Anda di halaman 1dari 10

Nama : E.

Muhammad Sudarmawijaya

Kelas : 9E

NO : 11

Judul: Menjadi Nelayan


Orientasi

Suasana pesisir pantai tampak lengang. Dari jendela rumah,


aktivitas pedagang yang biasanya tumpah ruah di tepi pantai
sedang tak tampak, hanya terlihat beberapa pedagang ikan
yang membereskan terpal untuk tempat menggelar ikan hasil
tangkapan.

Sudah belasan tahun aku hidup di pesisir, mengamati


aktivitas warga Kampung Kalongan yang tidak pernah surut.
Namanya Kampung Kalongan.

Dijuluki begitu karena aktivitas warga, terutama para


nelayan, dimulai malam hari, bak kalong atau kelelawar yang
aktif di waktu malam.

Ketika pagi menjelang, iring-iringan kapal nelayan tradisional


yang masih mengandalkan angin berebut menepi di pesisir
disambut anak istri mereka yang siap menjual hasil
tangkapan pada tengkulak atau pembeli yang jauh-jauh
datang dari kota.

Berbeda dengan nelayan tradisional, nelayan dengan perahu


bermotor dapat melaut kapan saja, asalkan cuaca
mendukung. Sayangnya beberapa hari ini suasana tampak
berbeda.

Gelombang sedang pasang. Tidak ada nelayan yang berani


menantang maut, termasuk abah, sekalipun bulan ini ikan-
ikan yang harganya melambung di pasaran sedang
melimpah.
Abah memilih menyeruput kopi panas sambil mendengarkan
lagu lawas dari radio tuanya yang sering dibawa melaut.

Komplikasi

“Abah, kalau besok gelombang tidak juga surut,


bagaimana?” tanyaku. Abah melirik sebentar, kemudian
menyeruput kembali kopi panasnya.

“Ya mau bagaimana lagi, seperti tidak tahu saja kalau banyak
takdir Allah yang tidak bisa ditebak. Bisa jadi hari ini terus-
menerus pasang, tapi siapa tau besok tiba-tiba surut.
Kalaupun Allah belum memberikan kejutan besok, masih ada
lusa, masih ada hari esok.” Jelas abah panjang lebar sambil
membetulkan antena radio.

“Bukan begitu, Abah. Maksud Hikam, bagaimana uang


bulanan sekolah yang sudah ditagih sejak kemarin?”

Abah menarik napas dalam-dalam, “Tenanglah, Hikam.


Berdoalah yang banyak. Mintalah keajaiban pada Allah.
Terkadang, hal yang tidak terduga justru muncul di akhir
pengharapan, saat kita benar-benar pasrah pada yang
kuasa.” kemudian tersenyum. Meneduhkan. Dalam hati aku
mengiyakan kata-kata abah.

Aku kembali menatap ke arah laut yang gelombangnya


semakin lama semakin tinggi. Tak mungkin aku memaksa
abah untuk melaut, apalagi menggantikan beliau.

Tubuh jangkungku akan langsung dihempas ombak, seperti


Anom, sahabatku yang nekat melaut hanya karena ingin
membeli mobil radio kontrol dengan uangnya sendiri.

Ia tidak mengindahkan larangan abahnya dan malah nekat


melaut diam-diam.

Untunglah ketika perahunya terbalik dihempas gelombang,


ada nelayan lain yang melintas dan langsung menolongnya
sehingga Anom bisa selamat.

Aku tidak seberani Anom. Jangankan sampai ke laut,


menyentuh perahu abah saja rasanya sudah berdebar-debar.

Dari kejauhan, terlihat jelas ombak yang meninggi tetap


berkejar-kejaran dengan irama tak beraturan, sedangkan
matahari tampaknya akan membiarkan sang ombak berkejar-
kejaran dalam kegelapan.

Matahari memilih kembali ke tempat peraduannya.


Pemandangan langit di pantai Sabtu sore ini indah dan
romantis, kontras dengan gelombang laut yang semakin
beringas.

Barangkali benar kata abah, sebaiknya malam ini banyak-


banyak berdoa pada Allah dan segera tidur. Masih ada hari
Minggu. Semoga Allah memberikan keajaibanNya agar abah
bisa melaut.

Evaluasi

Terbukti kata abah. Allah selalu punya rencana terbaik.


KeajaibanNya membuat aktivitas para nelayan kembali
seperti semula, bahkan tidak sampai menunggu Minggu.

