Anda di halaman 1dari 59

NAMA : M.

RAVINDO

KELAS : X IPA 2

CERITA RAKYAT SUMATERA UTARA

Legenda Asal Mula Terbentuknya Danau Toba

Pada zaman dahulu di suatu desa di Sumatera Utara hiduplah seorang petani bernama Toba yang menyendiri
di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan lahan pertaniannya untuk keperluan
hidupnya.

Selain mengerjakan ladangnya, kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ke sungai yang berada tak jauh
dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu
memang banyak sekali ikan. Ikan hasil pancingannya dia masak untuk dimakan.

Pada suatu sore, setelah pulang dari ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi
sudah cukup lama ia memancing tak seekor iakan pun didapatnya. Kejadian yang seperti itu,tidak pernah
dialami sebelumnya. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama
tak ada yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing.
Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik
pancing itu jauh ketengah sungai. Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, Karena dia tahu
bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar.

Setelah beberapa lama dia biarkan pancingnya ditarik ke sana kemari, barulah pancing itu disentakkannya,
dan tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan
cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas
dari mulut ikan itu. Pada saat dia sedang melepaskan mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan
penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun masuk ke dalam sungai untuk
mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum
sambil membayangkan betapa enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketika meninggalkan
sungai untuk pulang kerumahnya hari sudah mulai senja.

Setibanya di rumah, lelaki itu langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia
hendak menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya sudah habis.
Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya. Kemudian, sambil membawa
beberapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur.

Setelah beberapa lama dia biarkan pancingnya ditarik ke sana kemari, barulah pancing itu disentakkannya,
dan tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan
cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas
dari mulut ikan itu. Pada saat dia sedang melepaskan mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan
penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun masuk ke dalam sungai untuk
mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum
sambil membayangkan betapa enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketika meninggalkan
sungai untuk pulang kerumahnya hari sudah mulai senja.

Setibanya di rumah, lelaki itu langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia
hendak menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya sudah habis.
Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya. Kemudian, sambil membawa
beberapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur.

Setelah cukup besar, anak itu disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di
ladang. Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksa ibunya yang mengantarkan nasi
ke ladang.

Suatu hari, anak itu disuruh ibunya lagi mengantarkan nasi ke ladang untuk ayahnya. Mulanya dia menolak.
Akan tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesl pergilah ia mengantarkan nasi itu. Di tengah jalan,
sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Setibanya diladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit
dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, si ayah sudah merasa sangat lapar karena nasinya terlambat
sekali diantarkan. Oleh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika melihat nasi yang diberikan
kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnya makin bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang
memakan sebagian besar dari nasinya itu. Kesabaran si ayah jadi hilang dan dia pukul anaknya sambil
mengatakan: “Anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang
berasal dari ikan!”

Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa
dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya di ceritakan pula.
Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya
dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi
mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu tertinggi yang
terdapat di puncak bukit itu. Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari-
lari menuju ke bukit tersebut dan mendakinya.

Ketika tampak oleh sang ibu anaknya sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas
bukit , dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah mereka itu. Ketika dia tiba
di tepi sungai itu kilat menyambar disertai bunyi guruh yang megelegar. Sesaat kemudian dia melompat ke
dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir
besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap
kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Pak Toba tak bisa menyelamatkan
dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah
menjadi danau yang sangat besar yang di kemudian hari dinamakan orang Danau Toba. Sedang Pulau kecil
di tengah-tengahnya diberi nama Pulau Samosir.
NAMA : ILYASA AL-FIRDAUS

KELAS : X IPA 2

CERITA RAKYAT SUMATERA UTARA

ASAL MULA NAMA SIMALUNGUN

Dahulu, di wilayah Kampung Nagur, Sumatra Utara, terdapat sebuah kerajaan kecil bernama Kerajaan Tanah
Djawo. Kerajaan suku Batak yang bermarga Sinaga ini dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan, sang Raja didampingi oleh sejumlah hulubalang yang tangguh dan
setia sehingga kerajaan ini aman dan tenteram.

Sementara itu, di luar wilayah Nagur, terdapat pula dua kerajaan suku Batak yang berlainan marga, yaitu
Kerajaan Silou dari marga Purba Tambak dan Kerajaan Raya dari marga Saragih Garingging. Meskipun
berlainan marga, kedua kerajaan ini menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Nagur. Rakyat
mereka pun senantiasa hidup rukun dan makmur. Kemakmuran ketiga kerajaan kecil itu ternyata menarik
perhatian kerajaan-kerajaan lain untuk menguasainya.

Suatu hari, tersiar kabar bahwa Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa akan datang menyerang Kerajaan Tanah
Djawo. Mendengar kabar tersebut, Raja Tanah Djawo segera meminta bantuan kepada Kerajaan Silou dan
Kerajaan Raya. Kedua kerajaan itu pun menyatakan kesediaan untuk membantu Kerajaan Tanah Djawo
dalam menangkal serangan dari Kerajaan Majapahit.

Bantuan yang diberikan oleh Kerajaan Silou dan Kerajaan Raya ternyata sanggup menangkal bahkan
mengusir pasukan Majapahit dari wilayah Nagur. Hal yang sama terjadi ketika Kerajaan Silou mendapat
serangan dari Kerajaan Aceh. Kedua kerajaan ini, Kerajaan Tanah Djawo dan Kerajaan Raya, membantu
Kerajaan Silou hingga akhirnya selamat dari ancaman bahaya.

Suatu ketika, ribuan tentara yang tidak diketahui asalnya datang menyerang ketiga kerajaan tersebut secara
bergantian. Pertama-tama, mereka Kerajaan Tanah Djawo, lalu Kerajaan Silou, dan terakhir Kerajaan Raya.
Meskipun sudah saling membantu, ketiga kerajaan tersebut akhirnya takluk juga. Serangan itu membuat
masing-masing raja terpaksa menyelamatkan diri. Hal yang sama terjadi pula para rakyat yang lari tunggang-
langgang menghindari sergapan musuh. Mereka meninggalkan wilayah itu secara berkelompok. Selama
masa pelarian, mereka harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran musuh.

Nasib para pengungsi tersebut sangat menderita. Mereka dilanda kelaparan dan terserang berbagai macam
penyakit. Untuk bertahan hidup, setiap kelompok pengungsi mencari tempat tinggal masing-masing yang
dirasa aman. Sekelompok pengungsi dari Kampung Nagur kemudian menemukan tanah Sahili Misir yang
kini dikenal pulau Samosir, yaitu sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah Danau Toba. Di sanalah
mereka menetap dan membuka perladangan untuk bercocok tanam.

Setelah sekian lama menetap di pulau itu, hidup mereka pun mulai tertata. Bahkan, mereka telah memiliki
anak cucu. Suatu ketika, mereka merasa rindu untuk kembali ke kampung halaman di Kampung Nagur.
Mereka akhirnya mengadakan musyawarah.

“Siapa di antara kalian yang ingin kembali ke Kampung Nagur?” tanya seorang sesepuh selaku pemimpin
musyawarah.

Mendengar pertanyaan itu, sebagian dari peserta enggan untuk kembali ke kampung halaman mereka.

“Maaf, Bapak-bapak. Kenapa kalian tidak mau ikut bersama kami? Apakah kalian tidak rindu pada kampung
halaman?” tanya sesepuh itu kepada mereka.

“Maaf, Tuan Sesepuh. Sebenarnya kami pun sangat rindu pada kampung halaman. Tapi, kami sudah merasa
betah dan nyaman tinggal di pulau ini. Tempat ini sudah seperti kampung halaman sendiri. Lagi pula, siapa
yang akan menjaga hewan ternak dan ladang-ladang jika semuanya ikut kembali ke kampung halaman?”
jawab salah seorang peserta musyawarah.

“Benar Tuan Sesepuh,  anak dan cucu kami pun merasa senang tinggal di pulau ini,” imbuh seorang peserta
musyawarah lainnya.

“Baiklah, kalau begitu. Bagi yang ingin tetap tinggal di sini, ku harap kalian tetap merawat baik-baik tempat
ini. Bagi yang ingin pulang ke kampung halaman harap segera mempersiapkan segala sesuatunya,” ujar
sesepuh itu.

Para warga yang berkeinginan kembali ke kampung halaman segera mengadakan persiapan seperlunya.
Mereka akhirnya berangkat menuju Kampung Nagur. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, mereka
akhirnya tiba di Kampung Nagur. Saat tiba kampung halaman, beberapa warga terlihat menangis. Mereka
teringat pada peristiwa yang menimpa kampung mereka dahulu. Rumah-rumah mereka telah tiada. Hanya
tumbuhan semak-belukar dan pepohonan yang terlihat tumbuh dengan subur.

“Sima-sima nalungun,” kata mereka.

Sejak itulah Kampung Nagur berubah nama menjadi Sima-sima Nalungun, yang berarti daerah sunyi sepi.
Lama-kelamaan, orang-orang menyebutnya Simalungun. Hingga saat ini, kata Simalungun tetap dipakai
untuk menyebut nama sebuah Kabupaten di Provinsi Sumatra Utara.
NAMA : M. RIZKY RAMADHAN

KELAS : X IPA 2

CERITA RAKYAT SUMATERA UTARA

Legenda Si Baroar

Pada suatu masa, di Mandailing, Sumatra Utara, berdirilah sebuah kerajaan kecil yang bernama Huta Bargot.
Kerajaan itu berada di seberang Sungai Batang Gadis. Rajanya  bergelar Sutan Pulungan. Ia mempunyai
seorang permaisuri dan putra yang masih bayi. Di sela-sela kesibukannya membangun kerajaan, Sutan
Pulungan sering meluangkan waktu pergi ke tengah hutan untuk berburu binatang.

Pada suatu hari, Sutan Pulungan bersama beberapa orang hulubalang dan prajuritnya berburu rusa di sebuah
hutan lebat. Sutan Pulungan membawa anjing pemburu kesayangannya yang sangat pintar dan tangkas
bernama Sipamutung. Ketika mereka sampai di tengah hutan, Sipamutung tiba-tiba berlari kencang menuju
ke suatu tempat. Tak berapa lama kemudian, ia pun terdengar menyalak dengan serunya. Mendengar salakan
anjing kesanyangannya tersebut, Sutan Pulungan segera memerintahkan prajuritnya pergi ke tempat
Sipamutung menyalak.

“Prajurit! Cepatlah kalian susul si Pamutung! Aku yakin dia pasti menemukan rusa!” seru Sutan Pulungan
kepada prajuritnya.

Mendengar perintah itu, beberapa orang prajurit segera berlari ke tempat Sipamutung menyalak. Setibanya di
tempat itu, mereka melihat sebuah banyangan perempuan berkelebat lari dari bawah sebatang pohon beringin
besar. Sementara Sipamutung masih terus menyalak. Ketika para prajurit tersebut mendekat dan memeriksa
ke bawah pohon itu, tampaklah seorang bayi laki-laki tampan terbaring di atas sebuah batu besar. Tak berapa
lama kemudian, Sutan Pulungan pun tiba di tempat itu.

“Hai, Prajurit! Mana rusa itu?” tanya Sutan Pulungan.

“Ampun, Baginda! Ternyata Sipamutang menyalak bukan karena menemukan rusa, tapi seorang bayi,”
jawab seorang prajurit.
“Apa katamu? Seorang bayi?” tanya Sutan Pulungan terkejut seraya mendekati bayi tersebut.

“Siapa yang meletakkan bayi di atas batu ini?” Sutan Pulungan kembali bertanya.

“Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu. Tapi, saat baru tiba, hamba dan prajurit lainnya melihat seorang
perempuan berkelebat dengan sangat cepat meninggalkan tempat ini,” jawab seorang prajurit lainnya.

Mendengar penjelasan prajurit tersebut, Sutan Pulungan pun yakin bahwa bayi itu sengaja dibuang oleh
orang tuanya. Akhirnya, ia bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti berburu dan segera
membawa pulang bayi malang itu. Setibanya di Negeri Huta Bargot, Sutan Pulungan menyerahkan bayi itu
kepada seorang janda tua bernama si Saua, yang sejak lama mendambakan seorang anak.

“Terima kasih, Baginda! Hamba akan merawat bayi ini seperti anak kandung hamba sendiri,” ucap janda tua
itu dengan senang hati.

Setiap kali pergi bekerja ke sawah, perempuan tua itu meletakkan bayi tersebut di dalam baroar, yakni
kandang anjing. Oleh karena itu, orang-orang pun menamakan anak itu si Baroar.

Waktu terus berjalan. Si Baroar telah berusia lima tahun dengan wajah yang sangat tampan. Namun anehnya,
wajah dan perawakan si Baroar sangat mirip dengan putra Sutan Pulungan, sehingga orang-orang di
sekitarnya tidak dapat lagi membedakan keduanya. Orang-orang sering keliru menyapa ketika bertemu
dengan salah seorang dari kedua anak tersebut. Jika si Baroar berjalan-jalan sendirian, orang-orang yang
bertemu dengannya selalu memberi hormat kepadanya dan menyapanya seperti menyapa putra Sutan
Pulungan. Tetapi sebaliknya, jika bertemu dengan putra Sutan Pulungan, mereka memperlakukannya seperti
anak orang kebanyakan.

Saat mengetahui putranya sering mendapat perlakuan demikian dari orang-orang di sekitarnya, Sutan
Pulungan dan permaisurinya merasa sangat terhina. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membunuh
si Baroar secara rahasia agar tidak diketahui oleh orang banyak.

Pada suatu hari, Sutan Pulungan mengumpulkan seluruh pembesar kerajaan untuk menyusun rencana
pembunuhan rahasia tersebut. Dalam sidang tersebut, ia memerintahkan kepada pembesarnya agar segera
menyelenggarakan upacara adat Sopo Godang, yakni upacara penggantian tiang besar balai sidang yang
sudah lapuk. Sutan Pulungan akan menyelenggarakan upacara adat tersebut secara besar-besaran di istana
Kerajaan Huta Bargot, karena ia ingin memanfaatkan keramaian itu untuk menutupi perbuatannya
membunuh si Baroar.

“Bagaimana caranya kami membunuh si Baroar, Baginda?” tanya seorang hulubalang.

“Sebelum memasukkan tiang pengganti ke dalam lubang tempat menanamnya, terlebih dahulu kalian harus
menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang tersebut, dan menimpanya dengan tiang pengganti,” jelas Sutan
Pulungan.

Sutan Pulungan juga memerintahkan kepada seorang hulubalang untuk memberi tanda silang pada kening si
Baroar dengan kapur sirih.

“Ampun, Baginda! Kenapa si Baroar harus diberi tanda silang?” tanya hulubalang lainnya ingin tahu.

“Maksudnya adalah agar kalian bisa membedakan secara pasti yang mana si Baroar dan yang mana pula
putraku, sehingga kalian tidak keliru membunuh si Boroar,” jelas Sutan Pulungan.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para pembesar kerajaan segera menyiapkan segala sesuatu yang
diperlukan dalam upacara Sopo Godang tersebut. Begitu pula hulubalang yang telah ditunjuk oleh sang Raja
segera mencari si Baroar untuk memberi tanda silang pada keningnya.

Pada hari yang telah ditentukan, upacara adat itu segara akan dilaksanakan. Seluruh rakyat negeri yang akan
mengikuti upacara adat tersebut telah berkumpul di halaman istana. Dalam upacara tersebut Sutan Pulungan
juga menyelenggarakan berbagai atraksi dan pertunjukan seni. Hal ini bertujuan untuk mengalihkan
perhatian para warga yang hadir agar para hulubalang dapat melaksanakan tugas untuk membunuh si Baroar
tanpa sepengetahuan mereka.

Ketika para warga sedang asyik bersuka ria, para hulubalang pun menyiapkan tiang untuk dimasukkan ke
dalam lubang. Kebetulan saat itu, mereka melihat si Baroar yang sudah diberi tanda di keningnya sedang
berdiri tidak jauh dari mereka. Secara sembunyi-sembunyi, mereka segera menangkap dan menjatuhkan si
Baroar ke dalam lubang, kemudian menimpanya dengan tiang besar. Tak seorang pun yang mengetahui
perbuatan mereka, karena para warga sedang asyik bersuka ria. Para hulu balang pun merasa lega dan
gembira, karena berhasil menjalankan tugas dengan lancar. Demikian pula yang dirasakan oleh Sutan
Pulungan, karena si Baroar yang selalu membuatnya terhina telah mati.

Namun, sejak acara tersebut dilaksanakan, putra Sutan Pulungan tidak pernah lagi terlihat di istana. Seluruh
keluarga istana menjadi panik dan segera mencari putra Sutan Pulungan. Mereka telah mencarinya di sekitar
istana, namun mereka tetap tidak menemukannya. Sutan Pulung pun mulai cemas, jangan-jangan para
hulubalangnya keliru dalam menjalankan tugas. Untuk itu, ia pun segera mengutus seorang hulubalang pergi
ke rumah si Saua untuk melihat apakah si Baroar masih bersamanya. Ternyata benar. Sesampainya di sana,
utusan melihat si Baroar sedang membelah kayu bakar bersama si Saua. Ia pun segera kembali ke istana
untuk melaporkan hal itu kepada sang Raja.

“Ampun, Baginda! Ternyata si Baroar masih hidup. Ia masih bersama janda tua itu,” lapor utusan itu.

Mendengar laporan itu, Sutan Pulungan langsung naik pitam. Ia sangat marah kepada para hulubalangnya
yang telah keliru menjalankan tugasnya.

“Hai, para Hulubalang! Kalian telah salah membunuh. Anak yang kalian masukkan ke dalam lubang itu
adalah putraku, bukan si Baroar!” seru Sutan Pulungan dengan wajah memerah.

Rupanya kekeliruan itu bermula beberapa saat sebelum upacara adat tersebut dilaksanakan. Putra Sutan
Pulungan melihat tanda silang pada kening si Baroar. Karena ingin seperti si Baroar, ia pun menyuruh
seseorang untuk membuat tanda yang serupa di keningnya. Kemudian ia pergi ke tengah keramaian upacara,
dan pada saat itulah para hulubalang menangkapnya secara sembunyi-sembunyi, lalu memasukkannya ke
dalam lubang.

Sutan Pulungan yang telah kehilangan putranya segera memerintahkan tiga orang hulubalangnya untuk
membunuh si Baroar. Ketiga hulubalang itu pun segera menuju ke rumah si Baroar dengan pedang terhunus.
Saat tiba di sana, mereka tidak menemukan si Baroar dan si Saua.

Rupanya, ada orang yang mengetahui rencana pembunuhan yang akan dilakukan oleh para hulubalang
tersebut terhadap si Baroar. Orang itu pun memberitahu si Saua agar segera menyelamatkan si Baroar. Jadi,
sebelum para hulubalang tersebut tiba di rumahnya, si Saua telah membawa lari si Baroar ke daerah
persawahan yang sedang menguning padinya, tak jauh dari tepi Sungai Batang Gadis.

