Anda di halaman 1dari 8

TUGAS BAHASA INDONESIA

CERITA PENDEK (CERPEN)


D
I
S
U
S
U
N
OLEH : MICHAEL YOHANES
KELAS : XC/17

BADAI LAUT BIRU


SIANG  itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara.
Tiang-tiang layar perahu bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-perau
tua itu bagai menari-nari di bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan, dalam
rutinitas, mengikuti kehendak sang alam.

Di atas pasir hitam, tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-bekal
pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak
perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang keras.
Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental.

Karena guncangan itu, keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak.
Dengan cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap hanya satu
keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan keranjang itu ke
perahu, sehingga hampir saja mengenai kawannya yang sedang berdiri di geladak, merapikan
letak tali layar perahu dan jaring-jaring ikan.

Melihat Kardi kepayahan, lelaki di geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi
dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu
memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Kardi sudah hampir lunglai.
Salim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak lalu dengan kedua tangannya yang kekar
dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Kardi sudah tidak kuat mengangkat
tubuhnya sendiri. Salim kembali membantunya, menarik tangan Kardi sampai berhasil naik ke
geladak.

"Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau pingsan," ejek Salim. Kardi hanya
tersenyum pahit sambil terus merebahkan tubuhnya di pinggir geladak.

Perahu mereka sesungguhnya sudah sangat tua. Umurnya kira-kira seusia kapten mereka, Pak
Ruslan, yang sudah mengawaki perahu itu sejak 20 tahun lalu. Berawak sembilan orang. Enam
orang lelaki dewasa, dua orang anak lelaki dan seorang gadis-anak Pak Ruslan-sebagai tukang
masak. Panjang perahu kira-kira dua puluh dua meter dengan lebar kira-kira enam meter.
Memiliki layar putih yang sudah mulai kecokelatan dan sudah banyak tambalannya, namun
mereka belum sempat menggantinya dengan layar yang baru.

Kardi masih berbaring di pinggir geladak ketika ombak semakin ganas menghantami dinding
perahu. Dia bagaikan tidur di pinggir ayunan yang lebar dan hangat, membiarkan panas matahari
menyengati kulit tubuhnya yang cokelat kehitaman. Seolah dia sudah biasa dibakar sinar
matahari seperti itu. Dia sudah tidak pernah lagi ingin memiliki kulit tubuh yang kuning seperti
ketika masih sekolah di SMA dua tahun yang lalu.

Kardi masih ingat betul ketika itu memiliki kulit tubuh yang kuning dengan perawakan tinggi
dan wajah simpatik. Dia masih ingat betul, ketika itu diperebutkan beberapa gadis yang
tergolong berwajah cantik. Dan, dia masih ingat betul ketika berpacaran dengan gadis keturunan
Tionghoa, teman sekelasnya. Namun, semuanya telah berlalu bersama kegagalannya meraih cita-
cita masuk Akabri. Bersama hilangnya warna kuning kulitnya. Direnggut sang waktu.
Selama dua tahun dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya,
namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Kardi ikut menjadi awak perahu milik
sang ayah sampai sekarang. Kini dia pasrah saja pada kehendak alam, kehendak sang nasib,
kehendak waktu. Akan menjadi apa dia kelak, akan seperti apa kulit tubuhnya, dia pasrah saja.
Sedangkan Salim adalah anak pamannya yang bernasib sama, gagal masuk perguruan tinggi
negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran.

"Angkat sauh, kita akan segera bertolak!" seru Pak Ruslan dari haluan.

Kardi kaget dan segera bangkit. Dia melihat seseorang telah terjun ke air dan segera melepaskan
tali perahu yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Kardi segera membantunya dengan menarik
tali itu dan menaikkannya ke geladak. Di cakrawala utara tampak mendung hitam bergumpalan.
Angin bertiup sedang dari arah barat laut. Tapi, matahari masih tampak bersinar, condong ke
ufuk barat.

Dayung-dayung berkecimpung dan perlahan-lahan perahu tua itu meninggalkan daratan melaju
ke arah timur laut, semakin ke tengah dan terus ke tengah.

"Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan akan berganti arah," teriak Pak Ruslan.

Seorang awak perahu memanjat tiang layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama seorang
awak perahu yang lain melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan tali
layar membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke
samping kanan. Parahu menjadi tidak seimbang dan miring. Dengan refleks para awak perahu
mencari keseimbangan.

