Anda di halaman 1dari 5

Pada zaman dahulu kala, di sebuah pesisir pantai kota Banten.

Hiduplah seorang janda dengan


anak laki-lakinya. Anak laki-laki itu bernama Dampu Awang. Kehidupan mereka sangat miskin
dan serba kekurangan.

Namun, meskipun kehidupan mereka sangat miskin Dampu Awang memiliki cita-cita yang
sangat tinggi. Ia ingin sekali menjadi seorang saudagar kaya raya. Tetapi, cita-cita tersebut
sangat sulit untuk di raihnya. Jangankan untuk menjadi saudagar kaya raya. Pekerjaan yang tetap
saja ia tidak punya.

Suatu hari, ada sebuah kapal layar berlabuh milik seorang saudagar kaya yang bernama Teuku
Abu Matsyah. Saudagar kaya itu akn berdagang di Banten. Melihat kapal saudagar kaya itu,
timbul sebuah keinginan untuk bekerja di sana sebagai awak kapal. Ia segera kembali ke rumah
dan mengutarakan keinginannya kepada sang ibu.

‘’ Ibu, di pelabuhan ada kapal seorang saudagar yang sangat kaya sedang berdagang di sini. Aku
ingin sekali bekerja di kapalnya. Jika aku beruntung, siapa tahu aku bisa menjadi saudagar kaya
sepertinya. Bu, bolehkah aku ikut berlayar dengannya? Tanya Dampu Awang.

Namun, ibunya langsung melarang.

‘’ Tidak anakku! Kau tidak boleh ikut berlayar bersama sudagar kaya itu.’’ Jawab sang ibu tegas.

‘’ Mengapa bu? Dengan cara aku bekerja di kapal tersebut. aku dapat membantu ibu untuk
memenuhi kebuhuhan kita. Apalagi jika suatu saat nanti aku bisa menjadi saudagar kaya.
Kehidupan kita akan berubah.’’ Kata Dampu Awang.

‘’ Tidak Nak! Ibu sangat takut. Jika kau sudah menjadi kaya nanti. Kau pasti akan lupa dengan
ibumu yang miskin ini.’’ Kata ibunya sedih.

Namun, Dampu Awang terus saja merengek agar diijinkan untuk pergi berlayar. Akhirnya,
dengan berat hati sang ibu pun mengalah. Sang ibu mengizinkan Dampu Awang untuk ikut
berlayar bersama saudagar itu. Tetapi, sang ibu meminta Dampu Awang untuk berjanji agar ia
selalu memberikan kabar. Sebelum berangkat, sang ibu menitipkan Burung kesayangan milik
ayahnya.

‘’ jagalah Burung itu baik-baik Nak, dan jangan lupa untuk memberikan kabar.’’ Kata ibuya.

‘’ Baik bu, aku tidak akan melupakan pesan ibu.’’ Kata Dampu Awang.

Sang ibu pun menangis dan memeluk anaknya dengan sangat erat. Dampu Awang pun langsung
naik kapal dan siap untuk berlayar ke malaka.

Selama di kapal, Dampu Awang dikenal sebagai pekerja yang sangat rajin. Ia selalu menjalankan
perintah majikannya dengan baik. Saudagar Teuku Abu Matsyah sangat senang melihat
semangat Dampu Awang. Jabatannya terus naik dan selalu memuaskan.

Suatu hari, saudagar kaya itu memanggil Dampu Awang

‘’ Ampun Tuanku! Ada keperluan apa tuan memanggil saya?’’ kata Dampu Awang.

‘’ Begini Dampu Awang. Aku melihat pekerjaan mu ini sangat baik. Selama kau bekerja di sini,
kau selalu menunjukkan rasa hormatmu. Aku sangat ingin menjodohkanmu dengan putriku. Siti
Nurhasanah. Bagaimana? Apakah kau mau menikah dengannya?’’ ujar Teuku Abu Matsyah.

Dampu Awang sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan majikannya tersebut. ia pun sangat
senang.
‘’ Tentu saja saya bersedia Tuan.’’ Jawab Dampu Awang.

Cerita Rakyat dari Banten

Akhirnya, pernikahan pun dilaksanakan dengan sangat meriah. Setelah menjadi menantu
saudagar kaya. Ia di percaya untuk menyimpan seluruh harta mertuanya tersebut. Setelah mereka
menikah, Teuku Abu Matsyah jatuh sakit dan meninggal dunia. Dampu Awanglah yang
menggatikan posisi ayah mertuanya tersebut.

