buang
itu?"
Sang ibu gemuk memiringkan kepalanya sambil
memandangku ....
"Maksudnya ..., saya telah salah membuang sebuah
barang ...."

316
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

"Hah? Jadi kamu mau mencari barang itu? Jelas


mustahil!"
Sesaat, di diriku ini timbul sebuah dorongan kuat
untuk menampar ibu itu.
Setelah sedikit berdebat, akhirnya aku mendapat
beberapa informasi mengenai Dinas Lingkungan. Ada
sebuah fasilitas pengolahan di mana sampah-sampah
berukuran besar dihancurkan menjadi potongan-
potongan kecil.
"Biarpun kamu ke sana ..., tetap saja mustahil.
Kamu tidak akan bisa menemukannya. Apa kamu tahu
betapa banyak sampah yang dikirim ke sana tiap
harinya? Kamu yakin sesampainya di sana bisa
menemukan barang itu?"
"Terima kasih, Bu."
Aku segera berlari menuju tempat itu. Beliau
mempertanyakan keyakinanku untuk bisa menemukan
barang yang kucari sesampainya di sana. Kurasa aku
bisa, memangnya kenapa?!


Dinas Lingkungan berlokasi di pinggiran sisi lain
kota. Kami pun turun di sebuah stasiun yang tidak
pernah kami kunjungi sebelumnya, dan itu menempuh
waktu dua puluh menit hingga sampai di tujuan, di

317
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

mana itu bertempat di sebuah bukit kecil. Ketika kami


sampai pada bangunan sederhana di tengah pepohonan,
baik aku maupun Mafuyu dan aku langsung terpaku.
Rombongan truk yang membawa banyak sampah
melewati kami. Dari pinggiran jalan, kami berdua
hanya bisa tertegun menyaksikannya sewaktu nyaris
mengenai rombongan truk tersebut.
"Besar sekali ...."
Gumam Mafuyu seakan juga ikut menyuarakan
perasaanku.
Sekolah kami bisa dibilang cukup luas, namun
tempat ini berada di tingkatan yang berbeda. Lahan
yang kami lihat ini berkali-kali lebih luas dibanding
sekolah kami, ditambah suasana yang jauh lebih riuh.
Ucapan dari ibu yang di Kantor Pemerintah Kota
saat itu terngiang kembali.
Jelas mustahil!
"Baiklah ..., ayo kita periksa."
"Hmm ... mmm."
Saat sampai di gerbang, kami hampir saja dilindas
truk yang sedang melintas. Mafuyu terbatuk gara-gara
kepulan debu yang diterbangkan oleh truk. Tulisan
[Dinas Lingkungan: Fasilitas Peleburan Sampah]
terpampang pada gerbangnya.
"Harus ke mana dulu, ya?"
Sewaktu aku memeriksa keadaan sekitar, Mafuyu
perlahan menunjuk ke arah kiri. Ada papan penanda

318
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

bertuliskan [Lobi Registrasi] disertai gambar anak


panah yang menunjuk ke sebelah kiri. Jika dilihat dari
jarak tertentu, pada arah yang ditunjuk oleh anak panah
tersebut, bisa terlihat sebuah bangunan yang mirip
dengan SPBU.

Saat kami mendekat, tampak ada sebuah atap besar


menaungi bangunan itu. Di bawahnya ada sebuah plat
berbahan logam sebesar mobil, dan di sebelahnya
terlihat sebuah mesin yang mirip seperti kotak surat.
Tulisan [STOP] tercetak putih di atas aspal.
"Ini pasti untuk menimbang bobot truk?" ucap
Mafuyu.
Begitu, jadi truk-truk itu harus ditimbang dulu
sebelum keluar masuk tempat ini? Berarti seharusnya
ada orang yang menempati lobi registrasi itu, 'kan?
"Apa kamu pikir bisa menemukan basmu di tempat
penampungan sebesar ini? Bisa jadi itu sudah dilebur,
'kan?"
"Kita tidak akan tahu ... kalau tidak diperiksa
sendiri."
Itu terdengar seolah berusaha membesarkan hatiku
sendiri.
Seketika kami berjalan menuju tulisan [STOP]
sebelum area penimbangan, pintu lobi registrasi
mendadak langsung terbuka. Kami terkejut sampai
menghentikan langkah kami.

319
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

"Tidak, tidak! Tetap tidak boleh! Kalian mau


membuah sampah ke sini, 'kan! Tidak boleh!"
Bapak itu bergegas ke arah kami, dan membuat
Mafuyu ketakutan hingga bersembunyi di balik
punggungku.
"Di sini tidak menerima sampah berukuran kecil ....
Eh? Hmm?" si bapak itu langsung mendekatiku, "Itu
gitar, 'kan? Kamu juga tidak bisa membuang gitar di
sini!"
"Eh? Jadi gitar tidak bisa?"
"Sebenarnya bisa, tapi aku tidak mengizinkannya."
... hah?!
"Gitar adalah jiwa dari seorang pria! Akan
menyedihkan jika Raja Blues, B.B. King
menelantarkan gitar Lucille khas miliknya. Iya, 'kan?
Lebih parah lagi jika Brian May dari Queen
menelantarkan Red Special-nya!"
Sebenarnya orang ini bicara apa?
"Tapi Jimi Hendrix pernah beberapa kali membakar
gitarnya."
"Tapi itu tidak dianggap membuang, 'kan? Ia
membakarnya sebagai persembahan untuk Dewa Rock!
Jadi aku bisa memakluminya. Eh? Kamu masih
semuda ini sudah tahu tentang Jimi Hendrix?"
"Yah ..., saya lumayan suka."
Kedua mata bapak itu langsung berbinar.
Sepertinya beliau penggemar berat musik rock lawas.

320
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

"Oh, begitu! Aku paling suka saat ia bermain di


Jimi Hendrix Experience, walau setelah Festival Musik
Woodstock ia ...."
Bapak itu mendadak bicara dengan menggebu-gebu
.... Sudahlah, kembali bekerja, sana! Aku sedikit
menoleh dan tersadar kalau Mafuyu sudah kabur ke
gedung lain. Pengkhianat! Dan aku terpaksa
mendengarkan si bapak bercerita tentang Festival
Musik Woodstock sampai dua puluh menitan, seorang
diri.
"... jadi pikirkan baik-baik soal keputusanmu
membuang gitar itu. Kamu harus mengejar mimpimu
selagi masih muda!"
Akhirnya aku punya kesempatan untuk menyela
dan melambaikan tangan tanda mengelak.
"Bapak sudah salah paham. Saya kemari bukan
untuk membuang barang, tapi untuk mengambil
kembali."
"Eh?" Aku lalu menjelaskan tentang diriku yang
tidak sengaja membuang basku kepada bapak ini.
Sambil berlinangan air mata, bapak tersebut berkata,
"Jadi ..., jadi begitu .... Dan itu adalah alat musik
yang pertama kali kamu beli sendiri .... Kenangan masa
muda itu memang tidak akan begitu saja bisa dilupakan
...."

321
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

Eng, aku tidak pernah berkata kalau itu alat musik


yang pertama kali kubeli. Yah, walau beliau
sebenarnya juga tidak salah ....
"Kamu bisa membelinya setelah menyisihkan uang
tahun barumu. Meski belum begitu lancar memainkan
bas, kamu sudah memikirkan nama band masa
depanmu, sekaligus tajuk album pertamamu. Akan
tetapi, ibumu benci dengan musik rock, dan membuang
basmu tanpa seizinmu .... Sampai kapan
pun, rocker akan selalu mengalami penindasan ...,"
berhentilah mengarang cerita sendiri! "Jadi kamu
kemari setelah diarahkan oleh Kantor Pemerintah
Kota? Aku sungguh tersentuh. Ingatlah untuk memberi
nama seorang wanita pada basmu jika sudah berhasil
mendapatkannya kembali!"
"Eh? Apa saya bisa menemukannya? Soalnya bas
itu dibuang kemari."
"Tidak. Berton-ton sampah dikirim kemari setiap
harinya, jadi itu mustahil."
Jangan tiba-tiba bersikap dingin begitu!
"Aku tidak yakin kamu bisa mendapatkannya lagi.
Biar kutekankan, aku tidak bisa mengizinkanmu
mencarinya di fasilitas peleburan, dan jangan pernah
berpikir kamu bisa mencarinya di dalam lubang,
tempat di mana semuanya telah dilebur. Aku mungkin
bisa memperbolehkanmu mencarinya di gundukan
sebelum kami lebur, tapi itu bisa memperlambat
pekerjaan kami."

322
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

"Begitu ...."
Rasanya peluang jadi kian menipis. Mungkinkah
aku sudah terlalu naif?
"Omong-omong, kapan basmu diambil pengangkut
sampah? Apa hari ini? Jangan bilang kalau itu minggu
kemarin!"
"Eng .... Hmm ..., kemarin lusa."
Bapak itu tiba-tiba membelalakkan matanya,
"Kemarin lusa?!"
Aku hampir mengira jika beliau hendak berubah
wujud. Saking terkejutnya, aku termundur satu
langkah.
"Jadi kalau kemarin lusa ..., tandanya sudah
terlambat, ya?"
"Apa itu memang kemarin lusa? Mustahil."
"... eh?"
"Kami memungut sampah hanya pada hari Rabu.
Apa kamu sendiri yang membuangnya kemari?"
Kugelengkan kepala karena kebingungan.
Aku yakin sudah membuangnya di pusat daur ulang
pada Senin malam, dan itu sudah tidak ada saat hari
Rabu.
"Apa mungkin ada yang mengambilnya?"
"Eh ...?"
Kalau memang begitu, berarti sudah tidak ada
harapan. Jelas aku tidak akan bisa menemukannya.

323
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

"Televisi dan barang-barang lainnya juga sudah


tidak ada, jadi mungkin—"
"Eh? Pasti itu dari operator lain!"
Bapak itu lalu melipat tangannya sambil
menganggukkan kepala seakan telah memahami
sesuatu. Operator?
"Kadang kamu pernah melihat sebuah truk kecil
berkeliling kota sambil menyiarkan, Kami memungut
sampah berukuran besar tanpa dibayar! iya, 'kan?
Itulah mereka. Kami biasa menyebutnya hama. Seperti
yang kamu lihat, Kantor Pemerintah Kota akan
melabeli sampah-sampahnya dengan stiker sebelum
dibuang kemari. Jadi sebuah tindak kriminal jika
mengambilnya tanpa izin!"
"Lalu ..., apa Bapak tahu di mana mereka?"
"Hmm ...?"
Bapak itu menundukkan kepalanya dan sesaat
merenung. Kurasa beliau tidak tahu.
Kami sudah jauh-jauh kemari, dan masih tidak
mendapatkan apa-apa. Apa peluang untuk
mendapatkan kembali basku itu benar-benar nihil?
Dengan perasaan kecewa aku membungkukkan
badan pada bapak itu sambil berkata, "Maaf sudah
mengganggu pekerjaan Bapak," kemudian mulai
beranjak ke tempat Mafuyu berada. Tepat di saat itu,
sebuah suara terdengar dari belakangku.
"Oi! Tunggu dulu, Rocker. Di mana rumahmu?"

324
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

Eh?
"Kalau masih berkisar di ranah operator yang
kukenal, aku bisa memberitahumu!"
Seketika aku menoleh ke belakang, bapak tersebut
terlihat seperti pria berotot layaknya Freddie Mercury.
Beliau mengacungkan jempolnya dan berkata,
"Kamu ingin agar alat musik kesayanganmu
kembali, 'kan? Sudah jelas aku tidak akan
membiarkanmu sendiri!"


Sewaktu Mafuyu memandang langit dari balik
jendela kereta, ia bergumam, "Sepertinya akan turun
hujan."
Aku mengangguk. Aku duduk bersebelahan dengan
Mafuyu, dengan gitar yang terapit di antara kedua
kakiku. Kuambil daftar informasi — yang dibuat bapak
itu — tentang para operator dan memeriksanya dengan
saksama. Walau beliau sudah memberikan detail dari
keenam operator tersebut, tapi tidak satu pun yang
memuat alamat. Kurasa itu wajar bagi seseorang dari
fasilitas pengolahan sampah. Beberapa nama dari
operator yang terdaftar ini tampak seperti nama sebuah
agensi pengiriman atau semacamnya. Yang lebih
mencurigakan lagi adalah yang menggunakan nama

325
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

pribadi dengan disertai nomor ponsel-nya. Bisa jadi


mereka adalah orang-orang yang melakukan kegiatan
ilegal, 'kan?
"Mereka mungkin bukan orang baik-baik, jadi
berhati-hatilah."
Bapak itu juga sempat mengatakan hal sama.
Mengambil sampah berukuran besar tanpa izin
memang bukan tindak kriminal yang serius, tapi tetap
saja masih ada pekerjaan yang lebih halal dari itu.
"Apa kamu serius masih mau mencarinya?"
"Hmm. Kalau begitu, setelah makan siang nanti
akan kita datangi lagi Kantor Pemerintah Kota untuk
mencari alamat para operator ini melalui nomor ponsel
atau informasi registrasi mereka."
"Kita pasti tidak bisa menemukannya ...."
"Kalau kamu lelah, lebih baik tidak usah ikut. Apa
kamu mau istirahat dulu biar nanti aku jemput kalau
sudah selesai?"
"Aku tidak mengikutimu!" Mafuyu mendadak
marah, "Kamu sendiri yang bilang mau ikut sambil
membantuku membawa koper. Kamu lupa, hah?!"
"Hmm, benar juga, lalu ...?"
"Lalu, aku ikut."
Kalau begitu jangan mengeluh!
Aku pun memandang dari balik jendela.
Pemandangan yang sama dari jalan raya itu melintas di
kedua mata kami, namun entah kenapa, kali ini terasa

326
Bab 16: Lucille, Rintik Awal Hujan

berbeda dari yang kami lihat kemarin. Apa mungkin itu


karena saat ini adalah waktunya makan siang? Apa
Chiaki akan kelaparan tanpa bento yang biasanya
kubawa? Gambaran tentang sekolah ini sejenak muncul
dalam pikiranku, namun entah kenapa, itu tampak
seakan telah lama berlalu.
Andai aku kembali ke keseharianku yang biasanya,
aku pun akan mengajak Mafuyu untuk ikut di
dalamnya. Karena itu, sebelumnya aku harus
menemukan basku, dan mendapatkan kembali semua
yang telah kutinggalkan — aku harus menemukan
suara yang telah mengikat kami itu.