"Belokkan haluan ke kanan!" teriak sang kapten lagi.

Juru mudi segera menekankan sirip kemudi melawan arus air di sebelah kanan ekor perahu.
Kardi dan Salim membetulkan letak layar dengan menarik tali-talinya. Perahu pun perlahan-
lahan membelok 60 derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang.

Jala-jala yang berwarna biru tua mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah
disiapkan. Kail-kail itu masing-masing diberi pengapung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke
dasar laut. Jarak antara pengapung dan kail sekitar satu meter. Masing-masing diberi umpan
sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan yang memakan umpan,
kayu pengapung akan terlihat tertarik-tarik timbul tenggelam di permukaan air itu tertarik
menurut larinya ikan.

Tarikan dan gerakan pengapung itu kadang-kadang cepat dan keras, kadang-kadang lemah dan
perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik umpan
dengan cepat dan keras. Ikan tongkol dan ikan tengiri suka memakan umpan dengan
menghentak-hentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih
pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap.
Jala-jala yang dipasang di kanan kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau
sewaktu-waktu bilamana perlu. Sedangkan jala-jala lempar akan dilempar sekali-sekali atau
berkali-kali apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya. Seorang
nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak mengandung ikan
dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya.

Perahu tua itu masih melaju dengan tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang
mereka tuju seperti hari-hari kemarin. Pada saat demikian para awak perahu dapat beristirahat
sebentar untuk melepaskan lelah. Kardi dan Salim duduk di emper gubuk perahu, memandang
langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam, Matahari timbul tenggelam di
balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut yang semakin tampak biru. Ikan-ikan kecil
banyak berloncatan di kanan kiri perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang-kadang masuk ke
geladak perahu.

Kardi mengambil sebungkus rokok dari saku celanannya lalu menawarkannya kepada Salim.
Salim melolos sebatang, dan dijepitkan di belahan bibirnya.

"Tumben kau membawa jarum super!"

" Kan kemarin dapat hasil banyak," sahut Kardi seenaknya. Mereka berdua menyulut rokok,
mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Sampai di udara asap rokok itu buyar
di koyak-koyak angin laut.

"Kalau hasil kita begitu terus enak, ya."

"Ya, hidup kita bisa sedikit senang. Tapi sekarang panen ikan baru seminggu saja sudah abis,
dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu, sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita
nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-
apa. Sedangkan sekarang dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk membeli
perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Kardi.

"Sekarang kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroprasi di
daerah kita."

"Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan
bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita."

"Apakah kita tak pernah lapor tentang pelanggaran-pelanggaran mereka?"

"Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi
modern kadang-kadang bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Dan sulitnya lagi kita hidup
di negara yang hukum dan undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh."
"Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelayan kecil melawan nelayan pukat harimau
di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedi pembunuhan?"

"Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa orangnya yang tidak jengkel kalau sumber
pangannya dirampok oleh orang lain? Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak dulu-dulu kita
sudah bentrok dengan para perampok itu."

"Ya, Di. Aku pun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya semakin membuat kita tidak berdaya."

"Itulah, Lim. Situasi hanya semakin memojokkan kita sehingga kita semakin tidak berdaya,
kecuali hanya memendam kejengkelan yang semakin mendalam."

Tidak terasa dua batang rokok telah mereka habiskan. Perahu masih melaju dengan tenang.
Mendung hitam semakin banyak bergumpalan di langit.

"Kau tidak lapar, Lim?"

"Lapar sih lapar, tapi itu dewimu belum selesai memasak. Rukmi, sudah masak belum? Ini
Romeomu suda kelaparan!" Salim berolok-olok, Kardi cuma senyum-senyum saja.

"Sebentar lagi!" teriak Rukmini dari dalam gubuk.

Akhir-akhir ini Salim dapat mengetahui adanya hubungan batin antara Kardi dan Rukmini. Salim
sering melihat pada saat-saat senggang Kardi dan Rukmini duduk berdua di buritan atau di
emper gubuk. Salimpun dapat menangkap bahwa Rukmini selalu memberikan pelayanan yang
istimewa kepada Kardi. Meskipun kadang-kadang dengan agak malu-malu. Secara tak sengaja
Salim pernah memergoki Kardi sedang mencium Rukmini di belakang gubuk perahu seperti
Slamet Raharjo mencium Christine Hakim dalam film Cinta Pertama yang pernah mereka
tonton. Mesra dan lembut.