Sabtu malam di pesisir pantai sudah dipadati nelayan yang


akan berangkat melaut.

Aku terbangun mendengar deru perahu bermotor yang


dipadu dengan sahut-sahutan suara nelayan yang saling
menyemangati.

Nelayan dengan perahu bermotor sudah berangkat lebih


dulu, sedangkan nelayan lain yang menggunakan perahu
tradisional atau perahu berlayar masih berkutat dengan
persiapan jaring ikannya masing-masing, tak terkecuali abah.

Tiupan angin cukup kencang untuk membuat perahu layar


mengarungi lautan.
Maha Kuasa Allah, dengan kekuatanNya, malam ini angin
yang bertiup dari darat ke lautan seakan memberi harapan
baru bagi para nelayan.

Esok hari, angin dengan arah berlawanan akan membawa


nelayan kembali pulang, membawa penghidupan.

Tiba-tiba aku teringat surat yang sering dibaca abah


berulang-ulang sebelum melaut. Surat Yusuf ayat 22. Kata
beliau, ayat tersebut senantiasa mengingatkan abah untuk
bersyukur.

Sayangnya, sekalipun abah sering melaut, aku tidak diijinkan


abah untuk ikut.

Tugasku menjaga rumah selagi abah belum kembali. Sejak


ibu tiada, rumah berukuran kecil ini tidak pernah dihuni lebih
dari dua orang selain aku dan abah.

Beliau bekerja siang-malam untuk membiayaiku di sekolah


menengah yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Hampir
seluruh teman-temanku adalah anak nelayan.

Cita-cita mereka adalah sekolah di luar daerah, kemudian


menjadi pegawai negeri. Orang tua mereka juga
mengharapkan anaknya tidak menjadi nelayan.

Kehidupan dari laut memang tidak selalu pasti. Pernah suatu


ketika aku mengutarakan pada abah bahwa aku ingin
menjadi nelayan, namun abah menentang kuat.

“Abah akan tetap berusaha menyekolahkanmu tinggi-tinggi,


agar engkau, Hikam, bisa menjadi pegawai negeri, bisa lebih
baik dari abah. Kalau kau memang tidak ingin menjadi
pegawai pemerintah, jadilah apa saja, tapi jangan nelayan.”
Nasihat abah panjang lebar.

Aku tahu alasan abah memintaku untuk tidak menjadi


nelayan pasti karena beliau begitu menyayangiku. Namun
aku punya alasan kuat untuk cita-citaku.

Semburat matahari mulai terlihat. Sebagian perahu yang


melaut malam tadi sudah menepi di pesisir. Aku berlari-lari
kecil karena kulihat perahu abah mulai terlihat di kejauhan.

Biasanya beliau meminta tolong kuli untuk membantu


membawakan hasil tangkapan, namun kali ini aku berniat
membantu abah sendiri.

Senyum abah merekah seiring dengan mendekatnya perahu


ke tepi pantai. Aku yakin, abah mendapat banyak ikan hari
ini.

“Bagaimana, Abah?” tanyaku sambil membantu abah


mendorong perahu untuk menepi.

“Alhamdulillah…esok hari engkau bisa membayar sekolah,


Hikam.” ujar beliau sambil mengelus kepalaku. Kulihat ada
banyak ikan tertangkap di jaring abah.

Beberapa ikan berukuran sangat besar, beberapa yang lebih


kecil ukurannya seperti paha orang dewasa, dan ikan-ikan
yang sebesar telapak tangan banyak tersangkut di jaring
abah.

Aku membantu abah melepaskan ikan-ikan dari jala dan


memasukkannya dalam ember.

Ikan-ikan itu menggelepar-gelepar di tangan, membuatku


kesulitan untuk memindahkannya, namun abah dengan
cekatan memasukkan ikan tangkapannya ke dalam ember.

Hampir satu jam berkutat dengan ikan, inilah saatnya


menjual ikan-ikan tadi ke pasar yang lokasinya tidak jauh
dari pantai.

Ketika akan mengangkat ember, bang Togar, nelayan senior


di kampung sedang meminta para kuli membantu
membawakan hasil tangkapannya. Aku menyenggol lengan
abah,

Resolusi

Abah, lihat Bang Togar.” kemudian abah melirik sekilas.


“Biarkan saja,itu rezeki dia, yang ini rezeki kita.” ujar abah
sambil menunjuk ember yang kubawa.

