Anda di halaman 1dari 5

Nama : Helda Pratiwi

NIM : 857006106
Kelas : III.A
Makul : Bahasa dan Sastra Indonesia di SD

BADAI YANG REDA

         Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti


rangkaian burung yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang
membuat mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali
kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa orang yang
kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas
terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.
         Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit
Pangandaran yang cerah ini.
         Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di
mana-mana. Banyak wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini.
Entah itu bermain layang-layang atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati
pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di
depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga
karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi
udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku
dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas
tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak
mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk melayani turis-turis
itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.
         Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak
dan tiga orang lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku,
Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang
mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun
menangkap segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy ... itu pemikiran
bodoh! Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan
mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.
         Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di
telingaku. Dibesarkan di pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang
berbeda dari orang lain. Di saat orang lain ketakutan melihat keluarganya
terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut
membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik
menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.
         Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.
         Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku
sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah
memudar—bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih
terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak yang
berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang
memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu,
tapi entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.
         “Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”
         Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu.
“Sanes, Jang. Iyeu Pak Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak,
Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing, mumpung cerah katanya).”
         “Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”
         Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut
laut, hanya saja... seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan
seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi
berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini.
Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.
         “Ah... atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain
kios Uwak-mu sana).”
         Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke
atas perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya... sama seperti
melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak
dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku
tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk
membawanya kembali.
         Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang
ditumpangi Bapak berbalik lagi?
         Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.
         Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang
sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan
sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi
pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku
menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir.
Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap
laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu,
sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan
banyak ketakutan dan kekhawatiran.
         Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan
ombak yang terus membasahi kakiku. Kumohon... kali ini pun, jaga Bapak.
         Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski
kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios
Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku
dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan
sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah
melihat Bapak kembali.
         Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya
turis domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang
koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara
Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun
melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak
Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya
sekaligus tetanggaku—juga.
         “Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos
kitu (suara apa itu? seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”
         Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku
mengabaikan mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios
Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara
yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?
         Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab
itu Uwak tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari
beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia
terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu
menjadi pekikkan ketakutan.
         “Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”
         Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar
Uwak Imas, kini aku bisa mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami.
Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi
aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya
tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti
gerakkan ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak
mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua
bagian tubuhku.
         “Bapak...”
         Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.
         Di dalam kegelapan pandanganku.
***
         Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada,
tidak mudah hilang meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-
paru, serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling
berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak
berhenti bergerak.
         Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan
mata memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa
mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai politik
beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana kain
hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.
         Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan
kehampaannya. Dan aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata
atau bahkan menggerakan kaki untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar,
perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok kurus yang terbujur kaku. Lalu,
seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus menunduk, tidak
mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi
tubuhku sangat deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya
menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.
         Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti
rela berbaring di sana untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak,
semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini.
         Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
         Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus
tubuhku, menyisakan tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana.
Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya terang.
         Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut,
kumohon kali ini—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.

Anda mungkin juga menyukai