Anda di halaman 1dari 28

Tugas Bahasa Indonesia

(Saras Hartanti, S.Pd)

Resensi Novel

Disusun Oleh :
Muhammad Iqbal Arifin
19 / XI IPA 1

SMA Negeri 2 Purworejo


Tahun Pelajaran
2012/2013

Resensi Novel Glonggong


Pendekar Tanah Jawa

Judul : Glonggong

Penulis : Junaedi Setiyono

Penyunting : Imam Muhtarom

Penyerasi : Navisa Rahmani

Pewajah Isi : Siti Qomariyah

Penerbit : PT. Serambi Ilmu

Semesta

Cetakan : I, Juli 2007

Tebal : 293 halaman

A. Unsur Instrinsik

1. Tokoh :
a. Danukusuma (Glonggong)
Sejak saat itu, aku dipanggil Glonggong oleh teman-temanku. Hal: 11
b. Raden Ayu Wahyuningsih (Ibu Glonggong)
Ibuku seorang Raden Ayu dari daerah Tegalreja yang menikah dengan seorang
jagabaya dari wilayah Bagelen. Hal: 12
c. Rama Suwanda (Ayah Tiri Glonggong)
“Kau tahu mengapa ku lebih banyak di kamar?” begitu tanyanya suatu hari
setelah sebelumnya kulihat dia pergi keluar naik bendi bersama Rama
Suwanda, ayah tiriku. Hal: 13
d. Suta (Kiai Sufyan)
Suta, salah seorang temanku, berhasil menyabet pipiku dengan telak. Hal: 6
e. Mbok Trima (Pengasuh Glonggong)
Saking asyiknya aku bermain perang-perangan, entah berapa kali aku diseret
dan digendong pulang oleh Mbok Trima, pengasuhku, untuk dimandikan. Hal:
4
f. Raden Mas Surya Widagda (Surya)
Namun, ada temanku yang merasa gerah bahkan kadang marah bila dipanggil
tanpa embel-embel ‘Den’, namanya Surya. Hal: 16
g. Ki Trima (Suami Mbok Trima)
Bicara tentang kekuatan aku harus bicara tentang Ki Trima, suami Mbok
Trima. Hal: 22
h. Hendrick (Sinyo)
Ya, sinyo itu adalah Hendrick sendiri. Hal: 25
i. Kiai Ngali (Ayah Suta)
Tetangga kanan-kirinya memang memanggil Kiai Ngali. Hal: 34

Resensi Novel Glonggong


j. Kiai Maja
Ketika kutanyakan mengapa, dia menjawab bahwa dia sedang dipersiapkan
bapaknya untuk berguru pada kiai yang sangat kondang, namanya Kiai Maja.
Hal: 42
k. Endang
Sekarang antarkan aku masuk ke rumah Endang. Hal: 57
l. Prayitna
“Kau Prayitna?” aku menebak. Hal: 67
m. Kiai Poleng
“Kau telah mengalahkan Prayitna, murid kesayangan Kiai Poleng.” Hal: 71
n. Kanjeng Pangeran Aria Dipanegara
“Kelompok yang dipimpin oleh Kanjeng Pangeran Aria Dipanegara.” Hal: 75
o. Raden Mas Antawirya
“Bendara Raden Mas Antawirya.” Hal: 75
p. Nyai Tegalreja
Aku yakin mandi ibu di sendang Nyai Tegalreja adalah perwujudan
keinginannya untuk kembali ke masa sebelum penderitaan … . Hal: 83
q. Den Mas Pringga (Paman Surya)
Ini yang bilang pamanku, Den Mas Pringga. Hal: 71
r. Danar (Kakak Glonggong)
Abdi itu bernama Danar. Hal: 96
s. Thoan Han
Dalam pesta merayakan kemenangannya berjudi melawan seorang Bandar tol
bernama Thoan Han, namaku sering disebut-sebut. Hal: 111
t. Ki Sena (Ayah Kandung Glonggong)
“Ya, kalau Ki Sena itu nama ayahku,” aku memang tidak tahu siapa nama
ayahku. Hal: 120
u. Raden Rangga
“… . Dia panglima perangnya Den Rangga,” jawabnya tak acuh. Hal: 121
v. Danti Arumdalu (Kakak Glonggong)
“Di Srondol. Namanya Danti, Danti Arumdalu.” Hal: 125
w. Mbok Kiwer
“Sebentar lagi Mbok Kiwer akan menemuimu.” Hal: 140
x. Rubinem
“Rubinem,” jawabnya lembut. Hal: 143
y. Jayasurata
“Jayasurata,” jawabanya sambil tersenyum, “kau diminta ke Menoreh
sekarang.” Hal: 170
z. Den Ayu Sekar (Istri Den Mas Suwanda)
Bagaimana dengan Den Ayu Sekar? Istri Den Mas Suwanda ini agaknya
mengalami nasib yang sama seperti ibuku. Hal: 244

2. Tema :
Peperangan
Hari itu 20 Juli 1825. Dan sejak hari itu mulailah Java Oorlog, Perang Jawa. Hal:
132

Resensi Novel Glonggong


3. Penokohan :
a. Danukusuma (Glonggong)
i. Perhatian
Saat ini baru dapat kucermati bahwa pada saat menembang, pandangan
ibu tertuju pada sebuah buku yang sudah tampak kumal … . Hal: 14-15
ii. Rendah Hati
Aku selalu merasa tak nyaman bila dipanggil “Raden” oleh teman-temanku
anak kampung dan juga oleh kerabat dekat. Hal: 16
iii. Pengertian
“… , besok kalau kau masih saja menggendong ibumu ke sendang, … . Hal:
82
iv. Jujur
“Karena aku banyak menirumu,” jawabku jujur. Hal: 8
v. Bersungguh-sungguh
“Kalau begitu aku berpakaian dulu,” aku pun jadi harus bersungguh-
sungguh. Hal: 24
vi. Bertanggung Jawab
… pikiranku kembali disibukkan oleh persoalan harta lascar Dipanegara.
Hal: 243
vii. Peduli
Dengan kegugupan dan kegentaran yang tak pernah kualami selama
hidupku kubopong ibuku keluar kamar. Hal: 89
b. Raden Ayu Hartini (Ibu Glonggong)
i. Kasih Sayang
Tatkala aku belum bisa berjalan tegak, saat umurku kurang dari satu
tahun, aku ingat betul apa yang kulihat sewaktu dalam gendongan
selendang ibu. Hal: 2
ii. Pendiam
Ibuku seorang pendiam dan aku paham betul itu. Hal: 13
c. Rama Suwanda (Ayah Tiri Glonggong)
i. Tidak Bertanggung Jawab
… Rama Suwanda sekarang jarang pulang. Hal: 16
ii. Penuh Teka-teki
“… . Den Mas Suwanda itu orangnya paling susah ditebak apa maunya, apa
acaranya. …” Hal: 260
d. Suta (Kiai Sufyan)
i. Menghargai
“Den Surya,” Suta yang ikut mendengarkan percakapan kami sudah berdiri
di antara aku dan Surya, … . Hal: 19
e. Mbok Trima (Pengasuh Glonggong)
i. Perhatian
“Den, pulang! Mandi dulu, lalu makan. Kalau sudah makan, boleh main lagi,
tapi jangan jauh-jauh. … .” Hal: 4
f. Raden Mas Surya Widagda (Surya)
i. Sombong
Tak sudi aku melawan pemain kelas kambing. Hal: 18
ii. Angkuh

Resensi Novel Glonggong


“Goblok, dasar udik, kalau begitu ayo kita mulai.” Hal: 19
iii. Menghina
“Curang kau Glonggong! Anak-anak kampung goblok jelek bau itu sengaja
pilihkan glonggong layu untukku!” Hal: 21
g. Ki Trima
i. Kuat
Bicara tentang kekuatan aku harus bicara tentang Ki Trima, suaminya Mbok
Trima. Hal: 22
ii. Tidak Kenal Lelah
Kekuatan lain Ki Trima yang juga kukagumi adalah pada saat dia merajang
kayu dengan kapaknya. Hal: 23
h. Hendrick (Sinyo)
i. Ramah
Den Glonggong, aku ke sini selain ingin berkenalan denganmu juga ingin
menyerahkan ini,” kata Hendrick … . Hal: 25
i. Kiai Ngali (Ayah Suta)
i. Taqwa
Ada beberapa cerita yang diambil dari buku yang kulihat tak pernah lepas
dari tangan Kiai Ngali yang kemudian kutahu buku itu bernama Alquran.
Hal: 36
j. Danar
i. Sombong
“Ternyata kabar yang kudengar tentang kelincahan Glonggong hanya isapan
jempol belaka. …” Hal: 186
k. Rubinem
i. Tahu Diri
“… . Bagi mereka aku hanyalah wadah makanan, bila sudah selesai bias
langsung dilemparkan ke keranjang sampah,” di sela isak tangisnya
Rubinem mendesahkan kata-kata paling menyentuh yang pernah
kudengar. Hal: 198

4. Alur :
Alur cerita bersifat bolak-balik. Dimana didalamnya dipadu bukan hanya berkisah
mengenai cerita dan latar suasana perang tahun 1800-an di tanah Jawa, akan tetapi
dibumbui dengan kisah ketulusan cinta sang aktor utama, Glonggong. Ketulusan dan
kesetian cinta bukan hanya pada saudara, istri dan teman, tetapi juga dengan masyarakat
luas.

5. Setting :
a. Waktu
i. Siang Hari
Matahari sudah condong ke barat. Hal: 136
ii. Ahad, 28 Maret 1830
Hari itu Ahad 28 Maret 1830. Hal: 283
b. Tempat
i. Taman
Aku masih ingat betul ketika dibawa melewati taman yang penuh bunga
warna merah-ungu. Hal: 3

Resensi Novel Glonggong


ii. Desa Sumbersari
Desa Sumbersari tidak beda jauh dengan desa-desa lain yang ada di
wilayah Kasultanan Ngayojakarta. Hal: 259

6. Point of View :
a. Penulis
Orang pertama, pelaku utama.
Aku ingat betul itu. Hal: 3
b. Peresensi
Orang ketiga, pelaku utama.
Sewaktu kecil Danukusuma, anak keturunan kertaon, sangat pandai
memainkan pedang glonggongnya hingga akhirnya ia terkenal akan
kehebatannya dan mendapat sebutan dengan nama “Glonggong”.