“Tapi Bang Togar curang, Abah. Dia menangkap ikan yang


masih kecil. Dia pakai pukat, pakai racun, pakai bom,
pakai…” kalimatku terputus.

“Apakah kau iri dengan rezeki yang ia peroleh, Hikam?”

Aku menggeleng kuat, “Hikam hanya…mm…kasihan


ikannya. Kasihan laut kita, Abah. Pasti banyak yang rusak
kalau menangkapnya dengan cara kasar begitu. Kasihan
Bang Togar juga menjemput rezekinya dengan cara yang
tidak halal. Orang lain yang tidak peduli dengan laut kita
akan meniru cara Bang Togar. Sekali dua kali sih tidak
masalah, tapi hidup kita terlalu mengandalkan laut, Abah.
Hikam takut laut kita rusak dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan kita lagi.”

Abah tertawa kecil, “Tapi jangan lupa, masih banyak nelayan


yang jujur, yang mau bersabar menjemput rezekinya dengan
cara halal.”

Kemudian, abah berjalan mendahuluiku menuju pedagang


pasar yang sudah melambai-lambai menantikan hasil
tangkapan.

Pikiranku berkecamuk. Tidak ada yang dapat menjamin


bahwa kalau hari ini hanya Bang Togar yang curang, besok
tidak ada yang meniru.

Ketika kebutuhan hidup meningkat, akan ada nelayan lain


yang memilih jalan seperti bang Togar. Dan hal tersebut tidak
boleh dibiarkan.

Tawar-menawar antara pedagang pasar dan abah


berlangsung cepat. Abah menerima beberapa lembar uang
limapuluh ribuan setelah terjadi kesepakatan.

Inilah saat yang paling ditunggu. Abah memberikan separuh


uang yang beliau peroleh padaku,

“Untuk membayar uang sekolah.” ujar abah.


“Abah, apakah Hikam harus sekolah setinggi-tingginya?”
tanyaku. Aku tidak berani menatap abah. Kakiku menyaruk-
nyaruk pecahan kerang di atas pasir.

“Tentu saja! Kalau perlu, merantaulah yang jauh agar ketika


kau pulang, Hikam, alih-alih menjadi pegawai pemerintah,
kau bisa menjadi orang besar!” ujar abah berapi-api.

“Abah, Hikam ingin menjadi nelayan, meneruskan Abah.”


ujarku lirih. Abah tersentak.

“Apa yang bisa kau banggakan dari seorang nelayan,


Hikam? Jika diberi pilihan, abahmu akan memilih tinggal di
kota, menjadi kuli atau pedagang ketimbang nelayan. Kau
tau, sekalipun laut kita kaya, namun perjuangan untuk
mendapatkannya bertaruh nyawa! Kau tidak tau bahaya apa
yang sedang menunggu di tengah laut sana, angin apa yang
akan menghempaskan perahumu, atau makhluk laut seperti
apa yang akan merusak kapalmu!” Abah menjelaskan
dengan nada tinggi.

“Laut terlalu berbahaya untukmu, Hikam.” nada bicaranya


merendah. Tanpa menoleh sedikit pun, abah berjalan
meninggalkanku.

Koda

Sejak kejadian pagi tadi, aku dan abah belum bertegur sapa.
Sepertinya abah kecewa padaku.

Sudah beberapa kali aku mengungkapkan pada beliau bahwa


aku ingin meneruskan pekerjaannya.

Aku belum mengatakan alasan yang sebenarnya. Tapi sore


ini aku harus memberanikan diri untuk bicara pada abah,
apapun yang terjadi.

“Abah” ujarku pelan sambil menaruh kopi panas di samping


abah. Beliau sibuk memutar-mutar antena radio.

“Katakan saja, abah akan mendengarnya.” Abah seakan


mengerti kegundahanku.

“Abah, bukankah kalau kita hidup, tidak boleh sekadar


hidup?” tanyaku mengawali pembicaraan. Abah
mengangguk.

Beliau yang menyampaikan nilai-nilai kehidupan padaku,


bahwa kehidupan yang sekali ini harus memberi manfaat,
“Hikam merasa akan lebih bermanfaat jika seperti abah,
menjadi nelayan.” aku tertunduk.

“Dapatkah Kau jelaskan alasan keinginanmu itu, Hikam?”


tanya abah lirih. Aku menatap ke arah jendela. Bang Togar
masih sibuk mengurus ikan-ikannya.

