Anda di halaman 1dari 37

http://www.teaterangin.com/?p=733 Dari Tukang Kebun - Rabindranath Tagore Matamu yang mengandung tanya itu duka.

Ia mencari-cari hendak mengetahui isi hatiku bagai bulan hendak menduga laut. Telah kusingkapkan hidupku seluruhnya di muka matamu, tak ada lagi yang tersembunyi atau tertahan. Itulah sebabnya mengapa tak kau tahu aku. Jika hidupku hanya sebuah permata, akan dapat kupecahkan jadi seratus keping dan kurangkai jadi seutas rantai untuk kukalungkan di lehermu. Jika ia hanya sekuntum bunga, bundar dan kecil dan indah, akan dapat kupetik dari batangnya untuk kusematkan di rambutmu. Tapi ia adalah hati, kekasihku. Di manakah pantai dan dasarnya? Kau tak tahu batas-batas kerajaan ini, selama kau jadi ratunya. Jika ia hanya sejenak kesenangan, ia akan mengembang jadi senyuman ringan, dan akan dapat kau lihat dan kau baca dalam sekejap. Jika ia semata-mata hanya kepedihan, ia akan mencerna menjadi air mata bening mengaca, membiaskan rahasianya yang terdalam tanpa kata. Tapi ia adalah cinta, kekasihku. Kesenangan dan kepedihannya tak terbatas, dan tak ada akhirnya kepapaan dan kemewahannya. Ia dekat padamu seperti hidupmu sendiri, tetapi kau tak pernah dapat mengetahuinya benar-benar. Puisi di atas diambil dari buku Tukang Kebun-nya Rabindranath Tagore. Lumayan ngetop di kalangan anak angin tahun 90-an, kalau tidak salah diperkenalkan oleh Jengki. Bahkan Adhi Tiana dengan sangat bersemangat membeli buku ini sebagai oleh-oleh buat anak angin, ketika dia ke Jakarta dalam rangka penerimaan hadiah juara II Lomba

Penulisan Cerpen Tingkat Nasional. Seingatku, dua orang yang paling nge-fans sama puisi ini adalah Sukada dan Imam Wahyudi. 30 Mar 2009, 10:30 by sukada

dulu sempat berhasil meracuni temen kampus di sini dg puisi ini. sampe2 dalam suatu periode itu setiap melihat/ngobrol sesuatu, pasti dikaitkan dg salah satu baris dari puisi ini, entah karena emang nyambung, atau karena maksain biar nyambung, atau hanya untuk sekedar meledek diri sendiri karena terlalu engrossed dg puisi nya. btw, kalo ngga salah, si Abang yg membawa buku it ke sekolah, entahlah, lupa. yg jelas, versi bhs inggris nya ngga seseru versi bhs indonesia. mungkin karena taunya versi bhs indo dulu, jadi versi bhs lain kesannya menjiplak. Permainan Syair Rabindranath Tagore Alangkah riang bahagianya engkau, Nak, duduk di tanah penuh debu, sepanjang pagi itu, bermain patahan ranting. Aku tersenyum melihat engkau, bermain patahan ranting. Saat itu, aku disibukkan hitungan, menjumlah bilangan. Mungkin saja saat itu, engkau mengilaskan pandang

ke padaku, dan berfikir, "Mau-maunya, sepagi ini waktu dihabiskan dengan permainan bodoh itu." Aku sudah lupa, nak, bagaiamanakah cara menikmati seni bermain dengan tongkat-tongkat dan kue lumpur. Aku mencari permainan yang mahal-mahal, dan mengumpul bongkah-bongkah emas dan perak. Dengan apa saja kau jumpai, kau cipta permainan, kau buat kegembiraan, sementara aku habis waktu habis pula tenaga mencari yang tak terdapatkan. Dengan kanu rapuh, hendak kulawan laut keinginan, Terlupa: permainan, yang mestinya menggembirakan.

