Anda di halaman 1dari 10

MENJADI NELAYAN

Suasana pesisir pantai tampak lengang. Dari jendela rumah, aktivitas pedagang
yang biasanya tumpah ruah di tepi pantai sedang tak tampak, hanya terlihat beberapa
pedagang ikan yang membereskan terpal untuk tempat menggelar ikan hasil tangkapan.

Sudah belasan tahun aku hidup di pesisir, mengamati aktivitas warga Kampung Kalongan
yang tidak pernah surut. Namanya Kampung Kalongan.

Dijuluki begitu karena aktivitas warga, terutama para nelayan, dimulai malam hari, bak
kalong atau kelelawar yang aktif di waktu malam.

Ketika pagi menjelang, iring-iringan kapal nelayan tradisional yang masih mengandalkan
angin berebut menepi di pesisir disambut anak istri mereka yang siap menjual hasil
tangkapan pada tengkulak atau pembeli yang jauh-jauh datang dari kota.

Berbeda dengan nelayan tradisional, nelayan dengan perahu bermotor dapat melaut kapan
saja, asalkan cuaca mendukung. Sayangnya beberapa hari ini suasana tampak berbeda.

Gelombang sedang pasang. Tidak ada nelayan yang berani menantang maut, termasuk
abah, sekalipun bulan ini ikan-ikan yang harganya melambung di pasaran sedang
melimpah.

Abah memilih menyeruput kopi panas sambil mendengarkan lagu lawas dari radio tuanya
yang sering dibawa melaut.

“Abah, kalau besok gelombang tidak juga surut, bagaimana?” tanyaku. Abah melirik
sebentar, kemudian menyeruput kembali kopi panasnya.

“Ya mau bagaimana lagi, seperti tidak tahu saja kalau banyak takdir Allah yang tidak bisa
ditebak. Bisa jadi hari ini terus-menerus pasang, tapi siapa tau besok tiba-tiba surut.
Kalaupun Allah belum memberikan kejutan besok, masih ada lusa, masih ada hari esok.”
Jelas abah panjang lebar sambil membetulkan antena radio.

“Bukan begitu, Abah. Maksud Hikam, bagaimana uang bulanan sekolah yang sudah
ditagih sejak kemarin?”

Abah menarik napas dalam-dalam, “Tenanglah, Hikam. Berdoalah yang banyak. Mintalah
keajaiban pada Allah. Terkadang, hal yang tidak terduga justru muncul di akhir
pengharapan, saat kita benar-benar pasrah pada yang kuasa.” kemudian tersenyum.
Meneduhkan. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata abah.

Aku kembali menatap ke arah laut yang gelombangnya semakin lama semakin tinggi. Tak
mungkin aku memaksa abah untuk melaut, apalagi menggantikan beliau.

Tubuh jangkungku akan langsung dihempas ombak, seperti Anom, sahabatku yang nekat
melaut hanya karena ingin membeli mobil radio kontrol dengan uangnya sendiri.

Ia tidak mengindahkan larangan abahnya dan malah nekat melaut diam-diam.

Untunglah ketika perahunya terbalik dihempas gelombang, ada nelayan lain yang melintas
dan langsung menolongnya sehingga Anom bisa selamat.
1
Aku tidak seberani Anom. Jangankan sampai ke laut, menyentuh perahu abah saja rasanya
sudah berdebar-debar.

Dari kejauhan, terlihat jelas ombak yang meninggi tetap berkejar-kejaran dengan irama tak
beraturan, sedangkan matahari tampaknya akan membiarkan sang ombak berkejar-kejaran
dalam kegelapan.

Matahari memilih kembali ke tempat peraduannya. Pemandangan langit di pantai Sabtu


sore ini indah dan romantis, kontras dengan gelombang laut yang semakin beringas.

Barangkali benar kata abah, sebaiknya malam ini banyak-banyak berdoa pada Allah dan
segera tidur. Masih ada hari Minggu. Semoga Allah memberikan keajaibanNya agar abah
bisa melaut.

Terbukti kata abah. Allah selalu punya rencana terbaik. KeajaibanNya membuat aktivitas
para nelayan kembali seperti semula, bahkan tidak sampai menunggu Minggu.

