Anda di halaman 1dari 10

AYAHKU,GAJAH MADAKU

Setiap hari sabtu dan minggu tiba aku gembira.Ayah selalu mengajakku kepantai
menikmati udara segar dan hangatnya deburan ombak. Menyusuri pagi hari menghirup udara
segar dan semilir angin laut menari menari membelai pasir membuat hatikun senang
menyaksikan. Aku terpana melihat burung burung camar terbang diatas awan.

Walaupun tujuan utama kami adalah menunggu ikan segar dari nelayan yang baru pulang
melaut. Disela waktu ayah selalu bercerita tentang kisah kejayaan kerajaan nusantara yakni
majapahit dan sriwijaya yang terkenal dengan kekuatan armada lautnya dan berjaya dinusantara.

Ketika itu tahun 1258 saka (1336 M) kerajaan majapahit dipimpin seorang maha patih
gajah mada yang terkenal dengan sumpah palapanya. Dikemukakan pada upacara
pengangkatanya menjadi Patih Amangkubumi Majapahit. Secara garis besar makna sumpah itu
berbunyi Jika telah menyatukan nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa.

Demikian sumpah lantang sang patih Kerajaan Majapahit, menurut kitab Pararaton. Ikrar
terucap karena kuatnya keinginan Gajah Mada untuk membendung pengaruh kerajaan-kerajaan
Asia Tenggara di Kepulauan Nusantara yang berada di bawah kuasa kerajaan yang ada di
dalamnya, bukan dikuasai kerajaan lain yang ada di daratan Asia Tenggara.

Gajah Mada mempunyai kesadaran penuh tentang kenegaraan dan batas-batas wilayah
kerajaan Majapahit, mengingat Nusantara berada sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua
samudra besar yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Penaklukan demi penaklukan wilayah
terjadi oleh pasukan yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada meluas hingga luar negeri.

Hal ini berkat pengaruh ekspansi Angkatan Laut kerajaan yang begitu kuat. Sehingga
pengaruhnya hingga mencapai Semenanjung Malaya Malaysia, Tumasik Singapura serta
sebagian Thailand dan Filipina.

Ayah adalah sosok pengagum Gajah Mada yang terkenal gagah perkasa. Tak jarang ia
berkisah sambil mengelus elus kepalaku dan memelukku begitu erat dengan rasa haru dan
bangga bahwa suatu saat nanti aku bisa mengikuti sosok gajah mada yang berani dan komitmen
dengan sumpahnya hingga terwujud. Baginya aku adalah harapan hidupnya. Ayah mengajarkan
makna hidup yang sesungguhnya.

Kemudian ayah bercerita bahwa bangsa kita pernah berjaya dilaut.Bangsa indonesia
mempunyai sejarah kejayaan maritim. Begitu terkenal dengan kapal kapal perang dan pasukan
armada lautnya yang tangguh dan digdaya sebagai bangsa dan negara merdeka. Proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 agustus tahun 1945 adalah sebuah nation
state,yang artinya Indonesia adalah negara kebangsaan.
Ketika itu Bung Karno sebagai presiden pertama republik Indonesia. Sekitar tahun 1950
– 1960 dimasa itu kekuatan militer Indonesia mengerikan dan disegani didunia. Hal tersebut tak
lain karena eksistensi sebuah kapal maha dahsyat bernama KRI Irian. Dilihat dari dimensinya
kapal satu ini begitu besar. Panjang tubuhnya sekitar 210 meter dengan lebar 22 meter. KRI Irian
juga jadi kapal terberat kala itu dengan bobot mencapai 16.640 ton.

Hal yang membanggakan soal KRI Irian bukan hanya ukuran tapi juga kemampuan
bertempurnya. Kapal ini memiliki sistem persenjataan mengerikan dengan adanya 12 meriam
masif di beberapa titik. Tak hanya itu, ada juga beberapa buah triple gun untuk mengatasi
serangan udara serta slot tabung torpedo untuk menghajar kapal selam musuh.

Aku suka mendengar jika ayah berkisah. Aku seperti terhanyut dalam irama alur
ceritanya. Kubayangkan bagaimana gagahnya sosok gajah mada, wajahnya tegar, berperangai
besar dengan wajah lebar,kulit sawo matang, badanya kekar,tegap,berotot dan kuat. Seperti itu
jika kubayangkan perawawakanya diceritan oleh ayah.