327
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

Setelah melakukan pencarian di Kantor Pemerintah


Kota, perpustakaan serta Kantor Bidang
Ketenagakerjaan di Dinas Kebudayaan, kami hanya
berhasil menemukan tiga operator dengan alamat yang
mengarah ke perusahaan itu. Bukanlah hal yang
mengejutkan mengingat kebanyakan orang di bidang
industri daur ulang rata-rata bekerja sendirian.
"Jika tersambung, bagaimana cara menanyakannya
pada mereka? Soalnya, mengumpulkan sampah seperti
itu adalah hal ilegal, 'kan?"
Sembari duduk di kursi Kantor Bidang
Ketenagakerjaan, Mafuyu menanyakan itu padaku
dengan memelas.
"Hmm ..., benar juga ...."
Jika mereka memang mengangkut sampah
berukuran besar, mungkin mereka tidak akan
mengatakan yang sebenarnya. Bahkan jika mereka
telah mengambilnya, aku pun tidak bisa begitu saja
meminta mereka mengembalikannya. Pada akhirnya,
yang bisa kulakukan hanyalah keluar dari koridor
dengan brosur dan fotokopi rincian di tangan.
Kuaktifkan ponselku. Waduh! Sebagian besar
panggilan tidak terjawab berasal dari Chiaki. Bahkan
dia juga mengirimkan SMS padaku. Tetsurou juga
menelepon. Saat ini aku hanya bisa berpura-pura tidak
melihat itu semua.

328
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

Jadi bagaimana caraku untuk memastikannya?


Sebuah ide tiba-tiba terlintas di pikiranku. Aku
hanya tinggal bertanya apakah mereka ada mengangkut
sebuah bas, sehingga itu akan mempersempit tempat di
mana aku harus mencarinya? Kubulatkan tekadku dan
menelepon nomor pertama.
"... hmm, halo .... Saya ingin bertanya .... Oh, hmm
...... bas listrik."
Rasanya cukup merepotkan untuk menanyakan hal
yang sama sebanyak enam kali. Terlebih, selain dari
agensi apalah itu, nomor-nomor lain sisanya adalah
nomor ponsel. Aku terus mendengar suara bising
knalpot, suara kargo atau suatu gemuruh musik yang
amat keras hingga suaranya terdistorsi serta suara
siaran, Truk daur ulang ini mengangkut gratis semua
sampah elektronik! orang-orang yang mengangkat
telepon tersebut mungkin pengemudi truknya sendiri.
Setelah menutup telepon, aku kembali ke ruang
baca dengan letih.
"Apa sudah menemukan sesuatu?"
"Hmm ..., semuanya bilang kalau mereka tidak
merasa mengangkut sebuah bas."
"Berarti ..., apa masih ada operator lainnya yang
bapak itu tidak tahu?"
Kalau begitu, maka sudah tidak ada lagi petunjuk
lain. Mungkin ada seseorang yang berpura-pura
menjadi operator resmi, lalu mengambil sampah-

329
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

sampahnya dulu sebelum memutuskan mau digunakan


seperti apa. Biar bagaimanapun, kami sudah menemui
jalan buntu.
Pegawai wanita di Dinas Kebudayaan mulai curiga
dengan kami, karena itu kami memutuskan untuk
meninggalkan tempat ini secepatnya. Langit tampak
suram dan penuh dengan awan mendung yang tebal.
Aku duduk di pagar pembatas trotoar dan
berbagi bagel lapis — yang kami beli di toko —
dengan Mafuyu untuk makan siang.
"Kalau saja kita punya semacam petunjuk ...."
Gumamku sambil meneguk kopi kalengan untuk
melarutkan remah-remah makanan dalam mulutku.
"Hei, kenapa kamu bersikeras mencarinya?" tanya
Mafuyu sembari menengadahkan kepalanya melihatku.
"Apa itu gara-gara ucapanku waktu itu? Sudah,
lupakanlah! Kita ini sedang kabur dari rumah! Relakan
saja semuanya! Dan belum tentu juga kita bisa
menemukannya."
Aku terus menatap sarung gitar Mafuyu. Tapi
meski aku tidak bisa menjelaskannya ....
"Pasti kutemukan."
"Dasar keras kepala!"
Tolong sadar diri!
"Bagaimana kalau kita bertaruh!"
Mata Mafuyu terbuka lebar saat aku
mengatakannya.

330
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

"... bertaruh apa?"


Bertaruh apa, ya? Hmm .... Sejenak aku terdiam.
Aku mengatakan itu hanya karena terbawa suasana saja
....
"Kalau begitu ...," kualihkan pandanganku ke aspal
dan merenung sejenak. "Jika aku menemukannya,
kamu harus bergabung dengan klub Riset Musik
Rakyat. Saat itu pemenangnya belum ditentukan, jadi
kamu bisa anggap ini sebagai babak penentuan."
Sambil memegang roti lapis serta teh oolong pada
masing-masing tangannya, Mafuyu menunduk dan
terdiam.
Entah kenapa aku merasa jika sosok sebelahku ini
menganggukkan kepalanya walau hanya sedikit.
"Sebagai gantinya ...," Mafuyu tiba-tiba
menengadahkan kepalanya. "Jika kamu tidak bisa
menemukan bas itu, maka kamu harus menuruti semua
perkataanku."
"Semua ... perkataanmu?"
"Kamu harus membantu di bagian angkat-angkat
barang seumur hidupmu, dan ... kamu yang bertugas
mengumpulkan uang dengan topi."
Bukankah itu sudah kulakukan? Eh, tunggu
sebentar ....
"Apa maksudmu mengumpulkan uang dengan
topi?"

331
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

"Karena kita harus memikirkan cara untuk


mendapatkan uang! Jadi ...."
Aku sungguh tidak yakin seberapa serius ia
menanggapi semua hal ini.
"Jadi kita harus bermain gitar di pinggir jalan untuk
mendapatkan uang. Lalu, kita akan pergi ke kota-kota
lainnya dengan kereta ...."
Suara Mafuyu kian memelan, seolah ia sedang
bermimpi. Meski bagiku itu cukup memalukan jika
dilakukan, aku masih bisa tertawa. Aku mulai merasa
kehidupan semacam itu tidaklah begitu buruk.
"Tapi bukankah aku juga butuh alat musik?" selaku
dengan setengah bercanda.
"Permainan musikmu masih payah. Akan lebih baik
kalau kamu tidak memainkan apa pun jika ingin
mendapatkan uang."
Sekuat tenaga kulemparkan kaleng kopi ke tong
sampah. Permainan musikku memang payah, jadi maaf
saja!
"Tapi apa kamu bisa menyanyi? Aku belum pernah
mendengar kamu bernyanyi sebelumnya."
"Maaf, aku menolak."
Bernyanyi ....
"... ah!"
Mafuyu menoleh sambil terkejut saat mendengar
suara aneh yang keluar dari mulutku. Ia hampir

332
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

menjatuhkan roti lapis di tangan kanannya yang baru


saja diggigitnya.
"Ada apa? Apa ada yang aneh?"
"Sebuah lagu! Aku telah menemukan petunjuk."
"Eh?"
Mafuyu memiringkan kepalanya karena tidak
mengerti tentang perkataanku. Kuambil ponsel, namun
sesaat ragu sewaktu melihat gambar di layar LCD-nya.
Apa aku benar-benar akan melakukan ini? Aku sedang
kabur dari rumah, 'kan?
Masalahnya adalah, jika aku menyerah dengan
petunjuk kecil yang kupunya ini, maka aku sudah tidak
punya cara lain. Selain itu, aku tidak punya banyak
waktu yang tersisa. Basku kini mungkin sedang
diambang kehancuran.
Aku menelepon ke nomor rumahku.
"... Tetsurou? Hmm, ini aku."
"Oh, kamu, toh! Sarapannya benar-benar
lezat! Bagel lapis itu ternyata enak meski didinginkan!"
"Ya, hmm ...," sejenak aku berpikir, apa orang ini
tidak sadar kalau seharian aku tidak ada di rumah dan
tidak sekolah?
"Oh, kamu sedang apa sekarang? Apa terjadi
sesuatu? Pihak sekolah maupun Chiaki tadi
meneleponku mau mencarimu. Dari kemarin aku juga
belum melihatmu di rumah. Kupikir kamu kabur ke
rumah Misako karena kangen pelukan seorang ibu,

333
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

makanya aku sempat menelepon ia sebelumnya.


Namun ia bilang kalau mustahil kamu mencari dirinya.
Bahkan ia memintaku untuk jangan lagi
menghubunginya — walau sebenarnya ia masih belum
rela melepaskanku ...."
Tetsurou masih sama seperti biasanya. Tidak,
bahkan lebih parah.
"Sebenarnya ...," aku menelan ludah sebelum
melanjutkan. "Aku lari dari rumah."
Entah kenapa bisa kurasakan mata Mafuyu
terbelalak saat aku mengatakan itu.
"... ternyata Nao pun mencampakkanku .... Tidak,
aku sudah punya firasat kemarin, tapi aku tidak mau
memercayainya ...," suara Tetsurou terdengar sedikit
tersendat. "Dengar, aku minta maaf. Aku tidak akan
lagi muntah di depan pintu saat mabuk, dan aku akan
benar-benar membersihkan kamarku. Aku tidak akan
lagi menyanyikan <Aria> sambil telanjang sehabis
mandi. Kita mulai kembali semuanya dari awal, oke?"
"Berhenti mengatakan hal-hal yang menjijikkan
itu!" jika memang ingin sekali mengatakannya, katakan
saja sana pada Misako! "Bukan itu maksudku. Ini tidak
ada hubungannya denganmu, Tetsurou. Yang jelas, aku
tidak punya waktu untuk meladeni obrolanmu!"
"Eh? Tunggu, tunggu sebentar, jangan ucapkan
kata-kata terakhirmu, Nao! Aku tidak mau dengar,
tidak mau!"

334
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

"Diamlah! Aku akan meminta maaf sebanyak yang


kamu mau setelah ini, jadi jawab saja pertanyaanku ini.
Tetsurou, kemarin lusa kamu seharian ada di rumah,
'kan? Apa hari itu ada beberapa truk lewat depan
rumah kita yang mengumpulkan sampah berukuran
besar secara gratis?"
Yang terjadi berikutnya adalah sebuah keheningan
yang panjang. Aku menoleh ke arah Mafuyu — yang
gelisah memandangi ponsel-ku dan membuat isyarat
menanyakan perkembangannya.
"... sampah berukuran besar?"
"Truk-truk yang mondar-mandir sambil memutar
musik yang mengganggu itu."
"Ah— ya, ya, ya."
Tetsurou terdengar seperti seorang pasien yang
perlahan terbangun dari mimpinya.
"Hmm, apa truk-truk itu datangnya siang? Rasanya
saat itu aku sempat menaikkan volume dari pengeras
suara hingga seputaran, soalnya truk-truk itu berisik
sekali."
Tanganku yang sedang memegang ponsel ini
gemetaran tanpa henti.
"Jadi truk itu benar-benar datang? Lalu ...."
Telapak tanganku basah karena keringat, karena itu
kupindahkan ponsel-ku ketangan yang lain.
"Lalu, apa truk itu memainkan sebuah musik?"

335
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

Kali ini beliau menjawab tanpa ragu dan terdengar


cukup yakin.
"Oh, benar. Vivaldi."
Aku melompat dari pagar pembatas trotoar.
"Terima kasih, Tetsurou. Ini mungkin ucapan
selamat tinggal terakhirku, karena itu kurangi minum
alkohol dan perbanyaklah makan sayuran. Jaga
dirimu!"
Segera kuakhiri panggilanku setelah buru-buru
mengatakannya, lalu mematikan ponsel-ku.
Kemudian kuraih koper di tanah dan
memanggulkan kembali kotak gitar ke pundakku.
"Ada apa?"
"Kini aku punya petunjuk!"
Kuambil salah satu selebaran yang diberikan bapak
itu sewaktu di fasilitas pengolahan. Di salah satu
panggilan, sempat kudengar suara latar — <Empat
Musim> gubahan Vivaldi — sesi pertama dari <Musim
Semi>. Jasa Permesinan Mutou! Aku sungguh
beruntung, karena ini satu-satunya operator — dari
keenam operator — yang telah berhasil kudapatkan
alamatnya.
Aku akhirnya berhasil menghubungkan benang
merah dari kemungkinan yang paling samar. Aku
mulai mengarahkan tujuanku ke stasiun kereta api, dan
yang kudengar hanyalah langkah cepat Mafuyu yang
menyusulku.

336
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan


Jasa Permesinan Mutou terletak sekitar dua kota
jauhnya. Setelah menaiki kereta yang melewati empat
stasiun, kami masih harus berpindah ke kereta lain dan
melewati tiga stasiun lagi sebelum tiba di tempat.
Waktu sudah sekitar pukul empat sesampainya kami di
sana. Kenapa mereka sampai rela jauh-jauh ke
rumahku untuk mengumpulkan sampah? Jika bukan
karena bapak di pabrik pengolahan itu, tidak mungkin
aku menemukan tempat ini.
Kota di mana rumahku berada tidaklah begitu
padat, juga tidak penuh dengan keramaian, tapi kalau
boleh bersikap berlebihan, tempat ini benar-benar sepi.
Meski kota ini dipisahkan oleh sungai, tanah kosong di
depan stasiun — yang dipenuhi gulma — terlihat
sangat mencolok. Suara dari tempat Pachinko di
kejauhan turut menambah kesan dari sepinya tempat
ini.
Mafuyu masih belum berbicara sejak tadi.
"Apa kakimu baik-baik saja?"
Ia pasti akan menganggukkan kepala kalau aku
menanyakan itu padanya, akan tetapi, siapa pun bisa
melihat kegoyahan langkah kakinya. Aku sedikit
khawatir, karena itu, sebisa mungkin kucoba

337
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

memperlambat langkahku agar bisa menyamainya.