7. Amanat :
Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten membela
kebenaran di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan kekecewaannya
terhadap teman-temannya dan gurunya yang pada akhirnya memilih hidup
nyaman dengan meninggalkan perjuangan melawan ketidakadilan. Selain itu, kita
sebagai manusia yang bertakwa dan berbudi pekerti, jangan sampai jatuh ataupun
terlena karena harta, takhta, dan wanita. Kita harus selalu mensyukuri apa yang
telah Allah berikan kepada kita.

8. Gaya Bahasa :
Sederhana, mudah dipahami, indah menawan.

9. Suasana :
a. Mengharukan
Aku tak punya ibu, tak punya rumah, tak punya apa pun. Hanya ada selembar
pakaian yang melekat di badan. Hal: 93
b. Panik
“Lihatlah api itu,” kata orang berjubah sesudah ia membalikkan badannya kea
rah Puri Tegalreja. Hal: 131

B. Unsur Ekstrinsik
1. Pengarang
Sebuah novel histografi Perang Dipanegara. Genetika kebobrokan politikus
sekarang bias dilacak dengan jelas dalam novel ini.
2. Pembaca
Dalam novel Glonggong penataan alur dan bahasanya indah menawan, intrik
politisnya pelik dan cerdas, karakter tokoh-tokohnya matang dan mendalam,
novel sejarah paling mengesankan yang pernah saya baca.

Resensi Novel Glonggong


C. Rangkuman
Novel Glonggong, adalah novel sejarah berlatar Perang Jawa. Namun bukan novel
tentang Pangeran Diponegoro atau tokoh-tokoh perang jawa lainnya. Novel ini
mengisahkan seorang pemuda yang namanya tidak akan pernah kita temui dalam
buku-buku sejarah. Tokoh utama novel ini bernama Danukusuma yang lebih dikenal
dengan nama Glonggong.

1. Keunggulan Buku
Walau novel ini berlatar belakang Perang Jawa ini kita tidak akan
disuguhkan oleh serunya peperangan antara Laskar Dipanegaran dengan
Belanda atau kisah-kisah heroik Sang Pangeran dan laskar-laskarnya dalam
membela haknya. Sang Pangeran dalam novel ini hanya muncul sekilas saja,
selebihnya novel ini lebih mendeskripsikan kisah kehidupan Glonggong dan
tokoh-tokoh lain yang merupakan lapisan pertama dan kedua dari hirarki
pasukan Diponegoro. Selain itu novel ini juga mengupas intrik politik dan
perilaku kaum bangsawan keraton dalam melawan Belanda.
Karakter glonggong dieksplorasi secara baik oleh penulis sebagai pribadi
yang pantang menyerah terhadap kepahitan hidupnya yang tercerabut dari
keluarganya, berperang melawan ayah tiri dan saudara kandungnya sendiri,
dikhianati oleh guru dan sahabatnya, hingga menyaksikan dengan mata dan
kepalanya sendiri bagaimana akhirnya Sang Pangeran yang dijunjungnya
tertangkap oleh Belanda. Namun hal ini tidak membuat dirinya undur dari
perjuangannya dan tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap
tugas yang diembannya.
Novel setebal 293 halaman ini memiliki plot yang cepat dengan kalimat-
kalimat yang enak dibaca. Untuk lebih menghidupkan novel ini, penulis
menggunakan beberapa istilah dalam bahasa jawa. Untuk itu, buku ini
menyediakan daftar glosari di halaman akhir yang memuat 74 istilah jawa.
Sangat membantu, walau sedikit mengganggu kenikmatan membaca karena
harus membolak-balik daftar glosari ketika menemukan istilah yang tidak
dimengerti. Mungkin lebih baik diberi catatan kaki saja sehingga pembaca tak
perlu terhenti lebih lama untuk membolak-balik buku ini.
Novel ini menarik untuk disimak. Awalnya saya menyangka novel ini
seperti layaknya novel-novel pendekar dimana tokohnya menderita, terkucilkan,
dan akhirnya menjadi seorang yang besar dan disegani. Rupanya penulis tak
terjebak dalam alur seperti itu. Di sini penulis mengelaborasi jalan hidup
tokohnya secara lain , glonggong tetaplah glonggong, yang namanya tidak dikenal
dan bukan siapa-siapa hingga kisahnya berakhir.
Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten
membela kebenaran di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan
kekecewaannya terhadap teman-temannya dan gurunya yang pada akhirnya
memilih hidup nyaman dengan meninggalkan perjuangan melawan
ketidakadilan.

Resensi Novel Glonggong


2. Kekurangan Buku

Tak ada deskripsi mendetail baik mengenai peristiwa sejarah, setting


lokasi dan waktunya. Melalui kisah hidup glonggong, penulis lebih memilih untuk
mengungkap bagaimana kebobrokan kehidupan para priyayi keraton yang
memilih hidup nyaman dan mencari aman dengan berpihak pada Belanda. Bahkan
yang lebih ironis bagaimana akhirnya pasukan Dipanegaran sendiri yang akhirnya
frustasi karena kekalahan-kekalahan yang dideritanya sehingga akhirnya
membelot dan mencari jalan sendiri-sendiri.
Di awal kisah, penulis menyajikan novel ini seolah-olah Glonggong sedang
menulis kisahnya kepada Hendrik, sahabat belandanya. Sayangnya tokoh Hendrik
dan kisah persahabatannya dengan Glonggong sendiri kurang terekplorasi
sehingga saya tak melihat urgensinya mengapa Glonggong sampai perlu menulis
kisahnya ini untuk Hendrik.
Ada satu kejanggalan di halaman 111, disebutkan “Uang hasil menang judi
sebanyak sepuluh ribu rupiah perak dapat selamat sampai ke purinya” (hal 111).
Yang jadi pertanyaan, apakah pada masa itu istilah rupiah sudah mulai
digunakan?

Resensi Novel Glonggong


Pendekar Tanah Jawa

Sewaktu kecil Danukusuma, anak keturunan kertaon, sangat pandai memainkan


pedang glonggongnya hingga akhirnya ia terkenal akan kehebatannya dan mendapat
sebutan dengan nama “Glonggong”. Sebenarnya glonggong sendiri adalah sebuah
pedang-pedangan yang menggunakan pelepah papaya yang sudah kering. Permainan itu
biasanya dimainkan oleh dua orang. Karena ia pandai dalam bermain glonggong sejak
kecil, ia mendapatkan teman akrab bermain glonggong, namanya Suta. Anak yang kurus,
kering, tinggi, berkulit hitam, dan berambut agak merah yang juga cukup pandai dalam
bermain glonggong.
Glonggong hanya tinggal bersama ibunya, Hartini serta ayah tirinya, Rama
Suwanda yang bekerja pada orang Belanda di keraton. Bahkan ia tidak mengetahui
tentang kisah ayah kandungnya sendiri. Ibunya pun tidak seperti ibu-ibu pada
umumnya, beliau sangat pendiam dan jarang keluar rumah kecuali hal yang penting saja.
Jadi hubungan antara Si Glonggong tidak begitu erat dengan ibunya. Namun suatu saat
ibunya mengajaknya masuk ke dalam kamar untuk diceritakannya tentang keadaan
beliau yang menjadi sangat pendiam dan kerjaanya hanya menembang Lagu Jawa.
Glonggong paham mengapa ibunya seperti itu karena Rama Suwanda jarang pulang ke
rumah.
Suatu hari, karena kepandaiannya dalam bermain glonggong ia mendapat
tantangan untuk bertanding melawan Surya, seorang yang juga cukup handal dalam
bermain glonggong dan masih berhubungan saudara dengannya. Surya yang memiliki
kepanjangan Raden Suryawidagda memang cukup handal, namun kehandalannya yang
belum seberapa sudah disombongkan kepada semua anak kampong di daerahnya.
Dalam pertandingan ini banyak sekali orang-orang yang menyaksikannya bahkan para
priyayi pun ikut menyaksikannya. Kemenangan pun direbut oleh Surya dengan segala
kecurangannya yang sebelumnya ia menanggung malu karena mendapat sabetan yang
lumayan banyak dari Si Glonggong.
Berita kekalahan Glonggong pun menyebar luas. Ia merenungkan apa
penyebabnya ia kalah dalam pertandingan itu. Hingga tamu dari seorang Belanda
mencarinya. Dia adalah sinyo alias Hendrick. Ternyata Hendrick mengucapkan selamat
atas kemenangan yang sebenarnya ia dapatkan serta memberikan glonggong yang
terbuat dari kayu bendi yang Surya gunakan untuk melawannya. Ia pun bingung, lalu ia
menyadari bahwa ia telah dicurangi dalam pertandingan tadi.
Pada waktu pemulihan setelah disunat, Glonggong hanya berada di dalam
rumahnya, ia jarang keluar rumah lagi dan jarang bermain glonggong sehingga merasa
sangat kesepian. Selama waktu pemulihan tersebut, ia berenung tentang seluk-beluk
keluarganya. Ia bingung mengapa ia tidak mempunyai keluarga yang harmonis seperti
keluarga pada umumnya. Ia juga bertanya kepada Ki Trimo, suami dari mbok Trimo,
orang yang mengasuh Glonggong dari kecil, ia menanyakan tentang seluk-beluk
keluarganya karena Ki Trimo paham betul tentang seluk-beluk keluarganya.
Glonggong pun terus merenungi seluk-belukn keluarganya yang belum
terpecahkan sampai datangnya Suta yang hanya menyinggung tentang ibunya dan
membuat Si Glonggong hampir kesal dengan olokannya. Si Glonggong pun diajak Suta
untuk menyinggahi rumahnya untuk bertemu dengan ayahnya yang lumayan paham
tentang seluk-beluk keluarga Si Glonggong.
Resensi Novel Glonggong
Di rumah Suta ia banyak mendapatkan informasi, ia bahkan mengetahui jika Suta
mempunyai 2 kakak dan 3 adik. Lama-lama Si Glonggong semakin akrab dengan Suta
namun keakraban itu tidak disenangi oleh Ki Trima yang tahu tentang latar belakang
ayah Suta. Dulu ayah Suta adalah seorang buronan yang sekarang menyamar sebagai
kiai dan petani. Namun Si Glonggong tidak memperdulikannya, ia pun tetap akrab
bersahabat dengan Suta. Bahkan ia tertarik dengan ajaran Islam yang diajarkan oleh
ayah Suta.
Ibunya yang jarang mengajak Si Glonggong berbicara dan menghabiskan waktu
hanya untuk menembang, membuat Si Glonggong menjadi sering meninggalkan
rumahnya dan menghabiskan di rumah Suta. Di sisi lain, ia mendengar bahwa ayah
tirinya telah naik pangkat menjadi “overste” dan berkantor di Gedung Karisidenan. Di
rumah Suta ia mendalami ngajinya dengan ayah Suta.
Dalam mendalami ilmu agamanya, Ayah Suta sering menceritakannya tentang kisah-
kisah Nabi. Glonggong pun tertarik dengan cerita kisah-kisah Nabi, terutama pada kisah
Nabi Ibrahim a.s yang rela menyembelih anaknya untuk dijadikan kurban karena Allah
s.w.t. Ayah Suta juga menambahkan bahwa hal itu merupakan suatu ujian. Setiap
manusia pasti akan diuji oleh Allah s.w.t dan kita patut melaksanakannya walaupun
seberat apapun itu. Perkataan itulah yang berkesan pada diri Glonggong. Ia pun terus
merenungkannya.
Semakin lama menuntut ilmu agamanya di rumah Suta, semakin sering ia
meninggalkan ibunya di rumah sendirian sampai-sampai KI Trima dan istrinya
mendatangi Si Glonggong untuk memberitahu bahwa ibunya jatuh sakit dan akan
dipindahkan dari hiruk-pikuk rumahnya, ndalem suwandan.
Akhirnya Glonggong dan ibunya berpindah tempat di rumah yang dikehendaki
itu, jaraknya dengan ndalem suwandan hanya dipisahkan oleh sungai. Di rumah barunya
kini ia diharuskan oleh Mbok Trima untuk dapat membuat nasi dan lauk-pauknya untuk
ibu dan dirinya. Hingga akhirnya ia lancar memasak, kemudian mereka ditinggalkan
oleh Mbok Trima. Sebelum pergi, beliau menitipkan 2 ekor ayam betina dan 1 ayam jago
kepada si Golonggong. Sekarang ia harus hidup mandiri dengan ibunya. Ia juga disebut
sebagai guru dalam bermain glonggong. Ia juga tetap mendalami ilmu agamanya dan
menerapkannya.
Glonggong terus merawat ibunya dengan baik hingga ia berusia 15 tahun.
Semakin bertambahnya usia berarti semakin dekatnya ajal seseorang, begitu juga
dengan ibu Glonggong yang sekarang telah sakit-sakitan.
Glonggong sangat tekun merawat ibunya hingga ia rela menggendong ibunya
agar ibunya mau mandi di tempat yang beliau inginkan, yaitu di Ndalem Suwandan,
rumah mereka dulu. Di Ndalem Suwandan, Glonggong melihat Surya yang sedang
melingik-lingik isi Ndalem Suwandan yang ternyata mencari gadis yang sekarang
menempati Ndalem Suwandan. Glonggong yang penasaran lalu menghampirinya.
Setelah Surya menjelaskan apa tujuan yang ia lakukan, Glonggong malah memberitahu
cara agar mudah melihat isi Ndalem Suwandan kepada musuhnya dulu itu.
Keesokan harinya Glonggong bertemu lagi dengan Surya ketika ia sedang
menggendong ibunya untuk mandi di sendang. Kali ini Surya ingin mengirimkan surat
kepada Endang, gadis pujaannya yang selama ini ia incar dan bertempat tinggal di
Ndalem Suwandan. Surya meminta bantuan kepada Glonggong dalam memecahkan
masalah ini. Terjadilah tawar-menawar antara keduanya. Akhirnya Glonggong mau
membantu Surya sampai-sampai mereka berdua ketahuan oleh Ki Trima dan Mbok