"Lim, menurutmu Rukmini itu bagaimana?"

"Cakep. Hitam manis," jawab Salim singkat.

"Ya, tentu saja hitam manis. Mana ada gadis nelayan yang kuning langsat seperti model iklan
bedak di tivi."

"Ada saja."

"Siapa?"

"Gigimu."

"Bah! Memangnya gigimu selalu kau pepsodent. Aku serius lho, Lim. Maksudku, aku cocok
tidak dengan dia?"
"Cocok sekali. Tir pada irenge , sir pada jalitenge . Ya, sama-sama hitamnya. Kalau menjadi
satu semakin kelam seperti kepala kereta api kuno."

"Jangan berkelakar, Lim. Ini sungguh-sungguh."

"Memangnya aku tidak sungguh-sungguh."

"Begini Lim, umurku dua puluh dua tahun, sedangkan umurnya baru enam belas tahun."

"Selisih enam tahun. Selisih umur yang bagus untuk suatu perkawinan."

"Kau sok tahu saja."

Salim tertawa kecil.

Perahu mulai memasuki daerah sarang ikan. Para awak perahu mulai sibuk melayani alat-alat
penangkap ikan. Kardi dan Salim menceburkan diri ke dalam kesibukan itu. Ada sebuah Pukat
Harimau yang sedang beroprasi di situ. Padahal daerah itu termasuk daerah terlarang bagi pukat
harimau. Ketika kedua perahu itu berdekatan, Pak Ruslan bertepuk tangan dengan keras lalu
mengacungkan kepalnya dengan maksud agar sang pukat harimau segera menyingkir dari tempat
itu. Rupanya sang pukat harimau tahu diri. Perahu itu segera menyingkir ke tengah.

Para awak perahu Kardi semakin sibuk dengan ikan-ikan yang tertangkap jala dan kail mereka.
Dua keranjang sudah hampir penuh ikan. Dalam kesibuk-an itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
pukat harimau tadi yang melaju dengan cepat dari timur laut ke arah perahu mereka. Pak Ruslan
segera berdiri dan menanti apa maksud perahu itu. Ketika sang pukat sudah sangat dekat dengan
perahu Kardi, seseorang yang sedang berdiri di haluannya berteriak keras, "Cepat tinggalkan
tempat ini! Pesawat radar kami mengisyaratkan bahwa badai akan melanda tempat ini!"

Pak Ruslan hampir tidak percaya dengan berita itu. Kardi menatap langit. Langit telah berubah
menjadi kelam dengan medung hitam yang bergumpalan tebal berarak ke selatan. Langit seperti
mau runtuh. Pak Ruslan segera melihat berkeliling. Dia melihat tanda-tanda yang aneh. Laut di
sekeliling perahunya tampak tenang tanpa ombak sedikitpun. Bagai laut mati. Dia yang sudah
berpengalaman segera memberi perintah: "Cepat kita tinggalkan tempat ini! Badai betul-betul
akan datang!"

Para awak perahu bagai tersentak. Semua segera kembali ke bagiannya masing-masing. Haluan
diputar. Kemudian dengan dibantu dayung-dayung, perahu segera dilaju ke barat daya. Namun
terlambat. Suara gemuruh sekonyong-konyong datang dari arah timur laut.

Angin mendadak menerpa sangat keras, disertai ombak yang semakin besar menghantami
dinding perahu mereka tanpa kenal ampun. Perahu tua itu terguncang-guncang keras. Dengan
susah payah mereka menggulung layar untuk menghindari amukan angin. Tapi angin kencang
lebih kuat menghantamnya. Layar tua itu terkembang kembali dengan keras bagai dihentakkan.
Perahu hampir terbalik. Dan "kreeekk," layar tua itu robek. Perahu terayun-ayun keras bagai
sepotong papan yang tak berarti, lalu perlahan-lahan miring ke kanan dan seluruh isi geladak
tiba-tiba terlempar ke laut.

Pak Ruslan dengan sigap melemparkan ban-ban dan pelampung. Kardi terbanting ke geladak
dengan keras ketika sedang berusaha mengambil sebuah ban yang tergantung di ujung buritan.
Rukmini dengan wajah pucat berpegang erat pada tinag pintu gubuk. Ia mejerit keras ketika tiang
layar di depannya patah diterjang angin dan terempas ke buritan. Dan, "brruuuaaakk!" gubuk
reyot di atas perahu itu pun dihempaskan angin dan roboh menghantam dinding parahu.

