Anda di halaman 1dari 8

Suasana pesisir pantai tampak lengang.

Dari jendela rumah,


aktivitas pedagang yang biasanya tumpah ruah di tepi pantai
sedang tak tampak, hanya terlihat beberapa pedagang ikan yang
membereskan terpal untuk tempat menggelar ikan hasil tangkapan.

Sudah belasan tahun aku hidup di pesisir, mengamati aktivitas


warga Kampung Kalongan yang tidak pernah surut. Namanya
Kampung Kalongan.

Dijuluki begitu karena aktivitas warga, terutama para nelayan,


dimulai malam hari, bak kalong atau kelelawar yang aktif di waktu
malam.

Ketika pagi menjelang, iring-iringan kapal nelayan tradisional yang


masih mengandalkan angin berebut menepi di pesisir disambut
anak istri mereka yang siap menjual hasil tangkapan pada
tengkulak atau pembeli yang jauh-jauh datang dari kota.

Berbeda dengan nelayan tradisional, nelayan dengan perahu


bermotor dapat melaut kapan saja, asalkan cuaca mendukung.
Sayangnya beberapa hari ini suasana tampak berbeda.

Gelombang sedang pasang. Tidak ada nelayan yang berani


menantang maut, termasuk abah, sekalipun bulan ini ikan-ikan
yang harganya melambung di pasaran sedang melimpah.

Abah memilih menyeruput kopi panas sambil mendengarkan lagu


lawas dari radio tuanya yang sering dibawa melaut.

Abah, kalau besok gelombang tidak juga surut, bagaimana?”


tanyaku. Abah melirik sebentar, kemudian menyeruput kembali kopi
panasnya.

“Ya mau bagaimana lagi, seperti tidak tahu saja kalau banyak takdir
Allah yang tidak bisa ditebak. Bisa jadi hari ini terus-menerus
pasang, tapi siapa tau besok tiba-tiba surut. Kalaupun Allah belum
memberikan kejutan besok, masih ada lusa, masih ada hari esok.”
Jelas abah panjang lebar sambil membetulkan antena radio.

“Bukan begitu, Abah. Maksud Hikam, bagaimana uang bulanan


sekolah yang sudah ditagih sejak kemarin?”

Abah menarik napas dalam-dalam, “Tenanglah, Hikam. Berdoalah


yang banyak. Mintalah keajaiban pada Allah. Terkadang, hal yang
tidak terduga justru muncul di akhir pengharapan, saat kita benar-
benar pasrah pada yang kuasa.” kemudian tersenyum.
Meneduhkan. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata abah.

Aku kembali menatap ke arah laut yang gelombangnya semakin


lama semakin tinggi. Tak mungkin aku memaksa abah untuk
melaut, apalagi menggantikan beliau.

Tubuh jangkungku akan langsung dihempas ombak, seperti Anom,


sahabatku yang nekat melaut hanya karena ingin membeli mobil
radio kontrol dengan uangnya sendiri.

Ia tidak mengindahkan larangan abahnya dan malah nekat melaut


diam-diam.

Untunglah ketika perahunya terbalik dihempas gelombang, ada


nelayan lain yang melintas dan langsung menolongnya sehingga
Anom bisa selamat.

Aku tidak seberani Anom. Jangankan sampai ke laut, menyentuh


perahu abah saja rasanya sudah berdebar-debar.

Dari kejauhan, terlihat jelas ombak yang meninggi tetap berkejar-


kejaran dengan irama tak beraturan, sedangkan matahari
tampaknya akan membiarkan sang ombak berkejar-kejaran dalam
kegelapan.

Matahari memilih kembali ke tempat peraduannya. Pemandangan


langit di pantai Sabtu sore ini indah dan romantis, kontras dengan
gelombang laut yang semakin beringas.

Barangkali benar kata abah, sebaiknya malam ini banyak-banyak


berdoa pada Allah dan segera tidur. Masih ada hari Minggu.
Semoga Allah memberikan keajaibanNya agar abah bisa melaut.