Satu-satunya masalah adalah situasinya tidak pas jika
ini dibawa santai.
Kami berhenti di sebuah toko buku dan alat tulis
depan stasiun, lalu memeriksa peta untuk memastikan
lokasi Jasa Permesinan Mutou. Tempat itu berada
cukup jauh dari stasiun.
Meski sebagian karena Mafuyu yang tidak bisa
berjalan terlalu cepat, tapi kami akhirnya tiba di tempat
tujuan setelah setengah jam perjalanan. Terdapat
sebuah jalan sempit di mana dua truk akan kesusahan
melaluinya ketika berjejeran, dan di kedua sisi jalan
berdiri deretan rumah-rumah tua dalam satu baris. Jasa
Permesinan Mutou terletak di salah satu bangunan itu.
Bangunan tersebut berlantai dua yang tampak seperti
dikeluarkan dari sebuah foto hitam-putih. Bahkan aku
tidak perlu melihat papan nama berkarat untuk tahu
jika itu sebuah jasa permesinan. Sepertinya seluruh
lantai pertama digunakan sebagai area parkir sekaligus
operasionalnya — sebuah truk berwarna ungu diparkir
di pinggir, dan hawa ruangan dipenuhi bau logam yang
terbakar. Lebih dalam, terdapat tumpukan peralatan
bekas ataupun rongsokan, tapi aku tidak bisa melihat
dengan jelas, karena hari mulai gelap.
"Ini tempatnya?"
"Mmm."
Lampu menyala dari loteng atap seng di lantai dua
— yang sepertinya adalah kantor. Akan tetapi, di area

338
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

ini sama sekali tidak ada orang. Sesaat aku meragu


sewaktu berdiri di depan gerbang. Apa yang harus
kulakukan? Apa aku langsung menuju ke lantai dua
dan jujur mengatakan semuanya? Mereka mungkin
akan pura-pura tidak tahu. Apa semua yang mereka
angkut benar-benar disimpan di dalam?
"Tunggu di sini, Mafuyu. Biar kuperiksa dulu."
Kuletakkan koper di samping kaki Mafuyu dan
berjalan ke area parkir. Bau logam terasa lebih
menyengat. Di sebelah truk ada sebuah bor dan mesin
bubut beserta peralatan rumah usang seperti televisi,
kulkas dan microwave.
Aku mulai mencari jejak basku di tumpukan
sampah dalam gelap — aku tidak bisa menemukannya.
"—Oi!"
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku,
membuatku menoleh sambil terkaget. Kulihat seorang
pria kekar dengan lengan kau yang digulung sampai ke
bahu. Ekspresinya tidak terlihat begitu ramah.
"Kamu mau apa? Berbahaya di sekitar sini, jadi
jangan masuk sesukamu."
"Eng, begini ...," sarung gitar hampir jatuh dari
bahuku, karena itu aku mengembalikannya ke posisi
awal. "Boleh bertanya .... Apa Bapak mengumpulkan
barang-barang elektronik ... dan lainnya?"
"Ya ..., tapi kamu mau minta aku mengangkut apa?
Tidak semuanya gratis."

339
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

"Oh, bukan, saya tidak meminta untuk mengangkut


sesuatu .... Saya hanya ingin bertanya apa kemarin lusa
Bapak mengangkut beberapa sampah berukuran besar
dari rumah saya? Alamatnya rumah No. 6, Distrik Dua,
Kota K. Saat itu barangnya ada bersama dengan
televisi .... Itu adalah sebuah bas ...."
Pada akhirnya, aku bertanya pada orang itu secara
langsung. Meski tidak bisa dengan jelas melihat
wajahnya — karena ia berdiri di depan lampu jalan
yang remang — aku masih bisa melihat perubahan
ekspresinya.
"Hah?"
Tanpa sadar aku mundur selangkah.
"Eng ..., begini ..., tanpa sengaja saya
membuangnya bersama sampah berukuran besar ...."
"Mana mungkin aku tahu! Kami tidak
mengumpulkan barang-barang yang tidak diperlukan,
lagi pula, buat apa kami pergi ke tempat yang jauhnya
dua kota dari sini? Pikirkan itu!"
Bantahannya yang cepat semakin meyakinkan
kecurigaanku. Aku tidak menyebutkan kota tempatku
berada ketika memberitahukan alamatku. Orang ini
mungkin mengenal baik daerah sekitar rumahku,
makanya ia segera tahu kota mana yang kumaksud
setelah mendengar Kota K. Walau sebenarnya ada
kemungkinan yang lebih besar ....

340
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

Mungkin orang ini yang telah mengambil sampah


tanpa izin.
"... tapi, orang rumahku bilang kalau ia sempat
melihat truk ini sebelumnya?" bohongku. Ekspresi pria
itu berubah, dan tampak seolah permen karet yang
dikunyahnya berubah menjadi ulat daun. Dia
menatapku sengit selama beberapa saat, lalu meludah
di sebelah kakiku.
"Lalu? Kamu mau apa?"
"... saya hanya mau mengambilnya kembali."
"Aku tidak paham kata-katamu!" pria itu mulai
berpura-pura bodoh — sepertinya dia akan seterusnya
bersikap cuek. "Bas? Kami memang mengumpulkan
gitar-gitar semacam itu, dan terkadang juga tidak
sengaja mengambil satu atau dua bas, tapi kami
langsung membuangnya."
"... bapak buang ke mana?"
"Entahlah, aku bukan pemilik usaha ini. Pergi,
sana!"
"Boleh saya tahu di mana Bapak membuangnya?
Tolonglah!"
"Sudah kubilang tidak tahu! Berhenti
merepotkanku!"
Pria itu meludah lagi, tapi kali ini, ludahnya hampir
mengenai sepatuku. Ia hentakkan kakinya di tanah
berpasir, lalu berjalan menaiki tangga ke kantor.
Kemudian, Suara keras pintu yang dibanting — seolah

341
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

ingin menghancurkan pintu — terdengar olehku. Sesaat


aku sempat terdiam.
Aku ditinggal seorang diri di ruang gelap ini —
yang masih dipenuhi bau logam. Perasaan lelah yang
berat tiba-tiba menimpa bahuku, dan membuat ototku
serasa keram.
Aku sudah datang ke sini — aku sudah mencarinya
sampai ke sini—
Tapi petunjukku kembali menemui jalan buntu.
Aku tidak lagi punya tenaga untuk berjalan.
*Set*— Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki.
Kutengadahkan kepalaku dan melihat Mafuyu
menyeret kopernya ke arahku. Aku memberi senyuman
terpaksa padanya. Telah berkali-kali kukatakan
padanya, Pasti kutemukan, tapi hasilnya justru seperti
ini — rasanya benar-benar memalukan.
Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku tidak berhasil
mencapai tujuanku. Entah kenapa aku merasa seperti
telah melakukan hal ini berulang kali.
Tiba-tiba, Mafuyu mengarahkan jari telunjuknya
yang lemah ke area parkir.
"... hmm?"
Kutengadahkan kepalaku dan melihat ke arah ia
menunjuk.
Separuh bodi truk berwarna ungu itu terselimuti
bayangan.

342
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

"Entah kenapa, rasanya aku pernah melihat


kendaraan ini di suatu tempat."
Gumam Mafuyu.
Aku menatapnya sejenak sebelum kembali
mengalihkan pandanganku pada truk tersebut.
Saat itu, secercah cahaya berkelebat dalam
pikiranku.
Aku juga merasa seperti itu.
Aku pun rasanya pernah melihat truk itu
sebelumnya.
Aku tahu kendaraan ini, jadi aku pasti pernah
melihatnya di suatu tempat. Truk itu pasti pernah
berpapasan denganku di suatu tempat. Tapi di mana?
Ketika mencoba mengingatnya, sosok sebelah wajah
Mafuyu terlintas pikiranku. Kenapa? Kenapa truk
berwarna aneh itu mengingatkanku pada Mafuyu?
Kapan aku pernah melihatnya? Kapan, di mana—
"Ah ...!"
Aku ingat.
Aku tahu truk ini — karena aku pernah melihatnya
bersama Mafuyu.
Pada hari di mana aku pertama kali melihat
Mafuyu, kami telah diserempet oleh truk ini.
Di sebuah kota jauh yang berdekatan dengan laut,
di hutan sunyi yang dikelilingi pegunungan.

343
Bab 17: Bagel Lapis, Musim Semi, Jasa Permesinan

"... apa kamu yakin kalau ini truk yang kita lihat
saat itu?"
Mafuyu tidak menjawabku, namun aku juga tidak
menunggu jawabannya. Kami tidak punya pilihan lain,
karena ini adalah satu-satunya petunjuk yang tersisa.
Mafuyu dan aku saling memandang dan
mengangguk di waktu bersamaan.
Kalau begitu — ayo ke sana.
Kami pun pergi dari jasa permesinan itu dan
berjalan kembali ke stasiun kereta.
Menuju <Toko Swalayan Keinginan Hati>.

344
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Kereta pelan dan bergoyang yang mengantar kami


ke pantai itu adalah kereta terakhir dari jadwal hari ini,
yang berarti bahwa kami tidak akan bisa pulang malam
ini. Sewaktu melalui jalanan berkerut yang tampak
seperti kulit orang lansia, angin berembus melewati
kami, membawa aroma dari lautan dan hujan. Tanpa
kami sadari, langit sudah gelap, dan awan-awan
tampak mendung. Seolah sebuah sentilan saja mampu
merobek awan-awan tersebut lalu membanjiri daratan
dengan hujan.
Setelah melewati kawasan permukimam, kami pun
sampai pada sebuah jalan kecil yang mengarah pada
puncak bukit. Mafuyu sudah keburu terengah-engah
sejak berjalan tadi. Ia berhenti setiap sepuluh meter
untuk beristirahat, sedikit membungkukkan badannya
sambil meletakkan telapak tangannya ke lutut.
"Sudah kubilang kalau tidak perlu memaksakan diri
ikut denganku."
"Bodoh."
Entah mungkin karena ia sedang terengah-engah,
hingga Mafuyu menjawabnya dengan sangat singkat.
Omong-omong, harusnya ia mengenakan pakaian yang
membuatnya leluasa bergerak jika memang berniat
kabur dari rumah. Seingatku, ia dulu juga memakai
gaun berkibar yang sama seperti ini.

345
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Aku mesti apa? Tidak mungkin aku


meninggalkannya sendirian, 'kan?
"Apa kamu mau kugendong?"
Aku bisa saja melakukannya jika melepaskan gitar
dan koper yang kubawa. Yah, meski akan membuat
jalan menanjak ke atas bukit itu menjadi lebih berat.
"Mana mungkin aku mau berbuat sememalukan itu!
Sudah, aku tidak apa-apa."
Pundak Mafuyu tampak terengah naik turun, tapi ia
tetap memaksakan diri menjawabku.
"Kamu tidak akan pingsan seperti waktu itu, 'kan?"
"Sudah kubilang tidak apa-apa!"
Baguslah.
Meski begitu, aku masih membantu memapahnya
hingga sampai di tepi hutan.
Gitar kupanggul pada bahu sebelah kanan, koper
pada bahu sebelah kiri, dan lengan kanan Mafuyu
sendiri sedang melingkar di leherku. Dengan semua
beban yang kubawa ini, untuk meluruskan punggung
saja aku tidak bisa. Namun, entah kenapa aku sedang
dalam semangat tinggi hingga mengalahkan rasa lelah
yang harusnya kurasakan. Ada apa denganku?
"Berat, ya?"
Mafuyu yang masih bersikap keras kepala itu
menyandarkan separuh berat badannya padaku dan
nyaris berjalan hanya dengan satu kaki saja. Ia bertanya

346
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

penuh cemas, tapi aku tidak menjawabnya. Aku justru


menyanyikan <Hey Jude> karya The Beatles.
"And any time you feel the pain, hey, Jude, refrain.
Don't carry the world upon your shoulders ...."
Saat aku menyanyikan lirik di bagian itu, bisa
kudengar tawa Mafuyu di sampingku.
"Kamu lebih bagus bernyanyi. Jauh lebih bagus
daripada bermain bas."
Berisik! Aku tidak butuh perhatian!
Beratnya beban yang kubawa bukanlah persoalan
utama, yang menjadi masalah besar adalah rendahnya
daya pandang kami di malam hari. Jalanan di hutan ini
tidaklah bagus. Meski truk-truk juga melintas di sini,
tapi jalanan ini masih penuh akar-belukar yang bisa
membuat kaki tersangkut. Sumber cahaya kami
hanyalah nyala dari senter yang kami beli di toko
kelontongan sebelum naik kereta kemari.
Mafuyu dan aku hampir beberapa kali tersangkut
akar, tapi untungnya masing-masing dari kami saling
membantu. Jika kami berdua sampai benar-benar jatuh,
bisa dipastikan akan memakan waktu lama hanya untuk
kembali berjalan lagi.
Suara debur ombak lautan di sekitar bergema di
gelapnya hutan, dan itu terdengar bagai isakan dari
ribuan orang. Langit terlihat amat gelap dikarenakan
mendungnya awan, hingga membuat kami tidak bisa
melihat jelas akar-belukar di tanah. Meski ujung hutan

