Anda di halaman 1dari 10

Dari Ujung Pandang ke Makassar

Cerpen Karangan: Muhammad Nur Hidayat Adiyyin


Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Sejarah

Ujung Pandang sebuah tempat romansa kita hidup berkisah, aku berusaha menemuimu diantara
riuhnya kota ini yang sekarang suduh berkembang pesat. Tampak beda saat dulu dimana kita
selalu mendapati satu cahaya lampu jalan yang terperangkap gelap. Sekarang gelaplah yang
terperangkap dari banyaknya cahaya di kota ini. Atau bahkan kita hanya menemui satu titik
ramai di kota ini. Tempat dimana antara ombak dan pasir putih bertemu mengadu mesra. Di
sebuah bibir pantai Orang menyebutnya pantai losari. Sekarang titik ramai bisa kutemukan di
setiap sudut sudutnya.

Saat aku menapak kaki di kota ini Kukira langitnya hanya akan berbicara tentang kita. Ternyata
tampak berbeda yang kulihat. Riuh ujung pandang dengan terang dan ramainya seolah ingin
menelan cerita cinta kita. Lantas kemana dirimu? Bahkan saat aku bergeser ke bantimurung dan
bersandar di salah satu pohonnya, seekor kupu kupu terbang rendah di sekitarku dan tiap tiap
kepakan sayapnya seolah mengusirku dan berkata “Dia tak ada disini”.

Masih ingat bantimurung?


Suatu siang bergelantungan mendung di atap atap semesta. Aku dibuat iri oleh air terjunnya yang
mengalir di pipimu merah merona.
Masih ingat bantimurung?
Airnya menggiringmu ke tepi untuk mencari tempat yang hangat mengobati pori yang sedang
luka tertusuk dinginnya bantimurung
kau kini sudah ingat bantimurung kan?
Apalagi saat itu ada seekor kupu kupu yang hinggap di tasmu lalu berbisik seorang pria tak jauh
dari sini sedari tadi menatapmu dengan penuh heran, mungkin dia sedang jatuh cinta, apa kau
merasa demikian?

Aku bukanlah seorang yang muda jatuh cinta, muda mengubah rasa apalagi untuk seukuran pada
pandangan pertama. Tapi karenamu ini ceritanya beda. Kutarik kataku kataku dan aku rela
dipanggil seorang yang munafik yang tak memegang kata katanya tapi hanya untuk saat itu saja.
Pada senyum yang diapit lesung pipimu. Pada sepasang bola matamu yang menggelinding ke
jiwaku. Katakan padanya aku sedang jatuh cinta!

Bantimurung dan air terjunnya sebuah tempat di tepi kota tapi disana pusat hikayat cinta kita
bermula namun sejarahnya bukan kita yang pertama membangun cinta disana.

Konon pernah ada kerajaan kera di kampung Abbo. Dengan raja yang bernama raja toakala yang
berbulu putih, bertubuh besar, dan piawai bicara selayaknya manusia. Ia seekor kera yang
berjenis macaca moura yang sekarang ini patungnya selalu menyambut siapapun yang datang ke
bantimurung. Toakala sangat senang bila tiba suatu hari saat ia pergi berburu. Namun di
perjalanan berburunya ia tak sempat menombak tubuh seekor rusa malah hatinya yang terpanah
pada sosok perempuan di telaga kassi kebo yang berada di atas air terjun bantimurung.

Selayaknya seorang putri dari kerajaan wanita itu tentu berwajah cantik, berkulit putih dan
berambut amat panjang. Bilamana ia mengurai rambutnya itu dibutuhkan tujuh tiang jemuran
untuk menopang saking panjangnya. Dia bernama I Bissu Daeng seorang putri dari kerajaan
Pattiro.

Sepulangnya toakala dari berburu ia lantas mengirim utusannya untuk meminang Bissu daeng.
Namun cinta yang dipunya toakala berubah jadi amarah dan penuh murka ketika begitu tau
cintanya bertepuk sebelah tangan karena toakala dipandang seekor kera tak pantas
mempersunting Bissu Daeng yang cantik jelita.
Raja toakala sudah terlalu jatuh cinta. Hingga pada suatu hari ia menculik Bissu Daeng dari
genggaman kerjaan Pattiro tapi seekor ular sanca raksasa menyelamatkannya dan membawanya
pulang. Toakala semakin murka dan sedang membuat rencana untuk menyerang kerajaan Pattiro.
mendapat kabar akan diserang, nyali Raja Pattiro ciut dan mengatur siasat jahat. Ia mengutus
panglimanya untuk bertemu dengan Raja Toakala. Ia berpesan agar Toakala datang melamar
secara baik-baik dengan syarat, seluruh rakyatnya harus ikut tanpa terkecuali.

