Anda di halaman 1dari 4

SANDAL JEPIT MERAH

Senja memerah. Langit sajdikan semburat jingga yang berkobar di batas horison. Sesaat lagi
malam akan menebarkan keremangan yang membaur bersama napas kesunyian. Perlahan, alam
mulai melepaskan diri dari jeratan hari. Seakan jemu menimbun lelah, bumi mulai meredupkan
kehidupannya. Aroma sepi mulai menyebar ke setiap celah uadara. Berbondng-bondong angin
malam mulai menjalankan tugasnya menyelimuti semesta hitam. Malam pun menetes.

Di salah satu sudut remang, seseorang perempuan tua berselonjor diatas sebuah bangku bambu.
Dipijatnya urat-urat kaki yang menegang akibat rutinitas melelahkan sehari ini. Kulit-kulit
keriputnya seakan bicara tentang lelah yang telah menggunung seperti tumpukan sampah yang
ada di belakang gubuk reyotnya. Matanya layu dan redup. Sepasang mata itu digendong
kantung mata kehitaman yang makin melebar. Sesekali di kedipkan dalam-dalam, sebagai cara
untuk memperjelas apa yang menghampar di hadapannya. Tetapi percuma saja. Matanya telah
tua setua perjalanan kepedihannya yang menahun, dari perempuan itu tak mampu lagi
menikmati tarian kunang-kunang yang muncul sebagai teman dalam pekat malamnya.

Sepasang Sandal jepit tipis berwarna merah tergeletak begitu saja dibawah bangku bambu.
Sandal itu dihinggapi lubang disana-sini. Tak hanya itu, sandal tua itu pun dihinggapi bercak
bercak kecokelatan. Seperti darah yang mengering.Ya,darah! Bahkan diatas permukaan salah
satu sandal itu masih terdapat darah segar. Darah itu muncratan dari kakinya. Di kakinya masih
terdapat serpihan pecahan kaca yang belum sempat dibersihkan. Pecahan kaca yang tadinya
telah bercampur dengan darah merah, darah yang terus menumpuk diatas sandal jepit
merahnya.

Lima Tahun berlalu setelah Mamat mengawini perempuan itu di usia belia, lima belas tahun.
Sebagai anak yatim piatu sebatang kara, perempuan itu tak mungkin menolak lamaran Mamat,
lelaki yang berumur dua puluh lima yang begitu sayang padanya. Dengan berbekal
keterampilan, di bidang bangunan Mamat mampu membiayai hidupnya dan menyewa sepetak
kamar di pinggir kota. Kebahagiaannya semakin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang
anak sehat walaupun pada saat itu usianya baru enam belas.

Anak laki-laki itu di namainya Zaenal Muttaqin yang tumbuh sebagai anak yang pintar, cerdas,
dan pandai bernyanyi. Tak teritung doa dan harapan yang diajukan pada Sang Pencipta demi
kesuksesan masa depan anaknya itu. Dalam pelukan mimpi, sering kali ia melihat anaknya
tumbuh menjadi lelaki tampan, terkadang menjadi dokter,olahragawan,bahkan presiden.
Mimpi-mimpi itulah yang menjadi motivasi untuk selalu bersemangat menjalani hidup meski
dililit beban sesulit apapun.

Tetapi mimpi-mimpi itu harus mati dilandas hari. Disuatu senja yang memerah, burung gagak
bertengger di atap kamar kontrakannya. Berbondong-bondong para tetangga mendatanginya
yang sedang memasak agar-agar untuk pangeran kecilnya. Pak RT memimpin rombongan
sambil menggendong Zaenal mungil yang baru saja berusia 4 tahun itu. Tubuh bocah itu kuyup.
Matanya terpejam bagai putri tidur. Tangannya menggelantung lemas.Tak ada naas. Langit
merah mulai menghitam setelah keriuhan dihantam lantunan Adzan. Air mata membanjir
Zaenal mungil telah pergi dijemput malam. Sungai yang tenang di pinggir kampung terlalu
dalam untuk direnanginya tadi siang. Saat ditemukan tubuhnya telah mengembang bagai
perahu. Di pinggir sungai, sepasang sandal jepit mungil berwarna merah darah kesayangan
Zaenal mungil terbujur bisu.