347
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

— yang mengarah ke lautan — hanya tinggal beberapa


meter lagi, kami mungkin tidak akan menyadarinya
dan akan terus berjalan ke arah kematian. Yang bisa
kami lakukan hanya meraba-raba dalam kegelapan, dan
samar-samar mendengar gemuruh guntur di kejauhan.
Walaupun begitu, sesampainya di tujuan, kami
berdua menghentikan langkah dan serentak
menengadahkan pandangan.
Meski di malam yang gelap, bisa kami rasakan bahwa
ini sudah di penghujung hutan.
Tempat ini memang istimewa, pikirku dalam hati.
Garis tepi dari pemandangan kumpulan rongsokan itu
tampak seperti disinari cahaya.
<Toko Swalayan Keinginan Hati>.
Tempat di mana berkumpulnya berbagai keinginan
yang rusak dan terkoyak.
Tempat yang dikelilingi oleh kesunyian, seakan
kami sedang berpindah ke dimensi lain. Meski begitu,
tempat ini sesekali berguncang karena petir — yang
kilatannya sampai menerangi sekitar — yang disusul
gemuruh guntur.
Ketika melihat gerbang tempat pembuangan, kami
saling menyandarkan diri dan berdiri terpaku untuk
waktu yang lama.
Itu amat besar. Aku harus mencari sebuah alat
musik dari timbunan rongsokan yang menggunung
ini— rasanya itu tidak mungkin kutemukan walau

348
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

harus menghabiskan seluruh musim panas untuk


mencarinya.
"... apa kamu sungguh akan mencarinya?"
Tanya Mafuyu pelan. Aku mengangguk tanpa
bersuara, lalu melepaskan rangkulan lengan Mafuyu
dari leherku sebelum beranjak seorang diri menuju
timbunan rongsokan itu. Karena dari awal niatku
adalah mencari basku, dan karena aku sudah sampai
kemari, maka tidak ada gunanya terus berkeluh kesah.
Tidak akan ketemu jika aku tidak mulai mencarinya.
Aku membuang basku kemarin lusa, jadi
kemungkinan itu berada di dekat gerbang ini.
Kunyalakan senter dari dasar timbunan dan mulai
menelusuri celah di antara rongsokan-rongsokan yang
berisi sepeda bekas, mesin minuman, mesin pachinko,
jam usang dan sebagainya.
Tanpa sengaja aku menengok ke arah Mafuyu yang
sedang duduk di atas koper sambil menatap timbunan
rongsokan yang menggunung itu, wajahnya
menampakkan ekspresi kelelahan.
Kubiarkan saja ia beristirahat. Karena aku yang
menghilangkannya, maka akulah yang harus
menemukannya.

349
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Butuh waktu berapa lama bagiku berjalan mengitari


timbunan ini dengan berjalan kaki? Entahlah. Saat
kembali ke tempat Mafuyu berada, perasaan lelah ini
sudah tidak tertahankan hingga sulit untukku sekadar
membuka mata saja. Penerangan dari senter ini sendiri
sudah semakin lemah, dan tanganku sudah penuh
kotoran.
"Mustahil menemukannya ...."
Kudengar suara Mafuyu, karena itu kumatikan
senter lalu duduk di sampingnya.
"Aku hanya bisa ... berjalan mengelilinginya ...
sekali saja."
Tenggorokan terasa begitu serak, sulit bagiku untuk
bersuara.
"Dan sepertinya kini mau hujan! Jika memang
basmu ada di sini, kamu juga tidak akan bisa
memperbaikinya karena basah oleh hujan."
"Makanya aku harus menemukannya sesegera
mungkin!"
"Kenapa? Aku tidak mengerti. Kenapa kamu
bersikeras melakukannya? A-apa karena aku pernah
bilang suka dengan suara yang dihasilkannya? Tapi ...
aku bilang begitu ...."
"Karena itu adalah bas yang istimewa."
Jawabku dengan suara parau.
"Meski itu bukan barang mahal ataupun langka,
tapi aku sudah mengganti pickup-nya, memodifikasi

350
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

kabelnya, mengikirnya, bahkan memasanginya sirkuit


penyetem — semua itu agar nadanya serasi dengan
gitarmu. Itu adalah nada bas yang kuciptakan sendiri,
makanya bas itu istimewa."
Aku hampir mendengar Mafuyu sedang menahan
napasnya.
Janji di antara senpai dan diriku juga ada dalam bas
itu.
Aku tidak akan membuangnya jika bas tersebut
tidak berharga bagiku.
"Lagi pula ... kita masih belum mencari sampai ke
dalam."
Rintikan hujan menetes di wajahku sewaktu aku
berdiri.
Hujan pun turun. Aku harus mempercepat
langkahku.
Aku berpijak di atas atap mobil bekas dan mulai
mengais rongsokan-rongsokan itu disertai bunyi
*krekrekrek* dari bawahku. Jika menelusuri dasar
timbunan saja sudah memakan waktu selama ini, butuh
berapa lama jika harus mencari ke seluruh timbunan
yang menggunung ini? Terlebih, bukan hanya karena
tidak ada jaminan aku akan bisa menemukannya, tapi
aku sendiri tidak punya bukti kuat kalau bas itu
memang dibuang kemari.
Meski begitu—

351
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Tidak ada gunanya terus membiarkan diriku


diguyur hujan begini.
*Ngiiik—* suara logam yang berderit terdengar dari
belakangku. Aku menoleh, dan pada bekas jalan yang
kulalui tadi tampak sesosok siluet putih yang terlihat
nyaris terhempas angin.
Mafuyu ternyata mengikutiku.
"Kamu sedang apa?!"
Karena sudah berada di pinggir kawah timbunan
ini, maka kuulurkan tanganku lalu meraih pergelangan
tangannya dan menariknya ke sisiku. Dikarenakan
langkahnya yang goyan serta tangan kanannya yang
masih lemah, Mafuyu hampir saja jatuh dari timbunan.
Setelah bersusah payah, akhirnya ia bisa berpijak pada
kulkas rongsokan, lalu sambil terengah ia berkata,
"Aku mau membantumu mencarinya."
"Tidak usah. Lagi pula, kita hanya punya satu
senter saja ...."
"Aku mau bantu!"
Aku menghela napas dan mengarahkan perhatianku
kembali ke pusat timbunan rongsokan itu. Saat kulihat
rawa besar nan gelap di hadapanku ini, seketika itu
juga aku hanya bisa tenggelam dalam
ketidakberdayaan. Aku harus mencari basku di sebuah
wilayah besar dari rongsokan-rongsokan yang
membuatku tidak bisa terbangun dari mimpi buruk ini.

352
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Kunyalakan senter yang sudah redup dan tidak bisa


diandalkan itu ke arah lembah. Lalu tiba-tiba ada
sebuah pantulan sinar. Kutatap baik-baik benda itu
dalam keadaan cahaya senter masih mengarah ke sana
— itu bukanlah pantulan tajam dari logam, tapi dari
sesuatu yang permukaannya lebih halus. Mafuyu lalu
menyadarinya terlebih dahulu.
"... itu masih di sana!"
Ucapnya dalam kebingungan sambil terengah-
engah.
Mafuyu turun ke bawah cekungan. Ia berpijak pada
ujung dari sebuah lemari, lalu berpegangan dengan
tangan kirinya pada meja besi yang separuh terkubur.
Perlahan dan hati-hati berjalan menurun. Aku
mengikutinya dengan tergesa sembari teringat untuk
menyalakan senter agar bisa menerangi jalannya.
Sebuah grand piano yang berada di cekungan itu
tampak kian miring dibanding yang kulihat sebelum
ini. Penutupnya sudah banyak tergores dan bergeser ke
samping. Sudah berapa banyak badai yang telah
dilaluinya? Kunyalakan senter untuk melihat bagian
dalamnya. Senar-senarnya masih terlumuri kotoran dan
daun-daun yang berguguran.
Kuangkat penutup tutsnya dan memencetnya pelan-
pelan.
Suara jernih yang mengejutkan itu membuat riak
besar pada rawa gelap ini. Tapi itu tidak berlangsung
lama — gema suara tersebut menghilang seketika. Jadi

353
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

resonansi yang kudengar saat itu apa memang


halusinasi pendengaranku saja?
"Kenapa piano sebobrok ini masih bisa
mengeluarkan suara ...."
Ucap Mafuyu di sampingku dengan nada yang
hampir terisak.
Mungkinkah itu karena tempat ini adalah <Toko
Swalayan Keinginan Hati>? Karena ini adalah tempat
istimewa di mana keinginan sebenarnya dari orang-
orang yang berasal dari tempat jauh bisa terkabulkan.
Mafuyu berdiri di depan piano itu dan mulai
memainkan setiap tutsnya dimulai dari akor A. Itu
diawali dari sebuah rangkaian nada pelan dan tegas,
lalu berangsur berganti menjadi lompatan ringan yang
lembut, sebelum akhirnya bergerak cepat layaknya
kilatan petir — kelima jari tangan kirinya berusaha
meraih nada C tertinggi.
Tidak ada satu nada pun yang lepas dari titian,
semuanya jernih dan menusuk.
Suara piano yang terngiang itu menyelubungi kami
layaknya kabut yang menyelimuti sinar rembulan.
"Kenapa ... kita bisa mudah menemukan barang
yang tidak kuinginkan, dan bukan barang yang sedang
kamu cari?"
Gumam Mafuyu sembari menundukkan kepalanya
sewaktu memegang ujung piano. Apa itu tetesan hujan
yang jatuh di atas atau yang lain? Entahlah. Aku

354
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

merasa rongsokan-rongsokan di bawah kakiku ini ikut


menanggapi suara dari piano tersebut, memecah
keheningan yang ada.
Perasaan itu ... terasa seperti sesi penyelarasan nada
sebelum memulai pertunjukan pada sebuah orkestra.
Bagian alat musik obo akan mulai memainkan akor A,
dan sang violinis utama akan mengikuti nada yang
sama. Lalu seluruh anggota orkestra masing-masing
akan mulai menyelaraskan titian nada mereka.
Jadi ... barang-barang ini memang menanggapi
nada yang dibuat Mafuyu?
Tepat di saat itu—
Aku tiba-tiba teringat sesuatu.
Kalau ini memang benar sebuah tempat istimewa
....
Dan kalau ini memang benar bisa mengabulkan
keinginan hati ....
"Mafuyu ...."
Panggilku dengan suara tergagap. Mafuyu
menengadahkan kepalanya melihatku.
"Bisa kamu mainkan piano itu untukku?"
"... eh?"
"Mainkan saja apa pun. Oh, bukan, mainkan saja
lagu yang lebih banyak menggunakan tuts putih. Kamu
... mau melakukannya untukku, 'kan?"

355
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Mafuyu terbengong. Ia sejenak menatap tangan


kanannya sebelum mengangkat kepalanya kembali
menghadapku.
"Tapi aku ...."
"Tidak masalah jika kamu bermain dengan tangan
kiri saja."
Karena memang harus Mafuyu yang
memainkannya sendiri.
"Kenapa ...?"
"Jika kamu yang memainkannya, kurasa bas itu
akan menanggapi panggilanmu."
Mafuyu perlahan mengalihkan pandangannya dari
wajahku ke arah tuts piano.
Itu adalah barang yang dulu ia tinggalkan.
Tanpa menunggu jawaban dari Mafuyu, kembali
aku mengais timbunan rongsokan itu. Berbeda dari
cekungan yang ternyata bagian teratas dari timbunan
tersebut, bagian puncaknya berisi tumpukan mobil-
mobil bekas
Tepat di saat aku sudah mencapai titik tertinggi dari
timbunan itu—
Alunan suara piano terdengar dari bawahku.
Lima akor terpisah menghilang ke dalam
kegelapan, lalu mulai menyeruak keluar sedikit demi
sedikit sewaktu berganti bentuk, layaknya kawanan
burung yang meluncur di aliran angin kencang.

356
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Buku 1 dari <Clavier Bertemperamen Sama> —


Prelude dan Fugue No. 1 dalam C mayor.
Itu adalah artikel paling pertama dari kumpulan
naskah piano yang diwariskan oleh Bach.
Preludenya terasa seperti kristal yang rapuh, terbuat
dari lapisan-lapisan nada yang disusun satu demi satu.
Ketika dirinya sampai di akor terakhir, kristal itu
pun langsung hancur berkeping-keping — pecahan-
pecahan yang berkilau terang itu menyebar ke seluruh
penjuru timbunan rongsokan. Setiap potongan
rongsokan itu terpanggil oleh Mafuyu — kesemuanya
bersuka cita dan siap untuk ikut bernyanyi.
Aku pun duduk di atas kap mobil bekas, lalu
memejamkan mataku dan mendengarkannya dengan
khidmat.
Jemari Mafuyu merangkain bagian-bagian melodi
dari fugue. Nada kedua, diikuti nada ketiga, lalu
menjadi menjadi senandung doa si kala fajar. Di bawah
panduan piano, rongsokan-rongsokan yang tertimbun
di sini mulai saling beresonansi — riuh yang ramai dari
alat musik gesek, seruling dan terompet, gemerincing
dari tamborin.
Lalu fugue keempat pun menyusul.
Bagaimana bisa? Seharusnya jemari tangan kanan
Mafuyu tidak bisa digerakkan. Kutolehkan
pandanganku ke sekitar dalam ketidakpercayaan,
namun yang bisa kulihat hanyalah lubang gelap tanpa

357
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

dasar. Suara yang dihasilkan piano itu bagai


gelombang yang saling berbenturan, tapi aku tidak tahu
dari mana asalnya. Apa ia mampu memainkan empat
suara dengan teknik yang tidak kuketahui hanya
memakai tangan kirinya saja? Atau itu hanya halusinasi
pendengaranku saja, seakan ada suara yang mengisi
bagian yang hilang?
Entahlah. Yang bisa kulakukan hanyalah lanjut
mencari basku sebelum sihir Mafuyu menghilang.
Aku menelusup ke dalam suara-suara yang
memenuhi udara sekitar dan menahan napas selagi
masuk lebih dalam lagi. Aku menorobos suara biola
dan selo, lalu lanjut menyelam lebih dalam ke lautan
nada-nada rendah ini. Aku lalu terjun ke samudra
ranjang untuk mencari sebuah suara yang beresonansi
dengan permainan piano Mafuyu — suara yang pelan
dan samar.
Ketemu.
Asal suara itu ikut bergetar setiap kali fugue dari
Mafuyu meluncur turun ke nada rendah.
Itu adalah tempat dari pusat suara tersebut.
Kubuka lebar-lebar mataku. Terlepas dari gelapnya
keadaan sekeliling, aku bisa melihat tempat itu dengan
jelas. Aku turun dari tumpukan mobil-mobil bekas itu
dan merangkak sepanjang bagian atas timbunan
rongsokan-rongsokan. Akhirnya, aku bisa merasakan
denyut pada telapakku, denyut itu mendorong