Evaluasi

Terbukti kata abah. Allah selalu punya rencana terbaik.


KeajaibanNya membuat aktivitas para nelayan kembali seperti
semula, bahkan tidak sampai menunggu Minggu.

Sabtu malam di pesisir pantai sudah dipadati nelayan yang akan


berangkat melaut.

Aku terbangun mendengar deru perahu bermotor yang dipadu


dengan sahut-sahutan suara nelayan yang saling menyemangati.

Nelayan dengan perahu bermotor sudah berangkat lebih dulu,


sedangkan nelayan lain yang menggunakan perahu tradisional atau
perahu berlayar masih berkutat dengan persiapan jaring ikannya
masing-masing, tak terkecuali abah.

Tiupan angin cukup kencang untuk membuat perahu layar


mengarungi lautan.

Maha Kuasa Allah, dengan kekuatanNya, malam ini angin yang


bertiup dari darat ke lautan seakan memberi harapan baru bagi
para nelayan.

Esok hari, angin dengan arah berlawanan akan membawa nelayan


kembali pulang, membawa penghidupan.

Tiba-tiba aku teringat surat yang sering dibaca abah berulang-ulang


sebelum melaut. Surat Yusuf ayat 22. Kata beliau, ayat tersebut
senantiasa mengingatkan abah untuk bersyukur.

Sayangnya, sekalipun abah sering melaut, aku tidak diijinkan abah


untuk ikut.

Tugasku menjaga rumah selagi abah belum kembali. Sejak ibu


tiada, rumah berukuran kecil ini tidak pernah dihuni lebih dari dua
orang selain aku dan abah.

Beliau bekerja siang-malam untuk membiayaiku di sekolah


menengah yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Hampir seluruh
teman-temanku adalah anak nelayan.

Cita-cita mereka adalah sekolah di luar daerah, kemudian menjadi


pegawai negeri. Orang tua mereka juga mengharapkan anaknya
tidak menjadi nelayan.

Kehidupan dari laut memang tidak selalu pasti. Pernah suatu ketika
aku mengutarakan pada abah bahwa aku ingin menjadi nelayan,
namun abah menentang kuat.
“Abah akan tetap berusaha menyekolahkanmu tinggi-tinggi, agar
engkau, Hikam, bisa menjadi pegawai negeri, bisa lebih baik dari
abah. Kalau kau memang tidak ingin menjadi pegawai pemerintah,
jadilah apa saja, tapi jangan nelayan.” Nasihat abah panjang lebar.

Aku tahu alasan abah memintaku untuk tidak menjadi nelayan pasti
karena beliau begitu menyayangiku. Namun aku punya alasan kuat
untuk cita-citaku.

Semburat matahari mulai terlihat. Sebagian perahu yang melaut


malam tadi sudah menepi di pesisir. Aku berlari-lari kecil karena
kulihat perahu abah mulai terlihat di kejauhan.

Biasanya beliau meminta tolong kuli untuk membantu


membawakan hasil tangkapan, namun kali ini aku berniat
membantu abah sendiri.

Senyum abah merekah seiring dengan mendekatnya perahu ke tepi


pantai. Aku yakin, abah mendapat banyak ikan hari ini.

“Bagaimana, Abah?” tanyaku sambil membantu abah mendorong


perahu untuk menepi.

“Alhamdulillah…esok hari engkau bisa membayar sekolah, Hikam.”


ujar beliau sambil mengelus kepalaku. Kulihat ada banyak ikan
tertangkap di jaring abah.

Beberapa ikan berukuran sangat besar, beberapa yang lebih kecil


ukurannya seperti paha orang dewasa, dan ikan-ikan yang sebesar
telapak tangan banyak tersangkut di jaring abah.
Aku membantu abah melepaskan ikan-ikan dari jala dan
memasukkannya dalam ember.

