Anda di halaman 1dari 16

. Contoh Cerpen berjudul Hutan Merah karya Fauzia.

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan,


sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang
menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali
berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah
tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain
bersama teman-temannya di sebuah sungai.

Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan


belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah
oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru
sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

“Hei, lihat itu!”

Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang


ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu
semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama
kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah
dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik
nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik
belalai Bora dengan belalainya..

Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi
semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu
udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke
sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

“Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

“I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di
mana ibu Bora berada.

“Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin,
lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali
belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari
sekuat mungkin menuju sarangnya.
“Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung


membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari
sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

“Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan
belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa
berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

“Cepat pergi, Bora!”

“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik
belalai Bora.

“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan
menyelamatkanmu!”

“Jangan, Bora!” bentak Pipin

Kraaak! Braaak!

“IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar
itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari
sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan
hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Baca juga: Contoh Teks Editorial Singkat Beserta Strukturnya

2. Contoh Cerpen berjudul Dilema Nara karya Alya Khalisah

Nara terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah
sejak kapan terbuka. Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih
terasa sembab, sisa tangisan tadi malam.

Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang
sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.

Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes
bening air matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak
tangan yang lemah. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti
ini. Ia tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan.

Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan
kepala seolah malu dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-
bayang pepohonan dan rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang
menghalangi bayangannya.

“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya.

Nara mendongak. Wajahnya terasa familiar.

“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam. “KENAPA
KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.

Gadis itu melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. “PERGI!”

Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang
terasa nyeri karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur
keluarga orang! hardik gadis itu. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis itu di
telinganya. Tetesan bening meleleh, merayapi sudut wajahnya.

Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang
tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona
kesempurnaan. Tetapi ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang
pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua
ayahnya.

Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak
punya harga diri. Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga
Nara. Mereka tidak pernah mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera
orang yang mereka cemooh.

Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling
mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak
mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu
syok berat. Suami yang ia cintai, berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya,
mengkhianatinya dalam waktu yang sama.

Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya
mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda
balas dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk
rumahnya.

“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.

“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nara beranjak
dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada
mulai terdengar dari balik pintu.
“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”

Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh
untuk mengubur kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah
rumah hanyalah bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan
pikirannya telah menyatu dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Nara selama
ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam damai seperti sebelumnya.

Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina. Gadis itu ingi ia
lenyap dari dunia ini. Ia ingin Nara musnah. Nara tahu apa artinya itu.

Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang
terlontar dari ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu
cepat.

Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau
kesukaannya. Awalnya, ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil
memeluknya. Awalnya, ia ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih
lama lagi. Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri atas segala risiko
perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya
itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nara
tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik. Inilah yang
diinginkan semua orang.

Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema
bebas dan damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima
berbagai bentuk kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan
hidup dalam kedamaian yang dirindukan.

Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang
mengalir di sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari
tubuhnya, menuntun gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan
membawanya menuju keabadian.

Baca juga: Contoh Teks Laporan Hasil Observasi, Pengertian & Struktur

3. Contoh Cerpen Panjang berjudul Badai yang Reda karya Fauzia. A

Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian


burung yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat
mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali
kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa orang yang kukenal
mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat
bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.
Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit
Pangandaran yang cerah ini.

Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-
mana. Banyak wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu
bermain layang-layang atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan
Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak
Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin
yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang
kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap
bertahan duduk di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing
yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Imas
akan menyuruhku untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya
bisa “yes” dan “no”.

Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga
orang lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah
berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-
siap ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap
segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy … itu pemikiran bodoh! Satu-
satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang
sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku.


Dibesarkan di pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari
orang lain. Di saat orang lain ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing
ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut membenci laut. Aku
takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi musuhku dan
melenyapkan segala yang kucintai.

Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil
tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—
bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar,
meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat
tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari.
Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa kakiku
bergetar melihat Beliau sekarang.

“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”

Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang.
Iyeu Pak Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir
ngajak mancing, mumpung cerah katanya).”

“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut,
hanya saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini
sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah
malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di
tengah badai, di tengah laut.

“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu
sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas
perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti
melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua
belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak
pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya
kembali.

Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi
Bapak berbalik lagi?

Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.

Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah
tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar
menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai
sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap
keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin
sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat
menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap
laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan
kekhawatiran.

Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak
yang terus membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski
kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak
Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku dengan
semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus
menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak
kembali.

Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis
domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima
ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas
tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar,
dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi
Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.

“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa
itu? seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”
Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan
mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara
radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak
bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?

Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak
tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat
lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini.
Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.

