Anda di halaman 1dari 10

Hutan Merah karya Fauzia.

Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga


hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk
alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa
penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang
sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.
Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia
pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari
sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak
Bora kenal.
“Hei, lihat itu!”
Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk
Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus
menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini
yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.
Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring,
“Hutan terbakar! Hutan terbakar!”
Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!
“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora
dengan belalainya..
Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan.
Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat
para hewan makin berteriak nyaring.
Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari,
mencari sosok ibunya.
“Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.
“I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu
Bora berada.
“Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik
untuk kembali ke sarangnya.
Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya.
“Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”
Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat
mungkin menuju sarangnya.
“Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.
Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan
mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar
di setiap pohon di dekat sarangnya itu.
“Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.
“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan
belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.
“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti
itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?
“Cepat pergi, Bora!”
“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai
Bora.
“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”
“Jangan, Bora!” bentak Pipin
Kraaak! Braaak!
“IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh
dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.
“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.
Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak
ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi
sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.
Pejuang karya Maria Maghdalena Bhoernomo

Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di
mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.

Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa penjajahan
sebelum bangsa dan negara ini

merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat
karunia umur panjang. Ia bisa

menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.

Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia juga
sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini semakin
miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.

Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang
berkolaborasi dengan elite

politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis seperti para pengkhianat bangsa
sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan, para pengkhianat bangsa menjadi
mata-mata Kompeni.

Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka mendapat
berbagai fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-perempuan cantik. Ia tiba-
tiba teringat pengalamannya membantai sejumlah pengkhianat bangsa di masa penjajahan.

Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat
bangsa yang telah tega mengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para pengkhianat
bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak pantas hidup di
negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang
karena sudah nyatanyata berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut
bergerilya di tengah hutan.

Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas kaum pengkhianat bangsa. Ia berjuang sendirian


menumpas kaum pengkhianat bangsa. Dengan menyamar sebagai penjual tape singkong dan air
perasan tape singkong yang bisa diminum sebagai pengganti arak atau tuak,ia mendatangi
rumah-rumah kaum pengkhianat bangsa. Banyak pengkhianat bangsa yang gemar membeli air
perasan tape singkong.

Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam kepada
kaum pengkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia memilih
cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan
tape singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya berkebangsaan
Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air perasan tape
singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jam setelah meminumnya, maka si peminum
akan tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu
persatu setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.

Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung. Dukun-
dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena santet.
Pemukapemuka agama yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat kutukan
Tuhan karena mereka telah banyak berbuat dosa.
Persahabatan Sejati

Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga sahabatku yaitu
Aris, Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.

Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang dimasukkan ke
dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah pohon yang nantinya surat
tersebut akan kami buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.

Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan hasilnya kita
berempat lulus semua.

Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi dan menggali
tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.

Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu pernah kami
tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”

Keesokan hari, Aris berencana untuk merayakan kelulusan kami berempat.

Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu tempat dan disitulah saat-saat yang tidak bisa
aku lupakan karena aris berencana untuk menyatakan perasaannya kepadaku. Akhirnya aku dan
Anis berpacaran.

Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh malam yang
istimewa untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.

Ketika perjalanan pulang, entah mengapa perasaanku tidak enak.

“Perasaanku nggak enak banget ya?” Ucapku penuh cemas.

“Udahlah Ndi, santai aja, kita nggak bakalan kenapa-kenapa” jawab Andri dengan santai.

Tidak lama setelah itu, hal yang dikhawatirkan Nindi terjadi.

“Arissss awasss! di depan ada juang!” Teriak Nindi.

“Aaaaaaaaaa!!!”

Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa menahan air mata
yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.

Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di sampingku.

“Nindi.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku.

“Ibu.. aku di mana? Di mana Ana, Andri, dan Aris?” tanyaku.

“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Andri dan aris tidak tertolong di lokasi
kecelakaan” Jawab ibu sambil menitikkan air mata.

Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti mendengar
pernyataan ibu.

“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku cinta kamu, tapi
kamu ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.” batinku berkata.

Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami bisa
menghabiskan waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya angan-angan. Aku
berjanji akan selalu mengenang kalian.
Laut Marah karya Widya Suwarna

Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun.
Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda
bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani
menampakkan diri.
Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati.
Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram untuk
membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga terpaksa meminjam pada
lintah darat.
Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah, tak ada
yang ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa, seperti
para tetangganya.
Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-
pauk banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk
makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar lagi, diganti
dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.
Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal 20.000.
Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak
punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”
Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah,
memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam
menjanjikan cuaca buruk nanti petang.
Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja.
Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.”
Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh pada perintah
suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus
masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang
dan malam. Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada
cukup makanan untuk seisi desa.
Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka
menyalami Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih.
“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang menggendong
adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap.
Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya
yang besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu makan di rumahmu dan semua
anak ini akan makan enak di rumahnya masing-masing.”
Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan
berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para nelayan akan
panen ikan.
Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang,
angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam yang
menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.
Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan
berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai dan
disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.
Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu
mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah ibunya
masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan doa syukur.
Pendidikan

Ada seorang anak bernama Gema, dia merupakan murid kelas 6 SD yang sangat pintar dan baik
hati. Di sekolah sangat banyak teman yang menyukainya karena sikapnya tersebut.

Tidak jarang, semua ingin berteman dengan Gema. Ada lagi anak perempuan bernama Nurul, ia
berbanding terbalik dengan Gema. Ia pintar namun sangat sombong. Temannya hanya dua yaitu
Mawar dan Melati, gadis kembar di sekolahnya.

Suatu hari, Ibu guru mengumumkan bahwa akan ada perlombaan membaca pidato dua minggu
lagi. Bu Yati selaku wali kelas 6 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin
ikut seleksi.

Gema dan Nurul jelas ikut berpartisipasi. Setiap hari mereka selalu latihan membaca pidato agar
lolos seleksi. Sampai hari penyeleksian tiba, keduanya memberikan tampilan yang memukau lalu
dinyatakan lolos.

Saat hari perlombaan tiba, Nurul terus saja membanggakan dirinya, menyatakan bahwa pasti ia
akan juara. Sebab sebelumnya dia juga pernah menjadi juara waktu kelas 5 SD di lomba pidato.

Berbeda dengan Gema, ia tidak henti-hentinya berdoa dan berlatih, mencoba menghafal kembali
teks pidato. Ita pun dipanggil lebih dulu, sang juara kelas 5 SD kini mendadak lupa teks pidato
yang sudah dihafalnya.

Setelah itu, Gema maju dan memberikan penampilan yang sangat bagus. Semua juri kagum
termasuk Bu Yati yang saat itu datang untuk menemani mereka lomba.

Pengumuman pun tiba, Gema keluar menjadi juara 1 sedangkan Nurul harus menahan air
matanya karena dia tidak menang sama sekali.
Kancil dan Buaya karya Syrli Martin

Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil yang sangat cerdik. Ia hidup di hutan
bersama hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan masih banyak lagi.
Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai.

Pada suatu hari, ia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk mencari
makan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang sangat rimbun di
seberang sungai. Si Kancil berniat ingin mengambil buah rambutan tersebut, tetapi di dalam
sungai terdapat banyak buaya yang sedang mengintai Kancil.

Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah bosan dengan hidupmu,
sehingga kau datang kemari?”.

“Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil.

Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan apa?”.

Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja Sulaiman akan
merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam acara tersersebut”.

“Pesta…?” timpal para buaya dengan mulut menganga.

“Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan daging gajah
pun juga ada.”

“Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya menyahut
dengan sedikit marah.

“Eh tidak-tidak, kali ini aku serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya.

“Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan perasaan khawatir akan ditipu Kancil.

