“Ya mau bagaimana lagi, seperti tidak tahu saja kalau banyak takdir
Allah yang tidak bisa ditebak. Bisa jadi hari ini terus-menerus
pasang, tapi siapa tau besok tiba-tiba surut. Kalaupun Allah belum
memberikan kejutan besok, masih ada lusa, masih ada hari esok.”
Jelas abah panjang lebar sambil membetulkan antena radio.
Evaluasi
Kehidupan dari laut memang tidak selalu pasti. Pernah suatu ketika
aku mengutarakan pada abah bahwa aku ingin menjadi nelayan,
namun abah menentang kuat.
“Abah akan tetap berusaha menyekolahkanmu tinggi-tinggi, agar
engkau, Hikam, bisa menjadi pegawai negeri, bisa lebih baik dari
abah. Kalau kau memang tidak ingin menjadi pegawai pemerintah,
jadilah apa saja, tapi jangan nelayan.” Nasihat abah panjang lebar.
Aku tahu alasan abah memintaku untuk tidak menjadi nelayan pasti
karena beliau begitu menyayangiku. Namun aku punya alasan kuat
untuk cita-citaku.
Hampir satu jam berkutat dengan ikan, inilah saatnya menjual ikan-
ikan tadi ke pasar yang lokasinya tidak jauh dari pantai.
Resolusi
“Biarkan saja,itu rezeki dia, yang ini rezeki kita.” ujar abah sambil
menunjuk ember yang kubawa.
“Tapi Bang Togar curang, Abah. Dia menangkap ikan yang masih
kecil. Dia pakai pukat, pakai racun, pakai bom, pakai…” kalimatku
terputus.
Abah tertawa kecil, “Tapi jangan lupa, masih banyak nelayan yang
jujur, yang mau bersabar menjemput rezekinya dengan cara halal.”
“Tentu saja! Kalau perlu, merantaulah yang jauh agar ketika kau
pulang, Hikam, alih-alih menjadi pegawai pemerintah, kau bisa
menjadi orang besar!” ujar abah berapi-api.
“Apa yang bisa kau banggakan dari seorang nelayan, Hikam? Jika
diberi pilihan, abahmu akan memilih tinggal di kota, menjadi kuli
atau pedagang ketimbang nelayan. Kau tau, sekalipun laut kita
kaya, namun perjuangan untuk mendapatkannya bertaruh nyawa!
Kau tidak tau bahaya apa yang sedang menunggu di tengah laut
sana, angin apa yang akan menghempaskan perahumu, atau
makhluk laut seperti apa yang akan merusak kapalmu!” Abah
menjelaskan dengan nada tinggi.