terdapat sumber air bersih (langsung berangkat menuju Makassar dengan kano kami) – Badai – Menghadapi bahaya – Lolos dengan perahu – Berlabuh di Tannamare – Bertemu dengan orang melayu – Melarikan diri dari mereka – Berlabuh di wilayah pulau Sulawesi – Bertemu tiga kano yang menuju ke arah kami – Mereka berlabuh – Kami berangkat kembali – Memperoleh dua perahu – Diinterogasi mengenai tujuan kami – Dikejar sebuah Kano, tapi meloloskan diri – Memperoleh kano nelayan lain – Seorang tua bergabung bersama kami – Kami menerima informasi yang masuk akal mengenai jarak ke Makassar – Kami melihat sebuah perahu penuh orang – Kami ditangkap mereka – Dibawa ke Pamboon dan dilucuti – Mereka membawa kami ke Rumah Rajah, yang menahan kami.
Sekali lagi kami berlayar dengan kano, dengan tujuan
sebuah pulau kecil sekitar 5km dari teluk. Kami berlabuh pada pagi hari. Di sini kami tidak mendapatkan air minum. Kami lalu menuju sebuah titik di pulau tersebut, yang kami tahu tidak berpenghuni. Di sini kami menemukan sumber air kecil, dan memperbaiki kano kami, yang sudah bocor. Lalu kami berlayar ke arah selatan, yang berjarak lima derajat lintang ke arah selatan. Setelah tiga hari berada di laut, tiba-tiba dating angin yang kuat dari arah selatan, yang hamper menghabisi kami. Saya lalu berpikir untuk berlabuh di daratan yang tanpa penduduk. Sayangnya, begitu kami menuju ke daratan, kami melihat sebuah perahu kecil dengan jarak yang tidak begitu jauh sedang mendayung ke arah kami dengan kekuatan penuh. Saya lalu bersembunyi, namun perahu itu menaikan seluruh layar dan tiangnya, kemudian mendekati kano kami. Saya mengenal orang-orang melayu cukup baik. Mereka bertanya kemana tujuan kami, saya menjawab ke Makassar dan mereka berkata kami harus segera kembali. Perahu mereka mendekati kano kami dan memerintahkan kami untuk pindah ke perahu mereka. Melihat perahu tersebut kekurangan awak kapal, hanya berjumlah lima orang, dan tidak melebihi jumlah kami, saya bersikeras tidak bersedia ditangkap oleh orang-orang itu. Sehingga kami mendayung sekuat tenaga melawan arah angin. Pada awalnya mereka mengikuti, tapi setelah beberapa menit mereka mengubah tujuan, karena perahu mereka terlalu berat, dengan kekuatan hanya lima orang mereka tidak bisa mendayung melawan angin untuk mendahului kami. Mereka lalu mengembangkan layar dan menuju daratan. Angin tetap berhembus kencang, membuat laut semakin ganas. Kano kami sekali lagi berada dalam keadaan bahaya. Saya memutuskan untuk berlabuh di lokasi yang jauh dari lokasi berlabuh perahu orang-orang melayu itu. Dengan maksud menghindari penduduk, setelah memperhatikan situasi kami berlabuh di sebuah tempat bernama Tannamare, sekitar 16-19km sebelah selatan dari Travalla. Setelah mendarat dan menarik kano kami, kami membuat api dengan maksud memasak nasi. Salah satu temanku berniat mencari batang kayu di pantai untuk memperbaiki dayung yang patah ketika kami lari dari perahu orang-orang melayu itu. Tidak jauh dari tempat kami, temanku itu tertangkap oleh dua orang melayu dan membawanya ke tempat kano kami. Betapa terkejutnya saya, saya mengenal mereka berdua. Yang pertama adalah kapten kapal yang membawa kami dari Parlow ke Travalla. Dia bertanya kemana kami akan pergi dan apa yang sedang kami lakukan disitu. Saya katakan bahwa kami menuju Makassar sambil memegang gagang pisau besar dan tombakku. Dia bertanya apakah pisauku adalah pisau yang bagus, saya menjawab Ya ini pisau yang bagus. Lalu dia ingin memeriksa pisauku, tapi