Anda di halaman 1dari 6

FILOSOFI NELAYAN

Sang mentari mulai menampakan cahayanya yang berwarna oranye itu terhadap Pulau Seliu
ini, burung-burung bernyanyi di pagi hari memamerkan kemerduannya terhadap para
nelayan yang telah bersiap untuk menjerat ikan-ikan di laut . Perahu-perahu itu berlabuh pada
dermaga nan cantik itu. Dari kejauhan tampak hamparan permadani biru tosca dihiasi dengan
buih-buih putih bersih.

Namaku Agus, seorang nelayan yang telah menekuni profesi ini selama 10 tahun. Tidak
seperti biasanya, aku terlelap oleh tidurku hingga melupakan ibadah subuh. Matahari bangun
terlalu pagi hingga rasanya aku baru tidur untuk beberapa menit, Aku beranjak dari ranjang,
lalu mandi dan untuk pergi melaut menjerat ikan-ikan. Teriknya matahari serasa menyengat
kulitku. Terlihat anak-anak kecil sedang bermain kejar kejaran bersama ombak. ‘’lho, kok
kamu baru saja keliatan Gus, tumben mancingnya siang bolong gini?’’ tanya salah seorang
teman nelayanku yang sedang duduk di perahunya dan kulihat hasil tangkapannya yang
terlihat menggiurkan.

‘’Hehe, iya soalnya ketiduran lumayan lama tadi, ndre,’’ jawabku dengan raut muka yang
masih terlihat mengantuk. Tak lama setelah itu aku mulai menaiki perahu dan menyiapkan
alat-alat untuk menangkap ikan.’’Semoga saja aku mendapatkan hasil yang lumayan walau
siang begini.’’ Pikirku dalam hati. Aku melepaskan jangkar yang terkail pada dermaga sembari
mengibarkan layar dan mulai mendayung mengarungi lautan. Angin mulai bertiup dan
mengelus bendera merah putih yang berkibar sedikit malu-malu diatas layar perahu. Ombak
bermain kejar kejaran mencoba mendahului perahu milikku.

Kuhentikan dayungku sembari menggulung layar perahu dan mulai melemparkan jala menuju
permukaan air dengan penuh harap mendapatkan hasil tangkapan yang cukup. Dengan sabar,
kutunggu sambil menatap hamparan perairan biru yang ada dalam pandanganku dengan
tatapan kosong. Telah lama kunantikan jalaku dipenuhi dengan ikan segar, namun hingga sore
ini belum ada satupun ikan yang kudapat.’’ Ah, sial sekali hari ini dari tadi siang hingga sore
ini jalaku tak kunjung dihampiri ikan,’’ ujarku dengan raut wajah yang kecewa dan menyesal.

Aku memutuskan untuk hendak pulang sebelum gelap dan mulai mendayung perahu. Dayung
yang basah disirami dengan air laut yang asin, tak jarang terciprat ke bajuku dan sedikit
membasahi pakaian yang kukenakan.
Piringan matahari mulai lenyap dari cakrawala, burung-burung bersiul pertanda perpisahan
untuk hari ini kepada para nelayan. Dari kejauhan terlihat perahu-perahu itu berlabuh pada
dermaga yang diterangi dengan pijar lentera itu.

Langit mulai gelap, aku berjalan pulang dengan sepasang sendal yang tergesek dengan pasir
hingga menodai kakiku. Kesunyian mulai merayap pada tubuhku, pulang dalam keadaan lelah
dan lapar. Sampailah aku didepan pintu rumah dan masuk ke dalam, mencoba melupakan
pengalaman pahit hari ini. Aku menyantap lauk yang tersedia adanya di dapur, tersisa
sepasang tempe dan tahu dilengkapi dengan nasi yang hanya cukup untuk beberapa suapan.

Aku mendirikan Ibadah malam hingga tertidur pulas, beberapa lama setelah itu aku
terbangun dan melihat lautan yang tenang. ‘’angin dan ombaknya cukup tenang mala mini
apakah bisa sekiranya aku pergi berlayar lagi?’’ pikirku. Akhirnya aku membuat keputusan
untuk berlayar lagi pada malam itu, setidaknya aku perlu mendapat hasil tangkapan untuk
sarapan besok. Aku menyiapkan sebuah lentera minyak dan korek api serta peralatan lainnya
untuk menjerat ikan.

Aku berjalan menuju dermaga itu dan sekelompok nelayan yang masih berada disana
bercakap-cakap dengan angin yang tertiup lembut mengusap kulit mereka. Aroma asin pantai
mulai tercium segar dan rembulan yang bersinar terang. ‘’Assalamu’alaikum, mau berlayar
lagi malam ini Gus?’’ tanya seorang nelayan yang telah berlanjut usia, Pak Andi namanya.
‘’Waalaikumsalam, Iya nih Pak mumpung ombaknya lumayan tenang,’’ jawabku sambil
menatapi pesisir pantai. ‘’Owh begitu hati-hati ya Gus,’’ ujar Pak Andi.

