Anda di halaman 1dari 11

Love of the Great Blossom 2

Ringkasan cerita sebelumnya:

Gertha dan keluarganya pindah ke pulau kabut untuk mencari kehidupan yang lebih baik setelah menghadapi
berbagai kepahitan di tempat asalnya dulu. Pulau kabut yang kemudian mereka diami nyatanya hanyalah
sebongkah tanah gersang dengan segelintir penduduk yang nampaknya tidak lagi memiliki harapan hidup lagi.
Seakan belum cukup penderitaannya, dia bertemu dengan seorang pemuda misterius yang membuatnya benar
benar jatuh hati. Apakah yang dia lihat adalah sesuatu yang nyata ataukah sekedar khayalan belaka? Benarkah
Pulau Kabut memang dikutuk sehingga semua penghuninya tidak akan memiliki harapan lagi?

Kali ini Gertha harus berjuang untuk cita dan juga cintanya sekaligus membuktikan bahwa nama besar ayahnya
yang disematkan kepadanya bukan sekedar pelengkap nama biasa namun mengandung kekuatan besar yang
akan mengubah jalan hidupnya selamanya. Tetapi perjuangannya tidaklah mudah karena pusaran kegelapan
Pulau Kabut dan mitos kutukannya seakan menghadang jalannya untuk maju. Mampukah ia bertahan ataukah
dialah yang akan terjebak dalam kegelapan Pulau Kabut yang mengerikan? Hidup adalah pilihan. Tetapi
kegagalan bukanlah sebuah pilihan.

1
Kalut di Pulau Kabut
Gertha hanya menggelengkan kepalanya dengan enggan kendati kepalanya terus berdenyut kesana kemari dan
memaksanya untuk kembali tertidur. Sinar mentari yang begitu kuat membakar wajahnya bahkan tidak mampu
memaksanya untuk tetap terjaga. Samar samar didengarnya suara asing yang seolah kini begitu akrab di
telinganya memampukannya untuk mengumpulkan kembali segenap memorinya seiring dirasakannya sentuhan
lembut menerpa keningnya memaksa kedua mata kecilnya untuk terbuka. “Akhirnya kau bangun juga Gertha.
Mama khawatir akan kehilanganmu setelah tidur panjangmu selama dua hari ini. Apalagi perutmu seakan
memuntahkan semua makanan yang masuk, mama benar benar tidak habis pikir apa yang terjadi padamu. Dua
hari dua malam tubuhmu menggigil dan mengigau tidak karuan, sebutir nasipun tidak ada yang mampu
mendarat di dalam perutmu. Apa yang sebenarnya terjadi padamu nak? Nampaknya kini mama memiliki dua
putri tidur sekaligus. Bedanya yang satu ini seakan membenci makanan.” Senyuman lembut mamanya nampak
tersungging dengan tulus melembutkan hatinya yang selama ini membeku dalam ketidakpastian. Perlahan
disentuhnya tangan mamanya. Sebuah tangan yang lembut sekaligus liat. Sepasang tangan yang terlatih dalam
penderitaan dan kerja keras berkepanjangan. Tanpa terasa bulir bulir air mata menetes di pipinya.

Mamanya seolah tidak ingin berhenti membelai rambutnya yang kusut sembari terus mengingatkan agar dia
tetap membuka matanya. “Roh roh kegelapan menggoda jiwamu untuk berkelana di sisi dunia yang jauh
anakku. Tetapi panggilan jiwamulah yang membawamu kembali kemari maka dari itu jangan menutup matamu,
mama takut mereka akan kembali untuk membawamu pergi lagi.” Gertha hanya terdiam mendengar suara
lembut ibunya. Dadanya sesak oleh gemuruh perasaan yang tidak terkatakan, mulutnya ingin sekali
mengucapkan ribuan pertanyaaan yang kini memenuhi pikirannya namun mulutnya terasa terkunci rapat.
Hanya air matanyalah yang kini deras mengalir. Mamanya menatapnya dengan sendu dan tanpa diduga dia
bertanya, “Siapa namanya Gertha? Siapakah gerangan yang berani mengganggu mimpimu dan mencuri hati
puteri kesayangan mama ini?” Gertha hanya terdiam sesaat. Lidahnya terasa kelu tanpa daya. Perasaannya
bercampur aduk antara gembira dan heran. Mamanya mencium keningnya dengan lembut. “Aku ini mamamu
Gertha, aku mengenal segala bahasa tubuhmu dan tetesan air matamu sudah cukup menjelaskan semuanya.
Sekarang beristirahatlah. Kalau keadaanmu sudah membaik, ceritakan semua pada mama.”

