Anda di halaman 1dari 220

1 | Cututun Huriun Ngudu 4

Catatan Baiian
Ngaua 48
$N-Jf Aakztza J
Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Hamparan kepulauan yang membentang,
itulah negeriku Indonesia
Terdiri dari suku bangsa
kita semua bersaudara
Berbeda tetapi satu jua
semboyan Bhineka Tunggal Ika
Satu bahasa, satu bangsa, mari cerdaskan Indonesia
(TeamFive, dipopulerkan Ngada48)
3 | Cututun Huriun Ngudu 4
SeIuyung Pundung
Ide unfuk membukukon pengoIomon mengobdi di doeroh
penempofon sudoh muncuI sejok komi membour dengon
funos-funos bongso don mosyorokof Mgodo. AIhomduIiIIoh,
honyo dengon kuoso don kehendokMyo komi biso
menyeIesoikon buku ini yong diberi juduI Cofofon Horion
Mgodo 48.
I;inkonIoh komi menyompoikon ferimokosih kepodo pihok-
pihok yong feIoh memberi dukungon penuh hinggo buku ini
dopof ferseIesoikon dengon boik. Iepodo Dinos PIPO
Iobupofen Mgodo, kepodo Universifos Megeri Yogyokorfo,
don fok Iupo kepodo generosi emos yong feIoh menjodi bogion
dori pengobdion komi. TerusIoh bermimpi don berjuong,
Indonesio okon bonggo dengon koIion.
Mgodo 48
SM-3T Iobupofen Mgodo
Angkofon 3
4 | Cututun Huriun Ngudu 4
Riung, Surga yang Hilang di Flores
Dewi Komalasari
Pagi, hari pertama menghirup angin segar di Kota Bajawa.
Kami ber-48 dikumpulkan di Kantor Dinas PKPO setempat untuk
mengikuti seremonial penerimaan SM-3T angkatan tiga dan
pelepasan SM-3T angkatan dua. Masing-masing dari kami sudah
dijemput kepala sekolah untuk menuju daerah penempatan, sedang
aku masih menunggu jemputan. Kata orang dinas aku ditempatkan di
SMK Negeri Riung.
Aku berdiam diri di depan kantor dinas dengan pikiranku yang
mengawang entah kemana. Kepala dinas hampir saja meminta anak
buahnya untuk mengganti daerah penempatanku, namun disaat yang
bersamaan seorang bapak memunculkan batang hidungnya. Katanya
dia kepala sekolah di SMK Riung, namnya Gerardus Jewaru. Nah,
akhirnya jemputanku datang juga.
Perjalanan dilanjutkan dengan menumpang oto alias bus
Gemini. Aku bergabung dengan penumpang-penumpang yang lainnya
di dalam bus. Inilah pertama kalinya aku mendengar penduduk asli
Flores berbicara dengan dengan bahasa Flores. Masyarakat Flores
pada umumnya ternyata juga mampu berbicara bahasa Indonesia
dengan fasih baik tua maupun muda.
Aku kembali merasakan jalan yang berliku bagai ular yang
meliuk-liuk. Kepala dan isi perutku ikut berputar-putar tak karuan tapi
rasa mabuk terobati oleh pemandangan yang terbentang di sepanjang
perjalanan. Deretan pohon kemiri yang pucuknya berwarna putih
tampak bagai pohon yang bersalju. Betapa sepinya tanah Flores. Jarak
dari satu rumah ke rumah lainnya mungkin sekitar satu kilometer.
Pemandangan yang tidak akan aku temui di tanah jawa yang sesak.
| Cututun Huriun Ngudu 4
Hamparan bukit yang hijau berdiri kokoh seolah menantang langit
untuk mengalahkan ketinggiannya.
Perjalananku menuju Riung ternyata cukup panjang dan
melelahkan. Jarak yang kutempuh dari kota Bajawa ke Riung kurang
lebih tujuh puluh kilometer. Perjalanan menghabiskan waktu empat
jam karena jalan yang penuh tikungan dan sempit. Akhirnya, tibalah
aku di sebuah desa bernama Lengkosambi Timur yang sedari tadi
sudah membuatku penasaran.
Kepala sekolah menitipkanku pada sebuah keluarga yang
beragama katolik, om Pius dan mama Sonya. Mayoritas penduduk
Riung memang menganut agama Katolik. Keluarga yang sangat baik
hati dengan toleransi beragama yang sangat tinggi. Mereka selalu
mengingatkanku jika jam sholat telah tiba. Mereka juga selalu
menyiapkan makanan halal untukku. Selama dua minggu aku
menjalani kehidupan disini. Selama itu pula aku sudah berhasil
menyembelih ayam sebanyak tujuh kali. Hal yang belum pernah
kulakukan sebelumnya. Aku juga banyak menemukan makanan
dengan rasa yang ajaib.
Anggur Flores
Sayuran yang paling nikmat menurutku di sini adalah pucuk
labu. Ada juga uwi alias ubi hutan berukuran raksasa. Satu tanaman
| Cututun Huriun Ngudu 4
yang digali cukup untuk dimakan sepuluh orang. Uwi yang direbus
rasanya manis dan gurih. Ada juga anggur Flores yang rasanya seperti
markisa, campuran manis, asam, dan segar. Penampakan yang sangat
jauh berbeda dengan anggur.
***
Hari minggu yang cerah pada minggu kedua aku mulai tinggal
di Riung dekat dengan kantor camat. Disini lebih ramai ketimbang
tempat tinggalku beberapa hari lalu. Aku diajak pesiar (jalan-jalan) ke
taman wisata alam 17 Pulau. Taman laut seperti apakah taman wisata
alam laut 17 pulau ini? Itulah pertanyaan yang timbul dalam benakku.
Kembali kepalaku berbintang karena begitu banyak pertanyaan
yang memburu untuk segera dijawab. Sambil berjalan menuju
Dermaga Nangamese yang biasa disebut oleh penduduk setempat
dengan dermaga apung karena dermaga disambung dengan rakit-rakit
kayu yang mengapung. Dermaga inilah yang menjadi titik awal
perjalananku mengelilingi taman wisata alam 17 Pulau.
Kami menyewa perahu motor untuk menuju ke masing-masing
pulau. Perahu motor dapat ditumpangi oleh maksimal dua puluh
orang dengan tarif tiga ratus ribu. Dari om Pius aku tahu bahwa
tempat wisata alam 17 Pulau ini merupakan gugusan pulau-pulau
kecil dan besar yang menjadi kebanggan penduduk setempat. Aku
catat nama-namanya, mulai dari Pulau Wire, Sui, Taor, Tembaga,
Tiga (pulau panjang), Bampa, Meja, Rutong, Patta, Halima (Pulau
Nani), Besar, Lainjawa, Kolong, Dua, Ontole (terbesar), Borong, dan
Pulau Pau.
Kami berangkat naik perahu motor jam lima pagi dari dermaga
Nangamese. Tujuan pertama kami adalah Pulau Rutong, masyarakat
setempat biasanya menyebutnya pulau pasir putih. Perjalanan ke
pulau pasir putih dari dermaga apung memakan waktu sekitar 15
menit.
7 | Cututun Huriun Ngudu 4
Pulau Rutong yang pertama kali ku kunjungi ini ternyata
keindahan sungguh luar biasa. Pasir yang putih dan lembut
membuatku bersemangat untuk bertualang mengelilingi pulau yang
satu ini. Semburat sinar matahari yang berwarna kemerahan mulai
terlihat dari ufuk timur membawa sinyal bahwa sang raja siang akan
segera menyembul keluar dari peraduannya. Melihat sinar matahari
terbit dari pulau Rutong ini sungguh pemandangan yang luar biasa.
Aku tak berhenti menyebut kebesaran Tuhan saat matahari perlahan
tapi pasti menyembul dari ufuk timur dengan anggunnya. Seolah tidak
ada yang lain yang berhak dipuji kecantikannya selain sang surya.
Perlahan tapi pasti cahayanya yang membulat menyebar hingga ke
seluruh penjuru langit membangunkan seluruh penduduk bumi yang
masih tertidur lelap.
Perjalanan mengelilingi pulau Rutong sama sekali tak terasa
melelahkan karena begitu banyak hal yang menarik perhatianku. Ada
banyak hal yang mau tak mau menyita perhatianku. Ada begitu
banyak bintang laut berukuran sebesar telapak tangan yang tersebar di
pesisir pantai dengan warna-warna yang menarik. Ada bintang laut
yang berwarna merah, biru, kuning dan ungu. Kami bermain
menyusun kata dari tumpukan bintang laut yang ada. Kami juga
membuat istana pasir dengan hiasan kulit kerang. Butiran pasir putih
yang halus sungguh memanjakanku, membuatku sedikit melupakan
kepenatan setelah menjalani rutinitasku mengajar di sekolah.
Pulau Rutong, salahsatu dari gugusan 17 pulau
| Cututun Huriun Ngudu 4
Puas mengelilingi pulau Rutong kami memutuskan untuk
berpindah pulau. Pulau Tiga adalah pulau yang kami kunjungi
berikutnya. Perjalanan ke pulau Tiga memakan waktu sekitar sepuluh
menit dari pulau Rutong. Pulau Tiga lebih luas dibandingkan dengan
pulau Rutong. Ada perbedaan yang bisa kujelaskan antara pulau
Rutong dan pulau Tiga. Pulau Rutong mempunyai pasir putih yang
halus sedangkan pulau Tiga memiliki pasir merica yang mempesona.
Butiran pasir kecil dan bulat sungguh menawan hati siapa saja yang
melihatnya. Snorkeling adalah pilihan yang tepat saat kita berada di
pulau Tiga. Terdapat banyak lokasi snorkeling yang menawan untuk
di jelajahi keindahan bawah lautnya. Aku dapat mengamati begitu
banyak ikan kecil warna-warni yang sangat lucu dan menggemaskan.
Ada ikan nemo yang berwarna oranye dan putih yang selalu menjadi
pusat perhatianku karena sangat populernya ikan ini dalam film
animasi finding nemo. Pemandangan terumbu karang pada kedalaman
satu hingga dua meter ini sangat cantik. Diving adalah pilihan
berikutnya, tetapi aku tidak mengambil pilihan itu karena aku
memang tidak bisa menyelam.
Om Pius menceritakan betapa indahnya mawar laut yang
terdapat dikedalaman empat sampai enam meter dari permukaan laut.
Mawar laut dengan warna merah merekah mengalahkan keindahan
bunga mawar di daratan. Aku termotivasi sekali untuk belajar diving
untuk bisa menyaksikan sendiri keindahan mawar laut yang terkenal
itu. Aku berharap pada kunjunganku yang berikutnya aku sudah
menikmati keindahan bawah laut di sini.
Ada sekitar 183 spesies karang dalam 16 famili dan 306
spesies dalam 39 famili ikan karang yang terdapat di kawasan taman
wisata alam 17 pulau. Itulah data yang berhasil kukorek dari Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. Selain itu ada
banyak spesies burung dan monyet ekor panjang yang terdapat di
kawasan ini. Salah satu yang berhasil kuperhatikan dalam
perjalananku kali ini adalah burung camar yang dengan gagah
menyambar menu makan siangnya, ikan mulut panjang. Aku sendiri
yang memberinya nama ikan mulut panjang berdasarkan penampakan
9 | Cututun Huriun Ngudu 4
yang kulihat secara sekilas. Kameraku pun tidak mampu
mengabadikan kejadian yang baru saja kusaksikan itu saking
cepatnya.
Kami pun makan siang di Pulau Tiga bersama-sama bersama-
sama dengan keluarga om Pius. Menu makanan kami sangat
bervariasi dan tentu saja enak-enak. Ada bubur kena kita. Makanan
ini merupakan sejenis bubur yang dicampur dengan ubi-ubian dan
kacang-kacangan di atasnya diberi taburan kelapa parut. Bubur
semakin enak karena disantap dengan potongan cabai rawit. Ada satu
yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat Flores pada umumnya
yaitu minuman yang mereka minum pada saat jamuan makan bukan
berupa air putih. Minuman yang mereka minum adalah sejenis
minuman beralkohol yang diperoleh dari hasil fermentasi nira aren.
Tentu saja bagi muslim tidak diperbolehkan minum moke. Sekali lagi
rasa toleransi yang tinggi, Om Pius dan anggota keluarga yang lain
tidak menawarkanku sama sekali untuk mencicipi moke. Bahkan
mereka minum sedikit menepi dari tempatku duduk.
Sehabis makan siang di pulau Tiga perjalanan kami teruskan ke
pulau Ontole. Pulau Ontole merupakan pulau yang terbesar di antara
gugusan pulau-pulau yang terdapat di kawasan taman wisata alam 17
pulau. Di pulau inilah pengetahuan baru kuperoleh. Suatu informasi
yang tidak pernah kuperoleh sebelumnya.
Pulau Ontole menyimpan harta yang sangat tak ternilai
harganya. Dialah si biawak raksasa yang namanya telah tenar ke
seluruh penjuru dunia, komodo. Selama ini aku hanya mengira bahwa
komodo hanya terdapat di pulau Komodo. Ternyata di pulau Ontoloe
ini kita juga bisa menemui komodo. Melihat komodo seperti kembali
ke masa lalu.
Aku berpikir bagaimana berjayanya hewan ini pada masa lalu.
Kini dia hanya bisa terkurung karena terpecahnya pulau-pulau yang
dulu menyatu pada masa lampau. Dalam hati aku bersyukur komodo
dulu akhirnya terperangkap di Indonesia dan menjadi kebanggaanku
dan seluruh bangsa Indonesia memiliki komodo di negaraku tercinta.
Aku semakin bahagia setelah mengetahui bahwa komodo tidak hanya
terperangkap di kawasan Taman Nasional Pulau Komodo tetapi juga
10 | Cututun Huriun Ngudu 4
di pulau Ontoloe ini. Semakin bangga aku dengan negeriku tercinta.
Aku berharap bisa menjaga warisan masa lalu ini selamanya.
Puas menikmati keindahan Pulau Ontoloe dengan komodonya
perjalanan kami lanjutkan ke pulau-pulau kecil lainnya dengan
keunikannya masing-masing. Seperti pulau Patta misalnya. Keunikan
dari pulau ini karena pulau ini dijadikan sebagai tempat pemakaman
oleh masyarakat Riung sehingga seringkali pulau ini disebut juga
dengan pulau makam oleh masyarakat setempat.
Ketika salah seorang dari anggota masyarakat meninggal dunia
maka jenasahnya akan di bawa dengan menggunakan perahu ke pulau
Patta untuk dimakamkan. Selanjutnya pulau-pulau berikutnya tidak
kami singgahi seperti Pulau Wire, Sui, Taor, Tembaga, Bampa, Meja,
Halima (Pulau Nani), Besar, Lainjawa, Dua, Borong, dan Pulau Pau.
Aku hanya mengabadikan penampakan pulau-pulau itu dengan
kamera. Hari memang sudah sore dan sebentar lagi matahari akan
tenggelam. Tujuan kami yang terakhir adalah Pulau Kalong atau
Pulau Kelelawar.
Pulau kelelawar sesuai dengan namanya memang penuh
dengan kelelawar. Melihat kelelawar yang begitu banyak
bergelantungan di cabang-cabang bakau aku membayangkan itu
adalah buah-buah dari bakau itu. Sore hari memang waktu yang tepat
untuk melihat kelelawar. Sore hari ketika matahari tenggelam adalah
waktu bagi kelelawar untuk keluar mencari makanan. Sebuah
pemandangan yang sangat mengesankan saat aku melihat ribuan
kelelawar yang awalnya tidur menggantung dengan posisi terbalik
tiba-tiba terbangun dan terbang. Suara-suara kelelawar yang
kelaparan sama sekali tak terdengar menakutkan bagiku seperti yang
biasa kubayangkan saat menonton film horor. Sayap-sayap kelelawar
yang tertimpa cahaya matahari senja berwarna merah keemasan tak
bisa kulewatkan begitu saja. Kameraku tak henti-hentinya
mengabadikan pemandangan yang sangat langka kutemui ini. Ribuan
kelelawar yang terbang bersamaan mencari makanan pada senja hari
yang teduh. Aku menikmati matahari tenggelam bersama ribuan
kelelawar itu. Ini adalah pengalaman paling romantis dalam hidupku
melebihi pengalaman candlelight dinner dengan pria idaman
sekalipun.
11 | Cututun Huriun Ngudu 4
Kelelawar yang menggantung di pohon di pulau Kelelawar
Perjalananku pada minggu ini ternyata belum berakhir. Lepas
dari kawasan taman wisata alam 17 Pulau yang masih menyisakan
begitu banyak pulau yang belum benar-benar kujelajahi. Mengingat
luas kawasan ini mencapai 9.900 hektare.
Aku menghadiri pesta pernikahan keluarga mama Sonya dan
om Pius. Aku kembali dibuat terkagum-kagum oleh keunikan budaya
masyarakat Flores. Pada acara pesta seperti ini ada sebuah tarian yang
memiliki ragam gerak yang unik menurutku. Tarian itu disebut jai.
Tarian yang menunjukkan betapa kompaknya masyarakat riung.
Musiknya yang heboh dengan suara sound system yang luar biasaa
keras hingga memekakkan gendang telinga. Siapapun boleh ikut
ambil bagian dalam tarian ini. Orang yang wajib ikut menari adalah
orang yang disarungkan selendang oleh penari.
Acara berlangsung hingga pagi menjelang dan tentu saja lebih
meriah dengan adanya moke. Setelah minum moke orang-orang yang
tadinya masih malu menari akan menari dengan sesuka hati. Sungguh
pengalaman yang luar biasa yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Semakin hari aku semakin bersyukur karena mendapatkan
kesempatan menginjakkan kaki di tanah Riung ini. Perasaan yang
sungguh berbanding terbalik dengan saat pertamakali aku datang.
Perasaan takut yang tak jelas. Aku semakin menikmati tinggal
ditengah masyarakat Riung yang rama-ramah dan menjunjung tinggi
1Z | Cututun Huriun Ngudu 4
toleransi beragama. Toleransi masyarakat yang tinggi dibalut dengan
keindahan alam yang menakjubkan. Sungguh Riung benar-benar
surga tersembunyi yang sayang untuk dilewatkan keindahannya. Aku
berharap pesona Riung akan terus seperti ini hingga akhir zaman.
Terima kasih Tuhan untuk semua kesempatan yang telah Kau berikan
kepadaku. Terimakasih SM-3T, tanpa program SM-3T tidak mungkin
aku dapat menginjakkan kaki di tanah Flores. (*)
13 | Cututun Huriun Ngudu 4
Memilih Dipukul Ketimbang Merangkum
Azifatun Nazaka
Ibu, pukul saja tangan saya dengan bambu dari pada ibu hukum
saya dengan merangkum materi, itulah kalimat termiris yang pernah
aku dengar di sekolah pengabdianku.
Memukul menjadi budaya yang sepertinya sudah mendarah
daging bagi dunia pendidikan di pulau yang kaya akan bahasa dan
budaya ini. Banyak orang bilang kalau Flores adalah Jawa sepuluh
tahun yang lalu, saat itu aku hanya bisa diam. Murid dipukul akibat
terlambat, berkelahi, atau pun mabuk, aku juga hanya bisa diam. Tapi
saat aku mendengar seorang murid memilih dipukul daripada
merangkum materi, kali ini aku tak bisa diam. Keberadannku disini
adalah adalah untuk mengabdi, berbagi dengan mereka.
Guru yang tegas dan keras kupikir menjadi salah arti disini. Aku
sering menjumpai seorang guru yang mengajar dengan membawa
sebilah bambu. Seketika ada pertengkaran hebat dalam benakku
antara keinginan mengajar dengan kasih sayang seperti inginku atau
dengan sebilah kayu yang menjadi senjata saat murid tidak menurut.
Aku ingin Floresku menjadi seperti Jawaku yang membuat
sanksi mendidik demi membangun karakter murid. Aku jadi
membenarkan bahwa Floresku benar-benar tertinggal sepuluh tahun
dengan Jawaku? Bahwa orang-orang timur memang keras.
Mas. Muhammadiyah Riung adalah tempat pengabdianku.
Disini pula aku paham tentang perbedaan cara mengajar dan pola
pikir setiap orang. Tugasku disini adalah untuk berbagi dengan tunas-
tunas bangsa yang kata orang masih tertinggal. Aku menjadi semacam
kaum minoritas yang berusaha mengubah paradigma cara pengajaran
dalam waktu yang singkat.
14 | Cututun Huriun Ngudu 4
Aku ingin muridku punya mimpi dan tujuan hidup yang indah,
hal sepele yang sering terabaikan disini. Suatu waktu aku pernah
bercerita tentang kampus-kampus megah yang ada di Jawa, aku ingin
mereka punya keinginan untuk bisa menjangkau kampus itu.
Ibu...ibu... mau bilang perguruan tinggi apa saja, bagi kami itu
tidak penting. Syukur kalau di kelas ini ada satu orang yang kuliah,
jawab seorang murid.
Saat aku mengenalkan beberapa beamurid masuk perguruan
tinggi, murid itu bilang Ibu yang terpenting itu lulus sekolah.
Kembali ada pertengkaran hebat dalam benakku.
Flores memberitahuku tentang pendidikan di Indonesia timur.
Aku mengerti bahwa pemikiran anak bangsa di sini baru sebatas lulus
tanpa memikirkan nilai yang diperoleh dan sasaran perguruan tinggi
apa yang akan mereka dituju.
Mimpi bukan hanya milik orang yang mampu, seperti halnya
pendidikan bukan hanya milik orang yang kaya. Setiap ada kemauan
disitu pasti ada jalan, bukankah itu benar? Lalu bagaimana jika
kemauan itu tidak pernah ada, apakah seseorang itu mampu merubah
dirinya sendiri?
Saat seorang memiliki tujuan dan mimpi di dalam hati dan
pikirannya, maka dia akan memiliki kemauan yang kuat untuk
mewujudkannya. Jika seorang murid memiliki mimpi akan jadi apa
dia kelak, maka dia akan berusaha bersungguh-sungguh untuk
mewujudkannya.
Aku ingin muridku berusaha bersungguh-sungguh. Jadi tak
perlu lagi ada bambu atau sebilah kayu dalam proses pembelajaran.
Tak ada lagi murid yang mengeluh merangkum materi dan memilih
dipukul. Tak ada lagi orang tua yang meminta anaknya izin sekolah
hanya untuk mengurus ladang.
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
PRku masih banyak untuk mengajak mereka berpikir maju. Aku
hanya bisa memberi dan menguatkan mimpi mereka, membantu
sebisaku untuk mewujudkannya. Mereka benar-benar membutuhkan
keberadaanku. (*)
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Merenda Asa di Hamparan Rumput Pendek
Nur Hidayah
Kurubhoko, seperti nama dalam bahasa Jawa, tapi ternyata
bukan. Kurubhoko dalam bahasa Tanawolo berarti rumput pendek.
Tempat pengabdianku ini dulunya bernama Tanawolo, dusun kecil di
Desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze. Padang rumput yang luas
menjadi pemandanganku setiap harinya. Di tanah itu pula berdiri
sebuah bangunan sekolah tempat pengabdianku selama setahun,
SMPN Satu Atap Kurubhoko. Gedung sekolah ini satu lokasi dengan
bangunan SD Inpres. Sekolahku adalah satu-satunya SMP di
Tanawolo, sekolah kecil yang hanya terdiri dari empat bangunan saja.
Kurubhoko terkenal sebagai daerah bukit gersang yang sulit
air, apalagi ketika musim kemarau. Namun semangat masyarakat
untuk maju, tidak segersang kondisi alamnya. Permadani alam nan
cantik ini juga menjadi habitat hewan peliharaan penduduk seperti
sapi dan kambing, terutama saat musim hujan tiba.
Gedung sekolah di tengah padang rumput yang luas
Tak terbayangkan sebelumnya, takdir memberi kesempatan
padaku untuk merenda asa bersama dengan generasi di pulau bunga.
Masyarakat Tanawolo memanggilku tanta ibu dari Jawa atau ibu guru
17 | Cututun Huriun Ngudu 4
kontrak SM-3T. Sekenanya saja mereka memanggilku, tapi itulah
panggilan kesayangan yang dialamatkan padaku.
Kondisi masyarakat disini membuat mataku terbuka lebar,
seperti memberi penjelasan bahwa inilah Indonesia Timur yang
memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Hidup di tengah
masyarakat yang berbeda budaya, pola hidup bahkan keyakinan
berbeda memang berat jika dibayangkan. Anggapan banyak orang
tentang watak masyarakat disini yang keras tidak sepenuhnya benar.
Mereka memiliki hati yang lembut, adat kesopanan, rasa
kekeluargaan, tentunya toleransi yang tinggi. Aku merasakan sendiri
sebagai kaum minoritas yang tinggal di daerah ini.
Aku ingat dalam suatu pesta pasti disediakan makan besar.
Mereka memisahkan makanan untukku, tentunya dipilihkan yang
halal. Biasanya warga muslim diminta untuk menyembelih hewan
ternak yang akan dihidangkan untuk pesta. Menjadi langganan kalau
daging ayam dipilih sebagai pengganti daging babi bagi warga
muslim, termasuk aku.
***
Setiap pagi, murid-muridku menuruni bukit berbatu untuk
sampai di sekolah. Tak lupa di punggungnya melekat tas berisi buku
yang sudah kumal sebagai senjata mereka untuk mencatat materi yang
aku ajarkan. Tangan mereka tak pernah kosong setiap datang ke
sekolah. Setiap anak membawa satu jerigen air untuk memenuhi bak
sekolah.
Pemandangan menjadi berbeda saat musim kemarau tiba. Aku
tak lagi melihat mereka berpakaian rapi dan bersepatu, karena sepatu
mereka lepas. Musim hujan membuat kondisi tanah berlumpur.
Begitu juga saat musim pesta dan acara adat berlangsung, tepatnya
kisaran bulan September sampai November. Pemdangan sekolah
menjadi sepi karena anak-anak kebanyakan memilih ikut acara adat.
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sekolah kami menampung kurang lebih 120 siswa dan 10 guru.
Umumnya mereka berasal dari Desa Nginamanu dan sekitarnya. Jarak
rumah mereka terlalu jauh dengan sekolah, jadi ada yang memilih
tinggal bersama saudara dekat sekolah, ada pula yang memilih jalan
kaki lebih dari satu jam setiap harinya.
Jarak yang jauh dari kota kabupaten menyebabkan arus
informasi dari dinas terlambat untuk sampai sekolah. Sering sekolah
tidak mengikuti kegiatan yang diadakan di Bajawa, kota Kabupaten
Ngada. Selain karena tidak adanya dana dan sarana yang lain yang
mendukung menyebabkan sekolah kami terhambat untuk mengejar
ketertinggalan.
Kata seorang guru, dengan adanya guru SM-3T selama tiga
tahun terakhir ini, banyak kemajuan yang dirasakan, khususnya pada
manajemen sekolah yang lebih tertata rapi. Aku bersyukur telah
menjadi bagian di dalamnya.
Perjuangan belajar sangat aku rasakan saat mereka akan
menyambut ujian nasional. Ujian yang menjadi penentu kelulusan
mereka, meski parameter ini bukanlah satu-satunya pengukur tingkat
satu penentu kualitas sekolah.
Berbagai upaya dilakukan agar bisa meluluskan siswa dengan
hasil yang baik. Mulai dari mengasramakan seluruh siswa kelas IX
hingga mengadakan bimbingan malam di sekolah. Saat anak-anak di
asrama, orang tua siswa bergantian untuk menyediakan makan.
Mereka kumpul beras, uang, dan sayur untuk makan anak-anak. Tapi
tak jarang pula anak-anak hanya makan nasi tanpa lauk karena
memang tidak ada. Aku diamanahi menjadi Pembina asrama
menemani mereka belajar.
Setiap jam lima pagi aku menembus gelap, dingin dan
menuruni jalan berbatu dari tempat tinggal menuju asrama untuk
mendampingi mereka belajar pagi setidaknya sampai jam enam.
19 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sedang malam harinya baru bisa pulang ke rumah kisaran jam
sepuluh malam setelah anak asrama tidur.
Berat memang, tapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk ikut
andil menghasilkan lulusan yang baik. Senyum dan semangat
merekalah yang menjadi sumber energi bagiku untuk menjalani
rutinitas ini. Terkadang tidak tega menghentikan bimbingan ketika
mereka sedang semangatnya belajar.
Tidak hanya belajar, mereka juga harus menyelesaikan tugas
untuk mencari kayu untuk mengepulkan dapur asrama. Sedang
mandinya di kali, kemudian mengambil air untuk menampung bak
penampungan di asrama. Saat listrik sudah mulai padam terpaksa
mereka belajar menggunakan pelita atau lilin. Tanpa disadari mereka
telah mengajarkanku tentang perjuangan untuk terus belajar.
Siprianus Bhara Meko, seorang muridku kelas IX yang sangat
rajin mengingatkanku tentang rasa syukur akan pemberian tuhan.
Ketidaksempurnaan kakinya membuatku menyadari bahwa tuhan
masih memberiku nikmat yang lebih. Aku masih bisa berjalan dengan
sempurna sampai di tanah Flores dan bertemu dengan mereka.
Siprianus biasanya mendapat tugas
untuk membersihkan asrama ketika yang
lain pergi mencari kayu dan menimba air.
Teman-teman yang lain tidak tega
mengajaknya mencari kayu. Meskipun
tidak sempurna secara fisik, namun ia
memiliki semangat tinggi untuk lebih maju
dari teman yang lain. Saat belajar santai di
halaman sekolah, dialah yang paling aktif
bertanya. Ia memilih untuk tidak
bersekolah di SLB karena kemampuannya
sama dengan yang lain serta jarak SLB
Foto bersama Spirianus
Z0 | Cututun Huriun Ngudu 4
yang jauh dari tempat tinggalnya. Setelah lulus SMP pun ia memilih
untuk melanjutkan di SMK di Maumere jurusan perhotelan. Aku
bangga dengannya.
***
Tibalah waktunya ujian nasional. Semua sibuk mempersiapkan
diri. Tidak hanya siswa, orang tua pun lebih rajin untuk menyiapkan
makan untuk anak-anak. Bahkan ada orang tua yang rela menginap di
asrama, meninggalkan sawah, kebun dan ternak mereka sejenak untuk
mendampingi anaknya. Seiring dengan berjalannya waktu,
pengumuman ujian pun tiba. Semua berpesta, bersyukur atas
kelulusan semua siswa tanpa ada yang tertinggal. Menjadi kebiasaan
orang Flores termasuk di penempatanku di setiap acara syukuran
selalu digelar pesta. Kali ini disediakan empat ekor anjing dan seekor
ayam jantan khusus untuk guru muslim.
Kebersamaan dengan mereka kelak akan membuat kenangan
tersendiri dalam perjalanan pengabdianku kepada negeri ini. Aku
kembali merasakan betapa pendidikan disini sudah mendapat
penghormatan yang lebih. Saat peringatan Hardiknas di daerah yang
masih berlabel tertinggal ini ternyata lebih heboh dibanding di kota
pelajar tempat kuliahku dulu. Anak-anak lebih senang mengikuti
kegiatan olahraga dibanding kegiatan lain yang membutuhkan banyak
tenaga untuk berpikir. Hal ini juga terlihat ketika peringatan hari
kemerdekaan di Kecamatan Wolomeze.
Dalam perjalanan mengabdi, banyak hal yang aku dapatkan.
Kudapati bahwa sistem pendidikan di Jawa tidak bisa seluruhnya
diterapkan di luar Jawa. Situasi dan kondisi yang berbeda dengan di
Jawa menyebabkan pula perbedaan kemampuan siswa. Hal yang
paling berat dirasakan ketika menjadi wali kelas yaitu saat penentuan
kenaikan kelas. Tidak naik kelas menjadi sebuah momok yang besar.
Keputusan untuk bersekolah di sawah dijadikan pelarian apabila
sudah bosan untuk sekolah.
Z1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sering aku jumpai kasus, siswa sudah dua minggu tidak masuk
sekolah, setelah mendapat surat panggilan, dinasihati dengan berbagai
cara, keputusan tidak bisa diubah lagi. Godaan di dunia luar sekolah
telah berhasil megubah pemikiran bahwa sekolah tidak penting.
Asalkan bisa kerja sawah dan kebun untuk menyambung hidup, itu
sudah cukup.
Memasuki tahun ajaran baru, sekolah mulai khawatir. Jumlah
lulusan SD yang ada di sekitar sekolahku sangat banyak, sepertinya
sekolah tidak sanggup menampung mereka. Keterbatasan ruang kelas
menjadi hambatan yang sangat mendasar. Pihak sekolah sudah
berulang kali mengajukan permohonan ke dinas untuk menambah
ruang kelas, namun hingga sekarang belum juga dikabulkan.
Akhirnya siswa kelas VII yang seharusnya menjadi dua
rombel, dijadikan satu kelas. Sesak dan tidak bisa fokus untuk
mengajar menjadi santapan sehari-hari. Jika akan mengadakan kelas
sore, kondisi tenaga pendidik juga tidak memungkinkan. Hal itu juga
pernah terjadi empat tahun yang lalu, terpaksa satu rombel beruangan
tenda terpal di halaman sekolah. Salutnya mereka tetap semangat
belajar.
Saat mulai diberlakukan kurikulum 2013 dimana pramuka
menjadi salah satu ekstrakurikuler wajib, sekolah mengalami
hambatan karena belum adanya guru tetap yang kompeten di bidang
kepramukaan. Aku mencoba sebisaku untuk menjadi pembina
pramuka dadakan. Kondisi ini mengharuskanku untuk ikut ikut andil
berpramuka dengan mereka. Kebetulan waktu itu diadakan Jambore
cabang untuk pertama kalinya di kabupaten. Dengan berbagai cara
dan semangat untuk sejajar dengan sekolah lain akhirnya sekolahku
mengirimkan utusan untuk mengikuti kegiatan itu. Kegiatan Jambore
yang dilaksanakan selama enam hari dengan jarak tempuh yang jauh
tentunya membutuhkan dana yang besar pula.
ZZ | Cututun Huriun Ngudu 4
Jambore Cabang Ngada yang pertama kali diselenggarakan
ternyata membawa perubahan besar. Pramuka yang dulunya mati suri
di daerah-daerah yang jauh dari kota kini sudah bangkit. Guru-guru di
sekolah menjadi bersemangat untuk mengadakan ekstrakurikuler
Pramuka. Banyak pengalaman yang diperoleh saat mengikuti
Jambore. Perubahan pola hidup anak-anak hingga pembangunan
semangat untuk mencintai pramuka harus selalu di pupuk dalam
pramuka. Sederhana dan sepele memang, tapi itulah setitik gambaran
dan usaha agar Ngada menjadi lebih baik.
Hu. Ha. Yes.. NGADA Jaya (*)
Z3 | Cututun Huriun Ngudu 4
Air keruh dan Pasukan Nyamuk
Anisa Purnamasari
Air mengalir sampai jauh.......
Sepenggal lirik lagu yang sering aku nyanyikan sewaktu
menarik selang untuk mengisi bak mandi milik mama Aan, mama
asuhku selama di Waebela. Tidak seperti biasanya, kali ini aku sangat
terkejut. Betapa tidak, mendapati air yang keluar dari selang sangat
keruh dan berbau. Padahal air ini digunakan untuk konsumsi dan
keperluan lain para penghuni rumah.
Go zhio bhai mora, kataku.
Semua orang mungkin tak akan heran kalau menjumpai air
semacam ini di daerah pedalaman macam Waebela. Tapi kalau terus
dibiarkan begitu saja maka yang jadi korban tidak hanya perut saja,
tapi kulit pun demikian. Siapa pun akan mengatakan kalau air itu tak
sehat. Tapi mau bagaimana lagi, tak ada pilihan lain selain
menggunakan untuk kebutuhan sehari. Sudah jadi risiko yang harus
ditanggung kalau perut bakalan sakit dan kulit gatal-gatal.
Aku berusaha berfikir jernih, berharap bisa menemukan ide
sejernih air yang aku harapkan. Setidaknya memenuhi standar baku
mutu air untuk bisa dikonsumsi aku dan keluarga mama Ann. Meski
belum bisa menjangkau air untuk semua warga setidaknya untuk kami
satu rumah terlebih dulu.
Percobaan aku lakukan sendiri, tak sedikit pula menjumpai
kegagalan. Aku terus mencoba sampai beberapa tahapan kulihat ada
perbedaan warna air dari yang awal tadi. Akhirnya berhasil juga,
percobaanku benar-benar berhasil. Percobaan ini pula yang kuajarkan
kepada anak didikku di sekolah. Aku jadi seperti profesor yang
Z4 | Cututun Huriun Ngudu 4
bereksperimen mendirikan laboratorium tradisional di daerah
pedalaman.
Penjernihan air tak ingin kunikmati sendiri. Aku ingin
menularkan kepada orang-orang sekitar atau setidaknya dengan
tetangga terdekat. Kedekatanku dengan tetangga sudah seperti orang
asli Flores, meski keberadaanku belum begitu lama. Kumanfaatkan
kedekatan ini untuk diam-diam menularkan ide kepada mereka,
hingga aku mendapat dukungan dari kepada desa setempat untuk
mengadakan penyuluhan.
Beberapa orang aku kumpulkan untuk mengikuti penyuluhan
yang aku selenggarakan sendiri. Laboratoriumku cukup sederhana
tapi berhasil menjadi tempat diselenggarakannya penyuluhan bertajuk
penyaringan air menggunakan cara infiltrasi.
Warga Waebela yang mengikuti penyuluhan
Bapa Mama memperhatikan semua langkah yang aku
peragakan. Beberapa dari mereka juga ikut mencoba dan melihat
langsung hasilnya. Selain mudah, peralatan yang aku gunakan pun
cukup sederhana. Semuanya tersedia di lingkungan mereka.
Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Bapa Mama... caranya cukup mudah hanya menyiapkan
peralatan ini saja, jelasku sambil menunjukkan beberapa benda yang
sudah tersedia di meja.
Di samping ada kepada desa yang mendampingi. Perhatiannya
tak terlepas dari tanganku yang melakukan langkah awal. Begitu juga
dengan banyak pasang mata di depanku yang semuanya mengarah
pada titik yang sama.
Aku mulai menyiapkan botol plastik yang kosong kemudian
mengiris bagian tutupnya. Selanjutnya kuiisi dengan kain katun,
sedang bagian atasnya kutaruh kapas, arang, kerikil dan terakhir pasir
laut.
Foto saat sedang mempraktikkan penyuluhan filtrasiair keruh didampingi
kepala desa Waebela
Kenapa kupilih alat-alat itu? aku menebak pasti pertanyaan itu
terlintas dalam benak mereka.
Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Selain memperagakan, aku juga menjelskan kegunaan setiap
bahan yang digunakan. Pasir dan kerikil itu untuk menyaring benda-
benda kecil maupun besar. Sedang arang untuk menghilangkan bau
dan rasa. Nha, kalau kapas dan kain katun gunanya untuk menampung
kotoran yang terbawa sampai ke bawah botol. Semakin banyak
lapisan hasil airnya akan semakin jernih. Tapi yang perlu menjadi
catatan, kalau keberhasilan alat itu tergantung dari ketebalan kain
katun dan kapas. Dengan penyuluhan ini aku berharap Desa Waebela
tidak lagi kebingungan saat air keruh, apalagi waktu banjir.
***
Kegundahanku tak hanya terjadi saat musim banjir yang
membuat air keruh dan bau, tapi juga malam hari saat pasukan
nyamuk menyerbu kamarku. Lagi-lagi aku mencari ide untuk
melakukan percobaan memberantas binatang kecil ini.
Dalam waktu yang sama aku juga menyampaikan hasil
percobaanku memberantas nyamuk. Mungkin ini terlalu biasa, hanya
ada di teori pelajaran IPA anak SMP, tapi aku berharap hasilnya bisa
dinikmati masyarakat segala usia.
Selesai percobaan penjernihan air, kini langkahku jurusku
berganti memberantas sekawanan nyamuk. Masih menggunakan botol
plastik yang sama hanya saja kali ini tidak dipotong seperti awal tadi.
Tapi botol yang diolesi gula merah yang telah dicampur dengan cuka.
Bapa Mama ini ada fungsinya masing-masing, kataku kali ini
sambil bergeser mendekat ke kumpulan perlengkapan untuk
memberantas nyamuk.
Gula merah berfungsi untuk melengketkan nyamuk, sedang
cuka untuk menarik nyamuk yang menjadi incaran.
Cuka baunya mirip dengan bau tubuh atau ketiak manusia,
jelasku yang membuat semua yang hadir sontak tertawa. Mungkin
Z7 | Cututun Huriun Ngudu 4
seketika mereka menyadari aroma khas yang sering hinggap dihidung
mereka saat berkeringat.
Foto penyuluhan pembuatan obat nyamuk didampingi Kepala Desa
Waebela
Aku melanjutkan, perlu penambahan ragi ke dalam botol karena
ragi bisa menghasilkan suhu panas yang sama seperti pada manusia.
Jangan lupa memberikan selotip hitam di luar botol untuk menipu
nyamuk. Hitam atau warna-warna gelap sangat disukai nyamuk.
Setelah penyuluhan sederhana yang aku selenggarakan,
sekarang aku bisa benar-benar menikmati air bersih. Tidak hanya
untukku sendiri tapi juga dinikmati orang-orang sekitar. Aku jadi
belajar banyak hal dari orang-orang Waebela, terutama dari Mama
Ann. Aku tidak ragu-ragu menggunakan air meski sedang musim
banjir. (*)
Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Dua Jam Jalan Kaki Demi Caci
Supriyati
Dua jam berjalan kaki terlewat begitu saja saat aku
menikmatinya bersama murid-murid tercinta. Di Flores aku jadi
terbiasa jalan kaki untuk sekadar mendatangi tempat tertentu sore
hari. Kadang dengan muridku, tetangga, atau dengan keluarga yang
aku tempati rumahnya.
Kali ini perjalananku ditemani Pak Fidel dan Bu Ester menuju
Desa Taen Terong. Tak lupa membawa anak murid yang
menghiburku sepanjang jalan. Taen Terong adalah desa tetangga yang
sama-sama masih bernaung di bawah Kecamatan Riung, sedang aku
tinggal di Desa Kuwuk.
Sepanjang jalan tak ada pemandangan lain selain semak belukar,
pepohonan besar, dan sawah yang nampak gersang dilanda musim
kemarau. Tepatnya Jumat, 11 Oktober 2013 matahari sedang terik
tepat di atas ubun-ubun. Panas ini pula yang mengharuskanku terus
memompa semangat untuk sampai di Taen Terong.
Terus semangat ibu... demi nonton caci, kata Bu Ester terus
menyemangatiku.
Demi Caci, acara adat yang hanya digelar sekali dalam setahun
di desa-desa tertentu. Langkahku sesekali berhenti untuk memberikan
jeda terhadap rasa lelah. Begitu juga dengan anak-anak dan Pak Fidel
yang masih ada di belakang. Istirahat yang sebentar ini aku
manfaatkan untuk berfoto bersama anak-anak. Mereka suka sekali
difoto dan bergaya, ini kesempatanku untuk mengabadikan senyum
lugu mereka.
Hey ada ular! kata seorang muridku.
Z9 | Cututun Huriun Ngudu 4
Seketika kami berteriak dan berhambur menghampirinya,
penasaran ingin melihat ular yang membuyarkan pose foto kami.
Bukan ular besar dan berbisa yang dilihat muridku, alangkah
terkejutnya saat mendapati ternyata hewan melata itu kecil dan
sudahmati.
Kau buat kaget kami laaa, ternyata ular sudah mati, kata Bu
Ester.
Kelucuan mereka menjadi hiburan bagiku. Meski lelah tapi
kebersamaan ini sangat menyenangkan. Aku seperti kembali pada
masa kanak-kanak dengan kehebohan yang sebenarnya tidak penting.
Perjalanan kami lanjutkan, sampai akhirnya menjumpai sebuah
perkampungan berjuluk Taen Terong. Orang tua muridku yang
berasal dari desa ini menyambut kedatangan kami dengan ramah,
seperti menyambut pejabat negara yang sedang melakukan
kunjungan. Kebetulan gelaran caci belum dimulai jadi ada
kesempatan tuan rumah mempersilakan kami makan. Sepertinya
sudah disediakan hidangan spesial untuk menyambut kami. Menunya
ayam hutan bajar dan ikan ditemani sambal pedas. Menjadi
kenikmatan tersendiri saat aku menyantapnya sewaktu lapar usai jalan
kaki selama dua jam.
Khasnya orang Flores kalau ada tamu atau sedang menggelar
acara adat pasti disediakan minuman wajib, moke. Pak Fidel
menghabiskan beberapa gelas setelah makan siang dengan porsi
berkali lipat dari porsiku. Matanya menjadi merah seperti orang yang
dipaksakan bangun tidur. Makanan tidak ada yang tersisa, hanya
piring kotor yang berserakan belum ditumpuk rapi. Suasana menjadi
riuh kembali usai makan siang bersama, tapi aku hanya diam hanya
senyum kalau mereka tertawa. Aku tak mengerti bahasa percakapan
mereka, tapi sesekali mengangguk karena tuan rumah bertanya
dengan bahasa Indonesia.
30 | Cututun Huriun Ngudu 4
***
Di luar sana mulai terdengar suara seperti bunyia-bunyian dari
kendang. Suara itu pula yang menyedot perhatian anak-anak untuk
segera menghampiri keramaian yang sudah terpusat. Kami pamit
untuk nonton caci, sedang anak-anak sudah keburu berhambur keluar.