Sabtu malam di pesisir pantai sudah dipadati nelayan yang akan berangkat melaut.

Aku terbangun mendengar deru perahu bermotor yang dipadu dengan sahut-sahutan suara
nelayan yang saling menyemangati.

Nelayan dengan perahu bermotor sudah berangkat lebih dulu, sedangkan nelayan lain yang
menggunakan perahu tradisional atau perahu berlayar masih berkutat dengan persiapan
jaring ikannya masing-masing, tak terkecuali abah.

Tiupan angin cukup kencang untuk membuat perahu layar mengarungi .

Maha Kuasa Allah, dengan kekuatanNya, malam ini angin yang bertiup dari darat ke
lautan seakan memberi harapan baru bagi para nelayan.

Esok hari, angin dengan arah berlawanan akan membawa nelayan kembali pulang,
membawa penghidupan.

Tiba-tiba aku teringat surat yang sering dibaca abah berulang-ulang sebelum melaut. Surat
Yusuf ayat 22. Kata beliau, ayat tersebut senantiasa mengingatkan abah untuk bersyukur.

Sayangnya, sekalipun abah sering melaut, aku tidak diijinkan abah untuk ikut.

Tugasku menjaga rumah selagi abah belum kembali. Sejak ibu tiadlautana, rumah
berukuran kecil ini tidak pernah dihuni lebih dari dua orang selain aku dan abah.

Beliau bekerja siang-malam untuk membiayaiku di sekolah menengah yang jaraknya


cukup jauh dari rumah. Hampir seluruh teman-temanku adalah anak nelayan.

Cita-cita mereka adalah sekolah di luar daerah, kemudian menjadi pegawai negeri. Orang
tua mereka juga mengharapkan anaknya tidak menjadi nelayan.

Kehidupan dari laut memang tidak selalu pasti. Pernah suatu ketika aku mengutarakan
pada abah bahwa aku ingin menjadi nelayan, namun abah menentang kuat.

“Abah akan tetap berusaha menyekolahkanmu tinggi-tinggi, agar engkau, Hikam, bisa
menjadi pegawai negeri, bisa lebih baik dari abah. Kalau kau memang tidak ingin menjadi
pegawai pemerintah, jadilah apa saja, tapi jangan nelayan.” Nasihat abah panjang lebar.

2
Aku tahu alasan abah memintaku untuk tidak menjadi nelayan pasti karena beliau begitu
menyayangiku. Namun aku punya alasan kuat untuk cita-citaku.

Semburat matahari mulai terlihat. Sebagian perahu yang melaut malam tadi sudah menepi
di pesisir. Aku berlari-lari kecil karena kulihat perahu abah mulai terlihat di kejauhan.

Biasanya beliau meminta tolong kuli untuk membantu membawakan hasil tangkapan,
namun kali ini aku berniat membantu abah sendiri.

Senyum abah merekah seiring dengan mendekatnya perahu ke tepi pantai. Aku yakin, abah
mendapat banyak ikan hari ini.

“Bagaimana, Abah?” tanyaku sambil membantu abah mendorong perahu untuk menepi.

“Alhamdulillah…esok hari engkau bisa membayar sekolah, Hikam.” ujar beliau sambil
mengelus kepalaku. Kulihat ada banyak ikan tertangkap di jaring abah.

Beberapa ikan berukuran sangat besar, beberapa yang lebih kecil ukurannya seperti paha
orang dewasa, dan ikan-ikan yang sebesar telapak tangan banyak tersangkut di jaring abah.

Aku membantu abah melepaskan ikan-ikan dari jala dan memasukkannya dalam ember.

Ikan-ikan itu menggelepar-gelepar di tangan, membuatku kesulitan untuk


memindahkannya, namun abah dengan cekatan memasukkan ikan tangkapannya ke dalam
ember.

Hampir satu jam berkutat dengan ikan, inilah saatnya menjual ikan-ikan tadi ke pasar yang
lokasinya tidak jauh dari pantai.

Ketika akan mengangkat ember, bang Togar, nelayan senior di kampung sedang meminta
para kuli membantu membawakan hasil tangkapannya. Aku menyenggol lengan abah,

“Abah, lihat Bang Togar.” kemudian abah melirik sekilas.