Atas nama cinta kepada Bissu Daeng, amarah Toakala surut dan setuju atas permintaan itu. Ia
mengerahkan seluruh rakyat dan pasukannya datang ke Pattiro untuk melamar Bissu Daeng.
Sebelumnya, Raja Pattiro sudah menyiapkan sebuah ruangan besar yang terbuat dari jerami yang
direkatkan getah pinus. Saat rombongan datang, mereka pun disambut dengan kenduri oleh Raja
Pattiro di dalam ruangan besar itu.

Toakala dan rakyatnya sama sekali tak sadar bahwa semua itu hanya jebakan belaka. Belum usai
menyantap kenduri mereka lebih dulu dilalap api. Ruangan besar itu sengaja dibakar oleh
pasukan Pattiro dari luar hingga seluruh rakyat Toakala. satu ekor betina rakyat Toakala lolos
begitupun sang raja yang memiliki kesaktian. Hingga akhirnya karena marah dan merasa
bersalah Toakala mengasingkan diri dan bertapa di sebuah gua di Bantimurung yang sekarang
dinamakan gua Toakala.
Aku pernah menceritakan ini padamu kan? Lalu kubilang semoga aku tak senasib Toakala, lalu
kau balas dengan pendek Amin.

Kau bersandar di pundakku dan aku bersandar pada Pantai Losari. Ditempat ini tak ada yang
lebih indah dari menyantap pisang epe sambil menatap matamu. kau dengan polos bercerita
bahwa tadi dalam perjalanan menuju pantai losari bulan mengikuti langkahmu kemanapun kau
pergi. Ku jawab saja bahwa bulan sedang terpeson denganmu, dengan gincu yang baru kau beli
melekat di bibirmu dan alis mu yang kau hitamkan dengan sesuatu yang entah apa namanya, tapi
kau sebut dengan bahasa makassar yaitu calla.

Malam semakin larut dan sunyi seolah ingin menyeruput kita. Ini waktu yang kita sepakati untuk
mengakhiri pertemuan kita malam ini. Sesuai janjiku kuantar kau kerumahmu dengan motor
tuaku. Walaupun tanpa janji sudah seharusnya kuntar kau pulang sebab tak elok membiarkan
perempuan pulang sendiri malam malam.

Di sebuah jalan dengan logat makassar kau bilang “Ini mi rumahku”, tepatnya dekat sebuah
pertigaan daerah tamalanrea.

Alangkah saya dibuat terkejut dengan rumah mewahmu rupanya kau seorang anak yang berada.
Berbanding denganku yanng barang berharganya hanyalah sebuah motor warisan. Dan saya
semakin terkejut saat kau memaksaku untuk menemanimu melewati halaman rumahmu dan
berpamitan ke orangtuanmu. Saya waktu itu takut tidak bisa memantaskan diri berada didepan
orangtuamu. Selanjutnya keterlibatan orangtuamu atas kisah kita membuatnya lebih rumit.

Tragedi romantis di pantai losari adalah peraduan mesra terakhir kita. Gara gara sikap
orangtuamu yang memandang seorang pria dengan motor tua sepertiku tak layak dekat
denganmu. Itu juga pertama dan terkahir aku datangi rumahmu. Beberapa hari kemudian teman
temanmu bilang bahwa kau tak lagi dibiarkan keluar rumah. Seakan tanpa hati orangtuamu
membunuh rinduku dengan belati.

Seperti Toakala yang mengasingkan diri dari tragedi yang menghujam cintanya, aku pun sama.
Semua yang ada di ujung pandang kutinggalkan. Dari kerabat yang tak pernah dekat, keluarga
yang serasa teman biasa, dan sepasang nisan orangtuaku. Perempuan seperti kau hanya
kudapatkan melalui takdir, jadi aku ke Jakarta mencari takdir tanpa sepengetahuanmu secara
langsung kecuali hanya surat yang kutitip kepadamu yang di ujung kalimat bertulis kata perintah
“jaga hatimu untukku” dan setelahnya kutulis lagi kata kerja “tunggu aku sejauh cintamu bisa
memendam rindu”.

