Anda di halaman 1dari 8

Nama: Tiara Y.

S Manullang

Kelas: XI IPA 2

Pejuang

karya Maria Maghdalena Bhoernomo

Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di
mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.

Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa
penjajahan sebelum bangsa dan negara ini merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah
tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat karunia umur panjang. Ia bisa menyaksikan
rakyat hidup dalam kedamaian.

Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia
juga sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini
semakin miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.

Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang
berkolaborasi dengan elite politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis
seperti para pengkhianat bangsa sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan,
para pengkhianat bangsa menjadi mata-mata Kompeni.

Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka mendapat
berbagai fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-perempuan cantik. Ia
tiba-tiba teringat pengalamannya membantai sejumlah pengkhianat bangsa di masa
penjajahan.

Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari
pengkhianat bangsa yang telah tega mengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para
pengkhianat bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak
pantas hidup di negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin
bisa diajak berjuang karena sudah nyatanyata berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di
telinganya ketika ia ikut bergerilya di tengah hutan.

Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas kaum pengkhianat bangsa. Ia berjuang


sendirian menumpas kaum pengkhianat bangsa. Dengan menyamar sebagai penjual tape
singkong dan air perasan tape singkong yang bisa diminum sebagai pengganti arak atau
tuak,ia mendatangi rumah-rumah kaum pengkhianat bangsa. Banyak pengkhianat bangsa
yang gemar membeli air perasan tape singkong.

Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam kepada
kaum pengkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia
memilih cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa.
Air perasan tape singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya
berkebangsaan Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air perasan
tape singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jam setelah meminumnya, maka si
peminum akan tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat
bangsa tewas satu persatu setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur
dengan racun.

Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung.
Dukun-dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena santet.
Pemukapemuka agama yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat
kutukan Tuhan karena mereka telah banyak berbuat dosa.

Dilema Nara
Karya Alya Khalisah

Nara terbangun karna sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah kapan
terbuka.sejenak,iya hanya menatap langit-langit kamar.matanya masih terasa sembap, sisa
tangisan tadi malam. Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. gadis itu
memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.nara
menutup kedua telinganya, enggan mendengar apapun.setetes bening air matanya bergulir di
pipi. wajahnya di benamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah. rasanya ia sudah tak
sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Iya tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan
yang mengiringinya menuju kegilaan.

Nara berjalan perlahan keluar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan kepala
sekolah malu dunia melihatnya.ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang
pepohonan dan rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang menghalangi bayangannya.
"Ada yang ingin ku katakan padamu". Orang itu mulai berbicara padanya. Nara
mendongak .wajahnya terasa familiar. "Kenapa" ? Gadis itu betanya dengan wajah datar,tapi
Nara hanya diam." KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI!?"iya mulai
membentak. Gadis itu mulai melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. PERGI!

Nara tank sanggup menatap melawan lawan bicaranya .ia hanya memegang pipinya yang
terasa nyeri karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini ,dasar penghancur dunia
ini,dasar penghancur dunia orang! Hardik gadis itu.nara teriak di iringi suara teriakan gadis
itu ditelinganya .tetesan bening meleleh,merayapi sudut wajahnya.nara adalah anak
perempuan biasa hidup dengan kasi sayang yg utuh dari orang tua.ia hidup dengan
berkecukupan ,bahkan bahkan lebih. Semual,ia mengira hidup dengan zona
kesempurnaan.tetapi ternyata, itu hanya bualan.ayahnya,ternyata, seorang pria yg telah
berkeluarga saat itulah yg menyadari, ibunya adalah istri kedua i ayahnya.

Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang.ibunya di anggap wanita yg tak punya harga
diri.tidak ada yang Sudi yg berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nara mereka tidak
pernah mau tau separah apakah kerusakan jiwa yang menderang orang yang mereka
cemooh.istri pertama Nara adalah sahabat dekat ibu nara.sahabat dekat yg saling mengaitkan
janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak menghianati. Begitu istri
pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi,ya tentu syok berat . Suami yang iya
cintai,berpaling darinya.sahabat yg paling iya percaya , menghianatinya dalam waktu yang
sama.

Nina,anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya.ia nyaris pingsan saat ayahnya
mengungkapkan hal itu sendiri . selanjutnya,teror mulai berdatangan sebagai tanda balas
dendam.mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah hingga lemparan api untuk rumahnya.

" Na?" Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam,memandang kosong."Nara ?
sayang ,kamu ada di dalam,kan ?" Panggilan itu tak membuat Nara beranjak dari posisi yang
nyaman bagi dirinya.kemudian ketukan dari ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik
pintu." Nara ,buka pintunya,sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita," memang,
keluarga nya berencana untuk pindah.ke wilayah cukup jauh untuk mengubur kelampnya
masalalu dan melanjutka hidup.tpi baginya,pindah rumah bentuk parian diri .raganya Takan
teraniaya lagi.