Tidak banyak orang yang mengenal tentang pulau satu ini dan hal inilah yang membuatnya heran. Bagaimana
mungkin kedua orangtuanya dapat bertemu dan menjalin hubungan romantis di pulau dengan status tidak jelas
ini? Dan apa motivasi orang orang untuk berdatangan bahkan tinggal di pulau yang jelas jelas tidak memiliki
apa apa ini? Sekarang barulah dia mengerti. Kabut. Ya kabut yang menyelimuti pulau inilah alasannya. Orang
orang ini adalah orang orang orang yang sudah lelah menahan perasaan, tidak kuat lagi menahan beban topeng
kehidupan yang selama ini harus mereka sandang, orang orang yang patah harapannya, yang kehilangan
kehidupannya dan memasuki pulau ini semata hanya karena ingin lari dari kenyataan hidup yang mengerikan,
meninggalkan segalanya dan tidak ingin lagi mengenal siapapun. Membuang diri sekaligus memenjarakan diri
mereka sendiri di pulau terkutuk ini. Berbagai mitos tentang pulau ini memang sudah bermunculan sejak jaman
baheula. Mulai dari mitos bahwa pulau ini dulunya adalah pulau tempat orang orang yang bunuh diri akibat
tidak kuat menahan beban hidup, pulau bajak laut yang menyimpan harta rampasannya hingga yang paling
sering didengarnya adalah mitos tentang kisah cinta yang tragis antara Raja Langit dan Puteri Mimpi. Mamanya
sering menceritakan kisah itu setiap dia akan tidur. Tetapi anehnya dia tidak pernah merasa bosan
mendengarnya. Sebuah kisah tragis tentang cinta yang tertolak dan tentang tipisnya benang yang
menghubungkan rindu dan benci, cinta dan amarah.

Legenda tentang Raja Langit dan Puteri Mimpi bermula dari sebuah kerajaan besar di langit yang dipimpin oleh
seorang raja bergelar Raja Langit. Kerajaan besar ini menguasai seluruh wilayah di atas bumi dan merupakan

2
kerajaan terbesar waktu itu. Namun suatu kali Raja Langit bermimpi tentang seorang puteri yang sangat
rupawan dan dalam mimpinya itu, puteri tersebut berada di kerajaan bumi. Segera setelah terbangun, Raja
Langit memerintahkan semua prajuritnya untuk mencari puteri dalam mimpinya itu. Segala nasihat dan bujukan
dari para pegawainya untuk mengurungkan niatnya itu tidak diindahkannya sama sekali. Para pegawai kerajaan
langit khawatir bila sang raja nekad dengan pendiriannya maka hal itu akan membahayakan kerajaan langit itu
sendiri karena selama ini langit dan bumi memang diciptakan terpisah dan tidak boleh bersatu. Namun kemauan
sang raja memang sekeras batu karang. Dikirimnya tiga panglima terbaiknya untuk turun ke bumi dan mencari
puteri dalam mimpi raja tersebut. Singkat cerita, puteri yang bersangkutan akhirnya dapat ditemukan. Puteri
tersebut memang tinggal di sebuah kerajaan di bumi dan nama puteri tersebut adalah Puteri Mimpi. Raja Langit
yang sudah terbakar asmara segera turun tangan sendiri menuju bumi untuk meminang puteri impiannya itu.
Namun apa mau dikata. Lamaran Raja Langit ditolak mentah mentah oleh Puteri Mimpi yang ternyata masih
ingin hidup tenteram di bumi bersama rakyatnya daripada harus mengikuti Raja Langit ke kerajaannya.

Gertha hanya mendengus pelan. Kisah yang luar biasa menakjubkan baginya. Raja Langit yang semula hatinya
dipenuhi oleh luapan api asmara yang menyala nyala seketika berubah marah dan meluapkan kemurkaannya
dengan membabi buta. Dia memerintahkan agar seluruh kerajaan bumi dibakar habis bersama penduduknya
lalu memerintahkan pada panglimanya untuk menangkap Puteri Mimpi, memenggal kepalanya dan
menghanyutkan tubuhnya ke laut sementara kepalanya ditanam di dalam tanah sebagai lambang penghinaan.
Kisah cinta yang berakhir duka. Tetapi apakah memang seperti itu? Benarkah cinta memang hanya berakhir
dengan luka? Itukah sebabnya mamanya membawanya kemari? Supaya menghindarkan mereka dari jerat
asmara yang hanya akan membawa nestapa? Entahlah. Kisah selanjutnya juga tidak berakhir bahagia. Raja
Langit begitu menyesal setelah memberikan perintah itu namun apalagi yang bisa dia lakukan? Setiap kata yang
keluar dari mulutnya adalah sabda yang tidak terbantahkan dan kini semua sudah terjadi, tidak ada lagi yang
bisa dilakukan. Kerajaan bumi sudah musnah, orang orangnya sudah mati termasuk Puteri Mimpi yang
dicintainya. Namun ternyata roh Puteri Mimpi tidak bisa menerimanya begitu saja. Rohnya berkeliling bumi
sambil mengucapkan kutukannya yang mematikan. Dia mengutuk bumi menjadi tanah yang tandus, asap dari
pembakaran itu akan mengepul selama lamanya dan menutup pintu menuju ke langit. Akhirnya Raja Langit dan
segenap prajuritnya terjebak di bumi untuk selamanya. Terpenjara dalam kesedihan dan penyesalan tiada henti.
Dari situlah muncul mitos tentang pulau Kabut yang seolah selalu terjebak asap tebal dan orang orang tanpa
harapan yang mengurung diri mereka sendiri di pulau ini seolah menikmati masa hukuman yang tidak pernah
berakhir.