Ketika sampai di daerah persawahan, si Saua mengajak si Baroar untuk bersembunyi di sebuah gubuk yang
atapnya hanya tinggal rangkanya yang berdiri di tengah sawah. Sebab, ia yakin bahwa para hulubalang
tersebut pasti akan mengejar dan mendapati mereka sebelum tiba di tepi sungai.
“Anakku! Kita bersembunyi di sini saja! Kalau kita terus berlari, mereka pasti akan menangkap kita, karena
mereka bisa berlari dengan cepat!” ujar si Saua seraya merangkul tubuh si Baroar.

Para hulubalang tersebut tiba-tiba kehilangan jejak. Saat melihat sebuah gubuk di tengah sawah, mereka pun
mendekatinya. Ketika sampai di dekat gubuk itu, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Si Saua dan si Baroar
pun semakin ketakutan, karena mengira para hulubalang tersebut mengetahui keberadaan mereka. Namun
ternyata, para hulubalang tersebut berhenti melangkah, karena melihat ada seekor burung balam sedang
bertengger di puncak kerangka atap gubuk itu sambil terus berkicau.

“Ayo kawan-kawan kita cari mereka di tempat lain! Untuk apa kita cari di si janda tua dan si Baroar di
gubuk itu. Kalau mereka bersembunyi di situ, tidak mungkin burung balam itu bertengger di atas sana!” seru
hulubalang yang memimpin pengejaran itu.

Setelah para hulubalang tersebut cukup jauh dari gubuk itu, si Saua dan si Baroar keluar dari gubuk itu dan
berlari menuju ke arah Sungai Batang Gadis. Namun sialnya, para hulubalang melihat mereka lagi.

“Hai, itu mereka! Ayo kita kejar!” seru pemimpin hulubalang.

Si Saua dan si Baroar pun berlari semakin cepat. Ketika mereka tiba di tepi sungai, ternyata Sungai Batang
Gadis sedang banjir besar, sehingga mereka tidak dapat menyeberang. Sementara para hulubalang yang
mengejarnya semakin dekat. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dalam keadaan nyawa terancam, si
Saua segera bersujud ke tanah memohon pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa.

“Ya Tuhan! Selamatkanlah nyawa kami!” ucap si Saua.

Ketika mengangkat kepalanya kembali, si Saua melihat sebatang kayu besar yang amat panjang hanyut
melintang di tengah sungai. Anehnya, kayu besar itu berhenti tepat di hadapan mereka dalam keadaan
melintang sampai ke seberang. Tanpa berpikir panjang dan merasa takut sedikit pun, janda tua itu dan si
Baroar segera meniti kayu besar itu. Begitu tiba di seberang sungai, kayu besar itu kembali hanyut terbawa
arus banjir. Para hulubalang yang baru tiba di tepi sungai tak dapat lagi mengejar mereka. Akhirnya, si Saua
dan si Baroar selamat dari kematian.

Konon, beberapa tahun kemudian, di seberang Sungai Batang Gadis tersebut berdirilah sebuah kerajaan yang
bernama Panyabungan Tonga-Tonga yang dipimpin oleh si Baroar bersama permaisurinya. Keturunannya
kemudian dikenal sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution.

NAMA : SABILA BUDIARTI


KELAS : X IPA 2

CERITA RAKYAT BALI

ASAL MULA SELAT BALI

Alkisah, di Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur, hiduplah seorang Brahamana (pendeta) yang bernama Empu
Sidi Mantra. Ia seorang pendeta yang kaya raya dan terkenal sakti mandraguna. Selain itu, ia juga memiliki
seorang istri yang cantik jelita dan seorang putra yang gagah dan tanpan bernama Manik Angkeran. Meski
demikian, pendeta itu tidak bisa hidup tenang dan bahagia, karena anak semata wayangnya, Manik
Angkeran, memiliki sifat tidak terpuji, yaitu gemar berjudi. Ia selalu mempertaruhkan harta kekayaan orang
tuanya dan berhutang kepada orang lain ketika kalah berjudi. Hal inilah yang membuat Empu Sidi Mantra
dan istrinya merasa resah, karena hampir setiap hari orang-orang mendatangi rumahnya untuk menagih
hutang putranya. Keadaan tersebut berlangsung hingga bertahun-tahun, sehingga lambat-laun harta kekayaan
sang Empu terkuras habis.

Pada suatu sore, Manik Angkeran pulang ke rumahnya dengan nafas tersengal-sengal.

“Bapa, Ibu! Tolong aku!” seru Manik Angkeran.

“Ada apa, Putraku? Apa yang terjadi denganmu?” tanya ibunya dengan perasaan cemas.

“A…a… aku dikejar-kejar orang, Bu!” jawab Manik Angkeran dengan nafas yang masih terengahengah.

“Hmm… kamu pasti kalah berjudi lagi ya!” timpa bapanya.

“Iya, Bapa! Aku kalah berjudi dan tidak sanggup membayar taruhan. Tolong aku, Bapa! Mereka ingin
membunuhku,” Manik Angkeran mengiba kepada bapanya.

Tak berapa lama kemudian, datanglah beberapa orang pemuda membawa golok. Mereka berteriakteriak di
depan rumah menyuruh Manik Angkeran keluar.

“Hai, Manik Angkeran! Keluar dan bayarlah hutangmu!” teriak salah seorang pemuda
sambil mengacung-acungkan goloknya.

Manik Angkeran pun semakin ketakutan. Ia segera masuk ke kamarnya untuk bersembunyi. Sementara itu,
dengan tenangnya, Empu Sidi Mantra segera menemui para pemuda yang berdiri di depan rumahnya.

“Tenang, wahai Anak Muda! Percayalah, saya akan membayar semua hutang putraku. Tapi, berilah saya
waktu tiga hari untuk mencari uang dulu,” pinta Empu Sidi Mantra.
“Baiklah, Empu! Kami menerima permintaan Empu. Tiga hari lagi, kami akan kembali kemari untuk
menagih janji Empu,” kata salah seorang pemuda, lalu membubarkan diri bersama teman-temannya.

Pada malam harinya, Empu Sidi Mantra berdoa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. Saat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya.

“Hai, Sidi Mantra! Pergilah ke kawah Gunung Agung! Di sana ada harta karun yang dijaga oleh seekor naga
bernama Naga Besukih,” demikian suara bisikan itu.

Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra itu ke kawah Gunung Agung. Setelah berjalan cukup
jauh dengan berbagai rintangan, sampailah ia di tempat tersebut. Ia pun duduk bersila sambil membunyikan
genta (lonceng) saktinya seraya mulutnya komat-kamit menyebut nama Naga Besukih. Tak berapa lama
kemudian, naga itu pun keluar dari tempat persembunyiannya.

“Hai, kisanak! Kamu siapa dan ada apa kamu memanggilku?” tanya Naga Besukih itu.

“Saya Empu Sidi Mantra dari Tanah Jambudwiba. Maksud kedatangan saya kemari untuk meminta
bantuanmu,” kata Empu Sidi Mantra.

“Apa yang bisa kubantu, hai Mpu? Katakanlah!” seru Naga Besukih. Empu Sidi Mantra pun mengutarakan
maksud kedatangannya. Karena merasa iba, Naga Besukih segera menggeliatkan tubuhnya. Seketika itu
pula, emas dan berlian pun berhamburan keluar dari balik sisiknya.

“Bawalah emas dan intan ini Mpu! Semoga cukup untuk membayar hutang-hutang putramu. Tapi, ingat!
Jangan lupa untuk menasehati putramu agar dia mau merubah perilakunya!” seru sang Naga.

“Baik, Naga! Terima kasih atas bantuannya,” ucap Empu Sidi Mantra.
Setelah mengambil semua perhiasan emas dan intan tersebut, Empu Sidi berpamitan kepada sang Naga.
Setibanya di rumah, ia langsung memanggil putranya.

“Wahai, putraku Manik Angkeran! Bapa akan memberikan semua emas dan intan ini kepadamu, tapi dengan
satu syarat, kamu harus berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ujar Empu Sidi Mantra.

‘Baik, Bapa! Manik berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ucap Manik Angkeran.

Empu Sidi Mantra pun percaya begitu saja pada ucapan putranya. Akhirnya, ia menyerahkan semua
perhiasan emas dan intan tersebut kepada putranya. Dengan perasaan senang dan gembira, Manik Angkeran
segera menjual semua perhiasan emas dan intan tersebut. Setelah itu, ia pergi membayar hutang-hutangnya.
Ternyata, uang hasil penjualan emas dan intan tersebut tidak habis digunakan untuk melunasi seluruh
hutangnya.

Melihat jumlah uang yang masih tersisa begitu banyak, akhirnya ia pun tergiur untuk kembali bermain judi.
Dengan uang itu, ia berharap akan menang dan memperoleh uang yang lebih banyak lagi. Tapi, nasib berkata
lain, ia kalah berjudi dan uangnya pun habis. Bahkan, ia kembali dililit hutang. Akhirnya, ia kembali ke
rumahnya dengan wajah lesu.

“Bapa! Aku sudah membayar semua hutangku kepada mereka,” kata Manik Angkeran dengan nada lemas.

“Ya, baguslah kalau begitu! Tapi, kenapa wajahmu tampak kusut begitu?” tanya bapanya heran.

“Maafkan aku, Bapa! Tadi aku bermain judi dan berhutang lagi,” jawab Manik Angkeran sambil
menundukkan kepalanya.

“Apa katamu! Dasar anak keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua!” bentak bapanya.

“Maafkan aku, Bapa! Tolong bantu aku sekali ini saja, Bapa!” Manik Angkeran mengiba di hadapan
ayahnya.

“Tidak! Bapa tidak dapat membantumu lagi. Bayar sendiri hutang-hutangmu itu!” seru bapanya dengan
wajah memerah.
Manik Angkeran pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kebingungan mencari cara untuk membayar hutang-
hutangnya. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba ia teringat bahwa bapanya memperoleh perhiasan emas dan
intan di kawah Gunung Agung. Ia pun nekad mencuri genta milik bapanya, lalu pergi ke kawah gunung itu.
Setibanya di sana, ia bingung lagi karena tidak mengerti doa dan mantra yang harus diucapkan.

Akhirnya, ia mencoba membunyikan genta itu tanpa mengucapkan mantra. Setelah beberapa kali
membunyikannya, tiba-tiba seekor naga besar keluar dari sarangnya dan menghampirinya.

“Ampun, Naga! Jangan memangsaku!” pinta Manik Angkeran.

“Hai, Anak Muda! Kamu siapa? Kenapa kamu membunyikan genta itu tanpa membaca mantra?” tanya Naga
Besukih.

“A… a… Aku Manik Angkeran, putra Empu Sidi Mantra,” jawab Manik Angkeran dengan gugup.

“Hai, Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari bapamu itu?” tanya
Naga Besukih. Manik Angkeran pun menyampaikan maksud kedatangannya. Ia mengiba kepada Naga
Besukih agar ia diberikan harta yang melimpah untuk membayar hutang-hutangnya.

“Naga! Kasihanilah Aku! Orang-orang akan membunuhku jika tidak segera membayar hutangku kepada
mereka,” Manik Angkeran kembali mengiba. Melihat kesedihan Manik Angkeran, sang Naga pun merasa
kasihan kepadanya.

“Baiklah! Aku akan membantumu, tapi kamu harus berjanji untuk berhenti berjudi,” ujar Naga Besukih.

Setelah itu, sang Naga segera membalikkan badannya hendak mengeluarkan emas dan intan melalui sisik
ekornya. Begitu ia hendak menyetakkan ekornya, tiba-tiba Manik Angkeran segera menghunus kerisnya dan
memotong ekor naga itu. Tak ayal lagi, Naga Besukih pun meronta-ronta dan menjerit kesakitan. Ketika ia
membalikkan badannya, Manik Angkeran telah pergi membawa ekornya yang penuh dengan emas dan intan
itu.

Naga Besukih berusaha untuk mengejarnya, namun putra Empu Sidi Mantra itu sudah menghilang entah ke
mana. Ia hanya menemukan bekas tapak kakinya. Maka dengan kesaktiannya, ia membakar tapak kaki itu.
Manik Angkeran yang telah pergi jauh meninggalkan kawah Gunung Agung pun merasakan kedua telapak
kaki terasa panas, dan lama kelamaan seluruh tubuhnya terbakar hingga akhirnya menjadi abu.

Sementara itu, di Kerajaan Daha, Empu Sidi Mantra dan istrinya sedang gelisah, karena anak semata wayang
mereka menghilang. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak juga menemukannya.

“Pa! Ke mana perginya putra kita? Kita sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tak seorang pun warga yang
tahu keberadaannya?” tanya istri Empu Sidi Mantra dengan perasaan cemas. Empu Sidi Mantra hanya
terdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia tersentak kaget.

“Wah, jangan-jangan putra kita pergi ke Gunung Agung,” kata Empu Sidi Mantra.

“Kenapa Bapa bisa berpikiran begitu?” tanya istrinya.

“Aku berpikiran demikian, karena putra kita menghilang bersamaan dengan hilangnya genta saktiku. Dia
pasti pergi ke kawah itu untuk menemui Naga Besukih,” jawab Empu Sidi Mantra.

Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra ke kawah Gunung Agung untuk mencari putranya.
Setibanya di sana, ia melihat Naga Besukih sedang gelisah di luar sarangnya.

“Wahai, Naga Besukih! Apakah engkau melihat putraku?” tanya Empu Sidi Mantra.

“Iya, Mpu! Kemarin dia ke sini meminta harta untuk membayar hutang-hutangnya.

Namun, ketika aku hendak memberinya harta itu, tiba-tiba ia memotong ekorku, lalu membawanya pergi
bersama harta itu,” jelas Naga Besukih.

“Apakah kamu tahu kemana perginya?” Empu Sidi Mantra kembali bertanya dengan perasaan cemas.
“Maaf, Mpu! Kamu tidak usah lagi mencari putramu. Aku telah membakarnya hingga binasa,” jawab Naga
Besukih. Betapa terkejutnya Empu Sidi Mantra mendengar berita buruk itu. Ia pun memohon kepada sang
Naga agar putranya dihidupkan kembali.

“Maafkan aku dan putraku, Naga! Dia putraku satu-satunya. Aku mohon hidupkanlah dia kembali,” pinta
Empu Sidi Mantra.

“Baiklah, Mpu! Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permitaanmu. Tapi dengan satu syarat, kamu
harus mengembalikan ekorku,” kata Naga Besukih.

Empu Sidi Mantra pun berjanji untuk memenuhi syarat Naga Besukih. Dengan kesaktiannya, Naga Besukih
berhasil menghidupkan kembali Manik Angkeran. Empu Sidi Mantra segera pergi mencari putranya. Setelah
sekian lama mencari, akhirnya ia pun menemukan putranya di sebuah hutan lebat, dan kemudian
mengajaknya kembali ke kawah Gunung Agung untuk menemui dan mengembalikan ekor Naga Besukih.

Setibanya di kawah Gunung Agung, Empu Sidi Mantra segera mengembalikan ekor Naga Besukih seperti
semula. Setelah itu, ia bersama naga itu menasehati putranya agar benar-benar mau merubah perilakunya.
Manik Angkeran pun sadar dan berjanji untuk mengikuti nasehat mereka. Sebagai hukuman, ia harus tinggal
di sekitar Gunung Agung.

Akhirnya, Empu Sidi Mantra pun kembali ke Kerajaan Daha seorang diri. Ketika tiba di Tanah Benteng, ia
menorehkan tongkat saktinya ke tanah untuk membuat garis batas antara dia dan putranya. Karena
kesaktiannya, bekas torehan tongkatnya bertambah lebar sehingga tergenangi air laut, dan lambat laun
tempat itu berubah menjadi sebuah selat. Oleh masyarakat setempat, selat itu dinamakan Selat Bali.

