Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nilam Cahyani

No : 27

Kelas : XI pm3

Tugas bahasa Indonesia

Cerpen Panjang berjudul Badai yang Reda karya Fauzia. A

Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang
sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh dan
tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa
orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat
bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang
terbang tinggi di langit Pangandaran yang cerah ini.

Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana. Banyak
wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain layang-layang atau hanya
sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang
duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan
asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar
matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios.
Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau
masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu
kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.

Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga orang lainnya
berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru
kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal
milik Haji Miun menangkap segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy … itu pemikiran bodoh!
Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang sudah berpuluh-
puluh tahun lamanya.

Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku. Dibesarkan di
pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain
ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu.
Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi
musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum.
Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena
sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata
Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang
memantulkansinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa
kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”

Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak
Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing, mumpung
cerah katanya).”“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak
Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja,
perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah
malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah
laut.“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan
berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di
hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu.
Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk
membawanya kembali.Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang
ditumpangi Bapak berbalik lagi?

Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.Aku tidak meninggalkan
bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa
kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih
memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap
keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka
jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa
tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan
banyak ketakutan dan kekhawatiran.Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa
tubuhku dan ombak yang terus membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih
ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas
langsung menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan
sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak
kembali.Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis domestik, aku
pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang
baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan
pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak
sendiri, ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.“Suara naon
eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu? seumur hidup baru
dengar suara ombak seperti itu).”

Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan
memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku
tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?Mataku
memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak pernah sepi pembeli.
Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara
teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi
pekikkan ketakutan.“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku
bisa mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir
pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku.
Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan
ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak mengikuti alur, terhempas.
Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.“Bapak…”

Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.Di dalam kegelapan pandanganku.Suara
pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang meski aku
meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup hidung. Suara
orang-orang bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun
tidak berhenti bergerak.

Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di
ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat
dari kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana
kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.

Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan
aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki untuk
mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok kurus yang
terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus menunduk, tidak
mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi tubuhku sangat deras,
seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis
pilunya memenuhi paru-paru.

Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana untuk
menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku
hanya bisa berdiri di sini.Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan
tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya
terang.Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—tidak,
maksudku selamanya—jaga Bapak.

Anda mungkin juga menyukai