Pada masa itu, ayah berkisah bahwa suasana masih dalam bingkai pedesaan mirip cerita
film film kerajaan tempo doeloe yang aku saksikan di televisi. Kubayangkan serial laga Angling
Darma dan Tutur Tinular,kala itu usiaku masih beranjak tujuh tahun.

Ayah orang yang selalu optimis menatap hidup tak pernah pesimis apalagi opotunis. Dia
selalu memikirkan nasib banyak orang, termaksut nasib para nelayan dikampung kami. Pernah
suatu ketika ada seorang nelayan yang datang kerumah untuk meminjam beberapa peralatang
memancingnya sekaligus dengan perahu dan mesin katinting untuk dipakai melaut, karena
perahu nelayan itu telah karam dihantam gelombang ketika air laut pasang.

Tanpa basa basi ayah langsung berkata “ silahkan dipakai alat alat memancing, perahu
dan mesinnya.Tangkaplah ikan sebanyak banyaknya. Kemudian jual ikan itu dan belikan perahu
yang baru.” Ayah selalu terbuka dengan siapa saja yang datang meminta bantuan, saran maupun
masukan.Tak heran rumah kami sering dikunjungi para nelayan disekitarnya dan nelayan yang
berada dipulau maputi.

Pulau Maputi merupakan sebuah pulau yang berada di Desa Pangalasiang Kecamatan
Sojol Kabupaten Donggala. Jaraknya sekitar 200 Kilometer dari rumah kami berpijak. Karena
seringnya mereka datang berkunjung kerumah untuk menemui ayah. Akhirnya ayah diundang
untuk acara memancing bersama di kawasan pulau maputi dan pulau tuguan yang terkenal
dengan ikan ikan pelagis karangnya yang beragam. Cocok untuk para pemancing mania seperti
ayah.

Waktu yang kunantikan akhirnya tiba, pada akhir pekan dibulan januari aku bersama
ayah berkunjung kepulau maputi dengan mengendarai mobil. Tak lupa perlengkapan memancing
telah kami siapkan dan membawa beras,minyak goreng,minyak tanah pesanan dari nelayan
nelayan di pulau maputi sebagai oleh oleh yang sudah menjadi tradisi dikampung.
Setelah selesai saat shubuh, kami berangkat menuju desa pangalasiang. Kulihat wajah ibu
tersenyum mengantar kami di depan pintu. Sambil berbisik ditelingaku hati hati disana,jangan
nakal,jaga diri dengan baik dan dengarkan ucapan ayah.

Ayah menjadi sopir dan aku duduk dikursi depan tepat disampingnya. Kulihat wajah
ayah gembira sambil berkisah tentang kehidupan nelayan yang berada di pulau maputi. nama
maputi dalam bahasa daerah suku kaili artinya putih . Memang sesuai namanya pulau maputi di
penuhi dengan hamparan pasir putih pada tepi pantainya dengan ciri khas pesona pulau di tengah
laut serta terumbu karangnya yang masih alami.

Ayah pernah berkunjung kesana sekitar lima tahun yang lalu. Menurut ayah,salah satu
ciri khas orang dipulau maputi adalah sikap ramah mereka terhadap setiap pengunjung yang
datang dipulau. Selain itu mereka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan disekitarnya.

Sikap toleransi yang tinggi terlihat dari sikap gotong royong dari warga kampung yang
masi kental dengan adat istiadat leluhur. Tak heran jika ada aksi ilegal fishing atau pemboman
ikan diwilayah mereka, tidak sungkan warga setempat melarang dan memberikan sangsi moral
kepada pelakunya.

Sekitar pukul delapan pagi kami tiba di desa pangalasiang. Aku terpana menatap warga
yang sibuk didermaga. Para nelayan yang baru pulang melaut dengan hasil tangkapan ikan segar
dengan jenis yang beragam. Kulihat ikan ikan pelagis karang diantarnya kakap merah, kerapu
sunu,lajang dan ikan cakalang menggoda selera makan untuk segera sarapan pagi.

