Resensi Novel
Disusun Oleh :
Muhammad Iqbal Arifin
19 / XI IPA 1
Judul : Glonggong
Semesta
A. Unsur Instrinsik
1. Tokoh :
a. Danukusuma (Glonggong)
Sejak saat itu, aku dipanggil Glonggong oleh teman-temanku. Hal: 11
b. Raden Ayu Wahyuningsih (Ibu Glonggong)
Ibuku seorang Raden Ayu dari daerah Tegalreja yang menikah dengan seorang
jagabaya dari wilayah Bagelen. Hal: 12
c. Rama Suwanda (Ayah Tiri Glonggong)
“Kau tahu mengapa ku lebih banyak di kamar?” begitu tanyanya suatu hari
setelah sebelumnya kulihat dia pergi keluar naik bendi bersama Rama
Suwanda, ayah tiriku. Hal: 13
d. Suta (Kiai Sufyan)
Suta, salah seorang temanku, berhasil menyabet pipiku dengan telak. Hal: 6
e. Mbok Trima (Pengasuh Glonggong)
Saking asyiknya aku bermain perang-perangan, entah berapa kali aku diseret
dan digendong pulang oleh Mbok Trima, pengasuhku, untuk dimandikan. Hal:
4
f. Raden Mas Surya Widagda (Surya)
Namun, ada temanku yang merasa gerah bahkan kadang marah bila dipanggil
tanpa embel-embel ‘Den’, namanya Surya. Hal: 16
g. Ki Trima (Suami Mbok Trima)
Bicara tentang kekuatan aku harus bicara tentang Ki Trima, suami Mbok
Trima. Hal: 22
h. Hendrick (Sinyo)
Ya, sinyo itu adalah Hendrick sendiri. Hal: 25
i. Kiai Ngali (Ayah Suta)
Tetangga kanan-kirinya memang memanggil Kiai Ngali. Hal: 34
2. Tema :
Peperangan
Hari itu 20 Juli 1825. Dan sejak hari itu mulailah Java Oorlog, Perang Jawa. Hal:
132
4. Alur :
Alur cerita bersifat bolak-balik. Dimana didalamnya dipadu bukan hanya berkisah
mengenai cerita dan latar suasana perang tahun 1800-an di tanah Jawa, akan tetapi
dibumbui dengan kisah ketulusan cinta sang aktor utama, Glonggong. Ketulusan dan
kesetian cinta bukan hanya pada saudara, istri dan teman, tetapi juga dengan masyarakat
luas.
5. Setting :
a. Waktu
i. Siang Hari
Matahari sudah condong ke barat. Hal: 136
ii. Ahad, 28 Maret 1830
Hari itu Ahad 28 Maret 1830. Hal: 283
b. Tempat
i. Taman
Aku masih ingat betul ketika dibawa melewati taman yang penuh bunga
warna merah-ungu. Hal: 3
6. Point of View :
a. Penulis
Orang pertama, pelaku utama.
Aku ingat betul itu. Hal: 3
b. Peresensi
Orang ketiga, pelaku utama.
Sewaktu kecil Danukusuma, anak keturunan kertaon, sangat pandai
memainkan pedang glonggongnya hingga akhirnya ia terkenal akan
kehebatannya dan mendapat sebutan dengan nama “Glonggong”.
7. Amanat :
Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten membela
kebenaran di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan kekecewaannya
terhadap teman-temannya dan gurunya yang pada akhirnya memilih hidup
nyaman dengan meninggalkan perjuangan melawan ketidakadilan. Selain itu, kita
sebagai manusia yang bertakwa dan berbudi pekerti, jangan sampai jatuh ataupun
terlena karena harta, takhta, dan wanita. Kita harus selalu mensyukuri apa yang
telah Allah berikan kepada kita.
8. Gaya Bahasa :
Sederhana, mudah dipahami, indah menawan.
9. Suasana :
a. Mengharukan
Aku tak punya ibu, tak punya rumah, tak punya apa pun. Hanya ada selembar
pakaian yang melekat di badan. Hal: 93
b. Panik
“Lihatlah api itu,” kata orang berjubah sesudah ia membalikkan badannya kea
rah Puri Tegalreja. Hal: 131
B. Unsur Ekstrinsik
1. Pengarang
Sebuah novel histografi Perang Dipanegara. Genetika kebobrokan politikus
sekarang bias dilacak dengan jelas dalam novel ini.
2. Pembaca
Dalam novel Glonggong penataan alur dan bahasanya indah menawan, intrik
politisnya pelik dan cerdas, karakter tokoh-tokohnya matang dan mendalam,
novel sejarah paling mengesankan yang pernah saya baca.
