Anda di halaman 1dari 15

BAB XI

Kami sampai ke sebuah pulau kecil, dimana tidak


terdapat sumber air bersih (langsung berangkat
menuju Makassar dengan kano kami) – Badai –
Menghadapi bahaya – Lolos dengan perahu –
Berlabuh di Tannamare – Bertemu dengan orang
melayu – Melarikan diri dari mereka – Berlabuh di
wilayah pulau Sulawesi – Bertemu tiga kano yang
menuju ke arah kami – Mereka berlabuh – Kami
berangkat kembali – Memperoleh dua perahu –
Diinterogasi mengenai tujuan kami – Dikejar sebuah
Kano, tapi meloloskan diri – Memperoleh kano nelayan
lain – Seorang tua bergabung bersama kami – Kami
menerima informasi yang masuk akal mengenai jarak
ke Makassar – Kami melihat sebuah perahu penuh
orang – Kami ditangkap mereka – Dibawa ke Pamboon
dan dilucuti – Mereka membawa kami ke Rumah Rajah,
yang menahan kami.

Sekali lagi kami berlayar dengan kano, dengan tujuan


sebuah pulau kecil sekitar 5km dari teluk. Kami berlabuh pada
pagi hari. Di sini kami tidak mendapatkan air minum. Kami lalu
menuju sebuah titik di pulau tersebut, yang kami tahu tidak
berpenghuni. Di sini kami menemukan sumber air kecil, dan
memperbaiki kano kami, yang sudah bocor. Lalu kami berlayar
ke arah selatan, yang berjarak lima derajat lintang ke arah
selatan.
Setelah tiga hari berada di laut, tiba-tiba dating angin
yang kuat dari arah selatan, yang hamper menghabisi kami. Saya
lalu berpikir untuk berlabuh di daratan yang tanpa penduduk.
Sayangnya, begitu kami menuju ke daratan, kami melihat sebuah
perahu kecil dengan jarak yang tidak begitu jauh sedang
mendayung ke arah kami dengan kekuatan penuh. Saya lalu
bersembunyi, namun perahu itu menaikan seluruh layar dan
tiangnya, kemudian mendekati kano kami. Saya mengenal
orang-orang melayu cukup baik. Mereka bertanya kemana
tujuan kami, saya menjawab ke Makassar dan mereka berkata
kami harus segera kembali. Perahu mereka mendekati kano kami
dan memerintahkan kami untuk pindah ke perahu mereka.
Melihat perahu tersebut kekurangan awak kapal,
hanya berjumlah lima orang, dan tidak melebihi jumlah kami,
saya bersikeras tidak bersedia ditangkap oleh orang-orang itu.
Sehingga kami mendayung sekuat tenaga melawan arah angin.
Pada awalnya mereka mengikuti, tapi setelah beberapa menit
mereka mengubah tujuan, karena perahu mereka terlalu berat,
dengan kekuatan hanya lima orang mereka tidak bisa
mendayung melawan angin untuk mendahului kami. Mereka lalu
mengembangkan layar dan menuju daratan.
Angin tetap berhembus kencang, membuat laut
semakin ganas. Kano kami sekali lagi berada dalam keadaan
bahaya. Saya memutuskan untuk berlabuh di lokasi yang jauh
dari lokasi berlabuh perahu orang-orang melayu itu. Dengan
maksud menghindari penduduk, setelah memperhatikan situasi
kami berlabuh di sebuah tempat bernama Tannamare, sekitar
16-19km sebelah selatan dari Travalla. Setelah mendarat dan
menarik kano kami, kami membuat api dengan maksud
memasak nasi. Salah satu temanku berniat mencari batang kayu
di pantai untuk memperbaiki dayung yang patah ketika kami lari
dari perahu orang-orang melayu itu. Tidak jauh dari tempat kami,
temanku itu tertangkap oleh dua orang melayu dan
membawanya ke tempat kano kami. Betapa terkejutnya saya,
saya mengenal mereka berdua. Yang pertama adalah kapten
kapal yang membawa kami dari Parlow ke Travalla. Dia bertanya
kemana kami akan pergi dan apa yang sedang kami lakukan