Resensi Novel Glonggong


Trima saat melingik isi Ndalem Suwandan untuk mencari Endang yang ternyata ia
berada di luar Ndalem Suwandan dan sedang memetik bunga kenanga.
Setelah peristiwa memalukan itu, Mbok Trima berkunjung ke rumah Glonggong
dengan membawa buah-buahan. Ternyata dengan beliau membawa buah-buahan
mengandung maksud agar Glonggong tidak masuk ke area Ndalem Suwandan ketika ia
membawa ibunya ke sendang. Itulah pesan dari ayah tirinya, Raden Mas Suwandan.
Padahal Glonggong membawa ibunya ke sendang semata-mata untuk menyenangkan
hati ibunya yang terluka dengan perjuangan yang sangat keras. Mulai dari melewati
sungai selebar empat depa hingga menuruni tebingan yang licin.
Usai menggendong ibunya seperti biasa, Glonggong melihat Surya telah terluka
parah. Ia terluka parah karena serangan dari Prayitna, anak seumuran Glonggong yang
mengincar Endang. Ketika Glonggong membantunya, tiba-tiba Prayitna dating dari arah
belakang dan langsung menghajar Glonggong hingga ia tersungkur ke tanah. Untungnya
Glonggong dapat bangun dan melawannya balik hingga Prayitna tersungkur juga bahkan
hampir tidak bias berjalan. Setelah itu Glonggong bergegas menggendong ibunya dan
membawa Surya dengan cara menaikkannya ke atas kuda Surya yang keduanya di bawa
ke rumah.
Di rumahnya Surya bercerita banyak. Cerita yang dituturkan Surya persis seperti
apa yang Glonggong pikirkan, ternyata Surya sedang jatuh cinta kepada Endang.
Kemudian Glonggong membawa Surya ke rumahnya naik kudanya.
Rumah Glonggong sekarang didatangi Kiai Ngali, pemilik pondok pesantren
terkenal. Belia dating untuk menasihati Glonggong agar jangan ikut campur masalah
Surya dengan Prayina dalam merebutkan Endang. Karena peristiwa itu, kini ia
dipandang menjadi “sok pahlawan yang membela orang jahat” oleh warga. Selain itu,
beliau juga memberitahu kepadanya bahwa akan terjadi perang besar. Dan Glonggong
harus memilih kelompok yang baik dan benar dalam peperangan tersebut.
Kiai Ngali tidak mengada-ada, warga memang sudah memandang Glonggong
buruk, namun ia tidak memperdulikannya. Akibat peristiwa lalu itu, tidak pernah ada
yang mau datang lagi ke rumah Glonggong untuk bertukar sembako dengan ayam dan
telurnya. Dengan terpaksa Glonggong harus berjualan ke pasar untuk menjual ayam dan
telurnya kemudian membeli sembako. Ketika ia berjualan, datanglah Endang ke tempat
ia berjualan dengan dikawal oleh Mbok Trima untuk membeli telur-telurnya. Pada
kunjungan yang ketiga, ia mulai akrab dengan Glonggong. Endang pun ingin mendatangi
rumahnya untuk menemui ibunya. Di rumah Glonggong, Endang bertemu denga ibu
Glonggong. Ia mengajaknya berbicara, namun beliau diam saja. Hingga akhirnya Prayitna
datang untuk menjemput Endang, untungnya Prayitna tidak bertemu dengan Glonggong
karena ia sedang buang air kecil.
Ketika Glonggong membawa ibunya ke sendang seperti biasanya, Prayitna sudah
menghadang mereka di jembatan yang sudah reot yang biasanya dilaluinya. Prayitna
bermaksud melarang Glonggong untuk membawanya ke sendang. Akibat masalah itu
timbulah adu mulut antara keduanya, hingga akhirnya terjadilah perkelahian. Prayitna
menghajar Glonggong habis-habisan hingga ibunya terpental mengeluarkan darah dari
mulutnya sedangkan Glonggong jatuh terduduk. Untungnya Glonggong masih punya
taktik untuk melumpuhkan serangan Prayitna yang membuat Prayitna terjatuh.
Glonggong segera membawa ibunya kembali ke rumah dan meninggalkan Prayitna
kesakitan. Sesampainya di rumah ia langsung membaringkan ibunya di atas dipan dan
memberinya pisang sambil mengajaknya berbicara, serta dilantunkannya tembang.
Dilihatnya cicak dan semut merah yang berjalan ke tubuhnya. Semut itu menggigitnya

Resensi Novel Glonggong


terasa panas seperti api, pada saat yang bersamaan ia telah menyadari bahwa rasa panas
itu dating dari api sungguhan yang memakan rumahnya. Ia bergegas mencari jalan
keluar dan dengan tidak tega menyeret ibunya dengan perlahan dibawanya menjauh
dari lautan api. Ia membawanya ke rumput-rumput, di sini ia menembangkan kisah
pemberontakan Trunajaya. Ibunya pun tersenyum, itu membuat Glonggong merasa
senang. Namun ada hal lain yang ia pandang dari ibunya, ia memandang ibunya tidak
seperti yang ia harapkan.
Akibat peristiwa kebakaran itu, Glonggong kehilangan ibu tercintanya. Namun
anehnya, ia tidak merasa sedih seperti halnya orang lain saat ditinggalkan ibunya. Kini ia
bertingkah aneh seperti berendam seharian di Sungai Winanga, hingga warga mengira
bahwa Glonggong telah sinting.
Glonggong telah kehilangan ibu yang tercinta dan rumahnya. Ia juga telah
kehilangan semua harta bendanya setelah kebakaran itu terjadi. Yang ia miliki hanyalah
pakaian yang ia gunakan. Beruntung ia ditawari pekerjaan oleh Surya untuk bekerja
menajdi penjaga taman di Puri Pringgawinatan. Den Mas Pringgawinata adalah adik
kandung Pangeran Widagda, beliau dikenal sebagai teman baik Kanjeng Pangeran Aria
Dipanegara. Kanjeng Pangeran Aria Dipanegara adalah orang yang terkenal
kesolehannya dan bijaksananya. Di tempat ini Glonggong juga pertama kali mengenal
tulisan Latin.
Sejak saat itulah Glonggong mulai rajin membaca dan menghafalkan tulisan Latin
walaupun masih memerlukan bantuan Surya untuk mengetahui makna dari kata dan
kalimat Latin yang ia hafalkan. Kebetulan sekali ia naik pangkat menjadi pengawal
priyayi, sehingga memudahkannya dalam meminta bantuan Surya. Suatu saat ia diajak
Surya ke Ndalem Suwandan yang kini telah menjadi markas Belanda, untuk mengintai
pasukan Belanda. Di sinilah Glonggong teringat masa lalunya dan berniat menjalankan
misinya, yaitu mencari kuburan ibunya, mencari tahu ayahnya, dan saudara kandungnya.
Tak lama kemudian. Kuburan ibunya telah ia ketahui dengan cara bertanya kepada
warga yang iku serta saat kebakaran terjadi. Kemudian ia datangi kuburan ibunya di tepi
Kali Winanga.
Glonggong melihat makam ibunya yang paling sederhana, hanya rumputlah yang
menghiasi makam itu. Kemudian didekatinya makam ibunya, tiba-tiba Endang datang
dengan mengejutkannya. Lalu diajaknya bercakap-cakap yang menyinggung kehidupan
Glonggong. Ternyata Endang mempunyai belas kasihan kepadanya. Diberikannya sebuah
cincin untuk harta pegangan Glonggong. Hari sudah mulai senja, Glonggong lalu
meninggalkan Endang dengan senyuman manis. Ia kembali bekerja ke Pringgawinatan.
Pekerjaannya sebagai pengawal sudah terkenal luas semenjak ia dapat
mengalahkan empat berandalan yang menghadang para priyayi yang sedang dikawalnya.
Di samping itu, ia paham betul tingkah laku para priyayinya yang hanya
menghamburkan uangnya untuk berjudi. Walaupun begitu tidak semua priyayi berbuat
hal musyrik seperti itu, sebagai contoh Pangeran Aria Dipanegara. Namun ia prihatin
terhadap temannya, Surya, ia termasuk tipe yang manakah?
Kebanyakan teman Glonggong takut dengan orang Belanda, tetapi ia malah
berteman dengan orang Belanda, sinyo, dia adalah Hendrick. Pertemuan yang kedua
dengan Hendrick terjadi saat ia mengkawal Surya ke Semarang. Mereka bertemu di
dalam gedung yang berada di sebelah kanannya gedung utamanya. Pertemuan itu juga
ditemani Johan, juru bahasa, teman Hendrick. Di dalam gedung itu terdapat banyak
lukisan, Glonggong tertarik pada satu lukisan yang gambarnya orang sedang dikeroyok
kerdil-kerdil. Kemudian Johan memberinya sebuah novel yang berisi makna dari lukisan