358
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

langkah fugue di kejauhan. Benda itu berada di dalam


dasar timbunan.
Tepat di antara galon oli yang berlubang dan mobil
kecil tanpa roda. Ketemu.
Kujulurkan tangan di antara celah dua rongsokan
lalu menggapai setangnya. Bisa kurasakan senar-senar
yang beresonansi setiap kali Mafuyu memainkan
pianonya. Sudah jelas itu bukanlah halusinasi
pendengaranku semata. Basku benar-benar bergetar
karena suara piano itu.
Ketemu. Akhirnya aku menemukannya.
Kutarik basku itu dari timbunan. Bodi abu-abu dari
bas tersebut penuh dengan goresan, dan keempat
senarnya masih sedikit bergetar merespon suara piano
Mafuyu. Dengan jelas bisa kulihat bekas kerusakan
yang ditinggalkan saat Mafuyu membantingnya ke
tanah dulu.
Mendadak aku teringat perkataan bapak yang ada di
fasilitas pengelolaan sampah itu, Ingatlah untuk
memberi nama seorang wanita pada basmu jika sudah
berhasil mendapatkannya kembali! tapi itu mustahil
kulakukan — aku baru menyadarinya setelah
mendapatkan bas itu lagi. Tanpa sempat bernapas,
kupandangi bas yang ada di tanganku ini.
Itu seperti bagian kecil dari diriku yang telah
kutelantarkan, jadi kurasa tidaklah perlu untuk
menamainya.

359
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia


"... kamu sungguh menemukannya?"
Mafuyu menatap ke arah Aria Pro II yang ada di
tanganku dengan ekspresi tidak percaya. Selama itu ia
sudah menungguku di dekat piano.
"Sudah kubilang kalau pasti akan kutemukan."
Suaraku masih gemetaran sewaktu menjawabnya.
Aku sendiri masih tidak percaya bisa menemukannya.
Mafuyu lalu mengambil bas itu dari tanganku.
Sejenak ia memandangi goresan panjang pada bodinya
sebelum membelainya dengan lembut lewat jari-
jemarinya.
"Maaf ... pasti sakit, ya?"
"Eng, kamu tidak perlu minta maaf ...."
"Hah?! Aku tidak minta maaf padamu!"
Mafuyu langsung berbalik sambil merangkul bas
itu di dadanya.
"... syukurlah."
Keajaiban itu tampak sirna seketika Mafuyu
menggumamkannya. Gemuruh guntur menggelegar,
dan hujan mulai turun dengan derasnya di timbunan
rongsokan itu, membuat suara *braasss* yang begitu
ramai.

360
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

"Hujannya lebat. Ayo masuk ke dalam! Di mana


barang bawaanmu?"
"Eh? Masuk ke dalam ...?"
"Ah, kita tadi menaruhnya di hutan, 'kan? Akan
kubawa kemari sekalian gitarmu. Tunggu saja di
dalam."
"Di dalam mana ...?"
Kubukakan pintu sebuah mobil yang ada di dasar
timbunan itu, lalu meraih lengan Mafuyu dan
membawanya masuk ke dalam.


"Aku sungguh tidak menyangka kalau ada mobil
sebesar ini tertimbun di sini."
Ucap Mafuyu sewaktu duduk di samping kursi
kemudi.
"Aku menemukannya saat keduakalinya kemari."
Rambutku yang basah masih menetes sewaktu
menjawab pertanyaannya. Interior di dalam mobil ini
ternyata masih bersih — hingga tidak ada yang
menyangka kalau ini di dalam mobil bekas — yang
membuatku kadang kemari jika ingin beristirahat.

Mafuyu perlahan merengggangkan tubuhnya hingga ke

361
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

kursi belakang mobil, lalu mengembalikan posisi


duduknya sambil memegang handuk.
Sewaktu aku berlari kembali ke mobil sambil
membawa barang-barang di gerbang fasilitas
pengelolaan sampah, hujan turun semakin lebat, seakan
seluruh awan jatuh serempak. Supaya tidak sampai
kebasahan, kulindungi gitar Mafuyu dengan tubuhku.
Alhasil aku benar-benar jadi basah kuyup. Untunglah
ada handuk dari Mafuyu yang segera kuambil untuk
mengeringkan rambutku. Gelombang rasa kantuk yang
besar mulai menghinggapiku sewaktu menyandarkan
diri di kursi mobil. Meski begitu, aku berusaha keras
menegakkan tubuh sambil berpegangan pada setir
kemudi.
"... tidur saja kalau kamu memang mengantuk."
Gumam Mafuyu di sebelahku.
"Eh? Ah ..., aku tidak ..., hmm ...."
"Aku yang tidak berbuat apa-apa saja bisa merasa
selelah ini, apalagi dirimu, 'kan?"
"... aku tidak pernah menyangka kamu bisa sepeduli
itu."
"Aku sedang mengkhawatirkanmu! Bodoh!"
Handuk yang kupegang ini langsung disambarnya.
Mafuyu lalu membalikkan badannya dengan susah
payah dan meringkuk memunggungiku dari kursi
samping kemudi.

362
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Hujan turun semakin lebat, membuat bagian dalam


mobil — yang sudah separuh tertimbun rongsokan —
bergema dan membuatku terjaga. Mirip seperti suara
gemerisik dari televisi.
Pukul berapa sekarang? Untuk mengeluarkan
ponsel agar bisa melihat jam saja aku sudah tidak
sanggup.
Aku begitu lelah seolah tulang-tulangku bisa copot
kapan saja.
Akan tetapi, sebelum benar-benar terlelap, ada
sesuatu yang harus kutanyakan pada Mafuyu —
mengenai suara piano yang kudengar tadi, fugue yang
dimainkan tepat setelah prelude.
Suara itu .... Kesampingkan dulu soal prelude—
mustahil memainkan fugue hanya dengan satu tangan.
Mungkinkah ... tangan kanan Mafuyu bisa digerakkan
saat itu?
Bahu Mafuyu tampak naik turun sesuai ritme.
Bahkan aku bisa sedikit mendengar desah napasnya.
Dan pada akhirnya, aku harus mengurungkan
pertanyaanku.
Satu hal yang pasti, basku kini sudah bersandar
pada kursi belakang mobil ini, bersama dengan gitar
Mafuyu. Itu sebuah hal yang tidak bisa dibayangkan,
karena aku bisa mendapatkannya kembali.
Kalau begitu, berarti tidak ada lagi yang harus
dipermasalahkan.

363
Bab 18: Toko Swalayan di Akhir Dunia

Kupejamkan kedua mataku dan membiarkan suara


hujan terus berderu di sekelilingku.
Tidak butuh waktu lama hingga aku akhirnya
terlelap.

364
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

Aku terbangun oleh sinar yang menyilaukan


mataku.
Meski ingin bangun, tapi seluruh tubuhku terasa
sakit. Dari leher sampai tulang belakang, dan dari
pinggang sampai panggulku — semua bagian itu terasa
sakit. Dengan paksa kutahan erangan yang hampir
keluar dari mulutku.
Kubuka mataku. Cahaya matahari pagi menyinari
mobil dari jendela sebelah kananku. Sewaktu menahan
nyeri di seluruh tubuhku ini, aku mengernyit dan
menatap kursi samping kemudi — Mafuyu masih
terlelap menghadap ke arahku. Rambut panjangnya
yang berwarna merah tua itu tergerai berantakan di
kursi yang dimiringkan. Kondisinya tampak jauh lebih
baik dibanding kemarin.
Kuputar tubuhku ke kiri dan kanan pada kursi
pengemudi yang sempit ini, lalu merenggangkan bahu,
dan melemaskan leherku yang kaku. Setelah
menyelesaikan peregangan singkat, akhirnya aku bisa
sedikit leluasa bergerak. Perlahan kubuka pintu dan
keluar dari mobil.
Hujan semalam telah berhenti, dan lapisan kabut
yang tebal menyelimuti kami. Kupikir sinar matahari
akan cukup terik ketika terbangun nanti, namun
kenyataannya, langit belum berubah putih — masih

365
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

cenderung gelap. Kuambil ponsel dari saku untuk


melihat jam. Rupanya masih pukul lima pagi.
Meski begitu, aku tidak punya keinginan untuk
kembali tidur di dalam mobil.
Semalam aku tertidur tanpa begitu memikirkan apa
pun, karena sudah terlalu lelah. Tapi kalau dipikir-
pikir, Mafuyu tidur tepat di sebelahku, dan mobil itu
juga merupakan ruang tertutup — mana mungkin aku
bisa kembali tidur di sana!
Kemudian kusadari kalau harus memeriksa apa
basku masih bisa diselamatkan. Dengan pelan kubuka
pintu belakang, berusaha agar tidak bersuara.
Saat meraih basnya, tiba-tiba aku teringat tidak
membawa peralatanku sama sekali. Aku memang
bodoh. Aku tidak menyadarinya karena sudah biasanya
selalu kubawa ke mana-mana. Bagaimana ini? Aku
tidak akan bisa mengambil formulir pendaftaran yang
ada di dalam basnya – aku juga ingin tahu apa
formulirnya tidak kebasahan.
Sewaktu mempertimbangkan untuk mencari obeng
di tumpukan sampah, tiba-tiba kulihat gitar Mafuyu
tergeletak di samping basku. Sudah lama aku berpikir
kalau itu adalah gitar yang luar biasa, dan membuatku
ingin menyentuhnya. Jika memungkinkan, aku pun
berharap memainkannya, paling tidak sekali saja.
Karena Mafuyu masih tertidur nyenyak, aku pun
kalah dengan godaan itu. Kuletakkan basku dan
mengeluarkan sarung gitar dari mobil. Kucoba untuk

366
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

menutup pintu sepelan mungkin. Mobil itu terkubur


sedemikian rupa sehingga posisinya sedikit miring ke
arah kursi samping kemudi, jadi agak sulit untuk
menutup pintu tanpa bersuara.
Kunaiki timbunan rongsokan dan duduk di atas
mesin cuci terbalik yang letaknya lebih tinggi. Udara
pagi yang agak lembab terasa benar-benar nyaman.
Kubuka sarung gitarnya. Dan yang tergeletak di
hadapanku adalah Fender Stratocaster dengan alur
kayu yang indah dan lapisan pernis transparan. Ini gitar
tua dari tahun enam puluhan, 'kan? Mungkin harga
pasarannya sekitar tiga juta yen. Dengan penuh
ketidaksabaran, kucoba memetik gitar itu dengan jari-
jariku yang gemetaran. Kayanya nada-nada yang
dihasilkan gitar tersebut tidak terdengar seperti berasal
dari gitar listrik.
Kubenarkan posisi dudukku terlebih dahulu dan
mulai memainkan melodi dengan teknik tiga jari,
menyesuaikan tempo dengan ujung jariku di waktu
bersamaan. Di tempat yang bisa kudengar kicauan
burung-burung ini, dengan lembut mulai aku
nyanyikan liriknya, berbarengan dengan kabut yang
mulai menyelimutiku. Udara pagi meredam seluruh
suara nyanyianku. Ketika sampai pada bait kedua,
kuputuskan untuk menaikkan volume sehingga laguku
bisa terdengar oleh burung-burung yang mungkin
sedang mendengarkanku bernyanyi ....
"... itu lagu apa?"

367
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

Mendadak terdengar suara seseorang, membuatku


hampir terjatuh karena kaget. Mafuyu berdiri tepat di
bawahku, melihatku sambil menggosok matanya yang
masih mengantuk.
"Eng, itu ...."
Mafuyu berjalan melewati rongsokan lalu duduk di
sampingku. Tempat untuk duduk di atas mesin cuci ini
tidaklah lengang, jadi dengan jelas bisa kurasakan
kehangatan Mafuyu.
"Maaf memainkan gitarmu tanpa izin."
"Tidak apa-apa. Apa judul lagu itu?"
Aku tiba-tiba merasa malu, jadi aku menatap
tanganku yang sedang memegang setang gitar.
"Judulnya <Blackbird>."
"Lagu yang bagus."
Aku terkejut, lalu menengadahkan kepalaku untuk
melihat wajah Mafuyu. Mafuyu memiringkan
kepalanya dan menatapku seolah berkata, Ada
apa? segera kualihkan kembali pandanganku ke gitar.
"Lagunya seperti apa?"
Aku tidak mau melontarkan omong kosong kali ini.
"... sebanyak apa pengetahuanmu tentang The
Beatles?"
"Tidak terlalu banyak," Mafuyu menggeleng.
"Begitu, ya .... Oke," sejenak aku berpikir.
Bagaimana aku menjelaskannya, ya? "Saat proses

368
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

perekaman lagu ini, hubungan di antara para


personel The Beatles sedang dalam keadaan yang tidak
bagus, dan itu nyaris membuat mereka bubar. Dan
sepertinya lagu-lagu pada album ini baru digabungkan
setelah masing-masing personel menyelesaikan
rekaman untuk bagiannya sendiri-sendiri."
Meski begitu, album tersebut tetap berkelas. Seperti
penjelasan Mafuyu saat itu, terlepas dari tuduhan tidak
berdasar yang dilontarkan para kritikus, seorang musisi
masih bisa menghasilkan karya terbaiknya meski
dalam situasi terburuk.
"Konon Paul McCartney telah merekam hampir
semuanya sendirian. John Lennon sendiri sibuk
melakukan kolase suara untuk lagu <Revolution 9>."
Saat John Lennon sedang menggarap lagu revolusi
— yang tidak mampu ia sampaikan pada siapa pun —
Paul McCartney diam-diam telah menyelesaikan lagu
yang didedikasikannya untuk burung sikatan hitam.
"... makanya lagu ini hanya butuh gitar saja untuk
bisa dimainkan."
"Hmm, walau ini cukup sederhana untuk bisa kamu
mainkan, namun iringannya sangat nyaman
didengarkan."
Aku sempat merasa kesal, dan ide jahat terlintas di
benakku. Kuputuskan untuk mencoba memprovokasi
Mafuyu.