Ketika salah satu perahunya datang, perahu yang lain


menyusul. Perahu-perahu tersebut tidak pernah kekurangan
muatan.

Bahkan, terkadang hampir oleng karena ikan hasil


tangkapannya nyaris meloncat keluar perahu.

Pantaslah bang Togar dijuluki juragan ikan, “Kau ingin


seperti bang Togar? Siang malam mengurus ikan,
menumpuk-numpuk kekayaan, meminjamkannya pada
penduduk sekitar dan meminta bunga yang tinggi?”

Aku menggeleng kuat, “Tidak, Abah. Hikam kasihan pada


laut kita. Laut yang menjadi sumber penghidupan kita, laut
yang membesarkan Hikam.”

Abah tersenyum simpul, “Beberapa hari ini, guru agama


Hikam memberikan pelajaran penting. Manusia semakin
serakah. Tidak hanya daratan yang dirusak, lautan pun ikut
dirusak.”

Aku kembali mengarahkan pandangan ke arah jendela,


memandangi bang Togar dan anak buahnya yang sedari tadi
tak kunjung selesai mengangkut ikan.

Beberapa bahkan tampak terlihat memanggul terumbu


karang, “Kata guru agama Hikam, ada sebuah ayat yang
menceritakan kerusakan lautan.” ujarku sambil menirukan
nada bicara guru agama.

“Sejak kecil Hikam tinggal di pesisir, dibesarkan abah disini,


dengan laut kita.” aku melirik ke arah abah yang masih
mendengarkan ceritaku dengan saksama.

“Abah, Hikam merasa punya tanggung jawab untuk menjaga


laut kita. Kalau Hikam jadi pegawai pemerintah, Hikam akan
tinggal di kota. Lantas, siapa yang akan peduli pada keadaan
pantai dan laut yang menghidupi Hikam belasan tahun
lamanya? Hikam tidak iri dengan bang Togar, Abah. Tapi
abah bisa melihat betapa bang Togar menghalalkan segala
cara untuk memperbesar usahanya, termasuk merugikan
lautan. Mungkin saat ini hanya bang Togar dan anak buahnya
yang merusak, tapi nanti ketika orang-orang semakin
terdesak karena kebutuhannya yang semakin banyak, akan
ada bang Togar lain yang lahir, dan Hikam takut, tidak ada
yang dapat menghentikan mereka. Semua sibuk memenuhi
kebutuhan pribadinya masing-masing. Mereka akan lupa
dengan laut yang juga ingin dijaga.”

Abah terdiam, “Apakah tekadmu sudah bulat, Hikam? Kau


tidak akan menyesal, harus bergulat dengan dinginnya angin
laut yang menusuk tulang, ganasnya ombak di laut lepas,
dan berbagai macam hal tidak terduga lainnya?” tanya abah
meyakinkan.

“Insya Allah tidak, Abah. Hikam akan berusaha menjadi


manusia yang bermanfaat dengan cara ini. Hikam akan
belajar lebih giat lagi untuk membawa pengetahuan baru
bagi warga pesisir Kalongan. Semoga dengan pilihan Hikam
meneruskan pekerjaan abah, tidak ada bang Togar lain di
kampung ini.”

Abah memelukku erat, “Abah bangga padamu, Hikam.”

“Abah, maaf kalau Hikam membuat abah kecewa.” aku


menatap abah dalam-dalam, “Tidak semua air harus menjadi
hujan, kan, Abah? Ada yang langsung dimanfaatkan, ada
yang terserap ke tanah, ada pula yang terbuang. Barangkali
Hikam tidak menjadi hujan, seperti kebanyakan, tapi Hikam
akan berusaha seperti air yang dapat langsung
dimanfaatkan. Bukan air yang terbuang.”
“Selamat memperjuangkan laut kita, Hikam. Berlayarlah.
Abah mengijinkanmu,” abah menutup pembicaraan sambil
menyerahkan radio tuanya, “Untuk teman melaut.”

“Hikam siap berlayar siang-malam, Abah!” ujarku menirukan


gerakan hormat.

Dan sore itu suasana menjadi syahdu. Tekadku semakin kuat


untuk belajar lebih giat.

Ada perahu-perahu yang hanya mengandalkan lautan untuk


mencari rezeki, tapi ada hal yang lebih penting: ada masa
depan lautan yang harus diperjuangkan.

Anda mungkin juga menyukai