disitu. Saya katakan bahwa kami menuju Makassar sambil
memegang gagang pisau besar dan tombakku. Dia bertanya
apakah pisauku adalah pisau yang bagus, saya menjawab Ya ini
pisau yang bagus. Lalu dia ingin memeriksa pisauku, tapi kutolak.
Sekarang dia memaksa kami untuk kembali. Saya katakan bahwa
kami tidak akan kembali, lalu kami semua melompat ke dalam
kano dan mendorongnya ke tengah laut.
Kemudian dia mengatakan, jika kami melaut dengan jarak
yang tidak begitu jauh dari pantai, dia bisa menyediakan ikan
sebagai makanan kami. Karena dia memiliki tambak (karamba).
Tapi saya cenderung tidak menggubrisnya, takut jikalau ada lebih
banyak orang-orang melayu di sana.
Saat ini kami melewati lokasi dimana kami dikejar perahu
pada pagi hari tadi, tapi untung saja saat ini sudah malam, waktu
malam membantu kami, dan sedang terjadi angin kencang,
guntur, petir dan hujan, disaat bersamaan. Itu semua menolong
kami, karena kami tidak memiliki air minum. Kami melewati
perahu tersebut ditengah badai dan gelap, dan kami mendayung
semalaman sepanjang garis pantai. Ketika matahari terbit
keesokan hari, kami sudah mendayung demikian jauh kea rah
selatan. Kami tidak melihat apapun dalam waktu dua atau tiga
hari, dan bagian daratan tampak tandus dan tanpa penghuni.
Pada hari kedelapan setelah kami meninggalkan Tomboo
kami berada sangat dekat dengan daratan Sulawesi yang penuh
dengan penduduk dan terlihat baik penataannya. Kami melewati
banyak kota, dan melihat banyak perahu di pelabuhan-
pelabuhan. Akhirnya kami mendarat ke sebuah tempat
tersembunyi, dan mencoba mencari air bersih sebagai teman
makan persediaan nasi. Masing-masing baru memperoleh
seteguk air ketika tiga kano mendatangi tempat itu. Segera kami
mendorong kano dan kembali melaut tanpa memperoleh
persediaan air bersih, dan melanjutkan perjalanan sepanjang
hari. Ketika matahari terbenam, kami menemukan dua kano,
tidak jauh dari lokasi kami, yang sedang mencari ikan. Kami lalu
mendekati kano-kano tersebut dengan tujuan mencari informasi
seberapa jauh letak Makassar. Ketika mengetahui kami adalah
orang kulit putih, mereka segera menuju daratan. Kami
memutuskan untuk tidak mengejar kano-kano itu, karena
melihat ada dua buah kapal yang sedang melepas jangkar tidak
jauh dari situ. Kami mendekati salah satu kapal, dan mengetahui
hanya satu orang tua yang ada di bagian atasnya. Saya bertanya
dimana kapten kapalnya. Dia menjawab sedang di lantai bawah,
tidur. Dia lalu turun ke lantai bawah dan membangunkannya.
Kapten kapal muncul di dek kapal dengan membawa sebuah
tombak. Tanpa berkata sepatah katapun padaku, dia memanggil
tiga empat anak buahnya, yang juga berlari menuju dek dengan
membawa tombak. Kapten kapal bertanya kapan kami tiba, dan
mau kemana. Saya katakana bahwa kami akan ke Makassar. Lalu
saya bertanya tentang jarak ke Makassar. Dia mengatakan butuh
satu bulan dan satu hari untuk mencapai Makassar. Saya
membalas, itu tidak benar. Dia lalu mengundangku ke kapalnya,
atau menuju daratan. Dua-duanya kutolak, dan menyampaikan
selamat malam padanya, lalu kami melanjutkan perjalanan.
Tiba-tiba dia memerintahkan satu kano untuk mengejar kami
pada anak buahnya. Kami melakukan semua yang terbaik yang
bisa kami lakukan, dan menuju ke laut lepas, dan setelah
mengejar hingga jam sepuluh dan sebelas malam, kami tidak lagi
melihat mereka.
Pada pagi hari, kami melihat sejumlah perahu nelayan, dua