RUMAH Syair Rabindranath Tagore Melangkah sendiri aku di jalan itu, di seberang padang padi, matahari di sana sedang tenggelam bagai si kikir menyembunyi kilauan emas terakhir. Terang siang tenggelam dalam dan lebih dalam ke peluk gelap, dan panen telah dipungut dari ladang, menjanda ditinggal petani, ia terhampar menyepi. Tiba-tiba ada lengking suara bocah nyaring, menuding ke langit. Tak tampak mata dilintasnya gelap angkasa,

lihat jejak nada lagunya, memintasi diamnya malam. Kampung halamannya ada di sana, di ujung lahan kosong, di antara ladang tebu, tersembunyi di antara bayang pisang dan lampai pinang, pohon kelapa, dan nangka hijau tua. Aku sejenak menjeda langkah, diam sendiri di sinar bintang, dan menebar pandang ke belakang, bumi mengelam, mengepungkan gelap dengan lengan-lengannya, rumah tak terbilang berperkakas buaian dan ranjang nyaman, hati ibu dan lentera malam, dan hidup mula yang gembira dengan kegirangan yang tak pernah tahu betapa bernilainya dia bagi dunia. Tanah Pengasingan Sajak Rabindranath Tagore Ibu, ada cahaya jadi kelabu di langit; tapi sekarang sudah pukul berapa, aku tak tahu. Permainanku tak asyik lagi, maka biar saja aku datang padamu. Ini hari Sabtu, liburnya kita. Tinggalkan dulu kerjamu, ibu, duduk di sini bersisi jendela lalu ceritakan padaku di mana padang pasir Tepantar dalam dongeng itu? Bayang-bayang hujan itu menutupi rapat mendekap hari dari akhir hingga akhir.

Halilintar menyambar mencakar langit dengan tajam jari-jari di tangannya. Ketika awan gaduh dan hari dikepung badai aku suka takut di hatiku, berpeluk padamu. Ketika lebat hujan berderai berbilang jam di daun-daun bambu, dan jendela rumah kita berguncang, tersebab kencang hembus angin, aku suka duduk sendiri di kamar, ibu, denganmu, dan menyimak ceritamu: tentang padang pasir Tepantar dalam dongeng itu. Di manakah gurun itu, ibu? Di pantai laut apakah? Di kaki bukit apakah? Di kerajaan siapa rajanya? Tak ada pagar yang menanda batas ladang, tak ada jalan setapak supaya orang desa bisa pulang ketika sudah tiba malam, atau perempuan dari hutan memikul kayu bakar ke pasar. Ada petak-petak rumput kuning di pasir dan hanya sebatang pohon di mana sepasang burung tua membuat sarangnya, di padang pasir Tepantar. Tak bisa kukhayalkan, bagaimana di hari mendung itu putra belia raja memacu kuda abu-abu, sendiri menempuhi gurun, mencari putri yang terkurung di istana gergasi, di seberang bentangan air yang entah. Ketika kabut hujan datang dari langit jauh,

dan halilintar mulai menyambar bagai sakit yang tiba-tiba terasa, ingatkah dia pada ibunya yang gundah, ditinggalkan raja, menyapu kandang lembu, dan menyeka air matanya, sementara dia sang putra memacu kuda di padang pasir Tepantar? Lihatlah, ibu, hari nyaris gelap nyaris malam, tak lagi ada musafir nun di jalan pedusunan. Bocah gembala pulang lekas dari padang rumput, dan lelaki meninggalkan ladang pulang, lalu duduk beralas tikar di gubuk, melihat awan merengut. Ibu, sudah kusimpan semua buku pelajaran di rak, jangan dulu menyuruhku belajar lagi sekarang ini. Nanti kalau aku besar seperti ayah, aku akan pelajari semua yang memang harus dipelajari. Tapi, mohon untuk hari ini saja, beri tahu aku, ibu, di mana gurun Tepantar dalam dongeng itu? Begitulah Bayi Syair Rabindranath Tagore Jika memang dia inginkan, bayi dapat melesat terbang ke surga, saat ini juga. Bukan tanpa alasan, dia tak meninggalkan kita.