1. Keunggulan Buku
Walau novel ini berlatar belakang Perang Jawa ini kita tidak akan
disuguhkan oleh serunya peperangan antara Laskar Dipanegaran dengan
Belanda atau kisah-kisah heroik Sang Pangeran dan laskar-laskarnya dalam
membela haknya. Sang Pangeran dalam novel ini hanya muncul sekilas saja,
selebihnya novel ini lebih mendeskripsikan kisah kehidupan Glonggong dan
tokoh-tokoh lain yang merupakan lapisan pertama dan kedua dari hirarki
pasukan Diponegoro. Selain itu novel ini juga mengupas intrik politik dan
perilaku kaum bangsawan keraton dalam melawan Belanda.
Karakter glonggong dieksplorasi secara baik oleh penulis sebagai pribadi
yang pantang menyerah terhadap kepahitan hidupnya yang tercerabut dari
keluarganya, berperang melawan ayah tiri dan saudara kandungnya sendiri,
dikhianati oleh guru dan sahabatnya, hingga menyaksikan dengan mata dan
kepalanya sendiri bagaimana akhirnya Sang Pangeran yang dijunjungnya
tertangkap oleh Belanda. Namun hal ini tidak membuat dirinya undur dari
perjuangannya dan tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap
tugas yang diembannya.
Novel setebal 293 halaman ini memiliki plot yang cepat dengan kalimat-
kalimat yang enak dibaca. Untuk lebih menghidupkan novel ini, penulis
menggunakan beberapa istilah dalam bahasa jawa. Untuk itu, buku ini
menyediakan daftar glosari di halaman akhir yang memuat 74 istilah jawa.
Sangat membantu, walau sedikit mengganggu kenikmatan membaca karena
harus membolak-balik daftar glosari ketika menemukan istilah yang tidak
dimengerti. Mungkin lebih baik diberi catatan kaki saja sehingga pembaca tak
perlu terhenti lebih lama untuk membolak-balik buku ini.
Novel ini menarik untuk disimak. Awalnya saya menyangka novel ini
seperti layaknya novel-novel pendekar dimana tokohnya menderita, terkucilkan,
dan akhirnya menjadi seorang yang besar dan disegani. Rupanya penulis tak
terjebak dalam alur seperti itu. Di sini penulis mengelaborasi jalan hidup
tokohnya secara lain , glonggong tetaplah glonggong, yang namanya tidak dikenal
dan bukan siapa-siapa hingga kisahnya berakhir.
Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten
membela kebenaran di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan
kekecewaannya terhadap teman-temannya dan gurunya yang pada akhirnya
memilih hidup nyaman dengan meninggalkan perjuangan melawan
ketidakadilan.
Penulis (Junaedi Setiyono) yang notabene adalah staf pengajar di UMP (Univ.
Muhammadiyah Purworejo), menuangkan novel sejarah peperangan Dipanegara dengan
bahasa yang tidak sulit dipahami. Novel pemenang sayembara penulisan novel DKJ
tahun 2006 ini diterbitkan pada tahun 2007 oleh penerbit Serambi Jakarta.
Penulis mencoba mengisahkan sejarah dari sisi lain. Sisi yang bisa dibilang lebih
komplek. Sisi dimana jarang sekali diungkapkan di pelajaran sejarah sekolah. Tentang
pengkhianatan orang-orang keraton, para pangerannya, dan masyarakat pribumi pada
umumnya.
Dikisahkan dengan sudut pandang orang pertama. Alur cerita bersifat bolak-balik.
Dimana didalamnya dipadu bukan hanya berkisah mengenai cerita dan latar suasana
perang tahun 1800-an di tanah Jawa, akan tetapi dibumbui dengan kisah ketulusan cinta
sang aktor utama, Glonggong. Ketulusan dan kesetian cinta bukan hanya pada saudara,
Makna dan pesan yang juga beberapa muncul secara tersurat maupun tersirat.
Diantaranya pengkisahan hikayat atau cerita Nabi, mulai dari Adam, Ibrahim sampai
Sulaiman yang dapat berbicara dengan binatang. Pesain lain bahwa seorang lelaki sejati
tidak akan bermain perempuan, dan menahan nafsu untuk memperoleh bidadari yang
seutuhnya dan memuliakannya pada saatnya nanti. Pada saat pernikahan resmi benar-
benar berlangsung.
Judul : Glonggong
Penulis : Junaedi Setiyono
Penyunting : Imam Muhtarom
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : 293 hal
Perang Jawa atau De Java Oorlog (Belanda) adalah perang besar dan menyeluruh yang
berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, antara pasukan
penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang
dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro atau yang dalam
novel ini disebut-sebut sebagai Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Perang ini merupakan
salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah
Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini
sebagai Perang Jawa
Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang
dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare),
maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit
and run. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran.