Namun,jiwa dan pikirannya telah menyatuh dengan frustasi berkepanjangan yg diderita Nara
selama ini.ia tetap tidak akan hidup dalam damai seperti sebelumnya.nara bergeming.dalam
pikirnya Yg kalut ,yg mengingat nina.gadis itu ingin ia lenyap dari dunia ini.ia ingi Nara
musnah Nara tahu apa artinya itu.

Nara memandangi tubuh kakunya yang di tumpahi tangisan dan penyesalan yg terlontar dari
ayah dan ibunya. Iaya tertegun dan mengingat kejadian yg terasa begitu cepat.awalanya,ia
berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya.awlanya ia
tidak mau melihat orang tuanya menangis hebat sambil memeluknya.

Awalannya,ia ingin merasakan rasa sakit yg mendera jiwanya lebih lama lagi.namun saat iya
menutup mata dan menguatkan diri atas segalah resiko perbuatannya nanti,seberkas cahaya
putih menyinari dirinya.sesaat,ia pikir cahaya itu hanya datang luapan fantasisnya ketika ia
berhasil mati. Kemudian nara tahu, kematiannya akan membawa segala keaadanan berubah
menjadi baik.inilah yg di inginkan oleh semua orang.

Nara tersenyum.sedikit pun,ia tak merasakan kesedihan.ia hanya merasakan gema bebas dan
damai bergemung dalam pikirannya.sekarang ,ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk
kekerasan mental dari orang orang disekitarnya.ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian
yg dirindukan .Nafa menutup matanya merasakan sensasi dan kenikmatan damai yang
mengalir di sekujur tubuhnya.berkes berkes cahaya itu kembali datang dan menyinari
tubuhnya,menutup gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yg akan membawanya
menuju ke abadian.
Nama: Jonathan P. L Simanjuntak

Kelas: XI IPA 2

Ketika Laut Marah


karya Widya Suwarna

Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun.
Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda
bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani
menampakkan diri.

Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati.
Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram
untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga terpaksa
meminjam pada lintah darat.

Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah, tak
ada yang ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa,
seperti para tetangganya.

Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-
pauk banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk
makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar lagi,
diganti dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.

Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal 20.000.
Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak
punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”

Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah,
memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam
menjanjikan cuaca buruk nanti petang.

Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja.
Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.”

Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh pada perintah
suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus
masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang
dan malam. Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada
cukup makanan untuk seisi desa.

Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai,
mereka menyalami Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih.

“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang
menggendong adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap.
Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan
suaranya yang besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu makan di rumahmu
dan semua anak ini akan makan enak di rumahnya masing-masing.”

Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan
berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para nelayan akan
panen ikan.

Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang,
angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam
yang menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.

Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para
nelayan berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka
menuju pantai dan disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.

Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu
mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah
ibunya masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan doa syukur.
Kancil dan Buaya
karya Syrli Martin

Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil yang sangat cerdik. Ia hidup di hutan
bersama hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan masih banyak
lagi. Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai.

Pada suatu hari, ia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk mencari
makan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang sangat rimbun di
seberang sungai. Si Kancil berniat ingin mengambil buah rambutan tersebut, tetapi di dalam
sungai terdapat banyak buaya yang sedang mengintai Kancil.

Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah bosan dengan hidupmu,
sehingga kau datang kemari?”.

“Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil.

Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan apa?”.

Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja Sulaiman
akan merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam acara tersersebut”.

“Pesta…?” timpal para buaya dengan mulut menganga.

“Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan daging
gajah pun juga ada.”

“Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya menyahut
dengan sedikit marah.

“Eh tidak-tidak, kali ini aku serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya.

“Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan perasaan khawatir akan ditipu Kancil.

“Iya, yakin”, jawab Kancil.

“Baiklah, kali ini aku percaya kepadamu”, ujar para buaya.

“Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, aku akan menghitung berapa jumlah semua
buaya yang ada di dalam sungai ini”.

Kemudian, para buaya berbaris dengan rapi. Berharap mereka semua akan mendapatkan
makanan yang sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu buaya yang ada dalam
sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir, Kancil langsung melompat ke
tepian sungai.

Setelah itu, ada seekor tupai yang berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu, bukan
minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa tertipu dan sangat
marah. Melihat para buaya yang tengah marah, si Kancil malah cengengesan dan
menjulurkan lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi dari tepi sungai, dan
menuju pohon rambutan yang berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil dapat makan buah
rambutan yang dia inginkan.

Anda mungkin juga menyukai