Bayi teramat cinta merebahkan kepalanya di dada ibunya, dan ia juga tak tahan bila ia kehilangan tatap pandangan ibunya. Bayi tahu seluruh makna kata bijaksana, kata yang hanya sedikit orang di bumi yang bisa memahami arti sebenar-benarnya. Bukan tanpa sebab, dia tak ingin bicara. Satu-satunya yang ingin ia pelajari adalah kata-kata ibunya, kata yang terucap dari bibir ibunya. Sebab itu, ia seakan tak tahu apa-apa. Bayi punya setimbun emas dan mutiara, tapi dia datang ke bumi ini seperti pengemis kedana. Bukan tanpa karena, dia datang seperti menyaru. Pengemis kecil ini hanya berpura tak berdaya, agar bisa memohon kekayaan cinta ibunya. Di negeri kecil bulan sabit, bayi teramat bebas dari segala belenggu. Bukan tanpa apa-apa, dia pasrahkan kebebasannya. Dia tahu, ada ruang bagi kegirangan tak habis-habis di sudut kecil hati ibu, dan terperangkap dalam dekapan lengan, jauh lebih manis dari kebebasan.

Bayi sesungguhnya tak pernah tahu tangisan. Dia tinggal di negeri berlimpah kebahagiaan. Bukan tanpa dalih, dia mencucurkan air mata. Sebab dengan senyum di wajah ramahnya, dia memikat rasa kasih ibu padanya, dan tangis kecilnya menjalin dua ikatan: belas kasihan dan cinta. Sang Saudagar Syair Rabindranath Tagore Bayangkan, ibu, bayangkan engkau tinggal di rumah, dan aku bepergian jauh nun ke negeri-negeri asing. Bayangkanlah, ibu, perahuku siap tambat sarat muat. Dan sekarang coba sungguh pikirkan, ibu apa yang engkau hendak aku bawakan bila kelak aku datang. Ibu, maukah engkau kuberi emas bertimbun-timbun? Di sana, di tepi arus sungai keemasan, ada ladang penuh tumbuh, tanaman memberi panenan emas. Dan di teduh jalan setapak, di tengah hutan, juga ada bunga champa keemasan ke dasar berjatuhan. Hendak kukumpulkan untukmu bunga itu, kubawa

dalam beratus-ratus keranjang. Ibu, maukah engkau mutiara, butirnya bagai tetes-tetes hujan musim semi? Lalu kuarungi lagi latu, ke pantai pulau mutiara. Di pagi yang teramat awal, gigil cahaya mutiara di bunga-bunga padang rumput, ada butir yang jatuh, ada butir berkilauan di pasir, direnjis percik ombak dari yang tak hendak jinak. Sepasang kuda bersayap, saudaraku kelak punya, agar kami bisa menembus terbang di antara mega. Dan untuk ayah, kubawakan pena ajaib untuknya pena yang bisa menulis sendiri, tanpa setahunya. Dan untukmu, ibu, aku mesti membawakanmu berpeti-peti permata, senilai kekayaan tujuh raja. Sang Pengarung Samudera Syair Rabindranath Tagore Madhu si juru perahu, perahunya ditambatkan di dermaga Rajgunj. Perahunya dimuati rami, sia-sia sebab perahunya sudah lama ada tertambat di sana, tak kemana. Kalau saja, dia pinjamkan perahunya, akan kupasangi dengan seratus dayung, kubentang layar, lima atau tujuh tiang.

Aku tak kan pernah mengemudikannya untuk singgahi pasar-pasar bodoh saja. Aku harus melayari tujuh samudera, dan tiga belas sungai di negeri mimpi. Tapi, ibu, jangan tangisi aku di sudut itu. Aku tidak pergi ke hutan seperti Ramachandra, untuk balik setelah hanya empat belas tahun. Kelak aku akan jadi pangeran dalam dongeng, dan mengisi perahuku apa saja yang kumau. Akan kuajak Ashu, sahabatku. Lalu kami berlayar bersuka cita, mengarungi tujuh samudera dan tiga belas sungai di negeri mimpi. Lalu kami memasang layar di pagi dini hari. Bila naik pasang malam, engkau mandi di kolam, kami saat itu ada di negeri asing, raja yang asing. Kami mengarungi samudera Tirpuni, dan di belakang kami, padang pasir Tepantar. Bila kami kembali, hari mulai gelap, maka kukisahkan padamu, apa yang kami temu. Aku telah menyeberangi tujuh samudera, dan tiga belas arus sungai di negeri mimpi.

