Anda di halaman 1dari 9

Malin Kundang adalah kaba yang berasal dari provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Legenda Malin
Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi
batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.

Cerita rakyat yang mirip juga dapat ditemukan di negara-negara lain di Asia Tenggara. Di Malaysia
cerita serupa berkisah tentang Si Tenggang[1] yang berasas dari kisah lebih awal lagi pada 1900
dalam buku Malay Magic yang ditulis oleh Walter William Skeat sebagai satu cerita rakyat berjudul
Charitra Megat Sajobang[2]. Cerita Si Tenggang pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta pada
1975 sebagai judul Nakoda Tenggang: sebuah legenda dari Malaysia. [3]

Makna dari cerita ini jangan pernah melawan kepada orang tua atau yang lebih tua dari kita

Cerita lengkap cerita rakyat malin kundang yang tersebar dimasarakat adalah sebagai berikut:

Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga
tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena
kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri
seberang dengan mengarungi lautan yang luas.

Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan
bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung halamannya.
Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak
yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari
ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu.
Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang
mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang
dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya
raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang
sudah menjadi seorang yang kaya raya.

Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan
maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya
menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan
secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. “Anakku, jika engkau
sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung
halamannu ini, nak”, ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.

1 Rumah adat minang

rumah adata Sumatera Barat dinamakan Rumah Gadang. Rumah Gadang di Sumatera Barat adalah
untuk tempat tinggal. Rumah tersebut dapat dikenali dari tonjolan atapnya yang mencuat ke atas
yang bermakna menjurus kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tonjolan itu dinamakan gojoang yang
banyaknya sekitar 4-7 buah. Rumah Gadang mempunyai 2-3 lumbung padi antara lain Si Bayo-bayo
yang artinya persedian padi bagi keluarga dari rantau. Si Tinjau Lauik, padinya untuk diberikan
kepada yang tidak mampu dan Si Tangguang Litak, padinya khusus bagi yang punya rumah.
2. Pakaian Adat Sumatera Barat

kaum pria dari Sumatera Barat memakai tutup kepala yang disebut saluak. Memakai baju model
teluk belanga yang berlengan agak pendek dan melebar ke ujung. Selembar kain menyelempang di
bahu dan sebilah keris terselip di depan perut. Ia juga memakai celana panjang dengan kain songket
melingkar di tengah badan.

sedangkan wanitanya memakai tutup kepala bergonjang yang disebut tangkuluak tanduak, baju
kurung dengan kain songket menyelempang di bahu dan berkain songket. Perhiasan yang dipakainya
adalah anting-anting, kalung bersusun dan gelang pada kedua belah tangan, pakaian ini berdasarkan
adat Minangkabau.
3. Tari-tarian Daerah Sumatera Barat

Tari Piriang, sebuah tarian tradisional yang melambangkan suasana kegotongroyongan rakyat dalam
menunaikan tugasnya. Siang hari mengerjakan sawah ladang dan malam harinya bersukaria
bersama-sama.

Tari Payung, ditarikan oleh pasangan muda-mudi dengan payung tangan, sang pria selalu melindungi
kepala sang wanita, sebuah perlambang perlindungan lelaki terhadap wanita.
4. Senjata Tradisional Sumatera Barat

senjata tradisional Sumatera Barat adalah Keris dan Kurambiak atau Kerambit. Keris biasanya dipakai
oleh kaum laki-laki dan diletakkan di sebelah depan, dan umumnya dipakai oleh para penghulu
terutama dalam setiap acara resmi ada terutama dalam acara malewa gala atau pengukuhan gelar,
selain itu juga biasa dipakai oleh para mempelai pria dalam acara majlis perkawinan yang
masyarakat setempat menyebutnya baralek. Sedangkan kerambit merupakan senjata tajam kecil
yang bentuknya melengkung seperti kuku harimau, karena memang terinspirasi dari kuku binatang
buas tersebut. Senjata ini dipakai oleh para pendekar silat Minang dalam pertarungan jarak pendek,
terutama yang menggunakan jurus silat harimau. Berbagai jenis senjata lainnya juga pernah
digunakan seperti tombak, pedang panjang, panah, sumpit dan sebagainya.