Dari nama ujung pandang dan berganti Makassar. Terhitung lima belas tahun sudah sekian
tumpuk surat kutitpkan disayap merpati menuju rumahmu tapi hanya satu surat kuterima
balasanmu. Kalau kau berpikir aku telah hilang nyali untuk mencitaimu berkali kali kau salah.
Satu surat yang kuterima darimu membujukku kembali ke Ujung Pandang. Tunggu dulu kira kira
lima belas tahun ini berapa banyak pria yang telah memetik cinta di taman sanubarimu. Kau
belum dipinang dengan janji suci kan??? Akhh tak peduli. Ujung pandang aku datang desember
ini menagih rindu bukan untuk sekedar berpesta tahun baru

Makassar atau ujung pandang sudah terlalu jauh meninggalkan kisah kita, atau mungkin aku
yang terlalu lama merantau sedang kau disni meronta ronta menuntut mesra. Singkatnya di
bantimurung kita belum bertemu dan Pantai Losari juga tak ada wajahmu disana. Hingga pun
sudah memasuki tiga hari aku di makassar masih belum bertemu juga. Kepak sayap kupu kupu di
bantimurung yang bilang kau tak disana, berujung membuatku berpikir jauh sebenarnya ada apa?
Jika ada garis yang membentang ditengahku dan kau, mari kita patahkan, jadi temui aku
sekarang. Sekalipun aku seorang pria perkasa terlatih di tanah rantau melawan rindu. Tetap saja
aku seorang yang menghamba pada cintamu lalu memintanya sebagai imbalan.

Hari ke tiga di Ujung Pandang dilangitnya sedang ada pelangi yang setia menunggu hujan tapi
beberapa menit kemudian pasti akan dicurangi oleh awan. Dan kota Ujung Pandang telah
lumpuh digelanggang sepi. Air mata jatuh didetik detik kepualanganku yang tak mendapatkan
apa apa. Padahal semua sudah kurencanakan jika memang kau belum dipinang seorang pria
maka kita sepasang manusia yang paling bahagia dimalam tahun baru. Dengan kembang api
yang kau tatap dan berbingar di matamu, lalu menyantap kembali pisang epe di Pantai Losaari
sambil menatapmu, andai saja buka sekedar andai. Tapi tunggu saat kian dekat langkahku
menuju jalan pulang seeorang perempuan mendekatiku yang wajahnya tak asing untuk kukenal,
kukira itu kau ternyata dia temanmu sambil membawa pesan “Mentari telah mati dalam bunuh
dirinya”.

Cerpen Karangan: Muhammad Nur Hidayat Adiyyin


Kenangan
Cerpen Karangan: Rizaldi Mu'min
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Perjuangan, Cerpen Sejarah

Maaf maryam, surat ini mungkin telat datang kepadamu. Maklumlah, sekarang aku cukup sibuk
dan lelah meratapi kenyataan tentara-tentara sekutu yang ternyata memboncengi Belanda itu
sempat membuatku terkejut. Mereka sudah menguasai kantor pos, pabrik-pabrik, bank dan
banyak lagi. Tak mungkin aku ceritakan semuanya. Yang penting, aku ingin tahu kabarmu di
Bukit Tinggi, Maryam. Bagaimana pula keadaan amak dan apak? Kudoakan semoga kalian
diberi kebaikan. O iya, si Ramli juga bagaimana kabarnya? Ya ampun… Saking sibuknya aku
ini, sampai-sampai aku lupa ia sudah baranjak tiga tahun usianya.

Ya, sekali lagi maklumilah! Sekarang zaman perang, aku sibuk menulis ini dan itu,
mewawancarai pemimpin, para tentara sampai korban perang. Selain itu, aku mesti hilir mudik
dari satu kota ke kota lainnya.

Ngomong-ngomong tantang kota, ada suatu persoalan yang membuatku sangat pusing. Asal kau
tahu, aku sangat enggan meninggalkan kota ini. Mengenai lembaran-lembaran ultimatum yang
disebarkan dari atas pesawat. Pastilah jika kau melihatnya, kau akan merasa takut, Maryam.
Masalahnya terletak pada isinya. Aku dan seluruh warga Bandung diperintahkan untuk pergi
meninggalkan kota. Kuulangi lagi, ini masalah isi Ultimatum tersebut. Kalau saja perlawanan
kami tidak menimbulkan kesulitan bagi warga Bandung, kami tidak akan mengkhawatirkan
ultimatum tersebut. Sama ketika ultimatum pertama NICA dikeluarkan. Dipintanya kami
menjauh dari Bandung sekitar sebelas kilometer. Hah! Mustahil bagi kami untuk menyetujuinya.