NAMA : STELA PUTRI REVINA


KELAS : X IPA 2

CERITA RAKYAT BALI

Legenda Kebo Iwa dan Asal Usul Danau Batur

Alkisah, Di sebuah desa di Bali, tinggallah suami istri yang rukun dan kaya raya. Namun kebahagiaan
mereka belum sempurna karena setelah lama menikah, mereka belum juga dikaruniai anak.
Serasa tak putus-putusnya mereka berdoa dan meminta dikaruniai anak. Doa dan permintaan mereka
akhirnya dikabulkan Sang Hyang Widi Wasa. Sang istri mengandung dan kemudian melahirkan seorang bayi
lelaki.
Bayi lelaki itu tumbuh sangat cepat. Ia sangat kuat nafsu makannya. Meski masih bayi, nafsu makannya telah
setara dengan sepuluh orang dewasa. Seiring bergulirnya sang waktu, si bayi berubah menjadi kanak-kanak.
Sangat besar tubuhnya dan kian meningkat kuat nafsu makannya. Ia pun diberi nama Kebo Iwa, paman
kerbau makna namanya.
Bertambah hari bertambah besar tubuh Kebo Iwa. Bertambah kuat pula nafsu makannya. Sehari kebutuhan
makannya sama dengan kebutuhan makan seratus orang dewasa. Kedua orangtuanya benar-benar kewalahan
memenuhi hasrat makan Kebo Iwa.
Kebo Iwa terkenal pemarah. Kemarahannya mudah meledak, terutama jika ia tidak mendapatkan makanan
yang cukup. Jika ia telah marah, ia akan merusak apa saja yang ditemuinya. Ia biasa merusak rumah-rumah
penduduk. Bahkan, pura tempat ibadah pun tanpa takut-takut akan dihancurkannya jika kemarahannya telah
meninggi. Penduduk desa akan sangat ketakutan jika mendapati Kebo Iwa telah marah. Namun demikian,
sesungguhnya Kebo Iwa bersedia membantu penduduk desa yang membutuhkan bantuan tenaganya. Ia
bersedia membuatkan sumur, memindahkan rumah, meratakan tanah berbukit-bukit, membendung sungai,
atau mengangkut batu-batu besar. Ia akan cepat melaksanakan pekerjaan yang sangat berat dilakukan
kebanyakan manusia itu. Tentu saja ia meminta imbalan berupa makanan dalam jumlah yang cukup untuk
membuatnya kenyang.
Selama para penduduk yang kebanyakan menjadi petani itu mendapatkan hasil panen yang cukup, penduduk
masih bisa bergotong royong memberikan makanannya untuk Kebo Iwa. Namun, ketika terjadi musim
paceklik’, penduduk mulai kesulitan dan kewalahan untuk menyediakan makanan untuk Kebo Iwa.
Penduduk menjadi sangat cemas. Mereka tidak hanya cemas memikirkan cara mencari bahan makanan untuk
keluarga masing-masing, mereka juga cemas memikirkan Kebo Iwa. Apa yang harus diberikan kepada Kebo
Iwa jika mereka tidak mempunyai bahan makanan? Kebo Iwa pasti tidak mau mengerti keadaan yang tengah
mereka alami. Bagi Kebo Iwa, jika ia mendapatkan makanan yang cukup, maka ia akan diam. Namun, jika
tidak, ia akan mengamuk sejadi-jadinya.
Warga desa lantas berkumpul untuk membahas masalah yang mereka hadapi berkenaan dengan Kebo Iwa
itu. Mereka merencanakan suatu siasat untuk menghadapi Kebo Iwa. Jika memungkinkan, melenyapkan
Kebo Iwa yang sangat meresahkan itu. Setelah berembuk, warga desa akhirnya menemukan cara untuk
mewujudkan rencana mereka.
Segenap warga desa bergotong royong untuk mengumpulkan makanan. Sedikit demi sedikit makanan
akhirnya terkumpul hingga cukup jumlahnya untuk menjadi santapan Kebo Iwa. Sebagian warga juga
bergotong royong untuk mengumpulkan batu-batu kapur. Setelah makanan dan batu kapur tersedia, Kepala
Desa dengan diiringi beberapa warga lantas menemui Kebo Iwa.
Kebo Iwa tengah bersantai setelah menyantap beberapa ekor hewan ternak milik warga desa. Ia sedikir
terperanjat melihat beberapa orang mendatanginya. Katanya, “Mau apa kalian ke sini? Apa kalian
mempunyai makanan yang cukup membuatku kenyang? Aku masih lapar!”
“Kami mempunyai makanan yang lebih dari cukup untuk membuatmu kenyang,”jawab Kepala Desa. “Kami
akan memberikan semuanya kepadamu asal engkau bersedia membantu kami.”
Mendengar ada makanan dalam jumlah yang cukup untuk membuat perutnya kenyang, Kebo Iwa langsung
bangkit dari rebahannya dan berkata, “Aku tentu saja mau membantu kalian jika kalian memberiku makanan.
Apa yang bisa kubantu?”
Kepala Desa lantas menjelaskan perihal banyaknya rumah warga yang telah rusak akibat amukan Kebo Iwa.
“Itu karena kalian tidak bersedia memberiku makanan,” sahut Kebo Iwa tanpa merasa bersalah. “Jika kalian
memberiku makanan, niscaya aku pun tidak akan menghancurkan rumah kalian.”
“Seperti yang engkau ketahui, semua itu diakibatkan kegagalan panen yang kami alami. Kegagalan panen itu
disebabkan ketiadaan air karena musim kemarau yang terus berkepanjangan ini;” kata Kepala Desa.
“Padahal, di dalam tanah ini sebenarnya terdapat banyak air. Sangat meIimpah jumlahnya. Oleh karena itu
kami meminta bantuanmu untuk membuatkan sumur yang sangat besar! Air dari sumur besar itu akan kami
gunakan untuk mengairi sawah-sawah kami. Jika tanaman-tanaman kami cukup mendapat air, niscaya
kegagalan panen dapat kami tanggulangi. Kami juga tidak lagi kesulitan untuk memberimu makanan. Berapa
pun juga jumlah makanan yang engkau butuhkan, kami pasti sanggup untuk memenuhinya.”
Kebo Iwa sangat gembira mendengar rencana Kepala Desa. “Baiklah,” katanya. “Itu rencana yang sangat
baik. Aku tentu saja bersedia membantu kalian:’
Kebo Iwa lantas mulai bekerja. Ia mendirikan beberapa rumah seperti yang dikehendaki Kepala Desa. Ia
lantas menggali tanah di tempat yang ditentukan Kepala Desa. Tenaganya yang sangat sangat besar mulai
tercipta. Sementara Kebo Iwa terus menggali, warga desa lantas mengumpulkan batu-batu kapur di dekat
tempat Kebo Iwa sedang menggali tanah.
Mengetahui warga desa mengumpulkan batu kapur, Kebo Iwa merasa keheranan. “Untuk apa kalian
mengumpulkan batu kapur sebanyak itu?” tanyanya.
“Setelah engkau selesai membuat sumur besar, kami akan membangunkan rumah untukmu. Rumah yang
besar lagi sangat indah.” jawab Kepala Desa. “Rumah untukmu yang sangat besar itu tentu membutuhkan
batu kapur yang sangat banyak, bukan?”
Kebo Iwa sangat gembira mendengar jawaban Kepala Desa. Ia makin bersemangat menggali tanah. Berhari-
hari ia bekerja keras. Semakin bergulirnya waktu semakin besar lagi dalam sumur yang dibuat Kebo Iwa. Air
mulai memancar keluar hingga terciptalah sebuah kolam besar. Namun, Kepala Desa terus saja memintanya
menggali tanah. Kebo Iwa menurut karena terus dijanjikan akan mendapatkan makanan yang sangat banyak
dan juga dibuatkan rumah yang sangat besar. Lubang di tanah kian membesar lagi semakin dalam. Air yang
memancar keluar juga semakin banyak.
Kebo Iwa terus bekerja hingga ia kelelahan dan juga kelaparan. Ia meminta waktu untuk beristirahat. “Mana
makanan untukku?” teriak Kebo Iwa kemudian.
Warga desa berdatangan membawa makanan untuk Kebo Iwa. Kebo Iwa sangat gembira mendapati makanan
dalam jumlah yang sangat banyak itu. Ia makan dengan amat lahap. la terus makan hingga perutnya
kekenyangan. Setelah perutnya kekenyangan, Kebo Iwa mengantuk. Sebentar kemudian ia telah tertidur
dengan mendengkur. Suara dengkurannya sangat keras.
Setelah mendapati Kebo Iwa telah tertidur, Kepala Desa lantas memerintahkan segenap warga untuk
melemparkan batu kapur ke dalam lubang galian yang dibuat Kebo Iwa. Beramai- ramai warga memasukkan
batu-batu kapur, sama sekali tanpa disadari Kebo Iwa yang masih terlelap dalam tidurnya.
Air semakin banyak memancar dari dalam tanah dan batu kapur pun semakin banyak dimasukkan warga ke
dalam lubang galian. Akibatnya hidung Kebo Iwa menjadi tersumbat. Kebo Iwa tersedak dan terbangun.
Namun, terlambat baginya. Air makin deras memancar dan batu-batu kapur terus dilemparkan ke dalam
lubang galian besar yang dibuatnya. Meski mempunyai tenaga yang sangat kuat, Kebo Iwa tidak berdaya
pada akhirnya. Kebo Iwa akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di dalam lubang galian besar yang
dibuatnya sendiri.
Air terus memancar hingga meluap dan membanjiri desa tempat tinggal Kebo Iwa. Desa-desa di sekitar desa
itu pun turut terbanjiri. Sebuah danau yang besar akhirnya tercipta. Danau itu disebut Danau Batur.
Timbunan tanah yang di sekitar danau itu kemudian berubah menjadi gunung dan disebut Gunung Batur.
NAMA : DIAN SINTA SARI

KELAS : X IPA 2

CERITA RAKYAT BALI

Legenda Garuda Wisnu Kencana

Alkisah Kedua istri Resi Kasyapa masing-masing dikaruniai anak.  Kadru dikaruniai para Naga, sedangkan
Winata dikaruniai seekor Burung Garuda. Kadru yang tetap memiliki rasa iri dan dengki terhadap Winata
selalu melancarkan niat jahat agar Winata dapat keluar dari lingkaran keluarga Resi Kasyapa.
Suatu ketika, Para Dewa mengaduk-aduk samudra untuk mendapatkan Tirtha Amartha. Tirtha(air) yang
diebut-sebut dapat memberikan keabadian kepada siapapun yang dapat meminumnya walaupun hanya
setetes. Bersamaan dengan kejadian itu, muncullah kuda terbang bernama Ucaihswara. Oleh karena Kadru
yang selalu menaruh rasa dengki terhadapa Winata, Kadru kemudian menantang Winata untuk menebak
warna Kuda Ucaihswara yang belum terlihat oleh mereka.

Winata kemudian menyanggupi tantangan dari Kadru dengan perjanjian, jika siapapun yang kalah harus
bersedia menjadi budak dan selalu mentaati seluruh perintah dari yang menang. Kemudian Kadru menebak
warna kuda itu berwarna hitam, dan Winata menebak warna kuda itu berwarna putih. Sebelum kuda itu
muncul, secara diam-diam Kadru menerima informasi dari anaknya(naga) bahwa kuda itu sebenarnya
berwarna putih.
Mengetahui bahwa dirinya akan kalah, maka Kadru berbuat licik dengan menyuruh anaknya untuk
menyembur dengan racun tubuh kuda itu sehingga terlihat kehitaman.
Benar saja kuda yang dulunya putih kemudian menjadi hitam setelah muncul dan dilihat oleh Kadru dan
Winata. Karena Winata merasa dirinya telah kalah, maka ia bersedia menjadi budak Kadru selama hidupnya.
Garuda wisnu kencana  menyadari kelicikan Kadru, anak Winata yakni sang Garuda tidak tinggal diam. Dia
kemudian bertarung dengan anak-anak Kadru yakni para Naga yang berlangsung tanpa henti siang dan
malam. Keduanya berhasil menahan imbang disetiap pertarungan sampai akhirnya para Nagapun
memberikan persyaratan bahwa dia akan membebaskan Winata dengan syarat sang Garuda dapat
membawakan Tirtha Amartha kepada para Naga.
Sang Garuda menyanggupinya, dia bersedia mencari Tirtha Amertha yang tidak dia ketahui tempatnya agar
dia dapat menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Di tengah petualangannya, sang Garuda bertemu dengan
Dewa Wisnu yang membawa Tirtha Amertha. Garuda kemudian meminta Tirtha Amertha itu, Dewa Wisnu
menyerahkannya dengan syarat agar Garuda mau menjadi tunggangan Dewa Wisnu yang kemudian dikenal
dengan nama Garuda Wisnu Kencana.
Garuda kemudian mendapat tirtha amertha dengan berwadahkan kamendalu dengan tali rumput ilalang. Ia
memberikan tirtha tersebut kepada para naga, namun sebelum para naga sempat meminumnya tirtha itu
terlebih dahulu diambil oleh dewa indra yang kebetulan lewat. Namun tetesan tirtha amertha itu masih
tertinggal di tali rumput ilalangnya. Naga kemudian menjilat rumput ilalang tersebut yang ternyata sangat
tajam dan lebih tajam dari pisau. Oleh karena itu lidah naga menjadi terbelah menjadi 2 ujung yang
kemudian disetiap keturunan naga itu juga memiliki lidah yang terbelah.
Kemudian ibu Winata berhasil dibebaskan dari jeratan perbudakan.

Begitulah akhir cerita dari Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana. Lalu apa hubungan Garuda anak Winata
dengan Garuda Lambang Negara Indonesia? Karena melihat filosofi diatas para petinggi yang membangun
Negara Indonesia kemudian memilih Burung Garuda sebagai lambang Negara Indonesia karena melihat
kegigihan Burung Garuda dalam berbakti kepada ibunya agar ibunya dapat lolos dari perbudakan. Garuda
tersebut melambangkan kegigihan masyarakat pribumi (masyarakat indonesia) dalam memperjuangkan tanah
Ibu pertiwi agar lolos dari perbudakan para penjajah kala itu.
NAMA : IRMA SURYANI

KELAS : X IPA 2

CERITA RAKYAT BALI


Asal Muasal Buleleng dan Singaraja

Di Bali, hidup seorang raja yang bergelar Sri Bagening. Sang Raja memiliki banyak istri, dan istri
terakhirnya bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji, dan masih keturunan
Kyai Pasek Gobleng. Suatu waktu, Ni Luh Pasek mengandung. Oleh suaminya, ia dititipkan kepada
Kyai Jelantik Bogol. Tak berapa lama, anaknya pun lahir. Anak itu diberi nama I Gede Pasekan. I
Gede Pasekan mempunyai wibawa besar sehingga sangat dicintai dan dihormati oleh pemuka
masyarakat maupun masyarakat biasa.
Suatu hari, ketika usianya menginjak dua puluh tahun, ayahnya berkata padanya, “Anakku,
sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”
“Mengapa ayah?”
“Karena di sanalah tempat kelahiran ibumu.”
Sebelum berangkat, ayah angkatnya memberikan dua buah senjata bertuah, yaitu sebilah keris
bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Dalam
perjalanannya, I Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh pengawal yang dipimpin Ki Dumpiung
dan Ki Dosot. Ketika sampai di daerah yang disebut Batu Menyan, mereka bermalam dengan dijaga
ketat oleh para pengawal secara bergantian.
Saat tengah malam, tiba-tiba datang makhluk ajaib penghuni hutan. Dia mengangkat I Gede
Pasekan ke atas pundaknya sehingga I Gede Pasekan dapat melihat pemandangan lepas ke lautan
dan daratan yang terbentang di hadapannya. Ketika dia memandang ke arah timur dan barat laut, ia
melihat pulau yang amat jauh. Ketika melihat ke arah selatan pemandangannya dihalangi oleh
gunung. Setelah makhluk itu pergi kemudian terdengar bisikan.
“I Gusti, sesungguhnya apa yang telah engkau lihat akan menjadi daerah kekuasaanmu.”
Keesokan harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Meski sulit dan penuh rintangan akhirnya
rombongan I Gede Pasekan berhasil mencapai tujuan, yaitu Desa Panji, tempat kelahiran ibunya.
Suatu hari, ada sebuah perahu Bugis yang terdampar di pantai Panimbangan.Warga setempat yang
dimintai tolong tak mampu mengangkatnya.
Keesokan harinya orang Bugis pemilik perahu itu meminta tolong pada I Gede Pasekan.
“Tolonglah kami, Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian muatan itu akan
kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”
“Kalau itu keinginan kalian, saya akan berusaha mengangkat perahu itu,” jawab I Gede Pasekan.
I Gede Pasekan segera memusatkan pikiran. Dengan kekuatan gaibnya, perahu yang kandas itu
berhasil diangkatnya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, orang Bugis itu memberikan hadiah
berupa setengah dari isi perahu itu kepada I Gede Pasekan. Di antara hadiah itu terdapat dua buah
gong besar. Sejak saat itu I Gede Pasekan menjadi orang kaya dan bergelar I Gusti Panji Sakti.
Kekuasaan I Gede Pasekan mulai meluas dan menyebar sampai ke mana-mana. Dia pun mendirikan
kerajan baru di Den Bukit. Kira-kira abad ke-17, ibukota kerajaan itu disebut orang dengan nama
Sukasada. Kerajaaan I Gede Pasekan itu berkembang hingga ke utara. Daerah itu banyak ditumbuhi
pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan beralih ke wilayah itu. Wilayah itu pun diberi nama
Buleleng.
Di Buleleng dibangun sebuah istana megah yang diberi nama Singaraja. Nama ini menunjukkan
bahwa penghuninya adalah seorang raja yang gagah perkasa laksana singa. Namun, ada pendapat
yang mengatakan bahwa nama Singaraja artinya tempat persinggahan raja. Barangkali ketika sang
Raja masih di Sukasada, sering singgah di sana. Jadi, kata Singaraja berasal dari kata singgah raja.
NAMA : DEWI SARTIKA

KELAS : X IPA 2

CERITA RAKYAT BALI

Bawang dan Kesuna

Pada sebuah desa di Bali, hiduplah dua orang anak yang bernama Bawang dan Kesuna. Keduanya
masih memiliki orang tua yang lengkap, ayahnya seorang petani dan ibunya menjaga kedua
anaknya di rumah.

Pada suatu hari, Ibunya pergi ke pasar cukup lama, seperti biasa ayahnya menggarap sawah.
Mereka membagi pekerjaan rumah untuk memasak nasi, dll.

Kesuana yang baik hati, meminta Bawang untuk menumbuk padi, karena dia mau mengerjakan
yang lain.

“Maaf Kesuna, kamu yang menumbuk, nanti aku yang mengayak,” begitu ucapan Bawang.

Akhirnya Kesuna yang sering mengalah, diapun mulai menumbuk padi. Selepas itu, Kesuna
kembali meminta Bawang menepati janjinya mengayak padi yang sudah menjadi beras, “Bawang,
ini…”

Sebelum Kesuna berbicara, bawang memotong ucapannya itu, “Kesuna, kamu ayak saja, biar aku
yang memasak”

Kesuna yang sabar terus diuji, dia pun mengayak. Setelah itu, Bawang masih terus beralasan lagi
untuk menolak semua permintaan dari Kesuna, akhirnya merasa Bawang tidak ingin menolongnya,
dia mengerjakan sendiri semua pekerjaan rumah itu.
Karena merasa kegerahan, Kesuna mandi ke sungai. Tidak lama dari itu, Ibunya datang dari Pasar,
Bawang yang sifatnya pemalas dan si tukang fitnah, diapun segera berlari menuju dapur untuk
mengotori semua tangan dan mukanya.

“Bawang, kamu mengerjakan ini semua sendiri?” tanya ibunya yang kaget melihat muka Bawang
yang tampak kelelahan.

Bawang mengiyakan dan menjelaskan bahwa Kesuna tidak membantu apa-apa, dia juga si tukang
fitnah kesuna.

Merasa kesal dan marah, ketika Kesuna kembali dia dipukuli dan diusir oleh ibunya. Merasa
bingung harus kemana, akhirnya dia berjalan tanpa arah dan sampailah di tengah hutan. Akhirnya
Bawang dan Kesuna tidak tinggal bersama lagi dan itu yang diinginkan Bawang sejak lama.

Tiba-tiba dia mendengar ada burung crukcuk kuning yang terus berbunyi yang seperti
memperhatikannya.

“Crukcuk kuning, patuklah ubun-ubunku dan bunuhlah aku,” ucap Kesuna sambil memohon.

Burung Crukcuk kuning menghampiri dan segera mematuk ubun-ubun Kesuna, betapa kagetnya dia
bahwa bukan sakit yang dirasakan justru malah rangkaian bunga emas yang menempel di kepalanya
seperti mahkota.

Tidak hanya ubun-ubun yang dipatuk, burung itu juga mematuk kupung, leher, tangan, dan kakinya.
Semua yang dipatuk berubah menjadi perhiasan yang mewah.
NAMA : VENNY ANGRAINI

KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT JAWA TENGAH

LEGENDA BATURADEN

Alkisah, pada zaman dahulu ada seorang pemuda tampan bernama Suta. Untuk menghidupi dirinya,
Suta bekerja sebagai seorang kacung di Kadipaten Kutaliman, Banyumas, Jawa Tengah. Tugasnya
adalah merawat sekaligus membersihkan kandang kuda milik Adipati Kutaliman. Oleh karena dia
adalah seorang baik dan jujur, maka selama bekerja tidak pernah mendapatkan masalah yang
berarti.

Suatu ketika, selepas bekerja mengurus kuda-kuda milik Adipati Kutaliman, Suta memutuskan
berkeliling kadipaten mencari suasana baru. Namun karena wilayah kadipaten sangatlah luas, maka
dia hanya dapat mencapai satu lokasi saja. Keesokan harinya diulangi lagi perjalanan menuju ke
lokasi lain. Begitu seterusnya hingga hampir seluruh wilayah Kadipaten Kutaliman berhasil
didatangi.

Pada perjalanannya yang terakhir, dia mendengar suara jeritan seorang perempuan. Ketika
didatangi, tampaklah olehnya ada seekor ular sangat besar yang sedang membuka mulut lebar-lebar
dan siap memangsa seorang perempuan di hadapannya. Perempuan itu dibelit dengan kuat sehingga
wajahnya tampak pucat pasi karena aliran darah tersumbat.

Meskipun sangat takut, Suta memberanikan diri mendekati Sang ular. Dengan berbekal sebilah
pedang kusam dia segera menyabetkannya ke arah tubuh Sang ular. Tetapi karena Suta tidak pandai
berkelahi, perlu butuh waktu lama untuk dapat menaklukkan ular tersebut. Dan, setelah sang ular
mati, tubuh sang perempuan pun terlepas dengan sendirinya. Dia segera jatuh tergolek dalam
keadaan pingsan.