kutolak. Sekarang dia memaksa kami untuk kembali. Saya katakan bahwa kami tidak akan kembali, lalu kami semua melompat ke dalam kano dan mendorongnya ke tengah laut. Kemudian dia mengatakan, jika kami melaut dengan jarak yang tidak begitu jauh dari pantai, dia bisa menyediakan ikan sebagai makanan kami. Karena dia memiliki tambak (karamba). Tapi saya cenderung tidak menggubrisnya, takut jikalau ada lebih banyak orang-orang melayu di sana. Saat ini kami melewati lokasi dimana kami dikejar perahu pada pagi hari tadi, tapi untung saja saat ini sudah malam, waktu malam membantu kami, dan sedang terjadi angin kencang, guntur, petir dan hujan, disaat bersamaan. Itu semua menolong kami, karena kami tidak memiliki air minum. Kami melewati perahu tersebut ditengah badai dan gelap, dan kami mendayung semalaman sepanjang garis pantai. Ketika matahari terbit keesokan hari, kami sudah mendayung demikian jauh kea rah selatan. Kami tidak melihat apapun dalam waktu dua atau tiga hari, dan bagian daratan tampak tandus dan tanpa penghuni. Pada hari kedelapan setelah kami meninggalkan Tomboo kami berada sangat dekat dengan daratan Sulawesi yang penuh dengan penduduk dan terlihat baik penataannya. Kami melewati banyak kota, dan melihat banyak perahu di pelabuhan- pelabuhan. Akhirnya kami mendarat ke sebuah tempat tersembunyi, dan mencoba mencari air bersih sebagai teman makan persediaan nasi. Masing-masing baru memperoleh seteguk air ketika tiga kano mendatangi tempat itu. Segera kami mendorong kano dan kembali melaut tanpa memperoleh persediaan air bersih, dan melanjutkan perjalanan sepanjang hari. Ketika matahari terbenam, kami menemukan dua kano, tidak jauh dari lokasi kami, yang sedang mencari ikan. Kami lalu mendekati kano-kano tersebut dengan tujuan mencari informasi seberapa jauh letak Makassar. Ketika mengetahui kami adalah orang kulit putih, mereka segera menuju daratan. Kami memutuskan untuk tidak mengejar kano-kano itu, karena melihat ada dua buah kapal yang sedang melepas jangkar tidak jauh dari situ. Kami mendekati salah satu kapal, dan mengetahui hanya satu orang tua yang ada di bagian atasnya. Saya bertanya dimana kapten kapalnya. Dia menjawab sedang di lantai bawah, tidur. Dia lalu turun ke lantai bawah dan membangunkannya. Kapten kapal muncul di dek kapal dengan membawa sebuah tombak. Tanpa berkata sepatah katapun padaku, dia memanggil tiga empat anak buahnya, yang juga berlari menuju dek dengan membawa tombak. Kapten kapal bertanya kapan kami tiba, dan mau kemana. Saya katakana bahwa kami akan ke Makassar. Lalu saya bertanya tentang jarak ke Makassar. Dia mengatakan butuh satu bulan dan satu hari untuk mencapai Makassar. Saya membalas, itu tidak benar. Dia lalu mengundangku ke kapalnya, atau menuju daratan. Dua-duanya kutolak, dan menyampaikan selamat malam padanya, lalu kami melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dia memerintahkan satu kano untuk mengejar kami pada anak buahnya. Kami melakukan semua yang terbaik yang bisa kami lakukan, dan menuju ke laut lepas, dan setelah mengejar hingga jam sepuluh dan sebelas malam, kami tidak lagi melihat mereka. Pada pagi hari, kami melihat sejumlah perahu nelayan, dua diantaranya menuju kami. Kami membiarkan perahu-perahu itu mendekati kami, karena masing-masing hanya berisi satu orang. Salah satunya adalah seorang yang sudah sangat tua, dan terlihat sangat pintar. Saya menanyakan padanya hal yang sama mengenai Makassar. Pada awalnya dia mengatakan bahwa butuh waktu tiga puluh hari