Langkah Pak Fidel berhenti seketika, ia seperti mencari sesuatu
dari sakunya. Ternyata handphone. Meski di tempat ini hanya titik
tertentu saja yang terdapat sinyal, tapi handphone telah menjadi
barang penting. Aku dan Bu Ester jadi berfikir mungkin Pak Fidel
sudah mabuk karena kebanyakan minum moke jadi tak sadar dengan
ponsel genggamnya itu.
Aku jadi ikut sibuk mencari sampai akhirnya Pak Fidel
merelakan. Sesaat lamanya seorang murid datang menghampiri dan
membawa barang yang dicari sedari tadi. Ternyata handphone Pak
Fidel jatuh kemudian diambil seorang murid. Bukannya langsung
dikembalikan tapi ia menyimpannya terlebih dulu. Rizki memang tak
kemana, dengan sendirinya anak tadi mengembalikan pada yang
empunya. Dari situ aku dapat sebuah pelajaran berharga. Anak ini,
meski ada keinginan untuk memiliki sesuatu tapi karena bukan
miliknya maka ia mengembalikan pada yang empunya. Sifat jujur
mengalir dalam dirinya.
Perhatian kami kembali pada tujuan awal yaitu menyaksikan
acara adat caci. Tarian ini berasal dari Manggarai. Riung khususnya
Desa Taen Terong menggelarnya hanya sekali dalam setahun. Aku
jadi merasa beruntung bisa menyaksikan pertunjukan yang mungkin
taka akan aku jumpai di tempat lain.
Biasanya tarian ini dimainkan saat musim-musim tertentu
seperti syukuran musim panen, ritual tahun baru, upacara pembukaan
lahan, menyambut tamu penting, atau upacara adat besar lainnya.
Sejarahnya, tarian caci adalah tari perang sekaligus permainan rakyat
31 | Cututun Huriun Ngudu 4
sepasang penari laki-lak
adalah cambuk yang terb
menggunakan perisai se
menjadi senjata andalan
bertarung dengan lawan.
P
Setiap acara adat
termasuk caci. Tarian in
laki-laki. Tiap gerakanny
melihat satu per satu pen
aksesorinya. Mulai dari
(koret), dan penutup kep
ditutup dengan pelind
dipasang untaian giring-g
melakukan gerakan.
Topeng atau hiasan
berlapis kain warna-war
kerbau ini dipakai untu
ditutupi kain destar seh
pukulan lawan. (*)
ki. Uniknya aksesori yang merek
buat dari kulit kerbau atau sapi. Sela
ebagai tameng untuk menangkis.
n yang digunakan pada tiap sa
Penari caci sedang bertarung
pasti ada mengandung makna
ni mengandung makna ujian keber
ya bermakna kejantanan bagi pena
nari melakukan persiapan dengan ke
cambuk (larik), perisai (nggiling),
pala (panggal). Mereka telanjang d
dung saja. Pinggang bagian be
giring yang menghasilkan bunyi se
n kepala dibuat dari kulit kerbau
rni. Hiasan kepala berbentuk sepe
uk melindungi wajah dari pecut
ingga masih bisa melihat arah ge
ka gunakan
ain itu juga
Keduanya
abetan saat
tersendiri,
ranian bagi
arinya. Aku
elengkapan
, penangkis
dada, hanya
elakangnya
etiap penari
yang keras
erti tanduk
tan. Wajah
erakan dan
3Z | Cututun Huriun Ngudu 4
M
Bagian kepala dan
hiasan kepala dan kain
dengan maksud melindu
kulit tubuh pemain sah
tubuh dari pinggang ke
menjuntai dari sabuk p
lengan yang terbuka a
menyaksikannya. Kata B
kekuatan seorang laki-la
sebagai lambang maskuli
Sebagian besar ak
kerbauk. Simbolisme t
terkuat dan terganas. Mu
kekuatan pria dan lang
rahim serta dunia. Ketik
maka terjadi persatuan an
Seorang laki-laki
memecut lawan dengan p
dari lilitan kulit kerbau.
Menyaksikan tarian adat caci
n wajah pemain hampir seluruhny
destar yang dililit ketat disekeli
ungi wajah dan mata dari cambuka
sebagai sasaran cambukan, kecu
e bawah yang ditandai sehelai
inggang. Kulit bagian dada, pun
adalah sasaran cambuk. Aku ng
Bu Ester caci juga sebagai media p
aki. Luka-luka akibat cambukan itu
initas.
ksesori yang digunakan berasal
terhadap kerbau dipercaya sebag
ulai dari pecut melambangkan keku
git. Perisai melambangkan ibu, k
ka cambuk dilecutkan dan mengen
ntara cambuk dan perisai.
yang berperan sebagai pemuku
pecut. Sedang pegangan pecutnya j
Diujungnya dipasang kulit kerbau
ya tertutup
iling wajah
an. Seluruh
uali bagian
kain yang
nggung dan
geri sendiri
pembuktian
u dikagumi
dari kulit
gai hewan
uatan ayah,
kewanitaan,
nai perisai,
l berusaha
juga dibuat
u tipis yang
33 | Cututun Huriun Ngudu 4
sudah kering dan keras
berbentuk bundar, berla
Perisai dipegang dengan
memegang busur penang
Makan na
Sore ini aku puas
muridku. Setelah itu ka
menikmati makanan kh
Duduk bersama ini me
dendam dan rasa benci
luka. Perjalanan jauh sela
aku bisa tahu kalau Ind
dilestarikan. (*)
mirip lidi enau yang disebut po
apis kulit kerbau yang sudah di
n sebelah tangan, sementara tang
gkis.
si bambu bersama warga Taen Teron
s menyaksikan tarian caci bersam
ami duduk bersama seluruh pem
has daerah berupa nasi bambu d
enandakan kalau diantara mereka
i setelah bertarung sampai tubuh
ama dua jam tak sia-sia. Dengan m
donesia punya kekayaan budaya y
ori. Perisai
ikeringkan.
gan lainnya
ng
ma murid-
main untuk
dan daging.
tidak ada
hnya pebuh
murid-murid
yang perlu
34 | Cututun Huriun Ngudu 4
Melanjutkan Perjuangan Ibu
Septi Sinarsih
Riung, di sinilah tempat pengabdianku selama setahun untuk
mencerdaskan anak bangsa. Suka dan duka aku arungi bersama
dengan teman-temanku yang tinggal serumah, Azif dan Pipit. Sedang
Irsyad tinggal di rumah Mama Oli yang ada diseberang jalan.
Pertama kali datang ke Riung ada kebingungan yang melanda,
seperti para pendatang pada umumnya. Ternyata penempatanku tidak
seudik yang kubayangkan sebelumnya. Semua fasilitas tersedia disini
mulai dari sinyal, listrik, air, dan fasilitas umum lainnya. Entah karena
alasan apa pemerintah masih melabeli Riung sebagai daerah
tertinggal.
Inilah kali pertama aku jauh dari orangtua, di tempat baru ini
pula setahun aku mengukir cerita. Hari pertama menginjakkan kaki di
SMA S Kejora, sekolah pengabdianku ada sedikit kecanggungan. Aku
bingung berkenalan dengan guru-guru disini. Kudengar bahasa
Indonesia mereka tidak karuan, secara teorinya tidak sesuai dengan
EYD. Saat ditanya tentang beberapa hal aku hanya bisa menjawab
seadanya, setidaknya dengan senyum atau kata iya. Bahkan saat
berkenalan dengan murid pun aku bingung apa mereka mengerti
bahasa Indonesiaku. Setiap aku ajak bicara mereka sering tertawa
padahal menurutku ini tidak lucu. Unik memang, tapi seiring
berjalannya waktu aku bisa beradaptasi dengan bahasa Indonesia
versinya orang Flores.
Pelajaran yang aku ajarkan adalah Kimia. Mendengar kata
Kimia yang terlintas dalam benakku adalah praktikum. Siapa pun
pasti akan memberi penilaian yang sama tentang mata pelajaran ini.
Awal-awal mengajar kebetulan sekolahku belum punya bahan-bahan
kimia dan peralatan praktikum yang lengkap. Selang beberapa kali
3 | Cututun Huriun Ngudu 4
pertemuan ada kabar menggembirakan dari sekolah. Entah mendadak
atau karena aku belum tahu sebelumnya, sekolah dapat bantuan
banyak peralatan praktikum.
Aku memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan oleh
sekolah. Mencoba mencari alternatif percobaan yang bisa
diaplikasikan di sekolah. Meski sekolahan di daerah 3T tapi aku ingin
tetap bisa mengadakan praktikum. Keterbatasan tidak menjadi
penghalang untuk mengajak murid-muridku mencoba praktik
langsung.
Internet menjadi andalanku untuk mencari ide percobaan yang
akan kulakukan. Setelah menemukan beberapa contoh percobaan
yang sesuai dengan materi aku langsung mencobanya sendiri di
rumah. Kalau berhasil besok akan kubawa ke seklah dan kusuruh
murid-murid untuk mencobanya.
Percobaan yang aku lakukan pertama kali adalah tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Muridku sangat antusias
mengikutinya. Membangkitkan semangatku untuk berkesperimen lagi
untuk materi berikutnya. Seringkali ide muncul saat melihat murid-
muridku sedang asyik melakukan percobaan. Kepuasanku di kelas
adalah manakala melihat mereka melakukan percobaan dengan rasa
penasaran, artinya ada respon positif dari materi yang aku sampaikan.
Tepat hari Jumat, 14 Maret 2013 aku merangkai alat sederhana
untuk percobaan kedua, uji larutan elektrolit. Semangatku luar biasa
saat itu. Selalu aku cek alat-alat yang dibutuhkan supaya tidak ada
yang tertinggal saat diujikan di dalam kelas. Entah kenapa kali ini aku
sangat bersemangat. Semuanya sudah siap, percobaan di rumah
berhasil, Sabtu pagi tinggal aku ajak murid-murid mencobanya.
Kenyataan memang tak mesti sesuai dengan rencana.
Semangatku menjadi kendor seketika setelah ponselku berdering
beberapa kali. Kabar buruk dari tanah Jawa menimpaku seketika.
3 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sesaat lamanya aku seperti disambar petir sejadinya dan nyaris tak
bisa melakukan penolakan apa pun.
Innalillahi wainalilahi rojiun, ibuku ngga ada, kalimat itu
yang terucap seketika.
Aku menjerit mendengar kabar itu. Semangat berjuang bersama
muridku di kelas seketika berubah menjadi teriakan kencang yang tak
mungkin lagi didengar ibuku. Saudara yang menelepon cemas dengan
keadaanku disini. Beberapa saat setelah reda barulah ia
menyampaikan kalau ibu meninggal jam 12.00 WIB. Mungkin saat
matahari disana berada sejurus pada angka dua belas pada jam
dinding.
Bingung harus berbuat apa, aku hanya duduk dengan tatapan
kosong. Beruntung ada teman-teman di rumah yang terus berusaha
menguatkanku. Tak menghiraukan mereka, aku malah menyalahkan
diriku sendiri. Tahu begini aku tidak memilih mengabdi di luar Jawa.
Bapak, Almarhum Ibu, dan aku
Tidak usah memikirkan hal itu sekarang yang terpenting
bagaimana kamu bisa pulang secepatnya, kata Azif.
Kebingungan itu juga yang melandaku sedari tadi. Apakah aku
bisa pulang, apa aku bisa menemui jenazah ibuku, bagaimana aku
bisa dapat tiket pesawat dalam waktu singkat ini. Dua minggu lalu
37 | Cututun Huriun Ngudu 4
memang ada perasaan mengganjal dalam benakku, mungkin itu yang
namanya firasat. Ibu mendatangiku dalam mimpi, ia memakai baju
hitam yang mungkin sebenarnya adalah pertanda tentang
kematiannya. Sepuluh hari kemarin aku tak dapat kabar darinya.
Kalau biasanya setiap hari sms atau telepon kali ini tidak. Keluargaku
bilang ibu sedang diklat, tapi itu semua bohong. Ternyata sepuluh hari
itu ibuku terbaring di rumah sakit karena serangan jantung.
Persahabatan dan kekeluargaan dari teman-teman terasa sekali
disaat aku berduka. Mereka yang membantu mengurus tiket,
mengurus perjalanan travel ke Ende, dan menguatkanku agar tetap
sabar. Aku sangat berterimakasih kepada Pak Sugeng yang telah
membantu mencari tiket pesawat. Ia orang Jawa yang sedang sama-
sama bertugas di Riung, hanya saja profesi kami berbeda. Pak Sugeng
punya banyak relasi yang membuatku bisa dengan mudah
menggenggam tiket pesawat untuk segera pulang. Ia sudah aku
anggap bapak di perantauan sebagai pengganti bapakku yang ada di
Jogja.
Tepat pukul 22.00 WITA aku menuju Bandara Hasan
Aroeboesman Ende ditemani Waluyo, Mala, dan Anggi. Sesampai di
sana bandara masih tutup dan tiga temanku ini masih setia
mendampingi sampai aku naik pesawat. Aku merasa sangat beruntung
punya teman yang mau membantuku sampai sejauh ini. Perjalananku
benar-benar diberi kemudahan, alhamdulillah.
Sesampai di Bandara Adi Sucipto Jogja sanak keluarga sudah
menunggu untuk menjemput. Entah mengapa aku tidak bisa menangis
hanya bisa senyum menyapa mereka. Sesampai di rumah kulihat
jenazah ibu sudah terbujur kaku. Segera aku bersiap-siap untuk
menyolatkan jenazah ibu.
Ibu, ini bukti cintaku padamu. Aku hanya bisa menyolatkan
sampai hari terakhir ini, kataku dalam hati.
3 | Cututun Huriun Ngudu 4
Aku tak berani melihat wajahnya yang sudah terbungkus rapi
meski untuk yang terakhir kali. Aku takut menangisi dihadapannya,
takut akan menulari keluargaku menangis lagi. Sendiri, aku
menguatkan diri. Menguatkan bapak, adik, mbakku. Saat upacara
pemakaman kupeluk erat bapak. Aku tahu dia tidak kuat berdiri saat
upacara pemakaman berlangsung, berusaha menyemangatinya
semampuku.
***
Aku ingat murid-muridku di Riung. Beberapa hari mereka
kutinggalkan. Tapi berat juga untuk berangkat meninggalkan keluarga
di rumah. Pikiran berkecamuk kala itu, harus memilih sesuatu yang
semuanya adalah pilihan bagiku. Ujian hidup yang diberikan Allah
benar-benar terasa berat. Antara keluarga dan pengabdian membuatku
bimbang.
Tapi aku masih terikat kontrak dengan Dikti untuk
menyelesaikan mengabdi di Riung. Saudara dan teman-teman
memberiku semangat dan semua mengeluarkan kata-katanya sama,
Lanjutkan perjuangan ibu. Kata-kata itu yang membuat aku bangkit
lagi. Bahkan bapak yang sebenarnya tidak tega melepasku kini malah
memberiku semangat.
Ibuku memang luar biasa. Aku ingin melanjutkan
perjuangannya, karena ia juga seorang guru, niatku kembali
membulat untuk segera kembali ke tempat pengabdian.
Setelah dua minggu meninggalkan wajah-wajah lugu yang
menghiasi Riung, aku kembali berjumpa dengan mereka. Wajah
mereka nampak asing, mungkin karena beberapa hari aku tak
melihatnya. Kembali aku menjadi canggung seperti pertama kali
menginjakkan kaki di sekolah.
39 | Cututun Huriun Ngudu 4
Percobaan sederhana uji larutan elektrolit
Lagi-lagi wajah muridku mengguratkan harapan yang harus
kugenggam. Mereka juga membutuhkan keberadaanku. Praktikum
yang dulu sempat tertunda kini kuuji cobakan. Senyum yang dulu
pernah melintas di bibirku kini kembali bersemi. Ada rasa
kebahagiaan tersendiri saat melihat mereka berhasil melakukan
percobaan.
Bersama murid-muridku ini aku kutunaikan amanah sampai
selesai di tempat pengabdian. Bersama mereka pula aku melanjutkan
perjuangan ibu untuk mencerdaskan anak bangsa. Betapa indahnya
skenario Allah selama pengabdianku di tanah Flores. (*)
40 | Cututun Huriun Ngudu 4
Belajar dari Air
Rifqi Rohardian
SMP Negeri Satu Atap 1 Riung Barat itulah yang terdengar
saat dibacakan pengumuman penempatan mengajar di Kabupaten
Ngada. Tak ada sedikit pun gambaran tentang sekolah yang akan
menjadi tempat pengabdianku untuk setahun ke depan.
Sekolah itu ada di Dusun Tedhing, Desa Lanamai, Kecamatan
Riung Barat. Aku masih sangat asing dengan kata-kata itu semua, tapi
setelah naik motor empat jam lamanya akhirnya terjawablah beribu
pertanyaan tentang Tedhing.
Dusun ini terletak di daerah perbatasan antara Kabupaten
Ngada dengan Kabupaten Manggarai Timur. Jalan disini belum ada
yang beraspal, kendaraan masih sangat jarang, listrik belum ada, dan
sulit air saat musim kemarau.
Kata orang, Tedhing adalah tempat yang sangat udik, tapi aku
meyakini tempat baruku ini pasti punya pesona tersendiri, yang suatu
saat akan aku temukan dalam kurun waktu satu tahun. Setidaknya aku
akan mengenal anak-anak lugu yang belum tersentuh kerasnya
guncangan kota.
Bersama siswa SMP Negeri Satu Atap 1 Riung Barat
41 | Cututun Huriun Ngudu 4
Hari sudah mulai gelap saat aku tiba di rumah seorang guru,
namanya Pak Matheus Yohanes Embo Watu. Penduduk setempat
biasa memanggilnya Pak Uz. Dia guru olahraga yang nantinya pasti
akan bertemu denganku setiap hari. Aku menginap di sana untuk
beberapa hari sebelum asrama sekolah siap dihuni.
Rumah Pak Uz masih sangat sederhana, semua tiang dan
temboknya terbuat dari bambu, tapi rumahnya berdiri kokoh di tepi
kampung yang langsung berbatasan dengan kebun dan persawahan.
Kalau keluar rumah di sekelilingnya bisa langsung melihat
pemandangan yang sangat menakjubkan, hamparan kebun, sawah,
yang kemudian dikelilingi bukit-bukit yang saling berjejer rapi,
serupa ombak di laut yang anginnya sedang kencang.
Malam sudah mulai datang dan gelap pun menyelimuti
Tedhing. Tapi saat itu pula pesta bintang dimulai, kerlap-kerlip benda
langit itu saling bergantian menunjukkan sinarnya. Seolah mereka
saling berlomba untuk bersinar paling terang, Kupandangi lebih lama
mereka seperti sedang menari-nari di angkasa hingga membentuk
beragam formasi di langit. Ketiadaan listrik pun menjadi tidak terasa
saat bulan purnama bersinar dengan terang.
Dari label keudikannya itu dusun ini masih memegang teguh
adat dan gotong royong turunan nenek moyang. Kalau ada tetangga
yang sedang kesulitan pasti yang lain tak akan tinggal diam, mereka
akan saling bahu-membahu untuk menyelesaikan masalah sebisa
mungkin.
***
Air bagi warga disini adalah barang mewah yang seharusnya
dapat mereka nikmati dengan cuma-cuma. Tapi nyatanya sangat sulit
untuk didapatkan, apalagi pada musim kemarau. Menjadi
pemandangan tersendiri saat semua orang mengantre di sumber air
4Z | Cututun Huriun Ngudu 4
yang jumlahnya sangat t
yang antre demi mendapa
Setiap orang mem
memikul dua, tiga, emp
juga yang membawa hin
dorong, tetapi ada juga
selang saja.
Mereka saling men
yang berhak mengambil
yang datang terlambat, d
jarang yang datang terlam
sudah terlalu dalam jad
pernah ada yang berebut
sadar akan konsekuensin
Mengam
Aku sempat terme
halamanku tak ada kerja
orang tidak bisa bersa
menerima apa yang me
terbatas. Pagi, siang dan sore pun
atkan air untuk kebutuhan sehari-h
mbawa senjatanya masing-masing
pat, hingga enam jerigen di punda
ngga puluhan jerigen menggunaka
yang cuma membawa ember, g
nghargai, yang datang lebih awal m
lebih dulu, dan sebaliknya konsek
diapun harus rela mengambil belak
mbat itu pula tidak kebagian air, a
di keruh oleh tanah. Salutnya, me
t, protes, atau saling menyalahkan.
nya masing-masing.
mbil air bersama warga Tedhing
enung melihat pemandangan itu, d
asama macam ini kalau tidak ada
abar, tidak bisa introspeksi di
enjadi konsekuensinya. Alangkah
masih ada
ari.
, ada yang
aknya. Ada
an gerobak
gayung dan
maka dialah
kuensi dari
angan. Tak
ataupun air
ereka tidak
Semuanya
di kampung
air. Semua
iri, apalagi
h indahnya
43 | Cututun Huriun Ngudu 4
kalau semua orang punya kesadaran yang sangat tinggi seperti warga
Tedhing.
Dari peristiwa ambil air itu aku jadi sadar akan pentingnya
sebuah kesabaran dan kesadaran. Aku selalu bersyukur dengan apa
yang sudah kupunya selama ini.
Setahun sudah berlalu, kini saatnya aku kembali ke tanah Jawa
untuk melaksanakan tugas berikutnya. Terimakasih Tedhing atas
keramahtamahan setahun ini, terimakasih telah mengajariku banyak
hal baru. Aku yakin apa yang kudapatn disini akan bermanfaat di
suatu hari nanti. (*)
44 | Cututun Huriun Ngudu 4
Menemani Perjuangan Generasi Emas
Anggi Perdana
Tedhing? Setiap orang yang aku jumpai di kota (Bajawa) akan
bertanya seperti itu. Sebuah dusun yang menurut mereka termasuk
daerah sangat terpencil (ndeso) dan jauh dari pusat kota. Memang
benar seperti itu kenyataanya. Selama satu tahun aku tinggal di
asrama sekolah yang berada tidak terlalu jauh dari pemukiman warga.
Daerahnya berupa dataran tinggi yang dikelilingi perbukitan, padang
rumput, sawah yang luas, hutan, dengan udara yang sejuk, alamnya
indah, serta masyarakatnya yang ramah dan masih kental akan budaya
nenek moyang.
Pemandangan bukit menuju Tedhing
Dusun ini pula yang menjadi tempat pengabdianku, menemani
generasi emas yang masih terpendam. Tak salah kalau pemerintah
melabeli Tedhing sebagai daerah terpencil, karena fasilitas pendukung
pembelajaran pun belum memadai. Tidak ada aliran listrik dan susah
untuk mendapatkan air bersih terutama saat musim kemarau, benar-
benar meyakinkan kalau inilah pelosok Indonesia. Air bersih hanya
bisa didapatkan dari sumber air yang berada di tengah sawah dengan
jarak kurang lebih seratus meter dari asrama sekolah. Sedang untuk
penerangan hanya ada pada malam hari saja, dengan menggunakan
4 | Cututun Huriun Ngudu 4
lampu sehen (cahaya matahari) dan mesin generator yang hanya
dinyalakan pada pukul jam tujuh sampai sepuluh malam.
Jarak dari Tedhing ke Maronggela, kota kecamatan sekitar
tujuh kilometer. Sedang ke Bajawa, kota kabupaten sekitar enam
puluh lima kilometer dengan waktu tempuh tiga setengah jam
menggunakan ojek dan enam jam menggunakan oto. Kendaran umum
diisni dinamakan oto yaitu truk kayu yang memiliki atap dan tempat
duduk dari kayu pula. Setiap naik oto ini penumpang akan disuguhi
musik dengan full volume
Belum lagi jumlah oto yang beroperasi hanya ada dua kalau
tidak sumber harapan berati bentara. Keduanya start dari kampung
atas (Teong). Itupun tidak beroperasi setiap hari, oto dalam seminggu
naik ke kota hanya lima kali hari Senin, Selasa, Rabu, Jumat, dan
Sabtu. Sedang hari Kamis oto hanya sampai di Maronggela saja
karena ada hari pasar yang digelar satu minggu sekali dan hari
Minggu libur beroperasi. Tak jarang informasi apa pun dari luar akan
terlambat masuk di dusun ini.
Sebulan sekali aku pergi ke kota untuk menghadiri pertemuan
dengan teman sesama SM-3T. Untuk sekadar ke kota aku butuh
perjuangan ekstra dari biasanya. Harus memilih waktu yang tepat
untuk bisa mendapatkan oto agar tidak ketinggalan. Karena oto mulai
beroperasi sejak jam tiga pagi saat langit masih gelap dan anjing
tetangga masih menggonggong.
Usai pertemuan di Bajawa aku harus segera kembali ke tempat
penugasan, tentunya harus menetapkan waktu yang pas. Oto dari kota
berangkat jam satu siang. Perjalanan untuk kembali ke daerah
penugasan membutuhkan waktu yang lama juga. Setidaknya jam
tujuh malam baru aku meraba langit meyakinkan kalau oto sudah
sampai di Tedhing. Malahan terkadang mengalami keterlambatan bisa
sampai jam sembilan malam.
4 | Cututun Huriun Ngudu 4
Jangan dibayangkan perjalanan berjam-jam di oto terbuka
macam ini. Selain gelap, udara pun mulai menusuk tulang akibat
hembusannya yang tak terhalang oleh apa pun. Angin hanya berputar
distitu saja, paling hanya menabarak bukit satu dengan bukit lainnya.
Memang cukup melelahkan, karena selain jaraknya jauh, waktu
tempuh lama, jalannya juga berliku, mendaki dan menuruni bukit,
serta jalan yang dilalui tidak semuanya mulus.
Setahun ditempatkan di Tedhing, setahun itu pula aku belajar
tentang kesederhanaan. Apalagi saat bersanding dengan murid-
muridku di sekolah. Keterbatasan fasilitas pendidikan disini tak
mematahkan semangat mereka untuk terus berusaha meraih mimpi.
Mereka hanya butuh sentuhan hangat dari tangan-tangan terampil
yang tulus menemani belajar mereka di tengah kegelapan. Tangan
berusaha menjadi yang terampil, aku ingin dari kegelapan ini lahir
generasi emas yang kilaunya sangat bercahaya.
Bersama siswa SMP Negeri SATAP 1 Riung Barat
Tempat penugasanku di SMP Negeri SATAP 1 Riung Barat.
Lembaga pendidikan di Desa Lanamai, Dusun Tedhing ini berdiri
sejak tahun 2005. Saat itu kepala sekolahnya Pak Bernandus Rama.
Aku bisa membayangkan perjuangannya saat mengawali hari-hari
mengajar di sekolah ini. Tidak cukup hanya sekadar ilmu
pengetahuan yang memadai tapi dedikasinya harus dipersembahkan
47 | Cututun Huriun Ngudu 4
dengan tulus niatan untuk berbagi. Kalau tidak begini siapa pun pasti
tak akan bertahan lama menjadi guru di sekolah ini.
Pengabdian Pak Bernandus tak berlangsung lama, tahun 2007
digantikan oleh Pak Rudolf Seno. Dua tahun sekolah ini berdiri
tentunya belum menghasilkan lulusan satu angkatan pun. Kepala
sekolah kedua memang bertugas agak lama sampai tujuh tahun,
barulah setelah beberapa bulan kedatanganku kepala sekolah
digantikan oleh Pak Baltasar Nampar. Bersamanya aku menghabiskan
sisa waktu pengabdianku yang tinggal beberapa bulan saja.
Awal aku menginjakkan kaki di sekolah ini kulihat hanya ada
enam ruang kelas untuk dua rombongan belajar tiap kelasnya.
Malahan di semester genap satu ruangan digunakan untuk asrama
putri jadi tinggal lima yang digunakan. Siswa putri diasramakan untuk
persiapan menjelang ujian nasional.
Aku bersyukur saat tahun ajaran baru peminat sekolah ini
meningkat, tapi cukup miris juga. Sekolahku masih kekurangan
ruangan untuk tempat belajar mereka. Siswa baru berjumlah tujuh
puluh dua anak, seharusnya dijadikan tiga rombel tapi terpaksa harus
dipres menjadi dua rombel saja. Begitu juga dengan kelas dua yang
seharusnya ada dua rombel terpaksa juga harus digabungkan. Sama
halnya dengan kelas tiga yang seharusnya tiga rombel digabung
menjadi dua rombel. Semuanya dipres untuk bisa menampung siswa
yang ingin sekolah disini.
Tidak hanya ruang kelas saja yang kurang, namun sekolahku
juga tak punya ruang olahraga, perpustakaan, dan laboratorium. Jadi
jangan heran kalau mereka hanya berputar-putar di ruang yang sama
saat istirahat berlangsung.
4 | Cututun Huriun Ngudu 4
Suasana belajar di dalam kelas
Seperti tujuan awal kedatanganku adalah untuk memenuhi
kekurangan guru di daerah yang tergolong 3T. Kenyataannya pun
demikian. Karena kurangnya tenaga pengajar, aku ditugasi mengampu
tiga mata pelajaran sekaligus PKn yang memang jurusanku, TIK, dan
BK. Keberadaanku di sekolah tidak hanya untuk mengajar saja.
Seringnya aku membantu mengelola dan membuat administrasi
sekolah. Misalnya membuat roster (jadwal pelajaran), daftar hadir
guru, surat menyurat, mengetik soal, dan aku dipercaya untuk
membuat brosur pendaftaran sekolah yang akan dititipkan pada SD
yang dekat-dekat.
Kurangnya fasilitas pembelajaran tak menghentikanku untuk
bereksperimen mendapatkan menciptakan situasi belajar yang
menyenangkan. Aku mencobanya dengan metode pembelajaran
diskusi, bermain peran, lempar bola panas, atau sesekali aku
menampilkan video. Pernah aku tampilkan video fragmen sidang
BPUPKI dan PPKI, serta film-film perjuangan. Tontonan ini cukup
membuat mereka senang karena laptop adalah hal baru yang dapat
memudahkan mereka memahami materi-materi yang sedang
kuajarkan.
Hasil belajar mereka memang masih jauh dari yang aku
harapkan. Tapi satu hal yang membuatku bangga adalah semangat
49 | Cututun Huriun Ngudu 4
belajar mereka yang tinggi. Tak sia-sia kedatanganku ke tempat yang
sangat jauh ini setelah melihat semangat mereka yang terus menyala.
Semoga semangat itu juga akan menular padaku.
Aku salut saat mereka datang ke sekolah pagi-pagi dengan
jarak rumah yang cukup jauh, jalan kaki mendaki bukit sambil
membawa satu jerigen berisi air. Heranku, mereka tidak pernah
mengeluh, bahkan selalu tepat waktu untuk sampai di sekolah. Satu
hal lagi yang membuatku bangga, ternyata diam-diam mereka
menyimpan jiwa nasionalisme yang sangat tinggi untuk Indonesia.
Hal itu kudapati setiap pagi sebelum jam pelajaran dimulai, mereka
selalu mengikuti apel bendera, memberi penghormatan kepada sang
merah putih. Aku bangga dengan muridku di Tedhing. Teruslah
berjuang meraih mimpi, nak. (*)
0 | Cututun Huriun Ngudu 4
Gara-gara Panggil Aku Ayah
Rina Astuti
Wow lapangan miring. Suatu pemandangan yang cukup
mengejutkan untukku. Bukan penglihatanku yang kabur akibat
perjalanan jauh dari Jawa sampai Flores, tapi lapangan sepak bola
yang terletak antara gedung SD Perawea dan SMKN Bajawa Utara itu
memang miring. Sesaat lamanya aku langsung membayangkan kalau
bola akan menggelinding dengan sendirinya meski tidak ada yang
menendang, macam difilm horor.
Sepi. Hanya suara mbheeeek dan mowwww yang
terdengar. Sore itu, 18 September 2013 adalah kali pertama aku
datang ke SMK N Bajara Utara, sekolah yang akan menjadi tempat
pengabdianku setahun ke depan. Jangan heran kalau di sekolah ini
banyak hewan ternak karena memang judulnya SMK Peternakan.
Kedekatan pada alam sangat terasa, udara segar mengisi setiap
gelembung alveolus di paru-paru setiap hari. Begitu banyak cerita
yang akan terukir di tempat tenang yang teletak di antara dua bukit.
Perawea, sebuah kampung di Desa Genamere, Kecamatan Bajawa
Utara adalah tempat tinggalku untuk melakukan pengabdian.
Mengawali kehidupan satu tahunku di tempat ini dengan segala
hal yang berbeda dengan Jogja. Tepat tinggal di asrama sekolah dan
keterjangkauan kendaraan ke tempat ini adalah keberuntungan
untukku. Tetapi, gelap tanpa listrik, air kadang harus ambil dari jarak
lima ratus meter atau di sungai belakang asrama, sinyal bisa
menghilang hampir satu minggu adalah beberapa tantangan
lingkungan yang harus aku hadapi. Pemandangan alam yang tak
biasa. Di sebelah utara ada pegunungan di atas Malafai dan di selatan
menjulang Gunung Inegena yang menjulang tinggi.
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Gedung SMK N Bajawa Utara
Awal masuk sekolah perkenalan dengan guru-guru yang
ternyata sangat bersahabat. Dengan penduduk setempat pun aku
langsung cepat beradaptasi, mereka sangat ramah. Perkenalan dengan
siswa-siswi di kelas pun menyenangkan, setelah memperkenalkan
nama, asal, jurusan, pasti ada satu pertanyaan dari mereka yaitu
status aku tidak mengerti apa motif mereka menanyakan itu, tapi
bukan masalah besar bagiku untuk menjawabnya. Kesan awal,
menurutku mereka hebat dilihat dari semangat dan perjuangan mereka
untuk mengenyam pendidikan. Ada dari mereka yang harus berjalan
kaki beberapa kilometer setiap berangkat dan pulang sekolah.
Seiring berjalannya waktu aku mulai tahun kalau kekerasan
ternyata masih mewarnai pendidikan di sini. Hampir setiap hari anak-
anak mendapat sabetan bilah bambu, kayu gamal, maupun tangan
kosong ketika mereka terlambat, tidak mengerjakan tugas maupun
melakukan kesalahan yang lain. Para guru beranggapan bahwa
mendidik murid di sini tidakbisa jika tanpa kekerasan. Tetapi dalam
hati aku masih percaya sebenarnya anak-anak masih bisa dididik
tanpa kekerasan, karena bagaimanapun mereka adalah tunas-tunas
bangsa yang masih mempunyai perasaan dan bisa merasakan sakit.
***
Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Suatu hari aku meminjam buku yang berjudul Panggil Aku
Ayah. Buku itu menceritakan keberhasilan pengarang dalam
menerapkan pendidikan yang humanis, tanpa kekerasan. Setelah
selesai membaca, aku meminjamkan buku itu kepada seorang anak
tanah yang menjadi guru di SMK tempatku bertugas. Ia baru
beberapa bulan mengajar tetapi sangat ditakuti oleh para siswa karena
sering memukul. Setelah beberapa hari membawa buku itu kemudian
mengembalikannya padaku. Bukan terimakasih yang diucapkannya,
tapi kalimat yang sebenarnya tidak aku harapkan keluar dari
mulutnya.
Pembelajaran seperti itu tidak cocok. Ibu, untuk anak-anak
disini mereka tidakakan ikut apa yang kita omong kalau tidak pake
apis (pukul), ujarnya. Ketika itu aku hanya bisa diam dengan
keyakinanku bahwa murid-muridku bukan batu.
Waktu pun berlalu, guru itu pergi kuliah akta di Bali hingga ia
kembali ketika masuk tahun ajaran baru 2014/2015. Dihari pertama
aku bertemu dengannya lagi. Entah terkena angin apa di Bali sana, ia
berubah pikiran seratus delapan puluh derajat. Padaku ia mengakui
kebenaranyang tertulis dalam buku itu yang pernah kupinjamkan
dulu.
Cara mengajar yang benar itu seperti di buku yang ibu
pinjamkan dulu yang judulnya......, katanya sambil mengingat-ingat.
Panggil Aku Ayah, sahutku seketika.
Ada perasaan lega dan bahagia dalam hatiku ketika mendengar
pernyataannya. Aku sangat berharap ini menjadi titik tolak
ditanamkannya pendidikan yang humanis di sekolah pengabdianku
dan semoga sekolah-sekolah lain yang masih berkeyakinan mendidik
harus pakai apis.
KBM di kelas terasa menyenangkan, tapi tak jarang pula
menjengkelkan. Menyenangkan ketika murid-murid terlihat ceria,
3 | Cututun Huriun Ngudu 4
aktif, rajin, dan mudah memahami materi yang aku ajarkan. Tapi jadi
menjengkelkan ketika mereka tidak mengerjakan tugas, datang ke
sekolah tidak mandi, dan tidak bisa menjawab pertanyaan meski
sudah kujelaskan berkali-kali. Aku tidak mengerti apa penyebab
utama mereka terkadang lemah secara akademik. Mungkin faktor gen,
nutrisi, malas, atau karena tidak ada perpustakaan. Tapi kuakui murid-
murid di sini hebat untuk kegiatan ekstra seperti olahraga dan kerja
kebun.
Suatu hari ketika awal asuk sekolah setelah libur Paskah, pagi-
pagi sekali mereka sibuk menyapu dan mengepel lantai ruang kelas.
Kebetulan hari itu aku ada les Biologi jam pertama di kelas XI. Tapi
saat masuk ruangan, hemmmmm... bau kambing... meski mereka
sudah membersihkannya tetapi bau itu masih cukup tajam sampai di
indera penciumanku. Meski begitu, KBM tetap kami laksanakan.
Ketidaknyamaman itu terjadi karena semua selot di pintu kelas sudah
rusak. Kambing-kambing pun menjadi kreatif masuk ke ruang-ruang
kelas ketika pintu terbuka lebar tanpa seorang pun di sana. Mungkin
mereka penasaran ada apakah di dalam sana sehingga setiap hari
ramai.
Ujian akhir semester genap tahun pelajaran 2013/2014 akan
segera tiba. Dihari-hari terakhir masuk kelas aku memberi motivasi
pada para siswa agar lebih rajin belajar sehingga bisa mendapatkan
nilai yang bagus. Aku juga menjanjikan untuk memberi hadiah
kepada mereka yang mendapat nilai Biologi tertinggi saat ujian akhir.
Sepertinya hal itu belum pernah dilakukan oleh guru lain maupun
pihak sekolah. Janji harus ku tepati, sebuah kamus Biologi aku
berikan pada Frandrianus Sedu siswa kelas X Ruminansia yang
memperoleh nilai 78. Semoga bermanfaat, nak. (*)
4 | Cututun Huriun Ngudu 4
Albina Lebih Tua Dariku
Dimas Setyo Kukuh Permono
Indonesia terdiri dari berbagai ras, suku dan budaya. Hal itu
pun aku rasakan sekali ketika pertama kali menginjakkan kaki di
tanah Flores. Hamparan padang, hutan semua bercampur menjadi satu
lukisan alam yang sangat indah. Anak-anak yang mengambil air
seakan menjadi hiburan tersendiri bagiku, melihat unik dan sangat
kayanya Indonesia.
Aku adalah satu dari empat puluh delapan orang yang
beruntung mendapat kesempatan menjadi Guru SM-3T di Kabupaten
Ngada, NTT. Penempatanaku ada di daerah Genamere, Kecamatan
Bajawa Utara. SMK N Bajawa Utara merupakan institusi yang
menerima kedatanganku sebagai pendidik di sekolah. Kegaduhan
anak-anak yang sering aku temui di Jawa tidak kutemui di sekolah ini.
Maklum siswa yang ada di sekolah ini hanya seratus orang. Wajah
senyum guru dan kepala sekolah menyambut kedatanganku dengan
membawa harapan bahwa aku bisa membawa perubahan terhadap
sekolah maupun lingkungan dimana aku akan tinggal selama satu
tahun.
Malam ini adalah malam pertamaku tinggal di daearah
penempatan. Setelah tadi pagi dijemput Pak Fransiskus Tanggi yang
merupakan Wakasek Kurikulum sekolah kami. Gelap sangat terasa,
hanya ditemani dengan satu lampu sehen yang telah dicharge selama
dua belas jam saat matahari masih terang. Penempatanku belum
teraliri listrik secara resmi.
Makan malam pertamaku disiapkan oleh Pak Beni. Terasa
sangat spesial karena menyambut kedatangan keluarga baru, yang
nantinya akan tinggal bersama mereka selama satu tahun ke depan.
| Cututun Huriun Ngudu 4
Malam ini menjadi malam yang sangat panjang bagiku
merasakan tidak adanya sinyal handphone dan listrik. Aku jadi berasa
tinggal di dalam goa yang gelap dan terasing. Kebetulan malam itu
juga sedang berlangsung pertandingan sepak bola, final Indonesia
U19 yang merupakan favoritku. Pak Beni mengajak untuk menonton
bola di rumah tetangga yang punya generator untuk menyalakan
televisi.
Bersama Pak Beni aku jalan kaki tiga kilometer hanya untuk
melihat dan menikmati hiburan yang biasa kutonton di rumah.
Sesampai disana sudah berkumpul warga setempat yang tak ingin
ketinggalan menyaksikan pertandingan idola mereka, sama sepertiku.
Keringat dan bau badan menyelimuti ruangan ini. Aku mencoba
menahan nafas dan menghembuskannya sesekali, tapi ternyata tidak
kuat. Akhirnya sudahlah, dinikmati saja. Layar kecil empat belas inci
ini menjadi seperti layar bioskop yang menampilkan film box office
dan ditonton banyak pasang mata.
Malam pun menjadi pagi. Hari ini saatnya aku
memperkenalkan diri kepada murid baruku. Mereka menyambutku
dengan riang, tapi wajahnya seperti menyiratkan rasa takut. Mungkin
karena melihatku dengan badan yang besar dan botak macam tentara
dari Jawa. Setelah aku memperkenalkan diri mereka agak terheran
karena menurut mereka aku terlalu muda untuk menjadi guru di SMK.
Penasaranku semakin dalam
mendengar opini mereka, sehingga aku
meminta mereka memperkenalkan diri.
Aku meminta mereka memperkenalkan
diri dari yang paling tua.
Nama saya Albina Wongga,
biasa dipanggil Albina. Saya berasal
dari Nagekeo, Saya lahir tahun 1986,
| Cututun Huriun Ngudu 4
hoby saya main volly, katanya dengan wajah polos.
Sesaat aku tercenang mengetahui bahwa muridku ternyata lebih
tua daripada aku. Setelah bertanya padanya secara personal ternyata
Albina pernah tinggal di luar dan bekerja selama beberapa tahun.
Hidupnya hanya digunakan hanya untuk bekerja dan membantu
keluarganya, namun ketika mendapat teman di Perawea, Albina
mencoba mendaftar sebagai siswi SMK meski pada saat itu usinya
sudah dua puluh lima tahun.
Rasa malu berbaur dengan haru aku rasakan di sini. Dimana
seorang muridku ternyata lebih senior dari pada aku. Semangat
belajar dan ingin tahu tidak membatasi seseorang untuk sekolah.
Itulah pelajaran yang aku dapatkan dari Albina.
Setelah melewati hari pertama, ternyata hari-hari berikutnya
semakin menyenangkan. Tinggal di daerah ini aku nikmati dengan
rasa bangga dan selalu bersyukur. Banyak hal yang tidak pernah aku
lakukan, kecuali disini. Banyak pula tantangan dan hambatan yang
aku temui disini, namun melihat muridku disini rasanya hati jadi
selalu riang.
Pernah suatu hari aku mencoba terobosan baru dengan cara
media untuk praktik
kejuruan. Banyak
dari kalangan guru
ataupun warga yang
menentang ide dan
gagasanku. Namun
karena dukungan
dari teman-teman
terdekatku, akhirnya
kami sukses
menjalankan praktik itu
dengan baik. Kami
Bersama murid-murid SMK N Bajawa Utara
7 | Cututun Huriun Ngudu 4
mencoba untuk membudidayakan ayam pedaging yang notabane
merupakan ternak khas dari sekolah pengabdianku. Cacian dari
masyarakat dan guru yang tadinya menyepelekan, kini terbantahkan
dengan sendirinya. Program yang kami rancang ini sekarang menjadi
program unggulan sekolah yang dilaksanakan secara berkala. Progran
ini dianggap sukses karena mampu menjadi bahan praktik siswa
dalam memahami program jurusannya. Malahan mampu untuk
menambah uang komite untuk operasional sekolah. (*)
| Cututun Huriun Ngudu 4
Aku Hanya Ingin Pemerataan
Herprimawan
Desir ombak dengan perahu nelayan yang menjadi nafas
kehidupan tertata apik di tepi-tepi pantai. Seperti orang bilang Ai
berarti air dan mere yang berarti luas. Jadi, Kecamatan Aimere bisa
dibilang kecamatan dengan bentangan air yang luas. Berada di ujung
barat Kabupaten Ngada, tepatnya di pesisir selatan Pulau Flores.
Berbatasan langsung dengan Kabupaten Manggarai Timur.
Takdirlah yang membawaku sampai di pesisir ini. Bersama
rombongan berjumlah empat puluh delapan orang, tanah Flores
menjadi tempat pengabdian setahun lamanya. Sejak tiga tahun lalu,
pemerintah melalui Program SM-3T menetapkan Ngada sebagai
daerah sasaran untuk pemerataan pendidikan.