Tidak lama kemudian seorang emban datang dan membopong perempuan itu ke sisi pendopo. Suta
lalu mendekati dan bertanya para Sang emban, "siapakah perempuan ini, Bi?"

"Dia adalah puteri dari Adipati Kutaliman," jawab emban singkat.


Mendengar penjelasan singkat itu, Suta menjadi terkejut karena perempuan yang telah dia tolong
ternyata adalah anak dari majikannya sendiri. Selama ini Suta hanya mendengar bahwa Sang
Adipati memiliki seorang puteri yang cantik jelita, tetapi dia sendiri belum pernah bertemu atau
melihatnya.

Sejak peristiwa tersebut, keduanya pun sering bertemu untuk hanya sekedar berbincang-bincang
santai. Lama-kelamaan, timbullah rasa sayang dan cinta di antara mereka hingga akhirnya Suta
memberanikan diri datang pada Adipati Kutaliman untuk melamar puteri kesayangannya.

Sang Adipati yang sudah mendengar kabar tentang kedekatan puteri kesayangannya dengan si
pengurus kuda tentu saja menjadi terkejut. Dia tidak menyangka kalau kedekatan itu ternyata bukan
hanya sebatas teman. Maka ketika Suta selesai mengutarakan niat, dengan sangat marah Adipati
berkata, "Engkau ini hanyalah seorang kacung. Sungguh tidak pantas bila disandingkan dengan
puteriku! Pengawal, tangkap orang ini dan masukkan ke penjara bawah tanah!"

Sang puteri yang mendengarkan percakapan Ayahandanya dengan Suta dari balik tirai tentu saja
menjadi sedih. Dia tidak menyangka kalau Ayahanda akan sangat marah terhadap Suta hingga
memasukkannya ke penjara bawah tanah yang lembab, pengap, dan gelap. Padahal, penjara itu
hanya dikhususkan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan luar biasa sehingga sangat jarang
diberi makan dan minum.

Agar sang kekasih dapat segera keluar dari penjara, malam harinya Sang Puteri langsung meminta
bantuan emban kepercayaannya mencuri kunci untuk membuka pintu sel tempat Suta dikurung.
Sementara itu, dia menunggu bersama kudanya di salah satu sudut Kadipaten yang jarang didatangi
orang.

Singkat cerita, Sang emban pun melaksanakan tugasnya dengan mengelabuhi penjaga penjara.
Tetapi ketika berhasil membuka pintu sel, dia mendapati Suta tengah terbaring lemah dalam kondisi
menggigil karena kekurangan pasokan makanan dan minuman. Sang emban yang membawa sedikit
bekal segera memberi Suta makan dan minuman agar tubuhnya kuat kembali. Selain itu, dia juga
memberi pakaian agar ketika keluar dari penjara dapat langsung membaur dengan penduduk.

Setelah berpakaian layaknya penduduk kebayakan, Suta bersama emban lalu berjalan mengendap
agar dapat keluar keluar dari penjara tanpa diketahui oleh penjaga. Sesampainya di sudut
Kadipaten, Suta dan Sang Puteri segera menaiki kuda dan pergi ke arah selatan menuju lereng
Gunung Selamet, sementara Sang emban kembali ke kediaman Adipati Kutaliman.

Keesokannya, menjelang tengah hari, mereka memutuskan untuk beristirahat di tepi sebuah sungai
sambil memulihkan tenaga. Tempat itu berhawa sejuk serta memiliki panorama alam yang sangat
indah sehingga membuat Sang Puteri takjub dan ingin menetap. Ternyata Suta pun demikian dan
mereka sepakat untuk menetap serta membina rumah tangga di sana. Dan, seiring berjalannya
waktu, tempat mereka menetap dan beranak-pinak tersebut oleh masyarakat sekitar kemudian
dinamakan Baturaden. Kata "batu" berarti "batur atau pembantu" dan "raden" berarti "bangsawan".
Jadi, Baturaden dapat diartikan sebagai tempat menetapnya seorang batur dan seorang bangsawan
untuk membina sebuah rumah tangga yang bahagia hingga akhir hayat.
NAMA : LINDA RAHMA YANTI

KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT JAWA TENGAH

TIMUN MAS

Di sebuah desa hiduplah seorang perempuan tua bernama Mbok Yem. Ia hidup sebatang kara.
Mbok Yem ingin sekali memiliki seorang anak, agar dapat merawat dirinya yang sudah mulai tua.
Namun, itu semua mustahil karena ia tidak mempunyai suami.
Setiap hari MbokYem pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Pada suatu hari, di tengah hutan. Ia
bertemu dengan seorang raksasa yang sangat menyeramkan. Tubuh raksasa itu lebih tinggi dari
pohon. Kulitnya penuh dengan bulu yang kasar. Kulitnya gelap. Mulutnya terdapat sepasang taring
yang sagat tajam. Kukunya panjang dan kontor.
Mbok Yem sangat ketakutan. Tubuhnya gemetaran melihat mahluk yang sangat besar itu. Raksasa
itu berkata dengan suara yang sangat membahana,” Hei, perempuan tua? Jangan takut, aku tidak
akan memakanmu. Kamu sudah terlalu tua. Dagingmu keras dan tidak enak. Aku datang kesini
hanya ingin memberikan sesuatu padamu.”
Raksasa itu memberikan beberapa butir benih tanaman dan berkata,”Tanamlah benih ini dan
rawatlah dengan baik dan kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan selama ini.. tapi ingat,
kau tidak boleh menikmatnya seorang diri. Kau harus memberikannya kepadaku juga sebagai tanda
terima kasih.”
Mbok Yem hanya mengangguk. Ia langsung pulang ke rumahnya. Setiba Mbok Yem dirumah,
sesuai dengan petunjuk si raksasa itu, di tanamlah benih tersebut. Ajaibnya, keesokan harinya,
benih tanaman itu telah tumbuh menjadi tanaman mentimun. Buah-buahnya besar-besar. Jika
terkena sinar matahari, warnanya besinar seperti emas.
Karena penasaran dengan dengan buah mentimun itu, akhirnya di petiklah satu yang paling besar.
Ketika di belah, Mbok Yem sangat terkejut. Di dalam timun tersebut ada seorang bayi perempuan
yang sangat cantik.
“Jadi ini maksud dari ucapan si raksasa.” ujarnya dalam hati.
Betapa senangnya Mbok Yem. Tidak pernah terbayangkan akan mempunyai seorang anak
perempuan yang sangat cantik. Karena lahir dari buah mentimun berwarna keemasan. Anak itu di
beri nama Timun Mas.
Keesokan harinya, di hutan, Mbok Yem bertemu kembali engan si raksasa Raksasa itu berkata, ”
Engakau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan selama ini. Sesuai dengan janjimu, engkau
harus membaginya denganku.”
Mbok Yem bingung, ia bertanya, ” Bagaimna mungkin bayi perempuan bisa dibagi?”
“Tidak usah bingung perempuan tua. Kau boleh memilikinya sampai usia 17 tahun. Selanjutnya.
Anak itu akan menjadi santapanku.” Jelas raksasa.
“Baiklah raksasa. Aku akan merawat anak itu, dan menganggap anak itu anakku sendiri sampai usia
17 tahun,” ujar Mbok Yem.
Timun Mas tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat baik hati dan cantik jelita. Kulitnya kuning
langsat. Tubuhnya tinggi semampai. Rambutnya hitam berkilau. Semakin hari kecantikannya,
semakin terlihat.
Timun Mas juga sangat rajin membantu ibunya. Ia selalu menemani ibunya mencari kayu bakar di
hutan. Kebaikan hati Timun Mas membuat Mbok Yem khawatir kehilangannya. Ia sangat
menyayangi Timun Mas untuk menjadi santapan si raksasa.
Tahun demi tahun terus berganti. Kini, Timun Mas sudah menginjak usia 17 tahun. Sudah
waktunya bagi raksasa itu untuk mengambil Timun Mas Mbok Yem menyuruh Timun Mas
bersembunyi di dalam kamar. Tiba-tiba, terdengar suara dentuman yang sangat keras. Itu adalah
suara langkah kaki si raksasa. Mbok Yem gemetar ketakutan.
“Hai perempuan tua! Mana anak perempuanmu yang telah kau janjikan untukku ?” teriak raksasa
itu.
“Ia sedang mandi di kali, Tuan raksasa. Tubuhnya sangat bau. Kau pasti tidak akan suka
memakannya” Ujar Mbok Yem.
“Baiklah. Aku akan kembali seminggu lagi. Pastikan ketika aku kembali ia sudah siap untuk ku
bawa ke hutan.” Ujar raksasa.
“Tentu saja. Tuan. Aku tak akan mengecewakanmu.” Ujar Mbok Yem.
Maka pergilah raksasa itu kembali ke hutan. Mbok Yem dan Timun Mas sangat lega. Mereka masih
punya waktu semiggu untuk bersama. Namun, setelah seminggu berlalu dan raksasa itu datang
kembali, ibu dan anak ini tetap tidak mau berpisah. Timun Mas kembali bersembunyi. Kali ini di
dapur, di dalam tempayan air yang kosong.
” Hai perempuan tua. Aku kembali untuk menagih janjimu! Cepat serahkan anak perempuanmu.”
Teriak si raksasa.
” Maaf, Tuan raksasa. Timun Mas sedang menjual kayu ke kampung. Bila saja engkau datang lebih
pagi, engkau pasti bertemu dengan dia.” Ujar Mbok Yem
Dengan setengah marah raksasa itu berteriak. ” Baiklah, ku beri waktu 1 minggu lagi. Jika anakmu
tidak kau serahkan kepadaku. Akan ku hancurkan rumahmu.”
Mbok Yem semakin ketakutan dan bingung denngan ancaman si raksasa. Ia sungguh tidak rela anak
perempuanya yang sangat cantik menjadi santapan si raksasa yang kejam itu. Melihat keadaan
ibunya. Timun Mas berkata. ” Ibu, janganlah bersedih. Relakanlah aku menjadi santapan raksasa
itu.” Ujar Timun Mas.
“Tidak anakku. Ibu tidak akan membiarkanmu menjadi mangsa raksasa jahat itu. ibu akan
melakukan apapun untuk menyelamatkanmu.” Ujar Mbok Yem.
Kemudian Mbok Yem pergi menemui seorang kakek yang sakti tinggal di gunung. Kakek sakti itu
memberikan benih mentimun, sebuah duri, sebutir garam, dan sepotong terasi.
Seminggu kemudian, raksasa itu datang lagi. Kali ini, si raksasa sudah tidak dapat menahan
emosinya. Kakinya yang besar, di hentak-hentakan ke tanah sehingga bumi bergetar.
“Cepat serahkan anakmu atau ku hancurkan rumah beserta dirimu! Aku sudah sangat lapar!” teriak
raksasa.
” Maaf, Tua raksasa. Anakku sudah berjalan ke hutan. Kembalilah engkau ke hutan tempat
tinggalmu. Timun Mas sudah berada di sana.” Kata Mbok berbohong.
Pada saat itu. Timun Mas sudah keluar rumah melalui pintu belakang. Ia membawa semua benda
yang di berikan oleh kakek sakti dari gunung itu. Ketika akan kembali ke hutan, si raksasa melihat
Timun Mas berlari dari belakang rumah. Di kejarnya Timun Mas.
Meskipun panik. Timun Ma masih mengingat perintah ibunya untuk melempar sebutir benih
mentimun. Benih mentimun itu langsung berubah menjadi lading mentimun dengan buah yang
besar-besar. Karena kelaparan, si raksasa memakan mentimun-mentimun di ladang itu. Setelah
keyang. Ia kembali mengejar Timun Mas. Meskipun perutnya yang kekenyangan membuat jalannya
menjadi lambat. Raksasa itu tetap bisa mengejar Timun Mas karena langkah kakinya yang panjang.
Ketika si raksasa sudah dekat. Timun Mas melemparkan sebuah duri. Duni itu berubah menjadi
sebuah hutan bambu. Hutan bambu itu memperlambat jalan raksasa itu. Tubuhnya menjadi penuh
luka karena tertusuk batang bambu.
Namun, raksasa itu tidak menyerah. Ia tetap mengejar mangsanya. Kali ini, Timun Mas
melemparkan sebutir garam. Garam itu berubah menjadi sebuah lautan yang luas. Raksasa itu harus
berenang untuk mengejar Timun Mas. Ia berhasil, tetapi tubuhnya sudah sangat lelah.
Raksasa itu terus mengejar Timun Mas meskipun sudah kelelahan. Timun Mas melempar sepotong
terasi. Kali ini terasi tersebut berubah menjadi lumpur hisap. Raksasa itu berteriak meminta tolong
ketika tubuhnya terhisap lumpur.
Tubuh raksasa yang besar tidak mampu melawan hisapan lumpur karena kelelahan. Ia pun tewas
terhisap lumpur. Maka, tamatlah riwayat raksasa jahat itu. Setelah bebas dari raksasa jahat itu.
Kehidupan Timun Mas dan Mbok Yem membaik.
Timun Mas bertemu dengan seorang pangeran dari negeri seberang. Pangeran itu jatuh cinta
kepadanya. Merekapun menikah. Timun Mas dan Mbok Yem diboyong oleh pangeran itu ke
istananya. Mereka hidup bahagia selamanya.
NAMA : TATU JANNATUL MA’WAH
KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT PAPUA


Legenda Asal Usul Burung Cendrawasih

Di daerah Fak-fak, tepatnya di daerah pegunungan Bumberi, hiduplah seorang perempuan tua
bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing betina itu mendapatkan makanan dari
hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk
hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam.
Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang
cukup memakan waktu lama telah mereka tempuh, namun mereka belum juga mendapatkan
makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah
mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah.
Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang
sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina
itu merasa segar dan kenyang.
Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh diperutnya. Perut anjing itu mulai membesar.
Perempuan tua itu mulai memeriksanya dan merasa yakin bahwa sahabatnya (anjing betina) itu
bunting. Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si Perempuan tua
segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu ia pun mengalami hal yang sama dengan
yang dialami oleh sahabatnya.
Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara anak mereka
masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki tersebut diberinya nama Kweiya.
Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, ia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk
menanam aneka bahan makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah
sebuah pahat (bentuk kapak batu), karenanya Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap
harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk
membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Keduanya tidak menyadari
bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan adanya kepulan asap itu.
Konon ada seorang Pria Tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap
yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Ia tertegun
memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Rasa penasaran
mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan
diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat
bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan
waktu. Setelah seminggu berjalan kaki akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.
Setibanya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan yang sedang membanting
tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu
berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam : “weing weinggiha pohi”
(artinya, “selamat siang”), sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-
pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohon pun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang
beristirahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia
menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.
Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa
kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon
dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat lihat pria itu percaya bahwa apa yang
diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar.
Karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin.
Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria
tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya
sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.
Dalam perjalanan menuju rumah, Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya
untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan “bungkusan
tebu” itu di luar rumah. Di dalam rumah, Kweiya pura-pura merasa haus dan memohon kepada
ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu untuk dimakannya sebagai penawar dahaga. Ibunya
memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya
membuka bungkusan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di dalam
bungkusan itu. Sera merta ibunya menjerit ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya
sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Ia berharap agar ibunya
mau menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap
mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang
ibu serta merta menerima usul anak tersebut, dan sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.
Setelah beberapa waktu, lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua
orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir
kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, hubungan persaudaraan di antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri
Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.
Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat untuk
mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya hingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan
kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri disalah satu sudut rumah sambil memintal tali
dari kulit pohon “Pogak Ngggein” (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka
pulang, mereka bertanya dimana Kweiya berada, tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan
di mana Kweiya. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat
menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua mereka.
Mendengar certa itu. Si ibu tua merasa iba terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-
manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi
: “Eek..ek,ek,ek,ek!” sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu
meloncat-loncat di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon
di dekat rumah mereka.
Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu- sedu sambil bertanya-tanya apakah ada
bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian
untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu
tua itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalannya itu disisipkan pada ketiaknya
lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka.
Keduanya bertengkar di atas pohon sambil berkicau dengan suara :
wong,wong,wong,wong,ko,ko,ko,wo-wik!!
Sejak saat itulah burung cendrawasih muncul di permukaan bumi. Terdapat perbedaan antara
burung cendrawasih jantan dan betina, burung cendrawasih yang buluhnya panjang disebut
“siangga” sedangkan burung cendrawasih betina disebut “hanggam tombor” yang berarti
perempuan atau betina. Keduanya berasal dari bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.
Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib  itu merasa menyesal lalu saling menuduh
siapa yang salah sehingga ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling
melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi
kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi
burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan
warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang
menarik dibandingkan dengan cendrawasih.
Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna bulu, namun mereka
tidak mau. Ayah mereka khawatir bulu yang indah itu justru mendatangkan malapetaka bagi
mereka. Ia berpikir suatu ketika orang akan memburu mereka, termasuk ketiga anaknya yang lain.
Ayah merasa kecewa karena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah bulu.
Kini ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu menceburkan dirinya ke dalam laut
dan  menjadi penguasa laut “Katdundur”.
NAMA : DAVA SATYA AJI
KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT KALIMANTAN SELATAN

Asal Usul Kota Banjarmasin

Pada zaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan bernama Nagara Daha. Kerajaan itu didirikan Putri
Kalungsu bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang bergelar Panji
Agung Maharaja Sari Kaburangan. Konon, Sekar Sungsang seorang penganut Syiwa. la mendirikan
candi dan lingga terbesar di Kalimantan Selatan. Candi yang didirikan itu bernama Candi Laras.
Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahannya, pergolakan
berlangsung terus-menerus. Walaupun Maharaja Sukarama mengamanatkan agar cucunya,
Pangeran Samudera, kelak menggantikan tahta, Pangeran Mangkubumi-lah yang naik takhta.

Kerajaan tidak hentinya mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan. Konon, siapa pun
menduduki takhta akan merasa tidak aman dari rongrongan. Pangeran Mangkubumi akhirnya
terbunuh dalam suatu usaha perebutan kekuasaan. Sejak itu, Pangeran Tumenggung menjadi
penguasa kerajaan.

Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap tinggal dalam
Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patih Kerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan
diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan,
bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito, terdapat
kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-
kampung itu adalah Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.

Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya. Kampung Banjar dibentuk
oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin.

Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar, kota
perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Bandar itu di bawah
kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama
Bandar Masih.

Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada
di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin
untuk berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya
untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.

Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan
sekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi
para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti
kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.

Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada
diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Peperangan
berlanjut terus, belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran
Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi
penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat setelah Majapahit.

Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan bantuan,
asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama
Islam. Pangeran Samudera bersedia menerima syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi
menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya
dari seluruh Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya.
Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil dipukul
mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar di
tempat-tempat taklukannya.

Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari
kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat
selesainya peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Cara
itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belah pihak. Pihak yang kalah
harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah
pihak.

Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan.
Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua, belah pihak. Kedua pangeran itu memakai
pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.