Bunga Champa Syair Rabindranath Tagore Katakan saja aku menjelma jadi bunga champa, ini sekadar kelakar, tapi akulah bunga yang tumbuh di dahan pohon tinggi, berayun lambai di lalu angin, tertawa dan menari di atas pucuk-pucuk daunan, tahukah kau adalah itu aku, ibu? Kau akan berseru, "Sayangku, dimana kau, anakku?" Aha, aku tergelak sendiri tapi tetap diam sembunyi. Aku akan memekarkan mahkotaku, perlahan tersipu, dan menyaksikan engkau, ibu, sibuk dengan kerjamu. Usai mandi, rambutmu basah terurai di bahumu, kau melangkah di bawah bayang pohon champa, ke sudut halaman di mana kau lafalkan doa-doa, kau nikmati aroma bunga, wangiku yang tak kau tahu. Lalu setelah makan tengah hari berlalu, kau duduk di jendela membaca Ramayana, dan tedung bayang pohon menyentuh rambut dan pangkuanmu, musti kujatuhkan juga mungil bayanganku di halaman bukumu, pada huruf-huruf halaman yang kau baca. Kau duga, ibu? Bayang kecil itu bocah cilikmu? Lalu di malam hari, kau menengok kandang sapi, di tanganmu nyala lentera, aku tiba-tiba menjatuhkan diri ke bumi, dan menjelma kembali bocah kecilmu,

dan memohon engkau mendongengkan cerita. "Dari mana saja, kau anak nakal?" "Aha, tak akan kuberi tahu, ibu." Begitulah kataku dan begitulah juga katamu, kelak kemudian, kan?

Pohon Banyan Syair Rabindranath Tagore O, kau pohon banyan bertajuk kusut bertegak diri di bantaran tepian danau, sudahkah kau lupakan dia: bocah kecil, bagai burung-burung mungil yang pernah bersarang di cabangmu, lalu pergilah ia? Tidak ingatkah kau? Dia di bingkai jendela mengagumi liuk akarmu menembus bumi? Para perempuan datang ke danau, menimba air, mengisi kendi-kendi, dan bayanganmu - besar dan hitam - bergeliat di muka air bagai tidur yang hendak dibangunkan. Sinar matahari menari dari riak ke riak kecil, serabut kecil, tak letih menenun tapestri. Dua bebek berenangan, batas rumpun rumput, di keteduhanmu, bocah duduk nerawang diam. Dia rindu: jadi angin hembus di kelidan cabangmu, ingin jadi bayang memanjang bersama lalu siang, ingin jadi burung hinggap di ranting paling pucukmu, ingin terapung bagai bebek, di sela rumput & bayang. Dunia Bayi Syair Rabindranath Tagore

Betapa ingin aku mengambil tempat di sudut paling tenang di hati bayiku, di dunia sejatinya. Aku tahu, di sana ada bintang yang bercakap dengannya, dan langit yang merunduk ke wajahnya, menggelitik hati dengan jenaka awan-awannya dan pelangi-pelanginya. Mereka yang berbuat seakan-akan bebal. Dan berpura seperti mereka tak pernah bisa bergerak, lalu mengendap ke jendela dengan kisah-kisah mereka dan dengan keranjang penuh dengan mainan cerdas cemerlang. Betapa ingin aku bepergian di sepanjang jalan yang melintasi benak bayi dan terus melampaui seluruh tempat yang terlarang dikunjungi; Dimana sang pengabar membawa pesan meski tanpa harus ada alasan antara satu kerajaan ke kerajaan Raja-raja tak beriwayat; Dimana Sang Pedalih merangkai layang-layang dan menerbangkannya, dan Sang Kebenaran menata Kenyataan bebas belenggu kekangan. Pukul Duabelas Syair Rabindranath Tagore Setelah bersama bukuku sepanjang pagi, Ibu Sungguh aku ingin berhenti sebentar belajar.