369
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

"Tapi kamu tidak bisa memainkannya. Lagu ini


tidak bisa dimainkan jika jari manis kananmu tidak
bisa bergerak, karena lagu ini menggunakan teknik tiga
jari. Rasakan! Kalau tersinggung, ya, pergi saja ke
Amerika untuk berobat sebelum kembali kemari!"
Mafuyu menatapku dengan kesal. Ia kemudian
menyambar gitar yang kupegang dan mulai memainkan
<Blackbird> — hanya dengan ibu jari dan jari telunjuk
kanannya saja.
Mestinya ia melewatkan beberapa nada, 'kan? Tapi
yang kudengar ini adalah sebuah permainan yang bisa
dianggap sempurna. Padahal ini pertama kalinya ia
mendengar lagu tersebut, 'kan?
Setelah selesai memainkan bait pertama, dengan
cemberut Mafuyu meletakkan gitarnya kembali di atas
lututku.
"... bisa tidak jangan membuat orang yang tidak
berbakat jadi merasa rendah diri?"
"Kalau hanya seperti ini, siapa pun bisa
memainkannya jika berlatih cukup keras."
Masa bodoh!
Mafuyu lalu turun dari atas mesin cuci dan pergi ke
mobil. Ia buka pintunya dan mengambil basku,
kemudian kembali duduk di sampingku .... Ia letakkan
bas itu pada lututnya dan dengan cepat menyetem
basku, bermain pada nada G dengan tempo yang seolah
mengajakku untuk mengikutinya.

370
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

Aku segera mulai bermain dari awal,


menyesuaikannya dengan suara bas, memperlambat
tempo dan mengikutinya dengan nyanyian hingga
selesai ....
Burung sikatan hitam mulai mencoba
membentangkan sayap-sayap patahnya, seolah telah
menanti momen ini sepanjang hidupnya, momen untuk
terbang ke angkasa.
"Suara ini seperti sebuah bas biasa jika tidak
terhubung ke amplifier ... Menarik ...."
Mafuyu bergumam sendiri saat kami selesai
memainkan lagu ini.
"Tapi masih akan ada beberapa perubahan nada jika
ini dihubungkan ke amplifier, jadi aku masih perlu
menyesuaikannya. Ditambah, bodi basnya penuh
goresan dan congkelan hasil benturan."
Mafuyu menatapku dengan agak gelisah.
"Kamu ... bisa memperbaikinya, 'kan?"
Aku mengangguk dan mulai memainkan kembali
prelude dari <Blackbird>. Bahkan jika sayap-sayap
kita patah, hanya perlu menanti waktu yang tepat bagi
kita untuk terbang.
"Apa ... lagu ini ditulis agar memberi semangat
pada seseorang?"
Mafuyu tiba-tiba menanyakan hal itu. Aku meragu
sejenak sebelum menjawabnya.

371
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

"Konon lagu itu ditulis untuk pembebasan


perempuan kulit hitam, dan kurasa Paul McCartney
sendiri pernah mengatakan itu sebelumnya. Namun aku
tidak begitu ambil pusing soal itu."
"Kenapa?"
"Karena itu terlalu aneh! Kenapa kita harus repot-
repot memikirkannya? Anggap saja ini lagu memang
tentang burung sikatan hitam."
"Jadi jenis burung seperti itu memang ada?"
"Hmm. Nama latinnya adalah Turdus Merula. Itu
adalah burung kecil yang penuh dengan bulu hitam,
dan hanya paruhnya saja yang berwarna kuning.
Kudengar kalau kicauannya sangat jelas dan ceria. Aku
pernah melihat fotonya, tapi mungkin burung seperti
itu tidak ada di Jepang."
Mafuyu lalu sedikit tersenyum. Itu pertama kalinya
kulihat ia benar-benar tersenyum.
"... tapi itu memang ada. Aku pernah melihat
burung itu sebelumnya."
Aku memiringkan kepala.
"Di mana?"
Mafuyu menyipitkan matanya, lalu menunjuk
dadaku dengan jari telunjuknya.
"Di sini."
Berangsur kabut mulai menghilang, dan kicauan
burung terdengar jadi lebih jelas. Cahaya pagi bersinar
menembus hutan, bayangan diriku dan Mafuyu yang

372
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

terdiam itu pun tampak memanjang, membentang


sepanjang jalan mengarah pada piano yang ada di
tengah cekungan.


Kami tidak saling berbicara sewaktu perjalanan
kembali ke stasuin. Bahu kiriku memanggul koper
sementara tangan kananku menenteng bas — yang
dibungkus handuk — sehingga Mafuyu tidak punya
pilihan selain membawa gitarnya sendiri. Langkah
kami berdua amat stabil, tidak seperti kemarin, ketika
kami berjalan sambil terhuyung. Cuaca juga sangat
cerah, dan membuatku merasa seolah bisa berjalan ke
ujung dunia.
Walau begitu, baik aku dan Mafuyu tidak ada yang
menanyakan ke mana kami akan pergi setelah ini.
Sebaliknya, kami berjalan berdampingan menyusuri
jalan-jalan di kota kecil, yang telah kering karena sinar
matahari pagi. Mungkin karena kami sama-sama punya
firasat tentang hal itu?
"Apa kakimu baik-baik saja?"
"Hmm, sementara ini tidak apa-apa."
"Benarkah? Separuh tubuhmu itu nantinya tidak
tahu-tahu jadi lumpuh, 'kan?"

373
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

374
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

"Kurasa tidak. Dokter memang tidak bilang apa-


apa, tapi aku selalu merasa seperti bagian kanan
tubuhku hilang ini sewaktu tidur. Entah seperti itu, atau
perlahan-lahan tenggelam dalam genangan air disertai
suara buih. Rasanya sungguh mengerikan. Karena itu
aku selalu tidur dengan separuh bagian kiri tubuhku
menghadap ke bawah."
Bukankah itu hanya halusinasi Mafuyu? Omong-
omong ....
"Tapi semalam kamu tidur dengan sisi kanan
tubuhmu menghadap ke bawah."
Mafuyu menatapku kaget.
"Benar. Saat itu kamu tidur menghadapku."
"Bohong?"
"Benar!"
"Bohong!"
Kenapa juga aku mau berbohong soal itu!
"Jujur, aku selalu merasa bagian kanan tubuhku ini
seperti terkubur dalam sebuah lubang, hingga
kemudian, pergelangan tanganku pun ikut tidak bisa
digerakkan. Jika seperti itu, maka aku tidak akan bisa
lagi bermain gitar."
Kulirik tangan kanan Mafuyu yang tergolek di
sisinya.
"Tapi tangan kirimu masih bisa digerakkan, 'kan?
Kalau begitu ....."

375
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

Aku lalu menatap tangan kananku.


"Kalau begitu?" tanya Mafuyu. Aku terus menatap
tanganku.
"Bagaimana kalau kamu belajar memainkan gitar
dengan gigi seperti Jimi Hendrix?"
"Bodoh!"
Mafuyu mengangkat sarung gitarnya dan
mengayunkannya ke arahku.
"Kenapa kamu tidak berkata seperti, Kalau begitu,
biar aku yang menjadi tangan kananmu, atau
semacamnya?"
"Eh, tunggu! Tapi ... ini tangan kananku, 'kan?
Harus kuakui kalau aku buruk dalam bermain gitar
maupun piano! Aku bisa merusak teknikmu yang luar
biasa!" jelasku sembari berlari darinya.
"Yang penting itu niatnya! Ya ampun!"
Setelah sempat mengejarku, Mafuyu tiba-tiba
berbalik menjauhiku dengan langkah cepat. Aku
mengejarnya dan meragu sejenak sebelum mengatakan,
"Oh, iya, Mafuyu ...."
"Apa?" bentaknya tanpa menoleh ke arahku.
"Apa kamu masih ingat taruhan kita soal berhasil
tidaknya aku menemukan basku?"
"... hmm."
"Kalau begitu ...," aku merenung sejenak.
Bagaimana aku harus merangkai kata-kata? Jika aku

376
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

berkata seperti, Tanganmu bukan lagi persoalanmu


seorang, tapi persoalan seluruh personel band,
Mafuyu pasti akan marah.
"Sementara ini aku masih bisa bermain gitar. Jadi
tidak masalah."
"Lalu ...."
"Akan kupergunakan gigiku untuk bermain. Puas?"
Waduh, dia benar-benar membalas ucapanku.
Sepertinya dia benar-benar kesal.
Aku menjaga jarak sejauh tiga meter selagi berjalan
di belakang Mafuyu, dan memikirkan tentang cara
menyampaikan hal ini ke dalam kata-kata.
"Baiklah, kita abaikan dulu soal band untuk
sementara ini, tapi ...."
Kurasa aku tinggal mengatakannya saja dengan
jujur.
"Aku ingin mendengar seorang Mafuyu memainkan
pianonya lagi."
Mafuyu tidak menghentikan langkahnya ataupun
menoleh ke arahku. Lama ia tidak menanggapiku.
Akan tetapi, ia memperlambat langkahnya, hingga
akhirnya mulai berjalan beriringan di sampingku.
Entah kenapa, rasanya ia seperti sedikit mengangguk.
Pada akhirnya, aku kembali melewatkan
kesempatanku untuk menyampaikan yang ingin
kukatakan — memintanya mencari dokter spesialis
untuk menyembuhkan tangannya.

377
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

Namun itu adalah hal yang hanya bisa diputuskan


oleh Mafuyu seorang. Yang bisa kulakukan hanyalah
kabur dari rumah dengannya, dan mungkin sesekali
membantunya.


Orang pertama yang menemukan kami ialah
seorang polisi muda yang sedang bersepeda di jalan
yang berlawanan arah dari kami. Dengan cepat ia
hentikan sepedanya setelah sepuluh meter
meninggalkan kami, dan hampir terpeleset ke parit sisi
jalan. Polisi muda itu mengeluarkan buku catatannya
dan berulang kali memastikan wajah kami, lalu
mengambil radio panggilnya dan melapor pada
seseorang.
"Bagaimana ini? Lari?"
Meski polisi itu sudah meraih lenganku, aku masih
berbisik ke telinga Mafuyu. Akan tetapi, ia menggeleng
pelan.
Itu adalah akhir dari perjalanan kami.
Saat menunggu jawaban dari atasannya, polisi itu
pun meminta Mafuyu untuk tanda tangan, bahkan
hingga di buku catatannya. Hei, apa itu tidak masalah?
Kami kemudian dibawa ke stasiun kereta. Ada
beberapa mobil di halte bus beserta sekelompok besar

378
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

orang dewasa yang berkumpul — wajah-wajah yang


belum pernah kulihat sebelumnya. Hingga akhirnya
kusadari jika mereka adalah anggota orkestra yang
secara khusus ikut mencari Mafuyu, yah, meski ada
beberapa polisi yang juga bercampur di antara mereka.
Setelah memastikan identitas kami, seluruh anggota
kelompok itu bergegas menghampiri kami sambil
berseru, "Wah!" yang sempat membuat kami takut.
Maki-sensei juga turut berada di antara mereka.
Sial, sedang apa beliau di sini! Apa beliau tidak perlu
ke sekolah? Atau apa karena sebagai guru musik,
beliau punya lebih banyak waktu luang? Beliau lalu
berjalan ke arahku dengan langkah panjang serta
senyum manis di wajah, dan hal pertama yang
dilakukannya adalah memberiku sebuah tamparan.
"Tung-tunggu ...."
Belum sempat aku menjelaskan, beliau pun
menampar sisi wajahku yang sebaliknya.
Kemudian—
Sebuah mobil berkecapatan tinggi melaju menuju
halte bus, bahkan mobil tersebut sedikit mengepot
sebelum berhenti dan nyaris menabrak mobil polisi.
Yang membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil
itu ialah—
"Papa?"
Gumam Mafuyu dengan suara pelan yang hanya
bisa didengarkan oleh aku seprang. Pria yang berlari

379
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

kemari itu adalah Ebisawa Chisato. Kemejanya


berantakan, dan matanya tampak gelap dan sembab,
mungkin karena orang itu tidak tidur semalaman.
Rambutnya berantakan seperti surai singa yang kalah.
"Jadi kamu benar-benar kemari? Apa saja yang
kamu perbuat dua malam ini? Pikirkan betapa
khawatirnya kami semua—"
"... bagaimana konsernya? Bukankah acaranya hari
ini ...?"
Mafuyu bergumam seolah sedang mengigau.
Ebichiri menanggapinya dengan mengernyitkan
dahinya.
"Kamu bicara apa? Bagaimana mungkin kuadakan
konser saat kamu menghilang? Tidak kusangka kamu
benar-benar kabur dari rumah!"
Tiba-tiba Ebichiri mengarahkan perhatiannya
padaku, dan menyambarku.
"Apa itu kamu? Apa kamu yang mengajak Mafuyu
lari dari rumah—!"
Dicengkeramkannya kerahku dan mengguncangku
berkali-kali, namun dalam keadaan sempoyongan ini
yang bisa kupirkan adalah, Begitu. Jadi orang itu bisa
juga khawatir tentang anaknya, bahkan mungkin aku
tersenyum sewaktu memikirkannya. Tiba-tiba aku
merasa teriakan marah dari Ebichiri itu adalah sesuatu
yang sepele untukku.

