Dibesarkan di
pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain
ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh
daripada itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman,
berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.
Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum.
Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi
karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi
keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air
laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi
entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.
Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja…
seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering
kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku
merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.