Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu
memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca
terdengar dari luar.
“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam.
“KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.
Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh
dari orang tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira
hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi ternyata, semua itu hanya
bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat
itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya.
Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat
yang saling mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di bangku
sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya
mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat. Suami yang ia
cintai, berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya,
mengkhianatinya dalam waktu yang sama.
Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat
ayahnya mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai
berdatangan sebagai tanda balas dendam. Mulai dari pecahnya kaca
jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya.
“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.
“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat
Nara beranjak dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan
demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik pintu.
“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”
Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit
Pangandaran yang cerah ini.
Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai
padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari,
rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena sering
terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah
dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak
bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar
matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah
kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.
Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut
laut, hanya saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja,
perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat
melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa
asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.
“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios
Uwak-mu sana).”
Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke
atas perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya…
sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu
sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam
itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena
air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.
Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang
ditumpangi Bapak berbalik lagi?
Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.
Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak
yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak
peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis
yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas
bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air
atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka
jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat
menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku
menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak
ketakutan dan kekhawatiran.
Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski
kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke
kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung
menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir,
tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan
merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.
Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak,
hanya turis domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir
melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai
membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan
kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian
menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah
dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.
“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos
kitu (suara apa itu? seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”
Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku
mengabaikan mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku.
Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa
mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras
itu?
Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh
sebab itu Uwak tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh
berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara
teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian,
teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.
“Bapak…”
***
Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan
mata memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak
bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai
politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan
celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.
Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut,
kumohon kali ini—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.
“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian. “Bukankah kita
disuruh-Nya taat beribadah, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita
kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”
“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus
“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia
menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang,
mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.”
“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita
peroleh,” sebuah suara menyela.
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan
dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai
pidatonya.
“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah
umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu.
Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya.
KitabMu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun
membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami
Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka
sebelum terjadi halhal yang tidak diingini, maka di sini, atas nama orang-
orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kau
jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.”
“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai
bahan tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai
menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di
wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah
silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa
ditanam?”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu
berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya,
bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu.
Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Sungguhpun anak cucu kami melarat, tapi mereka semua pintar mengaji.
Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala belaka.”
“Ada, Tuhanku.”
Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah
mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia.
Tetapi Haji Saleh ingin juga kepastian, apakah yang dikerjakannya di
dunia ini salah atau benar. Tetapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia
bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang
memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa
aku tak pergi menjenguk.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
ngeri sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
Aku mencari Ajo Sidi ke rumahnya. Tetapi aku berjumpa sama istrinya
saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Kerja.”