Mendidik di daerah dengan penuh keterbatasan menjadi
tantangan tersendiri bagiku. Menjadi guru memang bukan cita-citaku
sejak awal, tapi kusadari ini pilihan. Teman-temanku pernah bertanya
kenapa aku mau mengajar di daerah pelosok macam Flores? Kenapa
tidak di kota saja?
Banyak yang mau jadi guru di kota, tapi jarang yang mau
mengajar di tempat terpencil, jawabku.
Lalu kenapa kamu memilih tempat terpencil? tanya temanku
lagi.
Aku hanya ingin pemerataan, jawabku.
Pemerataan inilah yang menjadi alasan kuat kenapa aku
memutuskan untuk mengikuti program SM-3T. Dengan langkah
9 | Cututun Huriun Ngudu 4
seringan-ringannya langkah, aku berangkat ke NTT, menjejakan kaki
di Dusun Nunumeo, Desa Keligejo, Kecamatan Aimere.
Asa untuk mencerdaskan anak bangsa seakan menyemangati
laju langkah kakiku menuju tempat pengabdian di Nunumeo. Bagian
dari Kecamatan Aimere yang terletak di ujung barat, berbatasan
langsung dengan Kabupaten Manggarai Timur, disini pula sekolahku
tempat pengabdianku.
Sekolah yang berdampingan dengan alam dengan gundukan
bukit dan sabana yang menghijau. Jarak kota kecamatan ke Dusun
Keligejo kurang lebih sepuluh kilometer dari pusat kota. Jarak dan
Waktu bukan menjadi hambatan mewujudkan impian muridku di
Aimere.
Bermimpilah setinggi mungkin, nak. Setinggi Gunung Inerie
yang menjulang di sudut utara Aimere, kalimat yang selalu kuucap
ketika berada di depan kelas memercikan semangat dan keoptimisan
pada mereka.
Semangat bersekolah tergambar di wajah mereka. Bukan hanya
dari mereka yang berasal dari Dusun Keligejo tapi juga dusun-dusun
lain, mulai dari yang paling dekat berjarak satu kilometer dan paling
jauh enam kilometer seperti Paukate, Gemo Lopijo, dan Waelengga
Manggarai Timur. Untuk mengejar waktu ke sekolah kadang mereka
tak sempat mandi supaya tidak terlambat.
Tak ada air di sini bapa, seorang siswa kelas VIII
mengatakannya padaku.
Untuk mendapat sedikit air harus menadah lebih dulu dengan
berjalan kaki ke penampungan yang dibangun warga hasil swadaya
masyarakat. Bahkan terkadang saat air di pipa tidak mengalir
masyarakat berharap akan kebaikan alam saja. Mengharap air sungai
tetap bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menuju
0 | Cututun Huriun Ngudu 4
sungai pun harus mendaki dan menuruni beberapa bukit. Penuh
perjuangan memang.
Pemandangan orang-orang meneteng jerigen menjadi rutinitas
keseharianku. Pemandangan ini juga berlaku bagi muridku di SMP N
3 Aimere. Guna mencukupi kebutuhan air di lingkungan sekolah,
siswa diberi kewajiban membawa satu jerigen air bersih. Ironis ketika
melihat anak-anak sekolah pada umumnya berangkat menenteng buku
namun di sini anak-anak meneteng jerigen demi mencukupi
kebutuhan air di sekolah.
Bersama anak-anak di Dusun Nunumeo
Namun keterbatasan ini tidak melunturkan semangat murid-
muridku di Nunumeo. Mereka tak patah semangat, mimpi mereka
terbentang luas dan mendalam. Cita-cita mereka tak kalah banyak
dengan air yang mereka tadah di jerigen setiap pagi dan petang
menjelang. Belajar dengan keterbatasan bukan berarti menyetop
tingkat kreatifitas, masih ada alam yang bisa menjadi sumber
pembelajaran. Kadang aku sebagai manusia lupa akan menghargai
alam yang telah menyediakan semua kebutuhan manusia.
***
Saat sebagian rakyat Indonesia telah jauh menikmati
kemudahan dari kemajuan ilmu teknologi, di sini baru terjamah.
Ketertinggalan ini juga yang menjadikan Bahasa Indonesia tak
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
digunakan dengan baik oleh murid-muridku. Bahasa jadi kendala,
sehingga daya tangkap mereka semakin lemah.
Disisi lain Anak-anak yang harusnya mendapatkan hak
pendidikan terpaksa membantu orang tua untuk bisa bertahan hidup
sehingga hak-hak mereka sebagai anak terabaikan. Belum lagi yang
sekolah hanya untuk memenuhi perintah orangtua saja. Setahun yang
singkat ini mungkin aku tak bisa merubah semuanya, namun
setidaknya aku berusaha memberikan kebermanfaatan bagi mereka.
Di balik itu semua, setahun di Aimere aku seperti menemukan
keluarga baru. Tabiat keras yang menjadi label perwatakan orang
Flores tak kurasakan di Aimere. Toleransi mereka sangat tinggi
terutama kepada kami yang muslim. Begitu juga dengan adat yang
masih begitu melekat di tengah-tengah mereka. Seperti upacara adat
reba, pembuatan rumah adat bagha dan ngadu, tari adat Jai menjadi
bagian dari adat yang membentuk karakter masyarakat di Dusun
Keligejo Aimere. Kekuatan adat yang sangat tinggi ini menjadikan
Aimere mampu menjaga kelestarian kebudayaanya sampai saat ini.
Setahun di Nunumeo semakin melebarkan pandangku tentang
cerminan dunia pendidikan Indonesia. ketidakmerataan pendidikan
Indonesia benar-benar tampil dengan telanjang. Ketimpangan itu
tampak nyata yang secara kasar dapat kusimpulkan bahwa semakin ke
timur, kualitas pendidikan itu semakin rendah. Bukan hanya dari segi
fasilitas tapi juga dari kualitas tenaga pendidik. (*)
Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Mengabdi untuk Kebermanfaatan
Maratul Khusna Ayu Adityas
Alhamdulillah, tidak henti-henti kuucap syukur atas segala
nikmat sehat dan sempat yang Alloh anugerahkan hingga genap
setahun kulewati hari-hari di tempat pengabdian. Tanah Flores
memberi begitu banyak pengalaman hidup yang tentu mahal
harganya. Tak sebanding dengan apa yang bisa aku beri kepada anak
didikku di tanah Flores. Pengalaman hidup yang tidak bisa dibeli
dengan uang. Pengalaman yang begitu berkesan dan tidak akan
pernah terlupakan.
Pagi itu Selasa, 17 September 2013 perjalanan menuju Flores
dimulai tepatnya ke Kabupaten Ngada tempat dimana aku akan
ditugaskan. Burung besi bertuliskan Garuda di badannya membawa
kami ber-48 terbang menuju Indonesia Timur.
Perjalananku didampingi Dekan FMIPA, Dr. Hartono, Wakil
Dekan FE, Prof. Murdiyono, dan Koord. Program SM-3T UNY, Moh.
Slamet,M.S. Tepat pukul 14.30 WITA Garuda mendaratkan
penerbangannya di Bandara Hasan Aroeboesman, Ende. Kakiku
sudah menapak di daratan Flores yang saat itu masih penuh tanda
tanya. Perjalanan sampai di Ende bukan berarti selesai, karena
dilanjut menuju Bajawa, Ibukota Kabupaten Ngada dengan jalur
darat. Setidaknya memakan waktu kurang lebih empat jam perjalanan.
Sekitar pukul 18.30 WITA NGD-48 (kami menyebutnya) tiba
di Hotel Kambera. Hotel yang biasa digunakan untuk pertemuan
angkatan dua setiap bulannya. Enaknya, hotel ini milik orang Jawa,
asli wong Solo katanya yang sudah menetap di Flores 20 tahunan. Di
hotel ini pula aku disambut dengan ramah oleh SM-3T Angkatan II.
Setahun lalu mereka lebih dahulu mengabdi di kabupaten ini.
3 | Cututun Huriun Ngudu 4
Aku disambut dengan Tarian Jai (tarian khas NTT) dan
masing-masing dari kami diminta untuk mengunyah daun sirih
pinang. Kata kakak angkatan kebiasaan ini telah menjadi adat yang
nantinya akan sering dilakukan di sini.
Prosesi selanjutnya adalah pengumuman di kecamatan mana
aku akan ditempatkan. Takdir menyatukanku dengan Heprimawan,
Teguh Wiryanto, Jumai Rofiana untuk ditempatkan di Kecamatan
Aimere. Entah dimana Aimere itu.
Keesokan harinya baru aku tahu dimana itu Aimere. Satu dari
dua belas kecamatan yang ada di Ngada. Aku cukup beruntung di
ditempatkan di kecamatan ini. Dibandingkan kecamatan dimana
teman-temanku ditempatkan, Aimere sudah cukup maju. Selain
letaknya di jalan trans Flores disana juga ada pelabuhan yang
membuat kecamatan di ujung selatan Flores ini ramai. Bisa dibilang
jauh dari pelosok.
Sejak awal pengumuman penempatan melalui website UNY,
sudah seyogyanya ditanamkan dalam hati dan pikiran bahwa harus
siap ditempatkan dimanapun. Alloh sudah menakar kemampuan dan
sudah pasti tidak akan melebihi batas kemampuan yang dimiliki
hambaNya.
Pastinya, baik aku maupun ber-48 memiliki tantangan
tersendiri yang berbeda-beda satu sama lain. Adalah kurang bijak
kalau menilai diri sangat menderita, sementara memandang orang lain
sangat beruntung. Hal yang paling penting adalah bagaimana aku
menyikapi, mengambil hikmah dan pelajaran dari segala tantangan
yang dihadapi. Dibutuhkan ati sing legowodan kejernihan hati
serta pikiran untuk memunculkan sikap nrimo ing pandum.
Menjadi nomor wahid adalah bisa bermanfaat bagi sesama
sebagai salah satu wujud syukur atas segala nikmat termasuk nikmat
sehat dan nikmat sempat yang diberikan Sang Maha Memberi. Kali
4 | Cututun Huriun Ngudu 4
ini aku akan menceritakan kebersamaan dengan seorang muridku di
SMA N 1 Aimere. Dengannya aku bisa berbagi dan semoga
bermanfaat.
***
Kulitnya cokelat gelap, berambut keriting dan berhidung
mancung sama seperti orang Flores kebanyakan. Jika dilihat secara
sepintas penampilannya cukup nyleneh. Terkadang memakai anting-
anting imitasi, baju seragam tidak isi dalam namun yang unik adalah
sepatu yang ia kenakan selalu kinclong dan bersih. Adalah Heronimus
Dhey. Seorang satu siswa di SMA N 1 Aimere yang pada saat itu
duduk di kelas XI IPS 3.
Heron, begitulah
sapaannya yang pada saat itu
ia juga dipercaya untuk
menjadi ketua kelas. Awal
pertemuan pada kegiatan
belajar berjalan biasa. Namun
pada pertemuan-pertemuan
KBM selanjutnya mulai
nampak ada yang berbeda
pada anak itu. Antusias dan
semangatnya ketika mengikuti pelajaran matematika terlihat berbeda.
Heron memiliki kemampuan pada bidang matematika.
Kemampuannya di atas rata-rata teman sekelasnya, bahkan di atas
rata-rata siswa kelas XI IPS .
Bahasan tentang Heron berlanjut di kantor guru. Banyak guru
mengatakan bahwa Heron adalah siswa yang nakal, sudah diatur.
Heron telah mengukir sejarah hidup yang membuat beberapa guru
memandang sebelah mata padanya.
Foto bersama murid
| Cututun Huriun Ngudu 4
Saat duduk di kelas X cukup sering keluar masuk polsek karena
terjaring razia karena ia nongkrong di jalan pada saat jam sekolah.
Pada saat rapat kenaikan kelas pun, dia hampir saja diketok palu tidak
naik kelas. Akhirnya ada kesempatan untuk bisa menggali lebih
dalam tentang Heron.
Informasi aku gali langsung dari Heron. Muridku ini sedikit
bercerita tentang dirinya. Saat masih duduk di bangku SD dia cukup
sering mengikuti lomba matematika dan tidak jarang keluar sebagai
juara. Ia pun mengakui bahwa dulu dia nakal. Yang cukup unik di
sini, kenakalannya itu tidak melibatkan teman-teman sekolahnya. Jadi
dia bersikap demikian nakal itu hanya melibatkan dirinya sendiri.
Entah karena apa timbul keinginan dari diri untuk mengakhiri
kenakalannya itu.
Perubahan yang cukup drastis dia tunjukkan mulai dia duduk di
kelas XI. Akan tetapi masih saja ada guru yang memandang sebelah
mata tentang perubahan yang baik pada Heron. Tapi pandangan
sebelah mata itu berangsur berkurang setelah ia mewakili SMA N 1
Aimere untuk mengikuti lomba matematika di tingkat kabupaten.
Beberapa guru perlahan mulai mengapresiasi prestasi yang Heron
raih. Pada awal tahun ajaran baru ini, ada satu guru yang dulunya
begitu underestimate kepadanya, namun dengan senyum yang
mengembang guru itu akhirnya mengakui dan memuji kelebihan
Heron.
Setiap anak itu istimewa. Pada dasarnya memang setiap anak
memiliki kemampuan , minat dan bakat yang berbeda. Tidak adil
rasanya jika siapa pun sebagai guru mengecap atau memberi
pelabelan tertentu pada mereka. Banyak hal yang memengaruhi
ketidakbisaan siswa. Bisa jadi karena ia memang memiliki kesulitan
dalam belajar, atau bisa jadi memang bakat siswa bukan pada bidang
yang diajarkan. Bukan tidak lain itulah yang menjadi tugas guru untuk
bisa mengarahkan siswa. Bukankah tidak ada orang gagal yang tidak
| Cututun Huriun Ngudu 4
punya masa depan dan tidak ada orang sukses yang tidak punya masa
lalu?
Akhirnya, tugas setahun mengabdi usai sudah. Burung besi akan
kembali menerbangkanku ke tanah Jawa. Kamis, 4 September 2014
kami akan terbang meninggalkan Pulau Flores untuk melanjutkan
pengabdian di tanah kelahiran. Di Pulau Flores, setahun dari jatah
hidup yang penuh keberkesanan sudah dihabiskan. Terimakasih
Flores, terimakasih Ngada, terimakasih Aimere dan terimakasih
NGD-48. (*)
7 | Cututun Huriun Ngudu 4
Semangat Penggalangku Dikacu Pramuka
Arum Puspitaningtyas
Salam Pramuka .......!!! Salam seorang Praja Muda Karana.
Berpedoman Trisatya dan Dasa Dharma. Begitulah Penggalang Luar
Biasa memberi salam selama latihan menjelang Jambore Cabang
Ngada. Semangat muridku yang sangat menggebu untuk ikuti
pramuka membuat dewan guru mantap untuk mengirim mereka ke
bumi perkemahan. Keputusan kepala sekolah yang terkesan
mendadak ini membuat semua guru dalam ruangan bergumam dan
bingung. Tidak ada satu pun yang sanggup untuk mendampingi anak-
anak ikut Jambore. Akhirnya ditunjuklah aku bersama pembina senior
di sekolah yaitu Pak Min dan Bu Ankadeo.
Satu minggu adalah waktu yang sangat singkat untuk kami para
pembina mempersiapkan segala urusan dan keperluan kemah. Aku
tak akan menyerah dengan keadaan, tetap senang saat dilimpahi tugas
in. Seketika semangat untuk segera melatih murid-muridku sangat
menggebu. Hari itu aku langsung mengumpulkan mereka yang sudah
dipilih untuk mengikuti Jambore dan memberikan arahan untuk
jadwal latihan selama seminggu.
Hari pertama kami latihan dibuka dengan cuaca yang kurang
mendukung. Alam saat itu tidak bersahabat, hujan turun sangat lebat.
Saat itu pula semangatku tiba-tiba down dan pesimis untuk bisa
latihan dengan muridku. Tapi semua itu hilang seketika saat melihat
anak-anak datang dengan semangat dan keceriaan yang tulus.
Bu Aruuuuuuuuummmm...... teriak mereka dari jauh.
Meski banyak materi kepramukaan yang masih belum dikuasai
anak-anak tapi semangat mereka untuk tetap lanjut mengikuti
Jambore membuatku percaya diri akan kemampuan mereka.
| Cututun Huriun Ngudu 4
***
Awal kegiatan Jambore, kami tetap semangat. Mendirikan
tenda dengan anak-anak merupakan kebahagian yang tidak bisa
diukur. Kami mendirikan tenda sendiri tanpa ada satupun guru atau
keluarga sekolah yang datang membantu. Sedikit merinding saat
melihat tenda milik sekolah lain yang didirikan beramai-ramai
dibantu oleh para guru dari sekolah masing-masing. Tapi lagi-lagi aku
tetap bahagia dan bangga dengan kemampuan kami yang terbatas.
Kegiatan pramuka akan dibuka secara resmi pada hari kedua
kami berada di bumi perkemahan. Aku berharap penggalangku
mampu bersanding dengan penggalang lain di lapangan. Meskipun
aku tak bisa memantau mereka secara langsung, karena dalam waktu
yang bersamaan aku merangkap sebagai panitia. Beruntung Bu
Ankadeo bisa diajak kerjasama untuk memantau aktivitas muridku.
Dia pembimbing yang sangat luar biasa.
Malam pentas seni, dimana setiap peserta diminta
menampilkan kesenian, termasuk murid-muridku dari GUDEP SLB .
Detik-detik menjelang performance mereka ada sedikit keraguan dan
ketakutan yang aku rasakan. Ternyata perasaan itu juga yang
dirasakan oleh Bu Ankadeo.
Selama latihan mereka selalu membuatku dan Bu Ankadeo
marah, stres dan putus asa.
Apalagi saat akan tampil,
sempat muncul keraguan
karena latihan pentas hanya
dua malam. Aku hanya
senyum-senyum saja saat
mereka bersiap-siap.
Eehhhhmmm..... saat
ambil posisi saja sudah salah Penampilan Penggalangku di malam pentas seni Jambore
Cabang Ngada
9 | Cututun Huriun Ngudu 4
aku jadi tertawa bersama para penonton, sempat tepok jidat. Saat aku
mengambil gambar, mereka bersikap biasa saja, ketika mulai
bernyanyi pun mereka tetap tenang. Wele.... tiba-tiba suasana sekitar
panggung menjadi hening, ternyata semua orang sedang sibuk
menyeka air mata. Aaaaahhhh ternyata mereka luar biasa. Diluar
dugaanku mereka sudah membuat banyak orang meneteskan air mata.
Mereka membawakan lagu Bunda Mudjito.
Aku tak mau.... ayah ibu sedih
Trimalah aku apa adanya.....
Walau diriku tidak sempurna...
Percayalah kepadaku
Aku tetap menerima.... takdirku.....
Kusayang kepadamu
Duhai ayah ibuku
Janganlah kau menyesal
Trimalah diriku..... apa adanya
Kuingin bersamamu
Menggapai masa depan ku
Doakan, anakmu.... dekaplah selalu....
Kalian memang hebat dan luar biasa, hanya kalimat itu yang
bisa aku ucapkan.
Penggalangku membuatku dan Bu Ankadeo semakin percaya
bahwa kelebihan kami ada di dalam diri mereka. Pribadi yang pemalu
dan tidak disangka, dalam kegiatan ini kalian menunjukan keberanian
yang luar biasa. Pembimbing yang terbatas dan harus membimbing
sepuluh anak di bumi perkemahan. Tentu banyak suka duka yang
kami rasakan.
Satu jam sebelum siap-siap ada banyak kejadian yang tidak
terduga. Dua anak adu jotos sampai semua orang di bumi perkemahan
khusunya di kelurahan tiga putri datang menonton, sedang yang lain
70 | Cututun Huriun Ngudu 4
berusaha melerai tapi tidak bisa. Teman-temannya menyerah dan
akhirnya datanglah Bu Ankadeo mengambil tindakan tegas. Untuk
menghindari kekerasan tangan partnerku ini mengambil air untuk
memisahkan mereka yang bertengkar. Sangat menjengkelkan setiap
aku mengingat kejadian ini, tapi lucu. Itulah keunikan, kelebihan, dan
kekurangan anak SLB.
***
Malam puncak, malam Bhineka Tunggal Ika dimana setiap
GUDEP yang ditunjuk harus siap untuk menunjukkan
perfomancenya. Kami dari GUDEP SLB menjadi salah satu peserta
pilihan yang diminta untuk mengisi kegiatan di malam Bhineka
Tunggal Ika.
Hari itu juga aku, Bu Ankadeo dan penggalangku memilih satu
lagu untuk dinyanyikan. Sebelum tidur kami berlatih supaya besok
malam kami bisa tampil lebih baik lagi. Setelah berlatih kami
langsung beristirahat untuk mengembalikan tenaga yang sudah
terkuras seharian.
Tibalah malam puncak kebersamaan kami di bumi
perkemahan. Penggalangku siap membawakan lagu yang sudah kami
siapkan, judulnya Memang Ku Dilahirkan Begini.
Memang ku dilahirkan begini
Tak pernah ku sesali diriku
Mungkin sudah kehendak illahi
Kan ku trima kenyataan
Oh...Tuhan kunanti terangmu....
Atas uluran tangan dermawan
Hanya doa yang kami panjatkan
Smoga Tuhan...membalas budimu....2x
Usai menyanyi kemudian dilanjutkan puisi dengan judul
Harapan kami yg cacat. Suasana malam itu tidak berbeda jauh
71 | Cututun Huriun Ngudu 4
dengan malam sebelumnya. Semua orang di sekitar paggung
terhipnotis dengan penampilan penggalang-penggalangku yang luar
biasa.
Saat itu juga aku merasa sangat bangga dengan mereka. Tak
ada sedikit pun rasa malu memiliki murid seperti penggalangku. Dari
mereka aku jadi banyak belajar untuk tidak melihat orang dari
kekurangannya, tetapi hatinya. Di dalam hatinya tersimpan ketulusan
dan kepolosan yang mereka miliki, itulah yang menjadi semangat dan
kekuatanku. Aku merasakan kekuatanku ada pada diri mereka,
melihat penggalangku mampu tampil dengan maksimal rasa lelah dan
jengkel hilang seketika dan berganti dengan semangat.
Terimakasih Tuhan, engkau telah menghadirkan mereka dalam
hidupku, aku belajar banyak dari mereka. Terimakasih juga para
penggalangku yang luar biasa, aku bangga dengan semangat kalian.
(*)
7Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Bertahan Hidup Berkat Wae Suru
Subekti
Berharap gemercik air Wae Suru masih terus terdengar
ditelinga, karena inilah satu-satunya sumber mata air di SMP Negeri 3
Golewa. Tempat pengabdianku memang tergolong susah air. Demi
dua jerigen air, demi bisa mandi, demi bisa mencuci pakaian, dan
demi-demi yang lain aku harus berjalan ke Wae Suru dengan
melewati jalan setapak yang begitu curam. Tapi inilah pengalaman
yang paling berharga. Membuatku mengerti betapa berartinya setetes
air dalam hidup ini.
Aku harus menghapus pemikiran klasik bahwa dimana pun
aku ditempatkan yang penting ada listrik dan sinyal. Ternyata
keduanya kalah penting dengan yang namanya air. Tidak ada air itu
lebih susah hidup ketimbang penerangan yang bisa digantikan dengan
matahari saat siang atau cukup gelap-gelapan saja di waktu malam.
Lebih baik mencari titik-titik sinyal di bawah pohon atau balik jendela
ketimbang mencari sumber air yang hanya dapat beberapa tetes saja.
Ditemani tawa penuh riang dari murid-muridku, membuat jiwa
ini tidak pernah merasa lemah meski harus naik turun Wae Suru.
Bersama mereka setelah pulang mengajar aku menyisakan waktu
untuk mencuci pakaian, mandi, dan mengambil air. Percikan air yang
loncat dari pancuran tidak membuatku merasa dingin. Sembari
mencuci, mandi, dan memandangi wajah polos mereka tidak terasa
matahari sudah mulai bersembunyi di balik bukit. Tak terasa pula
pekerjaanku sudah selesai.
Bergegas kembali ke rumah sebelum langit menjadi gelap. Saat
itu pepohonan masih nampak hijau. Langkahku kecil dan pelan
sembari melihat bukit yang menjulang tinggi. Terkadang aku berpikir
mampukah aku melewati sampai ke puncaknya. Ah mengkhayal.
73 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sejenak aku menoleh, melihat murid-muridku yang masih
semangat jalan kaki. Di atas kepala mereka ada segunung cucian yang
bersatu dalam ember besar, tingginya tak mau kalah dengan tingginya
bukit yang kupandangi tadi. Usia mereka sangatlah jauh di bawaku
tapi semangatnya yang pernah kendur. Merekalah yang membuat
semangatku tak mengendur yang tetap terpacu untuk melewati jalan
setapak ini. Dimataku mereka hebat, jempol empat kualamatkan pada
murid-muirdku ini.
Wae Suru mengingatkanku pada sebuah tulisan, bahwa sesuatu
yang kita dapatkan dengan penuh pengorbanan itu nikmatnya lebih
terasa. Sama halnya ketika aku harus mendapatkan air ke Wae Suru,
penuh pengorbanan tapi akhirnya aku bisa mandi, mencuci pakaian,
dan bahkan untuk kebutuhan memasak atau minum.
Wae Suru sangat membantuku selama satu tahun di daerah
pengabdian. Ternyata dengan segala keterbatasan pun aku tetap bisa
bertahan. Murid-muridku tanpa disadari telah mengajarkan
pengalaman indah itu. Terkadang fasilitas yang melimpah malahan
membuat banyak orang menjadi lemah, malas dan tak luput dari kata
AKU TIDAK BISA. Padahal sesungguhnya kita BISA hanya saja
malas dan terlambat untuk membangkitkan diri sendiri. (*)
74 | Cututun Huriun Ngudu 4
Gener
Berbahagialah mer
semua fasilitas kota deng
dengan cepat tanpa kend
berkembang secepat kilat.
di pedalaman seperti Nus
masih dilabeli sebagai d
mereka memang benar-be
butuh perhatian khusus unt
Setahun aku ditemp
tepatnya di Desa Tanah
Kabupaten Ngada, NTT. M
pendidikan di Indonesia m
berada di kelas bersam
pengalaman yang sangat b
Kuraakan tantangan
adalah tidak adanya arus
tapi setidaknya kekuarang
terlambat dibandingkan da
Gedun
rator Jadi Barang Istimewa
Rudi Purnomo
eka yang tinggal di perkotaan. Bisa
gan mudah, mengikuti perkembanga
dala. Pendidikan maju, ilmu penge
Lain cerita dengan generasi emas y
sa Tenggara Timur. Banyak tempat
daerah tertinggal. Menyoal tentang
enar tertinggal. Sekolah-sekolah di
tuk bisa bersanding dengan sekolah k
patkan mengajar di SMP N Satu Ata
h Lain, Wangka Selatan, Kecama
Mengabdi disini semakin meyakinka
memang belum merata. Aku merasaka
ma wajah-wajah lugu yang telah
erharga.
n besar dalam kegiatan belajar men
listrik. Memang bukan menjadi ke
an inilah yang membuat kinerja men
aerah lain yang terdapat arus listrik.
ng SMP N Satu Atap 4 Riung
a menikmati
an teknologi
etahuan pun
yang berada
disini yang
pendidikan
sini masih
kota.
ap 4 Riung,
atan Riung,
anku bahwa
an betul saat
memberiku
ngajar disini
endala besar
njadi sedikit
7 | Cututun Huriun Ngudu 4
Aku merasakan apa yang mereka rasakan selama ini. Harus tulis
tangan untuk bisa menghasilkan satu perangkat pembelajaran. Menyiapkan
lembar soal dengan tulis tangan, lembar nilai, dan lembaran lain yang
dibutuhjan dalam waktu cepat.
Sebenarnya sudah banyak yang mengusulkan kepada pemerintah
setempat untuk pengadaan arus listrik, tapi tetap saja harapan palsu yang
didapat. Alih-alih dibilang Tanah Lain adalah kawasan hutan lindunglah,
cagar alamlah, dan alasan lain yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan
mudah oleh para pemangku kebijakan. Sejak Indonesia dibilang merdeka
sampai sekarang daerah ini belum sama sekali tersinari oleh arus listrik.
Aku jadi berpikir merdeka macam apa kalau hanya untuk penerangan pun
tak ada.
Masyarakat setempat hanya memakai penerangan menggunakan
lampu sehen. Yaitu bola lampu yang bekerja karena bantuan tenaga surya.
Beberapa rumah juga ada yang masih menggunakan pelita yang
mengandalkan minyak tanah. Beruntung minyak tanah disini tidak langka
seperti di kota besar.
Sedikit berbeda dengan warga yang memiliki financial lebih,
karena mereka bisa menggunakan generator sebagai pengganti listrik.
Dengan disambung kabel dan diberi solar mesin ini siap menghidupkan
balon-balon lampu dibantu tenaga engkol manusia. Generator ini sangat
berguna bagi daerah pedalaman, terlebih bagiku yang bertugas di daerah
ini.
Generator menjadi barang mewah disini. Selain sebagai perantara
untuk penerangan di malam hari juga digunakan untuk sumber tenaga
mesin traktor di sawah-sawah milik warga. Dengan kondisi yang demikian
sangat jelas sekali manfaat dari keberadaan generator di daerah
pedalaman.
7 | Cututun Huriun Ngudu 4
Dengan militansi tanpa batas untuk mengabdi di daerah
penempatan, aku berharap listrik bukanlah menjadi kendala besar untuk
berkembang. Meski pada kenyataannya tempat penugasan jauh dari yang
diharapkan, karena tidak adanya arus listrik sebagai penopang suksesnya
proses pembelajaran. Aku berharap semoga ke depan proses pembelajaran
disini tetap maju, tetap semangat, dan bisa bersanding dengan sekolah lain
di kota. Bantuan pemerintah dalam sektor pendidikan semakin jelas
realisasinya untuk peningkatan kualitas serta mutu pembelajaran di daerah
ini. (*)
77 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sempat Terjebak di Sungai Tanpa Jembatan
Anang Budi Irawan
Aku tak pernah membayangkan akan mendapat kesempatan
mengabdi sebagai guru di daerah 3T, tepatnya di SDI Malafai, Dusun
Malafai, Desa Nginamanu Selatan, Kecamatan Wolomeze, Kabupaten
Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tampak dari kejauhan kampung
pengabdianku ini berada di lembah yang membentang dari barat
sampai ke timur, sedang di bagian utara nampak bukit-bukit hijau
yang cukup terjal. Meski topografinya berbukit, tapi di sekitar lembah
terdapat sungai dan sawah yang cukup luas. Jadi kalau dilihat dari
kejauhan tampak indah dipandang mata, apalagi kondisi alamnya
masih sangat terjaga. Sebelah utara Malafai berbatasan langsung
dengan hutan kawasan yang dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai
tempat untuk mencari kayu bakar, buah-buahan, dan juga tempat
untuk berburu babi hutan atau hewan buruan lainnya.
Malafai termasuk dalam kategori daerah terpencil. Maklum,
pembangunan di kampung ini belum maju bahkan bisa dibilang masih
sangat tertinggal karena lokasinya yang jauh dari kota. Pernah suatu
ketika aku ngobrol dengan orang-orang di Kota Bajawa, katanya
Kampung Malafai memang terkenal daerah yang sulit bahkan ada
yang tidak tahu dimana Malafai itu berada.
Orang-orang itu heran kenapa aku bisa tinggal disana. Akses
jalan menuju ke tempat pengabdianku memang cukup sulit, jalannya
masih tanah dan sebagian besar berbatu serta berlubang. Bahkan
7 | Cututun Huriun Ngudu 4
masih ada jalan yang harus melintasi sungai besar yang belum ada
jembatan, jadi saat musim hujan terpaksa tidak bisa dilewati sampai
air surut.
Pernah suatu ketika aku mengantar kepala sekolah ke kantor
dinas. Ada keperluan mendadak yang harus diselesaikan jadi kami
pergi dengan mengendarai sepeda motor. Kebetulan waktu itu juga
bertepetan dengan musim hujan, kami terjebak dalam lumpur
beberapa jam lamanya, tidak bisa bergerak karena lumpur yang
lengket melekat di ban motor, si bulat ini pun tak bisa berputar.
***
Malafai jauh dari kota maupun pasar, maka untuk mendapatkan
keperluan sehari-hari seperti sayur-sayuran dan keperluan lainnya
harus ke kota dengan menempuh jaral yang cukup jauh. Kalau tidak
ada kesempatan ke pasar, aku hanya mengandalkan hasil alam
seadanya. Kebetulan sekolah memberi izin padaku setiap hari Jumat
untuk beribadah ke Masjid. Masjid di daerah ini jumlahnya sedikit,
biasanya aku lebih memilih salat jumat di Masjid Agung Kota
Bajawa. Sekali jalan, sekalian aku berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Untuk bisa pergi ke kota aku lebih dulu berjalan kaki kurang
lebih empat puluh lima menit, baru setelah itu naik bemo atau oto
kayu (truk yang di modifikasi menjadi angkutan penumpang) karena
memang akses ke daerah kami tidak dilalui jalur kendaraan umum
lainnya.
Selain akses jalan yang masih sulit, aliran listrik juga belum
tersedia sehingga untuk memenuhi kebutuhan listrik kami
79 | Cututun Huriun Ngudu 4
menggunakan generator. Itu pun hanya sedikit orang yang memiliki.
Generator membutuhkan bahan bakar yang ketersediaannya terbatas
dan harganya cukup mahal, maka generator tidak dapat dihidupkan
setiap harinya paling pada saat-saat tertentu saja. Sedang untuk
penerangan malam hari kami menggunakan lampu sehen. Kalau
lampu ini hampir setiap rumah memilikinya. Lain cerita kalau cuaca
sedang mendung atau saat musim hujan, sebagai alternatifnya kami
menggunakan lampu minyak tanah ataupun lilin untuk penerangan.
Walaupun berada di
daerah terpencil tapi
masyarakat kampung
Malafai mempunyai jiwa
sosialis yang tinggi,
kebiasaan, serta adat
istiadat yang masih asli.
Sebagai contoh saat aku bertamu mereka menyambutnya dengan
hangat. Kebiasaan tuan rumah menyambut dan menghormati tamu
ialah dengan menyuguhkan sirih pinang dan minuman kopi. Jadi tidak
heran apabila banyak dijumpai dari banyak laki-laki dan perempuan
baik tua maupun muda yang bibirnya terlihat memerah karena mereka
gemar mengunyah sirih pinang. Masih ada lagi kebiasaan mereka
yang juga dilakukan masyarakat lain di daratan Flores, yaitu minum
moke. Minuman ini berwarna putih dengan bau agak asam dan bisa
memabukkan jika diminum terlalu banyak. Moke dibuat dari nira
Jalan menuju Malafai
0 | Cututun Huriun Ngudu 4
pohon enau yang di rendam dengan kou, sedang kou dibuat dari salah
satu pohon yang diambil kulitnya lalu dikeringkan.
Setahun disini aku banyak mengikuti acara maupun upacara adat
yang masih dilestarikan keasliannya. Katanya untuk menghormati
nenek moyang, seperti acara utamuri yang biasa dilakukan sebelum
panen sayuran dan jagung dimulai. Upacara adat pernikahan yang
disebut dengan istilah belis, yaitu mengantar hewan ternak seperti
kerbau, sapi, kuda, babi, dan ayam dalam jumlah yang banyak, serta
perhiasan dan kain tenun untuk calon mempelai wanita.
Adat istiadat menjadi bagian penting dalam tatanan hidup
masyarakat Kampung Malafai. Mereka masih mengenal kesukuan,
bahkan masih ada juga suku-suku kecil yang jumlahnya cukup
banyak. Ada suku Tune, suku Rongga, suku Kende dan suku Zeru
yang tempatnya berdekatan satu sama lain. Semuanya mempunyai
ikatan dan peraturan adat tertentu.
Disamping itu bahasa yang digunakan sehari-hari pun juga
mempunyai kekhasan dibanding dengan daerah lain di sekitarnya.
Sering aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Paling aku hanya
ikut tersenyum saat mereka tertawa.
Aku tinggal di sebuah rumah yang bangunannya sama dengan
rumah pada umumnya di Malafai. Sebagian besar masih
menggunakan bahan kayu dengan dinding pelupuh yang terbuat dari
bambu, untuk rumah dengan dinding pelupuh masyarakat sekitar
menyebutnya dengan istilah rumah naja.
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sebagai muslim satu-satunya di kampung ini, aku merasakan
toleransi yang sangat tinggi di tengah-tengah masyarakat. Aku sering
dipanggil untuk menyembelih sapi di acara pesta maupun upacara
pemakaman. Pada awalnya ada sedikit ketakutan dan rasa gugup,
karena aku sama sekali belum pernah melakukannya, apalagi dengan
persiapan yang seadanya hanya menggunakan tali. Sekarang, karena
sering melakukannya pada akhirnya aku menjadi terbiasa dan lancar
untuk penyembelihan berikutnya. Terhitung selama tinggal di Malafai
aku sudah menyembelih lima ekor sapi.
Pernah aku diundangan dalam suatu acara yang hidangannya tak
boleh kumakan karena aku seorang muslim. Mereka menyiapkan
hidangan khusus yang dipisahkan bahkan peralatan makan dan
minumnya juga disendirikan. Mereka juga sering menanyakan tentang
boleh dan tidaknya suatu makanan untuk kusantap. Biasanya berupa
daging. Masyarakat disini mengerti betul bahwa tidak semua makanan
ataupun daging yang mereka santap dapat aku santap juga. Inilah
toleransi masyarakat Malafai.
Itulah beberapa gambaran tentang keadaan alam, masyarakat
serta budaya yang terdapat di daerah penempatanku. Mengabdi di
daerah terpencil macam Malafai memberi banyak pengalaman yang
sangat berharga bagiku. Dari mereka, aku jadi tahu bagaimana harus
beradaptasi dengan lingkungan yang sama sekali belum dikenal. (*)
Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Semuanya Berbeda Dengan Jawa
Waluyo
Selasa, 17 September 2013 pertama kali aku menginjakan kaki
di tanah Flores. Ini menjadi hal yang paling menyenagkan sekaligus
tantangan tersendiri untuk ditaklukkan. Aku menyebutnya
menyenangkan karena bisa pergi keluar Jawa dengan maksud untuk
mengajar, mengabdi, dan berbagi. Sedang tantangannya aku harus
berhadapan dengan orang-orang baru. Beradaptasi dengan mereka
yang jelas berbeda adat dan istiadatnya dari tempat asalku.
Aku mulai mengajar tanggal 19 September 2013, genap dua
hari setelah menghirup udara Flores. Pertama kali melihat gedung
sekolah, ada sedikit keheranan dalam benakku sambil menggerutu
Apakah aku sanggup mengajar di sekolah seperti ini? kataku
hanya dalam hati.
SMP N Satap I Riung adalah tempat pengabdianku. Setahun
aku akan membersamainya, belajar bersama anak-anak Flores. Setiba
di sekolah aku langsung disambut dengan tatapan mata yang tiada
henti. Baik oleh guru maupun murid-murid yang belum kukenal satu
pun. Katanya, tatapan seperti ini adalah hal biasa. Kalau ada orang
asing atau pendatang akan menjadi buah bibir baik di lingkungan
sekolah maupun masyarakat.
Awalnya aku akan ditempatkan di asrama sekolah, tapi karena
berbagai pertimbangan akhirnya aku memilih tinggal di rumah
orangtua angkat bersama seorang temanku, Anggi namanya.
Sekilas kulihat rumahnya memang berbeda dengan rumah di
Jawa pada umumnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menerima,
menganggap kalau ini adalah bagian dari tantangan hidup. Aku
tinggal di rumah Pak Bernabas Adang. Ia sangat disegani di Desa
3 | Cututun Huriun Ngudu 4
Lengkosambi, tempatku tinggal. Bapak angkatku ini adalah mantan
Kepala Desa Lengkosambi Barat.
Pada awalnya aku takut dengan Pak Bernabas. Kesan pertama
saat mendengar ia berbicara adalah keras, seperti orang membentak.
Tetapi setelah tahu karakternya ketakutanku hilang entah kemana.
Memang orang Flores pembawaannya keras tapi perlu diketahui
bahwa mereka baik.
Pada awalnya aku tidak biasa dengan rutinitas macam di rumah
Pak Bernabas. Cara makan, acara minum kopi, semua kebiasaan
mereka sangat berbeda dengan yang ada di Jawa. Tapi setelah satu
bulan tinggal bersama dan mengenal semua bagian yang ada di rumah
ini akhirnya aku bisa beradaptasi.
***
Kembali ke sekolah, banyak hal baru yang harus kuhadapi
terutama cara berkomunikasi dengan teman guru maupun murid-
murid. Guru di sekolah ini kebanyakan masih usia muda hanya ada
dua orang yang termasuk guru senior, Pak Minggi Ignasius dan Anggi
Wilhemmus. Masing-masing dari keduanya menjabat sebagai kepala
sekolah dan wakilnya.
Rangkaian kalimat terlintas dalam benakku, kini agak berbeda
dari keheranan saat pertama kali aku datang.
Kok ada ya sekolah seperti ini di zaman modern, gerutuku
untuk yang kedua kalinya.
Ada sekitar lima belas murid yang tercatat di buku absensi, tapi
yang ada di kelas hanya sembilan anak saja. Mengajar anak-anak
disini harus banyak bersabar kerena daya serap mereka masih
terbilang rendah jadi apa yang kusampaikan harus diulang lagi. Tidak
hanya sekali, tapi berkali-kali. Murid di sekolahku totalnya ada
4 | Cututun Huriun Ngudu 4
seratus dua puluh siswa. Termasuk banyak untuk ukuran sekolah-
sekolah yang ada di sini.
Adat dan istiadat orang Lengkosambi berbeda jauh dengan
orang Jawa. Kurasakan orang-orang yang ada di sekitarku selama
setahun ini sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan rasa gotong
royong. Aku melihatnya saat satu keluarga akan menggelar pesta
pernikahan, sambut baru, atau sekadar membangun rumah.
Aku masih ingat bagaimana dulu Pak Bernabas mengajakku ke
tempat pesta untuk pertama kalinya. Lagi-lagi semuanya berbeda jauh
dengan yang ada di Jawa. Kalau di Jawa sapi satu ekor cukup untuk
hidangan makan sampai lima ratus orang, tapi disini tidak. Makan
mereka banyak, jadi tak akan cukup untuk mengenyangkan perut
mereka kalau harus diukur dengan porsi makannya orang Jawa.
Kebersemaan dan kekeluargaan sangat dijunjung tinggi di
tanah Flores. Pernah aku bertamu ke rumah tetangga, setidaknya
disana harus minum kopi. Tamu bagi mereka adalah keberkahan
tersendiri yang dapat mendatangkan rizki berlimpah, sehingga harus
disambut dengan baik.
Pengalaman menjadi guru SM-3T di tanah Flores merupakan
hal yang luar biasa dan tidak akan terlupakan. Bersama muridku, para
guru, Pak Bernabas, dan warga Lengkosambi aku bisa menemukan
pengalaman, teman, dan keluarga baru.
Banyak hal yang berubah setelah satu tahun tinggal di Flores,
masih teringat saat acara perpisahan di sekolah tanggal 21 Agustus
2014 lalu, aku sampai menitikkan air mata. Padahal selama ini jarang
sekali malahan tak pernah aku menangis. Terimakasih Flores, di
tanahmu aku bisa merasakan banyak hal yang tidak kurasakan di
tanah Jawa. (*)
| Cututun Huriun Ngudu 4
Kebun Adalah Penghidupan Mereka
Ruth Evrilia Oka Mahastri
"Ibu, nanti kita les sore ya... Kami mau belajar Fisika lah," kata
seorang siswa kelas XB siang itu saat aku masih berada di kantor.
Aku hanya mampu mengiyakan permintaan mereka. Semangat
muridku untuk belajar membuatku ikut bersemangat untuk
memberikan les sore. Tak apa waktu sore ini akan kuhabiskan untuk
member mereka pelajaran tambahan. Asal mereka punya keinginan
untuk belajar, aku pun akan ikut di belakangnya.
"Biar pun hujan kalian tetap berangkat kan? Ibu pasti datang.
Setengah empat kita ketemu di sekolah. Kasih tahu teman yang lain,"
pesanku pada mereka.
Beberapa hari ini hujan turun tiap sore. Sebenarnya ini yang
membuatku sedikit ragu untuk mengadakan les sore. Pasti ada saja
anak yang beralasan untuk tidak datang kalau hujan turun. Padahal
mereka sendiri yang membuat janji denganku. Mereka yang awalnya
berkeinginan untuk les sore dan mereka sendiri pula yang
mengingkarinya.
Tak apalah, pikirku. Toh akan ada anak yang benar-benar ingin
belajar. Dan aku juga akan tetap bersemangat berbagi ilmu dengan
mereka.
Sore datang dan sudah menjadi langganan diiringi dengan
hujan. Awalnya memang aku sangat malas untuk dating. Yang ada
dipikiranku adalah mereka juga tidak akan ada yang datang. Tapi
entah kesambet hujan jenis apa akhirnya aku memutuskan untuk tetap
datang ke sekolah, tak peduli berapa anak yang akan kutemui disana.
| Cututun Huriun Ngudu 4
Di bawah payung bermotif bunga aku menyusuri jalan desa dan
beberapa menit kemudian sampailah langkahku di gerbang sekolah.