diantaranya menuju kami. Kami membiarkan perahu-perahu itu
mendekati kami, karena masing-masing hanya berisi satu orang.
Salah satunya adalah seorang yang sudah sangat tua, dan terlihat
sangat pintar. Saya menanyakan padanya hal yang sama
mengenai Makassar. Pada awalnya dia mengatakan bahwa
butuh waktu tiga puluh hari untuk mencapai Makassar, dan
dalam waktu bersamaan dia mengundangku ke daratan untuk
bertemu Rajah, dan saya menolaknya. Lalu saya bertanya berapa
hari lagi ada kapal yang akan menuju Makassar. Pada awalnya
dia segan menjawabku, tapi akhirnya dia mengatakan bahwa
dalam dua hari aka nada kapal yang menuju Makassar. Ini adalah
berita gembira bagi ditengah kesulitan-kesulitan dan kelelahan
kami.
Kami meninggalkan perahu nelayan tua itu dan menuju
pantai. Angin sedang baik, tapi kami tidak memiliki layar. Pada
malam harinya, setelah matahari terbenam, kami melihat
sebuah kapal penuh orang melaut dari daratan. Kapal itu
didayung begitu cepat, dan dengan segera mendekati kami.
Tanpa ragu, mereka memegang kano kami, lalu empat lima
orang melompat ke dalamnya, hampir-hampir melebihi batas
muatan kano kami. Harapanku lagi-lagi lenyap, dan kami sekali
lagi menjadi tawanan orang-orang melayu. Mereka mengatakan
bahwa kami harus segera menemui rajah, karena rajah lah yang
menyuruh mereka mengejar kami.
Mengetahui bahwa kami kalah kuat disbanding jumlah
mereka, kami akhirnya menyerah, dan menuruti perintah
mereka. Mereka membawa kami ke daratan, ke kota Pamboon.
Dan ketika mendarat, mereka melucuti apapun yang kami punya,
yang sebenarnya sudah tinggal sedikit. Lalu membawa kami ke
rumah Rajah, sebuah tempat dimana para pimpinan bertemu.
Saya lalu disidang, ditanya sejak kapan tiba, dan menuju kemana.
Jawabanku sama seperti sebelumnya, dan saya mengatakan
bahwa kami harus segera pergi, dan tidak boleh dihentikan. Saat
ini kami begitu akrab dengan bahaya dan penangkapan, dan
kami berada di tempat yang jauh lebih dekat ke Makassar
dibanding yang kami harapkan, setelah sekian kali meloloskan
diri, kami menjadi semakin putus asa dan percaya diri, berusaha
membujuk rajah untuk menyetujui bahwa kami setidaknya harus
tiba di pelabuhan tujuan kami.
Raja Pamboon lalu bertanya padaku jika saya mengerti
senjata api atau tidak. Berbekal pengalaman yang tidak
menyenangkan di Dungally dan Parlow, saya menjawab tidak.
Dia lalu memperlihatkan seratus senapan, dan menginginkanku
untuk tinggal dan mengurus senapan-senapan itu, tapi kutolak.
Dia berkata semua orang kulit putih mengerti senjata api. Saya
mengatakan bahwa pelaut tidak mengerti senjata api, tapi para
prajurit bisa, dan saya bukan seorang prajurit Angkatan
bersenjata. Dia lalu memintaku jika saya tidak ingin seorang istri,
dan tinggal di sana. Saya menolaknya. Istrinya, seorang wanita
muda, datang dan duduk dekatku, pada saat bersamaan berkata
kepada raja bahwa dia akan Bahagia jika melihat seorang anak
kulit putih. Wanita itu lalu mengajak saya untuk tidur
bersamanya. Untuk ini juga saya berkata “Tidak”. Wanita itu lalu
memanggil saudara perempuannya dan dua puluh gadis lain, dan
mereka semua duduk, memintaku untuk memilih. Saya katakan,
“Tidak ada”, sambil memberi salam selamat malam, lalu
melangkah keluar pintu. Segera mereka menyajikan makan
malam. Setelah makan malam, kami berbaring dan tidur di tanah
sepanjang malam, dan dijaga oleh sekitar dua puluh orang.
BAB XII