Kini dia hanya bisa merenung. Seburuk itukah kehidupan di pulau ini? Apakah hidup tanpa cinta itu memang
lebih baik daripada terjebak dalam gelora asmara yang memabukkan? Kepalanya kembali pening dan bayangan
tentang pangeran berkuda putih semakin kuat menancap di kepalanya. Seketika dia tidak ingat apa apa lagi.
Gertha kembali terbangun ketika bibirnya mengecap rasa asin yang kuat membakar lidahnya. Tidak. Ini
semacam campuran antara rasa pedas, asin dan cita rasa apa ini? Dilihatnya siluet manusia bertubuh tinggi
besar berambut putih menyeringai seram di hadapannya. Seketika dimuntahkannya semua yang ada di
mulutnya. Oma Kun! “Akhirnya dia datang. “Selamat datang cucu kesayangan Oma. Oma sengaja membuatkan
sup untukmu. Oma khusus mencari di pelosok hutan untuk mencarinya. Oma terpaksa harus memegangi
ekornya erat erat lalu membantingnya berkali kali di tanah, aku bahkan masih bisa memuntahkan tikus dari
dalam mulutnya. Ini khusus untukmu Gertha, ini yang terbesar diantara jenis binatang melata.” Gertha
memejamkan matanya dengan ngeri, apakah tidak ada makanan yang lebih manusiawi daripada ini? Apakah
belum cukup sakit di tubuhnya sehingga harus ditambah dengan hukuman menelan daging binatang reptil yang
menjijikkan ini? Dia benar benar lupa betapa beratnya kehidupan di Pulau Kabut.

Penduduk Pulau Kabut memang jenis pemakan segala dalam arti yang sebenarnya. Mulai dari ayam liar, ikan di
laut hingga binatang binatang pengerat dan binatang apapun yang mereka temui akan mereka lahap dengan
3
ganas setelah dimasak seadanya. Oma Kun adalah pelopor dalam sistem kuliner yang sungguh tidak beradab
ini. Tidak terhitung berapa banyak hewan yang sudah masuk dalam perutnya selama ini dan beberapa jenis
hewan diantaranya sungguh tidak layak makan. Seperti seminggu yang lalu, Gertha benar benar marah hingga
mendiamkan Oma kesayangannya itu seharian gara gara tanpa ijinnya Oma Kun memburu kelinci liar yang
ditemukannya di hutan. Oma Kun yang tidak pernah bergabung dengan organisasi pecinta hewan dan tidak
pernah mendapatkan pelajaran tentang hewan ternak ataupun peliharaan nampaknya menganggap kelinci yang
lucu itu sebagai menu makan pagi yang lezat. Dan dapat dibayangkan betapa shocknya Gertha melihat kelinci
mungilnya teronggok di besi pemanggang dijilati api unggun. Dan bisa bisanya Oma Kun menawarinya
sepotong! Gertha hanya menghela nafas berat. Dia tersenyum sendiri mengingat semua itu. Pulau Kabut dan
penduduknya memang berbeda dari penduduk pulau lain. Naluri bertahan hidup mereka jelas lebih kuat dan
otomatis membuat perasaan mereka menjadi semakin tumpul.

Pulau Kabut dan penduduknya memang unik sekaligus aneh. Tetapi entah mengapa dia merasa kini hatinya
mulai tenteram berada di sini mungkin karena bayangan sang pangeran berkuda putih kini semakin jelas dalam
ingatannya. Hari itu mamanya berkata bahwa Oma Kun menitipkan sesuatu kepada untuk dia dan berpesan agar
setelah sembuh titipan itu diberikan kepadanya. Walaupun penasaran tetapi hatinya sedikit lega karena
mamanya mengatakan bahwa titipan itu hanyalah selembar surat yang katanya merupakan jawaban bagi
kegalauan hatinya selama ini. Semoga saja seperti itu. Setidaknya dia bisa menyimpan sedikit harapan di pulau
tanpa harapan ini.

Mom, May I Fall in Love?


4
Era menutup kedua telinganya sementara Lodi mengutak atik radio transistor raksasanya. Suara berisik akibat
gelombang radio yang tidak tepat benar benar memekakkan telinga bersamaan dengan suara Lodi yang terus
menerus meyakinkan Era bahwa dia akan sanggup memperbaiki radio itu sehingga bisa menangkap sinyal
sinyal dan siaran lagu lagu seperti yang diharapkannya. Tetapi nampaknya kini semua sia sia saja. Jangankan
lagu daerah yang merdu merayu bahkan suara percakapan manusia normalpun tidak bisa diperdengarkannya.
“Oke sebentar lagi.” Dengan gaya percaya diri Lodi mulai menunjukkan kemampuannya sebagai mekanik
profesional satu satunya di pulau kabut. Seketika ditancapkannya kabel berwarna merah membara ke dalam
lubang di salah satu bagian radio dan hasilnya sungguh luar biasa. Bukan suara lagu lagu indah nan
menenangkan hati yang keluar tetapi teriakan Lodilah yang membahana memenuhi ruangan ditambah dengan
suara ledakan dahsyat yang menggetarkan. Listrik konslet dan Lodi sebagai satu satunya konduktor listrik
terpaksa menerima konsekuensi ilmu fisika terapan abad ini yang dalam istilah sederhananya adalah : kesetrum.