Katamu, ibu, inikan baru jam dua belas siang. Tapi mungkin tak lagi, sebab bisakah kau pikir ini sore hari meskipun baru pukul duabelas? Bisa dengan mudah kubayangkan, sekarang matahari mencapai ujung sawah itu, dan nelayan perempuan sedang memetik pucuk-pucuk untuk makan malamnya, nun di sana di sisi telaga. Maka kututup saja mataku dan menerawangkan bayang-bayang berkembang semakin gelap di bawah pohon madar itu, dan permukaan air di telaga itu tampak hitam berkilau-kilauan. Bila pukul dua belas bisa mendatangi malam hari, kenapa malam tak bisa tiba di pukul dua belas? Ketika Hujan Syair Rabindranath Tagore Awan murung berangkulan berlalu lekas melintasi pinggir batas gelapnya hutan. O anak, jangan beranjak keluar rumah! Pohon palma yang berbaris di sisi telaga menyentakan kepala ke langit muram; gagak dengan sayapnya yang terdekap bungkam di dahan-dahan pohon asam, dan sisi sungai di arah timur dicekam

oleh kemurungan yang semakin dalam. Nyaring lenguh sapi, tertambat di pagar. O anak, tunggu di sini, kubawa dia ke kandang. Orang-orang berkerumun di lapangan tergenang menangkapi ikan yang lepas dari kolam banjir; air hujan mengalir deras ke anak sungai, lewati jalan kecil, bagai bocah tergelak yang berlarian mengelak menjauhi ibunya, mengusik hati ibunya. Hei dengar, ada yang berseru kepada sang tukang perahu di penyeberangan. O anak, terang hari telah jadi kelam, dan penyeberangan pelabuhan telah pula tutup. Langit seperti menunggangi lekas hujan yang turun lebat-hebat; air di sungai nyaring bergemuruh bergegas tak sabar; perempuan telah bersegera pulang dari sungai Gangga dengan kendi-kendi yang penuh berisi. Lampu-lampu malam harus segera dinyalakan. O anak, jangan beranjak ke luar rumah! Jalan ke pasar sudah terputus, jalan kecil ke sungai pun betapa licin. Angin mengaum

meronta-ronta di cecabang bambu, bagai binatang buas terjaring di perangkap. Melati-melati Pertama Syair Rabindranath Tagore Ah, melati-melati ini, melati putih ini! Aku serasa terkenang lagi, hari pertama ketika kupenuhi dua tanganku dengan melati-melati ini, melatih-melati putih ini. Aku mencintai cahaya matahari, langit dan aku mencintai bumi yang hijau ini; Aku mendengar desir mengalir sungai menembus kegelapan tengah malam; Senja musim gugur pun datang padaku di simpangan jalan, terbiar sepi sendiri, bagai mempelai membuka kerudung menerima kekasih hatinya datang. Masih saja kenanganku terasa manis karena melati pertama yang pernah ada di tanganku ketika kanak-kanakku. Hari-hari keriangan datang dalam hidupku, dan bergirang di permainan pasar malam. Pada hujan pagi yang kelabu, aku pun

bersenandung lagu-lagu lambat lantun. Malam hari, aku melingkarkan roncean bunga bakula di leherku, bunga-bunga yang dirangkai tangan-tangan kasih. Masih saja hatiku terasa manis karena kenangan melati pertama yang pernah mengisi tanganku ketika kanak-kanakku. SEBUAH HADIAH Syair Rabindranath Tagore Aku hendak memberi sesuatu, anakku selama kita mengalir dalam arus dunia. Hidup kita kelak tak akan lagi sejalan, dan cinta pun kelak akan terlupakan. Tapi aku tak ingin begitu bodohnya berharap aku bisa membeli hatimu dengan pemberian hadiah-hadiahku. Hidupmu yang belia, jalanmu yang panjang, dan engkau meneguk kasih yang kami bawa dengan sekali hirup, lalu menjauh dari kami. Engkau punya permainan dan teman main. Alangkah sakitnya bila engkau tak punya waktu atau tak lagi memikirkan kami.

Kami sesungguhnya, punya waktu senggang yang cukup pada usia tua, menghitung hari yang berlalu, mengharapi di hati saja ada, yang hilang selamanya dari tangan kami. Sungai mengalir deras dengan lagu, menembus terus semua penghalang. Tapi gunung tetap tinggal dan mengenang, mengikuti arus sungai dengan kasihnya. Awan dan Ombak Syair Rabindanath Tagore Ibu, mereka yang tinggal di atas awan memanggil-manggil namaku kesana -"Kita bermain, sejak saat kita bangun, hingga ujung hari, hingga berakhir hari. Kita bermain dengan fajar keemasan, kita bermain dengan bulan keperakan." Tapi aku bertanya, "Bagaimana aku bisa sampai ke sana? Dan mereka menjawab, "Datanglah ke ujung bumi, kembangkan kedua tanganmu ke langit, dan engkau akan terangkat hingga sampai ke awan." "Tapi ibuku menantiku di rumah," kataku. "Bagaimana bisa aku meninggalkannya?"