Kami meminta Rajah untuk mengirim kami ke Makassar –


Ditahan untuk beberapa waktu – Saya diserang demam –
Dibawa dengan sebuah kapal – Kami begitu Bahagia oleh
harapan mencapai Makassar – Meninggalkan Pamboon –
Mencapai San Bottam – Menghadap Rajah tempat itu
yang mengirimkan puteranya untuk membebaskan kami –
Menghadap Rajah yang mendengar cerita kami – Rajah
menyiapkan sebuah kapal untuk kami – Kami berangkat,
dan tiba di Makassar.

Pada pagi harinya, saya menunggu lagi Rajah Pamboon, dan


sudah berbicara dalam Bahasa melayu sangat baik, saya
memohon untuk dikirim ke Makassar. Saya memastikan bahwa
Gubernur sudah meminta kami dan kami harus segera berangkat
ke Makassar. Diwaktu bersamaan, saya berkata padanya, jika dia
menahan kami, Gubernur akan menghentikan kapal-kapalnya di
Makassar. Setelah berpikir sebentar, Rajah memanggil kapten
kapal yang menuju Makassar, dan mengirimkan saya dan teman-
temanku kepada kapten kapal tersebut. Rajah berkata jika
kapten kapal bisa memperoleh apapun untuk kami, dia boleh
memilikinya, jika tidak, dia boleh melepaskan kami.
Kapal itu belum siap, kami tinggal dua tiga hari di tempat ini,
cukup mengatasi segala kesulitan dan kelelahan selama di atas
kano. Matahari membakar pundakku, tanpa baju, tidurpun
telanjang, menimbulkan nyeri. Disini saya terserang flu, dan
segera diserang demam hebat. Pada saat kapal siap untuk
berangkat, saya tidak mampu berdiri. Saya lalu diangkat dan
dimasukkan ke dalam kano, lalu menuju kapal. Mereka
membaringkanku di atas dek kapal, tanpa alas, dingin, dan
seringkali hujan, dan ketika siang hari keadaan menjadi sangat
panas. Saya merasa sangat sakit, dan saya percaya saya akan
mati. Hanya harapan mencapai Makassar yang membuaku
bertahan hidup. Harapan-harapan itu membuat semangat kami
tetap ada.
Kami lalu meninggalkan Pamboon, sekitar 90 atau 100 mil
(144-160km) dari Makassar, milik sebuah suku bernama
Tramany. Dalam tiga hari kami mencapai sebuah pulau bernama
San Bottam dengan jarak 50km dari Makassar. Saya ditinggalkan
di kapal selama dua hari. Mereka tidak mengijinkan kami untuk
ke daratan, dengan alasan yang tidak kami ketahui. Saya lalu
memerintahkan George Williams untuk menuju daratan, jika
mereka menolaknya, entah dengan berenang atau mencuri kano,
memperkenalkan diri kepada rajah dan katakana bahwa saya
berada di kapal, dalam keadaan sangat sakit, dan saya ingin ke
daratan. Williams lalu kembali dengan berita gembira bahwa
rajah akan menemui kami, yang dilakukannya dalam waktu
setengah jam dengan mengirimkan puteranya dengan sebuah
catatan untuk kapten kapal, untuk segera mengirimkan kami ke
daratan. Kami langsung dibebaskan, dan dibawa kepada rajah
atau kepala suku. Lalu saya bercerita kisah kami, dan bahwa kami
ingin segera berangkat ke Makassar. Rajah memikirkan situasi-
situasi sulit kami, menawarkan kami nasi, dan dalam waktu
bersamaan memerintahkan sebuah kapal untuk disiapkan siang
itu untuk mengantar kami menuju Makassar.
Kami berlayar sebelum malam, tapi tidak mencapai
Makassar hingga keesokan harinya. Kami berlabuh di Makassar
pada tanggal 15-Juni-1795, setelah perjalanan sekitar Sembilan
belas hari dari Tomboo, dan setelah dua tahun dan lima bulan
sebagai tahanan. Kesalahan perhitungan hari di waktu-waktu itu
hanya berselisih satu hari, karena saya sangat memperhatikan
waktu.
BAB XIII

Kegembiraan kami tiba di Makassar – Seorang penjaga


mengawal kami – Gubernur menginterogasiku – Saya
menceritakan kisah kami – Dia membebaskan kami – Tuan
Sisos – Kebaikannya padaku – Kami dibawa di pengadilan
dan diadili – Mynheer Alstromer – Kehadirannya.