380
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

"Apa yang ada di pikiranmu! Bagaimana kamu


akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada
Mafuyu—"
Tanpa ada peringatan, Mafuyu menyela di antara
aku dan ayahnya, lalu melerai kami. Aku terjatuh
karena dorongan tiba-tiba, dan yang bisa kudengar
hanyalah suara *plak* yang keras.
Mafuyu menatap tidak percaya pada tangan yang
digunakannya untuk menampar ayahnya itu — tangan
kanan yang jari-jemarinya tidak bisa ia gerakkan.
Ebichiri yang wajahnya membengkak karena tamparan,
tertegun untuk sesaat. Gelombang amarah muncul
kembali dalam matanya, lalu ia balas menampar
Mafuyu. Ketika Mafuyu hendak jatuh ke atasku karena
kekuatan tamparan tersebut, Ebichiri sontak meraih
bahu Mafuyu untuk mencegahnya terjatuh.
"Minta maaf pada semua orang di sini!"
Ebichiri menyeret Mafuyu ke pusat kerumunan, dan
aku hanya bisa terdiam menatap punggungnya. Apa
kebiasaan buruk untuk segera menyerah ini sudah
mendarah daging?
Setelah aku dan Mafuyu diceramahi habis-habisan
oleh tiga polisi yang bertugas, beberapa orang yang
ikut mencari kami berangsur mulai pergi dengan mobil
mereka.
Mafuyu sekilas melirik ke arahku saat ia dikawal
masuk ke dalam mobil oleh Ebichiri.

381
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

Ekspresinya tidak lagi dipenuhi awan kelabu seperti


sebelumnya, sebaliknya, terlihat sedikit bahagia
sekaligus kesepian juga — aku tidak begitu mengerti.
Ebichiri kemudian menongolkan kepalanya dari
jendela kursi pengemudi dan berkata,
"Ayo masuk! Biar kuantar ke tempatmu."
Pintu belakang mobil terbuka, dan aku sungguh
bersyukur atas tawaran itu. Meski suasana di dalam
mungkin akan jadi sangat canggung, gagasan
menghemat beberapa jam dibanding menaiki kereta
untuk pulang memang agak menarik.
"Maaf, Ebisawa-sensei, tapi orang ini akan naik
kereta dengan saya."
Suara dingin Maki-sensei terdengar dari atasku ....
Sial, beliau benar-benar menakutkan. Aku sampai tidak
berani menoleh ke arahnya.
Ebichiri mengangguk lalu menutup jendela mobil.
Hei, jangan semudah itu setuju! Paling tidak
bersikeraslah dulu?
Meski begitu, pasangan ayah anak Ebisawa tersebut
pergi begitu saja, meninggalkanku sendiri dalam asap
knalpot. Mobil-mobil lainnya juga mulai ikut pergi.
Selagi kupandangi plat mobil yang melewatiku satu per
satu, walau yang kurasakan tidak lagi sama seperti saat
itu, yang ada di pikiranku saat ini ....
Tidak, aku tidak bisa membiarkan Mafuyu pergi
begitu saja.

382
Bab 19: Nyanyian Burung Sikatan Hitam

Aku belum memberikan formulir pendaftaran


padanya. Meski ia telah memutuskan untuk pergi ke
Amerika dan tidak akan kembali ke sekolah kami—
Meski begitu, suara bising daro knalpot mobil itu
kian menjauh dariku, dan yang tersisa kini hanyalah
suara samar dari ombak di lautan.
Tidak ada orang lain di halte bus. Aku kembali
ditinggalkan seorang diri.
Oh, iya, yang ada di belakangku ini bukanlah
manusia, melainkan iblis.
"Baiklah, Nao. Banyak hal yang mau kubicarakan
denganmu. Sedikit banyak, kamu sudah siap, 'kan?"
Maki-sensei mengatakannya dengan suara lembut
yang menakutkan sambil mengangkat kerahku dengan
kekuatan yang tidak masuk akal. Selain mendesah,
yang bisa kulakukan saat ini adalah lebih banyak
mendesah lagi. Dengan demikian, perjalanan melarikan
dari rumah kami pun berakhir.
Dan itu berarti, meski aku beralasan seperti ingin ke
toilet ataupun membeli minuman — segala macam
alasan yang kucoba agar bisa melarikan diri — aku
masih tidak bisa kabur dari interogasi Maki-sensei.

383
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

Bulan Juni tanpa Mafuyu akan segera berakhir.


Ciri khas dari kelas 1-3 yang kutempati ini adalah
begitu cepatnya mereka berganti ketertarikan terhadap
sesuatu. Meski begitu, masih ada beberapa anak yang
menanyakanku perihal Mafuyu. Khususnya mengenai
insiden kami yang kabur bersama dari rumah, yang
rupanya telah tersebar ke seluruh sekolah dan
membuatku hampir ingin pindah sekolah. Beberapa
dari mereka yang tahu soal musik klasik bahkan
sampai meminjam CD-CD karya Mafuyu dariku.
Mungkin itu dikarenakan kursi sebelahku yang
selalu kosong ini.
Tapi karena kepribadian yang buruk, aku pun tidak
begitu bermurah hati pada para pemula tersebut.
Karena itulah aku justru meminjamkan karya gubahan
Scriabin dan Prokofiev. Meski begitu, teman-teman
sekelasku yang meminjamnya masih tampak begitu
senang.
"Hebat! Foto sampulnya saja sudah mengesankan!"
Sudah, dengarkan sendiri sana!

384
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

"Ternyata ada dua penjaga di rumah Ebisawa


Mafuyu! Aku saja sampai terkejut."
Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak
sebelum kembali berlatih di atap ini. Kazugaraka-
senpai mengatakan hal barusan dengan ekspresi riang.
"Awalnya kupikir tidak akan ada banyak orang di
rumahnya, karena di sana begitu luas, jadi kurasa
mudah bagiku untuk menyelinap ke dalam, namun
ternyata aku begitu naif. Untunglah saat itu ia pergi
untuk memeriksakan diri ke dokter."
Rupanya memang senpai yang diam-diam
menyelipkan CD yang berisi peta itu ke tas Mafuyu.
"Kenapa Senpai melakukan itu?"
Saat itu senpai sedang membersihkan setang gitar
yang senar-senarnya telah dilepas. Ia lalu memiringkan
kepalanya dan berkata,
"Alasannya banyak! Kupikir akan terjadi sesuatu
jika aku melakukannya. Yah, walau bisa jadi itu bukan
hal baik bagi kamu maupun Mafuyu. Tentu saja tetap
ada kemungkinan kalau tidak akan terjadi apa-apa.
Meski begitu, tidak perlu sampai mengumpulkan
banyak orang untuk memulai revolusi! Sebagai
manusia, untuk menuntaskan sesuatu kita harus
menanam benih yang mungkin saja tidak akan tumbuh
di wilayah liar ini."
Untuk orang sepertiku yang tidak bisa merangkai
kata-kata puitis, barusan itu terdengar seperti, Oh,

385
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

rasanya sesuatu yang menarik akan terjadi, jadi


kuputuskan untuk menciptakan sebuah kesempatan
agar hal itu terjadi, itu sebabnya aku tidak mau
berterima kasih padanya.
Sedangkan Chiaki, setelah mengunci lengan dan
memiting leherku, ia lalu menariknya hingga
punggungku membengkok ke belakang.
"Aduh, aduh, sakit! Itu semua bukan gerakan judo,
'kan?!"
"Sudah berapa kali aku meneleponmu, tapi satu
balasan pun tidak ada!"
"Maaf! Adududuh!" berkali-kali kutepuk lengan
Chiaki untuk memohon ampun, namun ia tidak
mengendurkan pitingannya.


"Jadi kamu bertemu dengan Ebichiri? Apa kamu
bilang kalau kamu anakku?"
Tanya Tetsurou dengan ekspresi tidak senang
sewaktu aku sedang menyiapkan makan malam di
dapur.
"Orang itu selalu saja mengeluh padaku. Karena ia
yang membayar tagihan panggilan luar negerinya, jadi
aku sengaja membiarkannya. Hehehe!"

386
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

"Kurasa ia mungkin akan menyadarinya kalau saja


ada yang menanyakan namaku."
Aku tidak terlalu senang mengatakan ini, tapi
hampir semua orang yang berkutat di industri musik
tahu nama anak dari Hikawa Tetsurou, jadi mungkin
saja Ebichiri juga tahu. Kuputuskan untuk membiarkan
yang sudah terjadi, karena akan menjadi masalah jika
ia berkata seperti, Dari wajahmu sepertinya aku kenal,
tapi berdasarkan ucapan Tetsurou, seharusnya aku ini
lebih mirip ibuku, 'kan?
"Tetap saja, ini bukan seperti anakku yang baru dua
hari dicari, sudah pulang ke rumah! Harusnya kamu
menghilang saja! Walau aku agak kesusahan karena
tidak ada yang mengurus rumah, tapi aku bisa melihat
wajah bodoh Ebichiri yang hampir menangis itu!"
Jadi nilai keberadaanku disamakan dengan hal
bodoh semacam itu? Lain kali aku akan benar-benar
berniat untuk kabur dari rumah ....
"Maaf, yang tadi itu bercanda. Aku benar-benar
kesusahan kalau Nao tidak di rumah. Bahkan aku tidak
berani ke toilet sendirian kalau sudah malam ...."
"Ya, sudah, mengompol saja sana!"
"Oh, iya. Apa selama dua malam itu ada
perkembangan antara dirimu dengannya? Aku tidak
bertanya soal kalian tidur di mana. Ayo, ceritakan ....
Detailnya seperti apa? Aku ini ayahmu, jadi ...."

387
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

Kulemparkan kaleng kosong ke arah Tetsurou agar


beliau berhenti bicara.


Bulan Juni pun berlalu.
Ruang latihan masih tidak tersentuh karena pemilik
gemboknya tidak kembali. Sebenarnya aku bisa saja
membobol kuncinya, tapi Kazugaraka-senpai
bilang, Itu melanggar peraturan, dan karena aku tidak
berhasil membuat Mafuyu menandatangani formulir
klubnya, maka kepemilikan ruangan itu belum jatuh ke
tanganku. Lagi pula, aku tidak berniat menggunakan
ruangan tersebut seorang diri.
Entah kenapa, orang-orang di sekitarku sudah tidak
lagi menanyakan hal-hal yang menyangkut Mafuyu
maupun keberadaannya. Yang bisa kulakukan hanyalah
berlatih setiap hari di atap dalam rangka mengasah
teknikku. Bahkan aku sudah mempelajari beberapa
lagu baru.
Kabarnya, Mafuyu ternyata mengikuti ayahnya ke
Amerika meski itu sudah telat beberapa hari dari
rencana mereka. Aku mengetahuinya dari sebuah
majalah yang masih belum kuketahui keakuratannya.
Apa akhirnya ia mau menjalani pemeriksaan? Dan
apa ia sudah memutuskan untuk menjalani operasi?

388
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

Hal itu sudah jelas, mengingat betapa Ebichiri


memanjakan putrinya. Orang itu pasti lelah dengan
tabiat Mafuyu yang suka melarikan diri, dan bisa jadi
mereka akan benar-benar menetap di Amerika.
Mungkin kesempatanku untuk bertemu dengan
Mafuyu telah hilang sepenuhnya.
Konser Ebichiri di Chicago disiarkan di Jepang
melalui satelit — salah satu komposisi yang
dimainkannya adalah <Konserto No. 2> gubahan
Rachmaninov. Harapanku sempat terbesit, namun sang
pianis yang ada di sana rupanya seseorang yang tidak
kukenal. Yah, walau jari-jemarinya sudah pulih, tidak
mungkin ia akan tampil di panggung secepat itu.
Aku lalu mematikan televisi dan teringat
Komposisi Mafuyu yang dimainkannya hari itu. Buku
1 dari <Clavier Bertemperamen Sama>, Prelude
dan Fugue dalam C mayor — sebuah kuasa tidak
terbayangkan yang bisa membuatku menemukan bas
yang telah hilang tanpa jejak itu. Meski begitu,
kekuatan musik memang amat besar. Kalau dipikir
lagi, yang perlu kulakukan hanyalah memasang cakram
perak ini ke dalam pemutar musik lalu memainkannya
— dan Mafuyu pun akan muncul di hadapanku.
Musik tidak lain hanyalah kumpulan dari not-not
serta aransemennya ataupun penempatannya. Kita
sebagai manusia — yang khawatir dengan kesendirian
— adalah yang menginterpretasikan hal-hal tersebut
dengan bermacam cara.

389
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan


Mafuyu hanya pernah mengirimkan sebuah surat
padaku. Surat itu sampai di hari Minggu selepas siang.
Cukup lama aku terdiam dalam ketidakpercayaan saat
tersadar kalau nama pengirimnya adalah Ebisawa
Mafuyu.
Tidak ada tulisan apa pun dari dalam amplop itu,
yang ada hanyalah sebuah kaset pita. Segera kuambil
pemutar musik berdebu yang kupunya lalu memutar
kasetnya. Terdengar sebuah alunan memilukan dari
prelude sonata piano yang dimainkan dalam E♭
mayor.
<Sonata Piano No. 26 dalam E♭ Mayor> gubahan
Beethoven.
Itu adalah komposisi yang Beethoven tulis untuk
sahabatnya yang terpisah karena perang. Terlebih,
meski jarang bagi seorang Beethoven untuk
menyematkan judul, tapi komposisi tersebut memiliki
judul,
<Perpisahan>
Kuserahkan kaset itu pada Tetsurou tanpa
berkomentar apa-apa. Setelah mendengarkannya,
beliau berkata,

390
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

"Bagian kanan dan kirinya direkam secara terpisah,


yang kemudian digabungkan. Berarti ..., tangan kanan
gadis itu masih belum sembuh, ya?"
"... hmm."
Walau begitu, ini memang komposisi yang
dimainkan sendiri oleh Mafuyu — aku bisa tahu hanya
dengan mendengarnya saja. Apa mungkin komposisi
tersebut direkam menggunakan tape recorder yang
sempat kuperbaiki dulu?
Sebuah barang berharga yang diberikan oleh
ibunya.
"... tetap saja itu pilihan komposisi yang buruk,
'kan? Ia sedang mengucapkan selamat tinggal padamu!
Kasihan .... Tapi, yah, mau bagaimana lagi? Salahmu
sendiri menjadi anakku, yang artinya harus siap
menghadapi nasibmu yang tidak akan langgeng dengan
perempuan!"
"Berisik! Kembali ke pekerjaanmu sana!"
"Iya, iya ...."
Sambil membawa roti gulung isi di piring, Tetsurou
pun kembali ke ruang kerjanya.
Aku tahu kalau yang dikatakan Tetsurou itu
bohong, sonata piano itu memang dimaksudkan untuk
sebuah perpisahan, namun setelahnya juga terdapat
komposisi yang lain.
Sesi kedua berjudul <Ketiadaan>, dan yang ketiga
berjudul <Pertemuan Kembali>.