Era hanya tergagap dan tidak tahu harus berbuat apa karena tiba tiba listrik padam dan teriakan histeris Lodi
membuatnya semakin panik. Ditubruknya semua barang di hadapannya sambil berteriak teriak mencari
bantuan. Satu satunya pelajaran moral dalam hal ini adalah prinsip bahwa energi tidak tidak dapat diciptakan
dan tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat membahayakan bila diperlakukan dengan kurang sopan. Dalam hal
ini Lodi nampaknya kurang memahaminya. Walaupun akhirnya bantuan datang juga nampaknya memang
sedikit terlambat. Pak Kantor yang sedari tadi menunggu di luar rumah sebenarnya sudah mendengar alarm
darurat berupa raungan memelas Lodi, tetapi tanpa penerangan sedikitpun tetap saja menghalangi niat baiknya
untuk melakukan pertolongan pertama. Bah Bandit yang kebetulan lewat juga berniat ikut membantu tetapi
trauma akibat tersengat listrik pada masa kecilnya membuatnya ragu. Akhirnya dia hanya mematung beberapa
lama di depan pintu sambil mengamati tiga orang yang saling tubruk dan tendang dalam kegelapan diiringi
suara teriakan campur aduk yang memilukan.

Oma Kun mengoleskan pasta gigi terakhirnya pada tangan Lodi yang kini nampak menghitam sambil tidak
henti hentinya melontarkan omelan bernada menyalahkan. Mengapa harus memperbaiki radio bobrok itu?
Mengapa tidak menggunakan buku panduan? Mengapa tidak mematikan listrik dulu sebelum mencoba
eksperimen dengan listrik? Oma Kun terus menerus melanjutkan omelannya tentang mekanisme listrik dan
elektronika seolah olah dia tahu semua tentang bidang yang satu itu. Lodi hanya terdiam menahan sakit dan
jengkel. Dia tahu persis bahwa Oma Kun kemungkinan besar tidak pernah mengenyam pendidikan formal
seumur hidupnya. Segala pengetahuan super yang dimilikinya kini setengahnya berasal dari koran bekas yang
tidak sengaja dia temukan dan setengahnya lagi dikarangnya sendiri. Apa yang dia tahu soal eksperimen
elektronika? Dia bahkan kesulitan mengeja kata eksperimen. Lodi menahan sakit sambil menyesali
percobaannya yang gagal ini karena untuk kesekian kalinya dia gagal memperbaiki peralatan elektronik.
Kenyataan inilah yang membuatnya benar benar frustasi mengingat tidak ada satupun keberhasilan yang
berhasil diukirnya selama masa pengabdiannya sebagai mekanik amatir selama ini.

“Baiklah Lodi sebaiknya segera simpan semua barang rongsokanmu itu di gudang. Malam ini pasanglah obor.”
Oma Kun mengakhiri pidato monolognya dengan perintah yang lugas nan tegas. Lodi hanya menggerutu bukan
hanya dia harus membereskan barang barangnya yang berserakan tetapi juga harus menghabiskan malam dalam
gelap ditemani bulan purnama. Kehidupan di pulau kabut memang pahit lebih pahit daripada pil pahit manapun.
Era hanya menatap Lodi dengan kasihan. Sang mekanik amatir dengan harapannya yang besar kini tertunduk
layu tanpa daya. Keterbatasan fasilitas, kurangnya gizi dan minimnya pengalaman telah mengubur harapan dan
cita citanya jauh kedalam perut bumi. Entah sudah berapa banyak percobaan yang dia lewati dan semua
berakhir nol. Dan kini sang ilmuwan elektro menyerah dengan nasib buruknya seakan menjawab sebuah

5
kenyataan bahwa memang tidak akan ada harapan di pulau ini. Mengapa harus membuat perbedaan lagi? Bila
tidak ada harapan lagi, untuk apa berusaha?

Lasmi merasakan hembusan nafasnya bercampur dengan tiupan angin laut yang tiada berhenti. Mengapa kini
hatinya terasa gundah luar biasa? Benarkah puteri sulungnya kini benar benar jatuh cinta? Lasmi hanya
menundukkan kepalanya. Pikirannya berputar putar seperti gasing yang memusingkan. Pulau Kabut, ada apa
dengan pulau ini sebenarnya? Apakah benar keputusannya meninggalkan Kota Angin dan membawa kedua
puterinya kesini? “Apakah pulau ini benar benar dikutuk Oma?” suaranya yang kini semakin berat menyiratkan
perasaan hampa yang tidak tertahankan. Oma Kun kembali menghela nafas beratnya, mulutnya kini benar benar
terkatup rapat tanpa suara. Dibiarkannya angin laut menghempas pepohonan yang bergoyang bagai raksasa
hitam. “Pulau Kabut bukanlah pulau terkutuk, Lasmi. Mereka yang datang kesinilah yang mengutuk diri
mereka sendiri akibat penyesalan yang tidak termaafkan. Harapan adalah milik siapapun Lasmi, termasuk kita
yang berada di Pulau Kabut inipun sebenarnya masih memiliki harapan. Sebenarnya... tetapi seringkali kita
sendirilah yang membunuh harapan harapan itu sendiri dengan ego dan rasa bersalah. Tidak ada yang salah
dengan Pulau Kabut ini, Lasmi, demikian juga tidak ada juga yang salah dengan para penghuninya.” Oma Kun
tiba tiba menghentikan bicaranya dan lebih memilih memandang ke arah lautan luas yang bergelora. Sejenak
dia tidak ingat lagi apakah yang barusan dikatakannya tadi benar ataukah salah. Tepat ataukah tidak tepat.