“Biarkan saja,itu rezeki dia, yang ini rezeki kita.” ujar abah sambil menunjuk ember yang
kubawa.

“Tapi Bang Togar curang, Abah. Dia menangkap ikan yang masih kecil. Dia pakai pukat,
pakai racun, pakai bom, pakai…” kalimatku terputus.

“Apakah kau iri dengan rezeki yang ia peroleh, Hikam?”

Aku menggeleng kuat, “Hikam hanya…mm…kasihan ikannya. Kasihan laut kita, Abah.
Pasti banyak yang rusak kalau menangkapnya dengan cara kasar begitu. Kasihan Bang
Togar juga menjemput rezekinya dengan cara yang tidak halal. Orang lain yang tidak
peduli dengan laut kita akan meniru cara Bang Togar. Sekali dua kali sih tidak masalah,
tapi hidup kita terlalu mengandalkan laut, Abah. Hikam takut laut kita rusak dan tidak
dapat memenuhi kebutuhan kita lagi.”

Abah tertawa kecil, “Tapi jangan lupa, masih banyak nelayan yang jujur, yang mau
bersabar menjemput rezekinya dengan cara halal.”

Kemudian, abah berjalan mendahuluiku menuju pedagang pasar yang sudah melambai-
lambai menantikan hasil tangkapan.

3
Pikiranku berkecamuk. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kalau hari ini hanya Bang
Togar yang curang, besok tidak ada yang meniru.

Ketika kebutuhan hidup meningkat, akan ada nelayan lain yang memilih jalan seperti bang
Togar. Dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan.

Tawar-menawar antara pedagang pasar dan abah berlangsung cepat. Abah menerima
beberapa lembar uang limapuluh ribuan setelah terjadi kesepakatan.

Inilah saat yang paling ditunggu. Abah memberikan separuh uang yang beliau peroleh
padaku,

“Untuk membayar uang sekolah.” ujar abah.

“Abah, apakah Hikam harus sekolah setinggi-tingginya?” tanyaku. Aku tidak berani
menatap abah. Kakiku menyaruk-nyaruk pecahan kerang di atas pasir.

“Tentu saja! Kalau perlu, merantaulah yang jauh agar ketika kau pulang, Hikam, alih-alih
menjadi pegawai pemerintah, kau bisa menjadi orang besar!” ujar abah berapi-api.

“Abah, Hikam ingin menjadi nelayan, meneruskan Abah.” ujarku lirih. Abah tersentak.

“Apa yang bisa kau banggakan dari seorang nelayan, Hikam? Jika diberi pilihan, abahmu
akan memilih tinggal di kota, menjadi kuli atau pedagang ketimbang nelayan. Kau tau,
sekalipun laut kita kaya, namun perjuangan untuk mendapatkannya bertaruh nyawa! Kau
tidak tau bahaya apa yang sedang menunggu di tengah laut sana, angin apa yang akan
menghempaskan perahumu,

atau makhluk laut seperti apa yang akan merusak kapalmu!” Abah menjelaskan dengan
nada tinggi.

“Laut terlalu berbahaya untukmu, Hikam.” nada bicaranya merendah. Tanpa menoleh
sedikit pun, abah berjalan meninggalkanku.

Sejak kejadian pagi tadi, aku dan abah belum bertegur sapa. Sepertinya abah kecewa
padaku.

Sudah beberapa kali aku mengungkapkan pada beliau bahwa aku ingin meneruskan
pekerjaannya.

Aku belum mengatakan alasan yang sebenarnya. Tapi sore ini aku harus memberanikan
diri untuk bicara pada abah, apapun yang terjadi.

“Abah” ujarku pelan sambil menaruh kopi panas di samping abah. Beliau sibuk memutar-
mutar antena radio.

“Katakan saja, abah akan mendengarnya.” Abah seakan mengerti kegundahanku.

“Abah, bukankah kalau kita hidup, tidak boleh sekadar hidup?” tanyaku mengawali
pembicaraan. Abah mengangguk.

Beliau yang menyampaikan nilai-nilai kehidupan padaku, bahwa kehidupan yang sekali ini
harus memberi manfaat, “Hikam merasa akan lebih bermanfaat jika seperti abah, menjadi
nelayan.” aku tertunduk.