untuk mencapai Makassar, dan dalam waktu bersamaan dia mengundangku ke daratan untuk bertemu Rajah, dan saya menolaknya. Lalu saya bertanya berapa hari lagi ada kapal yang akan menuju Makassar. Pada awalnya dia segan menjawabku, tapi akhirnya dia mengatakan bahwa dalam dua hari aka nada kapal yang menuju Makassar. Ini adalah berita gembira bagi ditengah kesulitan-kesulitan dan kelelahan kami. Kami meninggalkan perahu nelayan tua itu dan menuju pantai. Angin sedang baik, tapi kami tidak memiliki layar. Pada malam harinya, setelah matahari terbenam, kami melihat sebuah kapal penuh orang melaut dari daratan. Kapal itu didayung begitu cepat, dan dengan segera mendekati kami. Tanpa ragu, mereka memegang kano kami, lalu empat lima orang melompat ke dalamnya, hampir-hampir melebihi batas muatan kano kami. Harapanku lagi-lagi lenyap, dan kami sekali lagi menjadi tawanan orang-orang melayu. Mereka mengatakan bahwa kami harus segera menemui rajah, karena rajah lah yang menyuruh mereka mengejar kami. Mengetahui bahwa kami kalah kuat disbanding jumlah mereka, kami akhirnya menyerah, dan menuruti perintah mereka. Mereka membawa kami ke daratan, ke kota Pamboon. Dan ketika mendarat, mereka melucuti apapun yang kami punya, yang sebenarnya sudah tinggal sedikit. Lalu membawa kami ke rumah Rajah, sebuah tempat dimana para pimpinan bertemu. Saya lalu disidang, ditanya sejak kapan tiba, dan menuju kemana. Jawabanku sama seperti sebelumnya, dan saya mengatakan bahwa kami harus segera pergi, dan tidak boleh dihentikan. Saat ini kami begitu akrab dengan bahaya dan penangkapan, dan kami berada di tempat yang jauh lebih dekat ke Makassar dibanding yang kami harapkan, setelah sekian kali meloloskan diri, kami menjadi semakin putus asa dan percaya diri, berusaha membujuk rajah untuk menyetujui bahwa kami setidaknya harus tiba di pelabuhan tujuan kami. Raja Pamboon lalu bertanya padaku jika saya mengerti senjata api atau tidak. Berbekal pengalaman yang tidak menyenangkan di Dungally dan Parlow, saya menjawab tidak. Dia lalu memperlihatkan seratus senapan, dan menginginkanku untuk tinggal dan mengurus senapan-senapan itu, tapi kutolak. Dia berkata semua orang kulit putih mengerti senjata api. Saya mengatakan bahwa pelaut tidak mengerti senjata api, tapi para prajurit bisa, dan saya bukan seorang prajurit Angkatan bersenjata. Dia lalu memintaku jika saya tidak ingin seorang istri, dan tinggal di sana. Saya menolaknya. Istrinya, seorang wanita muda, datang dan duduk dekatku, pada saat bersamaan berkata kepada raja bahwa dia akan Bahagia jika melihat seorang anak kulit putih. Wanita itu lalu mengajak saya untuk tidur bersamanya. Untuk ini juga saya berkata “Tidak”. Wanita itu lalu memanggil saudara perempuannya dan dua puluh gadis lain, dan mereka semua duduk, memintaku untuk memilih. Saya katakan, “Tidak ada”, sambil memberi salam selamat malam, lalu melangkah keluar pintu. Segera mereka menyajikan makan malam. Setelah makan malam, kami berbaring dan tidur di tanah sepanjang malam, dan dijaga oleh sekitar dua puluh orang. BAB XII
Kami meminta Rajah untuk mengirim kami ke Makassar –
Ditahan untuk beberapa waktu – Saya diserang demam – Dibawa dengan sebuah kapal – Kami begitu Bahagia oleh harapan mencapai Makassar – Meninggalkan Pamboon – Mencapai San Bottam – Menghadap Rajah tempat itu yang mengirimkan puteranya untuk membebaskan kami – Menghadap Rajah yang mendengar cerita kami – Rajah menyiapkan sebuah kapal untuk kami – Kami berangkat, dan tiba di Makassar.