Setelah menjadi saudagar kaya. Ia melupakan ibunya. Ia tidak pernah lagi memberikan kabar dan
terlena dengan kemewahan. Suatu hari, Dampu Awang dan istrinya berlayar ke wilayah pantai
Banten. Tibalah mereka di daerah tempat tinggal Dampu Awang.

Seluruh pernduduk sangat terpukau melihat kemewahan kapal Dampu Awang. Para penduduk
beramai-ramai datang ke pelabuhan untuk melihat kapal layar yang sangat mewah tersebut.
kabar tentang berlabuhnya kapal layar yang mewah itu terdengar oleh sang ibu Dampu Awang.
Ia sangat yakin saudagar kaya itu adalah anak laki-lakinya. Ia pun langsung bergegas datang ke
pelabuhan untuk bertemu dengan Dampu Awang.

Setibanya di pelabuhan, ibu Dampu Awang melihat anaknya berdiri di pinggir kapal dan
mengenakan pakaian yang sangat mewah. Selain itu, sang ibu pun melihat ada seorang wanita
yang sangat cantik berdiri di sampingnya. Sang ibu sangat senang karena anaknya, sekarang
sudah memiliki seorang istri. Ia langsung berlari ke arah kapal mendekati anaknya tersebut. Ia
berlari dengan cepat dan berteriak memanggil nama anaknya.

‘’ Dampu Awang anakku, kau sudah kembali Nak, ibu sangat merindukanmu.’’ Kata sang ibu
menangis bahagia.

Dampu Awang sangat terkejut melihat seorang perempuan tua yang pakaiannya compang-
camping dan sangat dekil sekali. Ia sangat mengenal wajah perempuan yang memanggil-manggil
namanya tersebut. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah ibunya. Namun, ia sangat malu mengakui
perempuan yang seperti pengemis itu ibunya.

‘’ Kang, apakah perempuan tua itu adalah ibumu? Mengapa selama ini kau tidak pernah
menceritakan jika masih mempunyai seorang ibu?” Tanya istrinya heran.

‘’ Bukan sayang! Perempuan tua itu bukan ibuku. Ibuku sudah lama meninggal. Ia hanya seorang
perempuan yang gila. Sudah abaikan saja perkataannya itu. Sungguh tidak penting!’’ kata
Dampu Awang.

Sang ibu terus-menerus memanggil namanya.

‘’ Hei, perempuan tua! Diamlah! Kau bukan ibuku. Aku sudah tidak memiliki ibu. Ibuku sudah
lama meninggal!’’ kata Dampu Awang sangat kesal.

Sang ibu sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan anak laki-lakinya itu. Kini ketakutannya
menjadi kenyataan. Hatinya bagaikan teriris-iris. Kini, anak kandungnya sendiri tidak
mengakuinya sebagai ibunya. Air matanya pun membasahi pipinya. Tanpa sadar ia berdoa.

‘’ Ya Tuhan, apakah aku salah? Jika dia bukan anakku Dampu Awang, biarkanlah dia pergi.
Tetapi, jika dia anakku. Tolong berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!’’ doa sang ibu.

Tidak lama kemudian, bumi seketika bergetar. Langit bergemuruh. Petir pun menyambar sangat
dasyat. Langitpun berubah menjadi sangat gelap. Tiba-tiba, terjadilah badai. Kapal layar Dampu
Awang yang sagat mewah itu terombang-ambing di lautan. Seluruh isinya porak-polanda.
Dampu Awang dan istrinya sangat panik dan bingung
Tiba-tiba, Burung peliharaan Dampu Awang berbicara.

‘’ Dampu Awang! Akuilah perempuan itu sebagai ibumu. Cepatlah akui dia!’’ kata sang Burung.

‘’ Tidak, ibuku sudah lama mati.’’ Teriak Dampu Awang.

Seketika, kapal layar Dampu Awang tiba-tiba terangkat ke udara dan terlempar ke sebelah
selatan dan seluruh isinya. Kapal itu tertelungkup dan membentuk sebuah gunung. Dampu
Awang dan istrinya tidak dapat menyelamatkan diri. Setelah itu lautan kembali seperti semula
dan seolah tidak terjadi apa-apa.

Gunung tersebut di kenal dengan nama Gunung Pinang. Dan hingga kini, gunung tersebut masih
ada dan letaknya di antara kota Serang dan Cilegon.
Pada Zaman dahulu kala di sebuah pesisir pantai kota Banten, hidup seorang janda beserta satu
anak laki-lakinya, Dampu Awang. Dampu Awang yang melihat sebuah kapal besar menepi di
dergama terkesima dengan keindahan kapal tersebut, nan megah dan besar. Memiliki sebuah
kapal adalah keinginan Dampu Awang sejak dulu. Saudagar tua yang melihat Dampu Awang
kemudian mengajak dia untuk menjadi anak buah dikapalnya. Dampu Awang langsung
menerima tawaran tersebut, tetapi harus dengan persetujuan orang tuanya.