Resensi Novel Glonggong


itu, judulnya adalah Perjalanan Gulliver. Glonggong agak kebingungan dengan makna
lukisan itu dan berniat meminta bantuan kepada Surya. Tetapi Surya menjawabnya
dengan bercanda. Ia pun menyimpulkannya sendiri, orang yang ada dalam lukisan itu
seolah-olah adalah orang Belanda dan kerdilnya seolah-olah adalah priyagung Jawa.
Kemudian Surya mengalihkan perhatiannya pada keadaan ayah Glonggong. Ia yang
belum pernah bertemu ayahnya jelas langsung antusias memperhatikannya. Ki Sena,
ayah Glonggong, adalah seorang panglima perang Den Rangga yang gagal memberontak
dan akhirnya dipenjara di Wiragunan, begitu kata Surya kepada Glonggong.
Seharian Glonggong memikirkan tentang ayahnya yang belum diketahui itu.
Muncullah rasa bangga terhadap ayahnya yang mempunyai kepribadian yang sangat
berwibawa, yaitu membela kebenaran hingga titik penghabisan. Ditambah dengan
masukkan cerita dari Surya dan Danar, teman kerja Glonggong di Pringgawinatan. Ketika
asyik memikirkan tentang ayahnya, tiba-tiba ia dipanggil untuk mengkawal Den Mas
Pringga ke Tegalreja. Desas-desus kabar Java Oorlog/Perang Jawa akan segera pecah.
Suasana di Tegalreja lain dari biasanya. Kerumunan orang di mana-mana. Patok-
patok telah terpasang, kompeni Belanda berencana membuat jalan tembus. Glonggong
yang mempunyai waktu senggang menyempatkan diri pergi ke Wiragunan untuk
mengetahui kondisi ayahnya sekarang. Sesampainya, ia bertemu dengan penjaga
penjara, ia juga banyak mendapatkan informasi dari penjaga penjara tersebut bahwa Ki
Sena Bagelen, ayahnya mempunyai anak perempuan yang bernama Danti Arumdalu
yang tinggal di Srondol.
Suatu hari di Pringgawinatan, ia ditamui oleh Endang. Diajaknya ia bercakap-
cakap, Glonggong juga mengajarkannya Endang menembang. Endang termasuk orang
yang cukup mendalami agamanya, ia setiap Senin dan Kamis selalu puasa. Endang
menamui Glonggong juga satu dari dua hari itu, dengan maksud agar tidak merepotkan
Glonggong. Glonggong yang mengetahui ia berpuasa menjadi ingin menirunya.
Akhir-akhir ini Glonggong sering ditugasi mengkawal Den Mas Pringga ke
Tegalreja. Di Tegalreja, ia sering melihat bekas-bekas terjadinya bentrokan antara
kompeni Belanda dengan warga pengikut Kanjeng Pangeran Aria Dipanegara.
Glonggong sangat bersyukur karena ia bekerja pada salah seorang pengikut
Kanjeng Pangeran Aria Dipanegara. Ketika Glonggong menjemput Den Mas Pringga,
Susana buruk yang tidak biasanya pun terjadi. Suara dentuman meriam mulai terdengar
dan terdengar jelas, bahkan orang-orang telah bersautan dan berserakan di mana-mana.
Namun yang dituju Glonggong hanyalah Den Mas Pringga. Setelah mengetahui Den Mas
Pringga ikut dalam rombongan berjubah putih yang di ketuai oleh Kanjeng Pangeran
Aria Dipanegara, Glonggong langsung masuk ke dalam rombongan barisan tersebut,
hingga di perbatasan sawah dan Kali Winanga. Tetapi Den Mas Pringga menyuruhnya
pulang. Hari itu 20 Juli 1825, mulailah perang Jawa meletus dengan dahsyatnya.
Hari hari setelah dentuman meriam terdengar dan puri Tegalrejo hangus
terbakar, penyerbuan kembali terjadi oleh kompeni Belanda yang dikomandani Asisten
Residen Chevallier. Di sela sela peristiwa itu Glonggong bertemu teman lamanya Suta.
Suta diutus untuk mengirimkan surat kepada mas Pringga agar tau kabarnya.
Tidak biasa Glonggong berkawal dengan Danar, teman kerjanya di
Prringgawinatan dan tak biasa pula pria yang dikawalnya tidak diketahui olehnya.
Namun pengawalan ini asik bagi si Glonggong karena menuju ke Srondol, tempat iya bias
menemukan kakaknya, Dandi Arumdalu. Sesampainya di Srondol, Glonggong
diperbolehkan berjalan-jalan disekitarnya dan kembali sebelum matahari terbit. Ia
memanfaatkan itu untuk mencari kakaknya sampai di Ngluwek, perumahan bagi para

Resensi Novel Glonggong


priyayi dengan pelacur. Glonggong dengan terpaksa menginap di tempat itu, namun ia
tetap menjaga kelakuannya untuk tidak berbuat nista. Akibat ia tidur di tempat ini
dengan ditemani perempuan yang bernama Rubinem. Ia bangun kesiangan dan tak
sengaja telah mengingkari janji kepada Danar.
Glonggong belum sempat melacak keberadaan kakaknya. Ia kembali ditugasi
mengawal ke Srondol seperti biasa. Ia kembali mendatangi Ngluwek. Ia terus berusaha
mencari tau kakaknya dengan mencari informasi dari Rubinem dan Mbok Kiwer, pemilik
perumahan itu. Ternyata benar, kakaknya adalah seorang pelacur. Ia sekarang bertempat
tinggal dirumah berarca gajah dimana tempat pemberhentian kawalannya itu.
Kali ini Endang nekat menemui Glonggong di puri Pringgawinatan. Mereka saling
belajar 3 bahasa Arab, Jawa dan Latin. Glonggong juga menembang yang ternyata masih
ada sisa tembangnya di ndalem Suwandan. Keberadaan mereka ternyata diketahui surya,
sehingga membuat Glonggong menjadi cemas.
Akhir akhir ini Glonggong susah tidur karna banyak masalah yang ia alami. Tiba
tiba datanglah danar dan empat orang mengepung Glonggong. Ia yang panic langsung
melawannya. Terjadilah perkelahian. Pada saat itu datanglah Den Mas Pringga. Beliau
mengatakan kepada Glonggong agar ia menuruti Danar, kini ia dikawal dalam bendi dan
sering digunakan untuk membawa priyayi ke tempat rumah arca gajah.
Akibat peristiwa itu, Glonngong dibuang ke hutan. Ia dimasukkan ke dalam
penjara sepetak bilik seukuran tubuhnya. Setelah beberapa hari ia berada di dalam sel
yang hanya diberi singkong rebus dan sebatok air, datanglah Jayasurata. Jayasurata
bermaksu membebaskan Glonggong sebab ia memerlukan bantuannya untuk membela
kelompak yang dipimpin Kanjeng Aria Dipanegara yang sekarang disebut sebagai
Kanjeng Sultan Ngabdukamid.
Pertemanannya dengan Jayasutara, ia mengetahui ayahnya telah tiada yang dulu
sebagai satu-satunya orang terhebat dalam mengawal barang. Skarang pekerjaan itu
akan diberikan kepada Glonggong.
Dalam menjalankan tugasnya Glonggong membuat senjata baru yaitu glonggong
yang terbuat dari besi.
Glonggong harus mengawal barang barang berharta yang berada di dalam peti
melintasi Ungaran, daerah berbahaya. Ditengah tengah perjalanan ia dihadang oleh
Belasan gerombolan begal, yang satu diantaranya adalah Danar. Terjadilah petarungan
sengit antar Glonngong dan Danar. Yang akhirnya dimenangkan oleh Glonggong.
Sesampai di Sampangan, ia ditembak oleh penembak gelap kemudian hanyut ke sungai.
Suatu hari ia ditemukan oleh warga. Setelah siuman, ia baru sadar jika ia dirawat
oleh Rubinem. Setelah sembuh dari lukanya ia melanjutkan misinya untuk mencari
kakaknya.
Sesampainya dirumah kakaknya, ia bertemu Danti, kakaknya. Serta meyakinkan
bahwa ia adalah adik kandung walaupun tidak dianggap. Ia kebingungan hendak
kemana. Tanpa sengaja ia berjalan menuju suatu desa. Disana ia dihadang oleh warga,
karena ia dituduh menyerang warga. Sebenarnya yang menyerang warga itu adalah
glonggong palsu, Prayitna. Kemudian Prayitna menantang Glonggong berkelahi di
tempat bertemunya kali putih dan kali praga. Berkelahilah keduanya hingga kompeni
Belanda datang dengan membawa pistol. Tewaslah Prayitna si glonggong palsu.
Glonggong lalu ditangkap Belanda.
Kompeni Belanda membawanya ke rumah limasan, markas Belanda yang diketuai
Kiai Ngali. Ia dijadikan sebagai korban atas kesalahan Prayitna yang membunuh para
petani.