Pada pagi harinya, saya menunggu lagi Rajah Pamboon, dan
sudah berbicara dalam Bahasa melayu sangat baik, saya memohon untuk dikirim ke Makassar. Saya memastikan bahwa Gubernur sudah meminta kami dan kami harus segera berangkat ke Makassar. Diwaktu bersamaan, saya berkata padanya, jika dia menahan kami, Gubernur akan menghentikan kapal-kapalnya di Makassar. Setelah berpikir sebentar, Rajah memanggil kapten kapal yang menuju Makassar, dan mengirimkan saya dan teman- temanku kepada kapten kapal tersebut. Rajah berkata jika kapten kapal bisa memperoleh apapun untuk kami, dia boleh memilikinya, jika tidak, dia boleh melepaskan kami. Kapal itu belum siap, kami tinggal dua tiga hari di tempat ini, cukup mengatasi segala kesulitan dan kelelahan selama di atas kano. Matahari membakar pundakku, tanpa baju, tidurpun telanjang, menimbulkan nyeri. Disini saya terserang flu, dan segera diserang demam hebat. Pada saat kapal siap untuk berangkat, saya tidak mampu berdiri. Saya lalu diangkat dan dimasukkan ke dalam kano, lalu menuju kapal. Mereka membaringkanku di atas dek kapal, tanpa alas, dingin, dan seringkali hujan, dan ketika siang hari keadaan menjadi sangat panas. Saya merasa sangat sakit, dan saya percaya saya akan mati. Hanya harapan mencapai Makassar yang membuaku bertahan hidup. Harapan-harapan itu membuat semangat kami tetap ada. Kami lalu meninggalkan Pamboon, sekitar 90 atau 100 mil (144-160km) dari Makassar, milik sebuah suku bernama Tramany. Dalam tiga hari kami mencapai sebuah pulau bernama San Bottam dengan jarak 50km dari Makassar. Saya ditinggalkan di kapal selama dua hari. Mereka tidak mengijinkan kami untuk ke daratan, dengan alasan yang tidak kami ketahui. Saya lalu memerintahkan George Williams untuk menuju daratan, jika mereka menolaknya, entah dengan berenang atau mencuri kano, memperkenalkan diri kepada rajah dan katakana bahwa saya berada di kapal, dalam keadaan sangat sakit, dan saya ingin ke daratan. Williams lalu kembali dengan berita gembira bahwa rajah akan menemui kami, yang dilakukannya dalam waktu setengah jam dengan mengirimkan puteranya dengan sebuah catatan untuk kapten kapal, untuk segera mengirimkan kami ke daratan. Kami langsung dibebaskan, dan dibawa kepada rajah atau kepala suku. Lalu saya bercerita kisah kami, dan bahwa kami ingin segera berangkat ke Makassar. Rajah memikirkan situasi- situasi sulit kami, menawarkan kami nasi, dan dalam waktu bersamaan memerintahkan sebuah kapal untuk disiapkan siang itu untuk mengantar kami menuju Makassar. Kami berlayar sebelum malam, tapi tidak mencapai Makassar hingga keesokan harinya. Kami berlabuh di Makassar pada tanggal 15-Juni-1795, setelah perjalanan sekitar Sembilan belas hari dari Tomboo, dan setelah dua tahun dan lima bulan sebagai tahanan. Kesalahan perhitungan hari di waktu-waktu itu hanya berselisih satu hari, karena saya sangat memperhatikan waktu. BAB XIII
Kegembiraan kami tiba di Makassar – Seorang penjaga
mengawal kami – Gubernur menginterogasiku – Saya menceritakan kisah kami – Dia membebaskan kami – Tuan Sisos – Kebaikannya padaku – Kami dibawa di pengadilan dan diadili – Mynheer Alstromer – Kehadirannya.