Kau tahu, Maryam? Setelah banjir yang melanda Bandung usai, masih saja tindak-tanduk NICA
yang tak berotak itu dilanjutkan hanya demi menyongsong kekuasaan. Dasar iblis jal*ng! Tak
tahu apa mereka, kalau rakyat menderita? Mengumpat, menembak, membunuh bahkan menyiksa
rakyat tanpa henti.

Coba kalau kau tinggal di sini, kau pasti takut, Maryam. Banyak sekali aku mrlihat mayat di
pinggiran sungai, hasil dari apa yang ramjadah itu lakukan. Orang-orang ditembak seperti
binatang buruan. Aku tak tega membawamu kemari. Rencanaku untuk membawamu dan Ramli
ke kota ini, kuurungkan.

Inikah perang? Apa harus orang mati karenanya? Halah! Penjajah yang juga tak tahu diri. Sudah
tahu kita merdeka, masih saja ingin mencocol kekuasaan. Aku yakin Maryam, sambal cocolmu
lebih enak dibandingkan sambal cocol orang yang dicocol tanpa izin. Aduh, jadi makin rindu.
Kapan aku bisa kembali ke Bukit Tinggi? Ngarang. O iya hampir aku lupa, rencananya
pemerintah mau menuruti ultimatum yang kedua yaitu agar para tentara keluar dari Bandung.
Ya, mereka melakukan demi keamanan rakyat. Aku hendak lakukan apapun meski harus
meninggalkan kota tercinta.

Ingin sebenarnya aku membawamu kemari dan menunjukan kota asri ini. Melihat danau katsuari
dekat jalan setapak. Memetik dedaunan di lembah gunung awi, berenang, makan sembari dicocol
sambalmu. Walah, tapi mana mungkin? Wong Bandung tak seperti dulu. Hewan-hewan jal*ng
itu sudah mengubah danau katsuari menjadi lautan mayat. Aku titip doa sama kamu, semoga
jal*ng-jal*ng itu diludeskan daru tanah air ini.

Ada sebuah kedai kopi tempatku berkumpul bersama kawan. Dua hari yang lalu, tempat
kenangan itu di bom. Ledakan ini merambah dari satu kedai ke toko ke lempeng logam ke
jalanan kota. Musnah sudah mungkin tempat-tempat yang dulu bergemilang romantika kisah
persahabatan. Aku tak habis pikir, Maryam. Meski aku cuma seperti buih tak jelas ikut-ikutan
tentara, tapi aku juga punya ambisi untuk tendang Belanda rancu itu. Selalu membuatku emosi.
Aku sampai-sampai mabuk kepayang memikirkan hal itu.

Nasution juga mungkin saja punya rencana besar untuk Bandung. Namun, belum sempat ia
ungkapkan. Koran dan majalah juga belum menggembornya ke publik.
Oh, Maryam andai kau di sisiku, pastilah kau membuatku kuat. Aku di sini hanya dirundung
kesedihan yang datang dari rombongan raksasa ini. Jujur, aku juga terlarut dalam keharuan.
Ketika seolah kami berjalan tinggalkan kota tercinta, kami mungkin nanti akan menatap ke
belakang melihat kehancuran. Paris van java seolah hanya sebuah nama tiada arti. Mungkin.
Seolah aku, kawanku bersama beberapa orang mukiman menjadi saksi bisu antara perjuanganan
pengorbanan. Maryam, kalau saja kau menatap raut wajah mereka, tidak hanya kesedihan belaka
yang nampak terbenak di pelupuk mata, namun ada amarah juga dendam yang tersimpan.

Doakan kami di sini Maryam, juga sekalian do’a dari apakmu yang ulama itu supaya cepat
dijabah Allah. Semoga kami diberikan kekuatan untuk mengusir iblis jal*ng itu. Semoga aku
kembali ke dekapanmu. Salam, suamimu Tanri.
Kisah Mitha Dan Tragedi Trisakti
Cerpen Karangan: Humaida Masfiyah
Kategori: Cerpen Perjuangan, Cerpen Sejarah
Lolos moderasi pada: 18 November 2017

12 Mei 1998,
pukul 07.30 WIB
Masa yang terdiri dari para mahasiswa, dosen dan alumni universitas trisakti mulai mendekati
mimbar bebas untuk mendengarkan orasi politik dan menyuarakan aksi damai, tak terkecuali
mitha paramitha yang juga berpartisipasi dalam orasi itu. aksi damai ini dipicu karena akhir-akhir
ini keadaan ekonomi Indonesia semakin goyah dan permasalahan internal lainnya.

