Anda di halaman 1dari 1

Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku.

Dibesarkan di
pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain
ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh
daripada itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman,
berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.

Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum.
Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi
karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi
keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air
laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi
entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.

“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”


Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak
Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing,
mumpung cerah katanya).”
“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja…
seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering
kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku
merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.

Anda mungkin juga menyukai