Di pihak Belanda perang ini menghabiskan 20 juta gulden dan banyak memakan korban.
Belanda kehilangan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, sedangkan
rakyat Jawa yang tewas sebanyak 200.000. Sehingga setelah perang ini jumlah
penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Novel Glonggong, adalah novel sejarah berlatar Perang Jawa. Namun bukan novel
tentang Pangeran Diponegoro atau tokoh-tokoh perang jawa lainnya. Novel ini
mengisahkan seorang pemuda yang namanya tidak akan pernah kita temui dalam buku-
buku sejarah. Tokoh utama novel ini bernama Danukusuma yang lebih dikenal dengan
Resensi Novel Glonggong
nama Glonggong.
Dalam darah Glonggong mengalir darah biru. Namun hidupnya tak semulus teman-
temannya yang berdarah biru lainnya. Ibunya seorang Raden Ayu dari daerah Tegalreja
(tanah kelahiran Pangeran Diponegoro) yang menikah dengan Kiai Sena, seorang
jagabaya (penjaga kemanan) dari wilayah Bagelen. Namun pernikahan ini tak
berlangsung lama karena ayahnya hilang ketika terjadi peristiwa pemberontakan yang
dipimpin oleh Raden Rangga Prawidirja pada tahun 1810. Saat itu Glonggong masih
dalam ayunan gendongan selendang ibunya. Ia tak sempat mengingat wajah ayah
kandungnya yang tak pernah pulang.
Ibunya kemudian menikah lagi dengan Raden Suwanda. Glonggong tinggal bersama ibu
dan ayah tirinya, sementara dua orang saudaranya tinggal bersama pamannya. Walau
telah menikah, ibu glonggong masih terus memikirkan Kiai Sena sehingga kondisi
psikisnya terganggu, ia hidup dalam dunianya sendiri, setiap hari dilaluinya mengeram
dalam kamar sambil menembangkan tembang-tembang mapacat. Sedangkan Raden
Suwanda, ayah tiri glonggong, sibuk dengan kepriyayiannya. Tak ada tegur sapa yang
harmonis layaknya bapak dan anak. Ayah tirinya terlampau asing bagi glonggong.
Dalam keluarga yang seperti inilah Glonggong dibesarkan, sejatinya ia tumbuh dalam
asuhan kedua orang pembantunya. Setiap hari dilaluinya dengan bermain glonggong
bersama anak-anak desa di kampungnya. Ketika Raden Suwanda memperoleh
pendamping baru, glonggong dan ibunya diusir dari rumahnya sendiri. Mereka terpaksa
harus tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan. Dengan setia glonggong merawat ibunya
hingga sebuah tragedi merengut nyawa ibunya dan membuat Glonggong harus hidup
terlunta-lunta sebatang kara.
Hidup sendirian membuat dirinya bertekad untuk berkelana untuk mencari ayah dan
dua kakak kandungnya. Kemahirannya memainkan glonggong juga membuatnya bekerja
sebagai pengawal para priyayi keraton. Pekerjaan ini membuatnya memahami bahwa
para priyayi umumnya hidup dalam kemewahan harta, tahta, dan wanita yang
memabukkan kehidupan mereka. Lalu ia juga bergabung dengan barisan prajurit
Pengeran Dipanegoro yang saat itu sedang berjuang melawan Belanda. Saat itu keraton
Ngayogyakarta terbelah menjadi dua, satu pihak mendukung perjuangan Diponegoro, di
lain pihak bersekongkol dengan Belanda.
Dalam sebuah tugasnya mengawal peti harta karun laskar dipanegaran guna ditukarkan
Novel Glonggong karya Junaedi Setiono, yang sehari-harinya mengajar sebagai dosen di
Universitas Muhammadiyah Purworejo ini merupakan novel pertamanya dan langsung
didapuk sebagai pemenang ke-empat (harapan I) sayembara Novel Dewan Kesenian
Jakarta 2006. Sebelumnya cerpen dan puisinya pernah memenangi sayembara penulisan
cerpen dan puisi. Cerpen dan Puisi-puisinya telah dimuat di media masa lokal
(Porworejo), juga dapat ditemui dalam beberapa antologi puisi yang terbit sejak tahun
1988, yang terakhir , kumpulan puisi dan cerpennya dibukukan alam antologi Kemuning
(2005)
Walau novel ini berlatar belakang Perang Jawa ini kita tidak akan disuguhkan oleh
serunya peperangan antara Laskar Dipanegaran dengan Belanda atau kisah-kisah heroik
Sang Pangeran dan laskar-laskarnya dalam membela haknya. Sang Pangeran dalam
novel ini hanya muncul sekilas saja, selebihnya novel ini lebih mendeskripsikan kisah
kehidupan Glonggong dan tokoh-tokoh lain yang merupakan lapisan pertama dan kedua
dari hirarki pasukan Diponegoro. Selain itu novel ini juga mengupas intrik politik dan
perilaku kaum bangsawan keraton dalam melawan belanda.
