Anda di halaman 1dari 3

Cerita Rakyat Bangka Belitung, Asal

Usul Batu Balai


 

Batu Balai merupakan sebuah batu besar yang menjadi icon Kecamatan Mentok Kabupaten Bangka
Barat Provinsi Bangka Belitung. Batu Balai memiliki kisah asal usul yang masih diceritakan secara
turun-temurun hingga sekarang.

Pada suatu waktu tersebutlah seorang pemuda bernama Dempu Awang, sehari-hari dia bekerja
membersihkan ikan yang baru ditangkap oleh para nelayan.

Dempu Awang tinggal berdua sama ibunya, ayahnya telah lama meninggal semenjak Dempu Awang
masih kecil. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibunya bercocok tanam di sebuah ladang kecil
dibelakang rumah mereka. Dempu Awang berjalan pulang kerumahnya sambil membawa beberapa
ekor ikan kecil.

Begitulah setiap hari Dempu Awang bekerja dan mendapatkan upah beberapa ekor kecil. Malam
harinya, seperti malam-malam sebelumnya. Dempu Awang makan bersama ibunya. Dempu Awang
setiap hari bekerja untuk mendapatkan lauk pauk. Sedangkan ibunya bekerja untuk mendapatkan
beras.

Ketika malam telah larut, Dempu awang berbaring di ranjang yang beralaskan tikar.
Namun, sepertinya malam itu ada yang menganggu pikirannya. Dia sedang memikirkan
sesuatu yang sangat berat.

Pagi harinya, ketika berangkat bekerja. Dempu Awang menyempatkan diri berbicara
dengan seorang nahkoda kapal. "Selamat pagi tuan nahkoda,"kata Dempu Awang."Ya,
selamat pagi juga. Bukankah kamu yang bekerja ditempat pembersihan ikan itu,"jawab
nahkoda itu.

Iya tuan,"ucap Dempu Awang. Bukankah seharusnya kamu bekerja, kenapa kamu malah
kemari?"tanya nahkoda itu. Lalu, Dempu Awang pun menjawab,"Tuan apakah kapal itu milik
tuan?"

Hahaha,tentu saja bukan. Kenapa?"ucap nahkoda itu. "Hmmm... begini tuan, saya ingin
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Jika tuan sudi memberikan saya pekerjaan.
Tentu saya sangat senang sekali," kata Dempu Awang. Nahkoda oun berpikir dan
menjawabnya,"Hmmm...ya ya ya, setiap hari kamu bekerja hanya dibayar dengan
beberapa ekor ikan kecil. Kapal ini milik seorang saudagar di Banda Malaka, besok pagi
aku akan membawamu ke Bagaimana?"

"Wah terima kasih tuan, tentu saja saya akan ikut,"kata Dempu Awang dengan senang.
Hari itu, Dempu Awang mendapatkan harapan baru. Wajahnya pun lebih ceria dari
biasanya. Malam harinya, dia pun berbicara kepada ibunya."Jadi, kamu besok akan
pergi ke Malaka?"tanya ibu dengan wajah sedih."Iya ibu, pagi-pagi sekali aku akan
berangkat,"jawab Dempu Awang.

"Lalu siapa yang akan menjaga ibu nak, ibu sudah tua,"ucap ibu."Ibu, aku pergi tidak
akan lama dan akan segera kembali. Lagipula kepergian ku ini kan juga demi
membahagiakan ibu,"kata Dempu Awang.

Ibu Dempu Awang pun melepas kepergian anaknya dengan berat hati. Selama berada di kapal,
Dempu Awang bekerja membersihkan geladak kapal. Dengan pekerjaan tersebut. Dempu
Awang mendapatkan upah makan dan minum selama perjalanan.

Setelah beberapa hari berlayar, akhirnya kapal yang membawa Dempu Awang sudah
mendekati Banda Malaka yang terkenal itu. Seperti janjinya, nahkoda itu membawa
Dempu Awang menemui saudagar pemilik kapal. Melihat kesungguhan Dempu Awang,
saudagar itu pun memberinya pekerjaan di salah satu gudang miliknya.