Awalnya orasi berjalan dengan lancar. Berulang kali mitha meneriakkan kata-kata pembakar
semangat nasionalisme disusul teriakkan mahasiswa yang lain. mereka kembali menggalakkan
aksi damai menuju gedung nusantara, kali ini mitha berada pada barisan terdepan bersama
mahasiswi lainnya dengan membawa beberapa tangkai bunga mawar sebagai simbol
perdamaian. Tapi entah mengapa hati mitha merasakan hal yang buruk. Tanpa terfikirkan mitha
kembali mundur ke barisan paling belakang dan terdiam.

Beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan peluru yang benar-benar mengejutkan disusul
dengan tembakan gas air mata, para mahasiswa lainnya bergerak mundur diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Mitha yang tak mengerti apa yang sedang terjadi mengingat mitha
hanya tau bahwa mereka sedang melakukan aksi damai harus menerima serangan tembakan.
Para mahasiswa panik dan bercerai-berai, sebagian besar memilih untuk berlindung di
universitas trisakti, tapi mitha lebih memilih untuk berlindung di samping pagar kayu yang
tertutup tepat lima ratus meter dari gedung nusantara. Mitha dapat mendengar dengan jelas
beberapa suara tembakan peluru yang membabi buta, teriakkan kepanikan dan deru langkah kaki
terus melangkah. Mitha tahu keadaan di luar benar-benar kacau, tapi apa daya ia tak mampu
berbuat apapun, tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan.

Pukul 18.30 setelah terjadi baku tembak yang tak ada hentinya, mitha merasa keadaan sekitar
sudah mulai mereda, ia mulai melangkahkan kakinya menuju universitas, mitha harus tetap
waspada di setiap langkahnya karena bisa saja dengan mudah ia dapat diserang aparat petugas,
sepanjang jalanan terlihat rusak dan berantakan, mitha hanya dapat memandang ngeri. Tak jauh
dari pandangannya terlihat beberapa mahasiswa dan warga sipil yang terluka, mitha ikut
membantu mengevakuasi beberapa korban bersama mahasiswa lainnya untuk dilarikaan ke
rumah sakit dan tempat yang aman. Para mahasiswa kembali panik karena melihat ada beberapa
aparat berpakaian gelap di sekitar hutan dan sniper di atas gedung universitas yang masih
dibangun, baku tembak pun tak dapat terelakkan. mereka yang panik segera berlari menuju
gedung universitas yang dirasa cukup aman, karena saat itu mitha tengah membopong seorang
korban yang terluka parah, ia tak dapat melangkah dengan cepat, terdengar suara tembakan
mengarah pada tubuhnya, mitha panik dan segera menggendong si korban masuk ke ruang
ormawa, dengan segera mungkin mereka memadamkan lampu untuk bersembunyi.

Di ruangan itu, mereka mengatakan bahwa ada empat mahasiswa yang tewas tertembak peluru
tajam, mereka sangat beduka teramat dalam atas kejadian ini, tak disangka niat baik yang
direncanakan dari awal berujung dengan insiden baku tembak. Setelah bersembunyi sekian
lamanya, mereka melihat keadaan mulai aman walau tak sepenuhnya, namun mereka belum
diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing sebelum ada instruksi. Dan di luar sana tengan
terjadi dialog antara beberapa dosen dan pimpinan sedang bernegosiasi tentang kepastian
pemulangan para mahasiswa, lalu disepakati bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat
keluar dari gedung secara sedikit demi sedikit per-lima orang, maka dengan cara begitu
mahasiswa dijamin akan pulang dengan selamat.