Bersamaan dengan itu, Pak Ruslan yang masih berpegangan pada dinding perahu berteriak keras:
"Selamatkan diri kalian masing-masing. Perahu akan terbalik. Bersamaan dengan itu pula Kardi
meloncat ke laut. Namun, begitu mendengar jeritan Rukmini, dia segera berbalik dan merangkak
naik kembali ke perahu. Separo tubu Rukmini tertindih pagar yang roboh tadi. Kardi mengangkat
pagar itu. Rukmini merangkak keluar. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup.

Pada detik-detik yang menegangkan itu, dengan cepat Kardi menarik tubuh Rukmini untuk
bersama-sama meloncat ke laut yang bergelombang besar. Ketika keduanya masuk ke air,
Rukmini terlepas dari pegangannya dan tenggelam ditelan ombak. Dengan mata dan tangannya
dia mencari-carinya. Sepintas dia melihat perahunya terbalik. Pada saat terakhir itu Pak Ruslan
meloncat ke laut. Semuanya berlangsung dengan sangat cepat.

Kardi melihat Rukmini muncul dari dalam air dengan gelagapan. Dia cepat-cepat mengejarnya
dan dia berhasil mengepit tubuh Rukmini dengan tangan kirinya. Lalu berenang dengan susah
payah. Rukmini lemas.

"Aku tidak bisa berenang lagi, Mas. Rasanya kakiku ada yang patah."

"Kuatkan hatimu, Rukmi. Berdoalah semoga badai segera reda dan pertolongan segera datang."

"Tubuh Kardi juga semakin lemas. Dia hanya dapat berusaha untuk mengambang saja di
permukaan air. Untung badai semakin reda. Namun dia menyadari bahwa kekuatannya sangat
terbatas. Mungkin sebentar lagi tenaganya habis dan tentu saja akibatnya sangat fatal kalau
pertolongan tidak segera datang. Kardi ngeri memikirkan itu. Matanya mencari-cari kalau-kalau
ada kayu atau ban yang terapung di sekitarnya yang dapat digunakan untuk tempat bertumpu.

Pada saat itu Pak Ruslan juga sedang berjuang mati-matian. Dengan susah payah ia berhasil
menjebol selembar papan geladak perahu yang telah terbalik dan dengan selembar papan tersebut
dia bermaksud mencari anaknya.

"Kardi. Rukmini. Syukurlah kalian masih hidup. Papan ini hanya cukup untuk kalian berdua.
Pakailah." Pak Ruslan memberikan papan itu pada mereka.

"Pak Ruslan bagaimana?"


"Jangan pikirkan diriku yang sudah tua begini. Kalian masih punya harapan hidup yang panjang.
Selamatkan anakku!"

Pak Ruslan meninggalkan mereka, berenang menembus ombak, dan hilang dari pandangan
mereka. Melihat itu, Rukmini menelungkupkan mukanya ke atas papan dan menangis sejadi-
jadinya.

Sekitar setengah jam kemudian, badai benar-benar reda dan laut pun kembali tenang. Kapal
pukat harimau tadi mendekati mereka dan mengangkat keduanya. Sampai di geladak keduanya
pingsan.

Seperempat jam kemudian Kardi membuka matanya. Salim sudah berjongkok di sampingnya
sambil tersenyum-senyum. Rukmini juga terbangun dan duduk bersandar pada dinding perahu.

"Oh, Lim. Di mana kita sekarang?"

"Di atas pukat harimau. Kita tidak jadi masuk akherat."

"Di mana Pak Ruslan dan yang lain?"

"Jangan khawatir. Semuanya selamat. Cuma kau dan dewimu yang pingsan. Maklum, kalian
memang bukan pelaut sejati."

"Kalau tadi Pak Ruslan tidak memberikan selembar papan kepada kami entah kami sudah jadi
apa. Mungkin telah tenggelam berdua dimakan hiu. Dia memang betul-betul seorang kapten
yang bertanggung jawab."

"Ya.... Untung tadi aku kebagian sebuah ban. Nah, sekarang kusarankan padamu. Cepat-cepatlah
nikahi Rukmini. Jangan berpacaran di tengah laut lagi, agar tidak dikutuk Dewa Laut seperti
tadi."

Kardi cuma tersenyum kecut. Rukmini tersipu-sipu. Dengan cengar-cengir Salim lantas
meninggalkan mereka menuju buritan.

Anda mungkin juga menyukai