Ikan-ikan itu menggelepar-gelepar di tangan, membuatku kesulitan


untuk memindahkannya, namun abah dengan cekatan
memasukkan ikan tangkapannya ke dalam ember.

Hampir satu jam berkutat dengan ikan, inilah saatnya menjual ikan-
ikan tadi ke pasar yang lokasinya tidak jauh dari pantai.

Ketika akan mengangkat ember, bang Togar, nelayan senior di


kampung sedang meminta para kuli membantu membawakan hasil
tangkapannya. Aku menyenggol lengan abah,

Resolusi

“Abah, lihat Bang Togar.” kemudian abah melirik sekilas.

“Biarkan saja,itu rezeki dia, yang ini rezeki kita.” ujar abah sambil
menunjuk ember yang kubawa.

“Tapi Bang Togar curang, Abah. Dia menangkap ikan yang masih
kecil. Dia pakai pukat, pakai racun, pakai bom, pakai…” kalimatku
terputus.

“Apakah kau iri dengan rezeki yang ia peroleh, Hikam?”

Aku menggeleng kuat, “Hikam hanya…mm…kasihan ikannya.


Kasihan laut kita, Abah. Pasti banyak yang rusak kalau
menangkapnya dengan cara kasar begitu. Kasihan Bang Togar
juga menjemput rezekinya dengan cara yang tidak halal. Orang lain
yang tidak peduli dengan laut kita akan meniru cara Bang Togar.
Sekali dua kali sih tidak masalah, tapi hidup kita terlalu
mengandalkan laut, Abah. Hikam takut laut kita rusak dan tidak
dapat memenuhi kebutuhan kita lagi.”

Abah tertawa kecil, “Tapi jangan lupa, masih banyak nelayan yang
jujur, yang mau bersabar menjemput rezekinya dengan cara halal.”

Kemudian, abah berjalan mendahuluiku menuju pedagang pasar


yang sudah melambai-lambai menantikan hasil tangkapan.

Pikiranku berkecamuk. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa


kalau hari ini hanya Bang Togar yang curang, besok tidak ada yang
meniru.

Ketika kebutuhan hidup meningkat, akan ada nelayan lain yang


memilih jalan seperti bang Togar. Dan hal tersebut tidak boleh
dibiarkan.

Tawar-menawar antara pedagang pasar dan abah berlangsung


cepat. Abah menerima beberapa lembar uang limapuluh ribuan
setelah terjadi kesepakatan.

Inilah saat yang paling ditunggu. Abah memberikan separuh uang


yang beliau peroleh padaku,

“Untuk membayar uang sekolah.” ujar abah.

“Abah, apakah Hikam harus sekolah setinggi-tingginya?” tanyaku.


Aku tidak berani menatap abah. Kakiku menyaruk-nyaruk pecahan
kerang di atas pasir.

“Tentu saja! Kalau perlu, merantaulah yang jauh agar ketika kau
pulang, Hikam, alih-alih menjadi pegawai pemerintah, kau bisa
menjadi orang besar!” ujar abah berapi-api.

“Abah, Hikam ingin menjadi nelayan, meneruskan Abah.” ujarku


lirih. Abah tersentak.

“Apa yang bisa kau banggakan dari seorang nelayan, Hikam? Jika
diberi pilihan, abahmu akan memilih tinggal di kota, menjadi kuli
atau pedagang ketimbang nelayan. Kau tau, sekalipun laut kita
kaya, namun perjuangan untuk mendapatkannya bertaruh nyawa!
Kau tidak tau bahaya apa yang sedang menunggu di tengah laut
sana, angin apa yang akan menghempaskan perahumu, atau
makhluk laut seperti apa yang akan merusak kapalmu!” Abah
menjelaskan dengan nada tinggi.

“Laut terlalu berbahaya untukmu, Hikam.” nada bicaranya


merendah. Tanpa menoleh sedikit pun, abah berjalan
meninggalkanku.

Anda mungkin juga menyukai