Saat meminta ijin kepada ibunya, awalnya tidak diijinkan karena Dampu Awang merupakan
anak satu satunya, namun setelah beberapa waktu Dampu Awang diijinkan dan ikut pergi.
Kerjanya yang rajin dan cekatan membuat Dampu Awang naik jabatan lebih cepat. Ia dinikahkan
oleh anak satu-satunya Saudagar tua. Beberapa tahun kemudian Saudagar tua itu meninggal,
Dampu Awang menjadi pengganti kedudukan Saudagar tua tersebut yang merupakan mertuanya.

Beberapa tahun kemudian, Dampu Awang dan istrinya merapatkan kapal mereka ke pelabungan
tempat Dampu Awang dulu tinggal. Ibu Dampu Awang yang mengetahui itu anaknya
memberitahu  bahwa Saudagar kaya raya itu anaknya namun karena malu Dampu Awang tak
mengakui perempuan tua itu ibunya. Karena merasa tersakiti, ibu Dampu Awang berdoa dan
meminta balasan yang setimpa untuk anaknnya. Tak lama petir dan angin menyambar kapal yang
dampu awang tumpangi dan menerbalikan kapal tersebut. 

Tak lama kemudian kapal tersebut berubah menjadi gunung yang disebut warga setempat
Gunung Pinang. Itulah asal mula terciptanya Gunung Pinang yang dipercayai warga setempat
dulu yang tinggal disana. 

Penulis : Wiwin Husnul Hotimah 

Jaman sengen ning pinggir laut, ning kote Banten, urip jande tue lan pecil lanang sios-
siose, kasihe enggih puniku Dampu awang. Dampu awang kesime ningali kapal kang
gede,bagus lan megah, kang minggir ning pelabuhan.

Ngederebeni kapal, niku cite-cite Dampu Awang sembarang alit. Saudagar kang
ngederebeni Kapal, ningali Dampu Awang. terus ngajak kangge dados anak buah ning
kapale. Dampu Awang langsung nerime tawaran saking Saudagar kapal. Namun kedah
wenten persetujuan wong tuane Dampu Awang.

Saudagar : nak, ningali nape nak ?

Dampu Awang : boten pak, Cuma ningali kapal niki, wah gede amat enggih, kapale

Saudagar : nak, ayun tah milet kule medamel ning kapal niki.

Dampu Awang : enggih pa, enggih ayun….!

Saudagar : Lamun bener ayun milet medamel ning kule, kedah ngende izin
krihin ning wong tue.. enggih

Dampu Wang : enggih… pa…

Dampu awang ngerase senang, lan langsung nemoni ibune, lan ngende izin…

Waktos ngende izin sereng wong tuane, waone boten diizinaken, krane Dampu Awang
puniku pecil sios-siose, namun Dampu awang terus ngeririhi, akhire Dampu awang antuk
izin saking ibune. Akhire Dampu Awang milet atawe medamel dados Awak Kapal
Saudagar.

Krane Dampu awang puniku uwonge rajin, pedamelane rapih lan bagus, mangke Dampu
awang cepet naik jabatane. Singkat cerite Dampu awang dinikahaken sereng pecil wadon
sios-siose Saudagar Kapal. Pinten pinten tahune Saudagar Kapal niku ninggal dunie,
Dampu Awang Dados penggantos kedudukan Saudagar, enggih puniku Mertuane.

Pinten taun seterase, Dampu Awang lan rayate ayun ning griye Ibune ataunapi ayun ning
kampung sengen tinggale, Ibune Dampu Awang kang ningali pecile mantuk atau napi
mudik, langsung ngampiri kapal puniku, namun sesampune ning tempat, Dampu Awang
boten ngakui ning Ibune Puniku, krane isin ning rayat lan anak buahe.

Krane ibune niku lare ati, boten diaku sereng pecile, lalu Ibune ngende Do’a maring
Allah, Kangge ngewales pecile puniku krane boten ngakui ibune.

Boten lami, gledeg lan angin kang gede nyamber Kapal Dampu Awang, lan ngebalikaken
kapal puniku.

Selanjute kapal puniku rubah dados gunung, kang diisungi aran sereng warge setempat
enggih puniku Gunung Pinang.

Nikulah asal mule Gunung Pinang.

Anda mungkin juga menyukai