“Gertha dan Era adalah kedua anakku Oma. Aku bertaruh nyawa menyeberangi samudera karena aku memiliki
harapan untuk membesarkan mereka berdua di pulau ini. Sebuah tempat yang terpencil dan jauh dari segala
gangguan pengaruh jahat yang ditimbulkan oleh harapan harapan palsu. Setidaknya, disini aku tidak lagi perlu
memakai topeng kebaikan untuk mengecoh manusia manusia penjilat yang haus akan keindahan khayalan.
Tempat ini adalah tempat yang tepat untuk membentuk kembali jiwa raga kami yang hancur akibat
pengkhianatan sebuah pengharapan.” Oma Kun hanya terdiam karena kali inipun dia tidak tahu apalagi yang
akan dia katakan. Lasmi dan keluarganya memilih untuk tinggal di Pulau Kabut ini jelas bukan tanpa alasan
yang kuat. Tekanan perasaan, kehilangan harapan dan sulitnya membangun kembali hubungan yang telah
hancur oleh pertikaian adalah alasannya meninggalkan kota tempat tinggalnya dan menetap di pulau yang tidak
dikenal ini. Dihelanya nafas berat dan menghembuskannya perlahan. “Sudah ratusan orang mati di pulau ini
Lasmi. Kebanyakan dari mereka memang memilih kematian karena tidak lagi merasa mampu menjalani
kehidupan di dunia yang penuh dengan tuntutan. Ada yang menggantung diri, menenggelamkan diri di dalam
laut, menjatuhkan diri ke jurang dan masih banyak cara bunuh diri lain yang lebih mengerikan. Aku tidak
mampu menghitung jumlah mereka dan aku juga tidak merasa perlu menghitungnya karena aku menganggap
bahwa hal itu sungguh tidak berguna. Orang orang itu mati karena menganggap bahwa harapan adalah candu
kehidupan yang kejam, racun yang menghisap kehidupan mereka secara perlahan. Sekarang tergantung
kepadamu Lasmi. Apakah kamu dan anak anakmu masih memiliki harapan? Sebab bila tidak, kalian akan
menjadi sama dengan mereka. Hidup tetapi sebenarnya mati.”

Lasmi mendongakkan kepalanya seketika. Kata kata itu seolah menjadi gada besar yang menghunjam hatinya.
“Aku bahkan tidak mengenal pemuda itu, Oma Kun dan Gerthapun tidak. Bisa jadi dia hanya bayangan
khayalan yang tidak berguna, bunga tidur semalam yang akan segera hilang begitu kita terbangun. Cinta
hanyalah khayalan logika, Oma dan aku tidak mau membiarkan puteriku terjerumus dalam mimpi indahnya
yang tidak nyata itu.” Oma Kun menatapnya tajam sambil mengusap rambut Lasmi yang panjang terurai.
“Tetapi bagaimana seandainya itu benar, Lasmi? Bagaimana seandainya pemuda itu benar benar ada? Aku
mengenal benar seperti apa Gertha dia tidak akan pernah mencintai bayangan. Dia menyebut Pulau Perbatasan
dan pangeran berkuda putih. Kurasa aku tahu siapa yang dia maksud.”

6
Pak Kantor duduk bersandar di pohon kelapa sambil menghisap rokok tembakaunya. Matanya menatap nanar
kearah langit cerah yang seakan tersenyum kepadanya. Nafasnya naik turun menahan beban berat. “Jadi, kau
sudah mulai mengerti bagaimana caranya hidup di pulau ini Gertha?” Gertha hanya tersenyum tidak menjawab.
Dia hanya duduk beralaskan pasir sambil melihat lautan yang menghantam karang karang di pantai. “Mengapa
bapak bisa berada di sini?” Kata katanya seakan tertelan angin laut yang berhembus kencang menerpa daun
daun kelapa. Pak Kantor tertawa pahit. “Aku mengutuk laut, Gertha. Aku mengutuk laut agar dia menerjang
apapun diatasnya. Supaya dia menelan apapun yang mencoba melintasinya. Aku menyumpahi istriku sendiri
supaya dia mati ditelan gelombang.” Sejenak dia terdiam. Mata tuanya kini tertunduk mengamati butiran pasir.
“Istriku lari bersama laki laki lain Gertha. Mengkhianatiku, meninggalkan aku seperti barang tidak berguna dan
aku puas setelah melihat kematiannya.” Gertha menatap lekat lekat lelaki separuh baya ini. Guratan guratan
wajahnya nampak sekali menunjukkan penyesalan yang dalam. “Tetapi kemudian bapak menyesal?” Pak
Kantor tiba tiba saja mengangkat kepalanya. “Aku menyesal karena bukan hanya istriku saja yang tewas. Dia
tewas bersama dengan puluhan penumpang kapal lainnya. Itulah yang membuat aku menyesal. Penyesalanku
begitu dalam sehingga aku tidak bisa menahannya lagi. Aku lari ke pulau ini semata untuk menghukum diriku
sendiri.”