Kami bergegas menemui sahabat karib ayah. Namanya pak sahar,beliau adalah kepala
dusun dipulau maputi yang telah menunggu sejak semalam menginap dirumah keluarganya.
Sosoknya yang ramah setelah kami bertemu. Dia memeluk ayah begitu erat. Diusapnya kepalaku
dan berkata

“ Kamu sudah besar yah !”

Pak Sahar bercerita bahwa dulunya badanku masih kecil ketika itu,dia sering singgah dirumah
jika berkunjung ke kota palu.

Perutku sudah mulai berbunyi tidak karuan, rasa lapar kini kurasakan. Pucuk dicinta
ulam tiba, Ibu separuh baya mengajak kami menuju dapur untuk sarapan. Dua ekor Ikan bakar
kerapu sunu sebesar paha orang dewasa tersaji dihadapan kami dengan nasi sebakul dan
semangkok sayur santan kelor. Tanpa basa basi aku menyantap lahap ikan bakar. Setelah selesai
makan, kami dihidangkan kopi hitam dan kue lapis gula merah.

Aku menyangka bahwa pulau dihadapan kami adalah pulau maputi. Teryata bukan, Pulau
yang tampak diseberang itu adalah pulau pangalasing seberang. Rumah rumah warga berjejer di
kaki bukit yang hijau. Pohon pohon kelapa tumbuh disekitarnya. Perahu perahu nelayan ditepi
pantai semakin membuat aku terpesona menatapnya.
Tujuan kami berkunjung adalah pulau maputi belum terlihat dari pandangan, karena
terhalang oleh pulau pangalasiang sebelah. Butuh waktu sekitar empat puluh menit bahkan
memakan waktu sampai satu jam untuk tiba dipulau maputi. Namun berbeda ceritanya jika cuaca
tidak bersahabat, apalagi jika musim angin barat bertiup, gelombang laut mengamuk, bisa
menghabiskan waktu lebih dari satu jam bahkan dua jam waktu yang tersita diperjalan. Cerita
ayah kepadaku.

Tepat pukul sembilan kami berangkat menuju pulau maputi. kami bergegas ke  dermaga.
Disinilah petualangan dimulai. Secara perlahan perahu merayap meninggalkan dermaga.Aku
gembira ! Sekaligus takjub, memandang indahnya pulau pangalasian disaksikan dari laut,dengan
gugusan bukit yang hijau, di kaki bukit berjejer rumah rumah penduduk.

Pak sahar berada diburitan memegang daun kemudi. Suara mesin katinting beradu
dengan deburan ombak. Ayah berada dihaluan, aku duduk disampingnya menatapku penuh haru.
Kulihat senyum diwajahnya ceria. Pandanganku tertuju pada pohon pohon mangrove tua
disepanjang pesisir pantai yang kami lewati. Ukuranya cukup tinggi, sekitar 20 meter terlihat
mengapung menancap di antara gundukan karang. Ketika air pasang terlihat seperti pohon apung
yang indah menawan.

Perjalanan kami kepulau maputi berjalan mulus tanpa halangan. Akhirnya  kami sampai
sekitar pukul sepuluh pagi. Aku terpukau melihat dari kejauhan hamparan pulau maputi.Hijau
sejauh mata memandang. Pulau yang luar biasa indah. Air di laut ini benar benar jernih ketika
kami tiba. Selama di perjalanan aku mual dan hampir muntah.

Perahu menepi ditepi pantai, laut tenag seperti air danau, tenang tanpa gelombang.
terlihat terumbu terumbu karang dengan beragam warna. Ikan ikan karang dengan corak dan
warna beragam menari nari kusaksikan dari perahu.

Cuaca mendung matahari tertutup awan. Perahu mendarat bebas tanpa halangan diatas
hamparan pasir putih.Kehadiran kami disambut warga dengan senyum ramah. Mereka bergegas
menuju perahu, membantu menurunkan barang barang bawaan.

Ayah bersalaman dengan warga, aku juga ikut di salami oleh lima bocah yang cukup
antusias menjamu kedatangan. Aura wajah mereka begitu bersahabat dan dalam beberapa menit
aku sudah akrab. Satu persatu memperkenalkan nama padaku. Rano, Yeve, Budi Wijaya, Kodri
dan Saliman. Lima orang mereka kuberi julukan lima sekawan.