Tak ada deskripsi mendetail baik mengenai peristiwa sejarah, setting lokasi dan
waktunya. Melalui kisah hidup glonggong, penulis lebih memilih untuk mengungkap
bagaimana kebobrokan kehidupan para priyayi keraton yang memilih hidup nyaman
dan mencari aman dengan berpihak pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis bagaimana
akhirnya pasukan Dipanegaran sendiri yang akhirnya frustasi karena kekalahan-
kekalahan yang dideritanya sehingga akhirnya membelot dan mencari jalan sendiri-
sendiri.
Karakter glonggong dieksplorasi secara baik oleh penulis sebagai pribadi yang pantang
menyerah terhadap kepahitan hidupnya yang tercerabut dari keluarganya, berperang
melawan ayah tiri dan saudara kandungnya sendiri, dikhianati oleh guru dan
sahabatnya, hingga menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana
akhirnya Sang Pangeran yang dijunjungnya tertangkap oleh Belanda. Namun hal ini
tidak membuat dirinya undur dari perjuangannya dan tetap melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya terhadap tugas yang diembannya.
Novel setebal 293 halaman ini memiliki plot yang cepat dengan kalimat-kalimat yang
enak dibaca. Untuk lebih menghidupkan novel ini, penulis menggunakan beberapa
istilah dalam bahasa jawa. Untuk itu, buku ini menyediakan daftar glosari di halaman
akhir yang memuat 74 istilah jawa. Sangat membantu, walau sedikit mengganggu
kenikmatan membaca karena harus membolak-balik daftar glosari ketika menemukan
istilah yang tidak dimengerti. Mungkin lebih baik diberi catatan kaki saja sehingga
pembaca tak perlu terhenti lebih lama untuk membolak-balik buku ini.
Di awal kisah, penulis menyajikan novel ini seolah-olah Glonggong sedang menulis
Ada satu kejanggalan di halaman 111, disebutkan “Uang hasil menang judi sebanyak
sepuluh ribu rupiah perak dapat selamat sampai ke purinya” (hal 111). Yang jadi
pertanyaan, apakah pada masa itu istilah rupiah sudah mulai digunakan?
Namun terlepas dari kelemahan dan kejanggalan di atas, novel ini tetap menarik untuk
disimak Awalnya saya menyangka novel ini seperti layaknya novel-novel pendekar
dimana tokohnya menderita, terkucilkan, dan akhirnya menjadi seorang yang besar dan
disegani. Rupanya penulis tak terjebak dalam alur seperti itu. Di sini penulis
mengelaborasi jalan hidup tokohnya secara lain , glonggong tetaplah glonggong, yang
namanya tidak dikenal dan bukan siapa-siapa hingga kisahnya berakhir.
Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten membela kebenaran
di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan kekecewaannya terhadap teman-
temannya dan gurunya yang pada akhirnya memilih hidup nyaman dengan
meninggalkan perjuangan melawan ketidakadilan.
Dan seperti diungkap oleh Ahmad Tohari dalam endorsmen buku ini, novel ini
mengungkap genetika kebobrokan politikus sekarang yang bisa dilacak dengan jelas
dalam novel ini. Jika kita cermati, intrik politik yang terjadi lebih dari seratus lima puluh
tahun yang lampau masih terjadi hingga kini. Tidak percaya ? Silahkan baca novel ini.
@h_tanzil
Diposkan oleh htanzil di 10:02 AM
Glonggong
“hari itu Ahad 28 Maret 1830. Aku hanya bisa memandang dari jauh roda kereta yang
berderak dan kaki kuda yang berlari berderap, membawa pergi Kanjeng Sultan
Ngabdulkamid…”
Dilatari oleh peristiwa yang merubah arah sejarah tanah Jawa, novel ini bergulir…
Perang Jawa atau perang Diponegoro atau Java Oorlog yang berlangsung selama 5 tahun
antara tahun 1825-1830 telah menorehkan banyak kesan di benak orang-orang yang
mencoba menyimaknya, termasuk saya.