“Iya, yakin”, jawab Kancil.

“Baiklah, kali ini aku percaya kepadamu”, ujar para buaya.

“Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, aku akan menghitung berapa jumlah semua buaya
yang ada di dalam sungai ini”.

Kemudian, para buaya berbaris dengan rapi. Berharap mereka semua akan mendapatkan
makanan yang sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu buaya yang ada dalam
sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir, Kancil langsung melompat ke tepian
sungai.

Setelah itu, ada seekor tupai yang berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu, bukan
minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa tertipu dan sangat
marah. Melihat para buaya yang tengah marah, si Kancil malah cengengesan dan menjulurkan
lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi dari tepi sungai, dan menuju pohon
rambutan yang berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil dapat makan buah rambutan yang dia
inginkan.
MIMPI BURUK
Karya: Yohany Renata

Malam itu aku sedang berada di belakang halaman rumahku dan tiada angin dan
hujan, tiba-tiba suasana hatiku menjadi tidak enak, dan aku selalu merasa ada
"seseorang" yang selalu mengamatiku secara diam-diam. Awalnya aku mencoba
untuk mengabaikan hal itu, mungkin hanya perasaan dan halusinasi semata saja,
tetapi lama-kelamaan, tidak tahu kenapa walaupun aku sudah mencoba sebisa
mungkin untuk mengabaikannya, hatiku pun tetap gelisah dan perasaanku juga
semakin tidak enak dan aku semakin memikirkan hal itu.

Karena suasana hatiku semakin tidak enak maka aku memutuskan untuk kembali
ke rumahku. dan saat aku ingin membalikkan badanku belakang, terdapat suara di
sekitar semak-semak yang ada di belakang halaman rumahku, awalnya aku tidak
ingin menggubris. Tetapi, lama-lama suara itu semakin terdengar nyaring.

Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan mendekati semak-semak tersebut dan


benar saja, muncullah hantu tanpa muka, wajahnya sudah hancur dan tangannya
buntung. Aku lari sekencang mungkin menuju ke rumahku dan menutup serta
mengunci pintu rumahku.

Aku pikir aku sudah aman, tetapi dugaanku salah. Saat aku membalikkan badanku
ke belakang, hantu itu ada di belakangku dan aku berteriak sekencang mungkin
sampai aku bangun dari tempat tidurku dan saat itu aku sadar, ternyata itu hanyalah
mimpi dan hatiku terasa lebih tenang.
PAK GURU
Karya: Yudi Hendra

Tak ada orang sukses yang bercita-cita jadi guru. Kalimat pahit yang terus aku dengan selama
menuntut ilmu di kampus keguruan. Lalu mengapa mereka ada di sini. Kalau mereka ada di
kampus ini artinya suatu saat mereka akan menjadi seorang guru. Demikianlah, sebuah kalimat
yang kamu lontarkan tak mesti dijelaskan.

Aku sendiri terganggu dengan kalimat itu. Lama-kelamaan ikut-ikut menyetujuinya, walau tidak
seratus persen. Setelah aku jadi guru nanti, pada teman-teman yang aku tanya, aku hampir tak
bertemu mereka yang memang menjadikan guru sebagai cita-cita.

Setelah aku jadi guru nanti, ternyata setiap anak muridku yang aku tanyai cita-citanya, tak ada
yang berniat menjadi guru.

Semua orang tahu jawabannya. Tapi, biarlah aku ulangi untuk menghilangkan keraguan. Karena
guru itu miskin. Karena guru tidak terlalu terhormat di tengah masyarakat. Karena guru bukan
tergolong orang pintar. Karena guru tidak tergolong orang hebat.

Mata anak itu begitu tajam. Seumur hidup baru ini aku melihat mata setajam itu. Tajam
menusuk, mengiris hati. Penuh amarah, perlawanan.

"Kamu kan melanggar aturan. Itu artinya kamu harus mendapat sanksi."