Ahirnya perintah itu segera diinstruksikan kepada yang lain, mereka mematuhinya dan masing
masing keluar dari gedung sedikit-sedikit perlima orang secara bergiliran, sekarang giliran mitha
dan barisannya yang keluar, ketika mitha mulai menjejakkan kaki ke luar gedung tiba-tiba
badannya terkulai lemas, darah mengalir di lututnya hingga ia tak sadarkan diri.
“lalu kenapa setelah itu mama pingsan?” Gadis kecil itu bertanya dengan polos kepada
mamanya.
“kalau dilihat dari cerita tadi, menurutku mama pingsan karena kakinya tertembak saat menolong
korban yang terluka itu dik.” Tutur candra, satu-satunya kakak lelakinya yang berusia dua tahun
lebih tua.
“haha, iya candra tepat sekali, pertanyaan indah juga bagus, ingat ya, saling tolong menolong
adalah perbuatan mulia, apalagi saat kondisi kacau seperti itu, tenaga medis sangatlah terbatas,
tak ada yang mampu menolong kecuali diri kita sendiri” tutur mama dengan lembut disertai
belaian lembut tangannya di puncak kepala anak-anaknya.
“tapi ma, aku yakin pasti ada seseorang yang memancing kerusuhan itu terjadi, sepertinya
memang disengaja, ada provokator dan dalang yang mengendalikan semua dibalik tragedi itu.”
kata farah, putri sulungnya degan menggebu-gebu, dia lebih mengerti dibanding adik-adiknya
yang masih TK dan kelas 5, mungkin karena mendapat pelajaran PKN di sekolah, terlebih farah
baru masuk sma, pantas bila kata-katanya begitu puitis.
“mama dan semua orang juga berfikir seperti itu farah, tapi tetaplah tak ada seseorang yang
muncul untuk mempertanggungjawabkan semuanya. sebenarnya kami sudah berusaha mencari
dan melacak keberadaan si pelaku utama, tapi hasilnya nihil, hal itu seperti sudah tersembunyi
dan tersusun dengan rapi, tak ada yang menemukannya, kasus ini pun perlahan terlupakan.”
Akhir dari Ambisi Mahapatih Gajah Mada
Cerpen Karangan: Vira Maulisa Dewi
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Patah Hati, Cerpen Sejarah
Lolos moderasi pada: 2 May 2021

“Bundaa… Aku harus gimana?”, tanyaku lagi sambil kembali memelukknya. “Aku sangat
mencintai Adian”.
Bunda membalas pelukanku sembari mengelus punggungku.
“Bunda tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Sejak dulu keluarga Ayah sama Bunda memang
percaya sekali dengan larangan itu”, jawabnya.
“Itu hanya mitos, Bun, bukan larangan”, seketika aku melepaskan pelukanku setelah mendengar
jawaban Bunda yang cenderung berpihak ke Ayah.
“Sasya, kamu harus sadar kalau kamu itu dilahirkan sebagai Orang Sunda”, pinta Bunda.

Aku tak mengatakan apa-apa lagi. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Entah kalimat apa yang
bisa kuutarakan pada Ayah supaya bisa meluluhkan hatinya untuk menerima Adian. Yang ada di
kepalaku hanyalah Gajah Mada, mahapatih yang terkenal pada masanya itu benar-benar
membuatku sangat kesal. Meskipun aku belum menemui bagaimana wujud aslinya, aku hanya
berambisi untuk menghabisinya kalau saja dia berada di masa sekarang. Kalau saja Hayam
Wuruk dan Dyah Pitaloka jadi menikah waktu itu, mungkin jalan yang kulewati sama Adian
tidak menemui batu besar seperti ini.

Langit mulai gelap dan bintang pun berserakan di awang-awang, tak hentinya aku menangis.
Mataku semakin sembab, perasaanku hancur. Berkali-kali Adian menghubungiku. Berkali-kali
pula aku mengacuhkannya, rasanya masih terlalu berantakan untuk bercerita ke Adian.

okk… tokk… tokk…


“Sya, makan dulu, Nak”, bisik Bunda dari balik pintu.
“Bunda makan dulu saja”, kataku lirih.
“Jangan gitu, Sya. Lusa kamu wisuda loh, harus dijaga kesehatannya”, Bunda berusaha
membujukku. “Hayuuu, Geulis. Ayah sudah menunggu di bawah”.

Klekkk… Aku pun beranjak dan membuka pintu. Bunda masih setia menungguku di depan
pintu. Wajahnya mendadak mendung setelah melihat raut mukaku yang benar-benar berantakan.
“Ya ampun, Sasya… Sudah, Nak, jangan begini terus. Kamu harus bangkit”, Bunda mengelus
rambutku sambil mendekapku dengan peluk hangatnya.
“Yang buat Sasya kaya gini juga siapa?”, cetusku setelah melepaskan pelukan Bunda. Kedua
mata Bunda nampak berkaca-kaca. Aku tak peduli, aku kemudian meninggalkan Bunda yang
masih diam mematung.