Kulihat disana hanya ada lima, itu pun mereka yang tinggal di
asrama. Sedikit dibuat shock, tapi tak apalah, aku akan tetap
membelajari mereka. Sambil menunggu beberapa anak yang
berseliweran datang satu per satu. Sampai akhirnya kelas berjumlah
dua puluh siswa. Itu artinya masih banyak dari mereka yang ingin
belajar, meski datangnya terlambat.
Les sore pun segera aku mulai. Tanpa menunda-nunda waktu
aku berusaha berbagi ilmu dengan mereka. Selama satu setengah jam
lamanya kami berada di dalam kelas. Kurasa waktu singkat ini sudah
cukup membuat mereka sedikit mengerti materi yang aku sampaikan
setidaknya satu pertemuan.
Tepat jam lima sore aku mengakhiri pertemuan dan menyuruh
mereka langsung pulang ke rumah masing-masing. Paling tidak sore
ini aku sudah memberikan sedikit bekal untuk mereka menghadapi
ujian.
Alangkah terkejutnya saat aku keluar kelas. Mendapati seorang
siswa yang baru datang dengan berlari-lari di bawah rintik hujan. Ia
menggendong tasnya, tergopoh-gopoh tanpa penutup kepala sehelai
pun. Armanfensius Kandang namanya, Ia sekaligus menjadi ketua
kelas XB. Sedikit geram dan penuh tanda tanya muncul dalam
benakku, kenapa anak ini baru datang?
"Kamu kenapa baru datang? Jam di rumah kamu matikah?"
tanya ku sedikit keras.
Anak itu sedikit takut untuk menjawab, mungkin dia takut aku
marah dan akan memukulnya. "Tidak ibu saya tadi tidak sempat
melihat jam, jadi saya tidak tahu ini jam berapa. Saya baru saja
pulang dari kebun, mengerjakan kebun bantu orangtua untuk dapat
7 | Cututun Huriun Ngudu 4
uang. Saya langsung datang kesini ibu," jelasnya masih dengan raut
muka takut.
Aku langsung mengamatinya dari ujung rambut sampai kaki.
Wajahnya terlihat lelah, nafasnya masih naik turun karena berlari,
baju yang dipakai pun masih seadanya, kakinya beralaskan sandal
jepit tetapi sangat kotor dengan tanah, mungkin dia tidak sempat
untuk mencuci kakinya.
Foto bersama murid
Mendengar jawaban Kandang dan melihat penampilannya
kemarahaanku langsung sirna seperti tersiram oleh air hujan. Aku tak
akan mungkin marah padanya, malahan sedih yang teramat aku
rasakan. Seorang anak yang sebenarnya ingin belajar tetapi terhambat
karena dia harus mengerjakan kebun sebagai satu-satunya penghasilan
keluarga.
"Les ibu sudah selesai, nanti kamu pinjam catatan teman ya.
Besok kalau ada yang kurang jelas kamu bisa tanyakan ke ibu di
kantor." kataku pada Kandang sesegera mungkin. Tak kuasa aku
berlama-lama berdiri di depannya.
| Cututun Huriun Ngudu 4
Entah mengapa, sampai saat ini aku selalu sedih saat
memikirkan murid-muridku ini. Anak-anak yang sebenarnya punya
keinginan besar untuk sekolah dan belajar, harus melupakan semua
impian itu demi membantu keluarga. Mereka harus mendahulukan
bekerja daripada belajar, kehidupan masyarakat dimana orang tua
belum sadar akan pentingnya sekolah. Anak mereka lebih diharuskan
untuk bekerja di kebun disaat mereka seharusnya belajar pada waktu
yang bersamaan.
Bagi orangtua disini kerja kebun masih lebih penting daripada
sekolah. Aku hanya kasihan, kasihan pada mereka. Sejak itu aku
mulai memahami mengapa mereka tidak bisa secepat murid-murid di
kota dalam menangkap pelajaran. Dan yang paling penting aku mulai
menyayangi mereka dengan segala kekurangan yang ada.
Aku tidak lagi membandingkan mereka dengan murid-murid di
kota seperti saat awal aku menginjakkan kaki di sekolah ini, SMA
Negeri 1 Riung Barat. Bagiku memang keadaan mereka sangat
berbeda. Dengan segala keterbatasan fasilitas, sarana dan prasarana,
tidak ada listrik dan air, serta keberadaan keluarga yang
mengharuskan mereka untuk bekerja disaat anak-anak yang lain bisa
belajar, bermain dan beristirahat.
Kebanyakan orang di luar sana sangat tidak pantas untuk
menghakimi mereka dengan melabelkan kata bodoh. Aku banyak
belajar dari kejadian ini, betapa aku harus mulai memahami apa yang
siswaku rasakan dan apa yang harus mereka lakukan dalam
keseharian.
Dalam hati aku diam-diam berjanji untuk tidak pernah
menyepelekan muridku di Riung Barat, karena bagiku mereka adalah
pahlawan untuk keluarga, orang-orang hebat yang mau berkorban
untuk keluarga mereka.
9 | Cututun Huriun Ngudu 4
Aku ingat perkataan seorang guru, katanya nanti kalau tiba
musim tanam, mungkin akan banyak sekali murid kita yang
menghilang. Mereka pasti akan disuruh ikut orang tua untuk
mengerjakan kebun. Orang tua mereka akan lebih memaksa anaknya
untuk kerja kebun daripada pergi sekolah.
Teruntuk murid-muridku di SMA N 1 Riung Barat, jangan
pernah putus asa, jangan pernah berhenti untuk bermimpi, jangan
pernah berhenti belajar. Kebun dan ilmu adalah kehidupan kalian.
Kalian tidak bisa hanya terus bergantung pada kebun kalian, mulailah
untuk menggali ilmu sebanyak mungkin dan mulailah bergantung
pada ilmu. Jadilah anak yang luar biasa untuk diri kalian sendiri,
keluarga dan lingkungan kalian.
Teruntuk Armanfensius Kandang, jangan pernah berhenti
berlari jika itu semua untuk mendapatkan ilmu, walaupun hujan turun
deras. Jadilah anak yang luar biasa untuk keluargamu. (*)
90 | Cututun Huriun Ngudu 4
Mengabdi Tidak Harus Mengajar
Teguh Wiryanto
Aku tak pernah membayang apalagi memikirkan untuk hidup di
luar jawa, karena di Solo tempatku mengadu nasib sebelumnya sudah
penuh dengan tanggung jawab dan tuntutan yang lumayan banyak.
Amanah untuk mengajar dan mendidik di SMA Islam Al Azhar 7
Solo Baru, menjadi wali kelas dan staff kurikulum sudah menjadi
tuntutan dan tanggung jawabnya tidak sedikit. Selain di sekolah, aku
juga punya anak didik privat meski cuma dua anak, tetapi hampir
setiap hari mereka meminta waktu untuk diberi les tambahan. Alhasil
aku baru bisa istirahat di rumah kontrakan yang sederhana sekitar jam
sembilan malam. Begitulah rutinitasku yang sama setiap harinya.
Seolah pekerjaan dan tuntutan datang terus tiada henti dan tak pernah
habis.
Hari demi hari berlalu, sampailah aku pada titik jenuh dengan
aktivitas yang membosankan ini. Aku melihat informasi pendaftaran
Program SM-3T, Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan
Tertinggal diinternet. Pertama kali mendengar istilah itu kesan
pertama memang sangat ekstrim, tidak biasa, dan luar biasa, tapi apa
salahnya untuk dicoba. Dengan segala pertimbangan, akhirnya aku
memutuskan bahwa ini adalah tantangan dan panggilan jiwa yang aku
yakini dan harus aku jalani. Setelah melalui berbagai tahapan yang di
tentukan, akhirnya aku dinyatakan lolos dalam seleksi Program SM-
3T dengan penempatan di Kabupaten Ngada.
Detik-detik hari pemberangkatan muncul lagi kebimbangan,
apakah ini memang benar jalan hidup yang harus aku lalui. Inikah
yang dinamakan panggilan jiwa? atau wujud dari pelarian semua
aktivitasku yang itu-itu saja. Banyak rekan kerja yang menyayangkan
dengan keputusan yang aku ambil, melihat semua yang sudah aku raih
91 | Cututun Huriun Ngudu 4
selama ini. Tapi mungkin kata hati lebih kuat, sehingga tekatku sudah
membulat. Dengan berat hati, aku berusaha meninggalkan semua
kenangan yang telah aku ukir, rekan kerja yang sungguh luar biasa,
anak didik yang periang, dan kenyamanan lain yang belum tentu aku
dapatkan di daerah penempatan nanti.
September 2013 lalu sampailah aku di tempat pengabdian,
tepatnya di Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Flores, NTT.
Setahun ke depan aku akan tinggal dan memulai kehidupan dengan
suasana baru. Kulepas semua kenikmatan yang dulu sangat
memanjakan, hanya untuk mengabdi, mengajar, dan berbagi dengan
anak-anak di pedalaman.
Hari pertama di sekolah, aku sempat kaget dengan tindakan guru
yang lumayan keras terhadap anak didiknya. Mulai dari kata-kata
kasar hingga pemukulan, tapi tak banyak yang bisa aku perbuat
karena mungkin orang sini sudah terbiasa hidup keras. Aku mendapat
amanat untuk mengampu mata pelajaran matematika di kelas XII
Perkebunan dan Kelas XII TPH. Pengalamanku mengajar di sekolah
sebelumnya membuat amanat ini tidak terlalu membebani.
***
Mengabdi di tanah Flores adalah untuk tujuan mengajar, berbagi
ilmu, dan pengalaman. Singkat cerita ada seorang guru, Pak Forus
namanya, yang mengeluh file dokumennya tidak bisa dibuka. Setelah
aku lihat itu semua akibat virus, karena aku sudah terbiasa menangani
hal itu jadi langsung saja aku scan dan segera kukembalikan file yang
sudah terinfeksi virus tadi. Bukan main senangnya, Pak Forus
kemudian memintaku untuk scan laptop sekaligus instal ulang, agar
laptop bersih dan bisa bekerja cepat. Sekitar satu jam lamanya,
akhirnya laptop selesai di instal dan siap untuk dipakai. Alangkah
kagetnya dia, biasanya untuk menginstal memerlukan waktu berhari-
9Z | Cututun Huriun Ngudu 4
hari karena harus membawanya ke kota, tapi kali ini bisa selesai
kurang dari satu jam.
1Memperbaiki laptop milik guru
Setelah hari itu, guru-guru yang lain berbondong-bondong ikut
minta di instalkan dan di scan laptopnya. Hari demi hari, dari mulut
ke mulut, banyak yang tahu hasil kerjaku yang satu ini, bukan
mengajar. Mereka tahu dari kalangan guru maupun warga Aimere
pada umumnya. Bermacam-macam masalah komputer sering aku
temui, dari masalah virus, keyboard yang rusak, ram mati, baterai bios
yang habis, dan masalah lain yang sudah biasa kutangani.
Alhamdulilah kali ini tetap bisa kutangani dengan baik. Ada yang
memberi uang lelah, ada juga yang sekadar memberi ucapan terima
kasih, tapi semua itu aku lakukan karena sekadar hobi, tanpa terpikir
sedikitpun untuk mengkomersialkan hal itu.
Sekitar awal bulan Maret datanglah operator sekolah dari SMP
Negeri 1 Aimere yang mengeluh masalah aplikasi dapodik. Operator
sekolah sudah konsultasi ke operator kabupaten, hasilnya tetap nihil.
Padahal jika tidak bisa menyelesaikan hingga tahap sinkron maka
banyak guru yang terancam tidak menerima tunjangan profesi. Dan
93 | Cututun Huriun Ngudu 4
sampai akhirnya ketemulah operator sekolah tersebut dengan kepala
sekolah dimana aku bertugas, Pak Dionesius Waso namnya. Ia
menyarankan operator sekolah itu untuk bertemu denganku. Setelah
aku periksa, ternyata banyak sekali masalah disana, mulai dari
masalah virus, kesalahan pengisian, dan kesalahan program itu
sendiri. Setelah aku tangani akhirnya berhasil hingga sinkron dan
masalah tunjangan profesi di sekolah tersebut teratasi dengan baik.
Setelah banyak yang mengetahui keberhasilanku menangani
permasalah komputer, banyak operator sekolah lain yang
berdatangan. Mulai dari SDN Lopijo, SDN Nunumeo, SDI Paupaga,
SMP Negeri 2 Aimere, SMP Negeri 4 Aimere, SMK Reformasi Wue,
dan terakhir SMK Negeri Bajawa Utara. Kedatangan mereka
membawa berbagai macam masalah yang bervariasi tentang
komputer.
Aku senang bisa berbagi dengan mereka. Pengabdianku tidak
hanya mengajar di dalam kelas, tapi ada hal lain yang bisa kuberikan
kepada mereka untuk kebermanfaatan di sekolah. Inilah sepenggal
kisah yang aku alami di bumi Ngada. (*)
94 | Cututun Huriun Ngudu 4
Merah Putih Berkibar di Kaki Inerie
Wahdatun Nikmah
Terletak di pinggir jalan dengan bunga bougenvil di kanan
kirinya. Itulah SMPN Satu Atap Kolokoa yang menjadi tempat
pengabdianku selama menjalankan tugas sebagai guru SM-3T.
Tempat yang strategis dan menjadi pusat perhatian ketika ada turis
asing yang akan berkunjung ke Kampung Bena. Tepatnya di kaki
Gunung Inerie aku tinggal. Disitu pula bendera merah putih berkibar
dengan gagah seraya dikelilingi anak-anak si pembawa jerigen.
Berseragam putih biru, sepatu, dan tas yang membuat dandanan
mereka nampak rapi setiap pagi. Tanpa kenal lelah kaki-kaki kecil ini
berjalan kiloan meter untuk tujuan menuntut ilmu.
Kampung Kolokoa dengan keindahan alamnya yang sangat
memanjakan mata. Gunung Inerie selalu tampak gagah dan
menakjubkan, membuat orang yang memandang tak kenal bosan
untuk menikmatinya. Gunung setinggi 2.245 meter di atas permukaan
laut ini mencitrakan keindahan Kabupaten Ngada. Bagian gunung
yang berhutan lebat hanya ada di sebelah barat saja. Katanya gunung
ini pernah meletus tahun 1882 dan 1970 silam. Dari atas puncaknya,
para pendaki bisa dengan leluasa melihat pemandangan yang indah ke
segala arah, termasuk melihat Kota Bajawa yang ada di sebelah barat.
Gunung Inerie
9 | Cututun Huriun Ngudu 4
Senin pagi adalah hari yang mengharukan, ketika apel bendera
berlangsung. Ada perasaan haru yang menggebu ketika sang merah
putih dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya. Seluruh peserta
upacara dengan khidmat memberi hormat padanya. Angin sepoi
mengibaskan hembusnya hingga kain berwarna merah putih itu tang
tak terlipat sedikit pun.
Pemandangan yang tidak asing di Kolokoa, pada senin pagi
lapangan akan penuh dengan siswa SD maupun SMP yang
melaksanakan apel bersama. Kedua sekolah ini memang berstatus
satu atap sehingga pelaksanaan apel bendera dilakukan bersama-
sama. Pemandangan yang tidak asing ketika apel bendera
berlangsung, kebanyakan murid SDI Kolokoa tidak memakai sepatu,
cukup dengan sandal atau terkadang tanpa alas kaki. Tapi yang
membuatku merinding adalah karena keterbatasan ini tidak
menghalangi mereka untuk tetap mengibarkan bendera merah putih
dengan khidmat.
Perasaan haru menyeruak dalam kalbu ketika lagu Indonesia
Raya berkumandang. Tangan kanan semuanya memberi hormat,
Gunung Inerie pun seakan mengamini kekhidmatan ini.
Pagi mulai terik, matahri juga mulai membakar semangat
seluruh peserta upacara. Sedetik lamanya aku menyadari bahwa
Indonesia begitu kaya dengan keragaman yang dimilikinya. Pagi ini,
persembahan yang tulus dariku untuk Indonesia.
9 | Cututun Huriun Ngudu 4
Bendera merah
Di Timur Indonesi
Di bawahnya seperti ter
tulus, tersimpan generas
menempuh perjalanan be
Dulu saat masih ja
senin karena harus ikut
hari senin aku merasakan
berlangsung. Di tempat
entah darimana datangny
apel bendera di tempa
dilingkupi kesederhanaan
Kecintaanku pada
didendangkan lagu nasio
nasional yang masih san
dan tentunya harus in
Indonesia. Lagu nasion
sangat fasih menyanyikan
Lihat Bendera kita
h putih berkibar di kaki Gunung Inerie
ia Sang merah putih berkibar den
rlukis kesederhanaan rakyat Indo
i emas yang tak lelah menuntut il
erkilo-kilo meter.
adi siswa, aku paling tidak suka d
upacara bendera. Tapi sekarang t
n kesan tersendiri, tepatnya saat pa
pengabdian ini, ada kesan mend
ya. Selalu ada kerinduan untuk bisa
at pengabdianku, sangat khidm
n.
hari senin menjadi semakin berta
onal yang menjadi favorit anak-a
ngat asing di telingaku. Aku jadi m
nstropeksi diri akan wawasank
al yang tidak kuhafal, tapi muri
nnya. Judulnya Lihatlah Bendera K
e
gan gagah.
nesia yang
lmu setelah
dengan hari
tiap datang
agi dan apel
dalam yang
a mengikuti
mat dengan
ambah saat
anak. Lagu
malu sendiri
ku tentang
id-muridku
Kita.
97 | Cututun Huriun Ngudu 4
Merah Putih
Berkibar di udara
Elok gembira
Merah berarti berani Putihnya suci
Itulah jiwa kita, Indonesia
Aku terharu sekaligus bangga memiliki putra putri terbaik yang
dengan sederhana mencintai dan tanpa pamrih mencintai bumi
pertiwi. Indonesia, tetaplah berjaya dari sabang sampai merauke dan
engkau sang merah putih tetaplah berkibar di pelosok negeri. (*)
9 | Cututun Huriun Ngudu 4
Pengalaman Itu Mahal Harganya
Anastya Titi Palupi
Maju ayo maju ayo terus maju
Indonesiaku...
Kikis habis kebodohan demi bangsamu
Sepenggal lagu yang aku nyanyikan setahun lalu ini
mengingatkan kembali tentang tujuan awal kedatanganku di tempat
pengabdian. Tempat baru yang dulu tak sekalipun terlintas dalam
pikiran. Ngada, Flores, NTT, Indonesia. Pulau yang menggunakan
satuan waktu Indonesia tengah ini memiliki selisih waktu satu jam
lebih awal dari tempat tinggal asalku.
Semua hal tentang pengalaman, perbedaan, dan perjalanan telah
terekam rapi dalam memoriku. Apalagi laut, tanah, adat, budaya, dan
kekhasanmu yang memberikan banyak pembelajaran padaku bahwa
inilah Indonesia.
Budaya yang dulu tak pernah kukenal, tarian jai, rebha, pesta
nikah, sambut baru, berburu adat, dan tinju adat membuatku meringis
menyaksikannya. Tak lupa petualangan lain berpesiar di tanah Flores.
Kunjungan ke kabupaten lain, air terjun, Taman Laut 17 Pulau Riung,
Danau Kelimutu, Pulau Komodo, Pink Beach, yang semua itu benar
menyejukkan mata. Semua itu tak akan aku nikmati tanpa kalian
murid-muridku. Dengan tujuan awal untuk mengabdi, mengajar, dan
berbagi dengan kalian di sekolah aku jadi tahu banyak tentang Flores.
***
SMPN Satu Atap 2 Soa adaalah tempat sharingku dengan rekan
kerja yang baru, saling mengenal kesibukan kerja, berbagi cerita,
berbagi canda juga berbagi kue pisang dan ubi. Begitu terasa
kekeluargaan di antara kami.
Rasa kikuk saat pertama kali bertemu muirdku yang tadinya
sama sekali belum kukenal, bukan karena apapun tapi hanya karena
99 | Cututun Huriun Ngudu 4
keluguan mereka. Aku yakin kalian juga akan mengingat saat pertama
kita bertemu dengan lagu sapaanku.
Good morning everybody how are you Im fine, yang harus
terus ku nyanyikan tiap memulai pelajaran pada satu bulan pertama
agar mereka bisa ingat dan lincah mengucapkannya.
Pengalaman berharga aku dapatkan disini. Selain mengajar di
kelas, aku juga mendapat pengalaman baru yang tak pernah kuduga
sebelumnya. Pernah suatu ketika sekolahku mendapat undangan
untuk mengisi acara. Saat itu acara masyarakat dan komuniti yang
akhirnya mengenalkanku pada not-not dalam bermusik. Guru musik
seketika menjadi sibuk dengan not-not yang harus dicopy. Sebisa
mungkin aku berusaha untuk membantunya.
Mbak, ini not musiknya, bisa minta tolong copy kan? Mbak
tahu musik juga kan? Mari kita ajar anak-anak, ujarnya.
Kaget seketika memang karena aku paham tentang musik. Tapi
tak apalah kalau hanya menemani guru musik untuk menunggui anak-
anak yang sedang berlatih.
Sama halnya seperti kebersamaan dengan guru dan siswa di
sekolah, aku juga merasakannya saat menerima kehadiran teman-
teman SM-3T seperjuanganku. Kebersamaan dengan mreka mewarnai
masa tugasku di tempat yang masih digolongkan daerah 3T ini.
Melakukan perjalanan, menjalankan program kerja, saling
mengingatkan, berbagi cerita tentang daerah tempat penempatan yang
masing-masing. Kami semua menceritakan hal baru yang semua
seragam, sama-sama belum pernah mengalaminya. Inilah yang
membuat persahabatan kami semakin kuat.
Wah, daerah penempatanku tak bisa dilewati saat hujanturun.
Akses jalan bisa mati total, kata seorang temanku menggambarkan
daerah penempatannya dengan menggebu-gebu.
Begitu banyak wacana yang terlontar dari mereka, membuatku
lebih bersyukur dengan apapun yang aku dapatkan selama di tempat
pengabdian. Soa, tempat tinggalku memang tergolong nyaman meski
100 | Cututun Huriun Ngudu 4
masih dengan keterbatasan yang dimiliki. Tapi setidaknya masih lebih
baik ketimbang penempatan temanku yang lebih dipelosok.
Setahun mengabdi, banyak hal baru yang aku alami, banyak
ilmu yang aku dapatkan, banyak pula pengalaman yang menjadi
pengingat langkah kemarin. Semoga semua ini menjadi pemacu
kekuatanku untuk selalu bisa memuliakan tujuan kebaikan atas usaha
mencerdaskan Indonesia tercinta. (*)
101 | Cututun Huriun Ngudu 4
Lape Jadi Tulang Punggung Keluarga
Rizkyta Dini
Sekolah merupakan impian bagi setiap anak, dimana mereka
bisa menemukan dunianya, teman barunya dan menggapai cita-
citanya demi masa depan yang lebih baik. Begitupun dengan
Marianus Lape, murid kelas IX SMP N 5 Golewa, Ngada, NTT. Lape,
biasa kusebut namanya. Ia adalah seorang siswa luar biasa yang
kutemukan disini. Bersyukur karena Lape masih bisa mengemban
ilmu hingga SMP. Sekolah tempatku mengabdi memang benar-benar
bebas dari pungutan biaya karena sebagian besar warga di sekitar
sekolah merupakan keluarga yang menengah ke bawah.
Sama halnya dengan Lape. Si
yatim yang ayahnya meninggal sejak
ia kecil. Sampai sekarang ia harus
membiayai hidup dan sekolah
adiknya yang masih duduk di bangku
kelas VI. Lape harus rela
mengorbankan waktu belajar dan
bermainnya untuk bekerja sepulang
sekolah. Lape memang masih
mempunyai ibu, hanya saja ibunya
menikah lagi dan tinggal bersama
keluarga barunya di Kabupaten
Nagekeo.
Sepulang sekolah lape kadang bekerja di kebun atau
mengoperasikan traktor milik tetangganya demi mendapatkan uang,
tak jarang Lape pun sering tidak masuk sekolah demi mencari uang
asrama adiknya. Sekolah-sekolah disini memang mewajibkan
siswanya yang akan ujian nasional masuk asrama sekolah karena
10Z | Cututun Huriun Ngudu 4
tempat tinggal yang jaraknya jauh-jauh dan anak-anak harus
mengikuti les sore dan malam untuk persiapan UN.
Marianus Lape memang bukan tergolong siswa yang pintar,
rajin dan bersikap baik bahkan dia cenderung arogan. Kurangnya
perhatian dan kasih sayang dari orangtua menjadikannya seperti
sekarang ini. Susah diatur dan seenaknya sendiri. Walaupun begitu
Lape mempunyai kemauan yang cukup tinggi. Pernah suatu ketika
aku memberikan pelatihan komputer bagi anak kelas IX, Lape pun
dengan antusias mengikutinya.
Ibu, saya juga coba e... ujarnya. Saat itu aku pun langsung
mempersilakan.
Silakan pilih materi mana yang kamu suka, kalau tidak bisa
nanti ibu bantu, kataku sambil menyodorkan laptop padanya.
Aku membebaskan Lape memilih materi praktik yang dia suka
agar dia mau belajar dan berlatih sesuai dengan kemauannya. Kondisi
Lape yang masih labil dan mengharuskannya mencari biaya asrama
dan ujian nasional untuk adiknya, membuat waktu belajarnya sedikit
terhambat. Ia harus bekerja hingga terpaksa tidak masuk sekolah
menjelang ujian nasional, bahkan sampai beberapa minggu.
Heranku, yang dialami
Lape tetap saja tidak
menjadikan kepala sekolah
yang baru memberinya
toleransi. Akibatnya dua
minggu sebelum ujian
nasional Lape terpaksa
dikeluarkan dari sekolah dan
tidak boleh mengikuti ujian
nasional. Hal ini membuat
beberapa guru menjadi iba,
hingga sempat beberapa kali kami berdebat dengan kepala sekolah
Lape sedang belajar komputer
103 | Cututun Huriun Ngudu 4
demi tetap mempertahankan Lape untuk tetap mengikuti ujian
nasional.
Akhirnya seminggu sebelum ujian nasional hati kepala sekolah
pun luluh. Dengan usulan-usulan para guru alhamdulillah Lape pun
ikut serta dalam ujian nasional. Haru dan bangga ketika pengumuman
ujian nasional berlangsung. Lape pun lulus dengan nilai yang cukup
memuaskan.
Ibu, saya pengen melanjutkan sekolah lagi, ujarnya padaku.
Lanjutkan sekolah sesuai keinginanmu, sekolah sambil bekerja
juga tak apa yang penting kamu bisa membagi waktu. Tekun belajar
dan teruslah belajar kelak kamu menjadi orang yang sukses, jawabku
sembari memberinya motivasi. (*)
104 | Cututun Huriun Ngudu 4
Inung Wane Riung Lemong Sadentot
Irsyad Kusuma Agustara
Berada di tanah Flores masih seperti mimpi. Melewati ribuan
kilometer dari tanah kelahiranku di Jawa. Masih terasa belum begitu
lama saat seorang kawan memberi kabar di pagi hari kalau aku lolos
seleksi Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal.
Belum lama, tapi ternyata hampir setahun aku di sini. Di tanah
orang yang tadinya belum kuketahui sama sekali. Riung, satu daerah
setingkat kecamatan di Kabupaten Ngada yang menjadi tempat
pengabdianku selama ini. Sebelumnya membayangkan saja tidak
pernah, tapi nyatanya aku membersamainya dengan sangat
bersahabat. Tepatnya di SMP Negeri 1 Riung.
Pertama kali menginjakan kaki di tanah Riung entah mengapa
perasaan ini masih biasa saja. Tak ada perasaan asing seperti yang
dirasakan kebanyakan orang pada umumnya saat berada di tempat
baru. Mungkin karena kondisi geografisnya yang mirip dengan tanah
kelahiranku Banyumas, Jawa Tengah. Berbukit-bukit dan cenderung
agak panas. Akan tetapi bukan hanya itu sebenarnya.
Begitu sampai di tanah ini aku diterima dengan sangat baik.
Suatu hal yang tak kuduga sebelumnya. Mengingat orang timur sudah
terkenal berkarakter keras dan kasar. Yang aku rasakan benar-benar
bertolak belakang dengan cerita kebanyakan orang. Bahkan banyak
hal yang sudah seharusnya menjadi kebiasaan masyarakat Jawa
kutemui di sini. Mereka ramah, menyapaku setiap bertemu di jalan.
Bahkan tidak sedikit yang mengajak singgah ke rumah untuk sekadar
minum kopi dan makan kue. Untuk orang yang baru pertama kali
bertemu dan mendapat sambutan semacam ini, tentu ini hal yang
istimewa. Kutemukan di riung, bukan di tempat lain.
10 | Cututun Huriun Ngudu 4
Foto bersama murid usai karnaval
Masih kuingat juga saat guru SM-3T angkatan dua berpesan
agar aku berhati-hati dan mawas diri selama tinggal ditempat ini. Ada
istilah Inung wane Riung lemong sadentot, katanya orang sini kalau
sudah air yang berasal dari Riung maka tidak akan bisa keluar dari
tempat ini atau dengan kata lain tidak akan bisa pulang. Ini menjadi
mitos yang dipercaya oleh penduduk setempat. Bahkan orang-orang
kota juga mempercayai hal yang sama. Tidak jarang mereka
menunjukan raut muka takut saat menanyakan dimana aku tinggal?
jawabku di Riung.
***
Tibalah waktunya hari pertama mengajar di sekolah. Agak
sedikit canggung memang. Begitu aku memperkenalkan diri di
hadapan murid-murid, mata mereka tak lepas dari setiap jengkal
langkahku. Memperhatikan dari ujung kepala hingga kaki. Mungkin
keheranan datang dari mana orang ini. Setelah menjelaskan
kedatanganku barulah mereka mengerti. Aku utusan pemerintah untuk
mengajar, berbagi ilmu dan pengalaman dengan mereka.
Muridku memang sudah tidak asing lagi dengan guru SM-3T,
karena sebelumnya sudah ada seorang guru yang sama sepertiku
mengabdi di sini. Selanjutnya wajah-wajah polos penuh semangat
10 | Cututun Huriun Ngudu 4
inilah yang akan menemaniku selama satu tahun mengabdi. Mencoba
melaksanakan apa yang menjadi jargon program ini Maju bersama
mencerdaskan bangsa.
Kalau beberapa sekolah disini memang cukup memadai.
Semua jenjang tersedia mulai dari TK sampai SMA. Tapi kalau
dikomparasikan dengan lembaga pendidikan di luar daerah atau sebut
saja di Jawa harus diakui kalau Riung memang masih cukup
tertinggal. Baik dari segi fasilitas, sumberdaya manusia, dan motivasi
belajar siswanya. Motivasi belajar siswa ini pula yang mengalami
kesenjangan cukup signifikan. Tapi inilah tantangan tersendiri bagiku
selama menjadi guru di sekolah pengabdian. (*)
107 | Cututun Huriun Ngudu 4
Yein Jadi Mahasiswa
Fitri Nurhayati
Muridku merasa puas dengan hasil ujian yang telah mereka
dapatkan kemarin. SMA S Kejora Riung, sekolah pengabdianku ini
seperti dijatuhi keberkahan dengan kelulusan siswanya. Meski
nilainya pas-pasan tapi setidaknya bisa menjadi bahan pertimbangan
untuk melangkah ke depan, mau melanjutkan kuliah, bekerja, atau
menganggur. Beberapa anak mencoba peruntungan dengan mendaftar
kuliah di perguruan tinggi. Sebelum pengumuman berlangsung aku
mendaftarkan sebelas anak untuk mengikuti SNMPTN. Dari sebelas
itu pula hasilnya nihil.
Ada gurat kecewa dalam benakku. Seperti memberi harapan
palsu kepada mereka, tapi apa daya nilai raport tak dapat memenuhi
persyaratan masuk kuliah seperti yang mereka inginkan. Mungkin
para orangtua pun merasa kecewa.
Kesempatan kedua masih berpihak pada murid-muridku. Kali ada
tahapan seleksi melalui tes tertulis dengan datang langsung ke kampus
yang dipilih. Pendaftarannya juga dilakukan secara online. Menjadi
tugasku lagi untuk menyelesaikannya, bukan karena diminta tapi aku
sendiri yang berkeinginan membantu mereka. Kali ini siswa yang
kudaftarkan lebih sedikit jumlahnya, karena hanya mereka yang
benar-benar minat kuliah. Ternyata banyak juga, paling terkendela
informasi karena tidak tahu bagaimana cara pendaftarannya.
Jangan tanya darimana datangnya uang mereka. Kalau untuk
urusan pendidikan orangtua disini sekolahku sudah mulai
memprioritaskan. Kali ini aku mendaftarkan enam siswa, tadinya
sepuluh tapi mogok di tengah jalan.
Ibu... saya tidak jadi daftar. Nenek bilang tidak usah kuliah jauh-
jauh cukup di Bajawa saja, kata Rindong, seorang muridku.
10 | Cututun Huriun Ngudu 4
Awalnya ia
ingin kuliah di
Jogja. Katanya
disana ada
saudara yang siap
menampungnya
selama kuliah.
Tapi setelah
dipertimbangkan
neneknya tak
memberi izin.
Sejak kecil ia
hanya tinggal berdua dengan nenek jadi untuk melepasnya sampai ke
tanah Jawa mungkin agak sulit. Mamanya sudah menikah lagi dan
tinggal dengan suami baru, sedang bapak kandungnya sudah tidak
pernah menemuinya lagi.
Cita-citanya menjadi penyanyi mungkin akan menemui jalan lain
dengan cara yang berbeda. Gadis berambut panjang ini punya hobi
menyanyi dan menari. Setiap ada acara di desa pasti ia tampil paling
depan. Beberapa teman laki-lakinya kerap mengagumi kelembutan
Rindong.
Lain cerita dengan Alfridus Kara. Anak IPA ini ingin sekali
kuliah tapi terhambat masalah biaya, masalah klasik yang dialami
hampir semua orangtua yang akan menyekolahkan anaknya. Waktu
itu Edu, panggilan akrabnya, masih berada di kampung, entah dimana
letaknya, tak terdeteksi oleh google earth. Kata Rindong di kampung
Edu tak ada listrik, susah air, dan tak ada sinyal. Kalau pun ada sinyal
hanya di titik tertentu saja. Aku mencoba menghubungi Edu tapi
hasilnya nihil. Aku meneleponnya tapi tidak ada sahutan sedikit pun
dari seberang sana. Kupustuskan untuk mengirim pesan singkat saja
padanya, cepat atau lambat pasti akan dibaca.
Sehari kemudian baru aku mendapat balasan dari Edu, katanya ia
ingin kuliah. Anak pertama dari empat bersaudara ini termasuk anak
109 | Cututun Huriun Ngudu 4
cerdas, kemarin ia juga direkomendasikan sekolah untuk ikut
SNMPTN dan beasiswa bidikmisi.
Iya ibu saya mau ambil kimia atau matematika, kata Edu.
Aku memintanya untuk datang ke sekolah besok siang sekaligus
membawa persyaratan yang dibutuhkan. Banyak borang yang harus
diisi sebagai persyaratan. Tentang data Edu dan keluarganya tentu aku
tak tahu banyak.
Iya bu besok siang saya ke sekolah,
jawab dia.
Aku menunggunya di sekolah sampai
siang ditemani Fersi, Modo, dan Yein.
Sebelumnya aku telah mendaftarkan
ketiganya mengikuti seleksi masuk kuliah
melalui jalur tes tertulis. Beberapa dari
muridku juga sekaligus direkomendasikan
untuk mendapat beasiswa. Termasuk
Fersi, Edu, dan Modo.
Sementara menunggu, gangguan
datang dari sinyal operator yang tiba-tiba
menghilang. Aku jdi panik tak karuan. Kalau sudah begini mau
berbuat apa pun tidak bisa. Padahal di Riung semua titik adalah
sinyal, tak harus mencari di tempat-tempat tertentu.
Ini memang sedang gangguan dari kemarin bu. Kemarin muncul
sebentar trus hilang lagi. Sekarang malah hilang sama sekali, kata
Yein yang masih menunggu belum kudaftarkan.
Siang sampai sekolah bubar, tak muncul juga batang hidung Edu.
Katanya mau datang siang ini. Tapi kalau pun ia datang tetap saja tak
bisa mendaftar, ini sinyalnya sedang gangguan.
Biar nanti dia datang ke rumah saja bu, kata Yein.
Aku mengiyakan sarannya. Kata Yein rumah Edu memang jauh,
oto hanya ada pagi hari saja. Kalau ketinggalan oto sudah ketinggalan
semuanya. Belum lagi jalannya yang rusak parah dan jauh. Bisa
seharian di perjalanan.
110 | Cututun Huriun Ngudu 4
Akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah, begitu juga dengan
Yein. Katanya ia akan datang ke rumah nanti sore sembari menunggu
sinyal telekomunikasi stabil lagi. Sinyal, bersahabatlah denganku kali
ini saja, muridku sedang membutuhkanmu. Tinggal dua hari waktu
pendaftarannya, belum lagi mereka yang harus membayar secara
online.
***
Jam empat sore Yein datang ke rumah. Ia tak sendiri, kali ini
sudah bersama Edu. Keduanya membawa persyaratan yang harus
dilengkapi. Beruntung, meski sangat pelan tapi sinyal mau berteman.
Aku mulai mengisi borang untuk Edu. Ada banyak lembar yang
harus dipenuhi sampai aku mendapati borang yang meminta
penjelasan tentang kondisi orangtuanya. Edu menceritakan padaku
kalau mamanya selama ini sakit. Kulitnya menguning kalau sedang
kumat.
Sulung empat bersaudara ini tergolong anak yang patuh dan
rajin. Aku berharap kelak ia yang akan menggantikan posisi bapaknya
mengangkat derajat keluarga. Setelah mengisi borang, aku jadi tahu
banyak hal tentang Edu. Ia layak untuk diperjuangkan. Muridku ini
juga direkomendasikan untuk mendapat beasiswa kuliah, semoga ia
lolos seleksi.
Sebentar ya saya print dulu kartu ujiannya. Ini sudah jadi tidak
perlu bayar biaya pendaftaran karena kamu didaftarkan beasiswa
bidikmisi, kataku.
Iya bu, jawabnya sangat menurut.
Aku sekaligus mengeprint latihan soal yang dapat ia pelajari
sebelum mengikuti tes, sekaligus aku print rangkap dua untuk Yein.
Nampak dari wajah Edu sepercik harapan yang ia gantungkan entah
pada siapa. Sedang harapanku menggantung padanya.
Kini giliran Yein yang mengisi borang. Kondisi keluarganya tak
terlalu membuatku miris. Orangtuanya termasuk keluarga mampu,
hanya saja ia tidak tahu cara pendaftaran online untuk masuk kuliah.
111 | Cututun Huriun Ngudu 4
***
Dua minggu kemudian mereka harus sudah ada di Kupang
untuk mengikuti tes seleksi. Bertolak dari pelabuhan Aimere
menggunakan kapal feri menuju Pulau Timor, Kupang lebih tepatnya.
Aku sangat menggantungkan harapan pada mereka, setidaknya satu
dari mereka ada yang lolos.
Doakan kami bu biar bisa kerja soal, pesan singkat itu serentak
membanjiri handphoneku secara bersamaan.
Sebulan berlalu begitu saja.
Sampailah waktunya untuk melihat
pengumuman hasil tes mereka.
Pagi hari mama Yein
menghadangku di lapangan menuju
sekolah. Dari jauh ia berteriak
memanggil.
Ibu guru bagaimana hasil
tesnya Yein? kata dia dengan suara
keras khas orang Flores.
Pengumumannya nanti sore
mama. Biar nanti saya kabari anak-anak, jawabku
Dari pagi sampai siang aku seperti dihantui anak-anak yang
menunggu hasil pengumuman. Handphoneku terus berdering,
mengabarkan pesan yang sama meminta hasil pengumuman.
Lagi-lagi jaringan internet yang manja
menjadi hambatan bagiku untuk melihat pengumuman. Sudah kucoba
berulang-ulang tapi hasilnya masih nihil, jaringan eror.
Bagaimana bu ini sudah lewat jam lima, sms lagi.
Aku membuka satu per satu akun yang dimiliki muridku. Mulai
dari Edu, Fersi, Modo, dan semua yang menganteri di dataku sudah
kubuka. Tapi hasilnya mereka belum beruntung, tidak lolos seleksi.
Aku menyerah untuk satu nama terakhir, akhirnya kuputuskan untuk
meninggalkan laptop. Rasa penyesalan tiba-tiba datang, otakku
Bersama Yein
11Z | Cututun Huriun Ngudu 4
menjadi panas dan lebih dulu aku mendinginkannya dengan doa.
Kebetulan waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadan, jadi
kuputuskan untuk salat tarawih terlebih dahulu.
Handphoneku berdering lagi. Kali ini bukan sms, tapi panggilan
telepon dari Yein. Aku tak mengangkatnya karena hanya
pengumuman miliknya yang belum kubuka. Pasti mamanya sudah
banyak berharap sedari tadi.
Pikiranku sudah mulai tenang dan siap membuka akun muridku
yang terakhir, milik Yein. Mengejutkan dan ini yang diharapkan. Ia
lolos seleksi dan diterima kuliah di Kupang untuk jurusan olahraga.
Menjadi guru olahraga adalah cita-citanya yang kedua setelah gagal
jadi Polwan. Ia takut dengan seleksi masuk Polwan, jadi dipilihlah
jurusan olahraga. Mimpi indah seperti baru saja menyenggolnya dan
tentu saja menyenggolku juga.
Aku segera membalas pesannya yang sedari tadi kubiarkan.
Mamanya langsung meneleponku memastikan kebenaran kabar ini.
Melalui telepon aku seperti mendengar teriakan kencang dari banyak
orang yang sedang berkumpul. Mungkin keluarga Yein sedang
berteriak kegirangan. Selamat Yein, kau akan jadi mahasiswa. Cita-
cita jadi guru olahraga sudah ada di depan mata. Raihlah! (*)
113 | Cututun Huriun Ngudu 4
Praktik Membuat Kolang-kaling
Arif Nuur Iswahyudi
Eksotik baik alam, kebudayaan, maupun manusianya. Itulah
Malanuza. Tempat pengabdianku selama setahun menjadi guru di
daerah berlabel 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal. Meski aku tak
sepenuhnya membenarkan pelabelan ini tapi setahun bersama murid-
muridku tercinta membuatku menyadari akan pentingnya berbagi,
dimana pun aku ditempatkan.
Banyak hal yang aku lakukan ketika berada di daerah
pengabdian, hal ini berbanding lurus juga dengan apa yang aku dapat
selama masa pengabdian. Bidang formal terutama disekolah aku
mendapatkan sekolah yang luar biasa, tentunya dengan siswa yang
luar biasa pula. Banyak pula hal dari sekolah yang bisa aku bagi,
mulai dari pengalaman, berbagi iilmu, dan keterampilan.
Sebagai hasil dari sebuah pengabdian selama satu tahun aku
menjumpai murid-murid yang mencintai, menghormati dan peduli
terhadapku. Dengan sepenuh hati pula aku mencintai mereka,
menghargai kreatifitas, pemikiran, dan aku sangat peduli karena yang
kuinginkan mereka menjadi lebih baik dan terus menjadi lebih baik.
Aku selalu menekankan kepada muridku tentang sikap untuk
menghargai guru dan menghormati siapa pun yang ada di hadapan
mereka.
Di lingkungan masyarakat aku juga banyak belajar dan
melakukan hal-hal positif, pada akhirnya mendukung keberadaanku di
sekolah. Dengan metode pendekatan secara personal, aku mencoba
melakukan hal yang sedikit berbeda dengan kebiasaan masyarakat
sekitar. Pohon aren yang biasanya hanya diambil niranya, kucoba
untuk dibuahkan menjadi kolang-kaling. Aku mencoba melatih
masyarakat untuk mempraktikkan hal ini, meski antusias mereka tak
114 | Cututun Huriun Ngudu 4
begitu tinggi. Terlebih harga jual kolang-kaling disini lebih murah
dari pada moke, minuman khas yang berasal dari air sulingan pohon
aren. Akan tetapi aku tetap mencoba memberikan pelatihan kepada
masyarakat agar ke depan mereka tahu bahwa buah aren bisa
dimanfaatkan dan dimakan, tidak hanya dibiarkan membusuk di
pohon.
Pengabdianku
Apa yang ku bayangkan, tak sama seperti apa yang ku rasakan
Apa yang ku pikirkan, tak sama seperti apa yang ku lakukan
Disinilah kembali ku temukan sebuah semangat yang lama tak
kudapatkan
Mengabdi kepada Negeri tercintaku.
Semua cita..semua cinta.