“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak


Imas, kini aku bisa mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak,
lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak
bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya tertahan
sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan
ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak mengikuti
alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian
tubuhku.

“Bapak…”

Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.

Di dalam kegelapan pandanganku.

***

Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak
mudah hilang meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru,
serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling
berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak
berhenti bergerak.

Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata
memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar
suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun
yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana kain hitamnya. Ia
meremas topi yang tadi siang ia kenakan.

Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan


kehampaannya. Dan aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata
atau bahkan menggerakan kaki untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar,
perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok kurus yang terbujur kaku. Lalu,
seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus menunduk, tidak
mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi
tubuhku sangat deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya
menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.
Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela
berbaring di sana untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak,
semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku,


menyisakan tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan
itu pun berubah menjadi cahaya terang.

Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon
kali ini—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.

4. Contoh Cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis

Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temannya di dunia
terpanggang panas, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka tak kurang
ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan, ada salah seorang yang telah sampai empat
belas kali ke Mekah dan bergelar Syeh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu
bertanya kenapa mereka di neraka semuanya. Tetapi sebagaimana Haji Saleh,
orang-orang itu pun tak mengerti juga.

“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian. “Bukankah kita disuruh-Nya
taat beribadah, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup
kita. Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”

“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita
semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.”

“Ini sungguh tidak adil.”

“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus

mengingatkan Tuhan, kalau-kalau ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”

“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara


melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.

“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi
pemimpin gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.”

“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,”
sebuah suara menyela.

“Setuju! Setuju! Setuju!” mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu, mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya,


“ Kalian mau apa?”

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan
suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya.

“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu
yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang
yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan
keadilan-Mu, dan lain-lainnya. KitabMu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat
sedikit pun membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami
Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi
halhal yang tidak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu,
kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan
memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.”

“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.

“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”

“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”

“Ya. Benarlah itu, Tuhanku.”

“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan
tambang lainnya, bukan?”

“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai menjawab
serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan
yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada
mereka itu.

“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”

“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”

“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat itu?”

“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”

“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat
penjajah penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke negerinya,
bukan?”

“Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka
itu.”

“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”

“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu. Yang
penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”

“Engkau rela tetap melarat, bukan?”

“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”

“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”

“Sungguhpun anak cucu kami melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala belaka.”

“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”

“Ada, Tuhanku.”

“Kalau ada, mengapa biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua? Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak
cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri engkau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat.
Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin? Engkau kira aku ini suka
pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan
menyembah-Ku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka! Hai malaikat,
halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.”

Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka
sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia.

Tetapi Haji Saleh ingin juga kepastian, apakah yang dikerjakannya di dunia ini salah
atau benar. Tetapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.

“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya


Haji Saleh.

“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, hingga
mereka itu kucar-kacir selamanya.. Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu
egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
mempedulikan mereka sedikit pun.”

Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan
Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak
pergi menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang ngeri
sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah secepatnya


meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku mencari Ajo Sidi ke rumahnya. Tetapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku
tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,” dan sekarang ke
mana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya. Dia pergi kerja.”***

5. Cerpen berjudul Pejuang karya Maria Maghdalena Bhoernomo

Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di
bajunya. Di mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi
penampilannya.

Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di


masa penjajahan sebelum bangsa dan negara ini

merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur


karena mendapat karunia umur panjang. Ia bisa
menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.

Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan.
Tapi ia juga sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan
keadaan negara ini semakin miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi
semua pengelola negara.

Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan


asing yang berkolaborasi dengan elite

politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis seperti para
pengkhianat bangsa sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan,
para pengkhianat bangsa menjadi mata-mata Kompeni.

Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka
mendapat berbagai fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-
perempuan cantik. Ia tiba-tiba teringat pengalamannya membantai sejumlah
pengkhianat bangsa di masa penjajahan.

Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari
pengkhianat bangsa yang telah tega mengorbankan siapa saja demi keuntungan
pribadi. ”Para pengkhianat bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding
Kompeni. Mereka tak pantas hidup di negara sendiri. Kita harus menumpasnya
sampai habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang karena sudah nyatanyata
berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut bergerilya di
tengah hutan.

Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas kaum pengkhianat bangsa. Ia


berjuang sendirian menumpas kaum pengkhianat bangsa. Dengan menyamar
sebagai penjual tape singkong dan air perasan tape singkong yang bisa diminum
sebagai pengganti arak atau tuak,ia mendatangi rumah-rumah kaum pengkhianat
bangsa. Banyak pengkhianat bangsa yang gemar membeli air perasan tape
singkong.

Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu


dendam kepada kaum pengkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan
cara apa saja. Dan ia memilih cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk
menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan tape singkong sengaja dibubuhi
racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya berkebangsaan Tionghoa yang
sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air
perasan tape singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jam setelah
meminumnya, maka si peminum akan tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu,
betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu persatu setelah menenggak air
perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.

Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan


jantung. Dukun-dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati
akibat terkena santet. Pemukapemuka agama yang mencoba menolong mereka
menduga mereka mati akibat kutukan Tuhan karena mereka telah banyak berbuat
dosa.

6. Contoh Cerita Pendek berjudul Persahabatan Sejati

Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga
sahabatku yaitu Aris, Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.

Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang
dimasukkan ke dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah
pohon yang nantinya surat tersebut akan kami buka saat kami menerima hasil ujian
kelulusan.

Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan
hasilnya kita berempat lulus semua.

Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi
dan menggali tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.

Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu
pernah kami tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama
untuk selamanya.”

Keesokan hari, Aris berencana untuk merayakan kelulusan kami berempat.

Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu tempat dan disitulah saat-saat
yang tidak bisa aku lupakan karena aris berencana untuk menyatakan perasaannya
kepadaku. Akhirnya aku dan Anis berpacaran.

Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh
malam yang istimewa untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.

Ketika perjalanan pulang, entah mengapa perasaanku tidak enak.

“Perasaanku nggak enak banget ya?” Ucapku penuh cemas.

“Udahlah Ndi, santai aja, kita nggak bakalan kenapa-kenapa” jawab Andri dengan
santai.

Tidak lama setelah itu, hal yang dikhawatirkan Nindi terjadi.

“Arissss awasss! di depan ada juang!” Teriak Nindi.

“Aaaaaaaaaa!!!”

Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa
menahan air mata yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.
Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di
sampingku.

“Nindi.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku.

“Ibu.. aku di mana? Di mana Ana, Andri, dan Aris?” tanyaku.

“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Andri dan aris tidak tertolong di
lokasi kecelakaan” Jawab ibu sambil menitikkan air mata.

Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti
mendengar pernyataan ibu.

“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku
cinta kamu, tapi kamu ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.”
batinku berkata.

Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami
bisa menghabiskan waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya
angan-angan. Aku berjanji akan selalu mengenang kalian.

7. Contoh Cerpen berjudul Ketika Laut Marah karya Widya Suwarna

Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan
lebat turun. Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-
olah memberi tanda bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan,
bintang-bintang pun seolah tak berani menampakkan diri.

Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari


bersusah hati. Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya
yang hanya satu dua gram untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak
punya benda berharga terpaksa meminjam pada lintah darat.

Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang
menikah, tak ada yang ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus
hanyalah nelayan biasa, seperti para tetangganya.

Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa
macam lauk-pauk banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang
berkekurangan untuk makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak
yang lapar tak terdengar lagi, diganti dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.

Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal
20.000. Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga,
besok kita sudah tak punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”
Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar
rumah, memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana
segumpal awan hitam menjanjikan cuaca buruk nanti petang.

Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan
berbelanja. Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan
dirisaukan.”

Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh
pada perintah suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun.
Sementara itu Pak Yus masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan
memberikan cuaca yang baik nanti petang dan malam. Dengan demikian para
nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada cukup makanan untuk
seisi desa.

Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah
selesai, mereka menyalami Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih.

“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang
menggendong adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh
harap.

Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap,
dengan suaranya yang besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu
makan di rumahmu dan semua anak ini akan makan enak di rumahnya masing-
masing.”

Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus
nelayan berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan
para nelayan akan panen ikan.

Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut
tenang, angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan.
Segumpal awan hitam yang menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi
tanpa pamit.

Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang.
Para nelayan berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu
mereka menuju pantai dan disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.

Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua
nelayan itu mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak
makan di rumah ibunya masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus
memanjatkan doa syukur.

8. Contoh Cerpen berjudul Koin Hitam karya Agus Noor


Kupandangi koin perak yang telah menghitam itu. Tergeletak di meja. Kau tahu,
sejak dulu aku tak mau keping koin itu. Tapi tiap kali aku datang ke rumahmu
hendak mengembalikannya, yang ada hanya istrimu. Senyumnya yang manis
menyuruhku masuk, matanya yang gelisah melirik ke halaman, takut ada yang
memergoki.

Setelah kau mati, aku pun sudah berusaha membuang jauh-jauh koin itu berkali-kali.
Membuangnya ke selokan. Membuangnya ke tempat sampah. Bahkan sampai jauh
ke luar kota. Tapi koin itu selalu saja kembali. Begitu saja: tiba-tiba sudah tergeletak
di meja.

9. Contoh Cerpen tentang Kucing Lucu

Anda mungkin juga menyukai