5. Suku-Suku Sumatera Barat

Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku Minangkabau. Di daerah Pasaman selain etnis
Minang, juga berdiam suku Batak dan suku Mandailing. Kedatangan mereka ke Sumatera Barat
terutama pada masa Perang Paderi. Di beberapa daerah transmigrasi, seperti di Sitiung, Lunang
Silaut, dan Padang Gelugur, terdapat pula suku Jawa. Sebagian diantaranya adalah keturunan
imigran asal Suriname yang memilih kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1950-an. Oleh Presiden
Soekarno saat itu, diputuskan untuk menempatkan mereka di sekitar daerah Sitiung. Hal ini juga
tidak terlepas dari politik pemerintah pusat pasca PRRI.Di Kepulauan Mentawai yang mayoritas
penduduknya beretnis Mentawai, jarang dijumpai masyarakat Minangkabau. Etnis Tionghoa hanya
terdapat di kota-kota besar, seperti Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh. Di Padang dan Pariaman,
juga terdapat masyarakat Nias dan Tamil dalam jumlah kecil.
6. Bahasa Daerah Sumatera Barat

Bahasa Minangkabau / Baso Minang.

Bahasa Mentawai.

Bahasa Melayu.

Dari banyaknya suku yang terdapat di Sumatera Barat, tentu dibutuhkan suatu media untuk
menyatukan beberapa suku tersebut. Salah satunya yaitu dengan menggunakan bahasa daerah.
Dimana bahasa daerah bukan sekedar kebudayaan Sumatera Barat yang digunakan sebagai sarana
komunikasi namun juga sebagai pemersatu bangsa.

7. Lagu Daerah

Ayam Den Lapeh

Dayuang Palinggam

Jikok Bapisah

Denai Sansai

Kambanglah Bungo

Bareh Solok

Kaparak Tingga

Malam Bainai

Dayuang Palinggam

Rang Talu

Anak Dara

Tari Payuang

Mak InangPaku GelangCubo Ranungkan


8. Musik Tradisional Sumatera Barat

nuansa Minangkabau yang ada di dalam setiap musik Sumatera Barat yang dicampur dengan jenis
musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarat. Hal ini
karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa
diterima oleh masyarakat. Unsur musik pemberi nuansa terdiri dari instrumen alat musik tradisional
saluang, bansi, talempong, rabab, pupuik, serunai, dan gandang tabuik.

9. Masakan khas Sumatera Barat

nasi Kapau salah satu masakan di Sumatera Barat.Dalam dunia kuliner, Sumatera Barat terkenal
dengan masakan Padang dan restoran Padang dengan citarasa yang pedas. Masakan Padang dapat
ditemui hampir di seluruh penjuru Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Beberapa contoh
makanan dari Sumatera Barat yang cukup populer adalah Rendang, Sate Padang, Dendeng Balado,
Itiak Lado Mudo, Soto Padang, dan Bubur Kampiun.

10 upacara adat

Upacara Adat Kelahiran

Dalam masyarakat Minangkabu pada saat seorang ibu hamil enam bulan, dilakukan upacara
membubur. Bubur tersebut terbuat dari tepung beras, labu, gula saka, dan kelapa muda. Bubur itu
dibagikan kepada seluruh kerabat dan keluarga dekat suaminya. Kerabat yang diberi bubur tersebut
lalu mengundang wanita yang hamil itu untuk makan di rumahnya. Peristiwa ini disebut manjapuik
pinggan.

Pada saat kelahiran bayi, keluarga masyarakat Minangkabau mengadakan pertunjukan talempong
sebagai pernyataan kegembiraan dan rasa syukur keluarga yang bersangkutan. Setelah bayi lahir,
plasentanya dimasukkan ke dalam periuk tanah dan ditutup dengan kain putih. Penguburan plasenta
(batanam uri) dilakukan oleh salah seorang yang dianggap terpandang dalam lingkungan keluarga.

Pada saat bayi berumur empat puluh hari diadakan upacara turun mandi di tepian sungai. Upacara
tersebut dilanjutkan dengan pemotongan rambut bayi, yang disebut memotong gombak. Potongan
rambut tersebut ditimbang untuk diganti dengan emas seberat rambut tersebut. Emas tersebut
dibayarkan kepada orang yang memotong rambut bayi.

Ketika bayi berumur tiga bulan, bayi dan ibunya dijemput oleh kerabatnya untuk bermalam (bako-
bakonya) untuk beberapa hari. Kemudian, mereka diantar pulang dengan dibekali bermacam-macam
bawaan, seperti perhiasan, uang, atau binatang ternak.

11. pantun minang

Balayia kapa ka Puruih,

Singgah lalu ka Balai Cino,

Tolan sapantun cindai aluih,

Alun dipakai lah manggilo.

Kain putiah sasah jo sabun,

Bao ka aia buang daki,

Tolan sapantun kasah ambun,

Lusuah jo apo ka diganti?

Anyuik parian batali rumin,

Panuah barisi galo-galo,


Tuan sapantun kilek camin,Di baliak gunuang tampak juo. Anyuik parian batali rumin,Panuah barisi
galo-galo,

Tuan sapantun kilek camin,

Di baliak gunuang tampak juo.

Anda mungkin juga menyukai