Pangeran Samudera Asal Mula Nama Kota BanjarmasinMereka saling berhadapan di Sungai Parit
Basar. Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera.
Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran Samudera
mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang tua yang pada
dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.

Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul. la mampu menatap
Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya
mengalir darahnya sendiri. Pangeran Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran
Samudera dipeluk. Mereka bertangis-tangisan.

Dengan hati tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera.
Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad
menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih
dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya
itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung
diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara
Daha pun menjadi daerah kosong.

Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan
Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526,
dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih.

Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar
Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.

Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik
dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar
Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.

Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam
itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung. Sultan
Suriansyah adalah sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.
NAMA : M. MUKLIS
KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT JAWA TENGAH

Asal usul Kawah Sikidang

AIkisah, ada seorang putri cantik bernama Shinto Dewi. la tinggal di sebuah istana megah di
Dataran Tinggi Dieng. Kecantikan sang putri terkenal ke mana-mana. Namun, tidak ada satu pun
laki-laki yang berhasil melamarnya, karena Shinto Dewi selalu mensyaratkan mas kawin yang
jumlahnya tak terkira.

Seorang pangeran bernama Kidang Garungan tertarik melamar Shinto Dewi. la yakin kekayaan
yang dimilikinya dapat memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Shinto Dewi. Kemudian, ia
mengirimkan utusannya ke Dataran Tinggi Dieng untuk melamar.

“Kedatangan kami ke sini adalah untuk menyampaikan pinangan Pangeran Kidang Garungan.
Pangeran menyanggupi berapa pun besarnya mas kawin yang Putri ajukan,”” kata utusan Pangeran
Kidang Garungan.

Putri Shinto Dewi berpikir sejenak. Pangeran kaya raya yang sedang meminangnya ini pastilah
seorang yang tampan dan berwibawa. Jika tidak, pasti pangeran tersebut tidak akan melamarnya.

Pinangan Pangeran Kidang Garungan pun diterima oleh Shinto Dewi. Pangeran Garungan sangat
senang ketika mendengar Iamarannya diterima. la segera mempersiapkan pesta pernikahan.

Saat hari pernikahan tiba, Pangeran Kidang Garungan dan rombongannya datang ke kediaman
Shinta Dewi. Ketika bertemu dengan Sang Pangeran, Shinto Dewi sangat terkejut, karena ternyata
Pangeran Kidang Garungan adalah manusia berkepala kidang (kijang) atau rusa.

Kemudian, Putri Shinto Dewi berpikir keras bagaimana cara membatalkan pernikahan tersebut.
Oleh karena itu, ia mengajukan sebuah persyaratan yang sulit kepada calon suaminya itu.

“Kanda, ada satu syarat lagi yang harus Kanda penuhi jika ingin menikahiku. Daerah ini
kekurangan air bersih, Dinda ingin Kanda membuatkan sebuah sumur dalam waktu semalam.
Sumur tersebut harus dikerjakan oleh Kanda sendiri,”” ujar Putri Shinta Dewi.
“Baiklah, Dinda. Kanda akan memenuhi syarat tersebut,” jawab sang pangeran.

Pangeran Kidang Garungan mulai membuat sumur di lokasi yang ditunjuk oleh Putri Shinto Dewi.
Dengan kesaktiannya, ia menggali sumur hanya dengan menggunakan tangan dan tanduknya.
Ketika hari menjelang pagi, sumur yang sedang dibuat hampir jadi. Hal tersebut membuat Putri
Shinto Dewi panik.

Karena tak ingin menikah dengan pangeran berkepala kijang itu, Putri Shinto Dewi mengerahkan
pengawalnya untuk menimbun tanah yang sedang digali Pangeran Kidang Garungan. Pangeran itu
panik ketika tiba-tiba saja tanah mulai Iongsor dan menimbunnya. Dengan mengerahkan
kesaktiannya, timbullah ledakan dan Pangeran Kidang Garungan berusaha keluar dari celah pada
timbunan tanah tersebut.

Ketika terlihat Pangeran Kidang Garungan sudah hampir keluar dari dalam sumur yang tertimbun
tanah itu, pasukan Putri Shinto Dewi kembali menimbunnya.

Ketika itu, Pangeran Kidang Garungan sempat mengucapkan sumpahnya kepada Shinto Dewi,
“Kelak seluruh keturunan Putri Shinta Dewi akan mempunyai rambut gembel (gimbal).”

Laiu, Pangeran Kidang Garungan tewas dalam timbunan tanah.

Sumur yang meledak itu lama-kelamaan menjadi sebuah kawah yang kemudian dinamakan
Sikidang. Sampai sekarang di Dataran Tinggi Dieng banyak orang yang mempunyai rambut gimbal
seperti kutukan Pangeran Kidang Garungan.
NAMA : M. HIKMAL ABRAR
KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT KALIMANTAN SELATAN


Asal Mula Burung Punai

Konon, di daerah Kalimantan Selatan, tersebutlah seorang pemuda pengembara yang bernama
Andin. Ia adalah anak sebatang kara, tidak punya Abah dan Uma. Ia juga tidak memiliki tempat
tinggal yang tetap. Ia mengembara dari satu desa ke desa lain, menjelajahi hutan belantara dan
melewati berbagai negeri seorang diri.
Suatu hari, tibalah Andin di Desa Pakan Dalam yang berawa-rawa dan bersungai. Di permukaan
rawa-rawa itu terlihat pemandangan yang sangat indah. Beraneka ragam bunga yang tumbuh mekar
dan harum, sehingga burung yang senang mengunjungi daerah itu. Karena banyak burung yang
cantik dan merdu di desa itu, banyak penduduk yang bekerja mamulut burung. Melihat kehidupan
masyarakat di daerah itu makmur, maka Andin pun memutuskan menetap di sana. “Ah, lebih baik
aku menetap di sini saja. Aku tidak akan kesulitan menghidupi diriku,” gumam Andin. Meskipun
tidak memiliki lahan untuk bertani atau beternak hewan, ia masih memiliki sebuah harapan yaitu
mamulut burung. Dari situlah ia bisa menghidupi dirinya.
Hari dan bulan telah berganti. Tak terasa, sudah satu tahun Andin menetap di Pakan Dalam.
Penduduk setempat sangat menyukai Andin, karena perangainya baik dan santun. Setiap hari Andin
pergi mamulut burung. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat, dan kembali setelah hari mulai senja.
Karena setiap hari pergi mamulut burung, penduduk desa memanggil Andin dengan sebutan Andin
Pulut. Karena keahlian Andin mamulut burung tidak ada yang menandingi di desa itu, maka
sebagian besar penduduk memanggilnya Datu Pulut. Artinya, orang yang sangat pandai dan
berpengalaman mamulut burung.
Seperti biasa, pagi itu Datu Pulut bersiap-siap berangkat mamulut. Tak berapa lama kemudian, ia
sudah terlihat di atas jukungnya menuju hilir. Ia terus mengayuh jukungnya menyusuri sungai.
Setelah menemukan tempat yang cocok, ia pun turun dari jukungnya. Lalu, ia memasang pulut di
sejumlah pohon di pinggir sungai. Setelah itu, ia kembali ke jukungnya menunggu pulutnya terkena
burung sambil tiduran . Tengah asyik tiduran, tiba-tiba hujan turun. Ia pun cepat-cepat naik ke
daratan. Tak jauh dari tempatnya memasang pulut, ditemukannya beberapa pohon yang besar lagi
rindang. Di bawah pepohonan itu terdapat sebuah telaga yang cukup luas dan berair jernih. Ia
sangat senang menemukan tempat berteduh yang nyaman. “Aha…, aku dapat berteduh di sini
sambil menunggu hujan reda,” gumam Datu Pulut. Beberapa saat kemudian, hujan pun mulai reda.
Datu Pulut kemudian manukui jebakan pulutnya. Namun, saat akan beranjak dari tempatnya, tiba-
tiba ia mendengar suara perempuan yang sedang bergembira. Tanpa pikir panjang, ia cepat-cepat
bersembunyi di balik pohon seraya mengintip.
Kini suara itu semakin jelas dan semakin dekat. Tiba-tiba ia tersentak ketika melihat tujuh bidadari
melayang-layang turun dari langit menuju telaga. Ketujuh bidadari tersebut mengenakan selendang
berwarna pelangi. Dari ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berselendang warna jinggalah yang
paling cantik. Datu Pulut sangat terpesona melihatnya. “Aduhai, cantik sekali bidadari yang
berselendang jingga itu,” gumam Datu Pulut takjub. Para bidadari itu turun dan meletakkan
selendangnya di atas bebatuan. Mereka mandi sambil bercengkerama dan bersuka ria. Pada saat
itulah, Datu Pulut memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia mengambil selendang yang
berwarna jingga itu, lalu dimasukkannya ke dalam butahnya. Kemudian, ia cepat-cepat kembali
bersembunyi di balik pohon.
Tak terasa, hari mulai senja. Saatnya bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Satu per satu mereka
mengenakan kembali selendangnya. Tetapi bidadari yang tercantik itu tidak menemukan
selendangnya. Saudara-saudaranya turut membantu mencari ke sana  ke mari. Namun tak kunjung
mereka temukan. Hari pun semakin senja. Keenam bidadari tersebut terpaksa meninggalkan
bidadari cantik yang malang itu seorang diri. Bidadari yang cantik itu sangat sedih ditinggal oleh
saudara-saudaranya. “Abah, Uma, tolong ananda. Ananda takut sendirian di bumi ini. Kenapa nasib
ananda begini malangnya?”  Bidadari itu terus menangis meratapi nasibnya.
Datu Pulut merasa iba melihat bidadari itu. Ia pun segera keluar dari tempatnya bersembunyi, lalu
menghampirinya. “Apa yang telah terjadi, Adingku? Mengapa berada di tepi telaga seorang diri?”
sapa Datu Pulut pura-pura tidak tahu kejadian yang menimpa sang Bidadari. “Selendang saya
hilang, tuan! Tahukah tuan dimana selendang saya?” bertanya pula bidadari itu. Datu Pulut tidak
menjawab pertanyaan itu, ia tidak ingin sang Bidadari  kembali ke Kahyangan. Lalu diajaknya sang
Bidadari pulang bersamanya. Setelah sampai di gubuk reyotnya, Datu Pulut bercerita kepada sang
Bidadari bahwa ia belum berkeluarga dan berniat untuk memperistrinya. “Wahai, Adingku!
Bersediakah kamu menjadi istriku?” tanya Datu Pulut kepada bidadari. Mendengar pertanyaan itu,
sang Bidadari pun bersedia menikah dengan Datu Pulut, karena ia tidak mungkin kembali ke
Kahyangan tanpa selendangnya. Setelah itu, mereka hidup bahagia dan saling menyayangi.
Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik jelita. Maka semakin
lengkaplah kebahagiaan keluarga itu. Datu Pulut semakin rajin dan bersemangat bekerja. Ia sering
pergi mamulut hingga petang. Sementara, bidadari menyiapkan berbagai masakan yang lezat untuk
suaminya.
Pada suatu hari, sang Bidadari hendak menanak nasi. Namun, persediaan beras di padaringan habis.
“Tidak biasanya Kaka lupa mengisi beras di padaringan. Ini kok habis?” kata sang Bidadari dalam
hati. Kemudian, ia masuk ke dalam kindai untuk mengambil padi. Sejak menikah dengan Datu
Pulut, ia tidak pernah mengambil padi di tempat itu. Baru mengambil padi beberapa takaran, sang
Bidadari terpana melihat sebuah butah tergeletak di sela-sela timbunan biji padi. Ia penasaran ingin
mengetahui isi butah itu. Maka dibukanya tutup butah itu. Tanpa diduga-duga, dilihatnya selendang
kahyangannya. Kini, sang Bidadari tersadar, ternyata suaminyalah yang telah mengambil
seledangnya beberapa tahun yang lalu. Ia pun Kahimungan, dan segera menyimpan selendang itu
baik-baik.
Menjelang senja, Datu Pulut pun datang membawa hasil pulutannya. Sang Bidadari menyambutnya
seperti biasanya, sehingga Datu Pulut tidak curiga sedikit pun, jika istrinya telah menemukan
selendang kahyangannya. Malam semakin larut, Datu Pulut sudah tertidur pulas di samping
anaknya, karena letih mamulut sepanjang hari. Sang Bidadari masih belum juga dapat memejamkan
matanya. Pikirannya melayang-layang, teringat orang tua dan saudara-saudaranya di negeri
Kahyangan. Perasaannya bercampur baur, sedih dan bimbang. Ia ingin kembali ke negeri asalnya,
tetapi tidak tega meninggalkan suami dan anaknya. “Oh… Abah, Umah! Aku sangat merindukan
kalian. Tapi bagaimana dengan nasib anak dan suamiku jika aku meninggalkan mereka?” keluh
sang Bidadari kebingungan. Namun, sang Bidadari harus mengambil keputusan antara kembali ke
kahyangan atau tinggal di bumi. Akhirnya, setelah dipikir-pikir ia pun memutuskan meninggalkan
bumi. “Aku harus kembali ke Kahyangan,” tegas sang Bidadari dalam hati.
Keesokan harinya, Datu Pulut pulang dari mamalut. Ia tersentak kaget ketika melihat istrinya sudah
berpakaian lengkap dengan selendang warna jingganya sambil mendekap anak mereka. Belum
sempat Datu Pulut berkata-kata, sang Bidadari langsung berpesan kepadanya, “Maafkan Ading,
Kaka! Ading harus kembali ke Kahyangan. Peliharalah putri kita baik-baik. Jika ia menangis,
buatkanlah ayunan di pohon berunai. Saat itu Ading akan datang menyusuinya, dengan syarat Kaka
tidak boleh mendekat.” Mendengar pesan istrinya, Datu Pulut pun berjanji untuk selalu mengingat
pesan itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba sang Bidadari terbang melayang ke angkasa meninggalkan
suami dan putri tercintanya.
Sejak saat itu, jika putrinya menangis, Datu Pulut segera membuatkan ayunan di pohon berunai
yang tak jauh gubuknya. Tak lama setelah itu, datanglah istrinya untuk menyusui anaknya dengan
dikawal oleh saudara-saudaranya. Datu Pulut hanya bisa melihat dari arah jauh dengan penuh
kesabaran. Meskipun sebenarnya ia sangat merindukan istrinya, perasaan itu terpaksa ia pendam
dalam hati. Tanpa terasa, beberapa bulan telah berlalu. Setiap manusia memiliki batas kesabaran.
Datu Pulut tidak bisa lagi menahan rasa rindunya kepada istrinya.
Pada suatu hari, saat istrinya sedang menyusui anaknya, secara diam-diam Datu Pulut mendekat.
Rupanya ia lupa pada pesan istrinya. Pada saat ia akan menyentuh istrinya, tiba-tiba terjadi
keajaiban yang sangat luar biasa. Sang Bidadari dan saudara-saudaranya berubah menjadi tujuh
ekor burung punai. Ketujuh burung itu pun terbang ke alam bebas dan meninggalkan Datu Pulut
beserta putrinya. Datu Pulut hanya mampu menyesali dirinya. Namun apa hendak dikata, nasi sudah
menjadi bubur. Setiap kali putrinya menangis, ia membawanya ke bawah pohon berunai. Namun,
istrinya yang telah menjadi burung punai tak pernah datang lagi.
NAMA : TRI RAMA PUTRA

KELAS : X IPS 2

BARISAN :4

MAPEL : BAHASA INDONESIA

CERITA RAKYAT KALIMANTAN TIMUR

Legenda Asal Usul Raja-Raja Suku Tunjung Kutai

Di daerah Kalimantan Timur, ada dua orang bersaudara yang bernama Gah Bogan dan Suman. Gah Bogan
tinggal di Negeri Linggang yang terletak tidak jauh dari Sungai Bengkalang. Sementara itu, Suma menetap
di Negeri Londong, sebelah kanan mudik Sungai Mahakam.

Suatu hari, istri Gah Bogan yang bernama Gah Bongek melahirkan anak kembar delapan. Barangkali karena
alasan tidak sanggup menghidupi kedelapan anak tersebut sehingga pasangan suami istri itu memutuskan
untuk membuang anak-anak mereka ke Sungai Mahakam.

Beberapa tahun kemudian, Gah Bongek kembali melahirkan anak kembar delapan. Keduanya pun bersepakat
membuang kedelapan anak mereka ke tengah hutan. Ketika istri Gah Bogan kembali melahirkan yang ketiga
kalinya dan mendapatkan anak kembar delapan lagi, akhirnya mereka pun memutuskan untuk merawat dan
membesarkan kedelapan anak tersebut. Kedelapan anak itu mereka beri nama Sangkariak Igas, Sangkariak
Laca, Sangkariak Lani, Sangkariak Inggih, Sangkariak Injung, Sangkariak Kebon, Sangkariak Lanan, dan
yang paling bungsu adalah Sangkariak Daka.

Waktu terus berjalan. Kedelapan bersaudara itu tumbuh dewasa dan mereka mendirikan permukiman di
pinggiran Sungai Bengkalang. Sehari-hari mereka mencari ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Suatu hari, saat mereka sedang makan bersama, tiba-tiba terdengar suara gaib dari langit.

“Jo jo sambut disambut mati, tidak sambut mati,” demikian kata suara itu.

“Ulur mati habis, tidak terulur mati lumus,” sahut Sangkariak Kebon menjawab suara itu.

Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba sebuah kelengkang (sejenis keranjang) yang teulur dengan tali
seolah-olah turun dari langit. Ternyata kelengkang itu berisi seorang bayi laki-laki tampan yang
menggenggam sebutir telur di tangan kanannya. Alangkah senangnya hati mereka mendapat hadiah tersebut
dari Ape Bongan Tana (Tuhan Yang Mahakuasa).

Oleh Sangkariak Igas, bayi itu diberi nama Aji Julur Dijangkat. Telur yang ada digenggaman bayi itu mereka
simpan dengan baik. Beberapa hari kemudian, telur itu pun menetas menjadi seekor ayam jantan dan diberi
nama Jong Perak Kemudi Besi. Dengan penuh kasih sayang, kedelapan bersaudara tersebut merawat dan
membesarkan bayi dan ayam jantan itu hingga dewasa.

Sementara itu, istri Suma juga melahirkan delapan orang anak, enam laki-laki dan dua perempuan. Mereka
adalah Kemunduk Bengkong, Kemunduk Kandangan, Kemunduk Murung, Kemunduk Jumai, Kemunduk
Jangkak, Kemunduk Mandar, Kemunduk Bulan, dan Kemunduk Beran. Kini, kedelapan putra-putri Suma
tersebut juga sudah beranjak dewasa. Sehari-hari mereka mencari kayu bakar di hutan dan menangkap ikan
di Sungai Mahakam.

Suatu hari, kedelapan bersaudara itu baru saja pulang dari hutan mencari kayu bakar. Hari itu, mereka tidak
hanya membawa kayu bakar, tetapi juga bambu petung untuk digunakan sebagai lantai rumah. Ketika
mereka sedang asyik melepas lelah di depan rumah, tiba-tiba terdengar suara letusan keras disusul suara
tangis seorang bayi beberapa saat setelahnya. Kedelapan bersaudara itu pun langsung terperanjat dari
tempatnya.

“Hai, suara apa itu?” tanya Kemunduk Kandangan.