Aku mulai beranjak menaiki perahuku dan meletakan lentera minyakku pada bagian depan
perahu sehingga cukup menerangi perahuku ditengah kegelapan. Aku mulai melepas jangkar
dan mulai mendayung perahu menuju tengah laut, sembari menatap langit malam yang indah
Bulan purnama mengintip melalui awan, bayang-bayangnya menari di permukaan laut dan
bintang-bintang saling mengedipkan mata dalam gelap. Beberapa saat kemudian kuhentikan
dayungku dan mulai menghamparkan jala ku terhadap permukaan laut. Kunantikan dengan
sabar saat Ikan-ikan mulai menghampiri jalaku.
Tak lama setelah itu, aku mendapatkan sekelompok ikan yang menari di dalam jala yang telah
kupasang. ‘’Alhamdulillah, akhirnya dapat juga,’’ Ucapku sembari menarik jalaku dan
meletakan ikan-ikan itu ke dalam jaring. Aku mulai mendayung perahuku dengan tujuan
hendak pulang, tanpa sadar aku telah salah arah.

Tiba-tiba tetesan hujan mulai turun, bunyi gemuruh yang menggelegar membuatku seketika
terkejut dan panik. Angin mulai bertiup dengan kencang hingga membuat bulu kuduk
merinding, awan mulai menghadang rembulan dan membasahi perahuku. Butiran- butiran
bening menari sembari menyatu dengan laut bernyanyi dengan untaian nada yang gemericik,
bersamaan dengan angin yang menerjang alam sang petir pun tak sungkan untuk mengaum.
Ikan-ikan mulai berkejang menaruh harap untuk kembali ke laut. Hujan badai itu semakin
menggelegar

‘’Sial, kenapa harus hujan badai seperti ini’’, pikirku dengan rasa cemas dan panik. Aku
bersembunyi di bawah dek perahuku dengan pijar cahaya lentera minyak, ombak lautan
menjadi semakin ganas dan berusaha melahap perahuku hidup-hidup. Air laut mulai
membanjiri perahu, aku bergegas untuk membuangnya dengan ember dan itu cukup efektif.
Dengan dayungku aku mulai melawan arus ombak yang ganas hendak mencari arah untuk
kembali, perahuku terombang-ambing di tengah laut dengan hujan badai yang menggelegar.
Kilat petir penyambar dalam pandanganku membuat jantung ku hamper copot.

‘’Tuhan, tolonglah hamba, ampunilah segala dosa hamba !’’ teriakku dalam hujan badai yang
menelan suara kecil ku di tengah lautan yang mengganas. Sesaat kemudian ombak setinggi
gunung menggulung perahuk hingga terombang-ambing dengan pijar cahaya lentera minyak
yang berkelap-kelip menyongsong kegelapan. Tanpa sadar tubuhku terbawa oleh arus dan
terusir dari perahu.’’T-tidaaakk.’’ Teriakku dalam gulungan ombak yang mengganas itu.

Secara refleks, kepala ku mendogak ke atas dengan tangan yang bergerak secara acak
berusaha meraih papan perahu. Aku mulai berusaha berenang melawan arus ombak, air laut
memburamkan kedua mataku sembari melihat samar - samar perahuku yang masih berada
di dekatku. Aku mengayuh kedua tangan ku sekuat tenaga yang tersisa, terdengar raungan
petir yang sangat menggelegar. Tak lama setelah itu aku telah berhasil menyentuh papan
perahu dan menopang tubuhku sekuat tenaga, dan beranjak masuk kembali kedalam perahu.
Aku membuka kedua mataku dan memandang langit biru yang cerah. Aku dikejutkan dengan
sekelompok burung pelican yang melahap ikan-ikanku, seketika ku bergegas mengusir
burung-burung itu dan menemukan 2 ikan yang masih tersisa dan dalam keadaan segar. Aku
mengecek lentera minyakku yang telah mati, syukurlah lentera itu tidak rusak. Sekelilingku
hanyalah tersisa lautan yang tenang, matahari yang berada di penghujung langit terhiasi
dengan awan - awan putih selembut kapas.

‘’Para nelayan itu pasti sedang melakukan pencarian untukku,’’ ucapku sembari tetap berpikir
positif. Aku bangun dalam keadaan lapar dan pakaian yang basah kuyup, satu satunya yang
tersisa adalah 2 ikan segar yang kujerat kemarin malam dan lentera minyakku. Pada akhirnya
aku mendapatkan ide dengan membongkar lentera minyakku menjadi sebuah kompor kecil
dan meletakan ikan yang telah kubersihkan untuk dibakar. Waktu yang di butuhkan cukup
lama untuk itu, aku berteriak meminta pertolongan sembari membakar ikan. iba

‘’Tolong, apakah ada seseorang yang dapat mendengarku!’’ teriakku ditengah lautan tak
dikenal ini, namun masih menaruh sepucuk harapan. Aku mengambil kedua dayungku dan
mulai mendayung untuk menemukan daratan. Hamparan lautan ini sangat sunyi, hanya suara
ombak yang dapat terdengar melalui telinga. Angin bertiup lembut mengelus tubuhku yang
basah, bersamaan dengan teriknya mentari yang berusaha untuk mengeringkan tubuh
basahku. Beberapa lama setelah itu, ikan yang kubakar telah matang, langsung kusantap ikan
tersebut dengan lahap karena aku sangat kelaparan sejak kemarin.