Saya tidak bisa mengungkapkan perasaan bahagiaku
bersama empat teman pelautku terbebas dari penderitaan ini. Kami sangat berterimakasih kepada Kepala Pemerintahan setempat atas kebaikan hatinya, dan saya hanya bisa membandingkannya dengan Joseph, kawan masa kecilku. Ketika berlabuh di Makassar, kami dikawal sekitar dua puluh orang, yang kunilai sebagai tindakan pencegahan yang tidak diperlukan. Karena tidak ada sesuatu hal yang bisa membuat kami melarikan diri. Gubernur demikian terkejut pada penampilan dan kondisi kami, dan kami tidak kurang suatu apa mengingat pengalaman kami setelah hidup sedemikian lama dalam penderitaan diantara begitu banyak suku. Gubernur bernama William Pitts Jacobson, seorang asli Belanda kelahiran Amsterdam, berasal dari keluarga terhormat. Dia bertanya dari mana saya berasal, dan apakah saya bisa berbahasa belanda atau perancis. Saya menjawab bahwa saya tidak bisa kedua bahasa tersebut, tapi saya katakana bahwa saya bisa berbicara dalam bahasa melayu, dan dia fasih bahasa melayu. Dan mulailah saya menceritakan kisah kami. Dia mengamati kondisiku, punggungku terbakar, air mata orang baik ini menetes di pipinya. Dia meninggalkan kami beberapa menit menuju rumahnya, dan memerintahkan seorang pelayan untuk menyiapkan segelas gin untukku dan teman-temanku. Lalu dia kembali, membawakan kami sepasang celana panjang dan jaket milik anak laki-lakinya yang diberikannya kepadaku, serta uang sejumlah tiga rupiah. Lalu dia memerintahkan seorang ahli bahasa untuk membawaku ke rumah Gubernur, dan menyediakanku segala sesuatu yang kuinginkan, gratis. Gubernur juga memerintahkan empat orang temanku untuk tinggal bersama para pelaut perusahaan, dan untuk menikmati semua sebanyak yang mereka butuhkan. Saya ikut makan malam yang enak di rumah Ahli Bahasa, setelahnya saya dikirim ke rumah Tuan Sisos, seorang pedagang kaya yang sangat baik padaku, dan memberikanku jaket satin berwarna hitam, sepasang celana panjang, sebuah topi, baju, dan sapu tangan. Lalu saya kembali ke rumah Ahli Bahasa, mandi, menyisir rambut, dan mengenakan pakaian bersih pertama sejak dua tahun dan lima bulan. Saya juga diberikan tempat tidur yang baik, yang sangat memulihkan kondisi badanku, dan saya mulai berpikir diriku sebagai seorang Kristen, di dalam sebuah negara Kristen. Pada pagi hari saya dibawa ke pengadilan, bersama empat orang temanku, dimana kami masing-masing menjalani pemeriksaan terpisah. Setelahnya, lalu saya diantar kembali ke rumah Ahli Bahasa, dan dihari berikutnya dipanggil menghadap Gubernur, yang bertanya apakah saya memperoleh makanan cukup atau tidak. Memerintahkan penjahit mengukurku untuk dibuatkan dua buah jaket, dua pasang celana, sebuah mantel berwana kekuningan. Dia juga memberiku tujuh pasang kaus kaki, tujuh pasang sepatu, dan empat atau lima celana Panjang. Gubernur memerintahkan saya untuk menghubunginya dalam dua hari, dia mengatakan bahwa dia akan segera mengirimku berlayar. Saat ini dia memberiku lebih banyak pakaian, dan uang sejumlah dua rupiah. Ketika kembali ke rumah Ahli Bahasa, sangat gembira dengan kebaikan hati Gubernur, saya menemukan penjahit lain sedang menungguku, dia dikirim oleh kepala perusahaan untuk mengukurku. Untuk seperangkat setelan pakaian resmi. Dalam waktu dua hari, penjahit membawakanku mantel lebar, dua buah rompi, dan dua buah celana panjang, dengan dua kemeja yang sangat baik, dua selendang leher, yang semuanya dibuatkan untukku oleh kepala perusahaan, Mynheer Alstromer. Segera setelahnya, penjahit gubernur membawakanku pakaian-pakaian yang dikirim oleh Gubernur. Hal ini membuatku memiliki persediaan yang cukup, lebih dari yang pernah kulihat atau tahu selama masa menjadi tawanan. Teman-teman pelautku juga diberi makan dengan baik, diberi pakaian dan jaket, celana panjang, serta kemeja, semua berasal dari Gubernur dan kepala perusahaan. Saya dikunjungi oleh semua kepala wilayah di tempat itu, yang sering membuatku menceritakan kisah kami, dan saya memulihkan kesehatan dan semangat dengan sangat baik. BAB XIV
Pesan dari Gubernur – Waktu keberangkatan kami –
Persiapan perjalanan – Kemurahanhati gubernur – Dia memberiku surat rekomendasi – Meninggalkan rumah Ahli Bahasa – Kejadian mengharukan – Kami berangkat – Tiba di Batavia – Mengantarkan surat ke Shabander – Tanya jawab dengan Gubernur.
Siang ini saya menerima sebuah perintah dari Gubernur,
untuk menunggunya keesokan pagi, dan saya sudah siap jam lima pagi.