Setelah itu mereka berbisik, sebentar sore ikut kami yah bermain bola ditepi pantai. Aku
mengangguk setuju. Kami langsung di giring kerumah pak sahar. Rumah panggung hanya
berjarak sekitar lima belas meter dari pantai. Pada halaman rumahnya tumbuh subur pohon
ketapang yang rimbun.
Ternyata kehadiran kami sudah dinantikan oleh tuan rumah. Terbukti hidangan makan
telah siap tersaji. Sebuah baki besar berwarna putih dengan seloyang kimang. Sejenis kerang laut
bentuknya agak lebar sebesar kepalan tangan, serta ubi rebus hangat terlihat masih berasap asap.
Pak sahar mempersilahkan kami menyantap makanan. Cangkang cangkang kimang yang sudah
di rebus terbelah dahulu, terlihat isi dalamnya putih mirip agar agar kenyal dan lezat.

Setelah habis menyantap kimang, Ayah diajak pak sahar berkunjung kerumah nelayan
lainnya untuk bersilaturahmi. Aku tidak ikut karena telah janjian dengan lima bocah yang baru
kukenal. Mereka mengajaku bermain bola. Akan tetapi benda yang dijadikan bola adalah buah
bakau yang sudah dikeringkan. Ukuranya tidak terlalu besar seperti bola pada umumnya, hanya
sebesar kepalan tangan orang dewasa. Warnanya coklat pekat, agak berat dan tidak melenting
jika ditendang.

Dalam sekejab aku akrab.Tak habis pikir aku, mengapa mereka begitu bersahabat
walaupun baru kenal sesaat. Sepertinya aku adalah sanak saudara mereka. Saling rangkul
merangkul, bersahaja, bersukaria bersama sebagai sebuah keluarga dalam satu rumpun pulau
maputi yang indah itu. Yang kupahami adalah rasa solidaritas itu tercermin dalam setiap tingkah
laku mereka. Lebih tepatnya mungkin kata gotong royong kusematkan dari itu semua menyatu
menjadi sebuah karakter untuk hidup bersama sepanjang usia.

Anak anak pulau itu seperti punya satu kesamaan, satu tujuan, satu tekad dan satu
kesatuan. Tahukah dirimu sobat ketika aku bertanya, apa yang mereka inginkan ? Jawaban
mereka adalah hasil tangkapan ikan yang melimpah ruah dan ikan tangkapan mereka bisa dijual
untuk membeli peralatan sekolah seperti buku,tas,dan baju seragam sekolah. Aku terperanjat
mendengarnya, berbeda dengan anak anak yang berada di kota,jika memiliki uang paling habis
belanjakan makanan atau paket pulsa data telepon supaya bisa bermain game di hanphone.

Sore menjelang, aku bersama ayah duduk ditepi pantai diatas hamparan pasir putih
sambil menunggu matahari tengelam. Menurut warga setempat, senja disini tampil indah
memukau.Ayah telah siap dengan camera andalannya memoteret senja yang akan tiba. Aku juga
ikut penanasar menunggu hadirnya.

Sambil menyaksikan lima sekawan ditepi pantai bermain bola mengunakan buah bakau
sebesar kepalan tangan diatas pasir putih mereka berlarian. Ada yang tertawa riang gembira, ada
yang mengiring bola, ada penjaga gawang diantara dua tiang kayu bakau yang ditancap
seadanya, ada yang mandi dilaut, ada juga yang planga plongo binggung berada di tim yang
mana. Tak ada wasit, tak ada hakim garis yang penting bermain bola. Mereka gembira, bahagia,
aku juga ikut terpesona.

Kuamati saja mereka mengiring buah bakau. Satu hal yang membuatku terkesima adalah
sekuat apapun mereka menendang buah bakau itu, tak pernah jauh beranjak karena tersendat oleh
pasir. Itulah yang mengundang tawa. Bersuka ria.
Ayah tersenyum memandang, dari kejauhan kuterawang. Disini kusaksikan kebahagiaan
mereka dari hal hal biasa menjadi luar biasa. Cukup simpel bagi mereka untuk mendapatkan
tawa. Mungkin itu ukuran bahagia bagi anak anak pulau, cukup sederhana.