4
“Dapatkah Kau jelaskan alasan keinginanmu itu, Hikam?” tanya abah lirih. Aku menatap
ke arah jendela. Bang Togar masih sibuk mengurus ikan-ikannya.

Ketika salah satu perahunya datang, perahu yang lain menyusul. Perahu-perahu tersebut
tidak pernah kekurangan muatan.

Bahkan, terkadang hampir oleng karena ikan hasil tangkapannya nyaris meloncat keluar
perahu.

Pantaslah bang Togar dijuluki juragan ikan, “Kau ingin seperti bang Togar? Siang malam
mengurus ikan, menumpuk-numpuk kekayaan, meminjamkannya pada penduduk sekitar
dan meminta bunga yang tinggi?”

Aku menggeleng kuat, “Tidak, Abah. Hikam kasihan pada laut kita. Laut yang menjadi
sumber penghidupan kita, laut yang membesarkan Hikam.”

Abah tersenyum simpul, “Beberapa hari ini, guru agama Hikam memberikan pelajaran
penting. Manusia semakin serakah. Tidak hanya daratan yang dirusak, lautan pun ikut
dirusak.”

Aku kembali mengarahkan pandangan ke arah jendela, memandangi bang Togar dan anak
buahnya yang sedari tadi tak kunjung selesai mengangkut ikan.

Beberapa bahkan tampak terlihat memanggul terumbu karang, “Kata guru agama Hikam,
ada sebuah ayat yang menceritakan kerusakan lautan.” ujarku sambil menirukan nada
bicara guru agama.

“Sejak kecil Hikam tinggal di pesisir, dibesarkan abah disini, dengan laut kita.” aku
melirik ke arah abah yang masih mendengarkan ceritaku dengan saksama.

“Abah, Hikam merasa punya tanggung jawab untuk menjaga laut kita. Kalau Hikam jadi
pegawai pemerintah, Hikam akan tinggal di kota. Lantas, siapa yang akan peduli pada
keadaan pantai dan laut yang menghidupi Hikam belasan tahun lamanya? Hikam tidak iri
dengan bang Togar, Abah. Tapi abah bisa melihat betapa bang Togar menghalalkan segala
cara untuk memperbesar usahanya, termasuk merugikan lautan. Mungkin saat ini hanya
bang Togar dan anak buahnya yang merusak, tapi nanti ketika orang-orang semakin
terdesak karena kebutuhannya yang semakin banyak, akan ada bang Togar lain yang lahir,
dan Hikam takut, tidak ada yang dapat menghentikan mereka. Semua sibuk memenuhi
kebutuhan pribadinya masing-masing. Mereka akan lupa dengan laut yang juga ingin
dijaga.”

Abah terdiam, “Apakah tekadmu sudah bulat, Hikam? Kau tidak akan menyesal, harus
bergulat dengan dinginnya angin laut yang menusuk tulang, ganasnya ombak di laut lepas,
dan berbagai macam hal tidak terduga lainnya?” tanya abah meyakinkan.

“Insya Allah tidak, Abah. Hikam akan berusaha menjadi manusia yang bermanfaat dengan
cara ini. Hikam akan belajar lebih giat lagi untuk membawa pengetahuan baru bagi warga
pesisir Kalongan. Semoga dengan pilihan Hikam meneruskan pekerjaan abah, tidak ada
bang Togar lain di kampung ini.”

Abah memelukku erat, “Abah bangga padamu, Hikam.”

5
“Abah, maaf kalau Hikam membuat abah kecewa.” aku menatap abah dalam-dalam,
“Tidak semua air harus menjadi hujan, kan, Abah? Ada yang langsung dimanfaatkan, ada
yang terserap ke tanah, ada pula yang terbuang. Barangkali Hikam tidak menjadi hujan,
seperti kebanyakan, tapi Hikam akan berusaha seperti air yang dapat langsung
dimanfaatkan. Bukan air yang terbuang.”

“Selamat memperjuangkan laut kita, Hikam. Berlayarlah. Abah mengijinkanmu,” abah


menutup pembicaraan sambil menyerahkan radio tuanya, “Untuk teman melaut.”

“Hikam siap berlayar siang-malam, Abah!” ujarku menirukan gerakan hormat.

Dan sore itu suasana menjadi syahdu. Tekadku semakin kuat untuk belajar lebih giat.