Satu demi satu aku mulai menuruni anak tangga yang menggiringku ke meja makan. Benar kata
Bunda, Ayah sudah duduk bersiap untuk menikmati makan malam. Tapi makan malam kali ini
terasa sangat berbeda dari malam-malam sebelumnya. Ayah tak ada niat sama sekali untuk
sekedar memandang wajahku. Dan mulutkupun membeku hanya untuk sekedar mengucapkan
selamat malam.

“Malam ini Bunda masak makanan kesukaan kamu, Sasya”, ujarnya. Aku melihat ada perkedel
jagung, makanan kesukaanku, tertata manis di sebuah piring.
“Terima kasih, Bun”, ucapku lirih. Suaraku terdengar serak dan berat karena tangis yang tak
terhenti sejak tragedi bersama Ayah dan Bunda siang tadi. Sontak saja Ayah memandangku
setelah mendengar keanehan dari suara yang keluar dari mulutku.
“Kenapa suaramu? Kenapa juga mata kamu sembab gitu?”, tanya Ayah bersama dengan ekspresi
judesnya. Aku diam. Tak menjawab satu pun pertanyaan Ayah.
Brakkkk… Sontak aku terkejut bukan main. Bunda yang sedang mengambil nasi untuk piring
Ayah pun merasakan hal yang sama. Tiba-tiba saja jemari-jemari Ayah yang kekar menggebrak
meja makan yang berisi penuh masakan Bunda.
“Ayah…”, Bunda mengelus dada pujaan hatinya itu setelah meletakkan wadah nasinya.
“Buat apa kamu nangis-nangis seperti itu? Sampai suara kamu serak, mata kamu sembab dan
penampilanmu sangat memalukan!” seakan-akan Ayah khawatir dengan keadaanku, tapi ia salah
dalam mengungkapkannya. Kali ini tangannya menyibak kedua tangan malaikat milik Bunda, ia
berdiri dengan pandangan yang tajam menusukku berkali-kali.
“Ayah, sudah, Yah. Kita makan dulu”, Bunda berusaha meredam amarah Ayah.
“Ayah…”, belum selesai kuberucap air mata yang sedari terbendung keburu mengalir deras.
“Nangis lagi! Nangis terus!”, bentak Ayah lagi. “Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari
si Adian itu. Ayah hanya tidak ingin anak Ayah satu-satunya ia sampai salah pilih pasangan”.
“Tapi, Yah. Adian itu orang baik-baik, Sasya tahu siapa Adian, Yah”, ujarku berusaha menampik
ucapan Ayah.
“Ayah tidak mengatakan kalau Adian bukan orang baik-baik. Ayah hanya tidak suka kalau anak
Ayah mengabaikan pesan dari nenek moyang keluarga kita, hanya itu saja. Titik!”.
“Sasya sudah bilang, Ayah. Itu hanya mitos. Jadi kita…”.
“Jadi kita apa? Kita harus melanggarnya gitu?” Ayah memotong ucapanku tanpa permisi.
“Ayah…”, ucapanku kali ini mendadak terhenti karena tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dari
luar.
Ayah menghela napas panjang dan menghembuskannya. Kedua mata Ayah masih menatapku
tajam.
“Siapa, Bun?” teriak Ayah setelah mendengar Bunda mengobrol dengan seseorang. Bahkan nada
suara Ayah masih terdengar begitu kesal.
Tapi tak kunjung ada jawaban dari Bunda, yang ada justru Bunda menghampiri kami yang masih
bersitegang. Bunda datang tergopoh-gopoh dan segera menghampiri Ayah.

“Adian ada di ruang tamu”, ucapnya lirih.


“Siapa, Bun? Adian di mana?”, aku berusaha memperjelas apa yang baru saja telingaku dengar.
Ayah kemudian melirikku dengan raut muka yang seakan-akan ingin menerkamku. Entah apa
yang dibicarakan Bunda, keduanya seakan-akan tak ingin aku mengetahuinya.