Aku masih bersyukur karena dapat bertahan hidup walau dalam kondisi yang tidak terduga
ini, kejadian semalam membuatku berpikir betapa beruntungnya diriku ini. Tiba-tiba aku
merasakan sesuatu yang bergerak di kedalaman laut, sekelompok sirip berwarna gelap
muncul dari permukaan laut yang tidak terlihat asing bagi siapapun yang memandangnya.

Sekelompok hiu berputar mengelilingi perahuku yang tampaknya menungguku untuk mati
kelaparan secara perlahan. Aku mulai mencoba mendayung untuk melarikan diri namun
sekelompok hiu itu masih mengejarku, dan berusaha untuk mematahkan salah satu
dayungku, namun beruntung kami dipisahkan dengan ombak-ombak laut yang mulai
meninggi.
Kepalaku mendadak pusing seperti berputar dan tenggorokanku mulai terasa kering,’’Apakah
aku terkena dehidrasi?’’ pikirku dengan rasa sakit pada bagian kepala, namun samar-samar
terlihat dikejauhan aku melihat sebuah pulau. Melihat itu aku segera mendayung dengan
sekuat tenagaku yang tersisa menuju pulau tersebut, rasa sakit tak tertahankan di
tenggorokanku sangat menyiksaku dari dalam. Benar kata sekelompok hiu itu, perlahan aku
akan mati di tengah lautan ini jika hanya berdiam diri.

Ombak yang berlarian mulai membantuku menuju pulau tersebut, sepucuk kesempatan
untuk menerima pertolongan sedang berada di hadapan kedua mataku. Saat ini yang bisa
kulakukan hanyalah mendayung dan terus mendayung hingga sampai di pulau tersebut. Senja
telah tiba, mencoba untuk mengancamku sebelum kegelapan datang menyusulku. Aku
bahkan tidak tau apakah pulau itu nyata atau hanya sekedar fatamorgana belaka.

Beberapa lama setelah itu aku telah sampai di pesisir pantai, rembulan telah menerangi bibir
pantai itu, dengan bintang-bintang yang berkedip memandangi diriku yang sudah tidak dapat
menahan rasa sakit ini. ‘’T-tolong, uhuk.. uhuk.. tolong!’’ ucapku berusaha untuk berteriak
aku mencoba merangkak keluar dari perahu agar tubuhku mudah ditemukan. Samar-samar
kulihat sekelompok orang berlari kearahku dengan pijar obor yang sungguh terang sebelum
kupejamkan kedua mataku.

Aku bangun dalam sebuah ruangan yang berisi seorang dokter berpakaian putih, ‘’ah kau
sudah sadar ya?’’ ujar pria tersebut.’’Dimana aku?’’ tanyaku dengan nada bicara yang sangat
letih.’’Anda sedang berada di rumah sakit, beberapa warga sekitar menemukan anda di
pesisir pantai malam kemarin, tampaknya anda telah mengalami dehidrasi berat.’’ Ungkap
dokter itu. ‘’Bagaimana anda bisa terdampar disini, apa yang terjadi ?’’ tanya dokter tersebut
kepadaku, lalu aku menceritakan semua peristiwa malam itu, suatu peristiwa yang tidak akan
kulupakan keberadaanya dalam hidupku, hingga aku kembali pada kampung halamanku.

Menjadi nelayan bukanlah suatu hal yang mudah, nelayan adalah manusia yang telah
mengarungi berbagai macam lautan, mereka rela menguras keringat mereka yang terbaluti
perjuangan demi ikan-ikan yang didapatkannya. Laut adalah sumber kehidupan dan tempat
para nelayan menumpahkan keringat mereka. Tarikan jala yang bertenaga dipenuhi ikan -ikan
yang menari, berat beban yang dipikul mereka tiap harinya dan semua kegiatan sehari-
harinya terbungkus dalam suatu hikayat perjalanan yang disebut ‘’filosofi nelayan’’.
BIODATA PENULIS

Nama : Rifqi Muhammad Bimasakti

ID Instagram : @myschacc

No Whatsapp : 087728078931

E-mail : bimoto653@gmail.com

Alamat : JL. Bukit Kemuning Raya NO 409 A RT 08/RW 021 Kel. Sendangmulyo,
Kec.Tembalang Kota Semarang, Jawa tengah, 50272

Anda mungkin juga menyukai