Ku tumpahkan dalam proses pengabdian ini
Meski tak lama
Ku ingin semua tersimpan rapi dan di barisan paling atas
Agar selalu ku ingat semua yang kurasakan dan kulakukan di
pengabdianku.
malanuza adalah daerah yang selalu akan ku ingat
daerah eksotis alamnya, orangnya dan kebudayaannya
alam yang permai, tenang dan damai
penuh dengan orang-orang yang bersosial tinggi
kebudayaan yang menjadi poros perkembangan
cintaku tak akan pernah lepas dan tak akan pernah ku lupa
dalam doa aku mengharap, ku ingin dan harus bisa kembali kedaerah
ini dalam hidupku
akan selalu ku rindukan makan bersama masyarakat
akan selalu ku rindukan cara menghargaiku, cara menghormatiku
dan cara mengajariku
11 | Cututun Huriun Ngudu 4
Dari masyarakat, aku belajar banyak hal tentang
kebermanfaatan. Karena pengabdian sesungguhnya bukan hanya
mengajar di dalam kelas saja, tapi berbagi kreatifitas untuk
menghasilkan karya yang manusia. Malanuza adalah daerah dingin
dan berkabut. Cuaca seperti ini tidak akan pernah aku rasakan ketika
kembali ke daerah asalku di Jawa. Akan ku rindukan selalu
pengabdianku, doaku selalu untuk murid-murid tercinta, demi
kemajuan mereka. Kelak suatu hari nanti tuhan akan menakdirkanku
untuk bisa kembali lagi ke daerah ini. (*)
11 | Cututun Huriun Ngudu 4
Air Mata Ketulusan untuk Oni
Umi Rokhana
Satu kisah yang terukir manis di SMP Negeri 1 Jerebuu,
tempatku mengabdi adalah tentang Oni. Kisah hidup muridku pemilik
nama lengkap bernama Dionisia Lawe. Dara pendiam, malu-malu,
tapi cerdas ini mudah bergaul dengan teman sebayanya. Ia duduk di
kelas IXB. Meski aku tidak mengajar di kelasnya, tapi kami sering
bertemusaat les sore dan malam hari.
Ujian Nasional semakin dekat, semakin berat beban yang
ditanggung murid-muridku. Belajar pagi, sore, dan malam diperketat
demi meraih kata LULUS. satu kata yang memotivasi siswa untuk
belajar dan berdoa lebih ekstra dari biasanya. Sanksi disiapkan
sekolah bagi mereka yang melanggar aturam demi memupuk
kedisiplinan yang menjadi garda utama dalam tiga bulan terakhir
sebelum ujian.
Tingkat kehadiran siswa meningkat seratus persen. Hingga
suatu hari seorang dari mereka ada yang tidak hadir karena alasan
sakit. Awalnya hanya sehari, kemudian berlanjut dua hari, tiga hari,
sampai akhirnya berhari-hari terhitung dua minggu. Dialah muridku
pemilik nama Oni. Akhirnya kepala sekolah yang sekaligus
merangkap sebagai guru BP/BK pun membuat surat panggilan kepada
orang tua Oni untuk menghadap.
Mengorek keterangan mama Ony, diketahui kalau Oni benar-
benar sakit. Sekolah memaklumi hal itu, tapi ujian semakin dekat
sehingga sekolah menganjurkan Oni untuk segera dibawa ke rumah
sakit. Sang mama pun mengiyakan saran dari sekolah agar Oni
sembuh dan bisa ikut ujian.
***
Senin, 5 Mei 2014 hari pertama dilaksanakan Ujian Nasional
tingkat SMP. Oni yang dikabarkan sakit pun datang untuk ikut ujian
bersama dengan teman lainnya. Dengan tergopoh-gopoh ia berjalan
117 | Cututun Huriun Ngudu 4
ditemani sang mama menuruni jalan yang cukup curam. Gadis ini
nampak kurus, pucat, dan lemah setelah sekian lama tak masuk
sekolah.
Oni bersama teman-temannya
Aku menyuguhkan segelas susu dan sebutir telur ayam rebus
yang telah disiapkan sekolah untuk menjaga asupan gizi siswa selama
ujian. Tapi sedikit pun Oni tak menyentuh apalagi menyantapnya.
Ibu, dia ti bisa makan, nanti sebentar bisa keluar lagi, kata
mamanya yang terus mendampingi sang buah hati.
Molo, bhai apa, ucapku.
Lonceng tanda masuk ruang ujian didendangkan. Semua
siswa bergegas masuk ke ruangan masing-masing sesuai nomor ujian
yang telah ditempel di pintu dan meja. Seketika aku merinding, sedih,
melihat Oni yang tak berdaya untuk sekadar menaiki emapat anak
tangga menuju ruang ujian. Melihat Oni akhirnya kepala sekolah
menghampiri dan membantunya untuk menaiki tangga, dengan pelan
dan hati-hati. Tubuh kecil itu begitu rapuh, namun dengan semangat
yang dimilikinya ia dapat melewati ujian hari pertama. Begitu pula di
hari-hari berikutnya, ia tetap menjadi sorotan di kalangan guru dan
pengawas, karena khawatir dengan keadaannya yang begitu
mengkhawatirkan.
11 | Cututun Huriun Ngudu 4
Ujian Nasional berlalu begitu saja. Kegiatan siswa kelas tiga
pun menjadi lebih santai. Oni, muridku yang masih menjadi topik
pembicaraan para guru setiap pagi, lagi-lagi tidak menampakkan diri
di sekolah. Hingga ada kabar dari seorang guru, katanya kondisi Oni
semakin parah dan masih berada di rumah. Hanya dirawat sendiri oleh
orang tua dan saudara-saudarinya.
Mendengar kabar itu, sontak guru dan karyawan sepakat
untuk mengunjunginya. Kali ini Oni dirawat di rumah saudara yang
rumahnya dekat dengan jalan umum. Katanya untuk mempermudah
akses berobat. Sedang rumah aslinya masih jauh di atas kampung dan
jalannya pun mendaki.
Kedatangan kami disambut orang tua Oni dengan ramah.
Kami langsung diajak ke kamar berukuran dua kali dua meter, cukup
sempit. Di atas kasur lusuhnya Ony terbaring lemah. Bibirnya
menghitam dan tulang lehernya menonjol karena sekarang ia menjadi
sangat kurus.
Ternyata baru diketahui oleh pihak sekolah kalau selama ini
Oni hanya diberi pengobatan melalui tangan-tangan dukun yang ada
di wilayah Jerebuu. Kepala sekolah dan orang tua Oni berbincang-
bincang untuk mengatasi penyakit gadis ini. Sekolah sepakat untuk
memberi bantuan berupa dana yang didapat dari sumbangan sukarela
guru dan karyawan. Dana itu diberikan agar Oni segera dibawa ke
RSUD Bajawa untuk segera mendapat pertolongan. Alat transportasi
yang sulit dan medan yang tidak cukup bersahabat membuat rencana
ke RSUD Bajawa ditunda hingga esok hari.
***
Kampung Dona digegerkan dengan berita kematian tepatnya
Kamis, 5 Juni 2014. Tak salah lagi, anak yang empat hari lalu dibawa
119 | Cututun Huriun Ngudu 4
ke rumah sakit. Ya, muridku yang sebentar lagi menerima amplop
pengumuman hasil ujian telah dipanggil Tuhan.
Esok harinya kesedihan begitu terasa di sekolah, jam istirahat
seluruh warga sekolah berkumpul dan mendaki jalan menuju rumah
duka. Dengan bergilir siswa dan guru masuk ke rumah duka untuk
mendoakan mendiang Oni. Jeritan dan tangis orang yang melayat
begitu menyayat hati. Upacara pemakaman dilakukan pukul 15.00
WITA. Sama seperti yang lainnya, aku pun tak kuasa menahan tangis.
Apalagi saat kuketahui kalau yang mengangkat jenazah Oni adalah
teman-teman sekelasnya.
Mengangkat jenazah Oni
Sabtu, 14 Juni 2014 adalah saat yang ditunggu semua murid
kelas IX di sekolahku. Amplop pengumuman lulus tidaknya siswa
SMP akan segera diberikan. Pukul 13.00 WITA acara dimulai dengan
kata sambutan dari ketua komite dan perwakilan orang tua.
Siswa SMP N 1 Jerebuu dinyatakan lulus seratus persen,
kata kepala sekolah. Kalimat yang begitu singkat namun sangat
mereka nantikan. Tepuk tangan pun mewarnai pengumuman nama-
nama siswa yang mendapat nilai UN tertinggi. Lagi-lagi, semua yang
ada diruangan ini dibuat tercengang saat nilai UN tertinggi diraih
Dionisia Lawe dengan nilai 9,00 untuk mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Ruangan yang begitu ramai berubah menjadi diam. Ah
1Z0 | Cututun Huriun Ngudu 4
muridku ini memang luar biasa. Seisi ruangan terus diam saat
diputarkan video Oni In Memoriam yang membuat air mataku pun tak
dapat dibendung lagi.
Serangkai kenangan terukir dalam ingatan, takkan tersapu oleh
tiupan angin,
takkan tergerus oleh derasnya hujan,
mengingatmu...
Nak, kau telah lulus
Bukan hanya lulus dari SMP ini, tapi kau telah lulus dalam menjalani
kehidupan di dunia. Selamat jalan. Tenanglah disisiNya. (*)
1Z1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Oto Terguling Jadi Hal Biasa
Eko Sucipto
Keikutsertaan dalam Program SM-3T mengantarkanku pada
pengabdian dalam hidup yang akan menjadi kenangan indah. Pada
sebuah desa kecil yang dikelilingi gunung dan bukit, letaknya ada di
tengah Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Tanpa listrik dan sinyal
handphone tentunya. Keterbatasan dan kesederhanaan yang ada aku
jadi bisa menikmati hidup dalam kedamaian. Ngusu-Mana, adalah
nama kampung dimana aku diberikan amanah untuk mencerdaskan
anak bangsa. Kampung ini masuk dalam wilayah Kecamatan Bajawa
Utara.
Hari itu, suara mesin diesel yang disambungkan ke dinamo
menderu saling bersahutan. Tepatnya ketika mentari telah terbenam di
ufuk barat. Maklum hampir semua rumah yang membutuhkan
penerangan menggunakan mesin ini. Aliran listrik belum ada jadi alat
inilah yang menjadi andalah untuk menghidupkan lampu-lampu dan
beberapa alat elektronik milik warga.
Generator menjadi sumber listrik yang paling utama, karena
tidak ada lainnya. Pemerintah bukan tanpa perhatian, hanya saja
perhatiannya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan listrik di
kampung ini. Perhatiannya tersalurkan hanya sebatas lewat lampu
sehen (super hemat energi). Lampu ini hanya mengandalkan tenaga
surya. Cara kerjanya dengan merubah energi listrik yang dihasilkan
oleh panel surya menjadi energi cahaya. Meski begitu, keterbatasan
ini cukup memberi penerangan pada malam hari. Setidaknya muridku
tetap bisa belajar, kerja tulis menulis, atau pekerjaan lain yang
membutuhkan penerangan pada malam hari. Sayangnya, arus yang
dihasilkan dari panel surya ini tidak cukup besar, sehingga tidak dapat
digunakan untuk alat elektroik yang lain.
1ZZ | Cututun Huriun Ngudu 4
Setahun mengabdi begitu banyak pengalaman yang aku
dapatkan. Kusadari kalau hidup memang pilihan. Mengharuskanku
mengeksekusi banyak opsi untuk sekadar melukiskan warna berbeda
pada tiap lembarnya. Teni Lopijo adalah satu warna yang terindah,
pengalaman tak ternilai yang aku dapatkan selama berada di tempat
pengabdian.
***
Teni Lopijo adalah nama sebuah desa yang berada di atas
perbukitan yang ternaungi pohon-pohon besar dan bersemak. Secara
wilayah administrasi desa ini memang terletak di Kecamatan Aimere,
namun akses jalan untuk menuju desa ini hanya dapat di tempuh
melalui Kecamatan Bajawa Utara tempat pengabdianku. Dua belas
kilometer menyusuri kaki Gunung Lobongbutu, belum lagi jalan juga
berbukit dengan kondisi yang berpasir dan batu lepas sebesar kepalan
tangan orang dewasa. Sedang sepuluh kilometer lagi jalan membelah
hutan di kaki gunung. Jalan ini yang akan menjadi saksi sejarah
pengabdianku, tak akan terlupakan.
Perjalananku menanjak hampir tujuh puluh derajat
kemiringannya, kemudian menurun sekitar empat puluh derajat.
Belum lagi jalannya licin karena pasir dan abu, ini pula yang
memaksa adrenalin untuk dipacu lebih kuat lagi. Sesekali di kana kiri
jalan ada pemandangan jurang yang sangat dalam, mungkin mencapai
tiga puluh lima meter.
Ada satu jalan menanjak yang tak akan bisa aku lupakan.
Penduduk setempat disana biasa menyebutnya Waewali. Ini adalah
jalan menanjak sekitar lima puluh meter panjangnya sedang
kemiringannya juga sangat curam, berkelok, dan licin. Dulu ini adalah
bukit batu kapur yang kemudian dibelah menjadi jalan. Sekarang
menjadi jalan utama untuk dilewati sepeda motor, truk, maupun para
pejalan kaki termasuk aku.
1Z3 | Cututun Huriun Ngudu 4
Kalau berangkat dari Kota Bajawa, maka akan sampai di Teni-lopijo
sekitar tujuh sampai delapan jam untuk mereka yang telah mengenal
medan. Tapi kalau baru pertama kali ke sana, maka waktu tempuh
bisa jauh lebih lama sampai dua belas jam. Selisih waktu tempuh ini
dikarenakan banyak jalan yang berbahaya dan sering membuat
pengendara terjatuh. Maka untuk mereka yang baru melewati medan
perlu kehati-hatian ekstra, meski begitu tak jarang juga mereka tetap
terjatuh karena ban slip ketika naik sepeda motor. Oto truk terguling
pun menjadi hal yang biasa.
Saat memasuki Desa Teni
maka hawa sejuk akan mulai
terasa, karena desa ini berada
pada ketinggian bukit dan
berada di bawah naungan
pohon-pohon besar. Sekitar
seratus lima puluh kepala
keluarga mendiami Desa Teni.
Melihat rumah mereka, rata-rata
dindingnya terbuat dari papan
kayu keras. Listrik sama sekali
tidak ada disini, namun air
cukup banyak karena ada
beberapa mata air disini. Rata-
rata mata pencaharian orang Teni adalah berkebun dan peternak sapi.
Kemiri, kakao, dan vanili menjadi hasil utama kebun. Sungguh
nuansa desa yang masih terjaga keasliannya.
Sesuatu yang menarik dari Teni-Lopijo adalah pada bahasanya.
Teni dan Lopijo pada dasarnya adalah dua
dusun yang berbeda yang dibatasi oleh satu
lapangan bola kaki. Namun kedua tempat ini memiliki bahasa
masing-masing. Hebatnya walaupun keduanya memiliki bahasa yang
berbeda tapi mereka bisa saling mengerti arti dari bahasanya tanpa
Jalan menuju Teni Lopijo
1Z4 | Cututun Huriun Ngudu 4
harus diterjemahkan. Dengan begitu mereka bisa hidup dengan saling
menghargai dan mengerti satu sama lain. Ini satu pelajaran berharga
yang aku dapat dari Teni-Lopijo.
***
Ada satu SD di sana yaitu SDI Teni-Lopijo. Satu satunya
sekolah yang telah menciptakan bibit unggul sebagai generasi penerus
bangsa. Meski dengan banyak keterbatasan, tapi aku bangga dengan
daya juang mereka untuk tetap sekolah. Tidak ada SMP apalagi SMA
disini. Setelah tamat SD mereka harus melanjutkan jenjang
pendidikannya ke SMP yang sangat jauh tempatnya. Paling tidak
SMPN SATAP 3 Aimere yang berjarak lima kilometer, namun harus
berjalan kaki menuruni gunung. Atau opsi lain sekolah yang yang
mereka pilih adalah di sekolah tempat pengabdianku, SMPN SATAP
Bajawa Utara yang berjarak dua puluh dua kilometer. Bedanya akses
ke sekolahku masih bisa ditempuh dengan sepada motor. Sunguh
berat perjuangan yang harus dilakukan anak-anak ini. Demi
mendapatkan pendidikan yang layak, demi masa depan mereka, demi
bangsa dan negara yang entah mereka kenal atau tidak.
Sepenggal kisah perjalananku selama pengabdian ini akan terus
kukenang. Aku telah menjadi bagian dari sejarah pendidikan mereka.
Meski hidup dalam keterbatasan dan terisolir tapi mereka tetap
memiliki semangat untuk hidup layak dan sadar akan pentingnya
pendidikan. Kebanggaan yang luar biasa kupersembahkan kepada
tunas-tunas bangsa yang sedang tumbuh ini. (*)
1Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Orang Kanada Ikut Membangun TK Ture Inka
Cipto Prisnanto
Di balik ketertinggalannya, beberapa tempat di Flores ternyata
menyimpan sejarah yang belum banyak dikenal orang. Setahun
mengabdi di Flores aku jadi tahu beberapa tempat yang menjadi
destinasi para peniliti dunia untuk merancang sebuah penemuan. Desa
Mengeruda yang ada di Kecamatan Soa misalnya. Dikenal memiliki
potensi sumber daya alam berupa hasil bumi dan obyek wisata, desa
ini juga menjadi saksi persahabatan kedua negara, Indonesia dan
Kanada.
Di desa kecil ini berdiri gedung sekolah yang dulunya menjadi
tempat pertukaran pelajar kedua negara itu. Nilai historis dan
romantisme keduanya sangat kental terasa apabila datang langsung ke
sekolah ini. Adalah TK Ture Inka yang menjadi bukti sejarah
pendidikan anak-anak Mengeruda dan Kanada. Sekilas memang
nampak tak ada keistimewaan dari gedung sekolah ini, tapi kalau tahu
sejarahnya maka kesan pertamayang akan terucap adalah luarbiasa.
Flashback tahun 1984-1985 ada pelajar asal Kanada yang
pernah tinggal selama beberapa bulan di Mengeruda, sebelum
akhirnya kembali ke negara asal. Selama tinggal di desa ini mereka
turut terlibat dalam pembangunan sekolah yang kini telah meluluskan
generasi emas milik Indonesia. Setelah kembali ke negaranya, para
peserta pertukaran pelajar pun
berpisah dan sempat
kehilangan kontak masing-
masing. Hingga akhirnya
tahun 2012 lalu keduanya
dipertemukan lewat jejaring
Gedung sekolah TK Ture Inka Mengeruda
1Z | Cututun Huriun Ngudu 4
sosial Facebook.
Saat mengetahui TK yang dulu sempat menjadi bagian dari
sejarah pendidikannya mengalami kerusakan dan membutuhkan
renovasi, mereka pun kembali dan menawarkan bantuan untuk
perbaikan sekolah. TK Ture Inka kini menjadi tempat bersejarah bagi
penduduk setempat dan turis Kanada tentunya. Keduanya kembali
menjalin hubungan erat, dengan masyarakat, dengan keluarga asuh,
dan dengan generasi baru penerus mereka. Orang Kanada ini merasa
senang karena diterima kembali dengan baik dan disambut dengan
berbagai acara penyambutan yang meliputi jamuan, musik dan tarian
adat khas Flores.
Entah karena kebetulan atau skenario Tuhan, takdir memberi
kesempatan padaku untuk bertemu dengan seorang pendiri TK Ture
Inka. Dia asli Kanada. Tahun 2014 ini seorang bule ini kembali
berkunjung ke Mengeruda. Adalah Kent Buse, yang kini bekerja
sebagai penyuluh dalam badan organisasi dunia PBB. Ia juga
berkesempatan mengunjungi kembali Desa Mengeruda ketika
menjalankan tugasnya untuk memberikan penyuluhan tentang HIV
AIDS di Kabupaten Ngada. Kent pun merasakan kembali nostalgia
masa lalu tinggal bersama keluarga asuhnya di desa kecil ini.
Aku merasa beruntung ditempatkan mengajar di desa ini.
Meski hanya setahun menjadi bagian dari Mengeruda tapi
pengalaman telah banyak aku dapatkan. Mengenal mereka, berbagi
ilmu dengan anak-anak lulusan TK Ture Inka adalah sebuah
kebanggan tersendiri. Kelak aku ingin seperti Kent Buse yang
kembali ke desa ini, meski hanya untuk berkungjung sebentar. Kalau
Kent punya cerita indah tentang T K Ture Inka, aku juga punya cerita
indah tentang muridku dan Mengeruda. (*)
1Z7 | Cututun Huriun Ngudu 4
Merumput Di Tanah Flores
Lukman Efendi
Pengalaman yang sangat berharga bagiku dapat mencicipi
kerasnya atmosfer pertandingan sepak bola di tanah Flores. Selama
satu tahun mengabdi disini, selain aktif mengajar di kelas aku juga
ikut berkontribusi di lingkungan masyarakat, satu diantaranya dengan
merumput di tanah Flores.
Hobiku ini cukup memacu adrenalin. Betapa tidak, karena
sosiokultur dan kondisi geografis yang tidak rata, semangatku
terefleksi di lapangan hijau saat bermain sepak bola. Karakter
masyarakat yang begitu kuat, militan, dan keras sangat terlihat dalam
gaya mereka saat bermain sepak bola. Cerita baru yang kualami di
tanah Flores, menambah jejak-jejak historis selama bergumul dengan
si kulit bundar.
Sudah kuprediksi sebelumnya gaya mereka saat bermain sepak
bola. Waktu itu dalam rangka Bulan Bhakti Desa di daerah
penugasan. Betapa kerasnya permainan yang diperagakan oleh
beberapa pemain atau tim. Tidak jarang pula yang mengarah pada
tindakan tidak sportif karena terlalu kasar dalam bermain. Tapi
lupakan saja hal itu, ibarat sebuah pertandingan final dalam piala
dunia, liga champion, liga Inggris ataupun ISL di tanah air, tentu tidak
lepas dari pelanggaran yang bernama profesional fouls.
Aksi merumput di tanah Flores berlanjut ke tingkat kecamatan.
Sebuah pertandingan yang mempertemukan wakil dari setiap desa di
Kecamatan Jerebu untuk meraih gelar juara. Walaupun harus
tersingkir lebih dahulu di fase penyisihan grup, tetapi bukan masalah
hasil yang akan aku ceritakan di sini. Karena dalam olahraga
melampui batas angka-angka tertentu adalah sebuah hasil yang
menentukan kalah ataupun menang.
1Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Di pertandingan pembuka penyisihan grup, timku bertemu
dengan desa tetangga yang cukup kuat. Sayangnya kuat bukan dilihat
dari teknik bermain. Namun lebih mengarah pada fisik, body
contact, dan power. Seperti yang telah diperkirakan jauh-jauh hari,
sengatan dan tebasan saat bermain dengan tim lawan seolah-olah
semakin menguatkan sebuah hipotesis. Bahwa ada korelasi antara
karakter masyarakat dengan gaya permainan dalam sepak bola.
Gaya bermain mereka sangat keras, bahkan mengarah pada
tindakan yang tidak sportif. Aku jadi seperti mendapat "teror" mental
dan fisik saat merumput melawan mereka. Sempat muncul pemikiran
ternyata gaya bermain sepak bola dapat menjadi potret atau indikasi
konkrit dari sebuah karakter suatu masyarakat. Begitu juga dengan
sistem manajemen yang dijalankan dalam sebuah olahraga.
Layaknya madrasah Kehidupan, banyak pelajaran yang diperoleh
dari berbagai aspek dengan ikut merasakan sensasi atmosfer
merumput di tanah Flores ini. Bukan sekadar kalah, menang, atau hal-
hal emosional lainnya, akan tetapi dari sinilah aku melihat keunikan
mereka. Masyarakat flores begitu memiliki semangat, antusias,
motivasi, rasa gotong royong, dan respect.
1Z9 | Cututun Huriun Ngudu 4
Dengan ikut merasakan kerasnya gaya permainan ala tim sepak
bola Flores tumbuh rasa percaya diri dalam benakku untuk
menumbuhkan rasa kepercayaan diri, daya juang, dan membulatkan
tekad. Menyaksikan budaya olahraga disini cukup tinggi, tak jauh
berbeda dengan daerah-daerah lain yang sudah maju.
Aku melabeli mereka orang- orang yang gila bola, karena tidak
hanya sepak bola, tapi permainan voli pun termasuk di dalamnya.
Itulah sepotong episode, jejak sejarah yang pernah kurukir di tanah
Flores. Sebuah cerita yang penuh pengalaman, pelajaran dan
pembuktian ayat-ayat yang Maha Mencipta dan Maha Mengatur
Alam Semesta. Sungguh kenangan yang begitu berharga serta terlalu
manis untuk dilupakan begitu saja dalam tugas mulia berbagi ilmu
dengan putra-putri bangsa. (*)
130 | Cututun Huriun Ngudu 4
Tarian Jawa di Pulau Bunga
Jumai Rofiana
Aimere, bumi pengabdianku kepada bangsa ini selama satu
tahun bertugas sebagai guru SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah
Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Sekilas nama Aimere terdengar
seperti bahasa India, tapi bendera yang berkibar di sini masih Merah
Putih, lagu kebangsaanya pun masih Indonesia Raya. Iya, aku sangat
yakin Aimere merupakan bagian dari bumi Indonesia, tepatnya di
Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tempat pengabdianku ini adalah daratan di mana perdamaian
dan keharmonisan sangat terjaga, meski terdapat perbedaan adat,
budaya, agama, ras, dan suku bangsa. Masyarakatnya mayoritas
beragama Katolik, sebagian beragama Kristen Protestan, Islam, Hindu
dan Budha. Informasi yang aku terima dari teman-teman guru di SMP
N 1 Aimere, tempatku mengajar, mereka yang beragama Katolik dan
Kristen sudah mendapat pendampingan dari gereja masing-masing.
Fasilitas di rumah ibadah juga terbilang baik. Berbeda dengan
kehidupan masyarakat sekitar Masjid Aimere yang masih
memperihatinkan. Fasilitas rumah ibadahnya masih minim. Penduduk
setempat menyebut Masjid Aimere sebagai Kampung Ende. Disana
ada kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Letaknya ada di pesisir pantai. Sedang sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian sebagai nelayan dan penjual ikan.
Tingkat ekonomi yang masih tergolong rendah ini menjadi
penyebab terbentuknya kampung dengan etos kerja dan tingkat
pendidikan yang rendah pula. Jangan heran kalau semangat belajar
masyarakatnya juga rendah. Miminnya jumlah masyarakat terdidik
dan tenaga profesional di Kampung Ende berdampak pada dorongan
motivasi dari luar menjadi sulit. Kukira perlu adanya pendampingan
secara khusus untuk menghidupkan semangat belajar mereka.
Bersama Mba Ayu, seorang temanku muncullah ide untuk
mengadakan kegiatan yang kiranya dapat memberi manfaat bagi
131 | Cututun Huriun Ngudu 4
penduduk setempat. Kami menjadikan Masjid Aimere sebagai pusat
untuk menjalankan semua kegiatan, kurang lebih selama satu tahun
berada di tempat pengabdian.
Bersama Mba Ayu dan Bu Maemunah saat peresmian taman baca di Kampung
Ende
Optimisku, mencoba memberi warna lain di tempat yang sudah
memiliki banyak warna meski terkadang gelap terang terlihat sama.
Melakukan kegiatan bersama remaja putri untuk berdiskusi tentang
pendidikan dan agama. Tak hanya itu malahan kami juga belajar
memasak bersama. Masih dengan Mba Ayu, semangatku terus
terpacu. Kami merintis taman baca dan majalah dinding di masjid.
Kebetulan dapat bantuan buku-buku dari mahasiswa dan dosen UNY,
penerbit, serta masyarakat Jogja.
Seperti mendapat imbalan dari mereka, aku dimintai bantuan
melatih nasyid siswa SMA N 1 Aimere untuk mengikuti lomba
mewakili Kabupaten Ngada ke tingkat Provinsi. Saat itu Farah dan
Anisa, siswa SD Aimere juga sedang mempersiapkan lomba Pildacil
(Pilihan Dai Cilik) di tingkat Kabupaten dan Provinsi. Dalam waktu
yang bersamaan aku juga diminta terlibat dalam kepanitiaan
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Kabupaten Ngada XXV yang
diselenggarakan di Kecamatan Aimere.
Warna lain yang aku lukiskan di kampung ini seperti
memancarkan rona yang indah dan mengesankan. Apalagi saat aku
diberi kesempatan menghadirkan tari Jawa di Pulau Bunga ini.
13Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Dukungan dan permintaan Bu Maemunah, pengurus masjid sekaligus
teman guru yang menginginkan kami mengajarkan tari Jawa untuk
mengisi acara pembukaan dan penutupan MTQ Kabupaten Ngada
XXV.
Foto bersama penari Tari Topeng
Kebetulan sewaktu kecil aku pernah ikut sanggar Tari Jawa,
sedang Mbak Ayu pernah membantu merintis sanggar Tari Jawa di
kampungnya. Kami berbagi tugas saat itu. Aku melatih anak-anak
menari dan Mbak Ayu membantu mendatangkan kostum Tari Topi
dari sanggar yang dirintisnya dulu.
Awalnya memang agak sulit melatih Dela, Gebi, Ajeng, Mala,
Mila, Amalia, dan Kalista. Tapi akhirnya Tari Topi berhasil
ditampilkan dengan apik di hadapan banyak mata. Tarian ini
bernuansa keceriaan anak-anak saat menerima hadiah topi bundar dari
orang tuanya. Gerakannya memberikan kesan tersendiri saat
dibawakan oleh anak-anak Flores. Memang Indonesia begitu indah
padu-padannya. Kali ini perpaduan gerakan Jawa, irama lagu Jawa,
dan lenggak-lenggok bocah Flores di bumi Aimere. (*)
133 | Cututun Huriun Ngudu 4
Saya rasa bagus sekali ada tarian Jawa di acara MTQ kita.
Sesuai temanya tentang keberagaman. Ini sebagai bukti Bhineka
Tunggal Ika yang kita miliki dalam kegiatan ini, kata Pak Min,
Koordinator acara MTQ.
Aku berharap semua yang hadir dapat menyadari bahwa
keberagaman dan perbedaan yang ada adalah kekayaan yang dimiliki
bangsa ini. Bumi pengabdianku, di tengah kepenatan membincang
perkara serta sistem pendidikan Kabupaten Ngada yang begitu
memperihatinkan, Kampung Ende menghadirkan kebahagiaan
tersendiri. Bahkan aku yakin, sedikitnya apa yang telah kita tanam di
bumi pengabdian suatu saat akan tumbuh subur dan berbuah.
Semoga! (*)
134 | Cututun Huriun Ngudu 4
Backpacker: Mengambil Kesempatan dalam Pengabdian
Deni Arif Nugroho
Belakangan ini banyak orang yang lebih menyukai perjalanan
dengan cara backpackeran dari pada menggunakan jasa tour guide.
Banyak orang mengartikan backpackeran lebih menyatu dengan
penduduk asli, namun sebagian orang memaknai lain. Perjalanan
dilakukan dengan cara backpakeran ini bertujuan agar pengeluaran
dapat dihemat. Terlebih untuk aku yang masih dalam masa
pengabdian, harus bisa mengambil kesempatan dengan pengeluaran
yang minimalis dan memilih backpackeran menggunakan sepeda
motor yang menyenangkan dan menghadirkan hal-hal yang tak
terduga selama perjalanan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 WITA, mengharuskan
aku mempercepat langkah agar tidak tertinggal oto truck (sebutan
angkot di daerah Flores). Tepat pukul 06.00 WITA aku sudah
menunggu oto bersama dua teman yang kebetulan hendak ke Kota
Bajawa juga. Waktu yang diperlukan untuk sampai ke kota Bajawa
dari penempatanku kurang lebih 4 jam. Sampailah aku di Bajawa
sekitar pukul 10.00 WITA. Segera aku menghubungi Mas Aziz,
teman yang akan menuju Lombok bersamaku. Setelah bertemu tanpa
menunggu lama, kami menservis motor sewaan untuk menyamankan
motor sebelum melakukan perjalanan jauh.
Pukul 13.00 WITA perjalanan dimulai dari Bajawa, selama
perjalanan kami bergantian dalam membawa sepeda motor agar lelah
13 | Cututun Huriun Ngudu 4
dapat dirasakan bersama. Karena ada keperluan lain dengan teman,
maka kami mampir di Aimere yang hanya membutuhkan waktu
kurang dari dua jam dari Bajawa. Di tengah perjalanan motor sedikit
agak rewel yaitu ban bocor. Kami mencari tukang tambal ban yang
ada disekitar daerah Borong, Ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.
Setelah melanjutkan perjalanan, kami istirahat di kota Ruteng
yang merupakan Ibu kota Kabupaten Manggarai. Di kota ini kami
mencari makan sekalian shalat ashar. Kami memesan gado-gado dan
minum teh panas, karena Ruteng merupakan daerah yang dingin. Pada
waktu membayar kami dikagetkan dengan harga makanan yang agak
mahal bagi kami yang akan melakukan perjalanan panjang dengan
ongkos cekak ini.
Rencananya kami akan menginap di Labuan Bajo Ibu, kota
Kabupaten Manggarai Barat. Tak peduli itu malam atau siang hari,
panas atau hujan, mengingat sebentar lagi akan puasa dan perjalanan
yang semakin lama akan mengakibatkan biaya sewa motor otomatis
akan semakin mahal. Petualangan dimulai lagi dari Ruteng menuju
Labuan Bajo, hari sudah gelap, jalanpun tidak begitu jelas ditambah
dengan sepanjang perjalanan banyak jalan yang baru diperbaiki serta
jalan ini baru pertama kali aku lalui. Sehingga, terpaksa kuperlambat
laju motorku sambil berpikir bagaimana tetap aman dan sampai
Labuan Bajo tidak begitu malam. Kebetulan ada pengendara motor
lain yang sepertinya penduduk setempat jika dilihat dari cara
berkendaranya, aku mencoba mengikuti dan manfaatkan sebagai
penunjuk jalan. Cara ini akhirnya mempercepat perjalanan, tepat
13 | Cututun Huriun Ngudu 4
pukul 21.00 WITA kami sampai Labuan Bajo. Segera kami mencari
penginapan agar dapat cepat istirahat karena besok masih melanjutkan
perjalanan lagi.
Oh ini to Kota Labuan Bajo kalau pagi hari ucapku melihat
pemandangan sekitar penginapan. Terlihat indahnya gugusan pulau-
pulau yang di beberapa pulau terdapat salah satu hewan purba yaitu
Komodo. Namun, tujuan perjalanan kali ini bukan menuju Pulau
Komodo. Melainkan Gunung Rinjani di seberang pulau sana.
Melanjutkan perjalanan panjang menggunakan kapal yang kira-
kira membutuhkan waktu 8 jam. Pukul 08.00 WITA kami membeli
tiket kapal dan langsung masuk di kapal yang akan membawa kami ke
pulau di mana Gunung Rinjani bertengger. Tidak disangka kami
bertemu dengan Pak Azwan teman Mas Aziz di dalam kapal yang
kami tumpangi. Mas Aziz mengenal baik Pak Azwan karena mereka
mengajar di seklahan yang sama. Pak Azwan akan pulang ke kota
asalnya yaitu Bima. Kamipun bercerita banyak dengan Pak Azwan
dan akhirnya kami diminta nginap di rumah Pak Azwan yang
jaraknya 2 jam dari Pelabuhan Sape. Kami sangat senang dan
menerima tawaran Pak Azwan karena kami tidak tahu akan menginap
di mana sebelumnya. Perjalanan dengan pemandangan yang sungguh
indah dari Labuan Bajo sampai Sape.
Pukul 18.00 WITA kami tiba di rumah Pak Azwan. Kami
langsung bersih-bersih diri dan makan malam bersama keluarga Pak
Azwan. Sungguh baik keluarga ini, kami tak bisa membayangkan jika
tak bertemu dengan Pak Azwan. Tepat Pukul 05.00 WITA kami
137 | Cututun Huriun Ngudu 4
bangun untuk ibadah dan bersiap melanjutkan perjalanan. Seusai
sarapan pagi, kami izin melanjutkan perjalanan. Kami dibawakan dua
porsi makan untuk bekal karena kata Pak Azwan tidak ada orang jual
makanan di jalan.
Jalan di Pulau Sumbawa besar, hotmix dan kendaraan masih
sedikit di pagi hari dan akupun dapat bsedikit leluasa mempercepat
laju motor, agar sore hari sudah sampai Pulau Lombok. Tapi motor
lagi-lagi bermasalah, dan ini karena kecerobohanku. Motor kehabisan
bensin di jalan. Kami berjalan mendorong motor, dalam perjalanan
ada orang yang bertanya kenapa kami mendorong motor dan aku
menjawab kehabisan bensin. Tak lama orang yang bertanya itu
membawakan sebotol bensin dan aku mengganti harga bensin itu.
Sekali lagi dapat kebaikan dari orang lain. Setelah berjalan motor
bermasalah lagi, sekarang motor mati dan tak bisa dihidupkan.
Sekarang gantian Mas Aziz yang mendorong motor dan aku istirahat
di jalan. Di perjalanan ada seseorang yang membantu mendorongkan
motor padahal jaraknya lumayan jauh.Setelah diperbaiki motor
kembali normal dan perjalanan dimulai lagi. Tapi lagi dan lagi kita
kehabisan bensin. Perjalanan yang benar-benar menguras emosi. Mas
Aziz mencari bensin dan aku menunggu di jalan. Setelah motor
berjalan normal, akhirnya sampai Kota Sumbawa. Di sini kami
istirahat untuk shalat dan mengisi bensin. Tanpa disangka kami
bertemu teman SM-3T dari penempatan Manggarai, mereka baru
pulang dari mendaki Gunung Rinjani, akupun dapat bertanya-tanya
13 | Cututun Huriun Ngudu 4
tentang keadaan dan peminjaman tenda yang ada di sana. Aku diberi
nomor HP orang Lombok yang menyewakan perlengkapan mendaki.
Tibalah mereka melanjutkan
perjalanan dan kamipun begitu,
mereka akan pulang ke tempat
pengabdian dan kami menuju
Gunung Rinjani. Pukul 17.00
WITA kami menyeberang dari
Pulau Sumbawa ke Pulau
Lombok, perjalanan
membutuhkan waktu kira-kira
dua jam. Lombok merupakan
sebuah pulau yang indah akan pantai-pantainya dan pemandangan
lainnya. Sampai di Lombok sudah larut malam dan ini pertama
kalinya kami menginjakkan kaki di pulau ini. Meski memiliki tujuan
jelas, akan tetapi waktu itu kami tidak tahu arah yang akan dituju.
Setelah melihat GPS kami akhirnya menuju ke Kota Mataram yang
merupakan pusat kota bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebelum
masuk kota Mataram ban motor kami kempes lagi, waktu yang sudah
malam sempat membuat kami khawatir tidak ada tbengkel tambal
ban. Tapi ketakutan itu sirna, ternyata di sini masih sangat ramai dan
hampir sama seperti di Jawa.
Kami melanjutkan perjalanan dengan memaksa motor untuk
dinaiki dan akhirnya dapat bengkel tambal ban yang masih buka.
139 | Cututun Huriun Ngudu 4
Selesailah si ban motor ditambal, kami lanjutkan mencari masjid
sebagai tempat persinggahan untuk meminimalkan anggaran.
Akhirnya, kami menemukan masjid yang kami cari. Setelah
membersihkan diri, kami meminta ijin kepada orang yang menjaga
masjid ini untuk menginap semalam di masjid ini.
Dua hari yang lalu menikmati indahnya Labuan Bajo untuk pagi
hari ini aku menikmati indahnya kota Lombok. Pukul 05.30 WITA,
kami beranjak pergi dari masjid untuk menuju Senaru. Memastikan
jalan dengan bantuan GPS, menelusuri jalan dengan keindahan pantai
dan lelah yang dirasa seketika hilang mendengar deburan-deburan
ombak. Perjalanan yang seperti tak ada akhir, tapi akhirnya sampai
juga backpackeran menggunakan sepeda motor ini. Kami telah
sampai di Senaru, di kaki Gunung Rinjani yang akan kami daki.
Pengabdian di Bumi Flores telah mengantarkan kami berpetualang
menikmati indahnya alam Indonesia bagian Tengah. Suka duka
pengabdian di daerah tertinggal yang selalu terobati saat kesempatan
liburan datang. Semoga keindahan alam yang ada tetap terjaga dan
selalu menuntun kami mensyukurinya dengan bekerja. (*)
140 | Cututun Huriun Ngudu 4
Senyum Anak Nage
Bagus Subandono
Silih berganti musim beralih, zaman beredar menurut aturan.
Demikian adanya kejadian alam bergiliran secara teratur tak pernah
lupa ataupun salah. Musim panas yang kian terik dan gersang telah
berlalu, musim hujanpun menjelang di bumi Flores . Sang pelita hari,
seminggu lampau menyembunyikan diri di balik kabut dan awan
gelap. Seolah-olah malu menentang kejadian di bumi yang beraneka
ragam jenisnya. Kini semakin tenang suara khas rinai air, guyuran
hujan, kebasan angin, lirih gemericik air sungguh semarak menjadi
penghibur diriku di samping bilik naja.
Terlihat dari jauh sepasang anak di ujung jalan seberang mata
air dusun Malanage. Mereka adalah anak didikku yang memiliki
semangat luar biasa. Meskipun hari masih pagi, mereka
melangkahkahkan kaki kecilnya menembus kabut tebal dan titik air
yang jatuh dengan hanya bersenjatakan selembar daun talas di atas
kepala. Terlihat tas kecil agak usang yang dihiasi coretan-coretan dan
baju seragam merah putih yang menempel di badannya, memastikan
jejak-jejak mereka menuju suatu tempat untuk menimba ilmu.
Berjalan beriringan melalui jalan setapak di tengah rimbunnya pohon
Kakao yang buahnya mulai menguning. Tak kurang pula gaya mereka
seperti tak mengingat suatu apapun, seolah-olah tak akan tampak lagi
suatu kesusahan, masa-masa inilah surga dunia bagi mereka.
141 | Cututun Huriun Ngudu 4
Anak Nage
Lengang sunyi ketika lonceng terdengar, beberapa anak yang
masih basah setelah perjalanannya menuju sekolah mulai mengambil
posisi di atas bangku masing- masing. Tak tampak lagi, semua
bersembunyi dan bermain dengan bekal masa depan mereka ditemani
Bapak dan Ibu guru sesuai dengan mata pelajarannya. Tak jarang aku
dapati suasana gaduh saat pelajaran berlangsung. Ternyata, sang guru
entah di mana, sejenak keadaan ini menghapuskan senyum semangat
belajar murid-muridku. Bagian yang sungguh sulit untuk dijelaskan.
Tengteng.teng bunyi lonceng seperti menantang
kejadian, sesaat suara murid-murid pecah di waktu jeda pelajaran,
sungguh seperti dunia milik mereka.
Selepas lonceng ujung waktu belajar, mereka kembali
menyusuri jejak-jejak lama mereka dan sampai di tempat awal
mereka memulai perjalanannya. Sore hari di sudut lapangan Dariwali
masih banyak anak-anak berkejar-kejaran, tak ada yang
menghiraukan bahwa sebentar lagi matahari yang sudah mulai
meredup akan kembali keperaduannya dan malam segera
membentangkan tabirnya. Senyum itu harapan, tidak peduli lagi siang
atau malam, semangat menyala tanpa terbebani bayangan kelam di
masa yang akan dating. (*)
14Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Air Emas di Waewea
Ariyanto
Dinginnya udara Bajawa menusuk sampai tulang. Udara dingin
dan perasaan takut menyelimuti malam pertamaku di kota berkabut
ini. Dua hari kemudian, aku dijemput sekelompok orang yang
mengendarai sepeda motor. Rasa takut semakin menjadi apalagi
melihat wajah mereka yang sangat asing. Warna kulitnya hitam,
ternyata adalah ciri khas orang timur yang sebenarnya sudah aku
ketahuo sebelumnya. Lama kami bercakap-cakap dan berkenalan,
ternyata mereka adalah guru di SDI Ngulukedha. Sekolah yang
menjadi tempat pengabdianku selama setahun ini letaknya ada di
Desa Waewea.
Perjalanan menuju SDI Ngulukedha, awalnya memang mudah
karena yang dilewati adalah jalan beraspal yang halus. Memasuki
Kecamatan Bajawa Utara yang berjarak kurang lebih lima puluh
kilometer dari pusat kota nampak jalan sudah mulai rusak. Terus
dilewati sampai di Desa Uluwae yang berjarak enam kilometer.
Desa Uluwae merupakan ujung aspal menuju Waewea tempatku
tinggal. Jalan dari Uluwae sampai Uluwae 2 sekitar empat kilometer,
masih terbilang mudah dilewati karena datar, tidak ada tanjakan yang
curam. Berhasil melewati jalan ini bukan berarti telah sampai di
penempatanku. Masih berlanjut menyusuri jalan, kali ini adalah
medan yang paling sulit. Terlebih jaraknya berkisar dua puluh
kilometer. Tidak semua orang berani melewati karena permukannya
seperti sungai kering. Batu-batu besar berserakan, tanjakan yang terjal
berkerikil, dan pasir membuat jalan susah untuk dilalui kendaraan.
Apalagi saat musim hujan, tanah cadas membuat medan semakin sulit
untuk dilewati. Tidak jarang dari kami yang pergi tugas keluar jatuh
berkali-kali di jalan itu. Terjebak lumpur, bahkan menyentuh knalpot
143 | Cututun Huriun Ngudu 4
panas saat terjatuh dari motor. Bagi penduduk asli Waewea ini sudah
menjadi hal biasa, tapi bagiku inilah tantangan luar biasa.
Sekolah pengabdianku terletak di Desa Waewea. Desa ini masih
sangat asri. Di sekitar tempat tinggalku masih terbentang hutan yang
sangat luas. Terdapat hewan-hewan buruan seperti babi hutan dan
rusa. Tak heran disini masih banyak warga yang pergi ke hutan untuk
berburu. Terkadang mereka pulang membawa babi, rusa, ular, dan
kera.