Di dalam sejarah 350 tahun pendudukan Belanda terdapat 3 Perang besar yang
membuat pusing “Perusahaan Belanda di Hindia” ini. Tiga perang itu adalah Perang
Jawa, Perang Aceh (Perang Padri) dan Perang Bali. Diantara ketiga perang besar itu,
perang Jawa-lah yang bisa dibilang paling dahsyat. Walaupun ‘hanya’ berlangsung 5
tahun, perang Jawa telah menghabiskan kurang lebih 8000 jiwa orangEropa, 7000 jiwa
Pribumi yang ada di pihak Belanda dan lebih dari 200.000 jiwa orang Jawa
(diperkirakan penduduk seluruh Hindia-Belanda waktu itu baru tujuh juta orang. Bisa
dikira-kira kalau penduduk Yogyakarta tinggal separuhnya waktu itu). Sekurang-
kurangnya dua puluh juta gulden dihabiskan untuk membiayai perang ini (jumlah yang
tidak sedikit waktu itu dan hampir membangkrutkan Belanda di Hindia).
Novel pemenang sayembara novel 2006 Dewan Kesenian Jakarta karya Junaedi Setiyono
ini patut diberi dua jempol dan ucapan Bravo!!. Cerita yang mengalir tidak terjebak
menjadi kisah-kisah tentang para pendekar ahli kanuragan yang sakti mandraguna
penuh sihir dan mantra, yang biasa dijadikan bumbu dalam kisah-kisah berlatar
sejarah.Ini kisah tentang den Glonggong, seorang raden berdarah kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat yang terpaksa harus hidup penuh onak dan duri demi mencari jati dirinya,
seru dan mengharukan.
Novel ini bukanlah novel tentang Pangeran Dipanegara sang “Sultan Ngabdulkamid
Erucakra Kabirulmukmina Kalifatul Rasululah Hamengkubuwono Senapati Ingalaga
Sabilulah ing Tanah Jawi”, sebuah gelar yang membuat para bangsawan
kesultanan Yogyakartadan Pihak Belanda merasa gerah. Novel ini bercerita tentang
seorang anak laki-laki yang tercabut dari lingkungan darah biru-nya dan akhirnya
berusaha untuk mengabdi kepada seorang Pangeran yang diharapkan bisa menjadi
‘Ratu Adil’ bagi tanah Jawa yang tercabik oleh angkara murka. Berbagai kejadian dialami
Glonggong dalam perjalanannya. Dikhianati oleh guru, junjungan dan sahabat-
sahabatnya. Bertemu dengan wanita-wanita yang akan menuntun jalannya. Berhadapan
dengan lawan-lawan yang termasuk didalamnya adalah kakak kandung dan ayah tirinya
Judul : Matilda.
Pengarang : Ronald Dahl
(Ilustrasi oleh Quentin Blake).
Alihbahasa : Agus Setiadi.
Penerbit : Gramedia, 1991.
Tebal : 259 halaman.
Ukuran : 13,5 x 19,8 cm.
Buku ini menarik karena diberi ilustrasi yang menunjang. Katakatanya enak dibaca, dan
memiliki adegan-adegan di luar batas kenormalan. Mungkinkah ada kepala sekolah SD
yang tega menarik kepang rambut muridnya dan membuat anak itu seperti baling-
baling di atas kepala Kepsek hanya karena si anak tidak memotong rambut
keemasannya? (hlm. 123). Mungkinkah pula ada seorang Kepsek yang mempunyai alat-
alat untuk menghukum siswa bandel bak alat-alat penyiksaan di kamp Nazi; dan
menyuruh seorang anak kecil memakan kue tar coklat berdiameter 20 cm? Dan rasanya
tidak ada di dunia ini orangtua menganggap anak perempuannya yang bungsu (Matilda)
sebagai bisul yang mengganggu (hlm. 10).
Matilda menceritakan seorang anak berumur 5 tahun yang memiliki kepandaian di atas
ukuran orang dewasa. Sialnya, kepandaiannya ini tidak diperhatikan orangtuanya
karena mereka tergolong orangtua yang menganggap anaknya sebagai kutu yang
menjijikkan. Bahkan, orangtuanya menganggap Matilda tidak berguna dan bodoh (hlm.
27). Hampir separoh kisah Matilda bercerita tentang ”pembalasan” Matilda terhadap
sikap dan ucapan orang tuanya. Dengan kemampuan supernya, yaitu mampu
menggerakkan barang hanya dengan pikiran saja, Matilda berhasil membantu Miss.
Honey mendapatkan rumah dan uangnya yang diambil Kepala Sekolah SD, Ibu
Thrunchbull.