Anda di halaman 1dari 8

15 Contoh Cerpen Singkat berbagai Tema

yang Seru dan Menarik


Fauzia Astuti

November 6, 2023 • 33 minutes read

Cerpen merupakan prosa pendek yang terdiri tidak lebih dari 10.000 kata, dan hanya memiliki
konflik tunggal. Ada beberapa contoh cerpen yang bisa kamu jadikan bahan belajar. Yuk simak!

Waktu sekolah dulu, jujur aja aku suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi kalau
udah disuruh menulis dan membaca cerpen. Ibaratnya, mengarang cerpen itu sama saja dengan
menerapkan seluruh ilmu yang kamu pelajari di pelajaran Bahasa Indonesia. Seperti contohnya,
tanda baca, berbagai imbuhan, ataupun penerapan jenis-jenis teks.

Nah, bagi kamu yang juga suka membaca cerpen, yuk lihat beberapa contoh cerpen singkat dari
berbagai macam tema yang seru dan menarik berikut ini.
Pengertian Cerpen
Jadi … cerpen itu apa, sih? Cerpen itu singkatan dari “cerita pendek”. Seperti namanya, cerpen
adalah bentuk prosa fiksi singkat yang memiliki konflik tunggal. Kalau mau gampangnya,
sih, cerpen itu cerita fiksi yang sekali habis, mulai dari pengenalan tokoh, konflik, sampai
penyelesaian. Panjang cerpen juga nggak boleh lebih dari 10.000 kata, loh.

Jenis-Jenis Cerpen
Cerpen sendiri memiliki tiga jenis, yaitu:

1. Cerpen Pendek

Loh, kan cerpen itu udah “pendek”, apa ada yang lebih pendek? Hehe, seperti namanya, cerpen
pendek hanya terdiri dari 500 – 700 kata. Bahkan, terkadang ada juga yang menyebutnya dengan
ficlet.

2. Cerpen Sedang

Cerpen sedang adalah cerita yang memiliki panjang 700 – 1000 kata.

3. Cerpen Panjang

Cerpen ini tersusun lebih dari 1000 kata. Bahkan ada yang sampai mencapai 5000 – 10.000 kata.

Baca juga: Memahami Ciri-ciri, Struktur, dan Contoh Cerita Pendek

Psst, udah tau belum kalau di Aplikasi belajar Ruangguru, ada fitur Drill Soal? Aplikasi ini
berisi kumpulan contoh soal latihan beserta pembahasannya, loh. Pas banget buat kamu
mempersiapkan ujian. Langsung aja cobain dengan klik banner di bawah ini!

Contoh Cerpen
Supaya lebih paham, ada beberapa contoh cerita pendek yang bisa kamu jadikan acuan dalam
belajar. Yuk, disimak!

1. Contoh Cerpen berjudul Hutan Merah karya Fauzia. A

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga


hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk
alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa
penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang
sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia


pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari
sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak
Bora kenal.

“Hei, lihat itu!”


Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk
Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus
menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini
yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring,
“Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora
dengan belalainya..

Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan.
Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat
para hewan makin berteriak nyaring.

Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari,
mencari sosok ibunya.

“Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

“I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu
Bora berada.

“Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik
untuk kembali ke sarangnya.

Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya.
“Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat
mungkin menuju sarangnya.

“Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan
mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar
di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

“Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan
belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.
“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti
itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

“Cepat pergi, Bora!”

“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai
Bora.

“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

“Jangan, Bora!” bentak Pipin

Kraaak! Braaak!

“IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh
dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak
ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi
sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Baca juga: Contoh Teks Editorial Singkat Beserta Strukturnya

2. Contoh Cerpen berjudul Dilema Nara karya Alya Khalisah

Nara terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah sejak kapan
terbuka. Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa
tangisan tadi malam.

Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang sekeliling
kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.

Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes bening air
matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah.
Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat hidup dalam
lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan.

Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan kepala seolah
malu dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan
rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang menghalangi bayangannya.

“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya.
Nara mendongak. Wajahnya terasa familiar.

“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam. “KENAPA KAMU
HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.

Gadis itu melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. “PERGI!”

Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa nyeri
karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga orang! hardik
gadis itu. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya. Tetesan bening meleleh,
merayapi sudut wajahnya.

Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang tua. Ia hidup
berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi
ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat
itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya.

Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak punya harga
diri. Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nara. Mereka tidak pernah
mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang yang mereka cemooh.

Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling mengaitkan
janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri
pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat. Suami yang ia cintai,
berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya, mengkhianatinya dalam waktu yang sama.

Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya
mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas
dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya.

“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.

“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nara beranjak dari posisi
yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari
balik pintu.

“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”

Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh untuk
mengubur kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah rumah hanyalah
bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu
dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Nara selama ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam
damai seperti sebelumnya.

Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina. Gadis itu ingi ia lenyap dari
dunia ini. Ia ingin Nara musnah. Nara tahu apa artinya itu.
*

Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari
ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu cepat.

Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya.
Awalnya, ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil memeluknya. Awalnya, ia
ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama lagi. Namun, saat ia menutup mata
dan menguatkan diri atas segala risiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari
dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil
mati. Kemudian Nara tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik.
Inilah yang diinginkan semua orang.

Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema bebas dan
damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk
kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian
yang dirindukan.

Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir di
sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuhnya, menuntun
gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.

Baca juga: Contoh Teks Laporan Hasil Observasi, Pengertian & Struktur

3. Contoh Cerpen berjudul Pejuang karya Maria Maghdalena Bhoernomo

Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di
mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.

Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa penjajahan
sebelum bangsa dan negara ini

merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat
karunia umur panjang. Ia bisa

menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.

Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia juga
sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini semakin
miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.

Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang
berkolaborasi dengan elite
politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis seperti para pengkhianat bangsa
sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan, para pengkhianat bangsa menjadi
mata-mata Kompeni.

Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka mendapat
berbagai fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-perempuan cantik. Ia tiba-
tiba teringat pengalamannya membantai sejumlah pengkhianat bangsa di masa penjajahan.

Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat
bangsa yang telah tega mengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para pengkhianat
bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak pantas hidup di
negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang
karena sudah nyatanyata berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut
bergerilya di tengah hutan.

Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas kaum pengkhianat bangsa. Ia berjuang sendirian


menumpas kaum pengkhianat bangsa. Dengan menyamar sebagai penjual tape singkong dan air
perasan tape singkong yang bisa diminum sebagai pengganti arak atau tuak,ia mendatangi
rumah-rumah kaum pengkhianat bangsa. Banyak pengkhianat bangsa yang gemar membeli air
perasan tape singkong.

Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam kepada
kaum pengkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia memilih
cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan
tape singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya berkebangsaan
Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air perasan tape
singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jam setelah meminumnya, maka si peminum
akan tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu
persatu setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.

Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung. Dukun-
dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena santet.
Pemukapemuka agama yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat kutukan
Tuhan karena mereka telah banyak berbuat dosa.

Anda mungkin juga menyukai