Ayah kembali menoleh ke arahku. Kali ini gigi-gigi Ayah bertabrakan, suaranya yang gemeretak
terdengar jelas olehku.
“Kamu belum cerita ke Adian kalau Ayah sama Bunda tidak setuju dengan hubungan kalian?”,
tanya Ayah dengan begitu kesal. Ia terlihat berusaha menahan amarahnya.
Aku diam. Hanya kepalaku yang menggeleng pelan dan setitik air bening meluncur dari pelupuk
mata, kemudian jatuh tepat dipangkuanku.
“Tunggu apa lagi, Sasya? Kamu berjam-jam di kamar itu ngapain aja? Nangis doang?” kali ini
suara Ayah semakin meninggi. Karena berusaha menghargai Adian yang sedang bertamu, Bunda
berusaha menekan suara Ayah.

“Ayah memang tidak pernah mendengar curhatan Sasya. Makanya Ayah tidak pernah tahu
bagaimana isi hati dan perasaan yang sedang dirasakan anaknya. Ayah dengan mudahnya
mengatakan ‘nangis doang’”, aku mengakhiri penjelasan itu dengan tawa kecil. “Laki-laki yang
telah menjadi Ayah, mau tidak mau harus memahami perasaan wanitanya, istri dan anak
perempuannya. Tidak seperti Ayah”, tambahku.
Dann… Plakkkk… Sebuah tamparan keras mendarat hangat di pipi kananku. Bunda yang
terkejut menyaksikan kejadian ini sontak menjerit dan dengan sigap menarik tangan Ayah yang
ingin melayangkan tamparan keduanya. Aku tak bersuara sepatah katapun. Tanganku mengusap
ujung pipi bekas tamparan Ayah yang memulai memanas.

datangnya, Adian ternyata sudah berdiri di dekat kami. Ayah masih berusaha mengembalikan
emosinya, ia berdiri mematung sembari memandang Adian.
“Mohon maaf, Om, Tante, kalau Adian lancang masuk ke sini”, ucapnya merasa bersalah.
“Sejak kapan kamu di situ?” tanya Ayah.
“Belum lama, Om. Sejenak setelah mendengar Tante teriak. Adian berpikir ada sesuatu yang
terjadi”, ujarnya.
“Ya, memang benar ada sesuatu yang terjadi. Dan kamu harus tau itu!”
“Sa-sa-saya, Om?” tanyanya gelagapan.
“Ya, kamu”, jawab Ayah singkat.
“Sudah, cukup! Adian, kamu tunggu di depan! Kita bicara di luar, aku mau ganti baju dulu”, aku
menarik tangannya dan mendorong Adian untuk meninggalkan Ayah yang amarahnya sedang
mendidih.

“Sas… Sasya, ini ada apa? Kenapa, kenapa kamu sembab kaya gini?” tanya Adian. Dihapusnya
air mataku yang masih bercucuran. “Cerita ke aku, ada apa?” Aku tak menjawab, Adian
kemudian meraih kedua tanganku berusaha untuk meyakinkan diriku.
Aku melepas paksa genggaman Adian, “Tunggu di sini, aku ganti baju dulu”, kataku yang
kemudian meninggalkan Adian yang masih berdiri mematung di teras.

Selama perjalanan di mobil, aku dan Adian mendadak canggung. Sesekali ia menoleh ke arahku
sembari tetap fokus pada setir bundarnya. Sementara aku, aku masih menikmati tangisku yang
tak kunjung henti. Bahkan aku sampai sesenggukan. Mungkin ini membuat Adian semakin
bingung.

“Ehm…”, deham Adian. Ia kembali memandangku sekilas.


“Sas, gapapa cerita aja ke aku. Ada masalah apa?” tanyanya.
Aku belum menjawab. Kemudian kuusap segelintir air yang jatuh menusuri wajahku.
“Kita mau ke mana sekarang? Ngopi? Makan? Nonton? Belanja?”, tanya Adian bertubi-tubi.
“Berhenti di sini saja”, kataku.
Jelas saja Adian seketika tampak terkejut dengan jawabanku. Memang benar selama perjalanan
kami belum tahu mana arah yang akan kami tuju. Kemudian tiba-tiba aku meminta ia
memberhentikan kemudinya dan berhenti di trotoar yang ramai akan hiruk pikuk kendaraan.
“Di sini? Bener?”, tanya Adian tak yakin sembari melihat sekeliling. Aku hanya menggangguk
pelan.

Cerpen Karangan: Vira Maulisa Dewi

Anda mungkin juga menyukai