Saya tidak bisa mengungkapkan perasaan bahagiaku


bersama empat teman pelautku terbebas dari penderitaan ini.
Kami sangat berterimakasih kepada Kepala Pemerintahan
setempat atas kebaikan hatinya, dan saya hanya bisa
membandingkannya dengan Joseph, kawan masa kecilku.
Ketika berlabuh di Makassar, kami dikawal sekitar dua
puluh orang, yang kunilai sebagai tindakan pencegahan yang
tidak diperlukan. Karena tidak ada sesuatu hal yang bisa
membuat kami melarikan diri. Gubernur demikian terkejut pada
penampilan dan kondisi kami, dan kami tidak kurang suatu apa
mengingat pengalaman kami setelah hidup sedemikian lama
dalam penderitaan diantara begitu banyak suku.
Gubernur bernama William Pitts Jacobson, seorang asli
Belanda kelahiran Amsterdam, berasal dari keluarga terhormat.
Dia bertanya dari mana saya berasal, dan apakah saya bisa
berbahasa belanda atau perancis. Saya menjawab bahwa saya
tidak bisa kedua bahasa tersebut, tapi saya katakana bahwa saya
bisa berbicara dalam bahasa melayu, dan dia fasih bahasa
melayu. Dan mulailah saya menceritakan kisah kami.
Dia mengamati kondisiku, punggungku terbakar, air mata
orang baik ini menetes di pipinya. Dia meninggalkan kami
beberapa menit menuju rumahnya, dan memerintahkan
seorang pelayan untuk menyiapkan segelas gin untukku dan
teman-temanku. Lalu dia kembali, membawakan kami sepasang
celana panjang dan jaket milik anak laki-lakinya yang
diberikannya kepadaku, serta uang sejumlah tiga rupiah. Lalu dia
memerintahkan seorang ahli bahasa untuk membawaku ke
rumah Gubernur, dan menyediakanku segala sesuatu yang
kuinginkan, gratis. Gubernur juga memerintahkan empat orang
temanku untuk tinggal bersama para pelaut perusahaan, dan
untuk menikmati semua sebanyak yang mereka butuhkan.
Saya ikut makan malam yang enak di rumah Ahli Bahasa,
setelahnya saya dikirim ke rumah Tuan Sisos, seorang pedagang
kaya yang sangat baik padaku, dan memberikanku jaket satin
berwarna hitam, sepasang celana panjang, sebuah topi, baju,
dan sapu tangan. Lalu saya kembali ke rumah Ahli Bahasa, mandi,
menyisir rambut, dan mengenakan pakaian bersih pertama sejak
dua tahun dan lima bulan. Saya juga diberikan tempat tidur yang
baik, yang sangat memulihkan kondisi badanku, dan saya mulai
berpikir diriku sebagai seorang Kristen, di dalam sebuah negara
Kristen.
Pada pagi hari saya dibawa ke pengadilan, bersama empat
orang temanku, dimana kami masing-masing menjalani
pemeriksaan terpisah. Setelahnya, lalu saya diantar kembali ke
rumah Ahli Bahasa, dan dihari berikutnya dipanggil menghadap
Gubernur, yang bertanya apakah saya memperoleh makanan
cukup atau tidak. Memerintahkan penjahit mengukurku untuk
dibuatkan dua buah jaket, dua pasang celana, sebuah mantel
berwana kekuningan. Dia juga memberiku tujuh pasang kaus
kaki, tujuh pasang sepatu, dan empat atau lima celana Panjang.
Gubernur memerintahkan saya untuk menghubunginya
dalam dua hari, dia mengatakan bahwa dia akan segera
mengirimku berlayar. Saat ini dia memberiku lebih banyak
pakaian, dan uang sejumlah dua rupiah. Ketika kembali ke rumah
Ahli Bahasa, sangat gembira dengan kebaikan hati Gubernur,
saya menemukan penjahit lain sedang menungguku, dia dikirim
oleh kepala perusahaan untuk mengukurku. Untuk seperangkat
setelan pakaian resmi.
Dalam waktu dua hari, penjahit membawakanku mantel
lebar, dua buah rompi, dan dua buah celana panjang, dengan
dua kemeja yang sangat baik, dua selendang leher, yang
semuanya dibuatkan untukku oleh kepala perusahaan, Mynheer
Alstromer. Segera setelahnya, penjahit gubernur
membawakanku pakaian-pakaian yang dikirim oleh Gubernur.
Hal ini membuatku memiliki persediaan yang cukup, lebih dari
yang pernah kulihat atau tahu selama masa menjadi tawanan.
Teman-teman pelautku juga diberi makan dengan baik, diberi
pakaian dan jaket, celana panjang, serta kemeja, semua berasal
dari Gubernur dan kepala perusahaan.
Saya dikunjungi oleh semua kepala wilayah di tempat itu,
yang sering membuatku menceritakan kisah kami, dan saya
memulihkan kesehatan dan semangat dengan sangat baik.
BAB XIV

Pesan dari Gubernur – Waktu keberangkatan kami –


Persiapan perjalanan – Kemurahanhati gubernur – Dia
memberiku surat rekomendasi – Meninggalkan rumah Ahli
Bahasa – Kejadian mengharukan – Kami berangkat – Tiba
di Batavia – Mengantarkan surat ke Shabander – Tanya
jawab dengan Gubernur.

Siang ini saya menerima sebuah perintah dari Gubernur,


untuk menunggunya keesokan pagi, dan saya sudah siap jam
lima pagi.

Anda mungkin juga menyukai