“Sepertinya suara letusan itu berasal dari tumpukan kayu bakar yang kita bawa tadi,” sahut Kemunduk
Mandar.

“Kalau begitu, ayo kita periksa!” seru Kemunduk Bengkong.

Setelah memeriksa sumber suara letusan tersebut, ternyata bambu petung yang dibawa oleh Kemunduk
Bengkong tadi meledak dan mengeluarkan seorang bayi perempuan yang mungil dan cantik rupawan. Bayi
itu tergeletak di atas puing-puing bambu petung yang meledak tadi.

“Hai, lihat!” seru Kemunduk Jangkak, “Di tangan bayi itu tergenggam sebutir telur ayam.”

Kemunduk Bengkong pun segera mengambil telur ayam itu lalu menggendong sang bayi. Oleh kedelapan
bersaudara tersebut, bayi itu diberi nama Muk Bandar Bulan yang artinya “putri menerangi negeri”.
Sementara itu, telur ayam itu mereka letakkan di tempat yang aman. Tak berapa lama kemudian, telur itu
menetas menjadi seekor anak ayam betina. Sama halnya kedelapan anak Goh Bogan, Kemunduk Bengkong
berserta saudara-saudaranya merawat dan membesarkan bayi dan anak ayam tersebut hingga dewasa.

Putri Muk Bundar Bulan tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas dan bijaksana. Tak mengherankan jika
ia diangkat menjadi ratu di sebuah negeri yang bernama Tanah Tunjung. Sejak itu, Ratu Negeri Tunjung itu
kerap melakukan kunjungan ke negeri-negeri tetangga, termasuk Negeri Linggang.

Suatu hari, Ratu Muk Bundar Bulan mendengar kabar bahwa di Negeri Linggang ada seekor ayam jantan
yang berbulu putih, berjambul, dan berjambing. Ayam jantan itu tak lain adalah si Jong Perak Kemudi Besi
milik Aji Julur Dijangkat. Sang ratu sangat tertarik ingin membeli ayam jantan itu untuk dijadikan sebagai
pasangan ayam betinanya. Ia pun mengajak Kemunduk Bengkong bersaudara untuk mengunjungi negeri itu.

Keesokan hari, Ratu Muk Bundar Bulan beserta rombongannya berangkat menuju ke Negeri Linggang
dengan menggunakan sepuluh perahu. Rupanya, pada saat yang bersamaan, Aji Julur Dijangkat beserta
Sangkariak Igas bersaudara juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Negeri Londong dengan
membawa sepuluh perahu. Akhirnya, kedua rombongan tersebut bertemu di ujung Rantai Genoli dan mereka
pun bersepakat untuk berhenti di Negeri Rantau Batu Gonali.

Saat kedua rombongan saling berhadapan, kedua ayam yang ada pada masing-masing rombongan itu saling
menyahut. Hal itu pertanda bahwa kedua ayam tersebut saling menyukai. Tidak hanya itu, kedua pemilik
ayam tersebut, yaitu Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar Bulan ternyata juga saling jatuh hati.

“Kakanda bernama Sanghiyang Geragas Pati, anak Raja Sanghiyang Nata Dewi Kencana Peri dari Negeri
Bukit Karangan Sari,” kata Muk Bandar Bulan kepada Aji Julur Dijangkat.

“Nama Adinda pastilah Putri Ringsa Bunga, anak Sanghiyang Naga Salik dengan Bunda Dewi Randayan
Bunga dari Negeri Gunung Asmara Cinta,” sahut Aji Julur Dijangkat.

Rupanya, pemuda tampan dan gadis cantik jelita yang berasal dari Negeri Kahyangan itu ternyata sudah
saling mengenal satu sama lain. Oleh karena merasa cocok dan sudah saling mengenal asal-usul masing-
masing, akhirnya Aji Julur Dijingkat dan Muk Bandar Bulan menikah dan setelah itu mereka menetap di
Negeri Rantau Batu Gonali. Seluruh penduduk Negeri Linggang dan Negeri Londong pun pindah dan ikut
menetap di negeri itu.

Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar kemudian membuat rumah panjang yang terbuat dari kayubenggeris.
Rumah panjang itu diberi nama Lamin. Hingga kini, rumah ini menjadi rumah tradisional khas Suku Dayak
Tunjung di Kalimantan Timur. Sebagai bukti bahwa mereka berasal dari Kahyangan, masing-masing
membawa dua biji pinang sendawar. Dua buah biji pinang milik Aji Julur Dijangkat mereka simpan untuk
dimakan bersama, sedangkan dua buah biji pinang milik Muk Bandar Bulan mereka tanam di halaman
rumah. Sejak itulah, negeri Rantau Batu Gonali berganti nama menjadi negeri Pinang Sendawar.

Setelah beberapa tahun kemudian, Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar Bulan dikaruniai empat orang anak
laki-laki. Mereka adalah Sualis Guna, Nara Gama, Jeliban Bona, dan Puncan Karna. Dalam asuhan kedua
orang tua dengan penuh kasih sayang, mereka pun tumbuh dewasa. Suatu hari, sang ayah memanggil mereka
untuk menghadap.

“Dengarkanlah, wahai putra-putraku! Kini ayah sudah tua. Sudah saatnya Ayah menunjuk salah satu di
antara kalian untuk menggantikan kedudukan Ayah sebagai pemimpin negeri ini,” ungkap Aji Julur
Dijingkat di hadapan putra-putranya dan disaksikan oleh sang istri.

Kemududuk Bengkong dan adik-adiknya saling menatap satu sama lain. Masing-masing berharap dirinyalah
yang akan ditunjuk oleh sang ayah. Namun, Aji Julur Dijangkat adalah raja yang adil dan bijaksana.

“Ayah tidak akan menunjuk langsung salah seorang di antara kalian. Ayah pikir bahwa akan lebih adil jika
diadakan lomba menyeberangi sungai sambil membawa gong sebanyak tujuh kali pulang pergi. Siapa pun di
antara kalian yang memenangi lomba tersebut maka dialah yang berhak menggantikan Ayah,” ujar sang
ayah, “Apakah kalian setuju dengan cara ini?”

Sualas Guna dan adik-adiknya pun setuju. Pada hari yang telah ditentukan, perlombaan menyeberangi sungai
antara keempat bersaudara tersebut siap dimulai. Seluruh rakyat pun berondong-bondong untuk menyaksikan
perlombaan tersebut. Setelah gong berbunyi pertanda lomba telah dimulai, para peserta lomba pun mulai
mengeluarkan kemampuan masing-masing. Sualas Guna yang mendapat giliran pertama ternyata gagal pada
saat memasuki putaran keenam. Demikian pula, Nara Gama dan Jeliban Bona yang mendapat giliran kedua
dan ketiga juga gagal yaitu masing-masing pada putaran keempat dan kelima.

Sebagai peserta terakhir, Puncan Karna yang telah mempelajari kesalahan-kesalahan kakak-kakaknya dan
ditambah dengan kekuatannya yang luar biasa akhirnya dapat memenangkan lomba itu. Meskipun
dinyatakan sebagai pemenang, putra bungsu Aji Julur Dijangkat itu tidak jadi diangkat menjadi Raja Pinang
Sendawar karena ia harus pergi ke Kutai Kartanegara atas kehendak Dewata melalui mimpi sang ayah,

Pada malam sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Puncan Karna mendapat pesan dari Sanghyang
Naga Salik atau neneknya melalui mimpi bahwa Raja Negeri Kutai yang bernama Maharaja Sultan
mempunyai enam orang anak. Dua di antaranya adalah putri yaitu Aji Dewa Putri dan Aji Ratu Putri.
Menurut sang nenek, Aji Ratu Putri itulah yang akan menjadi jodohnya.

Keesokan hari, berangkatlah Puncan Karna ke Negeri Kutai disertai oleh beberapa orang pengawal. Setiba di
istana Kutai, pemuda tampan dan perkasa itu langsung menikahi Aji Ratu Putri dan mereka pun hidup
berbahagia. Selang beberapa tahun kemudian, pasang suami istri itu dikaruniai beberapa putra yang secara
turun-temurun menjadi Raja-raja Tunjung.
NAMA : M. WILDAN ALMANSURI

KELAS : X IPS 1

MAPEL : BAHASA INDONESIA

CERITA RAKYAT NUSA TENGGARA BARAT

Asal Muasal Nama Kota Ampenan

Pada zaman dahulu kala, ada sebuah desa bernama Kenanga yang dipimpin oleh Raden Satria Nata.
Ketika Desa Kenanga diserang dan dibakar oleh Kerajaan Bali, Raden Satria Nata dan pengikutnya
pergi mencari daerah baru. Akhirnya, mereka menemukan daerah yang mirip dengan Desa
Kenanga. Daerah tersebut dinamakan Desa Madya.

Di desa tersebut, mereka mulai bercocok bertani. Tanaman yang cocok dengan tanah di sana adalah
tanaman komak atau kara. Ternyata, ketika sedang berbunga, sari bunga komak sering kali diisap
oleh Putri Jin.

Suatu hari, Raden Satria Nata jatuh cinta kepada Putri Jin tersebut. Lalu, ia meminang Putri Jin
untuk menjadi istrinya.

“Aku mau menjadi istrimu dengan satu syarat. Selama menjadi suami istri, kita tidak boleh saling
bicara,” ujar Putri Jin tersebut.

Raden Satria Nata menyanggupinya. Kemudian, mereka menikah dan dikaruniai seorang putra.
Raden Satria Nata sangat menyayangi putranya. Sering kali ia ingin mengungkapkan
kebahagiaannya kepada istrinya, tetapi hal tersebut diurungkan mengingat janjinya kepada istrinya
sebelum mereka menikah.
Pada suatu hari, setelah mengayun sang putra di ayunan, sang istri pergi ke sumur. Raden Satria
Nata memanfaatkan kesempatan tersebut. Ia mengambil selendang istrinya yang biasa dipakai untuk
menggendong putra mereka.

Ketika pulang, sang istri melihat anaknya menangis, dengan cekatan ia menggendong putranya don
mulai mencari-cari kain gendongan. Ia keluar masuk kamar mencari kain gendongannya. Raden
Satria Nata menghampirinya dan menyodorkan kain yang tadi diambilnya.

“Inikah yang kau cari, istriku?” ujar Raden Satria Nata.

Istrinya sangat terkejut mendengar Raden Satria Nato bicara padanya. Dengan penuh santun ia
mengambil selendang tersebut dan bersimpuh di hadapan suaminya.

“Kanda telah melanggar janji kita. Sampai di sinilah kebersamaan kita,” kata istrinya. Kemudian,
perempuan itu membakar jerami don menghilang bersama anaknya dalam kepulan asap.

Raden Satria Nata sangat menyesali peristiwa tersebut dan tidak kuasa menahan kepergian istri dan
anaknya. Ia pun jatuh pingsan. Ketika sadar, ia disarankan untuk bertapa di Gunung Sesang agar
dapat bertemu dengan anak dan istrinya.

Setelah hampir 10 hari bertapa, ia hanya dapat mendengar suara istrinya.

“Hanya anak kita yang dapat kembali kepadamu, Kanda. Buatlah sesaji yang dilengkapi dengan
dulang sebanyak empat puluh empat macam dan dibawa ke Desa Kenaga ” kata suara istrinya.

Upacara sesaji yang dipimpin oleh seorang tetua bernama Nek Sura pun diadakan. Akhirnya, anak
laki-laki Raden Satria Nata kembali kepada ayahnya dan dirawat oleh Nek Nata. Namun, Roden
Satria Nata belum puas sebelum bertemu dengan istrinya. Ia pun terus menunggu di tempat
pertapaannya dan meninggal dunia di tempat itu.

Sementara itu, sang putra yang telah berusia enam tahun belum mempunyai nama. Oleh karena itu,
diadakanlah sayembara untuk memperoleh nama yang tepat bagi putra mendiang Raden Satria
Nata.

Tiba-tiba, datanglah seorang kakek yang mengaku sebagai keturunan Satria Dayak. Menurutnya,
hanya ia yang berhak memberikan nama kepada putra Raden Satria Nata.

Nama yang diberikan adalah Satria Tampena. Nama tersebut kemudian diambil menjadi nama kota
Ampenan. Konon, keturunan Satria Tempena berkembang dan tinggal di daerah tersebut.
NAMA : DINA AMELIA

KELAS : X IPA 2

NO. ABSEN : 09

CERITA RAKYAT BALI

Kisah Jayaprana Dan Layonsari

Dahulu kala, di sebuah desa di Negeri Kalianget, Bali, hiduplah sebuah keluarga miskin. Keluarga
itu terdiri dari sepasang suami istri yang memiliki dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
Kehidupan keluarga tersebut sungguh memprihatinkan karena selalu serba kekurangan.
Kesengsaraan keluarga itu semakin bertambah ketika suatu ketika desa mereka diserang wabah
penyakit yang menyebabkan empat orang dari keluarga itu meninggal dunia. Satu-satunya dari
anggota keluarga itu yang selamat adalah si anak laki-laki bungsu bernama Jayaprana yang saat itu
masih kecil.

Jayaprana menjadi seorang anak yatim piatu. Oleh karena tidak kuat menjalani hidup seorang diri,
bocah itu memberanikan diri menghadap Raja Kalianget dan memohon agar diangkat menjadi abdi
kerajaan. Jayaprana sungguh beruntung karena Raja Kalianget mengambulkan permintaannya.

Sejak itulah, Jayaprana mengabdi kepada Raja Kalianget. Meski demikian, Jayaprana tetap tinggal
di rumah peninggalan orang tuanya. Ia seorang abdi yang baik dan sangat rajin. Setiap pagi-pagi
sekali ia sudah berangkat ke istana untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai abdi raja. Tidak
mengherankan jika ia menjadi abdi kesayangan sang raja. Waktu terus berjalan. Jayaprana telah
tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Karena itulah, ia menjadi idola para dayang-dayang
istana. Suatu ketika, Raja Kalianget pun menitahkan Jayaprana untuk memilih seorang dayang-
dayang istana untuk dijadikan istri. Namun, rupanya Jayaprana lebih memilih untuk mencari calon
istri dari luar istana.

“Ampun, Baginda! Hamba bukan bermaksud untuk menolak titah Baginda. Hamba ingin menikah,
tapi bukan dengan dayang-dayang istana,” kata Jayaprana dengan penuh hormat,
“Jika diperkenankan, izinkanlah hamba untuk mencari calon istri hamba di luar istana ini.”

“Baiklah Jayaprana jika itu yang kamu inginkan. Aku pun tidak akan menghalangimu untuk
memilih calon istri yang sesuai dengan pilihan hatimu,” jawab Raja Kalianget.
Mendapat persetujuan tersebut, pada keesokan harinya Jayaprana berjalan-jalan ke pasar yang
terletak di depan istana untuk melihat-lihat gadis yang lalu-lalang. Setiba di pasar, ia sengaja duduk
di depan pasar sambil memperhatikan gadis-gadis yang lewat di depannya. Tak berapa lama
kemudian, tampak dari kejauhan seorang gadis berjalan melenggang dengan mengenakan pakaian
cukup sederhana. Gadis itu memiliki paras yang cantik serta senyum yang manis dan mempesona.
Si gadis berjalan menuju ke pasar sambil menunduk malu-malu dan matanya sesekali melirik ke
sekelilingnya. Jayaprana pun terpana saat melihat gadis yang cantik jelita itu.
“Oh, gadis itu sungguh cantik dan mempesona,” puji Jayaprana dalam hati dengan kagum,

“Siapakah perempuan itu dan dari mana asalnya?”

Kecantikan paras gadis itu benar-benar memikat hati Jayaprana. Pandangannya terus mengikuti
lenggang gadis itu sampai lewat di depannya. Sementara itu,

Loyansari yang merasa diperhatikan tiba-tiba mengalihkan pandangannya kepada Jayaprana.


Sepasang mata pun bertemu seakan saling menyapa dan saling bicara. Walaupun tak ada kata-kata
yang terungkap, keduanya berbicara dengan bahasa jiwa. Tak dapat dipungkiri bahwa ungkapan
rasa cinta dengan bahasa jiwa memang jauh lebih jujur, tulus, dan apa adanya. Begitulah yang
dirasakan oleh Jayaprana dan gadis itu.

Pandangan pertama itu telah membuat mereka saling jatuh hati. Meski demikian, Jayaprana sebagai
anak muda tentu berharap cintanya tidak kandas di tengah jalan. Demikian pula yang dirasakan oleh
gadis itu. Karena cinta itu tidak berada di dalam khayal, tapi menjelma dalam kenyataan, maka
ketika Jayaprana melemparkan senyum kepada sang gadis, gadis itu pun membalasnya. Ternyata
cinta keduanya gayung bersambut, cinta mereka terjalin erat di lubuk hati yang paling dalam seperti
pepatah yang mengatakan,

“ketika cinta sudah terurai jadi perbuatan, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam
dalam hati, batangnya tegak dalam kata, dan buahnya menjumbai dalam perbuatan”.

Setelah gadis itu berlalu dan menyelinap di balik keramaian orang di dalam pasar, Jayaprana segera
mencari informasi perihal gadis itu kepada orang-orang di sekitarnya. Setelah memperoleh
keterangan bahwa gadis itu bernama Loyansari, putri Jero Bendesa dari Banjar Sekar, ia pun
bergegas kembali ke istana untuk melapor kepada Raja Kalianget. Mendengar laporan itu, Raja
Kalianget segera menulis sepucuk surat untuk Jero Bendesa.

“Besok pagi-pagi kamu antar surat ini ke rumah orang tua gadis itu,” titah Raja Kalianget.

“Baik, Baginda,” jawab Jayaprana.

Keesokan hari, pagi-pagi sekali Jayaprana mengantar surat dari raja itu ke rumah Jero Bendesa.
Setelah membaca isi surat itu dalam hati dan mengetahui isinya, Jero Bendesa pun setuju jika
putrinya menikah dengan Jayaprana. Isi surat itu kemudian ia sampaikan kepada putrinya yang
sedang duduk di sampingnya.
”Bagaimana putriku, apakah kamu bersedia menikah dengan Jayaprana?” tanya Jero Bendesa
kepada putrinya.

Loyansari hanya tersenyum malu-malu. Walaupun tak terucap sepatah kata dari mulut sang gadis
pujaan, namun Jayaprana mengerti bahwa lamarannya tidak bertepuk sebelah tangan. Setelah itu,
Jayaprana memohon diri kembali ke istana untuk menyampaikan berita gembira itu kepada Raja
Kalianget.

“Ampun, Baginda! Lamaran hamba diterima oleh keluarga gadis itu,” lapor Jayaprana.

Mendengar laporan itu, Raja Kalianget pun langsung mengumumkan kepada seluruh keluarga istana bahwa
perkawinan Jayaprana dengan Loyansari akan dilaksanakan pada hari Selasa Legi, Wuku (Wuku adalah
nama sebuah siklus waktu dalam penanggalan adat Bali yang berlangsung selama 30 pekan. Satu pekan atau
satu minggu terdiri dari tujuh hari. Wuku Kuningan merupakan wuku ke-12 dari 30 wuku yang ada )
Kuningan di halaman istana. Untuk itu, sang raja kemudian memerintahkan para patih dan punggawa istana
untuk mendirikan balai-balai demi keperluan pesta pernikahan abdi kesayangannya.