Gertha hanya tersenyum pahit tanpa menjawab sepatah katapun. Nampaknya nasihat Oma Kun untuk menemui
Pak Kantor adalah tepat adanya. Bagaimanapun dia adalah seorang petualang hidup yang berhasil bertahan di
tengah ganasnya badai hidup yang menghantam tanpa kasihan dan disinilah dia hidup kini. Di sebuah pulau
tenang tidak bertuan dan dialah yang akan menjadi kunci jawaban dari semua pertanyaannya. “Apakah bapak
pernah memiliki harapan?” Pak Kantor hanya terpaku tanpa ekspresi. “Apalah artinya harapan bagiku Gertha?
Berhasil hidup di tempat gila seperti ini saja bagiku sudah cukup. Inilah tempat hukuman bagiku dan disinilah
awal sekaligus akhir perjalananku Gertha. Hanya ada dua pilihan disini. Hidup dalam penjara penyesalan
seumur hidup atau mengakhiri hidup tanpa meninggalkan kesan sedikitpun. Apakah Oma Kun yang
menyuruhmu kesini? Datanglah besok pagi Gertha, akan kuajarkan bagaimana cara mendaki langit.”

Dear Prince on the White Horse...


7
Gertha menatap surat di hadapannya dengan pandangan sayu. Dia pernah membaca berbagai macam kisah
dengan berbagai gaya bahasa dari yang berbahasa halus nan merayu dengan lembut ada pula yang menggebu
gebu dengan semangat yang penuh kebencian serta dendam. Tetapi semuanya memiliki cita rasa yang sama
terkecap sempurna dalam memori dan segenap inderanya. Tetapi surat yang satu ini memang benar benar lain
Ditulis diatas kertas bekas pembungkus makanan cepat saji dengan tanggal kadaluwarsa yang mungkin lebih
tua dari usia penulisnya ini menyisakan berbagai teka teki yang kini membuat keningnya benar benar berkerut.
Walaupun dia diberitahu bahwa Oma Kunlah yang menuliskannya tetapi dia agak kurang yakin bahwa omanya
sendiri yang menuliskannya sendiri. Tulisan itu sendiri begitu berantakan dengan berbagai gambar, simbol,
angka dan deretan huruf dalam berbagai bahasa yang sangat sulit dia cerna. Akhirnya diletakkannya surat itu
dan sambil menatap pantai terngiang kata kata Oma Kun :

“Ketika kau menguasainya Gertha, ketika kau berhasil melewati tiga tahapan ini maka pangeran impianmu
akan segera datang. Tidak ada seorang lelakipun yang akan mampu menolak pesonamu Gertha. Percayalah
pada Oma.”

Tetapi benarkah itu? Gertha menatap langit dengan sendu, sekilas dia merasakan bahwa birunya langit itu
menatapnya kembali dengan pandangan yang sama sedihnya. Apakah rindunya memang terlarang? Apakah
cintanya memang kali ini membentur tembok batu? Siapa sebenarnya yang dia cintai juga merupakan misteri
baginya. Seorang pemuda berkuda putih melenggang gagah melaju dengan percaya diri di hamparan pasir.
Siapa dia sebenarnya? Mengapakah kini begitu mudahnya hatinya tertawan oleh sergapan perasaan?
Digenggamnya pasir di tangannya dan diremasnya hingga tangannya sendiri terasa sakit. Cinta yang berakhir
luka dan dukalah yang kemungkinan besar akan mengiringnya menuju akhir yang mengerikan, tetapi apakah
semudah itu cinta menguap dalam genggaman luka dan tersingkir begitu jauhnya dari pandangan mata dua
insan yang tengah memadu kasih? Dipalingkannya wajahnya dan beranjak pergi tanpa mempedulikan wajah
sang rembulan yang menatapnya dengan kasihan.

“Masih memikirkan surat itu Gertha?” Seketika dia terperanjat namun segera menarik nafas lega setelah
melihat mamanya yang berada di depannya kini. “Marilah pulang nak, kemungkinan kamu tidak akan bisa
menemui Bah Bandit dan Lodi besok. Mereka akan berlayar pagi pagi benar. Biar mama yang menceritakan
apa yang terjadi kepada mereka sebenarnya.” Gertha hanya tersenyum lemah. Mamanya selalu ada untuknya,
selalu ada untuk menyelesaikan segala permasalahannya. Malam yang semakin larut mengiring perjalanan
mereka.

Lasmi menatap kedua puterinya dengan takjub seolah tiada lagi pemandangan indah lain yang mampu
menandinginya. Gertha dan Era adalah gambaran sempurna pahatan pujangga ternama yang memadukan antara
imajinasi liar namun penuh perhitungan rumit ala Michael Angelo dan sentuhan lembut nan memabukkan
Mozart sang komposer musik kelas dunia yang menghentak namun melenakan. Kalau saja dua pujangga
pemuja seni kelas tinggi seperti Rembrandt dan Boticelli mau meluangkan waktu sedikit saja untuk
mengabadikan wajah keduanya maka dia bisa menjamin bahwa mereka tidak akan mampu lagi memalingkan
wajahnya dari pemandangan indah di hadapannya. Keduanya adalah anugerah surga dan dia benar benar
meyakininya. Lasmi kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya semata hanya untuk melepas beban yang
menggumpal di dalam dadanya. Suara denting piring dan gelas yang digunakan kedua puterinya menjadi latar
belakang yang menyenangkan. “Selesaikan makan kalian anak anak, perahu jemputan akan segera tiba. Kali ini

8
Bah Bandit ternyata tidak jadi berlayar jadi dialah yang akan mengantar kalian. Hati hati di jalan.”
Diucapkannya kalimatnya dengan bergetar tanpa menyadari dua bulir air mata menetes ke pipinya.