Empat puluh hari setelah kematian zaenal mungil kesayangannya, perempuan itu selalu
melangkah dalam mata kosong diatas sepasang sandal jepit merah. Hidupnya seakan usai
begitu saja setelah cahaya hatinya pergi dicuri takdir. Tak ada lagi cahaya di dalam hidupnya
tak terkecuali suami yang selama ini dicintainya sepenuh hati. Kematian Zaenal mungil telah
menimbun kebencian di benak mamat masih terngiang di telinga perempuan itu ketika mamat
mencacinya habis habisan setelah tau bahwa buah hatinya pergi mendahului.

Berengsek! Istri macam apa kamu? Ceroboh! tak bisa menjaga anak!

Ampun kang! Saya akui saya memang ceroboh, tetapi ini semua sudah menjadi takdir-Nya.
Terimalah kang. Saya ibunya, saya lebih sedih ketimbang akang. Maafkan saya kang!

Pergi kamu!

Perempuan itu memeluk kaki suaminya sambil menangis hebat penuh penyesalan. Tetapi tak
ada ampun dari Mamat. Perempuan itu di tendangnya. Kepalanya membentur dinding tubuhnya
tersungkur diatas sandal jepit merahnya. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi. Sandal jepit
merahnya kini dibasahi air matanya.

Alangkah terkejutnya perempuan itu setelah tau bahwa suaminya berniat untuk mengawini
wanita lain, ia hanya pasrah, berharap kabar itu tidak benar adanya. Dan kalaupun benar-benar
terjadi, ia hanya berharap suaminya mau memaafkan dan tetap mencintainya seperti lima tahu
yang lalu.

Tetapi harapannya kembali usang. Suatu hari ketika perempuan yang telah diusir suaminya itu
bermaksud kembali e kontrakannya, kamar penuh kenangan itu kosong tak ada yang tau
kemana perginya sang suami harapannya. Ia hanya mendengar kabar bahwa suaminya akan
tinggal di desa asal istri barunya, entah dimana. Seketika hatinya seakan dibanjiri darah. Darah
merah semerah sandal jepitnya. Ia gamang menentukan kelanjutan langkahnya. Ia hanya
melangkah menentukan helai-demi helai angin yang sirna setelah menyapanya. Ia berjalan
menyusuri kehidupan di dialasi sepasang sendal jepit merah. Entah harus kemana lagi.

Berpuluh puluh tahun lamanya perempuan itu hidup bergantung pada siang dan malam. Ia
hanya gelandangan tanpa tujuan yang hidup dari belas kasihan orang yang lalu lalang di depan
tempat duduknya. Pernah, suatu ketika ia mendapatkan pekerjaan sebagai seorang pembantu
rumah tangga. Tetapi bukan sebuah keluarga yang diurusinya, melainkan sebuah tempat jual
narkoba. Bertahun tahun ia hidup di dunia hitam yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada
jalan lain. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki. Mungkin
keajaiban Tuhan pulalah yang telah menghantarkannya pada pekerjaan saat ini. Berkali-kali
majikannya sebagai bandar narkoba, menawarinya sebagai pengedar barang haram tersebut
sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya
sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikitpun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang
didapat oleh perempuan cantik yang sering berkumpul dirumah majikannya itu.

Lama-Lama ia tidak tahan juga,apalagi setelah sang majikannya memaksa untuk mengikuti
keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tuna susila. Ia bertahan dengan
pendiriannya dan pergi meninggalkan istana yang penuh dosa itu. Dengan uang yang
dikumpulkannya, ia membeli sebuah gubuk reyot yang ada di sekitar tempat pembuangan
sampah di kota lain. Disitulah ia memulai kehidupan barunya sebagai seorang pemungut paku
bekas yang tersembunyi di tumpukan sampah yang menggunung. Dan itu berlalu begitu saja,
berpuluh-puluh tahun lamanya.

Malam masih menyajikan aroma kesunyian di sekitar gubuk reyot itu. Bulan pucat
memandanginya dari balik bayang awan hitam. Lampu tempel di dinding kini telah dihinggapi
jelaga seiring dengan malam yang semakin tua. Perempuan itu membasuh kaki kotornya
dengan air dingin. Luka-luka mengering di telapak kakinya bagai prasasti yang menceritakan
kepedihan hidupnya selama ini, selama puluhan tahun. Seiring dengan pergantian waktu,
sandal jepit merahnya yang dulu telah berkali kali diganti dengan sandal jepit merah baru. Kini
sandal jepit merahnya telah banyak di hinggapi lubang dan bercak darah karena tusukan beling
dan paku berkarat, dan ia harus menggantinya dengan sandal jepit merah yang baru.

Selesai....!!!

Anda mungkin juga menyukai