Ada perahu-perahu yang hanya mengandalkan lautan untuk mencari rezeki, tapi ada hal
yang lebih penting: ada masa depan lautan yang harus diperjuangkan.

SINOPSIS CERPEN MENJADI NELAYAN:

Menjadi Nelayan merupakan cerpen yang bercerita tentang Hikam, anak nelayan yang
ingin meneruskan pekerjaan abahnya sebagai nelayan pula.

Hikam dan abahnya mengalami kesulitan ekonomi, apalagi saat itu laut sedang tidak baik-
baik saja. Namun, kondisi segera membaik dan abah bisa melaut.

Abah selalu berusaha menyekolahkan Hikam agar bisa menjadi PNS dan tidak berakhir
sebagai nelayan. Namun, Hikam menolaknya dan membuktikan bahwa ia benar-benar
serius bertekad jadi nelayan.

Tujuan Hikam baik, yaitu untuk menjaga agar lautnya tetap lestari dan ia ingin menjadi
orang yang bermanfaat sebagai nelayan.

6
JUARA KAMPUNG

Bimo adalah salah seorang anak di kampung Kelapa, Ia adalah pelajar di SDKawun
01 sekarang Bimo sudah kelas 2. Bimo sangat senang sekali bermain bulutangkis ia juga
ingin bercita-cita sebagai atlet bulu tangkis profesional. Setelah selesai ulangan sekolahSD
Kawun 01 memberikan libur panjang bagi seluruh muridnya, mengetahui hal yang
dilaksanakan setiap tahun ini , kepala Dusun Kampung Kelapa mengadakan “Kelapa Cup”
yaitu pertandingan atau turnamen bulu tangkis bagi seluruh warga Kampung Kelapa
pertandingan ini adalah ajang untuk memperebutkan piala bergilir Kampung
Kelapa.Pertandingan ini di bagi oleh kelompok umur : kelompok umur 1 yaitu 7-15 tahun
kelompok umur 2 yaitu 17-25 tahun dan kelompok umur 3 yaitu 30-45 tahun . Bimo sangat
senangmengetahui pertandingan yang akan diadakan di kampungnya tersebut , kebetulan
saat liburan Bimo tidak ada kegiatan apa” jadi setiap hari ia latihan dengan giat . setiap
pagi bimo bangun jam 5 setelah bangun ia berlari jogging pagi mengitari sekitar kampung
kelapa.Setelah berlari ia mulai melakukan latihan gerakan-gerakan yang dominan dalam
bulutangkis , ia dilatih juga oleh Ayahnya.

Ayah Bimo adalah seorang mantan atlet bulutangkisyang sangat profesional. ayah
bimo terus mendorong dan menggenjot bimo agar diamempunyai fisik dan pola permainan
yang bagus agar saat pertandingan nanti ia dapat juara. Akhirnya hari yang ditunggu-
tunggu tiba juga , setelah selesai pembukaanpertandingan langsung di gelas di lapangan
bulu tangkis desa . mulai saat itu Bimo sudahantusias bermain dan bertandingan melawan
semua lawannya . karena begitu antusiasnyabimo dengan pesat melaju ke babak
selanjutnya dengan mudah , hingga partai yangditunggu-tunggupun dia dapat tempuh
dengan mudah yaitu partai final , tetapi di partai finalia dia mendapatkan lawan yang sulit
dan juga bisa dikatakan tidak setipal dengan dia yaitu Andi anak pak kepala Dusun
kampung Kelapa . Andi termasuk anak yang jago bulu tangkisdi kampungnya . sebelum
pertandingan Bimo sangat tegang dan sempat pasrah karenaumur andi 4 tahun lebih tua
darinya. Tetapi dengan dorongan keluarganya dan doa ia dapatmenjalankan pertandingan
tersebut dengan semangat dan antusias. Hingga tidak disangkadalam 3 set ia dapat menang
melawan Andi dan mendapatkan piala bergilir Kampung kelapa, Bimo sangatlah
bersyukur karena jeri payah yang ia lakukan selama ini tidak sia-sia . iadiarak sekeliling
kampung Kelapa dengan membawa piala juara. Ia membuktakan bahwadengan latihan giat
dan berdoa semuanya pasti bisa.