Tiba tiba ! Puluhan burung burung camar berkicau gaduh diangkasa mengusik mereka
yang sedang asik bermain bola.

"Ada apa gerangan" ujarku menyaksikan !

Dipermukaan laut gumpalan hitam mendekati pinggir laut. Jarak pandangku semakin
dekat, hanya 10 meter dari tempatku berdiri ikan ikan tongkol ramai berlompatan Silih berganti
dipermukaan laut. Aku terpana menyaksikannya.

Tanpa aba aba, tanpa perintah, secara spontan mereka bubar bermain bola dan berlari
mendorong perahu.

"Sigap sekali gerakannya ! Automatic without thinking." Celetukku seketika.

Tidak lama berselang perahu telah digiring dibibir pantai tepat di garis ombak. Satu,dua,tiga
orang dengan tangkas bergegas menaiki perahu. Kemudian teriakan keras kudengar !

“ Gerombolan Ikan bermain disana. ”

Dengan gagah berani Rano berdiri di haluan laksana mahapatih gajah mada menaklukan
nusantara dengan semangat yang membara. Yeve mendayung disebelah kanan duduk jongkok
diatas palka, Budi Wijaya mendayung diburitan.

Kulihat formasi mereka seperti busur panah yang siap meluncur. Perahu melaju pesat,laut
seperti terbelah. Rano ibarat anak panah, dua sayap cadik perahu pada sisi kiri dan kanan sebagai
busurnya.Yeve ibarat pengatur tekanan busurnya dan Budi wijaya ibarat penarik busurnya.
Bukan main strategi mereka macam bajak laut karibia atau selat malaka yang terkenal ganas
ketika berada dilaut.

Kembali kami tercengang dibuatnya. Ulah mereka membuatku betah berdiam diri
menunggu senja. Kini gerombolan ikan tongkol semakin riuh menari nari kesana kemari
mengejar plankton plankton yang hampir menepi di tepi pantai. Jarak pandangku semakin dekat
dari gerombolan ikan. Ramai bergerombol.

Sementara itu tiga bocah sibuk melepas jaring pukat memotong jalur gerombolan ikan,
Arah perahu mereka membentuk setengah lingkaran mengepung gerombolan ikan. Alamak!
Dapat dipastikan gerombolan ikan tak punya ruang untuk berkeliaran keluar lingkaran yang
sudah terhalang dinding jaring.
Aku berorak sorak riuh memberi semangat dipantai mulai terdengar bersahutan dari anak
nelayan lainnya ramai sekitar sepuluh orang berkumpul disana dan aku juga terbawa
hegemoninya.

Rano, Yeve, Budi Wijaya, Kodri dan Saliman adalah anak anak nelayan yang sudah teruji
menangkap ikan. Laut adalah halamanku, ombak adalah bantalku dan angin adalah selimutku
dan ikan adalah sahabatku, menjadi jargonnya.

Karena terkenalnya mereka berlima di pulau maputi kuberi mereka julukan “ Pandawa
lima ” Namun seantero warga pulau lebih akrab mengenal mereka denan nama Geng lima
sekawan.

Harap harap cemas menghampiriku, setelah menyaksikan pertarungan lima sekawan


menaikan jaring secara perlahan dengan tempo dan irama yang sudah teruji tapi sulit kumengeri.
Adakalanya menarik secepatnya ada pula saatnya menahan pelan kemudin diam. Strategi yang
luar biasa seperti ada temponya.

Karena perubahan pola arus laut yang begitu cepat seiring dengan naiknya air laut yang
mulai pasang mengakibatkan perahu merambat pelan, lalu terombang ambing dihantam
gelombang. Pertarungan Rano,Yeve dan Budi Wijaya dengan gerombolan ikan berlangsung
sengit.

Kupandangi angkasa ratusan burung camar berdatangan, mengintai semakin ramai


berterbangan. Mungkin karena menyaksikan gerombolan ikan yang terkurung didalam jaring
berserakan tumpah ruah. Kuperhatikan sesekali camar camar terjun bebas kelaut sambar
menyambar ikan. Sulit dihalang karena kepakannya cepat menerjang.