Lalu mereka tersenyum melayah menjauh. Tapi, aku tahu permainan yang lebih asyik daripada permainan tadi, Ibu. Aku jadi awan, engkau jadi bulan. Aku akan selumuti engkau dengan kedua tanganku, bumbung rumah kita langitnya. Mereka yang tinggal di gerak ombak-ombak--berseru memanggil-manggil namaku ke sana. "Kita bernyanyi-nyanyi pagi hingga petang hari; kau di punggungku, kita bergian tanpa tahu tuju." Tapi aku bertanya, "Bagaimana aku bergabung denganmu?" Kata mereka, "Datanglah ke ujung pantai dan berdiri di sana dengan mata rapat mengatup, dan engkau dibawa ke atas ombak." Tapi kataku, "Ibuku selalu ingin aku ada di rumah setiap petang--bagaimana aku bisa pergi darinya?" Lalu mereka tersenyum, berdansa dan berlalu. Tapi aku tahu ada permainan yang lebih baik. Aku akan jadi ombak dan engkau pantai asing. Aku akan bergulung dan bergulung, menghempas dalam pangkuanmu dengan riang dengan tertawa.

Dan tak ada seorang pun di dunia yang tahu dimana ada kita berdua.

Sekolah Bunga-bunga

Syair Rabindranath Tagore Ketika kabut gaduh badai gemuruh di langit dan ketika hujan bulan Juni tercurah turun, basah angin timur datang, berbaris menghalau panas, mengembus buluh-buluh di antara bambu. Sekawanan bunga-bunga muncul dalam seketika, entah dari mana, di antara rumput riang berdansa. Ibu, sungguh aku menduga bunga-bunga itu sedang riang bersekolah di bawah tanah. bunga-bunga itu belajar dengan pintu kelas tertutup, dan bila mereka ingin keluar main sebelum waktunya, maka sang guru akan menghukum berdiri di sudut. Tiba bila hujan datang, itulah saat hari libur tiba. Ruang kelas bagi cecabang ada di hutan, dan daun-daun berdesau di angin yang liar, dan badai kabut menepukkan tangan raksasanya, dan murid-murid bunga berhamburan dengan baju berwarna merah muda, kuning, dan putih. Tahukah kau, Ibu? Rumah mereka di angkasa, di langit di mana bintang-bintang ada di sana. Kau lihatkah? Alangkah inginnya mereka ke sana segera? Kau tak tahukah? Kenapa mereka begitu terburu tergesa?

Tentu, bisa kutebak bagi siapa tangan mereka membuka: Mereka punya ibu, seperti aku punya kau sendiri, ibuku. * Dari The Flower-School, sajak ke-22 dalam rangkaian syair Crescent Moon. Tertbit tahun 1913 dalam Bahasa Inggris. Diterjemahkan sendiri oleh si penyair dari syair yang semula ia tulis dalam bahasa Bengali.

LAGUKU Syair Rabindranath Tagore Lagu milikku ini ingin menghembus musiknya ke sekelilingmu, anakku, bagai lengan kasih mencintamu. Lagu milikku ini hendak menyentuh dahimu, anakku, seperti kecupan doa restu bagimu. Ketika engkau sendiri, lagu milikku ini, anakku, akan duduk di sisimu dan berbisik di telingamu. Ketika engkau berada di tengah kerumun, anakku, lagu milikku ini akan memagarimu: menjaga jarakmu. Laguku akan berubah jadi sepasang sayap ke mimpi-mimpimu, membawa