Saat hari pesta perkawinan itu tiba, Jayaprana bersama para patih dan punggawa istana serta
masyarakat sedesanya menuju ke rumah Jero Bendesa untuk menjemput calon istrinya. Setelah
melalui berbagai macam upacara di rumah itu, kedua mempelai kemudian diiring ke istana dengan
menggunakan joli (Joli adalah tandu atau usungan yang tertutup atau bertirai yang biasanya
digunakan untuk mengusung raja, putri-putri kraton, dan orang-orang penting lainnya. ). Ketika
rombongan pengantin itu tiba di depan istana, kedua mempelai turun dari atas joli untuk memohon
doa restu kepada Raja Kalianget. Saat kedua mempelai memberi hormat di hadapannya, sang raja
hanya membisu. Ia terpana melihat kecantikan Loyansari.

Rupanya, Raja Kalianget jatuh hati kepada istri abdinya itu. Dari situlah muncul niat buruknya
untuk merebut Loyansari dari Jayaprana. Setelah pesta perkawinan itu usai, Jayaprana bersama
istrinya pun memohon diri untuk kembali ke rumahnya. Setelah keduanya pergi, Raja Kalianget
segera mengumpulkan seluruh patihnya untuk meminta pertimbangan tentang bagaimana cara
menghabisi nyawa Jayaprana secara diam-diam.

“Jika Loyansari tidak segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi gila,” ucap Raja
Kalianget yang sudah dimabuk asmara.

Mendengar ucapan sang raja, seorang patih yang bernama I Saunggaling memberikan pertimbangan
bahwa raja harus menitahkan Jayaprana pergi ke Celuk Terima untuk menyelidiki perahu yang
hancur dan orang-orang Bajo yang menembak binatang di kawasan Pengulan. Rencana ini hanya
merupakan siasat agar mereka bisa menghabisi nyawa Jayaprana tanpa sepengetahuan orang lain,
termasuk Loyansari. Pertimbangan Patih Saunggaling itu pun diterima oleh sang raja.

Beberapa hari kemudian, Raja Kalianget pun memanggil Jayaprana agar menghadap ke paseban
(balai penghadapan). Mendapat panggilan tersebut, Jayaprana pun segera menghadap sang raja
yang teramat dihormatinya.

“Ampun, Baginda. Ada apa gerangan hamba diminta untuk menghadap?” tanya Jayaprana sambil
memberi hormat.

“Ada tugas penting untukmu. Besok pagi-pagi kamu harus berangkat ke Celuk Terima untuk
menyelidiki perahu yang kandas dan kekacauan-kekacauan yang terjadi di sana!” titah sang raja.
Tanpa merasa curiga sedikit pun, Jayaprana langsung saja menerima perintah itu dan segera
kembali ke rumahnya untuk menyampaikan berita itu kepada sang istri. Mendengar berita itu,
Loyansari tiba-tiba mendapat firasat buruk. Apalagi tadi malam ia bermimpi melihat rumah mereka
dihanyutkan oleh banjir besar. Karena alamat-alamat buruk itulah ia meminta agar Jayaprana
membatalkan keberangkatannya ke Celuk Terima.

“Kanda, sebaiknya urungkan saja niat Kanda itu. Dinda khawatir terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan pada diri Kanda,” ujar Loyansaridengan cemas.

“Tidak, Dinda. Ini perintah raja. Kanda harus berangkat,” kata Jayaprana, “Dinda tidak usah cemas,
kematian ada di tangan Tuhan.”

Keesokan hari, berangkatlah Jayaprana ke Celuk Terima bersama Patih I Saunggaling dan sejumlah
prajurit istana. Saat mereka melewati sebuah hutan lebat, Patih I Saunggaling menikam Jayaprana
atas perintah Raja Kalianget. Keris patih itu tepat mengenai lambung kiri Jayaprana hingga tewas
seketika.

Setelah itu, Patih Saunggaling bersama rombongannya kembali ke istana untuk menyampaikan
kabar palsu bahwa Jayaprana tewas karena diserang perampok. Mendengar kabar itu, Loyansari
tidak langsung mempercayainya. Ia tahu bahwa suaminya dibunuh atas perintah raja. Meski
demikian, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak berdaya menentang raja seorang diri. Ia hanya
bisa berdoa semoga kejahatan Raja Kalianget mendapat balasan dari Yang Maha Kuasa.

Keesokan hari, Raja Kalianget datang menemui Loyansari. Di hadapan istri abdinya itu, ia berpura-
pura sedih atas kematian Jayaprana. Setelah itu, ia mencoba merayu agar mau menjadi
permaisurinya. Namun, Loyansari menolaknya dengan kata-kata halus.

“Maafkan hamba, Baginda. Hamba belum bisa melupakan suami hamba,” jawab Loyansari.
Mendengar jawaban penolakan itu, Raja Kalianget menjadi murka. Ia langsung menarik tangan
Loyansari agar ikut bersamanya ke istana. Pada saat itulah, Loyansari mencabut keris yang terselip
di pinggang sang prabu.

“Lebih baik hamba mati daripada harus menikah dengan orang yang telah membunuh suamiku,”
ucap Loyansari seraya menikam dirinya dengan keris itu.

Raja Kalianget baru saja ingin mencegatnya, namun tubuh Loyansari sudah tergeletak di tanah.
Melihat Loyansari tewas, sang raja pun menjadi kalap. Ia langsung menyerang setiap orang yang
mendekatinya. Kejadian itu berlangsung hingga berhari-hari sehingga banyak orang menjadi korban
karena tikaman kerisnya. Perilaku Raja Kalianget tersebut benar-benar meresahkan seluruh rakyat
negeri itu.

Akhirnya, para punggawa kerajaan memutuskan untuk menangkap sang raja dan memasukkannya
ke dalam penjara. Akibat sikapnya yang arogan, sang raja termakan oleh ucapannya sendiri bahwa
dirinya akan menjadi gila jika tidak berhasil memperistri Loyansari, sampai akhirnya ia harus
menjalani hidup di balik jeruji penjara.
NAMA : JUNITA SARI

KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT KALIMANTAN SELATAN

Legenda Lok Si Naga

Alkisah ada sebuah keluarga nelayan di suatu daerah di Kalimantan Selatan. Mereka
hidup bahagia dengan satu orang anak. Setiap hari kedua orang tuanya berangkat kerja
menangkap ikan di sungai dengan cara memasang penangkap ikan berupa tangguk
besar. Pada suatu hari mereka lama menunggu ikan masuk ke tangguknya, tetapi
beberapa kali diangkat tak ada satu ekor ikan pun.

Mereka kembali menunggu dengan penuh kesabaran. Kemudian tangguk kembali


diangkat dan mereka mendapati sebutir telur besar ada di dalam tangguk. Mereka buang
kembali telur tersebut ke dalam sungai dan memasang tangguknya tiada lelah. Tangguk
kembali diangkat dan telur yang tadi ada kembali di dalam tangguk. Setelah beberapa kali
telur tersebut menjadi isi tangguk, akhirnya mereka pulang dengan membawa sebutir telur
besar.

Sesampai di rumah mereka mendapatkan anaknya sedang tidur. Telur besar yang
diperolehnya kemudian direbus untuk teman nasi. Setelah makanan siap, mereka segera
makan karena sangat kelaparan. Setelah kenyang terjadi satu keajaiban, mereka perlahan
berubah menjadi dua ekor naga besar. Si anak terbangun sangat terkejut dan ketakutan
melihat ular naga tersebut. Setelah diberi penjelasan dan dibujuk, akhirnya si anak
mengerti bahwa orang tuanya telah berubah wujud.
Kesedihan si anak tidak terhingga, ia terus menerus menangis. Orang tuanya yang telah
berubah menjadi naga berusaha menenangkannya dan memberi nasehat sebagai pesan
terakhir. Si anak dilarang makan telur tersebut, karena telur itu adalah telur naga putih
yang hidup di sungai tempat mereka mencari ikan. Setiap yang memakannya akan
berubah menjadi seekor naga. Pesan selanjutnya adalah apabila melihat air sungai
berwarna putih berarti mereka menang melawan naga putih, sedangkan kalau air sungai
berubah merah pertanda mereka kalah. Setelah pesan disampaikan, kedua ular naga
tersebut terjun ke dalam sungai.

Kepergian kedua orang tuanya membuat si anak hidup sendiri dan kesepian. Ia tidak lupa
dengan pesan-pesan yang disampaikan sebelum mereka terjun ke sungai. Setiap hari si
anak duduk termenung di pinggir sungai dan menanti keajaiban datang. Ia sangat
mengharap orang tuanya kembali berubah wujud menjadi manusia. Namun, keajaiban itu
tak kunjung tiba.

Pada suatu hari di siang yang sangat terik, tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Tidak lama
tampak pelangi seolah membelah langit biru dengan aneka warna yang indah. Si anak
kembali duduk termenung di pinggir sungai dan menanti perubahan warna air sungai.
Dengan tiba-tiba air sungai berubah warna menjadi putih. Betapa senang hatinya dan ia
bersorak gembira dengan penuh harap akan kedatangan kembali kedua orang tuanya. Air
sungai berwarna putih pertanda kemenangan ada di pihak orang tuanya setelah berkelahi
melawan naga putih.

Jam demi jam si anak menunggu orang tuanya muncul dalam wujudnya sebagai manusia.
Namun, harapan itu hanya tinggal harapan. Setelah berhari-hari yang dinanti tak kunjung
muncul ke permukaan. Air sungai tetap mengalir seperti biasanya. Dalam kesendirian dan
harapan yang tak juga berakhir, ia tetap kembali ke sungai sambil menanti keajaiban tiba.
Duduk termenung dari pagi sampai sore hari, memandang air sungai, dan di kala senja
kembali ke rumah.

Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun pun telah berganti entah sudah berapa kali, si
anak tetap sendiri dan menanggung harapan tak pasti. Orang tuanya tidak pernah
kembali, tetapi ia tetap menanti. Sampai akhir hayatnya, duduk termenung menjadi
kesehariannya. Si anak pun pergi menghadap ilahi dalam sepi dan harapan yang tidak
bertepi.

Pesan Moral dari Cerita Rakyat Kalimantan Selatan : Legenda Lok Si Naga adalah Sifat
sabar dan tidak putus asa hendaknya selalu kita kedepankan. Kemampuan mengatasi
segala hambatan hidup adalah wujud dari kesabaran tersebut
NAMA : DHITO NICKY ALONSO

KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT KALIMANTAN BARAT

Kisah Nelayan yang Serakah

Alkisah pada jaman dahulu di Sintang, Kalimantan Barat, hiduplah seorang nelayan
beserta istri dan anak anaknya. Rumah mereka yang sederhana terletak di pinggir salah
satu anak Sungai Kapuas yang panjang dan lebar itu. Kehidupan mereka sangat miskin.  
Usaha sang nelayan mencari ikan di sungai setiap hari tak selalu membawa hasil. Bahkan
seringkali ia pulang dengan tangan hampa.

Walaupun kehidupannya tak pernah membaik, nelayan itu tetap saja pergi mencari ikan.
Tak ada pekerjaan lain yang dapat dilakukannya. Perahu yang diwariskan orang tuanya
merupakan satu satunya modal yang dapat dipakainya untuk mencari nafkah.

Seperti biasa pagi itu sang nelayan telah siap untuk berangkat. Setelah pamit pada
istrinya, ia mulai mendayung perahunya menyusuri sungai. Begitu menemukan tempat
yang dirasanya cocok, sang nelayan berhenti mendayung dan mulai memancing.

Lama sang nelayan menunggu pancingnya dimakan umpan, namun jangankan dimakan,
bergerak saja tidak. Sang nelayan akhirnya memutuskan untuk pindah tempat. Di tempat
kedua inipun, pancing sang nelayan diam saja. Sampai matahari di atas kepala hari itu,
sang nelayan telah pindah tempat tiga kali namun hasilnya tetap nihil.

Bayangan akan wajah anak anak dan istrinya yang kecewa jika dirinya pulang dengan
tangan hampa, membuat sang nelayan memutuskan untuk terus memancing. Setelah
makan bekal sederhana yang dibawanya dari rumah, sang nelayan pindah tempat untuk
keempat kalinya.

“Mengapa nasibku begini terus ?”, pikir sang nelayan yang mulai melempar lagi
pancingnya ke sungai. Wajahnya yang hitam terlihat sangat berkerut dibawah topi
lebarnya. Walaupun usianya belum lanjut, kerasnya hidup membuatnya terlihat tua.
“Kapan aku bisa merasa sejahtera sedikit saja dalam hidupku ini ?”, ujarnya dalam hati.
Rupanya sang nelayan bosan dengan kemiskinan yang terus menderanya.

Ketika sang nelayan asyik dengan lamunannya, tiba tiba ia merasa pancingnya bergerak.
Sang nelayan terkejut dan buru buru menarik pancingnya. Secercah harapan di matanya
langsung pudar begitu melhat tak ada seekor ikanpun yang memakan umpannya,
melainkan hanya ujung kawat yang tersangkut disitu.

Warna kawat yang kuning keemasan menarik perhatian sang nelayan. Ia menarik ujung
kawat itu dan memperhatikannya dengan seksama. Sang nelayan yakin kalau kawat itu
adalah emas. Sekali lagi sang nelayan mengamati ujung kawat itu dengan tangan
gemetar. Ia tak mampu menahan gejolak perasaannya yang sangat senang.

“Mungkin Tuhan mendengar doaku”, pikir sang nelayan sambil mulai menarik ujung kawat
yang dipegangnya. Pelan pelan ia menarik kawat itu dan membuat  gulungan yang
didiletakkan di atas perahunya. Setelah menarik beberapa meter, sang nelayan
mendengar sebuah suara yang berbisik padanya. “Cukuplah kau menarik kawat itu
sampai disini, segera potong kawat itu dan pulanglah..”, ujar suara itu dengan nada
rendah.

Sang nelayan heran darimana asal suara yang ia dengar. Dengan cepat ia menengok kiri
kanan mencari cari sekiranya ada orang di dekatnya. Sang nelayan tak melihat
seorangpun dalam keremangan sisa sisa cahaya mentari yang mulai tenggelam. Setelah
terdiam sejenak, sang nelayan memutuskan untuk mengabaikan suara itu.

Hari yang mulai gelap tak membuat sang nelayan berhenti menarik kawat emas itu. Ia
terus saja menarik tanpa kenal lelah dan meletakkan gulungan kawat itu dalam perahunya
yang mulai miring menahan beban. Sang nelayan terus menarik dan meletakkan gulungan
kawat di sisi perahunya yang lain. Keringat mulai meleleh di dahinya tanda dirinya yang
lelah.

“Cukuplah kau menarik kawat itu sampai disini. Potonglah dan pulanglah..”, ujar sebuah
suara yang kembali berbisik di telinganya. “Sudah panjang sekali kawat yang kau tarik,
padahal jika kau mengambilnya satu meter saja, hidupmu sudah berkecukupan..”, tambah
suara itu dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Sang nelayan sama sekali tak menghiraukan suara itu. Bahkan dalam hati ia berkata,
“Jika dengan satu meter  saja hidupku sudah berkecukupan, aku harus membawa pulang
kawat emas ini sebanyak banyaknya..”, ujarnya dalam hati. “Pasti aku akan menjadi orang
paling kaya nanti..”, pikir sang nelayan sambil tersenyum lebar. Ketamakan mulai
menguasai hati sang nelayan miskin itu.

“Cukuplah kau menarik kawat itu sampai disini. Potonglah dan pulanglah..!!”, ujar sebuah
suara yang kembali terdengar.  Suara yang kali ini terdengar jauh lebih keras membuat
sang nelayan terkejut. Ia berhenti sejenak dan kembali mengamati sekelilingnya yang
terlihat gelap gulita. “Enak saja kau menyuruhku berhenti”, kata sang nelayan dengan
suara keras. “Inilah kesempatanku untuk menjadi kaya !!! aku akan menarik kawat ini
sampai habis dan membawa pulang semuanya…”, tambahnya sambil menarik kembali
kawat emas itu lebih cepat.

Sungguh aneh. Kawat emas itu tak putus juga meski sang nelayan telah kelelahan
menariknya. Perahunya semakin berat dan mulai masuk ke dalam air. Sang nelayan yang
telah berubah menjadi seorang yang sangat tamak, tak menyadari hal itu. Tak berapa
lama kemudian sang nelayan dan perahunya tenggelam ke dasar sungai.

Ketamakan sang nelayan akhirnya membunuh dirinya sendiri. Ia tak mampu


menyelamatkan diri dan mati tenggelam bersama perahunya. Akibat kejadian itu,
masyarakat setempat menyebut sungai  tempat sang nelayan tenggelam sebagai Sungai
Kawat.
NAMA : JUANDA ANDREA PRATAMA

KELAS : X IPA 1

CERITA RAKYAT SULAWESI SELATAN

SI PENAKLUK RAJAWALI

Diceritakan, pada zaman dahulu kala ada sebuah


negeri di daerah Sulawesi Selatan yang diperintah
oleh seorang raja. Raja tersebut mempunyai tujuh
orang putri. Menurut adat di kerajaan itu, jika raja
memiliki putri sampai tujuh orang, maka salah
seorang di antaranya harus dipersembahkan
kepada seekor rajawali raksasa agar keluarga
istana terhindar dari malapetaka. Hal tersebut
membuat sang Raja sedih dan gelisah, karena ia
tidak mau kehilangan salah seorang putrinya. Ia
pun berpikir keras mencari jalan keluar bagaimana
caranya agar ketujuh putrinya tersebut dapat  hidup
semua. Sudah berhari-hari sang Raja tidak enak
makan dan tidak nyenyak tidur memikirkan hal itu.
Hingga pada suatu hari, tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikirannya.

“bagaimana kalau aku mengadakan sayembara untuk menaklukkan rajawali itu. Barangkali di
antara rakyatku ada yang mempunyai kesaktian yang tinggi dan mampu melumpuhkan rajawali
itu,” pikir sang Raja.

Keesokan harinya, sang Raja segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di depan istana.

“Wahai, rakyatku! Aku akan mengadakan sayembara untuk menaklukkan rajawali raksasa itu.
Siapapun yang berhasil menaklukkannya, jika dia seorang laki-laki maka aku akan menikahkannya
dengan putriku, dan jika dia seorang perempuan, maka aku akan mengangkatnya menjadi
keluarga istana!” seru sang Raja kepada seluruh rakyatnya.

“Ampun, Baginda! Kapan sayembara tersebut akan dilaksanakan?” tanya seorang warga dengan
penuh semangat.

“Menurut penasehat istana, rajawali raksasa itu akan datang ke negeri ini seminggu lagi. Jadi,
mulai sekarang latih dan perdalamlah ilmu dan kesaktian kalian!” seru sang Raja.

Mendengar seruan itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing. Seminggu sebelum
kedatangan rajawali tersebut, para warga tampak ramai melatih dan memperdalam ilmu kesaktian
mereka dengan penuh semangat. Para laki-laki berharap dapat menjadi menantu raja, sedangkan
kaum perempuan berharap dapat menjadi keluarga istana.