Resensi Novel Glonggong


Dalam mengiringi perjalanan Glonggong ke pengadilan para penduduk ikut
membuntuti kompeni Belanda. Saat pembelaan terhadap Glonggong, ada penembak
gelap yang membuat kericuhan sehingga banyak warga yang menjadi korban.
Glonggong pun meneruskan perjalanannya ke Tegalrejo untuk menemui Raden
Mas Suwonda. Ia berpikir bahwa Suwanda yang mencuri peti harta laskar Dipanegara.
Sesampainya di rumah Suwanda, Endang sedang jatuh sakit sehingga Glonggong
merawat Endang hingga sembuh. Disela merawatnya ia mencari kebenaran akan
anggapannya itu. Dicarinya peti curian itu di dekat rumah ndalem Suwanda. Ia
menemukan tempat disembunyikannya peti harta laskar Dipanegaran yang dicuri.
Diambilnya harta itu dibawa ke desa Sumbersari sesuai saran Den Ayu Sekar.
Sesampainya di Desa Sumbersari, Glonggong menunggu Den Ayu Sekar sesuai
janjinya. Namun yang datang Raden Mas Suwanda. Suwandan mengancam Glonggong
agar mengembalikan harta curiannya itu. Maka terjadilah adu mulut. Dan hati Suwanda
melunak.
Kemudian Glonggong kembali ke ndalem Suwandan menjemput Endang untuk
dibawanya ke Magelang.
Sesampai di Magelang dan menginap di Bothonbalong. Disana mereka bertemu
dengan Suta yang sekarang berganti nama menjadi Kiai Sufyan. Mereka bercakap-cakap,
bahwa Glonggong akan kesulitan menemui Kanjeng Sultan Ngabdulkamid.
Keesokan harinya, mereka bertiga datang terlambat menuju Gedung Kompeni.
Glonggong hanya bias menyampaikan maaf kepada Kanjeng Sultan melalui Jayasurata.
Kemudian dilihatnya Kanjeng Sultan dibawa pergi oleh Belanda. Tak terasa air mata
membasai air pipinya. Hari itu 28 Maret 1830.

Resensi Novel Glonggong


Pangeran Glonggong

Konspirasi atau bisa dianalogikan sebagai sebuah persekongkolan. Selalu terjadi


berkaitan dengan harta, tahta dan wanita. Konspirasi sering diasosiasikan sebagai hal
yang negatif. Dilakukan dengan tujuan tertentu yang merugikan beberapa pihak terkait.
Memang begitulah adanya. Dan sudah sejak dahulu terjadi. Sejak sebelum Indonesia
merdeka. Demikian kiranya yang disampaikan penulis dalam buku ini (berjudul
GLONGGONG). Pesan tersirat yang mengingatkan bahwa hal serupa (baca : konspirasi)
di era reformasi saat ini masih tumbuh subur. Terbukti dengan adanya manufer politik,
korupsi dan kolusi.

Penulis (Junaedi Setiyono) yang notabene adalah staf pengajar di UMP (Univ.
Muhammadiyah Purworejo), menuangkan novel sejarah peperangan Dipanegara dengan
bahasa yang tidak sulit dipahami. Novel pemenang sayembara penulisan novel DKJ
tahun 2006 ini diterbitkan pada tahun 2007 oleh penerbit Serambi Jakarta.

Mengisahkan seorang keturunan keraton yang mempunyai sebutan ”Glonggong”.


Sebutan yang diperoleh karena keahlian dalam bermain Glonggong. Glonggong adalah
sejenis senjata buatan dari pelepah pepaya yang telah kering. Glonggong kecil terlahir
dari lingkungan keraton. Namun seiring pertumbuhannya, pada umur 17 tahun ia
kehilangan Ibundanya tercinta. Peristiwa kehilangan yang tidak wajar, karena diliputi
intrik dan manufer para pengkhianat dari lingkungan kraton yang membela kompeni
Belanda untuk menggagalkan perang yang dipimpin Pangeran Dipanegara. Cakra
Manggilingan, hidup itu terus berputar, begitulah kiranya kehidupan si Glonggong. Dari
mulai hidup enak di lingkungan keraton sampai harus berjuang sebatang kara menjadi
pengikut setia Kanjeng Pangeran Ngabdulhamid (Sebutan lain Pangeran Dipanegara).

Dikisahkan Pangeran Dipanegara meninggal pada 8 Januari 1855. Dalam pengasingan,


entah dimana, setelah kalah perang dan ”Parapatan Agung” di Karisidenan Magelang.
(Perundingan akhir dengan kompeni Belanda). Beliau adalah sosok yang semula
dianggap sebagai ”Ratu adil” yang akan mengakhiri kesengsaraan ”Kawula ndasih”
(rakyat banyak pada umumnya). Hal itu diyakini masyarakat sekitar wilayah Keraton
Ngayojokarto Hadiningrat sesuai dengan yang tertulis di ”Jangka Jayabaya” (Semacam
primbon Jawa). Perang jawa (Java Oorlog) dimulai pada 20 juli 1825.

Penulis mencoba mengisahkan sejarah dari sisi lain. Sisi yang bisa dibilang lebih
komplek. Sisi dimana jarang sekali diungkapkan di pelajaran sejarah sekolah. Tentang
pengkhianatan orang-orang keraton, para pangerannya, dan masyarakat pribumi pada
umumnya.

Dikisahkan dengan sudut pandang orang pertama. Alur cerita bersifat bolak-balik.
Dimana didalamnya dipadu bukan hanya berkisah mengenai cerita dan latar suasana
perang tahun 1800-an di tanah Jawa, akan tetapi dibumbui dengan kisah ketulusan cinta
sang aktor utama, Glonggong. Ketulusan dan kesetian cinta bukan hanya pada saudara,

Resensi Novel Glonggong


istri dan teman, tetapi juga dengan masyarakat luas. Masyarakat yang kala itu
digambarkan benar-benar ditindas oleh penjajahan kompeni Belanda. Penulis memang
mencoba membawa setiap siapa saja yang membaca serasa ikut andil mengalami masa
perang Dipanegara. Walaupun penceritaan mengenai kejadian detail setiap gerakan
dalam perang tidak lugas. Karena memang cenderung lebih menampilkan makna dari
setiap kejadian tersebut.

Makna dan pesan yang juga beberapa muncul secara tersurat maupun tersirat.
Diantaranya pengkisahan hikayat atau cerita Nabi, mulai dari Adam, Ibrahim sampai
Sulaiman yang dapat berbicara dengan binatang. Pesain lain bahwa seorang lelaki sejati
tidak akan bermain perempuan, dan menahan nafsu untuk memperoleh bidadari yang
seutuhnya dan memuliakannya pada saatnya nanti. Pada saat pernikahan resmi benar-
benar berlangsung.

Resensi Novel Glonggong


MONDAY, AUGUST 20, 2007
Glonggong

Judul : Glonggong
Penulis : Junaedi Setiyono
Penyunting : Imam Muhtarom
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : 293 hal

Perang Jawa atau De Java Oorlog (Belanda) adalah perang besar dan menyeluruh yang
berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, antara pasukan
penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang
dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro atau yang dalam
novel ini disebut-sebut sebagai Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Perang ini merupakan
salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah
Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini
sebagai Perang Jawa

Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang
dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare),
maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit
and run. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran.

Di pihak Belanda perang ini menghabiskan 20 juta gulden dan banyak memakan korban.
Belanda kehilangan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, sedangkan
rakyat Jawa yang tewas sebanyak 200.000. Sehingga setelah perang ini jumlah
penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Novel Glonggong, adalah novel sejarah berlatar Perang Jawa. Namun bukan novel
tentang Pangeran Diponegoro atau tokoh-tokoh perang jawa lainnya. Novel ini
mengisahkan seorang pemuda yang namanya tidak akan pernah kita temui dalam buku-
buku sejarah. Tokoh utama novel ini bernama Danukusuma yang lebih dikenal dengan
Resensi Novel Glonggong
nama Glonggong.

Nama Glonggong diperoleh Danukusuma karena kemahirannya bermain perang-


perangan dengan menggunakan pedang glonggong. Glonggong adalah tangkai daun
pepaya berwarna kuning pucat kehijauan. Oleh anak-anak Jawa pelepah pohon pepaya
ini dijadikan pedang untuk bermain perang-perangan. Sedangkan nama Glonggong
disandangnya setelah ia bermain perang-perangan dengan Suta, sahabatnya. Ketika ia
jatuh terjerembab di tanah, seseorang menariknya dan ternyata dia adalah seorang
putrra raja bernama Bendara Raden Mas Antawijaya yang kemudian dikenal dengan
nama Kangjeng Pangeran Aria Dipanegara. Ketika itu Pangeran menyapanya dengan
panggilan “Glonggong”. Dan sejak itu Danukusuma dipanggil Glonggong oleh teman-
temannya dan nama itu terus melekat dengan dirinya hingga dewasa.

Dalam darah Glonggong mengalir darah biru. Namun hidupnya tak semulus teman-
temannya yang berdarah biru lainnya. Ibunya seorang Raden Ayu dari daerah Tegalreja
(tanah kelahiran Pangeran Diponegoro) yang menikah dengan Kiai Sena, seorang
jagabaya (penjaga kemanan) dari wilayah Bagelen. Namun pernikahan ini tak
berlangsung lama karena ayahnya hilang ketika terjadi peristiwa pemberontakan yang
dipimpin oleh Raden Rangga Prawidirja pada tahun 1810. Saat itu Glonggong masih
dalam ayunan gendongan selendang ibunya. Ia tak sempat mengingat wajah ayah
kandungnya yang tak pernah pulang.