SINOPSIS CERPEN JUARA KAMPUNG:

Cerpen satu ini menceritakan tentang perjuangan seorang bocah yang inginmenjadi juara
di mana ia tinggal di Kampung Kelapa. Tokoh utama pada cerpen satu iniadalah Bimo
anak kecil berusia 9 tahun yang sangat suka bermain bulu tangkis. Dikisahkan,di kampung
Kelapa ada sebuah pertandingan bulu tangkis yang merebutkan piala Kampung.1 minggu
sebelum dimulainya turnamen tersebut, Bimo sudah berlatih setiap hari.Jam 5 ia bangun
setelah itu lari pagi mengitari Kampung Kelapa. Anyah Bimo adalah mantanatlet
bulutangkis jadi ayah Bimo juga membimbingnya dalam berlatih. 1 minggu penuh ia
giatberlatih.Saat turnamen di gelar ia sangat antusias bermain dengan lawannya, ia
terusmelaju ke babak selanjutnya. Hingga di sampailah ia ke babak final . di final ia
melawan Andiyang usianya 4 tahun lebih tua darinya , tetapi Bimo tidak takut ia tetap

7
bertandingmelawannya. Hingga Bimo bisa menjadi juara 1 dalam turnamen tersebut. Ia
membuktikanbahwa dengan berlatih giat dan berdoa semua bisa menjadi juara.

MIMPI YANG MENJADI KENYATAAN

Suatu pagi yang cerah, seorang anak bernama Andrew memasuki sekolahnya,
SMAN 22Bandar Lampung. Andrew adalah seorang anak yang memiliki mimpi untuk
menjadi seorangmusisi yang terkenal. Tetapi tak seorang pun yang mempercayai
mimpinya itu. Dia berjalandengan sangat santai menuju kelasnya, XI IPS 1. Namun,
langkahnya mendadak terhentisaat dia melihat papan pengumuman, dimana ada
pengumuman bahwa ada lomba bandantar kelas XI SMAN 2 pada hari Sabtu, dan seluruh
siswa-siswi kelas XI, wajib untukmengikuti lomba dengan membentuk band yang
beranggotakan 5 orang, dan wajib mengumpulkan data tentang band mereka paling lambat
hari Jum’at. Setelah membaca pengumuman itu, segera saja Andrew berkeliling mencari
anggota band. Namun sayang,anak-anak yang diajak Andrew, rata-rata sudah punya band
sendiri, Teman-teman sekelas Andrew membentuk band tanpa mengajak Andrew.

“Lu mau gabung dengan kami? sadar deh, kemampuan lu belum memenuhi syarat,” ejek

salah seorang temannya.

“Tapi gw rasa gw punya kemampuan itu!” jawab Andrew.

Mendengar perkataan itu, semua teman- temannya menertawai dirinya. Meskipun


begitu,dia tak berputus asa, Andrew tetap mencari anggota untuk mengikuti kompetisi itu.
Dia terusmencari hingga bel masuk pun berbunyi, tetapi Andrew masih belum menemukan
anggota.Tak terasa waktu berlalu, jam istirahat pun tiba. Andrew duduk di bangku taman
dantermenung. Michael, anak XI IPS 2 yang melihat Andrew sedang termenung,
berniatmengusili Andrew. Jadilah Michael diam-diam berjalan ke arah belakang bangku
dan, tiba-

tiba…“Doooooooorrrrrrrrrrrrrrrr!!!!!!!! “teriak Michael .

“Sialan !! Ngagetin gue aja lo !!“ gerutu Andrew .“Ya, sorry…. cuman bercanda , bro !!
tapi lo kenapa?? kok kayak nya lo gak semangat?? “

tanya Michael.

“gue bingung, karena gue belom nemu anggota band buat lomba sabtu besok.
Sementaralimit nyakan hari Jum’at, empat hari lagi, eh lo udah ada band belom?? “
Andrew bertanya.

pada Michael.

“Kebetulan, bro!! gw juga belom punya!! gimana kalo k

ita bentuk band?? Gue kan jago gitar,

lo jago nyanyi, cocok !! Lo jadi vokalis, gue jadi gitaris, gimana….setuju gak?? “tanya
Michael.