Meskipun hanya diberi pekerjaan sebagai buruh kasar, namun Dempu Awang tetap
bahagia. Karena penghasilannya lebih baik dari pada membersihkan ikan di kampung
halamannya. Seiring berjalannya waktu, saudagar itu mengangkat Dempu Awang
sebagai kepala gudang.

empu awang yang bekerja dengan giat dan dapat dipercaya, membuat saudagar
memberikan posisinya tersebut. Beberapa tahun kemudian, ketika uang tabungannya
sudah cukup. Dempu Awang pun membeli sebuah kapal, sekarang dia sudah berhasil
menjadi seorang saudagar.

Setelah mampu membeli beberapa kapal lagi, Dempu Awang yang sudah menjadi
saudagar kaya raya itu. Menikahi seorang putri bangsawan. Setelah menikah, istri
Dempu Awang terus bertanya tentang keluarga suaminya. Dia ingin bertemu dengan ibu
mertuanya.

Sudah berkali-kali kakanda berjanji untuk mengajak adinda ke kampung halaman. Tapi,
hingga hari ini tidak kunjung menepati janji,"ucap istrinya. Dempu Awang lalu berpikir
sejenak dan menjawabnya,"Hmmm... baiklah akhir pekan ini kita berlayar menuju ke
kampung halaman kakanda."
Setelah beberapa hari berlayar, Dempu Awang dan istrinya tiba di pantai kampung
halamannya. Betapa bahagianya istri Dempu Awang, akhirnya bisa berkunjung ke
kampung halaman suaminya.

Ketika turun di pantai, Dempu Awang tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah suara."Dempu
Awang, kau kah itu?"kata seseorang disana."Iya, aku Dempu Awang,"jawab Dempu
Awang.

Wah, kau sudah menjadi saudagar rupanya,"tanya orang itu."Ya begitulah, seperti yang
kau lihat." Lalu Dempu Awang pun meminta untuk memanggilkan ibunya dan
memberikan koin emas kepada orang tersebut.

"Kakanda, bukankah seharusnya kita yang datang?Tidak pantas rasanya memanggil ibu
kesini,"ucap Istrinya."Sudahlah, tidak usah kau pikirkan. Ayo kita tunggu di atas kapal,"
ucap Dempu Awang.

Tidak lama kemudian, ibunya pun datang."Dempu Awang, kau kah itu nak?"ucap ibunya.
"Kakanda, benarkah dia ibumu? Kalau benar, ayo kita segera turun untuk
menyambutnya,"kata istrinya.

api Dempu Awang tidak segera menjawabnya, tatapannya masih tertuju pada
perempuan yang memang ibunya itu."Kakanda,"panggil istrinya."Dia bukan ibuku, ayo
kita kembali saja ke Malaka,"ucap Dempu Awang.

"Tetapi l, bukankah dia datang bersama dengan tetanggamu itu?"tanya istrinya."Ah,


tetangga ku itu seorang pembohong. Hai perempuan tua, kau bukan ibuku. Ibuku sudah
lama meninggal,"ucap Dempu Awang.

Betapa terkejutnya hati ibu Dempu Awang, mendengar apa yang baru saja diucapkan
oleh anaknya."Dempu Awang, dia benar-benar ibumu,"kata orang tersebut."Hah, dasar
kau si pembohong,"jawab Dempu Awang.

apal itupun pelan-pelan mulai menjauh dari pantai."Mak, aku tidak habis pikir,"kata orang
tersebut."Dia malu mengakui ibunya yang miskin dan tua ini, dia sudah menjadi saudagar
sekarang. Ya Tuhan, berilah pelajaran bagi anak yang durhaka kepada ibunya" ucap ibu Dempu
Awang.

tidak lama kemudian badai pun datang, dan ketika cuaca telah cerah tiba-tiba saja muncul
sebuah batu besar yang menyerupai sebuah kapal. Oleh masyarakat setempat, Batu besar itu
kemudian disebut dengan nama Batu Balai, karena tempatnya berdekatan dengan sebuah Balai
pertemuan.***

Anda mungkin juga menyukai