Sementara itu, para pengawal istana sedang membuat sebuah baruga (pendapa) di sebuah
tempat yang agak jauh dari istana. Baruga tersebut merupakan tempat tinggal sang Putri sebelum
disantap rajawali. Sang Putri sengaja dibuatkan baruga untuk memancing kedatangan burung
rajawali tersebut. Selain sajian berupa anak gadis, juga disiapkan segala macam kue-kue, sokko
(bahasa Bugis: nasi ketan), dan minuman di tempayan untuk burung rajawali tersebut.

Tidak terasa seminggu telah berlalu. Hari kedatangan rajawali itu pun tiba. Pagi-pagi sekali salah
seorang putri raja yang menjadi persembahan diantar ke baruga tersebut. Sang putri diantar oleh
keluarga dan pengawal istana. Bahkan banyak warga yang ikut mengantarnya. Mereka sangat
khawatir terhadap nasib sang Putri yang akan menjadi santapan rajawali tersebut sekiranya tidak
ada warga yang mampu mengalahkannya.

“Maafkan Ayah, Putriku! Ayah melakukan semua ini karena adat di negeri ini. Tapi, Nanda tidak
usah khawatir, Ayah sedang berusaha untuk menyelamatkan Nanda dengan mengadakan
sayembara ini. Semoga di antara warga ada yang mampu mengalahkan burung rajawali itu,” ucap
sang Raja menenangkan hati putrinya.

Menjelang kedatangan rajawali itu, sang Raja bersama keluarga dan pengawal istana bergegas
kembali ke istana dengan perasaan cemas. Tinggallah sang Putri seorang diri di atas baruga itu.
Sementara itu, di sekitar tempat baruga itu berdiri, para peserta sayembara sudah bersiap-siap
menyambut kedatangan burung rajawali dengan berbagai macam senjata di tangan mereka. Ada
yang membawa tombak yang sudah dibubuhi racun, ada yang membawa tali untuk mengikat leher
rajawali tersebut, dan ada pula yang membawa bambu runcing.

Tidak lama kemudian, seorang pemuda pengembara melintas di tempat itu. Ia melihat seorang
gadis cantik sedang duduk termenung di atas baruga. Ia pun segera naik ke atas baruga dan
menghampiri gadis itu.

“Hai, gadis cantik! Kenapa kamu sedih dan duduk sendirian di sini?” tanya pemuda itu dengan
perasaan iba.

“Aku sedang menunggu ajal,” jawab sang Putri dengan suara lirih.

“Apa maksudmu?” tanya pemuda pengembara itu penasaran.

“Aku adalah seorang putri raja dan mempunyai enam orang saudara perempuan. Menurut adat di
negeri ini, jika putri raja sudah berjumlah tujuh orang, maka salah seorang di antaranya harus
dipersembahkan kepada seekor rajawali raksasa untuk disantap,” jelas sang Putri.

“Tapi, jika ada orang yang mampu menaklukkan rajawali itu, maka raja akan menikahkannya
denganku,” tambah sang Putri.

“Maaf, Tuan Putri! Jika diperkenankan, hamba akan menemani sang Putri di sini,” kata pemuda itu.

“Jangan! Nanti kamu ikut dimakan rajawali itu.”

“Tidak usah khawatir, Tuan Putri! Hamba akan melindungi Tuan Putri dari sergapan rajawali itu.”

Sambil menuggu rajawali itu, tiba-tiba pemuda itu mengantuk sekali dan akhirnya tertidur di atas
baruga itu. Sang Putri pun memerhatikan pemuda itu.

“Baik sekali pemuda ini. Semoga dia mampu mengalahkan rajawali itu, sehingga dialah yang akan
menikah denganku,” kata sang Putri dalam hati dengan penuh harap.

Ketika hari beranjak siang, tiba-tiba terdengar suara gemuruh laksana angin topan datang
menerjang. Dari kejauhan tampak seekor burung raksasa sedang terbang sambil mengepak-
ngepakkan sayapnya menuju ke arah baruga. Mengetahui bahwa yang datang adalah burung
rajawali raksasa itu, maka sang Putri segera membangunkan pemuda itu.

“Ayo, Bangun! Rajawali raksasa itu sudah datang!” seru sang Putri.

Pemuda itu pun segera bangun sambil mengusap-usap matanya. Rajawali itu semakin mendekat.
Sang Putri yang ketakutan segera bersembunyi di belakang pemuda itu sambil menutup matanya.
Sementara sang Pemuda segera mengeluarkan senjata pusakanya berupa sebilah badik yang
dapat menikam sendiri dan seutas tali yang dapat mengikat sendiri. Begitu hinggap di baruga,
rajawali itu langsung menyantap kue-kue, sokko, dan minuman yang tersedia. Setelah
menghabiskan makanan dan minuman sesaji tersebut, rajawali itu bersiap untuk menyantap sang
Putri.

Melihat keadaan itu, sang Pemuda segera bertindak. Ia memerintahkan talinya untuk mengikat
rajawali itu. Secepat kilat, tali ajaib itu meluncur dan melilit seluruh tubuh rajawali itu. Sang rajawali
berusaha melepaskan lilitan tali itu dengan mengepak-ngepakkan sayapnya. Beberapa saat
kemudian, tali itu mengendor karena tidak kuat menahan kepakan sayap rajawali itu.

“Tuan, tolong aku! Aku tidak sanggup menahan kepakan sayap rajawali ini,” seru tali itu meminta
tolong kepada tuannya.

Tanpa berpikir panjang, pemuda itu pun segera memerintahkan badiknya.

“Hai badikku, tikam rajawali itu!” seru sang Pemuda.

Secepat kilat, badik sakti itu langsung menikam dan terus menikam hingga rajawali itu mati. Sang
putri masih menutup matanya, karena ketakutan. Ia hanya mendengar suara pemuda itu sedang
berbicara dengan seseorang. Namun, setelah membuka matanya, sang Putri merasa heran,
karena tidak ada orang lain kecuali dia dan pemuda itu.

Para warga yang bersembunyi di sekitar tempat itu baru muncul setelah tahu rajawali itu mati.
Senjata yang ada di tangan mereka tidak sempat mereka gunakan, karena pemuda itu dengan
cepat sekali melumpuhkan rajawali itu. Akhirnya, para peserta sayembara yang merasa dirinya
sakti segera mencincang dan memotong-motong tubuh rajawali itu.

Sementara pemuda yang telah mengalahkan rajawali itu berpamitan kepada sang Putri ingin
melanjutkan perjalanannya. Sebagai ucapan terima kasih, sang Putri memberikan selandangnya
kepada pemuda itu.

“Terima kasih! Anda telah menyelamatkan nyawaku. Bawalah selendang ini sebagai cenderamata
dariku,” ucap sang Putri.

Setelah pemuda itu pergi, sang Putri diusung oleh warga kembali ke istana. Sebagian warga yang
merasa dirinya sakti saling berebut ingin membawa tubuh rajawali itu ke hadapan sang Raja.
Namun, karena tubuh rajawali itu besar, maka para warga membagi-baginya. Ada yang membawa
kepala, ada yang memikul paha, dan ada yang mengambil kaki rajawali itu. Mereka berebut tubuh
rajawali, karena ingin dikatakan sebagai pahlawan yang berhasil mengalahkan rajawali itu.

Sesampainya di istana, sang Putri disambut gembira oleh sang Raja dan seluruh keluarga istana.
Sang raja kemudian bertanya kepada putrinya tentang siapa orang yang berhasil mengalahkan
rajawali itu.

“Ampun, Ayahanda! Ananda tidak mengenalnya. Sepertinya pemuda gagah itu bukanlah warga
negeri ini,” jawab sang Putri.

“Tapi, apakah Nanda tahu bagaimana dan dengan apa pemuda itu mengalahkan rajawali itu?”
tanya sang Raja.

“Ananda juga tidak tahu, Ayah! Waktu itu Nanda sedang menutup mata karena ketakutan. Nanda
hanya mendengar pemuda itu berseru: `Ikat rajawali itu…! Tikam raja wali itu…! Saat Nanda
membuka mata, ternyata rajawali itu sudah mati,” cerita sang Putri.
“Tapi, jika bertemu lagi dengan pemuda itu, apakah Nanda dapat mengenalnya?” sang Raja
kembali bertanya.

“Iya, Ayah! Saya dapat mengenal pemuda itu, karena sebelum ia pergi, Nanda memberikan
selendang Nanda kepadanya,” jawab sang Putri.

Setelah mendengar cerita putrinya itu, sang Raja pun mengerti bahwa orang yang berhasil
melumpuhkan rajawali itu bukanlah rakyat negeri itu. Kemudian ia segera menemui para peserta
sayembara yang sudah berkumpul di halaman istana.

“Wahai, seluruh rakyatku! Berdasarkan cerita dari putriku bahwa orang yang telah mengalahkan
rajawali itu adalah seorang pemuda yang tidak dikenal. Ia bukan warga negeri ini. Oleh karena itu,
walaupun rajawali itu telah mati, tidak seorang pun di antara kalian yang kunikahkan dengan
putriku. Akan tetapi, aku akan mengadakan pesta besar-besaran atas matinya rajawali itu,” kata
sang Raja.

Keesokan harinya, pesta besar-besaran pun berlangsung ramai. Berbagai jenis makanan dan
minuman disuguhkan. Tidak ketinggalan pula berbagai seni pertunjukan dipertontonkan. Bahkan
dalam pesta itu, raja juga mengadakan lomba sepak raga (bola kaki). Para warga berbondong-
bondong ke pesta tersebut, baik sebagai peserta lomba maupun sebagai penonton ataupun
undangan. Di serambi istana, sang Raja bersama permaisuri dan ketujuh putrinya sedang duduk
menyaksikan lomba sepak raga. Peserta lomba silih berganti masuk arena lomba memainkan
bola. Di tengah keramaian penonton, tiba-tiba seorang pemuda gagah memasuki arena lomba.
Pemuda itu mempermainkan bola di kaki, di paha, dan di kepalanya dengan tangkas, gesit dan
lincah. Lengan pemuda itu dibalut dengan selendang wanita yang berkibar-kibar seakan-akan
menari.

“Ayah! Itulah pemuda yang telah mengalahkan rajawali raksasa! seru sang Putri sambil menunjuk
ke arah pemuda yang berada di tengah arena lomba.”

Sang Raja pun tersentak kaget, seakan-akan tidak percaya apa yang sedang disaksikannya. 
Ternyata, selain sakti, pemuda itu juga sangat mahir bermain sepak raga. Sang Raja sangat
kagum kepada pemuda itu. Setelah pemuda itu keluar dari arena lomba, sang Raja pun
memanggil pemuda itu.

“Hei, anak muda! Kemarilah sebentar!” seru sang Raja.

“Ampun, Baginda! Ada apa Baginda memanggil Hamba?” tanya pemuda itu penasaran.

“Benarkah Engkau yang telah mengalahkan rajawali itu?” sang Raja balik bertanya.

“Benar, Baginda!” jawab pemuda itu.

“Dengan apa kamu mengalahkannya?” tanya sang Raja.

“Ampun, Baginda! Hamba menggunakan seutas tali dan sebilah badik yang dapat bergerak sendiri
jika diperintah,” jawab pemuda itu.

Mendengar jawaban dari pemuda itu, semua warga yang hadir dan pernah mengaku sebagai
penakluk rajawali itu menjadi malu. Akhirnya, sang Raja pun menikahkan pemuda itu dengan
putrinya yang selamat dari santapan rajawali. Pemuda si penakluk rajawali pun hidup berbahagia
bersama sang Putri di dalam istana.
NAMA : FERAWATI

KELAS : XI IPS 2

MAPEL : BAHASA INDONESIA

CERITA RAKYAT SUMATERA BARAT

SABAI NAN ALUIH

Alkisah, keluarga Rajo Babanding tinggal di sebuah rumah bersudut empat di sekitar hilir
sungai Batang Agam, Padang Tarok. 
Sabai Nan Aluih adalah putri sulung dari pasangan Rajo Babanding dan Sadun Saribai.
Ia mempunyai adik laki-laki yang tampan bernama Mangkutak Alam. 
Disamping memiliki paras yang cantik, Sabai juga memiliki budi pekerti baik, santun dalam
berbicara dan hormat kepada kedua orang tua. 
Berbeda dengan adik laki-lakinya, Mangkutak Alam, yang memiliki sifat pemalas, Sabai
dikenal rajin membantu kedua orang tuanya. 
Kecantikan Sabai Nan Aluih telah tersiar hingga ke kampung lain.

Menurut cerita rakyat Sumatera Barat, Rajo Babanding memiliki teman baik yang tinggal di
kampung Situjuh bernama Rajo Nan Panjang. 
Ia adalah seorang saudagar kaya raya yang disegani masyarakat kampung Situjuh. 

Meskipun kaya raya, namun Rajo Nan Panjang memiliki perangai buruk yaitu suka
memeras warga di sekitarnya dengan cara meminjamkan uang namun meminta
pengembalian dengan bunga yang sangat tinggi. 
Warga kampung Situjuh tidak berani melawan Rajo nan Panjang karena ia memiliki tiga
orang pengawal hebat yang bernama  Rajo nan Konkong, Lompong Bertuah, dan Palimo
Banda Dalam.

Sabai Dipinang Rajo Nan Panjang

Kecantikan Sabai Nan Aluih terdengar oleh Rajo Nan Panjang. 


Ia berminat untuk meminang putri sulung sahabatnya itu. 
Rajo nan Panjang kemudian mengirim utusannya untuk meminang Sabai nan Aluih. 
Ia sangat yakin bahwa Rajo Babanding pasti akan menerima pinangannya.

Para utusan Rajo Nan Panjang kemudian berangkat ke Padang Tarok. 


Sesampainya di Padang Tarok, mereka pun menyampaikan pinangan majikannya kepada
ayah Sabai nan Aluih, Rajo Babanding. 

Namun ayah Sabai menolak pinangan sahabatnya itu dengan alasan ia malu memiliki
mantu yang seumur dengannya walaupun ia orang kaya.

Setelah mendapat jawaban penolakan dari Rajo Babanding, para utusan itu pun segera
kembali ke Kampung Situjuh untuk menyampaikan berita tersebut kepada Rajo Nan
Panjang. 
Tentu saja Rajo nan Panjang merasa sangat terhina dengan penolakan tersebut.

Rajo Nan Panjang akhirnya memutuskan akan datang langsung menemui Rajo Babanding
untuk meminang Sabai. 
Berangkatlah Rajo nan Panjang bersama ketiga orang pengawalnya. 
Setelah mendengar langsung keinginan sahabatnya untuk meminang Sabai, Rajo
Babanding menawarkan untuk berunding di luar rumah, yaitu di sebuah lokasi bernama
Padang Panahunan pada hari minggu. 
Padang Panahunan adalah tempat yang sepi dan sejak dulu digunakan untuk berkelahi.

Perkelahian Rajo Babanding dengan Rajo Nan Panjang

Rajo Babanding merasa bahwa sahabatnya itu telah melanggar sopan santun karena
berani meminang anak gadisnya secara langsung. 
Menurut adat di negeri itu, pinangan tidak boleh disampaikan langsung kepada ayah si
Gadis, melainkan kepada mamak atau adik kandung ibu si gadis.

Rajo nan Panjang pun mengetahui bahwa pinangannya ditolak secara halus oleh ayah
Sabai nan Aluih. 
Ia sadar bahwa dirinya ditantang untuk berkelahi. 
Ia menerima permintaan sahabatnya itu dan segera pergi meninggalkan rumah Rajo
Babanding dengan marah.

Sabai Nan Aluih merasa cemas mendengar percakapan ayahandanya dengan Rajo Nan
Panjang. 
Sabai sadar bahwa ayahnya menantang Rajo Nan Panjang berkelahi. 
Sabai sangat mengkhawatirkan keselamatan ayahandanya. 
Tapi Rajo Babanding menenangkan hati anaknya bahwa ia akan baik-baik saja.
Tibalah hari yang telah ditentukan. 
Berangkatlah Rajo Babanding ke Padang Panahunan dengan membawa seorang
pembantunya yang bernama Palimo Parang Tagok. 
Rajo nan Panjang bersama seorang pengawal setianya Palimo Banda Dalam sudah
menunggu. 
Rupanya Rajo nan Panjang sengaja datang lebih awal untuk mengatur siasat liciknya. 
Ia telah memerintahkan dua orang pengawal lainnya yakni Rajo nan Kongkong dan
Lompong Bertuah untuk bersembunyi di balik semak-semak. 
Salah seorang di antaranya membawa senapan. 
Senapan itu akan digunakan jika diperlukan.
Tidak lama kemudian mereka kemudian bertarung hebat. 
Rajo Babanding dan Rajo Nan Panjang bertarung habis-habisan dengan dibantu oleh
pengawal masing-masing. 
Perkelahian itu rupanya berlangsung lama, akhirnya para pengawal tumbang lebih dulu. 
Raja Babanding dan Raja Nan Panjang masih terus berkelahi sampai akhirnya Raja
Babanding terkena peluru oleh salah satu pengawal dari Rajo Nan Panjang yang muncul
secara tiba-tiba dari semak-semak. 

Rajo Nan Panjang berlaku curang. 


Rajo Babanding pun tergeletak dan tak bergerak.

Sabai Nan Aluih

Seorang gembala secara tak sengaja melihat kejadian ini. 


Si gembala ini kemudian bergegas pergi ke rumah Raja Babanding untuk memberitahukan
kejadian tersebut kepada keluarga Raja Babanding. 
Mendengar kabar kondisi ayahandanya dari si gembala, Sabai langsung lemas. 
Sabai mengajak adiknya Mangkutak Alam untuk melihat kondisi ayahandanya namun
adiknya menolak dengan alasan tidak ingin mencari mati.

Sabai pun berlari ke Padang Panahunan dengan membawa senapan. 


Di tengah jalan, Sabai bertemu dengan Rajo Nan Panjang dan pengawalnya. 
Sabai bertanya tentang kecurangan Raja Nan Panjang, tetapi Raja Nan Panjang hanya
tertawa seakan-akan mengejek kematian Raja Babanding. 
Mendidih darah Sabai melihat pembunuh ayahnya tertawa mengejek. 
Sabai pun tidak bisa menahan amarahnya. 
Saat itu juga Sabai langsung menarik pelatuk senapan yang ia bawa dari rumah. 
Terdengarlah suara dentuman yang sangat keras. 
Peluru mengenai dada Raja Nan Panjang dan ia langsung terjatuh dari kuda. 
Rajo Nan Panjang tewas seketika.

Tidak memperdulikan Rajo Nan Panjang, Sabai nan Aluih segera berlari ke Padang
Panahunan untuk melihat keadaan ayahnya. 
Sesampainya di tempat itu, ia mendapati ayahnya sudah tidak bernyawa lagi. 
Hati Sabai hancur karena sang Ayah yang sangat dicintainya telah pergi untuk selamanya
untuk membela kehormatan keluarga. 
Tidak berapa lama kemudian, ibu Sabai bersama beberapa orang warga tiba di Padang
Panahunan. 
Jenazah Rajo Babanding kemudian dibawa pulang untuk dikuburkan secara layak.

Anda mungkin juga menyukai