Ayah melihat langit yang diselimuti kabut, nampak kelabu nun jauh diujung samudera
kilat menyambar diiring rintik rintik hujan menghujam ke permukaan laut, seperti helai helai
anak panah yang dilesatkan dari langit. Ayah menghampirii dan memelukku erat.

Senja yang kami tunggu tak kunjung tiba. Keindahan hadirannya tergantikan dengan aksi
penangkapan ikan dengan tehnik tinggi dari anak anak usia belasan dipelosok pulau maputi.
Perahu merambat pelan melawan derasnya arus gelombang dengan susah payah Rano,Yeve dan
Budi Wijaya mengiring jaring ke tepi pantai. Kupandangi raut wajah mereka tak ada rasa takut
yang terlintas, bukanya takut malah bertambah semangat dan bergerak lebih cepat bergegas
mengurus ikan jangan sampai lepas.

Tak lama berselang dua anggota geng lima sekawan yakni Saliman dan Kodri datang
menghampiriku."Ehh sobat darimana baru keliatan?" Aku menyapa !

"Ada menggembala kambing tadi ! Tapi sekarang aman, kambing sudah masuk kandang"
Kodri menjawab lantang. Tanpa ragu berdua anggota lima sekawan berlari menuju laut seketika
itu terjun bebas dan berenag ke perahu untuk membantu sahabat karibnya.

Solid, satu perasan keringat,satu kekuatan, satu kekeluargaan dan aku merangkumnya
menjadi sebuah kata pamungkas yang sulit ditemukan dibelahan dunia yang lain yakni “gotong
royong” aku menemukanya disini dipelosok pulau maputi. Seputih hamparan pasirnya, sedamai
rumah rumah panggungnya, seakrab warganya dan senasib seperjuangannya. Itu yang kurasakan.

Ayah berteriak girang "Luar biasa ! Mental juara layak mereka sandang, tidak gentar
walau badai menerjang"

Aku yang menyaksikan, juga ikut semangat memberikan yel yel dari tepi pantai. Setelah
itu kubayangkan aku terjun bebas dan ikut berjibaku menagkap ikan. Aku melamun karena
gembira,terharu,sedih melihat perjuangan Lima Sekawan. Inginku memberi mereka julukan
“penunggang badai” Ujarku bersemangat.

“ Fantastik...! Hebat, Hebat, Hebat luar biasa! ” Sambil memantau tehnik mengepung ikan dari
lima sekawan. Itulah kata yang terucap dari ayah. Bukan hanya aku dan ayah yang memuji
kehebatan mereka menjaring ikan.

Tetapi semua yang hadir dipantai saat itu ikut terpana menyaksikan ribuan ikan ikan
tongkol berada didalam lingkaran jaring terkepung lalu mengapung, menggeliat,klepak klepak
tak berdaya. Laut seperti mendidih oleh gerombolan ikan tersaji diatas jaring pukat purse seine.

Aku bersama ayah dan pak sahar menyaksikan didepan mata, ikan berlimpah ruah di
pusaran ombak pinggir pantai dipermukaan laut. Kemudian riak riak air laut bersimbah jutaan
buih menjadi putih. Setelah itu jaring jaring bergetar getar lagi. Ikan sambar menyambar,meluap
luap.

Kembali air laut seperti mendidih karena ikan mengeliat. Kocar kacir menabrak dinding
jaring. Akhirnya seantero penduduk pulau maputi berbondong bondong berdatangan menuju
pantai. Kabar berita tentang aksi penangkapan ikan oleh lima sekawan tersebar cepat bagai kilat
menyambar, bersinar terang terdengar sampai ke pulau sebelah yakni pangalasiang.

Kami menjadi saksi ratusan manusia hadir dipantai.Turut hadir juga, Nenek,Opa, Bapak
bapak, ibu ibu, muda mudi, para remaja, bocah, belia, anak anak, Pak RT, RW,Hansip, imam,
Bilal, Ibu ibu PKK, Guru,honorer,petugas keamanan,petugas kesehatan,mantri,
PKH,dukun,waria, pengumpul ikan, penjual ikan, penampung ikan,penyambung ikan dan yang
tidak mau ketiggalan adalah tengkulak.

