Anda di halaman 1dari 24

Menu

Logo

Search for:

Cari artikel di sini!

Brainies Bertanya

Materi Belajar

Pojok Sekolah

15 Contoh Cerpen Singkat berbagai Tema yang Seru dan Menarik

Fauzia Astuti

November 6, 2023 • 33 minutes read

Contoh-cerpen-berdasarkan-jenisnya

Cerpen merupakan prosa pendek yang terdiri tidak lebih dari 10.000 kata, dan hanya memiliki konflik
tunggal. Ada beberapa contoh cerpen yang bisa kamu jadikan bahan belajar. Yuk simak!

Waktu sekolah dulu, jujur aja aku suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi kalau udah
disuruh menulis dan membaca cerpen. Ibaratnya, mengarang cerpen itu sama saja dengan
menerapkan seluruh ilmu yang kamu pelajari di pelajaran Bahasa Indonesia. Seperti contohnya, tanda
baca, berbagai imbuhan, ataupun penerapan jenis-jenis teks.

Nah, bagi kamu yang juga suka membaca cerpen, yuk lihat beberapa contoh cerpen singkat dari
berbagai macam tema yang seru dan menarik berikut ini.
Pengertian Cerpen

Jadi … cerpen itu apa, sih? Cerpen itu singkatan dari “cerita pendek”. Seperti namanya, cerpen adalah
bentuk prosa fiksi singkat yang memiliki konflik tunggal. Kalau mau gampangnya, sih, cerpen itu cerita
fiksi yang sekali habis, mulai dari pengenalan tokoh, konflik, sampai penyelesaian. Panjang cerpen juga
nggak boleh lebih dari 10.000 kata, loh.

Jenis-Jenis Cerpen

Cerpen sendiri memiliki tiga jenis, yaitu:

1. Cerpen Pendek

Loh, kan cerpen itu udah “pendek”, apa ada yang lebih pendek? Hehe, seperti namanya, cerpen
pendek hanya terdiri dari 500 – 700 kata. Bahkan, terkadang ada juga yang menyebutnya dengan ficlet.

2. Cerpen Sedang

Cerpen sedang adalah cerita yang memiliki panjang 700 – 1000 kata.

3. Cerpen Panjang

Cerpen ini tersusun lebih dari 1000 kata. Bahkan ada yang sampai mencapai 5000 – 10.000 kata.

Baca juga: Memahami Ciri-ciri, Struktur, dan Contoh Cerita Pendek

2
Psst, udah tau belum kalau di Aplikasi belajar Ruangguru, ada fitur Drill Soal? Aplikasi ini berisi
kumpulan contoh soal latihan beserta pembahasannya, loh. Pas banget buat kamu mempersiapkan
ujian. Langsung aja cobain dengan klik banner di bawah ini!

“Drill

Contoh Cerpen

Supaya lebih paham, ada beberapa contoh cerita pendek yang bisa kamu jadikan acuan dalam belajar.
Yuk, disimak!

1. Contoh Cerpen berjudul Hutan Merah karya Fauzia. A

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya
menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi
riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan
yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik
bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun
memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara
hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

“Hei, lihat itu!”

Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo.
Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu
merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu,
langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

3
Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan
terbakar! Hutan terbakar!”

Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan
belalainya..

Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap
hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan
makin berteriak nyaring.

Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari,
mencari sosok ibunya.

“Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

“I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora
berada.

“Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk
kembali ke sarangnya.

Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu
pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin
menuju sarangnya.

“Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan
mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di
setiap pohon di dekat sarangnya itu.

4
“Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya,
menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu?
Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

“Cepat pergi, Bora!”

“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

“Jangan, Bora!” bentak Pipin

Kraaak! Braaak!

“IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan
kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi
hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah
menjadi hutan merah yang sangat panas.

Baca juga: Contoh Teks Editorial Singkat Beserta Strukturnya

5
2. Contoh Cerpen berjudul Dilema Nara karya Alya Khalisah

Nara terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah sejak kapan terbuka.
Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa tangisan tadi
malam.

Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang sekeliling kamar,
dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.

Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes bening air matanya
bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah. Rasanya ia sudah tak
sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan yang
menggiringnya menuju kegilaan.

Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan kepala seolah malu
dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan rumah. Nara
berhenti melangkah saat seseorang menghalangi bayangannya.

“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya.

Nara mendongak. Wajahnya terasa familiar.

“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam. “KENAPA KAMU HARUS
LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.

Gadis itu melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. “PERGI!”

Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa nyeri karena
tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga orang! Hardik gadis itu. Nara
terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya. Tetesan bening meleleh, merayapi sudut
wajahnya.

Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang tua. Ia hidup
berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi ternyata,

6
semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia
menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya.

Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak punya harga diri.
Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nara. Mereka tidak pernah mau tahu
separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang yang mereka cemooh.

Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling mengaitkan janji
satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya
mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat. Suami yang ia cintai, berpaling darinya. Sahabat
yang paling ia percaya, mengkhianatinya dalam waktu yang sama.

Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya mengungkapkan hal
itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas dendam. Mulai dari pecahnya
kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya.

“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.

“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nara beranjak dari posisi yang
nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik pintu.

“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”

Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh untuk mengubur
kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah rumah hanyalah bentuk pelarian diri.
Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu dengan frustasi
berkepanjangan yang diderita Nara selama ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam damai seperti
sebelumnya.

Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina. Gadis itu ingi ia lenyap dari dunia ini.
Ia ingin Nara musnah. Nara tahu apa artinya itu.

Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari ayah
dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu cepat.

7
Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya. Awalnya,
ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil memeluknya. Awalnya, ia ingin merasakan
rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama lagi. Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri
atas segala risiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya
itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nara tahu,
kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik. Inilah yang diinginkan semua
orang.

Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema bebas dan damai
berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk kekerasan mental
dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian yang dirindukan.

Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir di sekujur
tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuhnya, menuntun gadis kecil itu
menuju dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.

Baca juga: Contoh Teks Laporan Hasil Observasi, Pengertian & Struktur

3. Contoh Cerpen Panjang berjudul Badai yang Reda karya Fauzia. A

Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang sedang
bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi
tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa orang
yang kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas,
tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.

Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran yang cerah ini.

Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana. Banyak
wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain layang-layang atau
hanya sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri
sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena
pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup.
Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios.
Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak
mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia
tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.

8
Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga orang lainnya
berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru
kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal
milik Haji Miun menangkap segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy … itu pemikiran bodoh!
Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang sudah berpuluh-
puluh tahun lamanya.

Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku. Dibesarkan di pesisir
pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain ketakutan
melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut
membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi musuhku dan
melenyapkan segala yang kucintai.

Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum. Kulitnya
hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena sering
terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak
yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar
matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa kakiku bergetar melihat
Beliau sekarang.

“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”

Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak Sudir
ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing, mumpung
cerah katanya).”

“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja… seperti
ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—
terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan
rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.

“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan berlayar
bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu.

9
Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan
sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk
membawanya kembali.

Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik
lagi?

Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.

Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata.
Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan
turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali
mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin
sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan.
Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan temanku.
Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.

Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus
membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih ada,
aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas
langsung menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan
sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.

Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis domestik, aku pun
mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru
selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu
pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri,
ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.

“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu? Seumur
hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”

Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan
memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi
aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?

10
Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak pernah sepi
pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas
bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian, teriakan
bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.

“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku bisa
mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai
ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku.
Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan
ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak mengikuti alur, terhempas.
Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.

“Bapak…”

Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.

Di dalam kegelapan pandanganku.

Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang
meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup
hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa
lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.

Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di ujung sana.
Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari
kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana kain
hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.

Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan aku
hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki untuk
mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok kurus yang
terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus menunduk, tidak
mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi tubuhku sangat
deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya menggapai-gapai sesuatu dengan
isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.

11
Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana
untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan bodohnya,
aku hanya bisa berdiri di sini.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan tangis
pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya
terang.

Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—tidak,
maksudku selamanya—jaga Bapak.

4. Contoh Cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis

Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temannya di dunia terpanggang
panas, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua
orang yang dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan, ada salah seorang yang
telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar Syeh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka,
lalu bertanya kenapa mereka di neraka semuanya. Tetapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun
tak mengerti juga.

“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian. “Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadah,
teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan ke
neraka.”

“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat.”

“Ini sungguh tidak adil.”

“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

12
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus

Mengingatkan Tuhan, kalau-kalau ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”

“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.

“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.

“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan
revolusioner.

“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi
menghadap Tuhan.”

“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara
menyela.

“Setuju! Setuju! Setuju!” mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu, mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, “ Kalian mau
apa?”

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya.

“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu,
memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. KitabMu kami hafal di
luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah
kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi halhal yang
tidak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman

13
yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang
Engkau janjikan dalam kitab-Mu.”

“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.

“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”

“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”

“Ya. Benarlah itu, Tuhanku.”

“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya,
bukan?”

“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar
kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan
telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”

“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”

“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat itu?”

“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”

“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah penjajah itu,
Tuhanku.”

“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke negerinya, bukan?”

14
“Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”

“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu
orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”

“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah
menyembah dan memuji Engkau.”

“Engkau rela tetap melarat, bukan?”

