Anda di halaman 1dari 3

KAMPUNG PESISIR TAK LAGI BERPASIR

Oleh: Sa’adatul Lutfiyah


21020074033/PA 21
Sebuah daerah yang terletak di ujung timur Jawa Tengah berbatasan dengan
provinsi jawa Timur yakni Kecamatan Sarang. Desaku itu terletak di Kecamatan
Sarang, Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Letaknya yang strategis berdekatan
dengan jalan raya dan laut utara yang kaya akan ikan. Di Kecamatan Sarang
masyarakat hidup berdampingan dengan para santri. Orang-orang menyebutnya
kota santri. Setiap sudutnya ramai oleh para santri dari penjuru negeri bahkan luar
negeri. Mereka datang dengan tujuan mulia, bukan sekadar lahir di tempatnya
karena takdir sepertiku. Padatnya penduduk ditambah kehadiran para santri
membuat lingkungan menjadi sesak. Gedung-gedung berlomba-lomba dibangun
menjulang tinggi. Dari atas gedung Aku dapat melihat hamparan laut biru
membentang luas dihiasi ribuan kapal para nelayan. Kapal milik nelayan terparkir di
pinggir laut mulai dari yang besar hingga perahu kecil.
Dulu setiap pagi selepas subuh aku pergi ke bibir pantai untuk berenang di
laut. Hawa dingin tak membuat nyaliku ciut bergabung dengan gelombang laut. Laut
selalu ramai oleh aktivitas masyarakat setempat. Mulai Sebagian besar bersiap
untuk pergi berlayar, bahkan ada yang telah selesai berlayar. Ada yang akan pergi
ada pula yang telah sampai. Orang-orang datang dan pergi. Ibu-ibu berbondong-
bondong menyerbu ikan-ikan segar yang dibawa para nelayan. Suara mesin kapal
mulai terdengar tanda para nelayan siap berangkat mencari ikan. Semangat para
nelayan terdengar lewat suara mesin. Satu persatu kapal mulai berlayar menuju ke
lautan bebas meninggalkan daratan. Sayangnya dari perpisahan tersebut tidak ada
lambaian tangan.
Meski para nelayan sudah pergi bibir pantai tetap ramai oleh ibu-ibu dan
anak-anak. Jual beli ikan tetap berlangsung bahkan terpantau semakin ramai. Aku
beserta teman-teman tak mau kehilangan kesempatan emas berenang di laut.
Berenang di laut menjadi aktivitas tetap bagiku di setiap hari minggu. Deburan
ombak menerpa wajahku, rasa asin tentu terasa di bibir. Aku bergandengan tangan
bersama teman-teman siap menghadapi ombak laut. Tubuhku serasa terbang ketika
gelombang besar menghantam. Selain berenang aku juga membuat istana pasir
yang mewah dan luas. Di bibir pantai juga terdapat banyak kerang mulai dari kerang
hijau di bebatuan dan kerang kecil di pasir semua itu gratis tinggal mengambil saja.
Namun sejak tahun 2020 dibangun jalan alternatif dekat bibir pantai yang
menghubungkan antar desa di kecamatan Sarang, aktivitas masyarakat menjadi
berubah. Kapal-kapal yang dulu terparkir di bibir pantai terpaksa harus dipindah.
Nelayan kesulitan mendapat lahan parkir dan mengamankan tali jangkar. Akses
menuju pantai menjadi sulit karena terhalang jalan alternatif. Jika ingin pergi ke laut
aku harus melompat ke pinggiran pasir melewati pembatas jalan setinggi 3 meter.
Bisa patah kakiku jika melompat dari sana. Untungnya para nelayan membuat
tangga dari bambu sebagai akses ke bibir pantai. Namun karena malam hari air laut
pasang, bambu-bambu menjadi rapuh dan rusak. Nelayan terpaksa memindahkan
kapalnya ke tempat lain. Tidak ada lagi keramaian di bibir pantai saat pagi. Ibu-ibu
harus pergi ke pasar terlebih dahulu untuk membeli ikan. Tawar menawar menjadi
lebih panjang karena harganya lebih mahal dari nelayan. Berenang di laut menjadi
kesempatan langkah bagi anak-anak. Kerang yang di bibir pantai hilang karena
terkubur jalanan. Anak-anak tidak dapat lagi bermain sepak bola dan layang-layang.
Aktivitas di pagi hari menjadi berbeda. Bibir pantai sudah menjadi jalan
penghubung antar desa yang memudahkan masyarakat dalam mengakses desa
sekitar. jalanan masih terasa ramai karena disulap menjadi lahan dagang. Banyak
warung-warung berjajaran sepanjang jalan. Mulai dari berjualan jajanan pasar kopi,
makanan ringan, pecel, rujak, bubur petis, dan warung angkringan lainnya. Jalan
alternatif berubah menjadi sentra wisata kuliner yang digemari banyak orang. Setiap
pagi ketika libur kuliah aku membeli bubur petis di tepi jalan sambil memandang laut.
Aku sangat senang bisa sarapan bubur petis di iringi suara deburan ombak. Perut
kenyang ditambang cuci mata membuat hatiku semakin senang. Banyaknya
makanan yang beragam dengan pemandangan laut juga menjadi daya tarik
tersendiri. Orang-orang biasanya melakukan jalan pagi dan membeli makanan
untuk sarapan.
Tetapi di bangunnya jalan alternatif tersebut juga menjadi ancaman bagi
warga setempat. Aku dapat melihat orang-orang nakal yang mengambil pasir di laut
ketika malam hari. Mereka sengaja melakukannya di malam hari karena tidak terlalu
terlihat, dan minim terciduk oleh polisi. Jika pengambilan pasir tersebut terus
berlangsung desaku bisa terkena abrasi. Jalanan yang baru berdiri selama empat
tahun bisa roboh terkikis ombak, padahal dana pembangunannya cukup besar.
Sampai saat ini aksi pengambilan pasir masih terjadi di kampungku meskipun
jalanan mulai berlubang akibat abrasi kecil. Pemerintah setempat hanya bungkam
karena merasa sungkan pada rakyatnya sendiri. Aku sungguh merasa geram
dengan pencuri pasir itu.
Perbedaan kehidupan di kampung halaman beberapa tahun lalu dan
sekarang jelas terlihat. aktivitas masyarakat berubah secara spesifik. Bibir pantai
dahulu ramai para nelayan berubah menjadi ramai oleh pedagang dan wisatawan.
Tidak ada lagi anak-anak yang berenang di pantai mereka harus pergi ke pantai
perbatasan agar dapat berenang di pantai.
Gambar: Lutfi

Anda mungkin juga menyukai