"Salah saya apa Pak"

Badannya tegap berisi. Tinggi sedang.

"Kamu terlambat tiap hari. Satu lagi, coba kamu belajar sopan pada gurumu."

Aku coba pegangi tangannya untuk membawa ke meja admin piket harian. Namanya harus
dicatat sebagai siswa yang terlambat hari itu. Anak ini memang selalu, selalu terlambat.

Di luar dugaan, ia menangkis uluran tanganku. Lalu berjalan menjauh. Badannya tegak dan
dadanya membusung. Aku yakin, ia memiliki kekuatan yang sempurna. Anak kelas akhir
sekolah menengah atas.

Penyakitku kambuh lagi. Penyakit tak bisa mengendalikan emosi.

"Kamu mau taati aturan sekolah ini atau tidak!!!"

Prakk!! Telapak tanganku menghantam meja piket. Menimbulkan suara dentuman yang
mendekati ledakan Hirosima.

Terkejut juga.

Guru-guru berhamburan dari kantor. Segera ruang piket jadi ramai. Kepala sekolah langsung
menengahi. Aku dan si anak dibawa ke ruang kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah
memberi nasihat, dan kami berdamai.

Ekonomi sebagai guru jalan di tempat. Emang begitu. Aku sering memaksa diriku sendiri untuk
mencintai profesi ini. Karena tak ada pilihan lain selain harus mencintai profesi ini. Karena aku
akan bahagia kalau menjalani dengan penuh cinta.

Bertahun-tahun sejak awal mengajar, aku telah belajar. Belajar mencintai status sebagai guru.

Aku berhasil. Tak banyak.

Aku akan terus jadi guru. Iya.

Aku akan mati sebagai Pak Guru. Iya. Insya Allah.


PELANGI SEHABIS HUJAN
Karya: Faomasi

Gemuruh ombak sayup-sayup terdengar memecah keheningan, membuat suasana malam itu
terasa semakin dingin. Etta yang pada saat itu masih berusia 5 tahun tampak sedang berbaring
sembari menatap remang-remang cahaya yang menyusup melalui celah pintu kamarnya. Tak
lama kemudian, terdengar suara keributan dari ruang tamu.

"Sekarang kamu harus memilih, aku atau dia," ujar bu Marta sambil menunjuk perempuan itu.

"Aku memilih dia," ujar Pak Ann sambil menunjuk wanita tersebut.

"Baiklah, jika kamu memilih wanita ini maka aku akan pergi bersama anak-anak,"

ujar bu Marta lagi. Ia terdiam, dan hanya bisa mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya.
Ia tak mampu melakukan apa-apa pada saat itu, mengingat usianya yang masih sangat kecil.

Pertengkaran kedua orang tuanya merupakan hal yang paling dia benci. Entah mengapa mereka
selalu bertengkar, ini bukan pertengkaran yang pertama. Ada rasa kesedihan yang mendalam
dalam hatinya. Ia tak bisa melakukan apapun selain melihat segala yang terjadi dengan
keluarganya dan menyimpan kesedihan itu dalam hatinya. Beberapa saat kemudian, "Eta, ayo
ikut mama. Kita pergi nak," ujar bu Marta sambil membangunkan Etta dari tempat tidur.

Etta pun segera bangkit dan menggandeng tangan ibunya. Sesampainya di pintu

"Aku memilihmu saja, karena anakku ada bersamamu", ujar Pak Ann tiba-tiba.

Bu Marta pun terdiam sesaat, dan kemudian berkata

"Baiklah, jika kau memilihku maka wanita ini harus pergi dari sini".