hatimu ke ambang ketaktahuan. Laguku akan menjelma jadi bintang yang setia berada di atasmu, ketika gelap malam menutupi jalanmu. Laguku akan duduk di hitam matamu, dan membawa pandanganmu menembus ke hati benda-benda. Dan ketika suaraku bisu dalam maut, laguku kelak akan tetap berbicara dalam kehidupan: hatimu yang hidup. Kapal-kapal Kertas* Dari Paper Boats, Sajak Rabindranath Tagore Hari demi hari kulabuhkan kapal-kapal kertasku, Satu demi satu ke arus berlari menderas melaju. Dengan huruf-huruf besar dan tinta hitam, namaku kutulis di kapal-kapal kertas itu, juga nama desaku. Aku berharap, ada seseorang di negeri yang asing menemu kapal-kapal kertas itu dan tahu siapa aku. Kapal-kapal kecilku, kusarati dengan bunga shiuli** dari taman kami, dan berharap fajar hari yang mekar ini akan terbawa selamat sampai di negeri malam nanti. Kuluncurkan kapal-kapal kertasku, kutatap angkasa,

dan kulihat awan kecil membentangkan layar putihnya. Aku tahu, kawan bermainku di angkasa itu, mengirim awan-awan turun, untuk beradu pacu dengan kapalku. Ketika malam datang, aku benamkan wajah di lengan dan bermimpi: kapal-kapal kertasku terbang di antara bintang. Peri-peri tidur berlaya di antara kapal-kapal kertasku, dan muatannya adalah keranjang yang penuh mimpi. Catatan HA: * Sajak ini adalah sajak ke-19 dalam buku The Crescent Moon yang berisi 40 sajak. Ditulis pertama kali dalam Bahasa Bengali kemudian diterjemahkan sendiri oleh Tagore ke dalam Bahasa Inggris, 1913. ** Shiuli adalah semacam pohon berbunga yang mekar setelah hujan. Ada sajak yang menyebutkan dibawah pohon itu biasanya orang duduk merapalkan doa.

KERANA CINTA Kerana cinta duri menjadi mawar kerana cinta cuka menjelma anggur segar Kerana cinta keuntungan menjadi mahkota penawar Kerana cinta kemalangan menjelma keberuntungan Kerana cinta rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar Kerana cinta tompokan debu kelihatan seperti taman Kerana cinta api yang berkobar-kobar

Jadi cahaya yang menyenangkan Kerana cinta syaitan berubah menjadi bidadari Kerana cinta batu yang keras menjadi lembut bagaikan mentega Kerana cinta duka menjadi riang gembira Kerana cinta hantu berubah menjadi malaikat Kerana cinta singa tak menakutkan seperti tikus Kerana cinta sakit jadi sihat Kerana cinta amarah berubah menjadi keramah-ramahan KEARIFAN CINTA CINTA yang dibangkitkan oleh khayalan yang salah dan tidak pada tempatnya bisa saja menghantarkannya pada keadaan ekstasi. Namun kenikmatan itu, jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya kekasih yang sedar akan hadirnya seseorang CINTA Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan, Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, Kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, Dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia.Ini adalah sebuah rahasia

Jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya. CINTA : LAUTAN TAK BERTEPI Cinta adalah lautan tak bertepi langit hanyalah serpihan buih belaka. Ketahuilah langit berputar karena gelombang Cinta Andai tak ada Cinta, Dunia akan membeku. Bila bukan karena Cinta, Bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan? Bagaimana tumbuhan akan mengorbankan diri demi memperoleh ruh (hewani)? Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri demi nafas (Ruh) yang menghamili Maryam? Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju Tidak dapat terbang serta mencari padang ilalang bagai belalang. Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna Dan naik ke atas laksana tunas. Cita-cita mereka yang tak terdengar, sesungguhnya, adalah lagu pujian Keagungan pada Tuhan. PERIH CINTA Perih Cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta: Tiada penyakit yang dapat menyamai dukacita hati ini. Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi. Apakah dari jamur langit ataupun jamur bumi, Cintalah yang membimbing kita ke Sana pada akhirnya. Akal kan sia-sia bahkan menggelepar tuk menerangkan Cinta, Bagai keledai dalam lumpur: Cinta adalah sang penerang Cinta itu sendiri.