“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”

“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”

“Sungguhpun anak cucu kami melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di
luar kepala belaka.”

“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”

“Ada, Tuhanku.”

“Kalau ada, mengapa biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua? Sedang harta
bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka
berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau negeri yang kaya raya,
tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat.
Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin? Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk
disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja. Tidak. Kamu semua
mesti masuk neraka! Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.”

Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang
diridai Allah di dunia.

15
Tetapi Haji Saleh ingin juga kepastian, apakah yang dikerjakannya di dunia ini salah atau benar. Tetapi
ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.

“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,
melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, hingga mereka itu kucar-kacir selamanya.. Itulah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya,
tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”

Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang ngeri sekali. Ia menggorok
lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah secepatnya meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.

Aku mencari Ajo Sidi ke rumahnya. Tetapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

16
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,”
tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak
sedikit pun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya. Dia pergi kerja.”***

5. Cerpen berjudul Pejuang karya Maria Maghdalena Bhoernomo

Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di mana saja
berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.

Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa penjajahan
sebelum bangsa dan negara ini

Merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat
karunia umur panjang. Ia bisa

Menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.

Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia juga sering
meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini semakin miskin
akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.

Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang
berkolaborasi dengan elite

17
Politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis seperti para pengkhianat bangsa
sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan, para pengkhianat bangsa menjadi mata-
mata Kompeni.

Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka mendapat berbagai
fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-perempuan cantik. Ia tiba-tiba teringat
pengalamannya membantai sejumlah pengkhianat bangsa di masa penjajahan.

Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat bangsa
yang telah tega mengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para pengkhianat bangsa adalah
musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak pantas hidup di negara sendiri. Kita harus
menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang karena sudah nyatanyata
berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut bergerilya di tengah hutan.

Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas kaum pengkhianat bangsa. Ia berjuang sendirian


menumpas kaum pengkhianat bangsa. Dengan menyamar sebagai penjual tape singkong dan air
perasan tape singkong yang bisa diminum sebagai pengganti arak atau tuak,ia mendatangi rumah-
rumah kaum pengkhianat bangsa. Banyak pengkhianat bangsa yang gemar membeli air perasan tape
singkong.

Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam kepada kaum
pengkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia memilih cara paling
mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan tape singkong
sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya berkebangsaan Tionghoa yang sangat
mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air perasan tape
singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jam setelah meminumnya, maka si peminum akan
tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu persatu
setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.

Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung. Dukun-dukun
yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena santet. Pemukapemuka agama
yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat kutukan Tuhan karena mereka telah
banyak berbuat dosa.

6. Contoh Cerita Pendek berjudul Persahabatan Sejati

18
Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga sahabatku yaitu Aris,
Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.

Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang dimasukkan ke dalam
sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah pohon yang nantinya surat tersebut akan kami
buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.

Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan hasilnya kita
berempat lulus semua.

Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi dan menggali tepat di
mana botol yang dahulu dikubur berada.

Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu pernah kami tulis.
Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”

Keesokan hari, Aris berencana untuk merayakan kelulusan kami berempat.

Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu tempat dan disitulah saat-saat yang tidak bisa aku
lupakan karena aris berencana untuk menyatakan perasaannya kepadaku. Akhirnya aku dan Anis
berpacaran.

Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh malam yang istimewa
untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.

Ketika perjalanan pulang, entah mengapa perasaanku tidak enak.

“Perasaanku nggak enak banget ya?” Ucapku penuh cemas.

“Udahlah Ndi, santai aja, kita nggak bakalan kenapa-kenapa” jawab Andri dengan santai.

Tidak lama setelah itu, hal yang dikhawatirkan Nindi terjadi.

19
“Arissss awasss! Di depan ada juang!” Teriak Nindi.

“Aaaaaaaaaa!!!”

Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa menahan air mata yang
terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.

Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di sampingku.

“Nindi.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku.

“Ibu.. aku di mana? Di mana Ana, Andri, dan Aris?” tanyaku.

“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Andri dan aris tidak tertolong di lokasi kecelakaan”
Jawab ibu sambil menitikkan air mata.

Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti mendengar
pernyataan ibu.

“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku cinta kamu, tapi kamu
ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.” Batinku berkata.

Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami bisa menghabiskan
waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya angan-angan. Aku berjanji akan selalu
mengenang kalian.

7. Contoh Cerpen berjudul Ketika Laut Marah karya Widya Suwarna

Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun. Gemuruh
gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda bahwa alam sedang
murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani menampakkan diri.

20
Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati. Ibu-ibu
nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram untuk membeli
kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga terpaksa meminjam pada lintah darat.

Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah, tak ada yang
ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa, seperti para
tetangganya.

Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-pauk
banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk makan di
rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar lagi, diganti dengan perut
kenyang dan wajah berseri-seri.

Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal 20.000. Kalau hari
ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak punya uang. Belum
tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”

Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah, memandang ke
arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam menjanjikan cuaca
buruk nanti petang.

Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja. Seperti
kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.”

Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh pada perintah
suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus masuk ke
kamar dan berdoa. La mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang dan malam.
Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada cukup makanan
untuk seisi desa.

Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka
menyalami Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih.

“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang menggendong
adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap.

21
Ibu Yus tersenyum sedih. La tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya
yang besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu makan di rumahmu dan semua anak ini
akan makan enak di rumahnya masing-masing.”

Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan
berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para nelayan akan panen
ikan.

Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang, angin
bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam yang menjanjikan
cuaca buruk sirna entah ke mana. La pergi tanpa pamit.

Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan
berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai dan
disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.

Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu
mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah ibunya
masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan doa syukur.

8. Contoh Cerpen berjudul Koin Hitam karya Agus Noor

Kupandangi koin perak yang telah menghitam itu. Tergeletak di meja. Kau tahu, sejak dulu aku tak mau
keping koin itu. Tapi tiap kali aku datang ke rumahmu hendak mengembalikannya, yang ada hanya
istrimu. Senyumnya yang manis menyuruhku masuk, matanya yang gelisah melirik ke halaman, takut
ada yang memergoki.

Setelah kau mati, aku pun sudah berusaha membuang jauh-jauh koin itu berkali-kali. Membuangnya ke
selokan. Membuangnya ke tempat sampah. Bahkan sampai jauh ke luar kota. Tapi koin itu selalu saja
kembali. Begitu saja: tiba-tiba sudah tergeletak di meja.

9. Contoh Cerpen tentang Kucing Lucu bernama Katty

22
Aku punya kucing yang lucu dan manis. Namanya adalah Katty. Dia berwarna putih dengan corak abu-
abu di tubuhnya. Dia memiliki telinga dan mata yang bulat. Kucingku juga sangat suka makan dan tidur
seharian.

Katty adalah teman baikku. Dia selalu menemaniku untuk bermain di rumah setelah aku pulang. Dia
suka mengendus-endus dan berlari-lari di sekitarku. Katty juga suka dielus dan dipeluk. Dia sangat
jinak dan tidak pernah menggigit ataupun mencakar.

Aku sangat sayang Katty. Aku selalu merawatnya dengan baik. Aku pun sering memberi makan dan
minum yang cukup. Tidak lupa, aku pun sering membersihkan kandangnya setiap hari. Dan juga
membawanya ke dokter hewan saat Katty sakit.

Katty adalah kucing yang lucu dan manis. Aku sangat beruntung memiliki dia sebagai temanku. Aku
berharap dia bisa hidup lama dan sehat selalu.

10. Contoh Cerita Pendek tema Pendidikan

Ada seorang anak bernama Gema, dia merupakan murid kelas 6 SD yang sangat pintar dan baik hati.
Di sekolah sangat banyak teman yang menyukainya karena sikapnya tersebut.

Tidak jarang, semua ingin berteman dengan Gema. Ada lagi anak perempuan bernama Nurul, ia
berbanding terbalik dengan Gema. Ia pintar namun sangat sombong. Temannya hanya dua yaitu
Mawar dan Melati, gadis kembar di sekolahnya.

Suatu hari, Ibu guru mengumumkan bahwa akan ada perlombaan membaca pidato dua minggu lagi. Bu
Yati selaku wali kelas 6 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin ikut seleksi.

Gema dan Nurul jelas ikut berpartisipasi. Setiap hari mereka selalu latihan membaca pidato agar lolos
seleksi. Sampai hari penyeleksian tiba, keduanya memberikan tampilan yang memukau lalu dinyatakan
lolos.

Saat hari perlombaan tiba, Nurul terus saja membanggakan dirinya, menyatakan bahwa pasti ia akan
juara. Sebab sebelumnya dia juga pernah menjadi juara waktu kelas 5 SD di lomba pidato.

23
Berbeda dengan Gema, ia tidak henti-hentinya berdoa dan berlatih, mencoba menghafal kembali teks
pidato. Ita pun dipanggil lebih dulu, sang juara kelas 5 SD kini mendadak lupa teks pidato yang sudah
dihafalnya.

Setelah itu, Gema maju dan memberikan penampilan yang sangat bagus. Semua juri kagum termasuk
Bu Yati yang saat itu datang untuk menemani mereka lomba.

Pengumuman pun tiba, Gema keluar menjadi juara 1 sedangkan Nurul harus menahan air matanya
karena dia tidak menang sama sekali

24

Anda mungkin juga menyukai