Ibunya kemudian menikah lagi dengan Raden Suwanda. Glonggong tinggal bersama ibu
dan ayah tirinya, sementara dua orang saudaranya tinggal bersama pamannya. Walau
telah menikah, ibu glonggong masih terus memikirkan Kiai Sena sehingga kondisi
psikisnya terganggu, ia hidup dalam dunianya sendiri, setiap hari dilaluinya mengeram
dalam kamar sambil menembangkan tembang-tembang mapacat. Sedangkan Raden
Suwanda, ayah tiri glonggong, sibuk dengan kepriyayiannya. Tak ada tegur sapa yang
harmonis layaknya bapak dan anak. Ayah tirinya terlampau asing bagi glonggong.

Dalam keluarga yang seperti inilah Glonggong dibesarkan, sejatinya ia tumbuh dalam
asuhan kedua orang pembantunya. Setiap hari dilaluinya dengan bermain glonggong
bersama anak-anak desa di kampungnya. Ketika Raden Suwanda memperoleh
pendamping baru, glonggong dan ibunya diusir dari rumahnya sendiri. Mereka terpaksa
harus tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan. Dengan setia glonggong merawat ibunya
hingga sebuah tragedi merengut nyawa ibunya dan membuat Glonggong harus hidup
terlunta-lunta sebatang kara.

Hidup sendirian membuat dirinya bertekad untuk berkelana untuk mencari ayah dan
dua kakak kandungnya. Kemahirannya memainkan glonggong juga membuatnya bekerja
sebagai pengawal para priyayi keraton. Pekerjaan ini membuatnya memahami bahwa
para priyayi umumnya hidup dalam kemewahan harta, tahta, dan wanita yang
memabukkan kehidupan mereka. Lalu ia juga bergabung dengan barisan prajurit
Pengeran Dipanegoro yang saat itu sedang berjuang melawan Belanda. Saat itu keraton
Ngayogyakarta terbelah menjadi dua, satu pihak mendukung perjuangan Diponegoro, di
lain pihak bersekongkol dengan Belanda.

Dalam sebuah tugasnya mengawal peti harta karun laskar dipanegaran guna ditukarkan

Resensi Novel Glonggong


dengan senjata, Glonggong mendapat serangan dari para bagal. Ia terluka cukup parah.
Setelah sembuh, ia diperhadapkan dengan munculnya orang yang menyamar menjadi
dirinya dan membunuhi penduduk desa. Selain itu ia juga bertekad untuk menemukan
kembali harta karun yang direbut oleh para bagal sebagai tanggung jawabnya pada Sang
Pangeran.

Novel Glonggong karya Junaedi Setiono, yang sehari-harinya mengajar sebagai dosen di
Universitas Muhammadiyah Purworejo ini merupakan novel pertamanya dan langsung
didapuk sebagai pemenang ke-empat (harapan I) sayembara Novel Dewan Kesenian
Jakarta 2006. Sebelumnya cerpen dan puisinya pernah memenangi sayembara penulisan
cerpen dan puisi. Cerpen dan Puisi-puisinya telah dimuat di media masa lokal
(Porworejo), juga dapat ditemui dalam beberapa antologi puisi yang terbit sejak tahun
1988, yang terakhir , kumpulan puisi dan cerpennya dibukukan alam antologi Kemuning
(2005)

Walau novel ini berlatar belakang Perang Jawa ini kita tidak akan disuguhkan oleh
serunya peperangan antara Laskar Dipanegaran dengan Belanda atau kisah-kisah heroik
Sang Pangeran dan laskar-laskarnya dalam membela haknya. Sang Pangeran dalam
novel ini hanya muncul sekilas saja, selebihnya novel ini lebih mendeskripsikan kisah
kehidupan Glonggong dan tokoh-tokoh lain yang merupakan lapisan pertama dan kedua
dari hirarki pasukan Diponegoro. Selain itu novel ini juga mengupas intrik politik dan
perilaku kaum bangsawan keraton dalam melawan belanda.

Tak ada deskripsi mendetail baik mengenai peristiwa sejarah, setting lokasi dan
waktunya. Melalui kisah hidup glonggong, penulis lebih memilih untuk mengungkap
bagaimana kebobrokan kehidupan para priyayi keraton yang memilih hidup nyaman
dan mencari aman dengan berpihak pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis bagaimana
akhirnya pasukan Dipanegaran sendiri yang akhirnya frustasi karena kekalahan-
kekalahan yang dideritanya sehingga akhirnya membelot dan mencari jalan sendiri-
sendiri.

Karakter glonggong dieksplorasi secara baik oleh penulis sebagai pribadi yang pantang
menyerah terhadap kepahitan hidupnya yang tercerabut dari keluarganya, berperang
melawan ayah tiri dan saudara kandungnya sendiri, dikhianati oleh guru dan
sahabatnya, hingga menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana
akhirnya Sang Pangeran yang dijunjungnya tertangkap oleh Belanda. Namun hal ini
tidak membuat dirinya undur dari perjuangannya dan tetap melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya terhadap tugas yang diembannya.

Novel setebal 293 halaman ini memiliki plot yang cepat dengan kalimat-kalimat yang
enak dibaca. Untuk lebih menghidupkan novel ini, penulis menggunakan beberapa
istilah dalam bahasa jawa. Untuk itu, buku ini menyediakan daftar glosari di halaman
akhir yang memuat 74 istilah jawa. Sangat membantu, walau sedikit mengganggu
kenikmatan membaca karena harus membolak-balik daftar glosari ketika menemukan
istilah yang tidak dimengerti. Mungkin lebih baik diberi catatan kaki saja sehingga
pembaca tak perlu terhenti lebih lama untuk membolak-balik buku ini.

Di awal kisah, penulis menyajikan novel ini seolah-olah Glonggong sedang menulis

Resensi Novel Glonggong


kisahnya kepada Hendrik, sahabat belandanya. Sayangnya tokoh Hendrik dan kisah
persahabatannya dengan Glonggong sendiri kurang terekplorasi sehingga saya tak
melihat urgensinya mengapa Glonggong sampai perlu menulis kisahnya ini untuk
Hendrik.

Ada satu kejanggalan di halaman 111, disebutkan “Uang hasil menang judi sebanyak
sepuluh ribu rupiah perak dapat selamat sampai ke purinya” (hal 111). Yang jadi
pertanyaan, apakah pada masa itu istilah rupiah sudah mulai digunakan?

Namun terlepas dari kelemahan dan kejanggalan di atas, novel ini tetap menarik untuk
disimak Awalnya saya menyangka novel ini seperti layaknya novel-novel pendekar
dimana tokohnya menderita, terkucilkan, dan akhirnya menjadi seorang yang besar dan
disegani. Rupanya penulis tak terjebak dalam alur seperti itu. Di sini penulis
mengelaborasi jalan hidup tokohnya secara lain , glonggong tetaplah glonggong, yang
namanya tidak dikenal dan bukan siapa-siapa hingga kisahnya berakhir.

Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten membela kebenaran
di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan kekecewaannya terhadap teman-
temannya dan gurunya yang pada akhirnya memilih hidup nyaman dengan
meninggalkan perjuangan melawan ketidakadilan.

Dan seperti diungkap oleh Ahmad Tohari dalam endorsmen buku ini, novel ini
mengungkap genetika kebobrokan politikus sekarang yang bisa dilacak dengan jelas
dalam novel ini. Jika kita cermati, intrik politik yang terjadi lebih dari seratus lima puluh
tahun yang lampau masih terjadi hingga kini. Tidak percaya ? Silahkan baca novel ini.

@h_tanzil

Diposkan oleh htanzil di 10:02 AM

Glonggong

Resensi Novel Glonggong


Oleh : Junaedi Setiyono
Penerbit : Serambi
Penyunting : Imam Muhtarom
Penyerasi : Navisa Rahmani
Pewajah Isi : Siti Qomariah
Tahun : 2007,
293 halaman
Fiksi-sejarah

“hari itu Ahad 28 Maret 1830. Aku hanya bisa memandang dari jauh roda kereta yang
berderak dan kaki kuda yang berlari berderap, membawa pergi Kanjeng Sultan
Ngabdulkamid…”
Dilatari oleh peristiwa yang merubah arah sejarah tanah Jawa, novel ini bergulir…
Perang Jawa atau perang Diponegoro atau Java Oorlog yang berlangsung selama 5 tahun
antara tahun 1825-1830 telah menorehkan banyak kesan di benak orang-orang yang
mencoba menyimaknya, termasuk saya.
Di dalam sejarah 350 tahun pendudukan Belanda terdapat 3 Perang besar yang
membuat pusing “Perusahaan Belanda di Hindia” ini. Tiga perang itu adalah Perang
Jawa, Perang Aceh (Perang Padri) dan Perang Bali. Diantara ketiga perang besar itu,
perang Jawa-lah yang bisa dibilang paling dahsyat. Walaupun ‘hanya’ berlangsung 5
tahun, perang Jawa telah menghabiskan kurang lebih 8000 jiwa orangEropa, 7000 jiwa
Pribumi yang ada di pihak Belanda dan lebih dari 200.000 jiwa orang Jawa
(diperkirakan penduduk seluruh Hindia-Belanda waktu itu baru tujuh juta orang. Bisa
dikira-kira kalau penduduk Yogyakarta tinggal separuhnya waktu itu). Sekurang-
kurangnya dua puluh juta gulden dihabiskan untuk membiayai perang ini (jumlah yang
tidak sedikit waktu itu dan hampir membangkrutkan Belanda di Hindia).
Novel pemenang sayembara novel 2006 Dewan Kesenian Jakarta karya Junaedi Setiyono
ini patut diberi dua jempol dan ucapan Bravo!!. Cerita yang mengalir tidak terjebak
menjadi kisah-kisah tentang para pendekar ahli kanuragan yang sakti mandraguna
penuh sihir dan mantra, yang biasa dijadikan bumbu dalam kisah-kisah berlatar
sejarah.Ini kisah tentang den Glonggong, seorang raden berdarah kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat yang terpaksa harus hidup penuh onak dan duri demi mencari jati dirinya,
seru dan mengharukan.
Novel ini bukanlah novel tentang Pangeran Dipanegara sang “Sultan Ngabdulkamid
Erucakra Kabirulmukmina Kalifatul Rasululah Hamengkubuwono Senapati Ingalaga
Sabilulah ing Tanah Jawi”, sebuah gelar yang membuat para bangsawan
kesultanan Yogyakartadan Pihak Belanda merasa gerah. Novel ini bercerita tentang
seorang anak laki-laki yang tercabut dari lingkungan darah biru-nya dan akhirnya
berusaha untuk mengabdi kepada seorang Pangeran yang diharapkan bisa menjadi
‘Ratu Adil’ bagi tanah Jawa yang tercabik oleh angkara murka. Berbagai kejadian dialami
Glonggong dalam perjalanannya. Dikhianati oleh guru, junjungan dan sahabat-
sahabatnya. Bertemu dengan wanita-wanita yang akan menuntun jalannya. Berhadapan
dengan lawan-lawan yang termasuk didalamnya adalah kakak kandung dan ayah tirinya