391
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan


Lalu, sewaktu jam istirahat makan siang di awal
Juli, pintu belakang kelas kami mendadak dibuka
seseorang.
"Rekan Aihara, buruan, sudah waktunya pergi!
Shounen, kamu juga buruan. Ayo bergegas!"

Sebuah seruan dari Kazugaraka-senpai yang ada di


belakangku itu membuat fokus seluruh penghuni kelas
tertuju padaku. Tangan Chiaki — yang sudah separuh
menjulur, hendak merebut bento-ku — terhenti dengan
wajah terkejut.
Kutolehkan kepalaku dan menyadari kehadiran
senpai yang ... memakai baju bebas di sekolah?
Padanan kaos putih bergambar Jim Morrison dengan
rok pendek berbahan denim .... Apa yang ada di
pikirannya itu?
"Senpai, memangnya kita mau ke mana?"
"Ke bandara. Penerbangan pukul 4.30. Kita akan
terlambat kalau tidak pergi sekarang! Ayo buruan!"
"Ke bandara .... Buat apa?"
"Memangnya apa lagi? Masa penahanan rekan kita
sudah berakhir. Dan ia akan kembali pulang. Tentu

392
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

saja, kita perlu menyiapkan operasi penyelamatan


sesampainya ia menginjak daratan!"
Sejenak aku dan Chiaki saling bertukar pandang,
lalu, secara bersamaan, kami sadar dengan maksud dari
ucapan senpai.
"Mafuyu .... Ia kembali pulang?"
"Ya. Tapi karena ia bersama ayahnya,
kemungkinan setelah mendarat mereka akan
mengunjungi para sesepuh yang punya koneksi dengan
Sekolah Musik. Bandara adalah satu-satunya
kesempatan kita untuk menyerang!"
"Hah? Tunggu, sekarang masih tersisa dua jam
pelajaran lagi ...."
"Sudah tidak ada waktu untuk rutinitas macam itu!"
"Kenapa harus terburu-buru?"
"Shounen, terkadang kamu membuatku kaget. Jadi
kamu tidak tahu alasannya? Minggu depan, OSIS akan
mulai mengalokasikan anggarannya pada berbagai klub
untuk kegiatan semester depan. Kita tidak akan punya
dana sepeser pun jika tidak mengajukan permohonan
pendirian klub dengan empat anggota!
"Eh ...?"
Empat anggota?
"Karena ada seseorang yang tidak berhasil
menuntaskan misinya sebelum Mafuyu ke Amerika,
maka inilah kesempatan terakhir kita."

393
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

"Ja-jadi kita akan membuatnya mengisi formulir


saat ini juga?"
Sebelum sempat menyelesaikan pertanyaanku, aku
dan Chiaki sudah didorong oleh tangan-tangan dari
beberapa orang.
"Ayo cepat!"
"Paling-paling goinkyou akan bercerita masa lalu
lagi. Kalian tidak akan ketinggalan pelajaran meski
membolos!"
"Kamu tidak boleh begitu saja menghabiskan
makanan yang sudah kami belikan!"
Ternyata teman-teman sekelas kami yang
melakukannya. Tolonglah, jangan hanya saat seperti ini
saja baru mereka bisa kompak!
"Kami akan menutupi absensi kalian!"
Di SMA ini mereka akan ketahuan jika berbuat
begitu. Tepat di saat aku ingin membantahnya, pintu
depan kelas kami dibuka dengan keras. Dasar ....
"Kalian berdua belum mengganti baju? Ya ampun,
bagaimana ini? Ya, sudah, mumpung seragam musim
panas sekolah ini tidak seperti seragam kebanyakan,
mungkin tidak akan ketahuan jika kalian melepas
dasinya."
"Senpai, tolong jangan asal memutuskan!"
Sesaat aku ingin melanjutkan protes, Chiaki sudah
melepaskan dasi kupu-kupunya dari leher.

394
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

"Ya, sudah, kamu di sini saja. Ada banyak hal yang


mau kutanyakan pada Ebisawa-san, makanya aku ikut."
"Rencanaku dalam operasi ini hanya bisa membawa
tiga orang saja. Shounen, kamu diperlukan untuk
menjadi umpan buat penjaga sekolah."
"Mana mungkin aku mau!"
"Bercanda. Ayo pergi!"
Dengan paksaan, senpai menggaet lenganku dan
berlari keluar kelas.
Yah, aku pasrah saja. Bolos homeroom sepertinya
tidak masalah, 'kan? Paling-paling aku ditampar lagi
oleh Maki-sensei ....
Selagi berlari menuju gerbang luar, kicauan burung
tiba-tiba terdengar dari atasku. kutengadahkan kepala
untuk melihat langit yang membentang luas di
hadapanku ini. Begitu terangnya sinar mentari di
musim panas membuat burung yang berkicau tadi
tampak berwarna gelap dari sudut penglihatanku.
Tentu saja, spesies burung itu tidak ada di Jepang.
... atau bisa saja memang ada. Burung itu masih
berkicau, dengan sayap-sayap yang patah, ingin
dibentangkannya agar bisa terbang ke angkasa.
Karena itu—
"Nao, buruan! Nanti bisa ketinggalan senpai!"
Chiaki sudah berdiri di dekat gerbang sambil
melambaikan tangannya padaku.

395
Bab 20: Sonata Piano Perpisahan

Aku lalu bergegas dengan kecepatan penuh. Dan


sekali lagi, kicauan burung dari atasku tersebut
membuatku terngiang, alunan yang kembali terdengar,
dan setelahnya melayang jauh ke ujung langit.

396
Tamat

397
Kata Penutup

Di dunia ini terdapat dua jenis novel.


Meski ini mungkin akan terdengar seperti teori
ergonomis sebuah karya seni, dua jenis novel yang
dimaksud di atas adalah novel yang judulnya telah
ditentukan sebelum ditulis dan novel yang baru
memiliki judul setelah selesai ditulis. Penggolongan
tersebut jelas tidak punya pengaruh apa pun terhadap
sang penulis.
Dulu, saya merasa takjub pada novel yang judulnya
telah lebih dahulu ditetapkan. Karena bagi saya,
sekeras apa pun berusaha, saya tidak akan bisa
menentukan judulnya jika masih belum merampungkan
seluruh naskahnya. Sebenarnya, ini hanyalah masalah
keyakinan. Ketika diri kita berpikir tidak bisa
melakukannya, maka hal tersebut akan sungguh tidak
bisa kita lakukan.
Bicara soal itu, novel ini ditulis setelah menetapkan
judul. Butuh waktu sekitar dua minggu untuk menulis
halaman pertama setelah judulnya ditentukan.
"Bagaimana kalau judulnya disesuaikan dengan
nama tokoh utama wanitanya seperti, Mafuyu
Sonata (Sonata Pertengahan Musim Dingin), apakah
akan laris di pasaran? Tentu saja itu diambil dari kata
musim dingin."
"Tolong seriuslah."

398
Kata Penutup

... sambungan telepon yang hangat dari sang editor


sebagaimana di atas menjadi sebuah kenangan manis
tersendiri.
Ludwig van Beethoven, seorang musisi yang
pertama kali menggunakan kekuatan musiknya seorang
diri untuk berjuang agar musiknya itu dapat diterima
sebagai sebuah karya sesungguhnya yang nyaris tanpa
perlu dibayangi sebuah judul. Beberapa komposisi
terkenal seperti <Takdir> ataupun <Sinar Rembulan>
adalah karya gubahannya yang memiliki judul hasil
sematan dari orang lain.
Di sisi lain, ada pula beberapa komposisi istimewa
yang Beethoven beri judul sendiri, di mana komposisi
tersebut dibagi menjadi beberapa sesi yang di
dalamnya pun terkandung kenangan-kenangan yang
istimewa. Contohnya pada komposisi yang sempat
beliau dedikasikan kepada Napoleon, yang kemudian
beliau batalkan karena kemurkaannya akibat penobatan
Napoleon menjadi kaisar, hingga Beethoven pun
merobek sampul yang menyertakan judul kompsisi
tersebut dan membuangnya ke lantai. Cerita itu sudah
cukup umum bagi banyak orang (walau tampaknya
agak cenderung didramatisasi).
Judul komposisi Beethoven yang menjadi inspirasi
dari judul novel ini pun mengandung sebuah kenangan
yang sangat istimewa, karena komposisi tersebut
digubah untuk seorang sahabat. Dan beberapa penerbit
sempat mengubah judulnya ke dalam bahasa Perancis

399
Kata Penutup

yang semula berbahasa Jerman tanpa seizin Beethoven.


Sempat beredar kabar bahwa Beethoven pernah
melayangkan protes terhadap hal itu.
Kemudian setelah lebih 200 tahun wafatnya
Beethoven, judul itu pun dilencengkan menjadi sebuah
judul novel yang diterbitkan di sebuah negara
kepulauan yang berada di ujung timur, yang bercerita
tentang kehidupan SMA dengan sebuah band berisi
tiga orang gadis dan disertai romansa di dalamnya.
Andai Beethoven masih hidup dan tahu soal ini, beliau
pasti akan marah besar. Saya harap ini bisa dimaafkan
dengan tawa kalian.
Omong-omong, bas yang digunakan oleh tokoh
utama pada novel ini sesungguhnya sama dengan yang
saya punya, yaitu Aria Pro II. Saya membelinya enam
tahun yang lalu karena mengikuti hasrat untuk
membentuk sebuah band yang akhirnya pun harus
bubar. Saat saya memeriksanya lagi, bas tersebut sudah
dipenuhi debu di pojokan lorong, dan hingga kini saya
sendiri masih sulit untuk memainkannya.
Jujur, saya akan kesulitan jika ditanya apa alasan
saya membeli alat musik yang saya pun tidak lihai
memainkannya. Meski begitu, itu tidak ada
hubungannya dengan bubarnya band saya.
Ada tidaknya saya sebagai pemain bas, tidak akan
berpengaruh apa-apa. Lalu, apa sebenarnya peran saya
dalam band? Saya di sana menggunakan kibor, dan
semua rangkaian lagunya dimainkan secara otomatis.

400
Kata Penutup

Begitu pula dengan suara drumnya, tinggal pencet tuts


dan cukup didengarkan lewat headphone. Namun
karena bermacam suara dari alat musik harus
dimainkan bersama, saya sungguh kesulitan ketika
harus tampil dalam konser.
Kini saya jadi berpikir, apa mungkin saya bisa
memainkan bas hanya dengan tangan kiri ketika
memencet tuts untuk suara alat musik lain? Andai saya
memang seorang pemain bas sejati, bukankah itu
terdengar kurang pantas?
Itu mungkin menjadi hal yang sangat disesalkan,
dan Aria Pro II mungkin tidak akan ada lagi di toko
alat musik mana pun karena telah dihentikan
produksinya.
Meski begitu, bubarnya band tersebut bukan
dikarenakan ketidakmampuan saya dalam
mengimbangi permainan personel lain, namun lebih
karena ketidakmampuan saya dalam mengimbangi
formasi dengan acuan satu lelaki dan tiga perempuan.
Meski itu hanya persoalan formasi band semata, tapi
acuan emas itu berdampak sangat besar terhadap
kelanggengan masing-masing personelnya.
Tentu saja, saya menulis novel yang tokoh
utamanya seorang pemain bas dengan tiga orang
personel perempuan itu bukan sebagai upaya menebus
hasrat yang berujung kegagalan pada masa muda saya
tadi. Saya berani bersumpah. Jika memang begitu,

401
Kata Penutup

berarti sama saja saya tidak menerima kenyataan dan


melampiaskannya ke dalam dunia 2D, benar, bukan?
Karena ini akan semakin mengungkap hal-hal yang
memalukan di masa lalu, sebaiknya segera saya akhiri
saja kata-kata penutup ini. Lagi pula, ruang untuk
menulisnya sudah tidak cukup.
Editor untuk novel ini, Yuasa-sama, telah bekerja
amat keras dalam penyusunan naskahnya, membuat
segala di dalamnya menjadi sempurna. Saya rasa apa
pun proyek yang melibatkan Anda pasti akan berjalan
lancar. Selaku ilustrator, Ueda Ryou-sama, ilustrasi
yang Anda berikan pada novel ini sungguh
menakjubkan. Omong-omong, saya sendiri sempat
kesulitan saat menentukan gaya rambut masing-masing
tokoh. Lalu untuk para penghuni di sekitar apartemen
saya, mohon maaf untuk kesekiankalinya atas
kegaduhan yang saya perbuat dengan memutar CD
begitu nyaring sewaktu menulis novel ini (saat tengah
malam). Maka dari itu, atas kesempatan yang telah
diberikan ini, saya ucapkan terima kasih yang setinggi-
tingginya bagi kalian semua.

27 September 2007, Hikaru Sugii

402

Anda mungkin juga menyukai