Lasmi hanya bisa menatap kebawah seakan takut melihat keatas. Takut? Apa yang mesti dia takuti disini?
Hanya orang orang gila sajalah yang akan mendaratkan perahunya di pulau Kabut. Dan kini dia dan kedua
puterinya bukan hanya mendarat disini melainkan tinggal dan hidup disini. Apakah mereka adalah orang orang
gila yang sudah kehilangan akal bahkan kehilangan perasaannya? Seberapa gilakah mereka sebenarnya? Kalau
memang seperti itu apalagi yang harus dia takuti? Dia mendiami pulau yang tidak diinginkan siapapun, pulau
terpencil, terluar, tertinggal. Terlupakan. Mengapa dia kini merasa takut? Lasmi hanya tersenyum getir. Satu
hari saja menginap di pulau ini terasa seratus tahun lamanya dan dalam jangka waktu itu siapapun orangnya,
seberapa hebatpun orangnya akan terkapar jatuh tanpa daya. Pulau ini akan memakannya hidup hidup,
menghisapnya sampai habis sehingga dia akan lupa bagaimana caranya menangis. Keberaniannya akan hilang
lenyap tanpa bekas hanya menyisakan guratan perasaan hampa yang semakin lama semakin menekan. Lasmi
hanya bisa mendesah pelan. Dia meninggalkan tempat asalnya tanpa membawa apapun kecuali kobaran
dendam dan hati yang tercabik. Tetapi bagaimana dengan kedua puterinya? Apa kesalahan mereka sehingga
mereka harus ikut menanggung nestapa yang menimpanya? Apa dosa kedua malaikat kecilnya ini sehingga
mereka harus ikut bertaruh nyawa bersamanya menuju pulau antah berantah yang bahkan petualang paling
nekadpun memalingkan wajahnya? Takut? Kesadaran akan hal itulah yang kini membuatnya takut. Air matanya
menetes satu persatu. Takut? Ya, dia merasa takut sekarang. Dia takut akan mati terlebih dahulu sebelum
mereka dan dengan begitu meninggalkan kedua puterinya di Pulau Kematian. Dapat dirasakannya kini air
matanya meluncur semakin deras, pohon pohonpun bergoncang tanpa ampun mengiring kesedihannya, burung
burung berkicau mentertawakannya. Sang penantang waktu dan pejuang paling kuat inipun kini telah menyerah
kalah menghadapi kejamnya kehidupan. Ya. Menyerah. Kini dia telah menyerah.

Gertha memandangi laut dengan jemu sekaligus benci. Diliriknya Era yang kini tertidur pulas tanpa
mempedulikan goncangan perahu yang terus menerus mendera. Entah apa yang dipikirkan adiknya ini. Apakah
suasana pulau kabut yang monoton tanpa nuansa ini tidak pernah benar benar mengganggunya? Apakah kisah
kisah menyeramkan tentang kutukan Pulau Kabut tidak membuatnya takut? Ditahannya senyumnya tetapi tidak
berhasil. Apakah dia pernah jatuh cinta? Dia hanya berharap jawabannya adalah tidak. Cinta hanya
menciptakan penderitaan. Dialah manusia paling damai di dunia. Glaciera “Era” Amazia Famosa si bungsu
keturunan keluarga Famosa. Ditatapnya wajah polos adiknya dengan perasaan iri. Andai dia memiliki
ketenangan jiwa seperti Era. Andai saja...

Perlahan dilayangkannya pandangannya ke laut. Dia sangat membenci laut walaupun tidak jelas mengapa dan
entah sejak kapan dia membencinya tetapi bahkan kata “laut” saja kini membuatnya muak. Apa yang bisa
dilihat di laut selain air tanpa batas? Ironis sekali sebab ketika dia masih kecil satu satunya harapannya adalah
melihat laut. Guru gurunya di sekolah selalu menceritakan tentang laut dan keindahannya, tentang daun daun
kelapa yang berhembus pelan ditiup angin laut yang lembut, perahu nelayan yang hilir mudik kesana kemari
dengan penuh senyuman karena membawa ikan ikan segar hasil tangkapan mereka. Setidaknya ya setidaknya
itulah yang mereka ceritakan kepadanya. Rangkaian mimpi indah yang seharusnya tetap indah. Seharusnya.