Pertengkaran pun akhirnya mereda, malam pun kembali sunyi. Etta pun kembali ke tempat tidur
dan terlelap. Peristiwa ini bukan yang pertama kali terjadi dalam keluarganya, beberapa waktu
lalu hal seperti ini juga pernah terjadi. Entah sejak kapan Pak Ann yang pada awalnya sangat
mencintai Bu Marta berpaling menghianatinya saat ini. Pak Ann adalah seorang supir antar kota
yang jarang pulang ke rumahnya. Dalam pekerjaannya ia bertemu dengan banyak klien yang
diantaranya adalah wanita-wanita penggoda. Para wanita tersebut sering memberikan barang-
barang kepada Pak Ann. Pak Ann pun selalu berusaha menutupi kesalahannya, dan anehnya bu
Marta selalu berhasil mengungkapnya. Ketika Bu Marta mencoba untuk mengungkapkan
kesalahan suaminya itu, Pak Ann selalu memukulnya dan melakukan hal-hal lain yang bagi Etta
itu sangat menyakitkan, sehingga membuatnya sempat trauma dan memutuskan untuk tak ingin
menikah. Keesokan harinya, wanita itu berpamitan kepada ibuku dan bersiap-siap untuk
meninggalkan rumah kami. Ada perasaan lega dalam hatiku, dan aku berharap wanita tersebut
tidak akan kembali.

Beberapa minggu setelah peristiwa itu, Bu Marta dan Pak Ann memutuskan untuk pindah tempat
tinggal. Etta merasa cukup sedih, karena harus meninggalkan kampung halamannya dan saudara-
saudaranya. Kebersamaan yang selama ini mereka rasakan terpaksa terhenti karena
kepindahannya. Dengan berat hati dan berlinang air mata Etta memasuki mobil L300 yang
berwarna biru tua itu. Ada kecemasan, kesedihan dan kerinduan yang dalam akan kampung
halamannya itu.

"Sampai bertemu kembali kampung halamanku", bisiknya dalam hati.

Beberapa lama setelah kepindahan keluarga Pak Ann, tiba tiba terdengar kabar yang begitu
memilukan. Tempat tinggal mereka dahulu terkena bencana alam. Ombak menyapu habis
seluruh rumah dan isinya, termasuk beberapa dari saudara Pak Ann juga ikut menjadi korban
bencana alam yang dahsyat itu. Beberapa tahun setelah peristiwa itu, Etta pun menyadari bahwa
kalau bukan Tuhan yang berencana memindahkan mereka, maka mungkin mereka akan menjadi
salah satu korban peristiwa tersebut.
PERI DAN PENEBANG POHON
Karya: Daniel Heriadi Samaia

Di sebuah hutan, terdapat seorang penebang pohon bernama arjit. Sehari-hari dia bekerja untuk
menebang pohon, tapi setelah ditebang, arjit menanam tunas pohon yang baru sehingga pohon di
hutan tetap terjaga.

Suatu hari, kapak arjit terjatuh di sungai, dia sangat panik, sebab kapak itu adalah warisan dari
ayahnya.

Tiba-tiba datanglah seorang peri bernama Peri Giaa, dia melihat Arjit sedang panik lalu dia
bertanya "Ada apa pak? kenapa kamu terlihat sedih?"

"Kapak warisan ayahku terjatuh di sungai! bagaimana aku bisa menebang pohon lagi?" jawab
Arjit sambil terisak.

Lalu, Peri Giaa memperlihat sebuah kapak berlian dan bertanya "pak, apa ini kapakmu?" Arjit
hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian Peri Giaa memperlihatkan sebuah kapak emas dan
bertanya lagi "apa ini kapakmu, pak?" "bukan, ini bukan punyaku?" jawab Arjit. Sekali lagi Peri
Giaa memperlihatkan kapak tua dan usang, lalu bertanya "Pak, apa ini punyamu?" dengan
semangat Arjit menjawab "Ya, ini punyaku.."

Lalu Peri Giaa memberikan ketiga kapak itu pada Arjit sambil berkata "karena kamu jujur, akan
aku berikan ketiga kapak ini". "Wah, terima kasih Peri Giaa" ucap Arjit kegirangan.

Anda mungkin juga menyukai