Anda di halaman 1dari 2

Nama : Terry Ilham Maulana

Kelas : XI MIPA 6

BADAI YANG REDA


karya Fauzia. A

Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang sedang bermigrasi. Angin
pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali
kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang
tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.

Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran yang cerah ini.

Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana. Banyak wisatawan asing yang
sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain layang-layang atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati
pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan
pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi
udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk
di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau
masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa
“yes” dan “no”.

Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga orang lainnya berada di bibir pantai,
bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang
mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap segerombolan ikan tuna di
tengah laut sana? Eiy … itu pemikiran bodoh! Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan
mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di
telingaku. Dibesarkan di pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain
ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut
membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala
yang kucintai. Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena
terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih
terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat
melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi
entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.

“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”

Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak Sudir ngajak museup,
mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing, mumpung cerah katanya).”

“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja… seperti ada yang
mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi
berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah
laut.

“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan berlayar bersama tiga orang
pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua
belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu,
karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.

Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik lagi? Konyol!
Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.
Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak
menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi
pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau
hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut
sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah
dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.

Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus membasahi
kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari
bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku dengan
semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan
merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak,
hanya turis domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah
pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli
itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan
Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.

“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu? seumur hidup baru dengar suara
ombak seperti itu).”

Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan memilih memandangi
pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang
Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu? Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh
sebab itu Uwak tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk
di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu
menjadi pekikkan ketakutan.

“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku bisa mendengarnya
juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi
aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan
mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku
bergerak mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.

“Bapak…” Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri. Di dalam kegelapan pandanganku.

Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang meski aku meniupnya
terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling
berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.Dalam kericuhan itu,
kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku
tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak
basah kuyup, begitu juga dengan celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.Langit malam di
belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa
mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk,
berjongkok di depan sosok kurus yang terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus
menunduk, tidak mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi tubuhku sangat
deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya
memenuhi paru-paru.

Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana untuk menemani
sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku,
menyisakan tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya
terang. Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—tidak, maksudku
selamanya—jaga Bapak.

Anda mungkin juga menyukai