Warga di sini sangat santun, tidak seperti yang kukira
sebelumnya. Dibalik warna kulitnya yang hitam tersimpan hati yang
lembut dan kasih yang tulus. Kebiasaan yang sudah mendarah daging
di sini, setiap ada pendatang yang bersilaturahmi ke rumah tetangga,
pasti disuguhi kopi, makanan, bahkan sangat sering dipersilakan
menyembelih ayam untuk lauk makan. Aku muslim minoritas disini,
sedang pendudukan setempat adalah Katolik jadi mereka menyuruhku
untuk menyembelih ayam sendiri.
Kata orang, tempat tinggalku ini tergolong daerah yang tersulit
dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Kabupaten Ngada.
Sejarahnya nama Desa Waewea berarti desa air emas. Bukan berarti
harga air disini sama dengan harga emas. Tapi untuk mendapatkan
memang butuh perjuangan. Setelah berhasil mendapatkannya,
penduduk setempat menganggap air adalah sesuatu yang paling
berharga. Tidak mudah untuk mendapatkannya.
Pada bulan September 2013, ketika aku sampai di desa ini
sumber air bersih hanya bisa didapat dari satu bak penampungan yang
diambil dari Desa Uluwae. Air diambil menggunakan pipa. Jarak dari
bak air sampai rumah tinggalku sekitar empat ratus meter.
Setiap pagi dan siang, sebelum atau setelah pulang sekolah aku
mengambil air dari bak penampungan. Dengan menenteng jerigen
takaran lima dan sepuluh literan. Jerigen yang aku bawa bersama
144 | Cututun Huriun Ngudu 4
seorang teman bisa mencapai dua belas banyaknya. Tidak sekaligus
tapi berulang-ulang dengan jalan kaki dan mengantre pula.
***
Pertengahan Oktober 2013 pipa air yang digunakan rusak.
Penduduk setempat belum mengetahui penyebab rusaknya. Selama
pipa belum diperbaiki, dari bulan Oktober 2013 sampai Juni 2014 aku
hanya bisa mendapatkan air bersih dari dua aliran sungai yaitu Sungai
Alowara dan Alogawu.
Sunga Alowara berjarak sekitar tiga ratus meter dari tempat
tinggalku. Untuk membawa air dari sungai ini memang sangat sulit
karena harus mendaki tebing terlebih dahulu. Apalagi saat musim
kemarau, sungainya akan mongering. Tidak ada air lagi untuk
mengaliri sungai ini. Sedang Sungai Alogawu jaraknya sekitar dua
kilometer dari tempat tinggalku. Aku mengambil air di sungai ini
hanya saat ada kendaraan sepeda motor atau pun oto (truk).
Selain dari sungai, kadang penduduk setempat masih beruntung
mengandalkan kebaikan alam. Saat musim penghujan, kami bisa
menadah air hujan. Caranya dengan membuat penampungan air hujan
dengan menggunakan terpal dan drum. Kekurangan air terkadang
terjadi dua sampai satu minggu. Selama itu pula kami tidak perlu
mandi.
Setahun mengabdi di tempat ini, banyak mendatangkan inspirasi
untuk terus bertahan hidup dengan segala keterbatasan yang ada.
Akhirnya tidak ada kata yang lebih indah selain rasa syukur atas
nikmat yang selama ini sering aku lupakan. (*)
14 | Cututun Huriun Ngudu 4
Pelajaran Berharga dari Warenembu
Wahyu Rahmawati
Warenembu, sebuah desa yang sering aku dengar dari penduduk
disini. Entah mengapa desa itu begitu sering diperbincangkan. Mereka
bilang desa ini begitu udik, terpencil, sulit dijangkau, dan terisolir.
"Ah ibu, Warenembu itu udik, terpencil. Oto tidak bisa masuk
pengaruh jalan terlalu sulit ditempuh," kata seorang murid saat aku
bertanya tentang Warenembu.
"Ibu mau pergi Warenembu? Warenembu gagah ngeri lah ibu,
pemandangannya gagah, disana kita bisa lihat bukit, ada batu besar
sekali, mereka bilang itu peninggalan nenek moyang. Mari kita pergi
ibu, gagah ngeri lah disana," kata seorang murid yang tinggalnya di
Warenembu.
Rasa penasaran pada kampung bernama Warenembu itu semakin
besar. Sepertinya akan menyenangkan untuk mengunjunginya barang
sekali saja.
"Yuk, minggu depan kita jalan kesana. Mau tidak? Nanti kita
menginap di rumah Ibu Til di Teong, baru besoknya kita jalan ke
Warenembu," ajak seorang teman padaku sore itu.
Aku langsung mengiyakan ajakannya dengan penuh semangat.
Paling tidak aku bisa membuktikan sendiri bagaimana keadaan desa
yang mereka bilang terisolir itu.
Sabtu sore, aku dengan temanku pergi ke Teong, desa di sebelah
Warenembu yang masih bisa dijangkau dengan oto truk. Disana aku
menginap di rumah teman guru, Ibu Til namanya.
***
14 | Cututun Huriun Ngudu 4
Minggu pagi setelah sarapan, kami memulai perjalanan bersama
beberapa murid. Awalnya aku menempuh medan menurun yang
sangat panjang, saking panjangnya aku sempat berpikir bahwa jalan
ini tak berujung, konyol memang. Akhirnya medan yang harus kami
tempuh berubah. Menanjak dengan debu yang beterbangan dan
matahari yang mulai meninggi. Entah berapa lama aku berjalan, lama
sekali rasanya, jalan menanjak yang cukup membuat lelah. Hebat juga
orang-orang ini, mereka bisa menempuh jalan seperti ini setiap hari,
pikirku.
"Ibu, ini tanjakannya masih jauh kah?" tanyaku
"Ini baru tanjakan pertama, kita jalan menanjak sampai diatas
bukit yang disana itu." jawab Ibu Til sambil menunjuk ke atas bukit
yang sangat jauh itu.
Melihat bukit yang dia tunjuk, rasanya
lemas sekali badan ini, ternyata medan
menanjak masih terlalu jauh. Aku
begitu kagum dengan warga kampung
ini. Jalan menanjak di tengah hutan
belantara, dengan debu yang
beterbangan dan jalan yang rusak. Hanya bisa dilalui kendaraan roda
dua saja, itupun sulit. Medan seperti itulah yang harus mereka lalui
setiap hari. Tak salah mereka bilang desa ini terisolir, akhirnya aku
mengerti kenapa mereka bilang begitu.
"Ayo kita jalan lagi, ini belum ada setengah perjalanan,"
semangat Bu Til menular padaku.
Teriknya matahari dengan debu yang beterbangan mengiringi
perjalanan kami. aku coba untuk tetap bersemangat, karena aku akan
menginjakkan kaki di desa paling jauh di kecamatan ini.
!alan daLar menu[u Wanerembu
147 | Cututun Huriun Ngudu 4
Tanjakan demi tanjakan bisa ku lalui, akhirnya sampailah aku di
puncak tertinggi. Dari kejauhan samar-samar terlihat atap rumah dari
seng yang berkilauan. Itu tanda di depan sana ada sebuah
perkampungan. Tetapi itu tidak sedekat kelihatannya. Aku harus
berjalan menuruni bukit itu, bertemu dengan daerah yang datar,
berjalan kurang lebih dua puluh menit barulah tiba di Kampung
Warenembu.
Bangunan yang pertama kami temui adalah SD N Warenembu.
SD ini berada di atas bukit yang lumayan tinggi. Di bawahnya ada
pemukiman penduduk kira-kira dua puluhan rumah berdiri di sana.
"Hanya ini saja ka rumah disini?" tanyaku.
"Tidak ibu, ini hanya sebagian. Yang lain ada di kampung
sebelah bawah," jawab seorang siswa padaku.
"Nanti kita turun juga ke bawah, kita istirahat dulu sebentar
disini, ujarnya.
Perjalanan menuju Warenembu
Masih ada dua kampung lagi di bawah. Kami akan menuruninya
lewat jalan setapak. Kupikir ini sudah akhir perjalanan karena
14 | Cututun Huriun Ngudu 4
kampung paling ujung yang sudah kami tempuh dengan berjalan kaki
sekitar satu jam. Ternyata di bawah masih ada perkampungan lagi.
Lumayan juga istirahat disini, pikirku. Hamparan perbukitan
yang hijau bisa memanjakan mataku. Ini sangat luar biasa, apalagi
sambil melihat anak-anak Warenembu berlarian. Tapi bagi mereka ini
pemandangan yang sangat biasa, bahkan mungkin mereka sudah lelah
atau ingin pemandangan yang berbeda.
Setelah beberapa lama istirahat, aku mulai lagi berjalan menuruni
perbukitan dari kampung pertama. Medan yang harus dilalui tidak
mudah dengan bebatuan yang ada di sana sini. Dulunya pernah ada
jalan besar dan bisa dilalui oto, tapi semakin lama jalan terkikis oleh
air hujan jadi semakin rusak dan parah.
Rumah pertama aku temui setelah berjalan kurang lebih lima
belas menit. Disana berdiri kira-kira sepuluh rumah. Untuk mencapai
kampung yang paling ujung masih diperlukan perjalanan sekitar lima
belas menit lagi. Tetapi aku memutuskan hanya sampai disitu saja,
karena nanti masih harus pulang ke rumah dengan menempuh
perjalanan yang lebih jauh.
Aku jadi berfikir, ternyata masih ada kehidupan yang jauh di
pedalaman, bahkan bisa dikatakan di tengah hutan. Mereka hidup
hanya dengan segelintir orang saja, Tanpa kendaraan, tanpa kios,
apalagi pasar, dan keramaian. Mereka bisa bertahan dengan begitu
banyak keterbatasan. Yang lebih aku salutkan lagi, disini mereka
sudah mengenal pendidikan. Meski hanya ada satu sekolahan yang
ada di atas bukit. Anak-anak dari kampung bawah rela berjalan jauh
hanya untuk sekolah. Aku salut juga dengan para guru yang mengajar
disini. Mereka rela meninggalkan kenyamanan kota, kehangatan
bersama keluarga di rumah untuk sekadar berbagi ilmu dengan anak-
anak disini.
149 | Cututun Huriun Ngudu 4
Ini sungguh pengalaman sangat berharga bagiku. Menempuh
perjalanan yang sangat jauh untuk menemukan desa yang paling
ujung di Riung Barat. Warenembu telah memberiku banyak pelajaran
yang sangat berharga, membuatku banyak-banyak bersyukur atas apa
yang sudah aku dapat selama ini. Semoga tempat ini akan terus
berkembang dan tersentuh pembangunan. (*)
10 | Cututun Huriun Ngudu 4
Indahnya Kebersamaan di Tempat Pengabdian
Anggi Ardyansyah
Lengkosambi, sebuah desa yang terletak di kecamatan Riung
Kabupaten Ngada, tepatnya berjarak dua belas kilometer dari
Kecamatan Riung. Sebuah desa yang sangat indah, karena disanalah
aku menemukan pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan dan
disanalah aku menemukan sesuatu hal yang tidak pernah aku temui di
Jawa. Budaya dan adatnya, orang-orangnya, dan mokenya.
Aku tinggal di rumah Pak Bernabas Adang, yaitu seorang
mantan kepala desa pada era Presiden Soeharto. Orang-orang biasa
memanggilnya Pak Nabas. Beliau mempunyai empat orang anak yang
semuanya perempuan.
Lengkosambi merupakan tempat yang mengenalkan aku pada
indahnya sebuah kebersamaan dalam berbagai hal, misal dalam hal
makan dan adat istiadat antar belis. Pertama, kebersamaan saat makan
di rumah yaitu makan harus dilakukan bersama-sama dan tidak ada
yang mendahului atau mendahulukan. Kedua, antar belis adalah
sebuah adat di mana ketika seorang pria ingin mengambil seorang
perempuan untuk dijadikan istri ada beberapa hal yang harus dipenuhi
oleh pihak laki-laki, misal keluarga perempuan meminta 5 ekor sapi,
5 ekor kerbau, 5 ekor kambing/ domba, 5 ekor kuda dll. Namun,
semua itu tidak ditanggung sepenuhnya oleh keluarga laki-laki yang
hendak melamar, melainkan ditanggung bersama-sama oleh semua
keluarga besar laki-laki tersebut.
Lengkosambi, mengenalkan aku pada berbagai makanan yang
belum pernah aku makan sebelumnya di tanah kelahiranku di Pulau
Jawa. Pertama, sayur daun marongge/ kelor yang agak sedikit aneh
bagiku. Hal ini karena di tempat tinggalku dulu daun kelor biasa
digunakan untuk memandikan mayat. Kedua, makan jagung rebus
dengan sambal dan ikan asin. Ketiga, yaitu makan pisang rebus
dengan lalapan daun pepaya.
11 | Cututun Huriun Ngudu 4
Lengkosambi mengenalkan aku pada minuman khas yang ada di
Flores yaitu Moke, Moke disebut pula sebagai minuman adat, karena
moke diharuskan ada dalam setiap acara adat. Moke merupakan
minuman yang meiliki kadar alkohol agak rendah, hanya saja jika di
minum terlalu banyak dapat memabukkan.
Banyak pengalaman-pengalaman yang telah aku lalui di
Lengkosambi baik di sekolah maupun lingkungan masyarakatnya.
Inilah Lengkosambi tempat di mana aku mengabdi selama satu tahun
ini, tempat pengabdian yang tidak akan aku lupakan. (*)
1Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Toleransi di Sudut Negeri
M. Latiful Aziz
Program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal) periode 2013/2014 telah mengumumkan
hasil seleksi yang di dalamnya tercantum namaku untuk bertugas
mengabdi di Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mendengar hal
tersebut seketika kulambungkan anganku, terpacu adrenalinku dan
muncul pertanyaan seperti apa kehidupan yang akan kujalani setahun
kedepan? Berbagai bayangan muncul seketika bahwa aku akan
berada pada suatu daerah yang menurut kabar angin merupakan
daerah yang gersang, sumber air yang susah nan jauh, daerah yang
aksesibilitasnya masih sulit, dan yang paling menyempitkan otak ini
untuk berfikir akan seperti apa aku menjalani kehidupanku sebagai
seorang muslim dan menjadi seorang yang minoritas.
Berbagai bayangan lain muncul, teringat makanan maupun
minuman yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh orang
muslim sesuai dalam ajaran agama Islam yang aku yakini. Hal ini
terkadang membuat aku ragu akan kemampuan diriku yang masih
cetek ilmu agamanya dan masih tipis keimannya untuk tetap kuat
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
September 2013 tepatnya tanggal 18 tiba di tempat penugasan
yaitu di Desa Were IV, bayangan akan beratnya menjalani hidup
untuk selalu mengusahakan menjalankan syariat agama masih terus
membayangi. Semua bayangan kesulitan itu perlahan sirna seiring
bejalannya waktu dan adanya sikap toleransi yang tinggi baik di
sekolah maupun masyarakat lingkungan sekitar. Pihak sekolah
menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi dengan
memberikan waktu senggang ketika hari Jumat dengan tidak memberi
beban jam mengajar padaku. Hal tersebut dimaksudkan agar aku bisa
menunaikan kewajiban ibadah sholat Jumat. Hal ini karena letak
masjid terdekat dari tempat tinggalku adalah di kota yang memakan
waktu 1 jam lebih dengan angkutan umum untuk menempuhnya.
13 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sikap toleransi yang tinggi ditunjukkan oleh masyarakat dengan
menghargai dan menghormati kita dan tidak memaksa kita untuk
makan atau minum yang dilarang oleh ajaran agama Islam. Wujud
toleransi yang lain yaitu mereka mengerti akan sah tidaknya makanan
yang diperbolehkan untuk dikonsumsi soerang muslim. Hal itu
ditunjukkan dengan memberi kesempatan dan bahkan meminta
pertolongan dari kita untuk menyembelih hewan yang akan dijadikan
hidangan bagi para tamu ketika akan mengadakan pesta (acara)
semacam kegiatan syukuran yang sifatnya makanan disajikan untuk
umum. Aku sering diundang untuk menyembelih ayam bahkan
sampai ke desa lain, karena mereka mempunyai saudara maupun tamu
yang juga beragama Islam.
Sebelum aku datang ke Desa Were IV ini, aku belum pernah
sekalipun menyembelih ayam. Ajaran yang aku yakini, dalam
penyembelihan hewan agar dagingnya sah untuk dikonsumsi tidaklah
mudah, karena ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.
Misalnya, harus memotong tiga urat saraf leher hewan, pisau yang
digunakan untuk menyembelih haruslah tajam, ketika menyembelih
pisau tidak boleh terangkat, dan lain sebagainya. Keberadaanku
sebagai seorang muslim yang mungkin hanya ada aku di kampung ini,
menjadikan aku berani untuk menyembelih ayam. Aku yang harus
memahami syarat-syarat dalam melakukan penyembelihan hewan,
banyak menanyakan baik pada teman, saudara, dan para ulama yang
ada di kampung halamanku yang berada di Pulau Jawa mengenai
syarat dan cara menyembelih hewan dengan sah. Seringnya mendapat
undangan dari sekolah maupun masyarakat membuat aku terbiasa
menyembelih ayam dengan mudah dan tetap memperhatikan syarat
sahnya. Pengalaman ini membuat aku tidak hanya mengerti syarat
yang harus dijalankan tetapi juga cara melakukan penyembelihan
dengan benar.
Memasuki bulan Oktober 2013, aku mendapat undangan
pernikahan dari warga yang rumahnya tidak jauh dari tempat
tinggalku di pengabdian ini. Sebenarnya aku sudah tahu akan ada
14 | Cututun Huriun Ngudu 4
pesta pernikahan sebelum adanya undangan. Pada tanggal 17 Oktober
2013 undangan lisan disampaikan dari penyelenggara acara.
Undangan yang disampaikan ternyata tidak hanya untuk menghadiri
acara pesta pernikahan tetapi penyelenggara acara juga memintaku
untuk menyembelih ayam dan sapi satu hari sebelum pesta
pernikahan. Awalnya aku menolak dengan alasan biar makan dengan
daging ayam atau ikan saja karena sebelumnya aku belum pernah
mengurus sapi apalagi hingga menyembelih sapi. Tetapi
penyelenggara pesta tetap meminta agar aku menyembelih sapi
karena selain memiliki saudara yang muslim juga akan ada beberarpa
tamu yang beragama Islam. Mengetahui hal tersebut, muncul rasa
tanggung jawab sebagai seorang muslim dari dalam hati. Menyadari
bahwa hidangan tersebut bukan hanya untukku, tetapi juga untuk
umat muslim yang lain.
Hari itu hampir tiba, menyergapnya rasa takut, bimbang, dan
resah menggeliat di dalam hati. Sesuatu yang belum pernah
kulakukan bahkan terbayangkan dalam hidup ini. Hari-hari sebelum
pelaksanaan penyembelihan telah aku gali informasi dari keluarga di
rumah via telepon dan download video melalui internet. Akhirnya aku
mengerti mengenai cara mulai dari mengikat, merobohkan hingga
cara menyembelih sapi. Hari pembantaian tiba, babi dan anjing telah
di eksekusi.
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Di tempat yang berbeda tiba giliran bagiku untuk menyembelih
sapi. Awal penyembelihan dilakukan dengan merobohkan sapi dan
aku mengalami kualahan karena yang bertugas membantuku ragu-
ragu dan tidak mengerti instruksi yang aku berikan untuk menarik
kaki kearah yang sama dan pengikat kepalapun tidak diturunkan.
Selain itu, kendala juga terjadi ketika penyembelihan di mana parang
yang disediakan terlalu berat. Tak berhenti sampai di situ, karena
posisi kepala sapi yang lebih tinggi dari badan membuat aliran darah
susah keluar. Alhasil sapi lama mati, beberapa kali saya instruksikan
untuk dibantu menurunkan kepala tetapi karena kendala bahasa yang
tidak dimengerti warga akhirnya harus aku lakukan sendiri. Setelah
kepala turun barulah sapi cepat melemas dan akhirnya tugas
penyembelihan itu selesai.
Begitulah pengalaman yang aku peroleh ketika pertama kali
menyembelih seekor sapi. Bukan hanya rasa bangga bisa
melakukannya, tetapi juga rasa tersanjung karena telah diberikan
kepercayaan dan dihargai sebagai umat muslim. Hal ini menunjukkan
bagaimana sikap toleransi umat beragama masyarakat Ngada,
khususnya di Desa Were IV yang tidak hanya memberi kesempatan
untuk melakukan peribadatan saja. Tetapi lebih dari itu, mereka mau
mengerti bahkan memberikan kesempatan untuk kita tetap menjaga
apa yang diperintahkan dan apa yang menjadi larangan dalam agama
Islam. (*)
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Dapur Naja Buatan Anak SMP
Nur Anggraeny C & Dyahayu R
Berawal dari masalah dapur rumah kami yang rusak. Rumah
kami terbuat dari potongan-potongan bambu yang dinamakan naja.
Dinding rumah dan dapur, serta alasnya terbuat dari naja, begitu juga
dengan atap. Waktu itu alas dapur kami rusak akibat terkena air. Saat
hujan atap tidak mampu menahan air, sehingga ada beberapa tetesnya
yang membasahi alas dapur. Tidak hanya tetes air hujan, tetapi juga
tetesan air jemuran pakaian.
Kami biasa menjemur pakaian di dapur ketika malam hari dan
hujan turun. Tetesan air tersebut menyebabkan dapur kami rusak.
Bambu alas dapur telah rapuh. Seorang dari kami terjatuh setelah
menginjak bambu rapuh itu hingga alasnya menjadi berlubang. Dia
terjatuh tidak hanya satu kali, tetapi 3x dan itu membuat lubang dapur
menjadi lebih lebar. Alas yang rusak itu ada di sebelah pintu menuju
kamar mandi. Rusaknya alas dapur membuat akses jalan menuju
kamar mandi menjadi terhambat. Kami harus berhati-hati agar tidak
membuatnya semakin rusak parah.
Hari demi hari kami berjibaku dengan dapur naja. Sampai suatu
hari kami berpikir untuk melaporkan kesulitan ini kepada kepala
sekolah. Rumah ini milik komite sekolah jadi tanggungjawabnya
memang ke sekolah. Kami membayar sewa empat juta rupiah untuk
biaya perawatan.
Dari pemikiran itu, akhirnya kami melaporkan kerusakan yang
ada di rumah. Kepala sekolah hanya memberi tanggapan, katanya ia
akan membantu untuk memperbaiki dapur kami yang rusak.
Hari demi hari kami menunggu, tapi belum juga ada tindakan.
Sampai akhirnya kepala sekolah pergi ke Kupang, kurang lebih dua
minggu lamanya. Kami belum juga mendapat bantuan untuk
memperbaiki dapur. Karena selain tidak punya bahan baku berupa
bambu dan alat-alat pertukangan, tenaga yang mengerjakan pun tidak
ada.
17 | Cututun Huriun Ngudu 4
Kami mencoba melaporkan masalah ini kepada wakil kepala
sekolah dan istri kepala sekolah. Sang istri kepala sekolah hanya
memberi solusi, katanya ada bambu di laboratorium sekolah dan kami
disarankan untuk meminta bantuan anak-anak kelas VIIIa. Kami pun
meminta izin kepada wakil kepala sekolah dan beliau mengizinkan.
Senin 26 Mei 2014, sepulang sekolah, kami meminta anak-anak
VIIIa untuk datang membantu memperbaiki dapur. Mereka sangat
antusias untuk membantu. Kami kaget dan senang dengan antusias
mereka yang sangat tinggi untuk membantu.
Pukul 15.00 WITA, sore yang panas dan cerah datanglah mereka
satu per satu ke rumah kami dengan membawa alat-alat seperti
parang, sabit, palu, dan paku. Kami sangat terharu dan senang ketika
mereka dating. Perlahan mereka mulai masuk mengecek dapur.
Ibu dapur su hancur le, kata seorang siswa.
Iya, maka dari itu ibu berdua minta tolong bantuan kalian,
kalian mau kan?
Iya mau ibu, jawab mereka.
Anak-anak ini mulai membongkar alas dapur. Mereka saling
membagi tugas agar pekerjaan cepat selesai. Sedang kami
mempersiapkan sedikit camilan untuk mereka nikmati nanti setelah
selesai.
Ibu punya naja? tanya seorang anak.
Ibu tidak punya, bapak kepala sekolah bilang, di laboratorium
lama ada naja. Coba ibu minta izin untuk mengambilnya,
Kami bersama seorang murid datang ke rumah kepala sekolah. Di
sana bertemu dengan sang istri.
Mama permisi, boleh kami minta naja? kata bapak, di
laboratorium lama ada,
Non, naja kami tidak punya, tapi batang-batang bambu ada di
lab lama. Potong-potong saja bambu itu, kamu minta bantuan anak-
anak, ujarnya.
Dalam perjalanan pulang kami hanya menggerutu bagaimana
harus membuat alas dapur nanti. Tidakkah ada orang dewasa yang
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
dapat membantu. Kasihan kalau anak-anak yang harus melakukan
pekerjaan berat ini.
Kamu tahu cara membuatnya?
Bisa ibu, nanti saya dan yang lainnya akan buat dengan cara
kami, jawabnya memberi solusi.
Pergilah aku dengan tiga anak perempuan untuk mengambil
beberapa batang bambu di sekolah. Masing-masing dari kami
membawa satu batang bambu. Sungguh pengalaman pertama aku
melihat anak perempuan yang sanggup memikul sebatang bambu
besar tanpa mengeluh. Dia menunjukkan keceriaannya yang tulus
membantu kami.
Sampai di sebelah rumah, bambu itu kami berikan kepada
beberapa anak laki-laki. Mulailah mereka membelahnya sesuai
dengan ukuran yang dibutuhkan. Anak perempuan membantu
membelahnya juga.
Suara pembelahan bambu, pembongkaran naja dapur dan
keceriaan anak-anak membuat suasana di rumah kami menjadi ramai
dan gaduh. Perlahan, hati-hati, sedikit demi sedikit, anak-anak
memperbaiki alas dapur rumah kami. Semua ingin menunjukkan
pendapatnya masing-masing kepada kami tentang bagaimana cara
memasang bambu yang benar. Kami hanya tersenyum dan berkata
Iya.
Betapa tersentuh, bangga, dan senang melihat semangat,
ketulusan, dan keceriaan anak mereka membantu kami.
Hari semakin sore, mereka masih bahu membahu menyelesaikan
pemasangan alas dapur rumah kami. Akhirnya tempat masak
sederhana ini dapat diperbaiki dengan baik. Ini desain unik hasil
potongan bambu buatan anak-anak SMP. Pengerjaannya sangat rapi
dan bagus, salut.
Memang tidak sebagus pembuatan naja, akan tetapi dengan usaha
dan kerja keras mereka, kami mempunyai dapur yang baik kembali.
Setelah selesai memperbaiki dapur, semuanya istirahat bersama-sama.
19 | Cututun Huriun Ngudu 4
Kami membelikan dua bungkus biskuit dan juga menyediakan
dua teko air putih untuk mereka. Mereka saling berebut kegirangan.
Dari wajah lugu ini tak nampak rasa lelah, mengeluh, bahkan kesal.
Setelah makan dan minum, mereka meminta izin untuk pulang karena
hari semakin gelap. Kami sangat berterimakasih pada anak-anak mini.
Betapa terharunya kami melihat senyum, keceriaan, dan
ketulusan memperbaiki dapur naja. Betapa hebatnya mereka, sungguh
nilai-nilai positif yang tidak bisa kami beli dimanapun dan hanya bisa
kami dapatkan di sini. (*)
10 | Cututun Huriun Ngudu 4
Meraih Cita-cita dalam Keterbatasan Ngulukedha
Nur Helny Kuswanty
Tempat pengabdianku adalah sebuah lembaga pendidikan yang
didirikan dengan gabungan dua nama dusun, yaitu Dusun Ngulu dan
Kedha. Konon katanya, kalau hanya diberikan nama Ngulu saja
nantinya hanya anak-anak Ngulu yang akan sekolah ditempat itu.
Begitu juga kalau diberi nama Kedha nanti hanya anak-anak Kedha
saja yang sekolah. Jadi ditetapkanlah gabungan nama dari keduanya.
Pada kenyataannya jarak antara Ngulu dan Kedha itu sangat
jauh. Biasanya ditempuh oleh anak-anak selama kurang lebih tiga
puluh menit. Dengan menaiki dan menuruni perbukitan bahkan
menyeberangi sungai. Akan tetapi semangat anak-anak untuk belajar
sangatlah tinggi.
Usai mencuci pakaian bersama orang Ngulukedha
Setiap hari mereka berangkat pukul 06.00 WITA agar tidak
terlambat datang ke sekolah. Sudah menjadi hal yang biasa kalau
mereka tidak pernah mandi, bahkan ada juga yang baru bangun tidur
langsung ganti baju seragam dan berangkat sekolah. Ingus dan
kotoran di mata masih menempel dimuka mereka. Wajar kalau bau
tidak sedap selalu tercium saat proses pembelajaran berlangsung.
Tetapi itulah semangat anak-anak tanpa mengenal rasa malas, lelah,
lapar, dan bau. Anak-anak ini tetap bersemangat menuntut ilmu demi
meraih cita-cita mereka.
Bersama mereka aku
berbagi ilmu di tengah
banyaknya keterbatasan. Satu
tahun mengabdi aku rasakan
betul perjuangan mereka
dengan segala keterbatasan
fasilitas, minimnya listrik, dan
air, serta transpotasi yang
11 | Cututun Huriun Ngudu 4
sulit. Tapi dengan semangat wajah-wajah lugu ini semua keterbatasan
tak menjadi hambatan besar bagiku.
Aku jadi tahu betul keadaan pendidikan di daerah ini. Melihat
semangat mereka yang terus membara, giat belajar, dan pantang
menyerah membuatku iba. Meski agak kaget saat aku tahu ternyata
masih banyak anak kelas tinggi yang belum bisa membaca, menulis
dan berhitung. Apalagi anak kelas rendah, dengan huruf saja mereka
belum kenal.
Perlu kesabaran yang ekstra bagiku untuk mendidik mereka
semua. Tanpa rasa putus asa, aku berusaha berbagi ilmu. Sedikit demi
sedikit, aku berusaha menyesuaikan dengan kemampuan mereka.
Memang tidak banyak ilmu yang dapat aku berikan, tapi aku tetap
berharap dari yang sedikit itu dapat berguna untuk mereka.
Setidaknya bisa menerangi buta aksara mereka, anak-anak
Ngulukedha.
Inilah potret kehidupan yang jarang sekali aku jumpai di Pulau
jawa. Sedikit pengetahuan yang aku miliki, tapi dengan ketulusan aku
tetap ingin berbagi. (*)
1Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Mengganti Lelah menjadi Sabar
Maulida Intan Akmala
Nanas sudah mulai berbuah, masih kecil dan kurus. Nanas
menyuruh aku bersiap untuk menyelesaikan tugas-tugas di sini.
Musim nanas adalah tanda bahwa kesempatanku mengabdi di sini
telah habis. Sama seperti satu tahun yang lalu, saat aku dan Iga teman
sepenempatan datang, musim nanas menyambut kami dengan manis.
Nanas termanis yang terkadang menghadirkan rasa asam, layaknya
kenangan di sini. Kenangan bertugas menjadi guru SM3T di SDK
Ngedusuba, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Pengabdianku menghadirkan cerita mengesankan antara aku dan
Om Bos. Pada awal bertemu dengannya aku takut, karena belum
mengenalnya. Terlebih keras suaranya yang membuat aku tidak amu
mendekatinya. Kulit hitam, berambut di seluruh badan dan tatapannya
misterius sekali. Berbeda dengan masyarakat di sini yang begitu
senang dengan keberadaan Om Bos. Bahkan, dalam banyak
kesempatan dan acara-acara masyarakat, kehadirannya dinantikan
terutama di acara adat, seperti: acara ka sao (memberi makan rumah
adat), reba (pesta adat tahunan), pengembalian nama baik seseorang
karena berbuat hal memalukan di depan umum yang harus
menghadirkan Om Bos. Bahkan untuk meramalkan seseorang yang
sakit, seberapa panjang dia masih punya sisa umur, Om Bos juga
diperlukan.
Om Bos adalah sebutan untuk ngana, istilah dalam bahasa
daerah setempat untuk seekor babi. Babi banyak sekali di sini, bahkan
setiap rumah memilikinya. Babi menjadi hewan yang populer
dikonsumsi dan diwajibkan ada dalam setiap acara-acara adat. Hal ini
karena kebutuhan dan permintaan pasar akan babi tinggi, maka sesuai
prinsip ekonomi menjadikan nilai jual babi menjadi tinggi. Sehingga,
orang yang tidak memelihara babi dirasa rugi, babi adalah tabungan
dan investasi.
13 | Cututun Huriun Ngudu 4
Babi juga ada di rumah tempat kami tinggal, rumah mama asuh
kami dan disinilah kami menemukan istilah Om Bos untuk babi. Kami
heran suatu ketika mama bilang akan melayani makan siang Om Bos.
Om Bos?? Tanya yang sekejap terjawab ketika mama tersenyum
dan mengambil ember isi penuh makanan khusus babi kemudian
beranjak ke kandang.
Rumah bos kami ada di bawah pohon asam, yang dalam bahasa
daerah disebut puu nage. Kami sering menyebut nama lengkap
bos, bos puu nage atau bos pohon asam. Di sana bersemayamlah bos
besar dengan delapan ekor anaknya. Jumlah yang banyak dan rupiah
yang fantastis ketika diuangkan. Kami taksir lima bulan mendatang
anak bos ini harganya satu juta rupaih per ekor, kali delapan sama
dengan delapan juta rupiah. Investasi yang lumayan untuk jangka
waktu yang tidak begitu lama.
Aku tergiur untuk ikut memelihara satu atau dua ekor, dengan
memikirkan hasil finansial yang bisa didapat. Bermodal membeli
anak babi tiga sampai empat ratus ribu rupaih per ekor, satu tahun
kemudian harga babi sudah bisa mencapai kisaran satu setengah juta
rupaih per ekor. Iming-iming rupiah yang menggiurkan untukku. Aku
mulai mencari tahu bagaimana mereka makan dan merawat mereka
setiap hari. Jam makan babi semacam manusia saja, tiga kali sehari.
Pagi makan berat, siang snack dengan minum dan sore makan berat
lagi. Makanan mereka kita bisa olah sendiri dan bahan pokok
diperoleh dari lingkungan sekitar tanpa biaya.
Mendengar mudahnya merawat babi akupun makin tertarik. Aku
senang memperhatikan bahan-bahan makanan yang dicampur di
ember. Irisan batang pisang, parutan kelapa, garam, ditambah
dengan wae rasi. Sampai dengan istilah satu ini saya heran, wae
rasi itu apa. Ternyata itu adalah air cucian, bekas-bekas makanan dari
piring dan dandang, lucu tapi memang itulah wae rasi. Air yang setiap
hari dibutuhkan karena memberi rasa pada makanan babi. Sehingga,
terasa seperti apa yang manusia makan. Ketika kita makan enak babi
juga ikut rasa enak, kita masak dengan rasa yang tidak enak babi juga
14 | Cututun Huriun Ngudu 4
mendapat makanan dengan rasa yang sama. Snack babi dapat kita
petik daun pisang muda atau daun gege atau yang lebih populer
dengan nama lamtoro yang bisa kita dapatkan di kebun.
Kesimpulan yang aku dapatkan adalah ternyata mudah jadi anak
buah bos. Sebenarnya, alasan kami menyebut Om Bos adalah karena
babi hidup semacam bos. Pelayanan penuh pagi siang sore, kami
repot setengah mati sedangkan mereka hanya enak makan dan tidur
saja. Hingga tidak heran si bos berbadan gemuk besar, yang seperti
itulah yang nilai jualnya tinggi bisa mencapai lima sampai enam juta
rupiah.
Ada kebiasaan bos yang tidak aku sukai dan tidak bisa diampuni
adalah ketika mereka cengeng. Jika terlanjur lapar mereka akan
menangis. Teriakan uiiiiiik... Uiiiiik... dengan lengkingan tinggi dan
keras di pagi saat kita sibuk menyambut hari dan tangisan sore ketika
kita capek pulang kerja. Kita belum sempat mengurus perut sendiri,
kita pasti akan mendahulukan Om Bos, mana bisa tahan kita
sementara makan sambil mendengar tangisan mereka yang begitu
memekikkan telinga. Tangisan yang tak terlupakan dan bisa membuat
aku stress.
Belum kesampaian niatku mengadopsi anak bos, aku
berkesempatan mencoba memlihara bos. Ada mandat dari mama
asuhku untuk jaga Om Bos di rumah. Mama ada keperluan di luar
kota selama beberapa hari. Oke, saya sudah tahu caranya Jawabku.
Hari pertama aku bersemangat karena semua bahan sudah tersedia,
tinggal mencampurkan saja adonan di ember dan petik daun pisang di
belakang rumah untuk snack siang Om Bos. Hari kedua bahan tidak
lengkap lagi, kelapa parut yang tidak ada. Akupun mengambil di
kebun sekolah dua butir kelapa. Celakanya, aku tidak tahu teknik
membuka kulit luar kelapa. Setengah jam aku berusaha keras untuk
menyingkirkan sabut kelapa dengan menggunakan parang. Parang
yang sebelumnya sama sekali tidak pernah aku pegang, apalagi
menggunakannya. Dengan berkeringat aku parut kelapa dengan
menggunakan parut yang khas di sini. Kita parut dengan dengan
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
mendudukinya, semacam menunggang kuda dan tangan kita bukan
memegang kekang ke depan tetapi memegang batok kelapa yang kita
pecah menjadi setengah bola. Kita kukur daging kelapa hingga habis
dari batoknya.
Sampai ke hari yang ketiga aku sudah agak cepat dalam
memarut kelapa, walau masih kesulitan membuka sabut kelapa.
Sesekali kalau ada anak-anak di dekat rumah aku minta tolong
mereka untuk membuka sabut kelapa. Aku lebih percaya dengan
keterampilan yang mereka miliki sejak dini dalam memegang parang
dan membuka sabut kelapa. Tantangan muncul lebih berat di hari
keempat, ketika bahan dasar dari campuran makanan bos habis,
yaitu hae sebutan bagi rajangan batang pisang. Batang pisang mana
yang akan kita ambil dan bagaimana cara memotong batang pisang
dari pohonnya. Kamipun ke kebun dengan berbekal sebuah parang
ditambah dengan bekal nekat untuk kami dua orang wanita dari Jawa
yang mendapat anak asuh baru, Om Bos sekeluarga. Kalaupun kami
biarkan mereka lapar kami juga yang tidak tahan mendengar tangis
lapar uiiiik dari mereka yang meronta dan memekikkan telinga.
Kami membawa seikat kayu bakar, setumpuk daun gege dan
sebuah batang pisang ukuran agak kecil, karena berat sekali kalau
pikul batang pisang berair yang besar saat kami pulang dari kebun.
Sampai rumah, kami harus merajang batang pisang itu tipis-tipis
sekali, semacam kita akan mengolahnya menjadi keripik. Setelah
selesai merajang, kami buat api di tungku dan mengukusnya dalam
dandang sampai warna kecoklatan dan kira-kira sudah masak. Aku
hanya pakai ilmu kira-kira saja, siapa juga yang mau coba mencicipi
batang pisang.
Rasa berat sudah mulai aku rasakan ketika memasuki hari
keenam dan ketujuh, lelah sekali memberi makan Om Bos. Menyita
waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk aku yang tidak
berpengalaman ini. Selain itu, harus meluangkan waktu khusus
setelah pulang dari sekolah di samping kesibukan pekerjaan rumah
masak dan mencuci masih ada juga pekerjaan membuat bahan ajar
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
dan tugas-tugas lain di sekolah. Aku selalu berdoa agar mama cepat
pulang, tolong aku Tuhan percepat kepulangan mama ke rumah ini.
Begitu berat mengurus seekor bos besar dengan delapan anaknya
yang kalau menangis semua bisa membuat aku Stress.
Sore hari terdengar suara motor dan klakson khas dari Bang
Milan, tukang ojek langganan mama. Doaku terjawab setelah
seminggu mama pergi, akhirnya mama pulang juga. Lega sekali dan
begitu senang melihat mama pulang. Bebas sudah dari pekerjaan berat
mengurus bos yang sangat manja itu. Tidak tergiur uang lagi, sirna
sudah impian untuk mengadopsi anak bos, karena aku merasa belum
mampu. Pelajaran berharga melatih kesabaran saat mengurus Om Bos
dan ternyata sebuah pekerjaan itu tidak semudah yang kita lihat dan
bayangkan. (*)
17 | Cututun Huriun Ngudu 4
Memasak Bersama Orang Utaseko
Ponti Lestari
Pandanganku masih membuta tentang daerah pengabdian,
tepatnya Kabupaten Ngada, daerah yang baru pertama kali kudengar.
Asingnya nama Ngada membuat pandangan semu mengenai daerah
3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), yang tebayang hanyalah
daerah rimba, sunyi, tidak ada air, listrik, sinyal, serta akses jalan
yang rusak. Pandangan itu mulai pudar ketika otto mengantarku ke
daerah Utaseko, Desa Were III, Kecamatan Golewa Selatan. Daerah
yang terlukis indah oleh pandangan mata ini, kaya sumber daya alam,
terbentang luas Laut Sawu di bagian selatan, berhiaskan panorama
petak-petak sawah, bertahta bukit-bukit yang bergelombang, serta
Gunung Ebo Lobo yang menampakan kegagahannya. Sebagian kecil
surga alam yang terpantau membuat semakin penasaran untuk
menikmati hiruk pikuk Utaseko.
Alhamdulillah, aku merasa sangat beruntung di tempatkan di sini
dengan segala kurang dan lebihnya fasilitas yang tersedia. Masih
terbilang mewah untuk disebut sebagai daerah terpencil. Aku masih
bisa menikmati akses jalan yang sudah beraspal walau dengan medan
yang berkelok-kelok, menikmati sinyal walau terkadang menghilang,
menikmati lancarnya air bersih walau terkadang mampet ketika hujan,
menikmati listrik dari PLTA yang menyala setiap malam walau hanya
saya nikmati empat bulan lamanya selebihnya hidup tanpa listrik
hingga penarikan SM-3T.
Begitu juga dengan tempat tinggalku, tersedia kos guru hanya
dengan membayar seratus ribu per bulan. Itu pun sudah termasuk
fasilitas kamar berdinding naja (bambu), tapi tanpa kasur dan lemari.
Semuanya sangat syukuri, karena masih banyak teman-teman
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
seperjuanganku yang tidak bisa menikmati fasilitas sepertiku selama
berada di tempat pengabdian.
Pertama kali menginjakkan kaki ini di rumah bambu dan kayu
aku merasa agak asing. Rumahnya ini beratapkan seng, terdiri diri
dari kamar-kamar, terselip dapur, kamar mandi, dan WC di
belakangnya. Inilah rumah yang aku tinggali bersama guru-guru SMP
Negeri 6 Golewa, sekolah tempatku mengabdi.
Sambutan hangat dari warga dan murid-murid disini sangat aku
rasakan saat kali pertama datang ke Utaseko. Mulai dari anak-anak
Kober (TK), SD, hingga SMP semuanya seperti berujar kata selamat
datang.
Setiap kaki ini menapaki sepanjang Uteseko hingga Zaa selalu
terdengar meriahnya suara-suara yang memanggil.
Tante ibu...Tante ibu... teriakan serentak dari anak-anak yang
aku jumpai. Serupa artis masuk desa panggilan itu selalu aku sambut
dengan senyum dan lambaian tangan dari kejauhan maupun dekat.
Disini aku seperti bergabung dengan keluarga baru yang
anggotanya sangat banyak. Jadi selalu ramai dan merasa terhibur.
Tapi satu hal yang selalu membayang-bayangiku, yaitu cara untuk
bertahan hidup.
Aku termasuk tipe anak manja, dari rumah hanya bermodal nekat
tanpa kepandaian apa pun. Tidak bisa memasak, tiba-tiba harus hidup
mandiri di daerah yang tidak ada warung makan sama sekali. Alhasil
kalau tidak masak tidak bisa makan.
Motivasi by kepepet adalah senjata ampuh yang membuatku mau
untuk belajar memasak. Belum lagi membeli peralatan masak dan
beserta bahan masakannya. Aku hanya tahu beberapa alat masak yang
kulihat di dapur rumah. Kali ini ada beberapa peralatan tidak bisa aku
beli karena keterbatasan fasilitas, seperti kompor gas. Biasanya di
19 | Cututun Huriun Ngudu 4
rumah menggunakan kompor gas, karena disini tidak ada isi ulang
tabung gas jadi penggantinya cukup dengan kompor minyak. Biasa
memasak nasi dengan rice cooker, karena tidak ada listrik jadi pakai
panci. Awalnya memang membuatku agak canggung dan bingung,
tapi lama-lama aku kuasai juga dapur beserta peralatan masaknya
yang sederhana.
Menu hari pertama yang bisa
kubuat hanya nasi goreng,
sekaligus satu-satunya menu yang
bisa aku buat selama ini. Satu
bulan pertama menu makanku
hanyalah nasi goreng, telur
goreng, mi instan, dan
magelangan (nasi goreng dan
mie). Sesekali menikmati bakso
dan mie ayam kalau kebetulan
pergi ke Kota Bajawa. Paling
tidak sebulan sekali aku ke kota sekaligus untuk belanja dan datang
pertemuan bulanan dengan teman-teman seperjuangan.