Resensi Novel Glonggong


sampai akhirnya melihat dengan perasaan tercabik ketika sang Pangeran ditangkap oleh
Belanda dengan cara yang tidak ksatria.
Perang Jawa yang menjadi latar belakang novel ini di awali ketika pihak Belanda dengan
sepihak mematok untuk membuat jalan tembus yang melewati rumah pangeran
Dipanegara di Tegalrejo. Pangeran Dipanegara terpaksa mengungsi ke Selarong bersama
pengikut-pengikutnya termasuk Kyai Modjo, guru dan sekaligus panglima perangnya.
Peristiwa ini digambarkan sekilas di Novel ini, ketika Glonggong baru pulang dari upaya
mencari keberadaan kakak perempuannya. Akan tetapi sebelum Perang Jawa pecah,
keadaan di tanah Jawa memang sudah carut marut dengan penyalahgunaan kekuasaan
oleh para bangsawan kraton. Beban pajak yang aneh-aneh menghimpit rakyat jelata
seperti pajak tanah, pacumpleng (pajak pintu), kerigaji, pangawang-awang (pajak
halaman), wilah welit (pajak sawah), pajongket, pajak bekti, pajak tol. Bahkan seorang
penjahat yang tertangkap dapat dilepaskan dengan alasan melarikan diri bila bisa
membayar uang kepada penguasa. Tidak beda dengan keadaan kita sekarang bukan?
Maka tidak aneh bila timbul kerinduan terhadap sang ‘Ratu Adil’ yang bisa melepaskan
rakyat jelata dari keserakahan para pejabat eh bangsawan.
Membaca Novel Glonggong ini saya teringat akan kisah yang mirip tetapi berbeda
tentang seorang pendekar samurai Jepang paling terkenal, Miyamoto Musashi
(Miyamoto Musashi adalah tokoh nyata yang dibuat novelnya oleh Eiji Yoshikawa yang
juga membuat buku tentang sepak terjang panglima perang paling terkenal di Jepang,
Oda Nobunaga, “Taiko”). Seperti halnya Glonggong yang suka menggunakan glonggong
atau batang daun pohon pepaya yang terbuat dari kayu sebagai senjata. Musashi juga
lebih suka menggunakan pedang kayu dari pada pedang besi. Musashi juga seorang anak
yang berdarah biru yang terbuang dari lingkungannya, mengembara mencari jalan
pedang. Berangasan pada awalnya tetapi menjadi ‘sensei’ atau empu di bidang Zen,
prinsipnya adalah belajar mengekang diri bukan melukai atau membunuh. Buku
karangannya yang paling terkenal adalah The Book of Five Rings. Aaah jadi
melantur..hahahaha.
Di tahun 1830 Perang Jawa usai sudah dan pihak kesultananYogyakarta dibantu oleh
Belanda keluar menjadi pemenangnya. 64 tahun kemudian atau sekitar tahun 1894
terbitlah buku De Java Oorlog : 1825-1830 yang terdiri 6 jilid. Setiap jilidnya lebih dari
700 halaman. Buku yang menghabiskan 15 tahun penyusunan ini disusun oleh dua
kapten infanteri Tentara Hindia Belanda, P.J.F. Louw dan E.S. de Klerck. Sampai sekarang
tidak satu jilidpun buku-buku tersebut yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia,
bukti ketidakpedulian akan sejarah bangsa ini?.
Bila anda ingin mengetahui sedikit lebih banyak tentang Perang Jawa yang melatari
Novel ini silahkan baca :
Swantoro, Polycarpus, Dari Buku ke Buku : Sambung menyambung menjadi satu.
(Jakarta, KPG dan Rumah Budaya TeMBI, 2002).
Lombard, Denys, Nusa Jawa : Silang Budaya. (Jakarta, Gramedia, Forum Jakarta-Paris
dan EFEO, 2005).

NB : gambar nyulik dari sitenya mas Qyu dihttp://qyus.multiply.com/reviews/item/7


Contoh Resensi Buku

Resensi Novel Glonggong


Judul            : 7 Keajaiban Rejeki
Pengarang    : Ippho Santosa
Penerbit       : PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia-Jakarta
Tebal            : 192 halaman

                Keajaiban yang ada di dunia ini tentunya sudah banyak


yang terjadi. Di mana kebesaran Allah-lah telah memberikan beberapa keajaiban itu
yang membuat kita heran, tidak memungkinkan untuk bisa terjadi di dunia yang
sesungguhnya, yang secara logika tidak dapat dipikir oleh kita bahwa kejadian itu akan
terjadi. Sungguh besar Allah Yang Maha Kuasa, dapat memberikan keajaiban pada
hambanya, khususnya kita yang telah berupaya dekat dengan-Nya, beriman kepada-Nya,
patuh kepada orang tua. Maka, tak segan-segan Allah akan memberikan keajaiban
kepada kita.
                Di samping keajaiban itu, pastilah terkait dengan yang namanya rezeki. Rezeki
yang telah didapatkan dengan tiba-tiba, tak diduga oleh kita datangnya rezeki itu oleh
Allah SWT. Keajaiban rezeki pada dasarnya mudah kita dapatkan jika dipikir secara
logika, namun sangatlah sulit tanpa adanya kenyataan, tanpa adanya penerapan-
penerapan di kehidupan sehari-hari. Lalu, bagaimana kita bisa mendapatkan keajaiban-
keajaiban rezeki yang tak tertandingi itu?  Bagaimana kita dapat mempercepat
kebetulan akan terjadinya keajaiban rezeki itu dengan pendekatan otak kanan dan
sentuhan-sentuhan Islam? Apa terkait dengan keimanan, kesehatan, impian, hubungan,
atau apa? Hal-hal itu akan dibahas dalam buku yang ditulis oleh Ippho Santosa, 7
Keajaiban Rezeki (Rezeki Bertambah, Nasib Berubah, dalam 99 Hari, dengan Otak
Kanan).
                Di dalam buku ini tidak hanya memberitahukan bagaimana meraih kesuskesan
pada diri kita atau pada pembaca. Akan tetapi, memberitahukan bagaimana cara dan
tips-tips, kisah-kisah para pengguna otak kanan yang telah berhasil memperoleh
keajaiban-keajaiban tersebut maupun keuntungan dari rezeki yang didapatkan. Buku ini
patut diacungi jempol karena berkat buku ini, banyak pendapat dari masyarakat atau si
pembaca yang mengakui bahwa keberhasilan apa  yang telah didapatkan selama ini
adalah keberhasilan dari pembelajaran dari buku yang ditulsi Bang Ippho itu.
Disuguhkan pula testimoni dari pengusaha-pengusaha, pakar otak kanan, yang salah
satu dari mereka, Chandra, Pengusaha Kopi, Bandung mengatakan bahwa sekarang ia
jadi orang yang pantang menyerah dan tidak pernah kehabisan akal, yang menurutnya
ia tertular otak kanannya Bang Ippho berkat buku yang ia beli, 7 Keajaiban Rezeki. Oleh
karena itu, buku ini juga patut dijadikan Mega Best Seller. Apa lagi diberikan CD motivasi
yang membuat kita menjadi lebih semangat, tidak mudah menyerah.

Resensi Novel Glonggong


                Meski penulis tidak membuat semua isi menjadi bentuk kalimat paragraf, tapi
ada yang dijadikan beberapa poin, maka dari itu justru lebih mudah bagi si pembaca
untuk memahami isi dari cerita tersebut, dan mudah dicerna.  Seluruh keajaiban yang
diceritakan dalam buku ini merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh si pembaca,
karena di dalamnya memuat penggunaan otak kanan dan juga hal dalam meraih
kesuskesan, bahkan kekayaan dan juga tak kalah pentingnya kebahagiaan dunia
maupun akhirat juga cuplikan kisah cerita dari ayat-ayat Al-Quran. Dengan demikian,
pembaca dapat mengetahui kesukesan yang sebenarnya yaitu dengan metode tadi, otak
kanan. Penggunaan metode otak kanan lebih meluas dibanding menggunakan metode
otak kiri. Maka dari itu, buku ini sangat cocok sekali bagi pengusaha atau pun para
pebisnis yang benar-benar menginginkan hasilnya menjadi sukses.
                Kelebihan lain dari buku ini yaitu di mana penulis juga memberikan kata yang
penuh mutiara, selain itu juga terdapat pernyataan humor yang bisa membuat si
pembaca tersenyum. Jadi, pembaca tidak merasa bosan kala membaca buku ini. Penulis
juga memberikan arahan kepada pembaca, apa yang harus pembaca lakukan setelah
memahami isi dari buku ini, setelah memahami satu per satu keajaiban-keajaiban yang
telah dibaca. Dengan itu, maka pembaca lebih mudah menerapkan apa saja kejaiban
rezeki yang diberikan.
Di bagian lain, penulis juga menuliskan buku  terbaiknya sehingga pembaca dapat
tertarik juga untuk membaca karya-karya Bang Ippho itu selain 7 Keajaiban Rezeki ini.
Apa lagi, dari berbagai buku yang dikarangnya, saling berkaitan sati dengan lain. Di
antara buku terbaiknya, yaitu 10 Jurus Terlarang, 13 Wasiat Terlarang, Marketing is
Bullshit. Penulis juga memberitahukan bagaimana seminar dan pelatihan-pelatihan yang
benar yang telah ia lakukan, sampai pelatihan terbaik untuk si pembaca.
Namun, di sisi kekurangan pada buku ini, penulis kurang menceritakan
kekurangan dibalik pengguna otak kanan tersebut. Penulis hanya menuliskan
keunggulan atau manfaat positif pedoman mendapatkan rezeki maupun kesusksesan
dengan otak kanan. Di sisi negatif menggunakan otak kanan kurang dituliskan dalam
buku ini. Jadi, kita kurang tahu apa saja kekurangan yang ada pada otak kanan dalam hal
meraih keajaiban.
Dalam buku ini disuguhkan beberapa pedoman dalam langkah proses menuju
perolehan keajaiban rezeki, yaitu Lingkar Pengaruh dimulai dari Lingkar Diri yang
segala sesuatunya itu bermula atau berasal dari kita sendiri tentunya dengan usaha kita;
Lingkar Keluarga yaitu dukungan, doa dari keluarga khusunya orang tua kita, karena
tanpa usaha, dukungan dan doa dari orang tua kita, kita tidak akan berhasil
mendapatkan sesuatu dengan maksimal; Lingkar Sesama yang merupakan lingkukan
sesama di mana mereka sangat membantu proses usaha kita; Lingkar Semesta, sampai
Lingkar Semesta. Jika kita berhasil menjaga tiga lingkar yang pertama, maka dengan
sendirinya kita akan berhasil menyentuh dua lingkar berikutnya. Namun, jika kita
abaikan Lingkar Diri, Lingkar Keluarga, dan Lingkar Sesama, maka akan tersaingi dari
Lingkar Semesta dan Lingkar Pencipta. Dari pedoman-pedoman itu, pembaca dapat
mengetahui seberapa pentingnya usaha dari diri sendiri, doa dan dukungan orang tua,
lingkungan sesama, semesta, maupun pencipta di mana tanpa adanya lingkar pencipta,
usaha yang kita lakukan merupakan hal yang sia-sia. Tujuh dari keajaiban tersebut yaitu,
Sidik Jari Kemenangan, Sepasang Bidadari, Sepasang Bidadari, Golongan Kanan, Simpul
Perdagangan, Perisai Langit, Pembeda Abadi, dan Pelangi Ikhtiar.