“Semua berasal dari air. Segala hal yang ada di dunia ini berkaitan dengan air bahkan tubuh manusia terdiri dari
70% air didalamnya. Tanah mengandung air dan buah buahan tidak akan bisa bertumbuh bila mereka ditanam
di atas tanah tanpa kandungan air. Air, air dan air. Air adalah kehidupan. Bisakah manusia bertahan tanpa air?
Manusia mandi menggunakan air. Bukan hanya manusia tetapi juga binatang. Kerbau, sapi, babi, ayam anjing,
burung semuanya mandi minum air. Air adalah sumber kehidupan bagi seluruh makhluk.” Gertha hanya

9
tersenyum geli mengingat penjelasan salah seorang gurunya dulu. Dengan begitu lugas dan tegas dia
memotivasi semua murid untuk menghemat dan mencintai air. Setidaknya seharusnya hal itulah yang
disampaikan. Tetapi karena terlalu bersemangat menyampaikan presentasi sains dia rupanya terjebak dalam
penjelasan tentang fungsi air yang membosankan. Masih diingatnya hampir seluruh kelas harus berjuang keras
untuk menahan kantuk akibat penjelasan tentang fungsi air yang selalu diulangnya terus menerus. Air adalah
sumber kehidupan. Tetapi air laut? Bagaimana dengan air yang terkumpul dalam jumlah besar yang disebut
lautan? Laut adalah sumber kehidupan? Dia tidak merasa seperti itu.

Laut hanya menyisakan kenangan pahit ketika dia dan keluarganya harus meninggalkan kampung halamannya
untuk selama lamanya. Dan dia, satu satunya lelaki yang pernah dia cintai dengan segenap hati hanya berdiri
disana tanpa ekspresi seperti patung batu yang terpahat rapi tanpa cacat dan cela, tegak tanpa tergoyahkan. Hal
inilah yang benar benar membuatnya muak. Lelaki inilah yang pernah membuatnya tersenyum dan tertawa
sepanjang waktu. Tetapi kini? Dia tidak lebih dari sebongkah daging tanpa nafas kehidupan. Diam dan tidak
dikenal. Saat itulah dia benar benar melihat laut dalam sudut pandang yang sangat berbeda. Bukan lagi angin
sepoi dan gelombang yang menerpa lembut seperti yang dulu dia rasakan saat mereka masih bersama dan tidak
juga seperti kisah kisah yang pernah diajarkan guru gurunya. Deburan ombak kini seakan mampu
menghancurkan karang, menyeret ribuan bintang laut, ubur ubur dan berbagai hewan laut lainnya ke tepi pantai
hanya untuk memberikan pemandangan bahari yang menyedihkan.

“Apakah itu benar Bah Bandit? Apakah benar pulau ini dikutuk?” Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum
masam. “Ya. Mungkin Gertha. Mamamu tidak menceritakannya padamu?” Gertha hanya menggeleng dengan
malas. “Aku ingin dengar sendiri dari Bah Bandit. Mengapa bisa berada disini? Dan pertanyaanku belum
dijawab. Apakah benar pulau ini dikutuk?” “Aku hidup di laut, Gertha. Makan, minum, bekerja, mencari
kesenangan. Semuanya kulakukan diatas laut. Bagiku laut adalah segalanya. Kehidupan sekaligus kematian.
Dua sisi mata pedang yang sama sama mematikan pada akhirnya.” Lelaki itupun menghela nafas panjang.
“Tetapi pada akhirnya kita harus hidup. Bertahan hidup di tengah kematian. Karena memang tidak ada pilihan
lain yang bisa diambil. Pulau ini tidak pernah dikutuk Gertha. Orang orangnyalah yang memiliki kualitas
sebagai manusia terkutuk. Kau pasti sama dengan orang orang lain yang menganggap bahwa aku adalah bajak
laut yang bengis, yang menguburkan harta rampasannya di pulau ini.” Tawa lelaki itu seketika membahana.

“Aku hanyalah korban Gertha, korban yang terjebak dalam pusaran kehidupan yang kacau. Suatu ketika
kapalku karam, kebocoran dimana mana dan aku sendiri yang harus membereskan semuanya sendiri. Semua
anak buahku segera menaiki sekoci sekoci penyelamat untuk menyelamatkan diri. Semuanya selamat Gertha,
kecuali aku. Dengan susah payah aku berenang mencari pertolongan di tengah laut lepas sedingin es, mencoba
tidak terlihat diantara ikan ikan ganas yang siap menjadikanku makan malam mereka sambil melihat kapalku
perlahan tenggelam. Bisa kau bayangkan? Kapal itu adalah kapalku, Rumahku! Tempat aku mencari nafkah,
mencari kehidupan dan sekaligus tempatku tinggal selama ini. Aku yang membelinya, merawatnya,
memperbaikinya. Yang mempekerjakan orang orang sialan itu supaya bekerja di kapalku dan secara otomatis
menggaji mereka. Dan saat itu seorangpun tidak ada yang mengingatku Gertha. Bisa kau bayangkan sekarang?”
Gertha hanya menghela nafas pelan. “Dan Abah kemudian terdampar kesini?” Bah Bandit tidak segera
menjawab. Matanya menatap kearah laut dengan perasaan seperti ingin muntah darah. Dipelankannya suaranya
ketika melihat Era mulai terbangun. “Ya, aku terdampar kesini tanpa sengaja. Tidak seperti mereka yang
membuang dirinya sendiri kesini. Berada disini bukanlah kemauanku.” Diarahkannya telunjuknya kearah Pulau
Perbatasan. Penari Api. Akan kuaj

10
11

Anda mungkin juga menyukai