Beberapa bulan hidup mandiri aku jadi terbiasanya memasak.
Keahlianku pun semakin
bertambah, semakin bervariasi
makanan yang aku buat. Sudah mulai bisa memasak sayur oseng
maupun kuah, ikan dan telur sambal, dan lain-lain. Sampai suatu hari
sering mengisi waktu libur sekolah untuk bereksperimen memasak
bersama teman-teman SM-3T yang lain. Hanya mengikuti resep dari
mbah google. Mulai dari membuat rendang, opor, kue donat, dan
aneka kue basah maupun camilan. Kebiasaan bereksperimen
memasak yang seringnya berhasil membuatku semakin percaya diri
untuk mencoba memasak menu-menu yang bervariasi. Alhasil
sekarang hobiku adalah memasak.
Dapurku di Utaseko
170 | Cututun Huriun Ngudu 4
Ketika memasak menjadi hobi, ketika itu pula ada hal yang aku
renungkan tentang Utaseko. Begitu kaya hasil bumi terutama hasil
kebun, karena sebagian besar masyarakat Utaseko menggantungkan
hidupnya dari hasil kebun seperti kelapa, pisang kepok, ubi-ubian,
jambu mete, padi, dan lain-lain. Namun, hasil kebun mereka dihargai
sangat murah, misalnya kelapa hanya dihargai lima ratus sampai
seribu rupiah per butir, ubi-ubian satu karung besar hanya sepuluh
hingga dua puluh ribu, kacang mete tiga ribu sampai sepuluh ribu per
kilogram. Yang lebih menggeliti lagi warga sering menjual pisang
kepok ke pasar satu tandan hanya sepuluh ribu rupiah saja.
Sepulangnya dari pasar mereka membeli oleh-oleh gorengan berupa
pisang goreng dan molen pisang yang hanya dapat sekitar lima belas
biji. Entah aku harus tertawa karena lucu atau miris dengan kondisi
ini.
Masyarakat Flores memang terkenal dengan gengsi yang tinggi
dan rendah keterampilan, begitu juga masyarakat Utaseko.
Kebanyakan dari mereka malas untuk mengolah hasil kebun yang
sebenarnya sangat bernilai ekonomi. Mereka hanya biasa mengolah
ubi-ubian dan pisang, paling hanya untuk digoreng atau direbus saja.
Bahkan saat panen banyak yang menjadi makanan ternak babi
maupun sapi.
Dari situlah aku mulai merenungkan untuk membuat hasil kebun
mereka menjadi lebih bernilai ekonomis. Aku mulai melakukan
penetrasi dengan memberanikan diri untuk berbicara dengan murid-
muridku terutama yang perempuan. Aku ajari mereka membuat
olahan makanan dari hasil kebun mereka. Rasa jenuh serta kasian
melihat beberapa siswa yang jualan kue-kue di sekolah, hanya molen
pisang dan pisang goreng setiap hari. Mungkin pembelinya jenuh dan
dagangan menjadi sering tidak laku.
Pembelajaran ini aku lakukan agar suatu saat nanti mereka bisa
mempraktikannya di rumah, dapat menginspirasi orang tuanya untuk
171 | Cututun Huriun Ngudu 4
membuat olahan yang sama baik dimakan sendiri maupun untuk
dijual.
Waktu itu hari
Jumat di rumah seorang
warga, pertama kali aku
mengajarkan murid-
murid dan seorang warga
untuk membuat olahan-
olahan sederhana. Aku
memilih bahan dasar ubi-
ubian untuk dijadikan
getuk singkong, getuk
ubi jalar, getuk goreng,
serta stik ubi. Tidak
disangka mereka
sangat antusias dan senang karena hasil olahan lumayan memuaskan.
Bahkan sang pemilik rumah memintaku untuk mengajari membuat
olahan-olahan yang lebih bervariasi tetunya dengan cara yang
sederhana.
Hari selanjutnya aku memikirkan lebih matang lagi untuk
melakukan pembelajaran sederhana ini. Akhirnya aku memutuskan
untuk mengajari mereka membuat salome (bakso ojek) tanpa daging,
aneka kue seperti talam singkong. Selain itu, singkong dibuat tape
untuk di makan tapenya maupun di buat aneka kue dari tape
singkong. Mereka masih asing dengan tape singkong, jadi aku ajarkan
cara membuatnya. Setelah singkong berubah menjadi tape ternyata
mereka menyukainya. Dari tape singkong yang sudah jadi, aku
ajarkan membuat tape goreng balut tepung kalau di Jawa namanya
rondo kempling. Menu lain dari singkong adalah dibuat malkis goreng
isi tape. Kue-kue dari tape singkong juga mereka sukai.
Hasil olahan masakan aku dan orang Utaseko
17Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Setelah beberapa olahan aku ajarkan, baik warga mau pun murid-
murid mulai memiliki gagasan untuk membuatnya sendiri. Mereka
membuat salome dan kue-kue yang untuk dijual ke sekolah. Anak-
anak yang berjualan kali ini tidak hanya membawa molen mau pun
pisang goreng tapi sudah bervariasi.
Alhamdulillah, semoga sedikit ilmu dan hasil eksperimenku
bermanfaat bagi mereka. Membuat olahan sederhana dari hasil kebun
bersama warga dan murid-muridku adalah pengalaman yang paling
berharga. Hasil kebun tak lagi dijual murah, tapi bisa mendongkrak
nilai ekonomi mereka, semoga. (*)
173 | Cututun Huriun Ngudu 4
Keterbatasan Membuat Kami Semakin Akrab
Rosita Ambarsari
Kampung Ngusumana, Desa Uluwae, Kecamatan Bajawa Utara,
Kamis 19 September 2013 Pukul 14.00 WITA tibalah empat arakan
motor yang membawa kami berempat dari kota Bajawa. Yah, kami
empat orang guru SM-3T dari Yogyakarta yang diutus untuk
mendidik di Kecamatan Bajawa Utara. Sesampainya di SMPN Satu
Atap Bajawa Utara (Batara) tempat aku bertugas, aku langsung akrab
dipanggil Tanta Ibu Ros dan temanku aku Mas Eko akrab dipanggil
Pak Guru atau Om Guru Eko.
Tugas, pengabdian, dan pengalaman, tiga hal ini lah yang akan
aku rangkum dalam sebuah cerita dari pelosok negeri. Aku sebut
pelosok karena letak tempat ini lah yang tersembunyi di belakang
bukit di Kecamatan Bajawa Utara, sulit dijangkau dari kota Bajawa.
Bukan hanya satu bukit saja yang harus aku lalui untuk mencapai
tempat ini. Belum lagi jalan yang berkelok naik turun di bawahnya.
Tapi sesampai disana rasa lelah akan seketika hilang dengan
sambutan masyarakat yang sangat ramah, selalu menyapaku di mana
pun mereka jumpa. Siapa pun di sepanjang jalan ini sudah menjadi
temanku selama satu tahun ini.
Pertama kali aku dan Mas Eko diajak jalan oleh Ibu Gin (Wakil
Kepala Sekolah SMPN Satap Batara), Ibu Yanti (Guru SMPN Satap
Batara yang tinggal seasrama denganku), dan Mami Yeris (Mama
asuhnya Mas Eko). Kami berjalan ke sungai di bawah bukit untuk
mencari kepiting, orang sini menyebutnya Roghong atau Kojo.
Kagetnya, setiap kali sampai di aliran sungai itu air lebih dulu
menyiprati langkahku sebelum aku bersentuhan dengannya.
Awalnya aku kaget ketika Ibu Gin mencipratkan air ke mukanya
sebanyak tiga kali. Katanya ini adalah tradisi di tempat ini kalau
174 | Cututun Huriun Ngudu 4
hendak memasuki wilayah baru, biar tidak pamali. Okkey, aku ikut
saja. Sampai melewati beberapa aliran air dengan cipratan ke muka
berkali-kali juga.
Tibalah aku di sungai tempat kami mencari roghong itu. Mama-
mama ini kemudian mengeruk tanah lumpur di pinggiran sungai itu.
Ibu Gin, itu nanti di lubang tidak ada ular kah? awas nanti yang
kepegang bukang roghong tapi ular lho, teriakku.
Semuanya sontak tertawa karena teriakanku itu.
Tidak lah Rosita, amaaaaan! kata Ibu Gin.
Okkey, pencarian roghong berlanjut. Tak berani mengeruk tanah
seperti yang Bu Gin lakukan, aku hanya melihat dan membawakan
roghong hasil tangkapan mereka.
Hari berikutnya aku dan Mas Eko kembali diajak jalan ke
gunung. Kali ini perjalanan kami untuk mencari kayu bakar. Ini
adalah kali pertama aku mencari kayu bakar. Setelah melewati
beberapa lahan miring dan persawahan yang begitu panas, akhirnya
kami sampai di sebuah kebun tandus, gersang dan begitu panasnya.
Tetapi bisa menikmati pemandangan alam yang begitu indah
semacam ini adalah kebanggaan tersendiri bagiku. Disini pula kami
akan berburu kayu bakar.
Rosita mai sini naik! Ibu
Gin memanggilku.
Aku menoleh ke belakang
tapi tidak kudapati wajahnya.
Hanya ada suara tetapi
orangnya entah dimana. Mami
Yeris dan anak-anaknya
mengarahkan telunjuknya ke
Memanjat pohon jambu
17 | Cututun Huriun Ngudu 4
arah atas pohon jambu sambil tertawa.
Ohhhhh mama sayang e!!! aku terkejut melihat Ibu Gin sudah
naik ke dahan pohon jambu.
Badannya gemuk tapi bisa sampai ke dahan paling ujung pohon
itu. Tak menunggu waktu lama aku pun mengikuti jejaknya menaiki
pohon jambu itu.
***
Memasuki bulan Oktober-November adalah bulan perayaan
Sambut Baru. Satu sakramen bagi pemeluk agama Katolik. Di bulan
ini pula saatnya dirayakan pesta di setiap keluarga yang memiliki
anak SD kelas IV. Hampir setiap hari aku dapat undangan untuk
pesta. Bahkan akuvdan Mas Eko sering mendapat orderan untuk
menjadi tukang bakso. Ada seorang mama yang tahu kalau kami bisa
membuat pentholan bakso. Hampir setiap ada pesta kami dipanggil
untuk membantu memasak, khususnya membuat bakso.
Aku juga diorder untuk merias anak-anak peserta sambut baru
dan mama-mamanya. Sempat terlintas dibenakku, kalau saja aku buka
salon dan warung bakso sebagai usaha sambilan disini pasti laris.
Keterbatasan fasilitas di daerah ini kadang kala membuat aku
bosan, karena sulit mendapatkan hiburan melalui media elektronik
seperti TV, Hp dan Laptop. Hal ini dikarenakan tidak adanya listrik
dan keterbatasan jaringan seluler untuk berkomunikasi. Tapi di
samping keterbatasan itu, aku menyimpan cerita-cerita unik setiap
harinya.
Sinyal seluler di sini hanya muncul di tempat-tempat tertentu
saja, itu pun berpindah-pindah dan pada waktu tertentu saja. Bulan-
bulan pertama aku tinggal di sini, sinyal ada di jendela asrama dan di
potongan pohon gamal depan rumah Tanta Marin. Keberadaannya
17 | Cututun Huriun Ngudu 4
pun hilang muncul, bahkan
sempat hilang sama sekali
sekitar satu bulan. Perlahan
sinyal di jendela hilang dan
berpindah di lorong lemari
kamar asrama. Disitu hilang
lagi ternyata berpindah di
jendelanya Tanta Marin
(tetangga samping asrama
sekolah).
Saat aku mencari sinyal di
lorong lemari pada waktu itu terdapat beberapa sarang tabuhan
(lebah). Lebah-lebah itu keluar dari sarangnya, saatnya aku
memasang Hp disana. Saat itu pula aku harus kabur menghindarinya.
Itu berlangsung setiap hari sampai pernah satu kali tabuan menyengat
pundakku.
Selain sinyal seluler, ketersediaan fasilitas transportasi di daerah
ini juga terbatas. Alat transportasi yang biasa digunakan berupa oto
truk disini hanya ada tiga truk dan satu oto travel. Biasanya oto ini
mulai jalan dari Ngusumana jam tujuh pagi dan pulang dari Bajawa
jam dua siang. Perjalanan yang harus ditempuh bisa sampai dua
setengah jam lamanya.
Yang dimaksud oto truk disini adalah mobil truk yang biasa aku
lihat di Jawa, namun bak belakangnya disediakan beberapa papan
kayu untuk tempat duduk penumpang. Perlu pengorbanan untuk bisa
masuk ke oto karena harus memanjat ban serta panjatan-panjatan
yang berada di sisi samping kanan dan kiri truk. Bahkan mama-mama
dan oma-oma yang mengenakan kain adat (Lawo) pun dengan gesit
mampu memanjat ke atas oto itu.
Ada satu pengalaman unik ketika aku hendak pulang dari Bajawa
ke Ngusumana dengan menggunakan oto truk Tunas Harapan milik
Mencari sinyal di depan rumah
177 | Cututun Huriun Ngudu 4
Pak Guru Bone (seorang guru di SDK Ngusumana). Waktu itu ada
satu seorang penumpang setengah baya yang duduk di samping
kiriku. Ia mengajakku bercerita sepanjang jalan dengan suara yang
begitu keras dan kata-kata yang hiperbola. Aku pun menanggapi
setiap apa yang dikatakan oleh penumpang itu. Semua orang
keheranan dan tersenyum aneh melihatku berbincang dengannya.
Seseorang di sampingku bilang kalau yang mengajakku ngobrol tadi
adalah orang gila.
Sesampai di Ngusumana aku menceritakan kejadian lucu ini pada
Ibu Gin. Aku deskripsikan ciri-ciri penumpang itu. Ibu Gin tiba-tiba
terkejut mendengarnya.
Rosita jangan-jangan itu Om Leo, orang gila yang kapan hari
kumat teriak-teriak di kampong, kata dia.
Semua yang menyambut kedatanganku sontak tertawa lepas.
Setelah hari itu, kejadian yang aku alami langsung menyebar ke
seluruh penjuru kampung. Ah, orang-orang Ngusumana memang
unik. Keterbatasan yang ada disini membuat aku dan orang
Ngusumana menjadi sangat akrab. (*)
17 | Cututun Huriun Ngudu 4
Terpikat dengan Pesona Langa
Rahmat Nugroho
Pertama kali mendengar kata Langa saat aku berada di Hotel
Kambera, Bajawa. Saat itu sedang diumumkan pembagian penempatan
tugas. SM-3T angkatan dua menyampaikan bahwa ada dua orang yang
ditempatkan di lingkungan kota. Aku dan seorang teman yang ditugaskan
di SLB, Arum namanya. Sedang aku ditempatkan agak mendekati
pinggiran kota tepatnya di Kampung Langa. Lokasi sekitar tujuh kilometer
dari kota dan bisa ditempuh dengan otto maupun ojek.
Sejak jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan diri untuk ditempatkan di
daerah terudik sekali pun. Bahkan mulai saat mendaftar Program SM-3T
aku berikrar siap untuk diterjunkan daerah yang lebih tertinggal. Seketika
itu aku menjadi sedikit tak bersemangat saat mendengar daerah
penugasanku hanya berjarak sepuluh menit dari pusat kota.
Harapan untuk merasakan udiknya kawasan 3T-pun usai sudah. Mulai
terbayang dalam benak, daerah yang ramai dengan fasilitas lengkap dan
masyarakat yang cenderung individualis dengan rumah-rumah tembok
mereka yang berpagar tinggi tertutup rapat. Saat itu juga teringat doa yang
sering ibuku panjatkan sebelum aku berangkat. Ia selalu berdoa agar aku
mendapat tempat yang nyaman dengan fasilitas serba ada agar seminimal
mungkin merasakan derita khas SM-3T. Aku menebak, alam semesta
telah bekerja dan mengabulkan doa tulus ibu di kampung halaman.
Pada pagi hari setelah malam pertama menginap di hotel kami
dijemput oleh pihak sekolah masing-masing. Setelah berpamitan singkat
dengan teman-teman lain, aku meninggalkan kebersamaan itu untuk
menuju Langa bersama Pak Frans Laja, kepala sekolahku untuk setahun ke
depan. Ia bersama juga membawa seorang guru muda, Pak Jhon namanya.
Sesampai di Langa aku diantar sampai rumah tinggal. Di rumah ini
pula SM-3T sebelumnya tinggal. Rumah ini tergolong bagus kalau
dibandingkan dengan rumah-rumah lain disekitarnya. Mirip dengan
rumah-rumah di Jawa. Tembok kokoh dari racikan semen dan pasir, serta
179 | Cututun Huriun Ngudu 4
lantainya juga berkeramik. Di dalamnya tersedia televisi, dispenser dan
rice cooker. Kelak, beberapa bulan setelahnya, kondisi modern ini akan
diperparah dengan hadirnya mesin cuci. Saat melihat lebih jauh, hanya
dapur dan kamar mandi saja yang masih sederhana, sama dengan rumah-
rumah lain di sekitarnya. Dapur dan kamar mandi hanya dikelilingi
dinding naja (pelepah dari bambu). Aku rasa yang begini baru bisa
dibilang daerah 3T.
Beberapa hari menjalani kehidupan di Kampung Langa, aku semakin
merasakan terwujudnya doa-doa yang selalu dipanjatkan ibu. Mungkin
hanya satu atau beberapa doa saja yang meleset atau terlewat karena
doanya kurang detail. Semoga saat ini ia sedang merindukanku.
Kondisi bangunan khas perkotaan sudah terlihat di Kampung Langa.
Aku lihat dari beberapa bentuk rumah yang sudah berkiblat pada desain
gaya modern, jumlah motor yang dimiliki masyarakat, dan juga perangkat
handphone yang sudah jamak dimiliki mereka.
Ada satu hal yang membuatku takjub. Kondisi sosial mereka amat
jauh dari prasangkaku sebelumnya. Alih-alih mengarah ke individualisme,
masyarakat di Langa amat hangat sangat berbanding terbalik dengan
dinginnya suhu di sana. Tak lupa rasa kekeluargaan dari Mikel Dou yang
membuatku seperti menemukan keluarga baru di tanah rantau.
Sejak hari pertama, aku langsung berjalan menghinggapi rumah-
rumah tetangga. Mereka menyambutku macam saudara jauh yang sudah
lama berpisah. Mungkin selain karena sifat dasar mereka yang ramah,
kehangatan mereka terhadapku disebabkan karena kesan baik yang
berhasil dibentuk oleh angkatan sebelumnya. Setiap aku berkunjung, pasti
beberapa saat kemudian datang minuman kopi panas. Lalu tak lama,
mereka akan menawari makan. Memang begitulah adat di kampung. Aku
pernah menghabiskan lima sampai enam gelas kopi dalam sehari dari hasil
bertamu. Beruntung aku lama berkarib dengan kopi jadi tidak ada masalah
dengan lambung, semoga saja.
Satu lagi yang tak kalah membuatku kagum adalah sifat toleran
mereka terhadap umat beragama lain. Saat aku sedang berkunjung ke
10 | Cututun Huriun Ngudu 4
rumah mereka, lalu masuk waktu sholat, maka mereka akan dengan
senang hati menawarkan kamar atau ruangan untukku melakukan salat.
Meski kadang ada beberapa dari mereka yang setengah bercanda
menawariku minum moke (sejenis minuman beralkohol tradisional, dari air
sadapan pelepah pohon enau). Biarpun dari awal kedatanganku sudah
menolak, tapi mereka masih saja menawari untuk minum, barang satu atau
dua teguk. Mereka bilang itu demi adat. Tapi untung saja, aku masih bisa
terus menolak dengan berbagai alasan. Pada akhirnya, acara tawar-
menawar minum moke pun menjadi semacam tradisi di antara aku dan
masyarakat kampung. Saat kami berkumpul, mereka aakan mulai
menawarkan moke dengan ribuan bujukan. Kemudian, aku akan menolak
dengan jutaan pembelaan. Silat lidahpun dimulai. Dan seperti biasa,
pertempuran kecil itu pun akan berakhir dengan adegan dimana mereka
melanjutkan minum moke, sedang aku cukup menghabiskan jatah kopi
saja.
Kalau dilihat dari berbagai fasilitas yang tersedia, dibandingkan
dengan daerah penempatan lain Langa memang kurang tepat untuk masuk
kategori tertinggal. Meskipun demikian, misi Program SM-3T tetaplah
sama, untuk membantu masyarakat daerah tertinggal, baik dari segi
pendidikan, teknologi dan sebagainya. Kini aku tak lagi menyesal
ditugaskan di Kampung Langa yang penuh kenyamanan. Dengan sejuta
pesonanya, Langa telah berhasil memikatku dan kawan-kawan yang
sempat datang berkunjung. (*)
11 | Cututun Huriun Ngudu 4
Pelajaran Hidup dari Lisa Keli
Iga Dwisukma Ariffayatun
SM-3T merupakan salah satu program yang diselenggarakan
oleh pemerintah demi meratakan pembangunan khususnya dalam
bidang pendidikan. Program ini mengirim sarjana-sarjana terpilih ke
daerah-daerah terpencil untuk bertemu dengan saudara-saudara kita
satu tanah air. Membagi ilmu pengetahuan dan mengenalkan hal-hal
baru yang mungkin belum pernah mereka tahu atau mereka alami
sebelumnya.
Desa Wogowela, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten
Ngada, tempat di mana aku dan Intan teman seperjuangan di SM-3T
mengabdikan diri. Desa yang jauh dari jangkauan kota serta belum
ada jaringan listrik, tidak menyurutkan niat kami untuk menjalankan
tugas pengabdian kami. Jalan berliku, berbukit, dan berbatu dengan
tebing-tebing curam yang langsung mengarah ke jurang semakin
membuat kami penasaran untuk melihat keadaan penduduk dan
lingkungan di sana.
Pada awalnya, memang sulit untuk membayangkan hidup dan
tinggal dengan masyarakat yang berbeda latar belakang budaya serta
adat istiadat. Namun, pada kenyataannya perbedaan latar belakang
budaya dan adat istiadat tidak membuat kami tidak diterima dengan
baik oleh masyarakat setempat. Bahkan mereka menerima kami
layaknya keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Beberapa hari di
penempatan, kami mulai mendapatkan teman-teman baru. Salah satu
teman kami di sana bernama Elisabeth Keli. Tante Lisa, begitulah
kami biasa menyapanya.
Pada awal kami bertemu dengan Tante Lisa, kami merasa takut.
Hal ini karena cerita-cerita yang kami dengar sebelumnya dari
masyarakat sekitar, yaitu bahwa orang yang bernama Lisa Keli adalah
orang gila. Sehingga, sejak pertama mendengar hal itu kami langsung
berpikir bahwa Tante Lisa memang gila seperti orang-orang gila yang
1Z | Cututun Huriun Ngudu 4
sering kami temui di Jawa. Bahkan ketika pertama kalinya Tante Lisa
datang ke rumah dinas kami di sekolah, kami sempat bersembunyi
dengan cara berbaring di lantai kamar sampai tidak sadar kami
tertidur hingga ia pulang.
Keesokan harinya kami menyesal karena telah bersembunyi. Hal
tersebut karena Tante Lisa tidak seperti yang kami bayangkan. Ia
bukanlah gila, melainkan depresi yang timbul karena adanya masalah
yang dialami oleh keluarganya di rumah adat yang mengakibatkan
dirinya tidak lagi menjadi seorang suster. Depresi yang dialami oleh
Tante Lisa semakin parah ketika orang-orang yang disekitarnya mulai
sibuk dengan yang ia lakukan dan mulai mengganggu ketenangannya.
Tekanan-tekanan yang diterima Tante Lisa tidak hanya dari
masyarakat sekitar melainkan dari keluarganya juga. Sehingga,
masyarakat mulai menyebutnya gila.
Depresi yang dialami Tante Lisa tidak lagi membuat kami takut
dan bersembunyi lagi. Apalagi ketika ia bersama dengan kami ia
menjadi lebih tenang. Hal tersebut karena Tante Lisa dapat
menceritakan hal-hal yang ia rasa kepada kami tanpa beban.
Terkadang, celoteh-celoteh yang keluar dari mulut Tante Lisa justru
membuat kami tertawa lepas. Tante Lisa selalu dapat membuat kami
terhibur.
Celoteh Tante Lisa selalu mengandung pelajaran tersirat yang
kadang kami berdua simpulkan sendiri. Hal-hal yang ia ceritakan
mampu menandakan bahwa sebelum ia mengalami depresi ia adalah
orang berpengetahuan luas dan memiliki kecerdasan yang lebih
dibandingkan orang lain disekitarnya. Bersama dengan Tante Lisalah
kami mengenal kegiatan mencari siput dan rumput laut untuk lauk
makan ketika sayur telah habis. Ia juga mengajarkan bagaimana cara
mengolah dan memakannya. Selama bersama dengan kami, ia tidak
pernah merepotkan. Bahkan seringkali ia datang ke rumah dengan
membawa sayur, baik itu sudah dimasak atau masih mentah. Ia juga
kerap membawakan kami buah-buahan yang sedang musim saat itu.
13 | Cututun Huriun Ngudu 4
Tante Lisa memang mengalami depresi yang sudah parah,
namun tidak membuatnya lupa kepada Tuhan yang telah
menciptakannya. Ketika bersama kami ia selalu menjaga kebersihan
dan selalu berpakaian rapi, tidak seperti yang diceritakan oleh orang-
orang. Ia pun pintar membuat olahan masakan yang lezat. Bersama
dengannya kami belajar banyak hal yang mungkin tidak akan kami
dapatkan dari orang lain. Ketulusan hatinya mengajarkan kami untuk
memandang suatu masalah tidak hanya dari satu sisi saja. Perlakuan
dari masyarakat yang tidak menyukainya pun tidak pernah dibalas
Tante Lisa dengan hal-hal yang tidak baik.
Saat ini depresi yang dialami oleh Tante Lisa semakin parah.
Keluarganya yang malu dengan apa yang dialami oleh Tante Lisa
justru semakin menekannya hingga ia semakin depresi. Akhirnya
sesuai dengan keputusan yang diambil oleh keluarganya di rumah
adat, Tante Lisa pun diasingkan dan tidak lagi bisa datang berkunjung
ke rumah kami. Saat kami mengetahui hal tersebut, kami merasa
kaget dan juga kasihan dengan yang dialami oleh Tante Lisa. Namun,
kami tidak dapat berbuat apapun karena hal itu sudah menjadi
keputusan rumah adat. Kami adalah warga pendatang yang sulit
merubah pemikiran masyarakat yang tetap menganggap bahwa Tante
Lisa itu gila. Sekarang kami hanya dapat mendoakannya dari jauh
agar ia tetap dalam perlindungan Tuhan yang Maha Esa.
Bagaimanapun, Tante Lisa memiliki tempat tersendiri bagi kami,
sebagai guru terbaik selama kami di sini. (*)
14 | Cututun Huriun Ngudu 4
Membaur dengan Ketulusan
Abdul Chalim
Desa Wangka, Kec. Riung, Kab. Ngada, Pulau Flores, Nusa
Tenggara Timur adalah tempat di mana aku ditempatkan sebagai
pengajar SM-3T UNY angkatan III. Masuk dan membaur dengan
lingkungan masyarakat setempat adalah hal pertama yang harus aku
lakukan di tempat yang baru. Belajar memahami karakter masyarakat
Wangka untuk memahami karakter murid-muridku. Sehingga, aku
dapat menciptakan suasana belajar mengajar yang sesuai dan dapat
dipahami mereka.
Salah satu ciri orang Wangka adalah berbahasa keras, mulai dari
suara yang keras hingga menggunakan kata yang kasar. Tingkah laku
dan sikap mereka dalam bertindak juga keras. Menurut orang tua
asuhku di sini, selain bersuara keras dan berkata kasar mereka tidak
segan-segan untuk rebut jika diperlukan. Rebut dan saling pukul
sudah menjadi hal yang wajar. Sisi positif dari masyarakat Wangka
yaitu, meskipun berkelahi atau saling rebut, mereka tidak memiliki
sifat pendendam.
Masyarakat Wangka yang berbeda dengan masyarakat kampung
halamanku dulu, membuat aku banyak belajar. Awal yang
membingungkan, memikirkan cara agar aku bisa diterima di
masyarakat. Berbagai macam penyesuaian yang aku lakukan, mulai
dari membaur dengan lingkungan tugasku di sekolah, baik dengan
guru, pegawai serta anak didikku. Tantangan sesungguhnya adalah
saat membaur dengan masyarakat sekitar tempat tinggal, karena
dalam masyarakatlah kehidupan sosial yang sesungguhnya terjadi.
Tidak pernah membayangkan penerimaan masyarakat terhadapku,
yang terpenting aku telah mencoba beradaptasi dengan lingkungan.
Baik lingkungan sekolah maupun masyarakat.
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Mencoba sesuatu yang berbeda dengan diri kita adalah hal yang
tidak mudah menurutku. Seperti nasihat seorang teman di Wangka,
Kamu tidak perlu membaur hingga benar-benar menyamai seperti
kita. Dua puluh lima persen saja sudah cukup, tidak perlu lima puluh
atau seratus persen. Karena dari dua puluh lima persen asal dengan
kemauan yang tulus dan atas kesadaran, kami sudah dapat menerima
dan melihatnya. Kami pasti sangat mengahargai itu. Nasihat seorang
teman tersebut menyadarkan aku bahwa setiap kita memiliki pribadi
yang berbeda dan yang berbeda tak selalu harus disamakan, biarkan
perbedaan sebagai warna yang akan memperindah. Perbedaan sebagai
alasan adanya persatuan dan perdamaian. (*)
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Beri dan Nus: Tidak Ada Kata Terlambat dalam Belajar
Musafirul Huda
Berdasarkan prinsip prinsip dasar masyarakat Ngada, dalam
buku karangan Paul Arnolt, SVD yang berjudul Ngada, Sejarah dan
Budaya dijelaskan bahwa orang tua, kakek nenek dan seluruh
anggota masyarakat bersama-sama mendidik anak dan orang muda
menjadi anggota masyarakat yang berguna. Dimulai ketika anak
sudah mulai merangkak, berjalan dan mengoceh kata-kata yang dapat
dipahami atau tidak, maka bersama sama bapa dan mama
mengajarkan nama-nama benda yang ada di sekitar. Bila menangis
akan dinyanyikan lagu seperti di bawah ini.
Ae Azi E, Mae Rita Go Ria Sina, Mae Koja Go Raja Lewa,
Nadhe Ero Ero, Weki Mae Wedho hey kau si kecil, jangan engkau
menangis karena ria sina, jangan engkau menangis karena raja lewa,
tidurlah nyenyak tidurlah nyenyak, dan jangan bergerak.
Ketika anak sudah dapat berjalan dan bermain, mereka bermain
menirukan kegiatan orang dewasa. Perlahan ketika mereka semakin
dewasa, kebebasan mereka semakin terbatas. Kebanyakan orang tua
sangat memperhatikan pendidikan anak karena takut dikecam oleh
orang lain atau masyarakat kampung dengan ucapan Ponee Go Ana,
Moede Miu Wele Webha Go
Ana Diana, Dheghana Go
Jara Da Azi Bhai
Nasihatilah anakmu,
bagaimana kamu
menelantarkan anak seperti
kuda tanpa tali. Pujian dan
Hormat sangat dihargai,
sebaliknya kecaman dan
penghinaan sangat ditakuti
17 | Cututun Huriun Ngudu 4
orang Ngada.
Paul Arnolt menjelaskan pula, umur anak dalam masyarakat
Ngada dicatat menurut tahun dan bulan berburu, bulan pesta reba,
bulan panen dan dibandingkan dengan anak lain. Berbeda dengan
zaman sekarang, usia belajar dalam jenjang pendidikan formal
memiliki aturan tersendiri. Nah, inilah masalah yang dialami beberapa
anak didikku di sini. Mereka mempunyai permasalahan yang jauh
berbeda dengan yang dihadapi anak SMP di daerah lain di Indonesia.
Jika di Jawa sana misalnya, anak SMP dihadapkan pada masalah
globalisasi dan arus informasi yang tak terkendali, kami di sini sering
dihadapkan pada hal yang sederhana yang sering tidak disadari.
SMP N 6 Golewa baru diresmikan oleh bupati Ngada pada
bulan September 2013. Sewaktu SM3T angkatan ke III datang,
sekolah baru memiliki 2 angkatan, yakni kelas VII dan VIII. Kelas
VIII yang merupakan angkatan pertama, usia mereka juga bervariasi.
Beberapa masih berusia 12 tahun ketika mendaftar, dan ada pula yang
tertua berusia 17 tahun ketika mendaftar kelas VII. Mayoritas
angkatan pertama ini berusia 14 tahun ketika mendaftar, sehigga
sekarang usia mereka kebanyakan antara 15 dan 16 tahun.
Bandingkan dengan yang terjadi di Jawa, usia rata-rata anak kelas VII
adalah 12 tahun dan itu berarti kami di sini terlambat sampai 5 tahun
untuk masuk SMP.
Alasannya cukup sederhana, ada yang terlambat masuk SD, ada
yang tahan kelas, serta banyak yang begitu lulus SD tidak langsung
melanjutkan ke SMP karena berbagai alasan. Pertama, karena jarak
SMP dengan rumah terlalu jauh, hal ini sebelum adanya SMP yang
lebih dekat dari tempat tinggalnya. Kedua, faktor biaya yang
mengharuskan selepas SD mereka kebanyakan bekerja untuk
membantu orang tua. Pekerjaan yang mereka lakukan misalnya: ikut
melaut, berkebun atau menjadi konjak oto.
Dampak keterlambatan usia ini secara psikologis terkadang
terasa sangat mengganggu. Hal ini karena pada umumnya secara usia
mereka seharusnya sudah berada pada jenjang SMA, bahkan masuk
1 | Cututun Huriun Ngudu 4
kuliah. Tetapi, mereka masih harus menjalani bangku SMP dengan
teman-teman yang rentang usianya cukup jauh di bawahnya. Inilah
mereka yang menghadirkan cerita menarik dan berbeda tentang murid
yang secara usia sudah memasuki masa menjelang dewasa. Dua siswa
yang mengesankan dan menghadirkan cerita berbeda dalam
perjalanannya, yaitu: Bernabas Fako dan Damianus Lange.
Pertama, Bernabas Fako (Beri) yang usianya 18 tahun sekarang
dan duduk di kelas VIII. Beri
dulunya sempat bersekolah
sampai kelas VII SMP. Akan
tetapi, karena sedikit nakal dan
suka berkelahi, Beri akhirnya
putus sekolah dan sempat tidak
bersekolah selama dua tahun.
Pada tahun 2011 ketika SMP N
6 dibuka, Beri mendaftar lagi
dan diterima dikelas VII, harus mengulang dari awal. Sekarang, selain
menjadi juara umum di kelas VII, dia juga terpilih menjadi ketua
OSIS di SMP N 6 Golewa. Beri adalah contoh salah satu anak yang
meskipun usianya sudah terlalu tua untuk anak SMP, namun mampu
bergaul dan berprestasi seperti anak SMP pada umumnya.
Kedua, Damianus Lange
atau Nus yang sebenarnya
membincang perihalnya timbul
sedikit perasaan menyesal. Nus
adalah tipe seorang entrepreneur
sejati. Pagi ke sekolah, Nus
membawa termos berisi es untuk
dijual pada teman-temannya.
Berhubung di tempat kami tidak
ada listrik, berarti Nus mengambil es di tempat lain yang cukup jauh.
Pulang sekolah, Nus akan hilir mudik menjual ikan dari jam 3 sore
dengan sepeda motor. Sikapnya memang agak kasar, mungkin
19 | Cututun Huriun Ngudu 4
terpengaruh dari kerasnya kehidupan dan usianya yang lebih tua
dibandingkan teman temannya. Beberapa guru menganggapnya
trouble maker, atau sering onar di kelas. Akhirnya, karena sikapnya
yang seperti itu, pada kenaikan kelas tahun ini, Nus tidak naik kelas.
Seperti yang sudah diperkirakan, Nus akhirnya memilih tidak
melanjutkan sekolah dan kembali pada kesehariannya dahulu, bekerja
menghabiskan masa mudanya.
Aku percaya, belajar itu tidak mengenal usia. Usia hanya sebuah
penanda bagaimana manusia harus bersikap, dan itu yang sering kali
menjadi tolok ukur di mana seharusnya tingkatan dalam pembelajaran
kita. Sekali lagi aku yakin, Beri maupun Nus, memiliki masa depan
masing-masing. Sekolah, dalam artian masa SMP ini, hanya salah
satu babak dalam perjalanan hidup mereka. Beri mengenalnya sebagai
kesempatan kedua dan mengambilnya kemudian menjadikannya
sebagai sebuah ancang-ancang dalam hidupnya. Sedangkan Nus,
cukup mengambil ilmu tentang kehidupan, tentang bagaimana bekerja
keras, meskipun tidak lama, aku yakin masa SMP-nya ini menjadi
bukti bahwa sekolah pernah mendidiknya dengan cara yang sangat
berbeda dibanding kehidupannya kelak. Setidaknya, semangat mereka
dalam belajar tanpa mengenal keterlambatan usia merupakan
pelajaran berharga yang dapat kita ambil hikmahnya. (*)
190 | Cututun Huriun Ngudu 4
Ingin Merasakan Daerah 3T
Dwi Putri Nuhayati Sakti
Belum pernah terbayangkan sebelumnya dalam program SM-3T
Angkatan ke-III tahun 2013 aku diberi kesempatan mengabdi sebagai
guru di daerah 3T yaitu di SMA Negeri 1 Golewa, Dusun Turekisa,
Desa Turekisa, Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada, Flores,
Nusa Tenggara Timur. Tempat yang terkenal akan kekayaan budaya,
keramahan tamahan masyarakatnya dan kehidupan sosial serta
kepedulian antar sesama yang sangat tinggi.
Merasa bernasib baik di antara teman-teman SM3T Angkatan
ke-III, karena aku mendapatkan daerah penempatan yang berada di
jalan lintas Kabupaten Bajawa-Ende Km. 07 dan sangat dekat dengan
pusat kota kabupaten yaitu Kota Bajawa dengan jarak tempuh sekitar
10-15 menit dari tempat penugasanku. Di samping itu sarana
transportasi sangat mudah, dapat menggunakan otto bemo (angkutan
kota), ojek atau kendaraan pribadi. Sehingga, aku memilih untuk
tinggal di Kota Bajawa. Kota yang sangat cantik jika dilihat dari jalan
antara Bajawa dan Turekisa, jalan di mana selama satu tahun selalu
setia dan tidak pernah berubah dengan beberapa boks-boks (istilah
tikungan di Flores).
Untuk mencapai tempat penugasan atau tempat tinggal
penugasan tidaklah sulit, karena ada banyak otto bemo atau ojek yang
siap antar sampai tujuan dengan selamat. Pertama, dengan otto bemo
yang sepanjang jalan telinga dimanjakan oleh full musik Jai (nama
lagu daerah Flores), dj, dangdut, atau musik ambon. Kedua, om ojek
yang siap menikung di boks-boks tajam bak seperti pembalap Rossi
atau Lorenzo dengan kecepatan yang benar-benar menguji adernalin
kita.
Di Kecamatan Golewa Barat hanya terdapat satu SMA yaitu
SMA Negeri 1 Golewa saja yang bertepatan di Desa Turekisa, nama
191 | Cututun Huriun Ngudu 4
Turekisa sendiri berarti Tugu Ditengah Kampung. SMA Negeri 1
Golewa dan kabut berserta suhu dingin adalah tiga hal yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain sampai kapanpun. Sehingga, selama satu
tahun di daerah penugasan jaket SM3T selalu setia melekat di badan
untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk sampai ketulang rusuk.
Di Kota Bajawa juga tidak jauh berbeda dengan Turekisa, kota
dingin yang berselimut kabut yang memaksa kita untuk tetap berjaket
walaupun di siang hari. Uniknya, ketika hujan mulai turun, justru
suhu di malam hari akan terasa hangat. Walaupun tempat tinggal dan
tempat penugasan berada di dataran tinggi, tetapi kesulitan mendapat
air bersih belum terhindar. Di tempat penugasan untuk mendapat air
bersih harus membeli air tangki atau tadah air hujan. Sedangkan di
tempat tinggalku, untuk memperoleh air bersih harus dengan sabar
menunggu air PDAM yang mengalir dua hari sekali. Terkadang air
PDAM yang sudah ditunggu tak kunjung mengalir, sehingga semua
harus siap dengan tengki atau jika langit berbaik kita dapat menadah
air hujan untuk keprluan sehari-hari.
Antara Bajawa dan Turekisa adalah daerah yang cukup subur
untuk bercocok tanam khusunya sayur-sayur yang sangat segar yang
siap dijual di pasar Boubou dan daerah-daerah sekitarnya. Salah satu
sayur yang jarang atau bahkan belum pernah aku jumpai sebelumnya
yaitu: pucuk labu, paku, selada air, maronge dan daun bawang merah.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika sayur tersebut dapat
dikonsumsi dan rasanya lezat sekali meski hanya diolah dengan
bumbu minimalis. Terlebih jika dimakan dengan lombok (sambal
mentah ala Flores). Berbagai kuliner Bajawa lainnya yang unik dan
menggugah selera yaitu: pisang mentah rebus atau ubi rebus yang
dimakan dengan kuah ikan dan lombok atau dengan urap kelapa
dicampur ikan teri; nasi kacang merah; kima (siput laut) yang didapat
dengan cara berburu dibawah bongkahan karang-karang, kemudian
dicuci lalu direbus dan dicampur dengan daun jeruk; dan kubi
(gurita).
19Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Tinggal di kota dengan berbagai fasilitas membuat aku ingin
pula merasakan kesulitan yang dialami teman-teman di penempatan
lain. Sehingga, aku menyempatkan untuk pergi berkunjung ke 12
kecamatan yang menjadi tempat penugasan teman-teman diantaranya
yaitu Desa Langa di Kecamatan Bajawa bagian perbatasan; Desa
Nage di Kecamatan Jerebuu; Desa Waebela di Kecamatan Inerie;
Desa Ngedusuba, Boba, dan Utaseko di Kecamatan Golewa Selatan;
Desa Paubuku, Malanuza, dan Were di Kecamatan Golewa; Desa
Warikeo di Kecamatan Golewa Barat; Desa Ngulukeda di Kecamatan
Bajawa Utara; Desa Manggaruda di Kecamatan Soa; Desa Malafai
Kecamatan Wolomeze; Desa Maronggela dan Lindi di Kecamatan
Riung Barat; serta Desa Riung di Kecamatan Riung.
Dari 12 kecamatan yang pernah aku singgahi ada beberapa
daerah yang memang benar-benar 3T dan jauh dari semua fasilitas
yang ada di Kota Bajawa. Kecamatan Bajawa Utara khususnya Desa
Ngulukeda, Kecamatan Wolomeze khusunya Desa Malafai, dan
Kecamatan Golewa Selatan Khusunya Ngedusuba menurut saya benar
daerah tertinggal akses jalan yang hanya bisa di lalui dengan
kendaraan khusus yaitu otto kayu (truk yang sudah dimodifikasi) atau
motor. Selain itu, sarana dan prasaranya benar-benar jauh dari kata
cukup, seperti halnya penerangan dan sarana komunikasi. Hebatnya,
dari keterbatasan itu alam menyajikan sebuah keindahan yang sangat
luar biasa berserta penduduknya yang sangat ramah dengan kehadiran
orang baru.
Di bumi Flores khusunya untuk Bajawa dan daerah-daerah
sekitarnya ada banyak tradisi dan adat istiadat yang di lakukan oleh
salah satu kampung atau orang asli Flores yaitu acara adat Reba
(acara adat untuk merayakan panen raya), Tinju Adat Soa, Pesta
Pernikahan, Pesta Sambut Baru, Pesta Pendidikan, Pesta Pelajar dan
Pesta-Pesta Keagamaan lainya.
Pada acara Reba biasanya di isi dengan semua orang berpakaian
adat (Lawo) berserta perlengkapan lainya kemudian semua yang
berada disana bernyanyi dan menari dari pagi sampai pagi lagi.
193 | Cututun Huriun Ngudu 4
Kemudian untuk pesta pernikahan atau pesta sambut baru setelah
semua berjabat tangan dan makan hidangan yang tersedia selesai ada
saat di mana saat itu yang paling ditunggu-tunggu oleh semua
kalangan dari anak-anak, tua muda, yaitu acara bebas dimana semua
kalangan menari dan bergoyang menurut oprator yang memutarkan
musik seperti, Jai, Dansa, Dero, Caca, Hensen, Dj, Dangdut, Regge
atau India sampai pagi dengan semboyan Mari Siangkan Malam
Ini. Sedangkan untuk Pesta Pendidikan adalah pesta yang digelar
oleh orang tua dan berbentuk arisan di sana orang yang mempunyai
hajat menyediakan berbagai macam makan dan beragam kebutuhan
dan musik untuk di jual kepada tamu undangan sehingga uang yang
terkumpul bisa digunakan untuk membayar uang sekolah atau kuliah
anak-anak mereka. Untuk pesta pelajar diberikan kepada anak-anak
yang akan masuk sekolah setelah selesai libur panjang semester.