Turut hadir para Kepala tukang,Tukang es batu,tukang kayu, tukang perahu, tukang
batu,tukang besi,tukang las,tukang listrik,tukang gunting rambut,tukang sepatu,tukang
bambu,tukang rotan, tukang parang, tukang kopra,tukang parkir perahu, tukang air sumur
bor,tukang gali kubur,tukang lampu obor dan macam macam tukang lainnya juga berdatangan
menuju pantai.

Semua bergembira, merasa senang, bersuka ria, penuh canda tawa. Taka ada yang sedih
bermuram durja. Ada yang bernyanyi, ada yang jalan sambil menari nari, ada yang berteriak
girang kemudin belari, ada yang bersiul siul riang, ada yang berjalan lambat, ada juga yang
berjalan cepat karena takut tidak kebagian ikan.

Sekitar tujuh remaja dan dua bocah kuperhatikan berlari tunggang langgang, turun dari
rumah rumah panggung mereka tanpa baju hanya memakai kain sarung, ada juga bocah ingusan
yang datang tanpa celana,kupastikan karena terburu buru ikut kepantai mungkin ditinggalakn
oleh ibunya ketika memakai bedak herocyn belepotan kulihat diwajahnya.

Peralatan yang mereka tenteng juga beragam, Ada ember,Loyang,baki, termos,gabus,


panci,belangga, dus mie, dus aqua gelas, dus frutamin, dus ekstra joss,dus kukubima, dus M 150,
dus rokok, kaleng roti roma,tong plastik penampung air, plastik kresek,plastik baju,terpal,jaring
bekas,pukat sobek,tali rafia,tali jemuran,tali rumpon dan macam macam tali temali pokoknya apa
saja yang bisa menanpung atau mencucut ikan. Mereka punya cara masing masing supaya dapat
membawa ikan pulang kerumah.

Tetapi dibalik semua itu pandanganku tak pernah lepas dari sosok lima sekawan. Pemuda
pemuda tangguh itu membuatku kagum dengan kehebatan mereka dalam menangkap ikan.
Dimulai dari menggiring perahu ke laut, menyusun formasi ketika diperahu, merancang strategi
menurunkan jaring, mengiring ikan ketepi pantai sampai pada penaggulang ikan ketika meronta
ronta, menaikan jaring, membiarkan ikan kocar kacir sampai kehabisan tenaga.

Semua yang ingin kusimpulkan dari aksi penagkapan ikan oleh mereka adalah timing
waktu yang tepat, prediksi yang akurat dan rentang waktu yang pas ketika menaring jaring.
Dibutuh pengalaman, jam terbang,butuh analisa dan butuh tenaga. Kurangkum semua menjadi
satu kata kunci yakni gotong royong.

Ayah telah mengajakku menyaksikan kehebatan anak anak pulau dalam menangkap ikan,
memberikan pengalaman yang sangat berharga. Bahwa dalam hidup ini kita harus banyak
bersyukur, saling membantu antar sesame,terus semangat seperti anak anak dipulau maputi.
Mereka adalah lima sekawan yang pantang menyerah berjuang demi sekolah.

Walaupun mereka tinggal dipulau terpencil jauh dari perkotaan, tetapi semangat mereka
untuk mencari uang sendiri,dengan menagkap ikan patut diacungkan jempol. Mereka tidak
tergantung kepada orangtuanya untuk membiayai iuran sekolah dan membeli perlengkapan
sekolah dan baju seragam. Ayah telah menunjukan padaku contoh dari sosok gajah mada muda
di zaman modern.
Palu,13 Maret 2020

Tentang Penulis :

Gafur,S.Pi dengan nama pena bumi tadulako. Kelahiran Palu,22 Desember 1984, Seorang
Pegawai Negeri Sipil Dinas Perikanan Kabupaten Donggala. Aktif juga sebagai relawan
kemanusian (Volunteer) Tanggap Bencana. Aktif Menulis di Komunitas Menulis Kota Palu
(KMKP)

Untuk mengenal lebih dekat IG : Bumi Tadulako Atau FB : Gafur Mangile

Anda mungkin juga menyukai