Resensi Novel Glonggong


Pada bagian Sidik Jari Kemenangan, pembaca dituntut untuk menuliskan cara si
pembaca untuk meraih kemenangan menurut dirinya sendiri yang disebut dengan Sidik
Jari Kemenangan di baris yang tersedia pada bagian ini.
Bagian kedua, Sepasang Bidadari yang menceritakan tentang pentingnya
kesertaan doa, dan kesehubungan impian kita dengan orang tua, karena tanpa ada
kepercayaan, dukungan, serta doa dari orang tua, kita tidak dapat atau tidak berhasil
dalam memperolehhasil dari usaha. Sebaliknya, jika antara kita dengan orang tua
memiliki kesinambungan, maka keajaiban akan datang, hasil dari usaha kita akan
berhasil bahkan melampaui target kita.
Selanjutnya yaitu Golongan Kanan. Bagian ini menceritakan bahwa dari
penggunaan otak kanan, kita dapat menciptakan keajaiban-keajaiban, baik dalam karier,
bisnis, kehidupan, ibadah, dan apa pun. Hal itu memang sudah ada kenyataan pada
kehidupan ini, segala sesuatu yang menggunakan otak kanan, lebih baik daripada otak
kiri, karena otak kiri cenderung memikirkan, sedangkan otak kanan membayangkan.
Contohnya saja bersedekah, dengan otak kiri, kita dapat memikir bahwa uang kita
tentunya akan berkurang setelah bersedekah, dan malah tambah miskin, tetapi secara
pemikiran menggunakan otak kanan, malah sebaliknya. Karena itu, tidak ada yang tidak
mungkin dengan otak kanan dan otak kanan selalu siap dengan adanya perubahan, lain
dengan halnya otak kiri yang masih saja meragukan akan adanya perubahan. Maka dari
itu, kita dituntut untuk menggunakan otak kanan kita sebaik-baiknya.
Keajaiban ke-4 yaitu Simpul Perdagangan. Dalam bagian ini, terdapat satu wasiat
Nabi yang memerintah kita untuk berdagang, karena Sembilan dari sepuluh pintu rezeki
itu berada pada perdagangan dan salah satu yang bisa membuat kita kaya adalah
berdagang. Dari sinilah pembaca dapat terhimbau untuk berdagang, apa saja yang
menghalalkan. Tetapi sebelum melakukannya, pembaca perlu memahami Simpul
Perdagangan yang tertera di buku ini.
Bagian lain adalah Perisai Langit, bahwa yang dimaksudkan adalah persatuan
antara sikap, shalat, perkataan, perbuatan, maupun pemberian yang jika kita sudah
mempunyai kelimanya dipastikan tidak akan ada makhluk bumi yang sanggup
menghalang-halangi rezeki kita. Maka itu, kita dianjurkan bersedekah agar keajaiban itu
dapat datang seketika di depan kita.
Keajaiban lain yang ditonjolkan pada buku ini adalah Pembela Abadi, yang
dimaksudkan, lantaran menghasilkan dan membahagiakan suatu kekuatan kita, maka
dengan senang hati kita akan terus-menerus mendalaminya, dan jadilah suatu
keunggulan yang berkelanjutan bagi kita yang merupakan bagaikan suatu keajaiban.
Oleh karenya, kita seharusnya lebih meningkatkan kekuatan, disbanding memperbaiki
kekuatan. Dari hal ini, pembaca dapat mengetahui bahwa yang harus ia lakukan
yaitumencari sesuatu yang diminati yang pasti menghasilkan dan membahagiakan,
memantau persepsi publik terhadap kita, lalu kita kendalikan, menemukan kunci yang
mewakili siapa kita sebenarnya, lalu mengeksposnya, dan mempertahankan Pembela
Abadi kita selama-lamanya.
Terakhir yaitu Pelangi Ikhtiar, yang menjadikan Pelangi Ikhtiar yaitu impian,
tindakan, kecepatan, keyakinan, pembelajaran, kepercayaan, dan keihlasan. Dari sini,
kita dapat mewujudkan impian dengan penerapan yang dapat menggali kita untuk
meraih Pelangi Ikhtiar.
Dari sekian banyak keajaiban, menurut pendapat saya, sajian cerita yang
dipaparkan dalam buku ini sangatlah menarik, di mana terdapat rahasia di balik proses
untuk meraih hasil suskes, yang semua keajaiban itu dapat menjadi penerapan kita

Resensi Novel Glonggong


untuk meraih kesuksesan. Juga buku ini dapat menjadi motivasi bagi kita, dan ingin
melaksanakan segera apa yang telah dipaparkan dalam buku ini.
Posted 3rd March by Three Scripts

Judul : Matilda.
Pengarang : Ronald Dahl
(Ilustrasi oleh Quentin Blake).
Alihbahasa : Agus Setiadi.
Penerbit : Gramedia, 1991.
Tebal : 259 halaman.
Ukuran : 13,5 x 19,8 cm.

Enak rasanya memahami dunia anak-anak dan berkecimpung di dalamnya. Anak-anak


dapat berpikir seperti orang dewasa, bahkan lebih bijak lagi tanpa meninggalkan citra
anak-anak yang suci dan polos. Itu kira-kira yang ingin disampaikan oleh Ronald Dahl
kepada pembaca Matilda. Buku setebal 259 halaman yang tidak terasa tebal jika dibaca
ini menampilkan sosok Matilda, bocah 5 tahun yang hobinya membaca. Buku-buku
karya pengarang dunia seperti Charles Dickens, Voltaire, Hemingway, Kliping, Tagori,
Shakespiere sudah dibacanya saat umurnya belum genap 5 tahun.

Buku ini menarik karena diberi ilustrasi yang menunjang. Katakatanya enak dibaca, dan
memiliki adegan-adegan di luar batas kenormalan. Mungkinkah ada kepala sekolah SD
yang tega menarik kepang rambut muridnya dan membuat anak itu seperti baling-
baling di atas kepala Kepsek hanya karena si anak tidak memotong rambut
keemasannya? (hlm. 123). Mungkinkah pula ada seorang Kepsek yang mempunyai alat-
alat untuk menghukum siswa bandel bak alat-alat penyiksaan di kamp Nazi; dan
menyuruh seorang anak kecil memakan kue tar coklat berdiameter 20 cm? Dan rasanya
tidak ada di dunia ini orangtua menganggap anak perempuannya yang bungsu (Matilda)
sebagai bisul yang mengganggu (hlm. 10).

Meskipun cerita-ceritanya memberi kesan menyeramkan, kala membacanya kita tidak


merasa merinding karena gaya penceritaan dibuat seringan mungkin, sesuai dengan
sasaran pembaca buku ini, yaitu anak-anak SD di Inggris sana. Yang mungkin agak
membuat pembaca Indonesia bingung adalah siapa sasaran pembaca buku ini. Dalam
katalog, buku ini dikatagorikan sebagai fiksi anak-anak. Namun, mengingat jumlah
halaman dan kosakatanya, buku ini terasa berat bagi anak-anak SD di Indonesia.

Matilda menceritakan seorang anak berumur 5 tahun yang memiliki kepandaian di atas
ukuran orang dewasa. Sialnya, kepandaiannya ini tidak diperhatikan orangtuanya
karena mereka tergolong orangtua yang menganggap anaknya sebagai kutu yang
menjijikkan. Bahkan, orangtuanya menganggap Matilda tidak berguna dan bodoh (hlm.
27). Hampir separoh kisah Matilda bercerita tentang ”pembalasan” Matilda terhadap
sikap dan ucapan orang tuanya. Dengan kemampuan supernya, yaitu mampu
menggerakkan barang hanya dengan pikiran saja, Matilda berhasil membantu Miss.
Honey mendapatkan rumah dan uangnya yang diambil Kepala Sekolah SD, Ibu
Thrunchbull.

Resensi Novel Glonggong


Pembalasan Matilda dimungkinkan terjadi karena selain cerdas, Matilda juga banyak
membaca. Matilda yang tersia-sia ini akhirnya tinggal dengan Miss. Honey, gurunya,
karena orangtuanya dan kakaknya pindah ke Spanyol akibat kasus kejahatan yang
mereka lakukan. Ronald Dahl tampaknya menekankan pentingnya kegemaran
membaca. Tokoh-tokoh baik dan pintar dalam buku ini adalah orangorang yang gemar
membaca, sedangkan tokoh-tokoh jahat seperti orangtua Matilda dan Kepsek adalah
orang-orang yang hobinya bermain.

Resensi Novel Glonggong

Anda mungkin juga menyukai