Penuh dengan pengalaman unik, pertama kali aku mengikuti
pesta dan tarian Jai yang belum begitu aku mengerti dan hanya ikut
orang saja. Terlebih berbagai tarian semacam Dansa, Caca, Hensen,
dan Dero, kaki harus rela berkali-kali untuk terinjak-injak dan
menahan sakit. Semua hal yang tidak pernah terbayangkan akan
mengikuti pesta dengan tarian dan gerakan-gerakan seperti itu.
Tidak hanya menjelajah keberagaman budaya yang ada di
Kabupaten Ngada seperti Kampung Adat Bena, Kampung Adat
Wogo, dan Kampung Adat Bea, Air Terjun Ogi, Patung Bunda Maria
setinggi 5 meter di atas Bukit Wolowiyo, Pemandian Air Panas Soa,
Pantai Enabara (Pasir Putih) saja, tetapi hampir setengah ujung Flores
sudah menjadi tempat petualang aku dan beberapa teman ketika ada
kesempatan terlebih liburan sekolah. Mulai ujung Barat Flores, yaitu
Pulau Komodo yang menjadi salah satu bagian dari ke ajaiban dunia,
hingga ekstotisme Danau Kelimutu yang menurut orang belum ke
Flores jika belum melihat eksotisme Danau Kelimutu.
Itulah beberapa gambaran tentang keadaan alam, masyarakat
serta budaya yang terdapat di daerah tempat aku mengabdi.
Pengalaman berharga dan mengesankan selama satu tahun berada di
194 | Cututun Huriun Ngudu 4
daerah penempatan dengan berbagai kondisi yang ada, terutama
keadaan daerah yang terpencil, masyarakat, kebudayaan serta adat
istiadat yang berbeda dengan daerah asal. Hal ini mengajarkan pada
diriku cara beradaptasi dengan lingkungan baru yang akan
memberikan bekal untuk kehidupanku yang akan datang. Beberapa
hal yang dapat aku ceritakan, semoga dapat memberikan gambaran
tentang keadaan daerah, masyarakat, kebudayaan serta pegalamanku
selama satu tahun di daerah pengabdian ini. (*)
19 | Cututun Huriun Ngudu 4
Melihat Dunia Lebih Luas, Menggapai Mimpi Lebih Tinggi
Yanti Indyani
Inerie berarti simbol perempuan bagi keyakinan masyarakat
Ngada. Konon simbol laki-laki atau suami Inerie adalah Jaramasi.
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar gunung Inerie, sering
dijumpai bayangan kuda yang ditunggangi oleh Jaramasi di atas
puncak gunung Inerie. Kejadian tersebut dapat dilihat ketika kita
berada di antara Desa Dona dan Desa Nenowea. Keunikan dari
gunung Inerie yang lain adalah ketika akan ada musibah kematian.
Malam sebelumnya biasanya terdengar semacam tapak kaki kuda di
sekitar Kampung Adat Tololela.
Gunung Inerie adalah gunung yang berada di Kabupaten Ngada,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketinggian Gunung Inerie 2245 mdpl.
Gunung ini pernah erupsi dan sampai saat ini Gunung Inerie
senantiasa berpotensi aktif. Hal ini ditandai dengan munculnya mata
air panas di Malanage, Kecamatan Jerebuu, Ngada, NTT. Gunung
Inerie bertipe strato, erupsi dimungkinkan intensif dengan lava kental
sehingga terbentuk tubuh gunung kerucut sempurna. Gunung Inerie
memiliki bentuk yang sama ketika dilihat dari berbagai sisi. Vegetasi
hutan berada di sebelah selatan dan timur sedangkan pada bagian
utara berupa kerikil berpasir dan savana. Vegetasi di Gunung Inerie
yang dominan adalah kayu ambupu. Savananya biasa dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar untuk menggembala ternak.
Puncak Inerie menyembul di sebelah Barat Laut tempat
tinggalku di Ngadhusawu. Sebagian besar tubuh Inerie tertutup oleh
bebukitan, salah satunya yaitu Bukit Bogo. Bukit Bogo memiliki
lereng yang curam menyerupai dinding. Menurut cerita legenda,
Bukit Bogo yang memanjang menyerupai rambut yang memakai
konde. Aku selalu melihat puncaknya ketika hari sedang cerah.
Kapan aku bisa sampai di puncak? kataku dalam hati. Beberapa
teman sepenugasan memang berencana untuk mendaki Inerie, namun
19 | Cututun Huriun Ngudu 4
rencana itu selalu gagal karena berbagai hal. Meskipun sering gagal
aku tetap yakin suatu saat aku bisa mendaki Gunung Inerie. Gunung
Inerie memang tidak terlalu tinggi, tidak seperti gunung di Jawa yang
sering menjadi tujuan pendakian.
Dari kaki Gunung Inerie
Mendaki gunung sama halnya kita menggantungkan mimpi.
Kita tidak akan sampai dipuncak, jika tidak memulai dari
melangkahkan kaki untuk menuju kesana. Sama halnya dengan
mimpi. Mimpi akan menjadi sekedar mimpi jika kita tidak memulai
untuk meraihnnya. Terkadang kita akan mendapatkan banyak
pelajaran berharga dari suatu perjalanan. Aku memiliki hobi
travelling dari kuliah. Menjelajah ke tempat-tempat yang baru seraya
mengembangkan mimpi-mimpi adalah kegiatan yang menyenangkan
bagiku.
Akhirnya, pendakian yang direncanakan datang tanpa
direncanakan. Cerita berawal dari ajakan mendaki oleh teman-teman
SM-3T UNY penempatan Ende. Hari ini aku menunggu kedatangan
teman-teman dari Ende. Menurut informasi setelah bertemu penenun
untuk keperluan persiapan kegiatan bazar di Ende, mereka berencana
197 | Cututun Huriun Ngudu 4
melakukan pendakian Gunung Inerie. Aku sangat antusias
mendengarnya, aku kemudian mengkontak beberapa teman dan aku
ajak ikut mendaki gunung. Beberapa orang teman menolak dengan
berbagai alasan. Hanya ada satu teman yaitu Dimas yang cukup
antusias untuk ikut namun dia pun masih bingung. Akhirnya, Dimas
mau bergabung untuk ikut mendaki.
Sekitar pukul 16.45 WITA Dimas sampai di tempat tinggalku.
Jarak cukup jauh dari Kecamatan Bajawa Utara menuju Kecamatan
Inerie. Saya sedang memasak di dapur ketika itu. Tanpa basa-basi
Dimas yang kelaparang langsung makan. Sambil tertawa mengolokku
mengambilkan nasi untuknya. Setelah selesai memasak aku mandi
dan mengambil air wudhu karena waktu sholat magrib sudah datang,
namun teman-teman dari Ende belum juga datang. Saya kemudian
kontak mereka, namun tidak ada yang mengangkat telpon saya.
Akhirnya, teman-teman dari Ende tiba juga di tempat tinggalku.
Mereka terdiri dari delapan orang laki-laki semua. Beberapa teman
telah saya kenal sebelumnya seperti Purbo yang merupakan teman
ketika kuliah. Sedangkan Jimmi, Permadi, Wira, Rinda, dan Angga
merupakan kenalan baru. wah berarti nanti mendaki gunungnya saya
perempuan sendirian pikirku. Aku melirik ke arah barat laut dan
menemukan puncak Inerie yang hendak ditelan senja. Akhirnya,
tekadku kembali bulat.
Setelah saling menanyakan kabar dan keadaan di tempat
penugasan. Saya menawarkan kepada mereka untuk beribadah sholat
magrib. Satu persatu mereka mengambil air wudhu. Saya
mempersilahkan mereka masuk ke kamar saya. Kamar saya berukuran
2, 5 meter x 2, 5 meter terbuat dari naja (bambu yang dicacah).
Teman-teman menghibur saya, mereka mengatakan kamar saya masih
lebih mewah dibandingkan kamar mereka. Sholat selesai dilanjutkan
dengan makan malam. Aku meminta maaf kepada mereka, hanya bisa
menghidangkan menu makan malam yang seadanya. Maklum di sini
jauh dari pasar dan tidak ada kebun sayur. Meskipun dengan menu
yang sederhana kita makan dengan gembira, sambil bercanda ria.
19 | Cututun Huriun Ngudu 4
Sambil makan kita menyusun rencana pendakian. Aku menjelaskan
kepada teman-teman bahwa kita akan menginap di teman SM-3T di
Kolokoa yaitu Mbak Nikmah. Dari sana kita akan melanjutkan
perjalanan ke Watumeze di mana kita akan mulai mendaki gunung
Inerie.
Pukul 21.00 WITA, kami berangkat dari Ngadhusawu menuju
Kolokoa. Perjalanan yang mengerikan dengan jalan di kanan dan kiri
berupa jurang. Pelan-pelan kami melewati jalan di sebelah kiri
Gunung Inerie. Sesampainya di Kolokoa kami disambut ramah oleh
tuan rumah, Opa Pit dan Mbak Nikmah. Suhu Kolokoa lebih dingin
daripada di Ngadhusawu. Teh hangat yang disuguhkan Mbak Nikmah
langsung disambut teman-teman dengan senyum malu-malu. Teh di
gelas langsung habis disusul tuan rumah mepersilahkan kami
istirahat.
Seolah baru hitungan detik alarm yang kami pasang sudah
berbunyi nyaring. Tepat Pukul 02.00 WITA kami bergegas mencuci
muka bersiap untuk mendaki. Mbak Nikmah langsung menghubungi
Om Titus guide yang akan menemani kami melakukan pendakian.
Sesampai di depan rumah salah satu warga di dekat balai desa
Tiworiwu II, kami memarkir motor. Penghuni rumah nampak keluar
dan berbicara dengan Om Titus. Mungkin mereka sedang
bernegoisasi agar tuan rumah menjaga motor kami. Sesudah
memarkir motor kami berdoa sebelum memulai pendakian.
Pendakian di mulai dari menyusuri pekarangan-pekarangan
warga disertai dengan gonggongan anjing. Aku dan Dimas sudah
terbiasa dengan gonggongan anjing, tetapi teman-teman dari Ende
banyak yang ketakutan. Kami terus menyusuri kebun-kebun kecil
kemudian bertemu dengan padang rumput. Rerumputan basah terkena
embun. Kami berjalan pelan karena medan sudah mulai menanjak.
Tekanan udara sudah mulai menurun. Aku berjalan di belakang Om
Titus sebagai penunjuk jalan. Aku hanya menggunakan senter dari
ponsel karena memang tidak ada persiapan sebelumnya. Temanku
Wira dan Angga paling belakang. Mereka jalan pelan karena
199 | Cututun Huriun Ngudu 4
membawa carrier besar, padahal kemiringan medan di kaki gunung
saja 50 derajat. Jalur pendakian gunung Inerie hanya ada satu yaitu
dari Watumeze.
Setelah 45 menit kami istirahat untuk meneguk sedikit air,
seraya mengatur nafas. Udara semakin dingin perjalanan semakin
menguras tenaga dan menyesakan nafas. Om Titus sesekali
memastikan jalur yang kami lewati tidak keliru. Om Titus
menjelaskan terkadang jalur pendakian menghilang tertutup longsoran
pasir. Om Titus memperingatkan kepada kami bahwa di kanan dan
kiri kami banyak jurang sempit yang dalam. Vegetasi di sini sudah
mulai berkurang hanya ada tanaman perdu dan savanna.
Waktu menunjukan pukul 03.30 WITA ketika kami kira-kira
sudah setengah perjalanan. Kami kembali berhenti untuk istirahat
sejenak dan mengambil nafas. masih jauh om? aku bertanya kepada
Om Titus. oh ini baru setengahnya mbak kata Om Titus. Akhirnya,
aku mengkomando kepada teman-teman untuk melanjutkan
pendakian agar kita segera sampai di puncak sebelum matahari terbit.
Di sela-sela pendakian terkadang aku menengadah ke langit melihat
bintang yang bertaburan seraya berdoa semoga kami dapat melihat
sunrise ketika di puncak. Semakin ke atas vegetasi semakin jarang, di
kanan dan kiri kami perdu sudah menghilang. Hanya bebatuan yang
menonjol yang kami jadikan pegangan ketika jalur mengharuskan
berjalan merayap.
Z00 | Cututun Huriun Ngudu 4
Merayap di lereng Inerie
Kami hampir mencapai puncak ketika ada warna merah di langit
sebelah timur. Matahari terbit belum terlihat. Padahal waktu sudah
menunjukan pukul 05.30 WITA. Kami khawatir sebenarnya langit
mendung sehingga tidak bisa melihat matahari terbit. Ternyata
memang kabut menyelimuti pandangan kami. Ada semacam rasa
khawatir dan kecewa. Tapi inilah resiko, yang terpenting adalah
perjalanan sudah dilakukan.
Beberapa saat munculah bola merah di atas gunung Ebulobo,
kami kemudian bergegas mengabadikanya. Embun perlahan menguap
dan seolah-olah alam sedang melakukan pertunjukan, kami disuguhi
pemandangan yang menakjubkan. Di sebelah utara nampak bukit
Wolo Gedha, di sebelah timur laut adalah Desa Langa dan Kota
Bajawa yang terlihat seperti Ular Kobra ketika dilihat dari atas
gunung. Di sebelah tenggara nampak kampung adat Bena yang tertata
indah. Di sebelah Selatan igir-igir Wolo Deru disambung dengan
daerah pantai yang memanjang ke Timur. Sungguh lukisan Maha
Pencipta yang sempurna. Kami tidak ada bosan-bosanya
menggumamkan kalimat Tasbih. Saya berkata dalam hati. Banyak
harapan muncul ketika melemparkan pandangan ke Wolo Gedha.
Bahwa bumi pertiwi sangat indah, dan saya ingin kembali lagi ke
Z01 | Cututun Huriun Ngudu 4
tempat ini suatu saat dan pergi di belahan bumi Indonesia yang lain
untuk menemukan hal-hal baru.
Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Puncak
mulai dekat, dari tempat kami berdiri memerlukan waktu sekitar 10
menit. Di Puncak kami membuka bekal dan berfoto ria. Sekitar jam
08.30 kami memutuskan untuk turun gunung. Karena medan yang
terjal beberapa teman merasa ngeri ketika perjalanan menuruni
gunung. Mereka lebih memilih meluncur di pasir untuk sampai di
bawah. Ketakutan berubah menjadi tawa gembira teman-teman yang
bermain luncuran. Mereka malah membuat video sedang meluncur di
pasir. Hawa dingin tadi malam berubah menjadi terik pagi ini.
Sekitar pukul 11. 25 WITA kami sampai di kaki gunung, kami
kembali menyusuri pekarangan-pekarangan warga. Sesampai di
rumah warga tempat kami menyimpan sepeda motor, aku langsung
mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah sekaligus pamit.
Om Titus mengajak kami untuk minum kopi dulu sebelum kembali ke
rumah Mbak Nikmah. Akhirnya kami menurut. Kami minum kopi di
warung sayur milik Om Titus dan disuguhi dengan pisang goreng.
Inilah keramahan masyarakat Ngada yang melengkapi indahnya alam
Ngada yang tidak dapat kami lupakan.
Puncak Inerie
Z0Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Kebahagiaan terpancar di wajah kami meskipun merasa sangat
lelah. Pendakian sudah kami lakukan dan akan menjadi kenangan
indah di sela-sela pengabdian kami untuk mencerdaskan anak bangsa.
Keinginan sampai di puncak adalah mimpi dan harapan. Pendakian
adalah proses. Rasa dingin, lelah, dan jurang adalah tantangan. Kabut
adalah resiko. Puncak adalah kemenangan dan kemenangan yang
sudah diraih tentu perlu pelengkap yang lain. Harapanku, semoga
pendakian di tanah pengabdian untuk mencerdaskan anak bangsa ini
mencapai puncaknya juga. (*)
Z03 | Cututun Huriun Ngudu 4
PROFIL Ngada 48
Anggi Ardiansyah
Penggemar Juventus ini adalah pria asal
Temanggung. Dies natalisnya yang bertepatan
dengan hari pendidikan nasional 24 tahun silam
menjadikannya menyukai dunia pendidikan.
Dunia olahraga juga menjadi bagian dari
aktivitasnya sehari-hari seperti jurusan yang
dipilihnya semasa kuliah adalah PJKR. Motto
hidupnya untuk terus berjalan dengan pelan tapi
tidak akan pernah berjalan mundur, menjadi
semangatnya untuk mengajak anak didiknya
untuk terus maju. Lebih menganal Anggi bisa
mengintip fb: Ardyansyah Anggy
Rifqi Rohardian
Rifqi, lebih menyukai gunung ketimbang laut.
Tak heran titik-titik tertinggi di Pulau Jawa telah
ditaklukannya. Bagi pria kelahiran Cilacap, 8
Maret 1991 ini menjadi kenikmatan tersendiri
saat berhasil menikmati negeri di atas awan.
Wajahnya yang murah senyum membuatnya
nampak tak pernah menjumpai masalah. Kepada
anak didiknya Rifqi berpesan bermimpilah
seakan-akan kamu tak punya apa-apa,
bersyukurlah seakan-akan kamu mempunyai
semuanya. Jangan batasi khayalanmu, jangan
halangi imajinasimu, dan kalahkanlah rasa takut
yang ada di hatimu. FB: Rifqi Rohardian
Z04 | Cututun Huriun Ngudu 4
Rizkytasari Dini Hardianti
Dara asal Klaten ini memiliki hobi olahraga tenis
meja. Kecintaannya pada bidang sosial
mengantarkannya fokus mengambil jurusan
pendidikan IPS semasa kuliah. Lahir 06
Desember 23 tahun lalu. Semangatnya terus
menyala membentuk sepenggal moto hidup
bahwa mimpiku adalah milikku, yang bisa
mewujudkan hanyalah aku. Baginya keterbatasan
bukanlah menjadi penghalang untuk tetap
mengabdi dan berbagi ilmu demi mencerdaskan
Indonesia. Sehari-hari aktif fb: Rizkyta Dini
Eko Sucipto
Pria yang gemar hiking ini berasal dari Kulon
Progo. Kecintaannya terhadap lingkungan dan
alam sekitar menetapkan hatinya untuk
berkonsentrasi pada ilmu biologi semasa kuliah.
Baginya perbedaan adalah keindahan, tak heran
kalau motto hidupnya apa aku ada jika hanya
sama, serupa dengan kalian be extraordinary.
Ingin tahu perjalanan hikingnya bisa menilik FB:
Eko Sucipto
Septi Sinarsih
Dara yang baru pertama kali merantau ini lahir di
Sleman, 02 September 1990. Hobinya nonton
film korea dan mendengarkan musik. Di balik
hobinya yang santai, ia tetap serius dalam hal
belajar. Pelajaran kimia yang diampu
membuatnya terus penasaran kalau belum
menemukan rumus yang tepat. Baginya sabar dan
ikhlas adalah kunci utama dalam menjalani
hidup. Setiap hari aktif di FB: Septi Sinarsih
Z0 | Cututun Huriun Ngudu 4
Arif Nuur Iswahyudi
Pegiat Pramuka ini biasa disapa Arif.
Menjadi pengurus Kwarcab Pramuka
Klaten sebelum mengabdikan dirinya di
tanah Flores. Pria kelahiran 3 Maret 1989
ini tinggal di Perum Puri Hutama
Danguran, Klaten Selatan. Guru
Matematika ini memiliki hobi olahraga.
Baginya ojo rumongso biso tapi bisoo
rumongso menjadi motto hidup.
Dimas Setyo Kukuh Permono
Pria ini memiliki hobi sepak bola, futsal, dan
voly. Kecintaannya pada dunia olahraga
membuat perawakannya tinggi besar. Si bungsu
dari dua bersaudara ini lahir di Purworejo, 09
September 1989. Pria yang menggemari Timnas
U19 ini semasa kuliah mengambil jurusan PKn.
Bisa dihubungi via FB: Dimas Setyo
Anastya Titi Palupi
Pemilik mata sipit ini biasa dipanggil Tia. Lahir
di Wonosobo, 3 Juli 1989. Mengabdi di daerah
penempatan mendatangkan hobi baru baginya,
yaitu bermain organ. Beberapa lagu telah
dikuasainya dari hasil bersama guru dan
muridnya. Guru Bahasa Inggris ini menyukai
dunia travelling. Beberapa tempat indah di Flores
telah menjadi sasaran empuk baginya. Bersyukur
dan bermanfaat membuatnya yakin bahwa ada
sisi lain dari cara orang memandang tentang garis
kehidupan. Manusia tidak akan pernah tahu bila
tidak mau tahu. FB: Anastya Palupi
Z0 | Cututun Huriun Ngudu 4
Pria kelahiran Kulon P
ini memiliki hobi olah
Kecintannya pada dunia
banyak lagu dari berb
olahraganya m
perkuliahan jurusan P
email
Bagi pria kelahiran 14 M
berawal dari mimpi.
membuatnya hafal d
sepak bola. Minatnya p
menjadikannya pria yan
dan merajut. Sehari-ha
email admin@
Biasa dipanggil Upik. L
1990. Anak ketig
mengkhayal. Obse
mewujudkan semua ya
lulusan Geografi U
sambil mendeng
mempertahankan kesede
hidup. Tak heran kal
yang cuek dan suk
terbesarnya adalah m
dari yang sebelum
Anang Budi Irawan
Progo, 21 November 1986
hraga dan bermain musik.
musik membuatnya hafal
bagai aliran. Sedang hobi
mengantarkan Anang pada
PJKR. Bisa dihubungi via
l : ab.irawan@gmail.com
Bagus Subandono
Mei 1991 ini hidup adalah
Hobinya freestyle soccer
dengan semua hal tentang
pada dunia olahraga tetap
ng ulet, pandai memasak,
arinya bisa dihubungi via
@belajardanbermain.com
Supriyati
Lahir di Sleman, 6 Januari
ga ini kesehariannya suka
esinya sangat besar untuk
ang ia khayalkan. Wanita
UNY ini suka menyendiri
garkan musik. Ia berusaha
erhanaan dalam menjalani
au Upik memiliki pribadi
ka ketenangan. Keinginan
menjalani hidup lebih baik
mnya. FB : Supriyati Upi
Anang Budi Irawan
Pria kelahiran Kulon Progo, 21 November 1986
ini memiliki hobi olahraga dan bermain musik.
Kecintannya pada dunia musik membuatnya hafal
banyak lagu dari berbagai aliran. Sedang hobi
olahraganya mengantarkan Anang pada
perkuliahan jurusan PJKR. Bisa dihubungi via
email : ab.irawan@gmail.com
Bagus Subandono
Bagi pria kelahiran 14 Mei 1991 ini hidup adalah
berawal dari mimpi. Hobinya freestyle soccer
membuatnya hafal dengan semua hal tentang
sepak bola. Minatnya pada dunia olahraga tetap
menjadikannya pria yang ulet, pandai memasak,
dan merajut. Sehari-harinya bisa dihubungi via
email admin@belajardanbermain.com
Supriyati
Biasa dipanggil Upik. Lahir di Sleman, 6 Januari
1990. Anak ketiga ini kesehariannya suka
mengkhayal. Obsesinya sangat besar untuk
mewujudkan semua yang ia khayalkan. Wanita
lulusan Geografi UNY ini suka menyendiri
sambil mendengarkan musik. Ia berusaha
mempertahankan kesederhanaan dalam menjalani
hidup. Tak heran kalau Upik memiliki pribadi
yang cuek dan suka ketenangan. Keinginan
terbesarnya adalah menjalani hidup lebih baik
dari yang sebelumnya. FB : Supriyati Upi
Z07 | Cututun Huriun Ngudu 4
Ariyanto
Pribadi supel ini adalah guru olahraga yang
setahun mengabdikan diri di Ngulukedha.
Ariyanto lahir di Purworejo, 20 Mei 1986.
Sesuai bidangnya, ia menggemari sepak bola
dan badminton. Kampung halamannya ada di
Desa Kalimeneng RT 01/02 Kecamatan Kemiri,
Kabupaten Purworejo. Semangatnya terpacu
tidak hanya saat berada di lapangan hijau.
Baginya badai tidak akan selamanya, masih ada
waktu untuk mewujudkan mimpi. Berkenalan
lebih dalam dengan Ariyanto bisa mampir ke FB
nurulrima10@yahoo.com
Arum Puspitaningtyas
Kecintaan pada dunia anak membuat Arum
mantap memilih menjadi guru SLB. Dara
kelahiran 30 November 1989 ini hobinya
mendengarkan musik. Keberanian menjadi
senjata baginya dalam menghadapi segala hal.
Terbentuklah motto yang menjadi pegangan
hidupnya yaitu jangan takut membuat kesalahan,
tapi pastikan bahwa tidak ada kesalahan yang
sama untuk kedua kalinya. Lebih dekat
berkomunikasi dengan Arum bisa melalui email
arum.p89@gmail.comatau FB Arum Ziepp
Lukman Efendi
Lukman memantapkan hati untuk bergabung
dengan SM-3T demi mewujudkan pengabdiannya
kepada negeri. Pria kelahiran Purbalingga, 5
November 1989 ini berbagi ilmu dengan anak
didiknya di Jerebuu selama setahun. Memiliki
hobi membaca, menulis, berhitung, dan
berolahraga membuatnya terus berpikir maju
untuk segala hal. Pengabdiannya ini didukung
motto semangat kerja kami adalah energi untuk
Z0 | Cututun Huriun Ngudu 4
melistriki nusantara, by PLN (PakLukmaN).
Sering online di FB zerolefendi@yahoo.com
Dewi Komalasari
Wanita berkacamata ini adalah lulusan FKIP
Universitas Mataram. Lahir di Lenangguar, 13
Desember 1989. Si bungsu dari tiga bersaudara
ini semasa kuliah aktif diberbagai organisasi
kampus seperti HMPS Kimia, Teater Putih, dan
Korps Suka Rela (KSR) Universitas Mataram.
Sebelum menjadi pengajar muda pengabdiannya
lebih dulu ditujukan kepada masyarakat luas
dengan menjadi fasilitator PNPM. FB: Dewi
Komalasari, Twitter : @Chemslive
Irsyad Kusuma Agustara
Pemilik wajah serius ini biasa dipanggil Irsyad.
Selama di Flores pria asli Banyumas ini biasa
dipanggil Agustara. Lahir di Klaten, 19 Agustus
1988. Selain mengajar ia juga tergabung dalam
tim penyusunan soal dari sebuah penerbit.
Semasa kuliah pernah menjadi pelayan kafe dan
pekerjaan lain yang ditelateninya. Bahasa
Indonesia adalah jurusan yang dipilihnya semasa
kuliah. Tentang Irsyad bisa dilihat di FB
Agustara Kusuma
Nur Anggraeny Citraningtyas
Karena ada tiga nama yang sama, maka gadis ini
akrab dipanggil Anggi cewe. Lahir di Jakarta, 20
Agustus 1989. Hobinya nonton film dan
browsing di internet setahun ditinggalkannya
demi mengabdikan diri di daerah penempatan,
Boba. Setelah meninggalkan ibukota, ia tinggal di
Cacaban Barat RT 4/10 Magelang Tengah.
Keyakinannya akan sebuah kesuksesan
terangkum dalam motto berpikir positif maka
Z09 | Cututun Huriun Ngudu 4
alam pun akan memberikanmu kehidupan yang
positif pula. Ia belajar tentang keikhlasan saling
menolong dari murid-muridnya di Boba. Anggi
bisa dihubungi via email:
Zwitsalkids@hotmail.com
Rudi Purnomo
Pribadi sederhana ini biasa dipanggil Rudi.
Selama berada di tempat pengabdian ia tergabung
dalam tim Persetan (Persatuan sepak bola wangka
selatan). Kecintaannya pada dunia bola
membuatnya hafal semua hal tentang bola. Rudi
lahir di Sleman bertepatan pula dengan hari
pendidikan nasional. Baginya hidup itu mengalir
seperti air. Menjadi bagian dari SM-3T
memberinya pengalaman berharga untuk bekal
hidup selanjutnya. Lebih dalam berkomunikasi
dengan Rudi bisa via FB:
facebook.com/rudi.purnomo.716
Nur Hidayah
Gadis berkacamata ini akrab disapa Hida.
Dikenal tegas dihadapan murid-muridnya, tapi
Hida tetap berjuang untuk berbagi ilmu di
tempat pengabdian. Alhasil dara kelahiran
Bantul, 16 Oktober 1989 menjadi guru yang
dirindukan anak didiknya. Hobi bersepadanya
hampir setahun ia tinggalkan. Anak kedua dari
tiga bersaudara ini tinggal di Jalan Wonosari,
Banguntapan, Bantul. Baginya dimana pun
berada adalah untuk belajar.
Z10 | Cututun Huriun Ngudu 4
Teguh Wiryanto
Mencintai dunia IT membuat Teguh banyak
dikenal orang selama berada di tempat
pengabdian. Pria asal Cilacap ini sering
menyelesaikan permasalahan komputer
sekolahnya. Hobinya browsing, Downloading
and Phreaking. Pria kelahiran 6 Agustus 1988 ini
berpegang pada motto sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Sisa waktu mengajarnya dihabiskan di depan
laptop, karena baginya mendidik itu bukan hanya
mengajar. Ingin lebih tahu banyak tentang Teguh
bisa menilik websitenya www.pakteguh.com atau
FB Teguh Wiryanto
Cipto Prisnanto
Pria pendiam ini lahir di Purworejo, 26
September 1989. Menjadi pengajar muda adalah
panggilan jiwa baginya. Lulusan Universitas
Muhammadiyah Purworejo ini adalah seorang
pemimpi yang ingin terus mengabdikan diri di
dunia pendidikan. Sehari-hari bisa berkomunikasi
dengannya via FB: Cipto Prisnanto
Wahyu Rohmawati
Guru IPA di Riung Barat ini pernah bercita-cita
memiliki kamera SLR untuk berburu foto.
Wahyu, sapaan akrabnya berhasil mewujudkan
mimpinya saat berkesempatan mengabdikan diri
di tanah Flores. Hobinya travelling berhasil
menemukan objek menarik selama berada di
tempat pengabdian. Lahir di Kulon Progo, 23
April 1991. Keyakinannya akan sebuah
kesuksesan terangkum dalam motto I can if I
think I can. Aktif di media sosial FB: Wahyu
Rahmawati
Z11 | Cututun Huriun Ngudu 4
Anggi Perdana
Sarjana Pendidikan lulusan UNY ini akrab disapa
Anggi. Lahir di Indramayu, 21 Maret 1989.
Makanan kesukannya adalah capcay goreng. Ia
menguasai Bahasa Sunda, meski begitu Bahasa
Jawa pun dipelajarinya. Anggi pernah menjadi
drummer Ngada 48 saat malam pelepasan SM-3T
2013 di AAU AdiSucipto Yogyakarta. Kampung
halamannya ada di Desa Jatimulya Blok Kombo
1 Rt/Rw 02/03 Kecamatan Terisi, Indramayu
Ponti Lestari
Pemilik rambut lurus ini tergolong pribadi yang
cuek. Dara yang pandai menghitung uang sesuai
jurusannya pendidikan ekonomi ini memiliki hobi
travelling. Datang dari Klaten untuk melanjutkan
travellingnya sampai di tanah Flores. Selain
travelling saat ini ia menyukai dunia memasak. Si
tomboy yang sering mual saat naik oto ini lahir 4
April 1992, Motto hidupnya impossible is
nothing. Ingin lebih kenal Ponti bisa menilik
twitternya @mizbul
Musafirul Huda
Sesuai namanya, pria yang satu ini menyukai
petualangan. Musafir mana yang betah di rumah?
keluar dan cari petualangan sendiri.
Keinginannya untuk terus pertualang inilah yang
mengantarkan pria asli Purworejo ini sampai di
Flores. Pria berkacamata ini lahir di Kebumen, 24
april 1990. Bisa calling-calling dengannya via
twitter @koloni_musafir
Z1Z | Cututun Huriun Ngudu 4
Wahdatun Nikmah
Memiliki hobi travelling membuat Nikmah gemar
mengunjungi tempat-tempat istimewa di Flores.
Wanita kelahiran Rembang, 7 Juni 1990 ini
adalah lulusan Pendidikan Ekonomi UNS. Selain
travelling ia juga suka berenang dan browsing di
internet. Kecintaannya pada dunia pendidikan
membuatnya tertarik ingin menjadi kepala
sekolah sekaligus merangkap sebagai istri idaman
serta ibu teladan. Pecinta boneka Hello Kity ini
bertekad agar hari ini harus lebih baik dari
kemarin, karena itulah orang yang beruntung.
Hari ini sama dengan kemarin berarti merugi, dan
apabila hari ini leibh buruk dari kemarin berarti
celaka. Nikmah bisa dihubungi via email
wahdaninik@gmail.com
Iga Dwisukma Ariffayatun
Logat ngapak menjadi ciri khas wanita yang satu
ini. Iga, sapaan akrabnya. Kegemarannya
membaca buku dan ngegame ini membuatnya
selalu nampak ceria. Tahun 1991 bertepatan
dengan hari pendidikan nasional ia dilahirkan.
Wanita asal Banyumas ini adalah lulusan PGSD
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Baginya tidak ada pekerjaan yang sia-sia,
kerjakan selagi masih ada kesempatan. Aktif di
FB maupun twitter :Iga Dwisukma Ariffayatun/
@shin_igaara
Maulida Intan Akmala
Akrab disapa Intan. Kecakapannya mengerjakan
banyak hal menjadikannya wanita multitalenta
dalam segala hal. Dara asli Temanggung ini
pernah menjadi ketua OSIS di SMA N 2
Temanggung. Selain bernyanyi ia juga gemar
berbicara di depan banyak orang. Tak heran
Z13 | Cututun Huriun Ngudu 4
setahun ditugaskan di SDK Ngedusuba ia fasih
berbahasa Bajawa. Pernah menjadi MC dalam
gelaran Ngada Edu-Culture Fair 2014. Lulusan
PGSD Unnes ini lahir tanggal 25 Oktober 1989.
Ingin lebih akrab mengenal Intan bisa berkunjung
ke media sosialnya FB: Intan Akmala
Waluyo
Pria jangkung ini akrab disapa Waluyo. Bahasa
ngapak menjadi ciri khas pria asli Cilacap ini.
Menyukai cerita-cerita zaman dulu sehingga
semasa kuliah ia menetapkan diri mengambil
Pendidikan Sejarah. Lahir tanggal 22 Maret 1989
di Kroya. Mottonya Perbedaan itu indah. Waluyo
bisa dihubungi via FB: Laskar bangsa atau email
: laskarbangsa123@gmail.com
Anisa Purnamasari
Si kembar asal Surakarta ini lahir di awal tahun
1992 tepatnya tanggal 1 Januari. Semasa kuliah
di Universitas Muhammadiyah Surakarta ia
berkonsentrasi pada jurusan Pendidikan Biologi.
Hewan kesayangannya adalah kucing. Baik di
kampung halaman mau pun di daerah penugasan,
hiburannya yang paling setia adalah hewan
berkumis ini. Ingin banyak bercerita tentang
kucing dengan Anisa bisa berkunjung ke FB:
Anisa Purnamasari
Yanti Indyani
Suntit, panggilan kesayangannya semasa kuliah.
Dara kelahiran Banyumas, 4 November 1990 ini
memiliki hobi naik gunung dan menikmati alam
di tanah Flores. Kecintaannya pada alam
semesta diaplikasikannya saat mengajar anak
didiknya di Inerie. Mata pelajaran Geografi
adalah bidang pendidikannya di UNY sebelum
ia memutuskan bergabung dengan SM-3T. FB
aktifnya Indyani Suntit.
Z14 | Cututun Huriun Ngudu 4
Subekti
Panggilan akrabnya Bekti. Sebelum memutuskan
mengabdi pengajar ia lebih dulu melanglang
buana di Jakarta demi mencari peruntungan.
Merasa terpanggil untuk berbagi ilmu dengan
generasi muda, akhirnya Bekti memutuskan ikut
SM-3T. Wanita kelahiran 1 Oktober ini
menamatkan sarjananya di PGRI Yogyakarta
jurusan PKn. Setiap hari aktif di FB: BeQty Thoq
Fitri Nurhayati
Akrab disapa Pipit. Wanita yang gemar menulis
ini menamatkan sarjananya di Universitas
Muhammadiyah Purwokerto jurusan Geografi.
Merasa terpanggil untuk berbagi ilmu dengan
tunas-tunas bangsa di pelosok negeri ia rela
melepas profesinya sebagai wartawan lokal di
sebuah media cetak. Wanita asal Banjarnegara ini
lahir bertepatan dengan peringatan hari buruh
sedunia pada 1991 silam. Semasa kuliah
tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa.
Menurutnya dengan menulis ia akan tetap hidup
selamanya. Tulisannya bisa dibaca di
fitrinh.riung.net atau mengintip FB: Fitri
Nurhayati
Rina Astuti
Gadis berhidung mancung ini biasa dipanggil
Rina. Penyuka aktivitas travelling ini gemar
mengunjungi tempat-tempat baru yang penuh
sejarah. Setahun mengabdi di SMK N 1 Bajawa
Utara memberi banyak inspirasi baginya. Dara
asli Bantul ini memiliki motto hidup penuh
pilihan yang harus diperjuangkan. Baginya
bersyukur adalah kunci kenikmatan
Z1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Maratul Khusna Ayu Adityas
Ayu, sapaan akrabnya. Lahir di Sleman, 5 Januari
1990. Kegemarannya menghitung mengantarkan
ia menjadi guru matematika di SMA N 1 Aimere.
Baginya hidup adalah untuk kebermanfaatan.
Hingga terbentuklah motto semangat bermanfaat
sebagai wujud syukur yang nyata atas
nikmatNya. Ingin lebih lanjut berkenalan dengan
Ayu bisa menilik FB dinaraven@gmail.com
Jumai Rofiana
Akrab disapa Jumai. Pecinta karya Pram ini lahir
di Batang, 8 Maret 1991. Mencintai sejarah
membuatnya tertarik untuk menjadi guru sejarah.
Hobinya menulis, beberapa tulisannya dimuat di
media cetak. Berkiblat pada kalimat milik Pram,
semua yang tertulis akan abadi dan semua yang
terucap akan sirna. email yang bisa dihubungi
jumairofiana@gmail.com
Rosita Ambarsari
Akrab disapa Kak Ros. Guru Ekonomi asal
Klaten ini lahir 10 Mei 1991. Setahun mengabdi
rasa percaya dirinya ditularkan kepada anak didik
di Desa Ngusumana. Selama di daerah
penempatan ia menghibur diri dengan hobi
menyanyi dan mendengarkan musik. Motto hidup
Kak Ros jika kita yakin bisa maka kita akan bisa.
Aktif di FB/twitter Rosita:
Ambarsari/@RHOUZTA
Z1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Rahmat Nugroho
Disapa Rahmat. Pria berkacamata ini lahir di
Banjarnegara, 17 April 1986. Selain menyukai
rapat, ia juga gemar menjahili orang lain. Hobi
inilah yang membuatnya pandai beradaptasi
dengan lingkungan baru. Sebelum terbagung
dengan SM-3T ia pernah menggelandang di Pare
untuk mempertajam kemampuan Bahasa
Inggrisnya. Penyuka bubur mutiara Flores ini
berpegang pada motto Khairunnas, anfauhum
linnas. Bisa berkenalan lebih dekat dengan
Rahmat melalui fb: nugros17ers@yahoo.com
Nur Helny Kuswanty
Dara asli Magelang ini biasa dipanggil Helny.
Gayanya yang keibuan membuatnya disukai
anak-anak di tempat pengabdian Desa
Ngulukedha. Memasak merupakan kepandaian
yang dimilikinya, tak heran beberapa jenis
makanan tercipta apik dari tangannya. Helny lahir
30 September 1989. Baginya urip digawe
kepenak, nek jodo ra nangdhi-nangdhi. Email
yang bisa dihubungi mam.helny@yahoo.com
Deni Arif Nugroho
Penyuka travelling ini biasa disapa Deni. Lahir di
Magelang 22 April 1992. Lulusan Pendidikan
Geografi UNY ini setahun mengabdikan diri di
SMA N 1 Riung Barat. Gaya backpackernya
dibuktikan dengan menadaki Gunung Rinjani saat
libur sekolah. FB aktifnya Denny Arief Nugroho
Z17 | Cututun Huriun Ngudu 4
Ruth Evrilia Oka Mahastri
Dara hitam manis asal Magelang ini biasa
dipanggil Oca. Lahir di Klaten, 1 April 1991.
Hobinya membaca, semasa kuliah mengambil
jurusan fisika. Oca rajin mengupdate informasi
tentang gadget terbaru yang menjadi koleksinya.
Selain mengajar ia juga menekuni bisnis sebagai
hobi yang menguntungkan. Motto hidupnya faith,
hope, and love. Aktif di media sosial fb maupun
twitter Ruth evrilia Oka Mahastri/ @ruthevl
Azifatun Nazaka
Teman-temannya biasa memanggil Azif, di
sekolah pengabdiannya ia biasa dipanggil Ibu Ifa.
Lahir di Semarang, 9 Desember 1990. Penyuka
segala jenis mi ini tinggal di kaki Gunung
Ungaran, tepatnya di Desa Kenangsari. Orang
yang dikaguminya adalah guru Bahasa
Indonesianya di SMP. Azif memetik motivasi
dari sang idola cuek bebek rupo gedhek urip
mulyo. Baginya seberat apa pun permasalahan
jalani dan nikmati saja tiap liku-likunya. Setiap
hari aktif di FB: Azifatun Nazaka
Umi Rokhana
Penyuka dunia foto ini asli Wonogiri. Lahir 7
September 1990. Sulung dari lima bersaudara ini
beralamat di Tanjungsari, Kecamatan Tirtomoyo.
Setahun mengabdi di daerah penempatan
membuatnya fasih berbahasa Dona. Ketekunan
menghitung angka-angka menjadikannya guru
matematika yang disegani anak didiknya. Bisa
dihubungi via email: umi.roc@gmail.com atau
FB cuma umi cumi
Z1 | Cututun Huriun Ngudu 4
Herprimawan
Panggilan akrabnya Herpri. Dunia foto menjadi
minatnya selama ini. Objek-objek indah di tanah
Flores menjadi sasaran empuknya untuk berburu
foto. Pria ini lahir di Banjarnegara, 4 Januari
1990. Setahun berbagi ilmu dengan anak-anak
Nunumeo, tempat pengabdiannya membentuk
motto berfikir untuk waktu sekarang, bukan
besok yang belum terjadi atau kemarin yang telah
terjadi. Herpri aktif di FB: pry_hep@yahoo.co.id
Dwi Putri Nurhayati
Sehari-hari mendapat curhatan dari teman-teman
di sekitarnya menginspirasi Dwi untuk menjadi
tempat curhat yang sesungguhnya. Setahun
mengabdi ini menjadi gudang curhat anak
didiknya di SMA N 1 Golewa. Dara kelahiran
Magelang, 13 Agustus 1988 ini memiliki motto
jadikan setiap detik dalam hidup untuk belajar.
Pesan singkat kepada anak didiknya adalah jangan
pernah menyerah dengan semua keterbatasan,
karena dengan keterbatasan kita belajar tentang
keberlimpahan. FB: Dwi Putri
Chabdul Chalim
Sapaan akrabnya Halim. Pria yang punya hobi
jogging ini lahir di Yogyakarta, 11 Januari 1989.
Semangatnya untuk mengabdi di tanah Flores
berangkat dari tekad untuk tidak menyerah
sebelum mencoba. Hobinya sepak bola
memudahkannya membaur dengan masyarakat di
daerah penempatan. Halim berpegang pada motto
keep doing your thing. Lebih akrab berkenalan
dengan Halim bisa menilik FB: Abdul Halim
Z19 | Cututun Huriun Ngudu 4
M. Latiful Aziz
Menyukai ketinggian mengantarkan Aziz sampai
pada titik-titik tertinggi di Indonesia . Pria
kelahiran Bojonegoro, 20 Oktober 1986 ini
menyisipkan waktu liburnya untuk mengenal
tempat-tempat indah di Indonesia. Kecintaannya
terhadap alam memantapkan hatinya untuk
berkonsentrasi pada bidang Geografi. Pria yang
menyukai olahraga ini sehari-hari bisa dihubungi
via FB Latiful Aziz
Dyahayu Rachmawati
Wanita yang menyukai pemandangan ini biasa
disapa Ayu atau Dyah. Tidak ada hal rumit
baginya, yang penting enjoy aja menjadi pegangan
hidup Dyah. Dara asal Danguran, Klaten ini lahir
25 Januari 1989. Kecintaannya pada lingkungan
alam memilihnya untuk berkonsentrasi pada
program studi pendidikan IPA. Kesan mendalam
bagi Dyah selama di Flores adalah banyak belajar .
Email yang bisa dihubungi dy4yu.er@gmail.com
ZZ0 | Cututun Huriun Ngudu 4
Agustus 2014 adalah bulan kesebelas masa pengabdian kami
itu artinya tak lama lagi langkah ini akan segera meninggalkan
Ngada
meninggalkan tawa riang generasi emas yang telah setahun berjuang
bersama kami
Nak, kenanglah bapak ibu gurumu ini kelak saat kalian telah sukses
kita pernah menghabiskan waktu bersama, belajar bersama, dan
berbagi ilmu bersama
teruslah berjuang, teruslah bermimpi
Kini aku dan kamu akan melanjutkan perjuangan masing-masing
Kelak kita akan bertemu pada satu titik bernama kesuksesan

Anda mungkin juga menyukai