8
“Ok, setuju !!“ seru Andrew .“sip !! berarti tinggal cari tiga anggota lagi !! ayo, kita
cari !!“ ajak Michael penuh semangat.Michael dan Andrew mencari anggota dengan
berkeliling sekolah. Namun sayangnya,mencari anggota band tidak semudah yang dikira
Michael dan Andrew, karena mereka samasekali tidak menemukan anggota band sampai
bel pulang berbunyi. Michael dan Andrew punpulang dengan tangan hampa.Dua hari
berlalu, Michael dan Andrew masih belum menemukan anggota band. Mereka jadipusing
dan hampir putus asa. Namun , mereka tidak mau menyerah begitu saja. Setelahberjuang
cukup keras, perlahan mereka menemukan anggota. Dimulai dari Thomas, siswa XIIPS 3,
yang bergabung menjadi bassist, lalu disusul dengan bergabungnya George, siswakelas XI
IPA 1, sebagai keyboardist. Lalu, Richard, anak kelas XI IPA 2, juga bergabungsebagai
drummer. Akhirnya band mereka pun lengkap, lalu mereka berlima mendiskusikan nama
untuk bandmereka. Sempat terjadi perdebatan, sampai tiba-tiba Andrew mengusulkan
nama ProjectRevolution Band, yang bermakna bahwa band itu adalah proyek mereka
untuk merevolusidunia musik. Michael, Thomas, George, dan Richard pun menyetujui
usul Andrew . Jadilah,band Project Revolution mendaftar dan akhirnya Project Revolution
pun mengikuti lomba.Project Revolution tampil dengan sempurna Hingga Akhirnya band
mereka pun berhasilmenjuarai lomba band tersebut. Andrew merasa senang bahwa dia bisa
membuktikankepada teman sekelasnya akan kemampuan bermusiknya.Setelah lomba
berakhir, kelima anggota Project Revolution berjanji untuk selalu kompaksampai
kapanpun . Sesuai dengan janji mereka , kelima anggota band Project Revolutionpun
kompak menjaga persahabatan diantara mereka .

SINOPSIS CERPEN MIMPI YANG JADI KENYATAAN:

Andrew adalah seorang anak biasa yang mempunyai mimipi besar untuk menjadi
seorangbintang musik. Mimpinya yang besar itu membuat Andrew kurang disukai oleh
teman-teman sekelasnya. Pada suatu hari dia membaca sebuah pengumuman yang
mengabarkanbahwa sekolah mereka akan mengadakan lomba musik untuk seluruh kelasa
XI. Seluruhkelas XI diwajibkan untuk mengirimkan perwakilan Band untuk berpartisipasi
dalam kontestersebut.Tetapi ketika dia mengajak teman -teman sekelasnya, dia
ditinggalkan oleh mereka. Temansekelas Andrew tak mengajak dirinya untuk bergabung.
Meskipun begitu Andrew takberputus asa. Dia terus mencari anggota untuk mengikuti
acara tersebut.Hingga akhirnya Andrew bertemu dengan Michael temannya dari kelas lain.
TernyataMicahel juga memiliki mimpi yang sama dengan Andrew, mereka pun bersatu
untukmembuat Band. Michael yang menjadi pemain gitar, sedangkan Andrew sang
vokalis.Mereka sadar bahwa untuk membentuk suatu band yang utuh mereka
membutuhkantambahan anggota. Setelah berjuang dengan keras, akhirnya mereka
menemukan anggotateam lainnya dan bergabunglah Thomas, George, dan Richard.
Kemudian terbentuklahProject Revolution Band.Mereka akhirnya bisa mengikuti
kompetisi itu dan akhirnya keluar menjadi juara. Merekaterutama Andrew berhasil
membuktikan kepada teman sekelasnya bahwa dia berhasilmewujudkan mimpinya.

9
Penilaian Terkait Cerpen

Saya menyukai cerpen "Mimpi menjadi kenyataan"

Karena dalam cerpen tersebut mengisahkan seseorang dan untuk meyakinkan pembaca
bahwa jangan mudah menyerah karena mimpi kita, tetapi berjuang dan yakin lah bahwa
mimpi kita akan menjadi kenyataan di keesokan harinya.

Sekian terimakasih

10

Anda mungkin juga menyukai