Bukankah matahari yang menyatakan dirinya matahari? Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana. PERNYATAAN CINTA Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata, Kusimpan kasih-Mu dalam dada. Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu, Segera saja bagai duri bakarlah aku. Meskipun aku diam tenang bagai ikan, Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan Kau yang telah menutup rapat bibirku, Tariklah misaiku ke dekat-Mu. Apakah maksud-Mu? Mana kutahu? Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu. Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu, Bagai unta memahah biak makanannya, Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa. Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara, Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata. Aku bagai benih di bawah tanah, Aku menanti tanda musim semi. Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi, Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi. TANPA CINTA, SEGALANYA TAK BERNILAI Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung Pada Hari Perhitungan nanti Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta,

akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya. Burung-burung Kesedaran telah turun dari langit dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari Mereka merupakan bintang-bintang di langit agama yang dikirim dari langit ke bumi Demikian pentingnya Penyatuan dengan Allah dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya. Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting dalam zikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira bagaikan sekumpulan kebahagiaan Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan ? Sang lili berbisik pada kuncup : Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan. Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan Hati. Hingga dia akan sampai pada jawaban YA dalam pertanyaan : Bukankah Aku ini Rabbmu ? PUASA MEMBAKAR HIJAB Rasa manis yang tersembunyi, Ditemukan di dalam perut yang kosong ini! Ketika perut kecapi telah terisi, ia tidak dapat berdendang, Baik dengan nada rendah ataupun tinggi. Jika otak dan perutmu terbakar karena puasa, Api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam dadamu. Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab. Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam hasratmu. DIA TIDAK DI TEMPAT LAIN

Salib dan ummat Kristen, ujung ke ujung, sudah kuuji. Dia tidak di Salib. Aku pergi ke kuil Hindu, ke pagoda kuno. Tidak ada tanda apa pun di dalamnya. Menuju ke pegunungan Herat aku melangkah, dan ke Kandahar Aku memandang. Dia tidak di dataran tinggi maupun dataran rendah. Dengan tegas, aku pergi ke puncak gunung Kaf (yang menakjubkan). Di sana cuma ada tempat tinggal (legenda) burung Anqa. Aku pergi ke Kabah di Mekkah. Dia tidak ada di sana. Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf Dia ada di luar jangkauan Avicenna Aku melihat ke dalam hatiku sendiri. Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya. Dia tidak di tempat lain. DISEBABKAN RIDHO-NYA Jika saja bukan karena keridhaan-Mu, Apa yang dapat dilakukan oleh manusia yang seperti debu ini dengan Cinta-Mu? LETAK KEBENARAN Kebenaran sepenuhnya bersemayam di dalam hakekat, Tapi orang dungu mencarinya di dalam kenampakan. KAU DAN AKU Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung, Kau dan Aku; Dalam dua bentuk dan dua wajah dengan satu jiwa, Kau dan Aku. Warna-warni taman dan nyanyian burung memberi obat keabadian

Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku. Bintang-bintang Surga keluar memandang kita Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku. Kau dan Aku, dengan tiada Kau atau Aku, akan menjadi satu melalui rasa kita; Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku. Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku. Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan Kau dan Aku. RAHASIA YANG TAK TERUNGKAP Apapun yang kau dengar dan katakan (tentang Cinta), Itu semua hanyalah kulit. Sebab, inti dari Cinta adalah sebuah rahasia yang tak terungkapkan. PERNYATAAN CINTA Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata, Kusimpan kasih-Mu dalam dada. Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu, Segera saja bagai duri bakarlah aku. Meskipun aku diam tenang bagai ikan, Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan Kau yang telah menutup rapat bibirku, Tariklah misaiku ke dekat-Mu. Apakah maksud-Mu? Mana kutahu? Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu. Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu, Bagai unta memahah biak makanannya, Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa.

Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara, Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata. Aku bagai benih di bawah tanah, Aku menanti tanda musim semi. Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi, Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi. HATI BERSIH MELIHAT TUHAN Setiap orang melihat Yang Tak Terlihat dalam persemayaman hatinya. Dan penglihatan itu bergantung pada seberapakah ia menggosok hati tersebut. Bagi siapa yang menggosoknya hingga kilap, maka bentuk-bentuk Yang Tak Terlihat semakin nyata baginya. KEMBALI PADA TUHAN Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka, maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.Begitulah caranya! Jika engkau hanya mampu merangkak, maka merangkaklah kepadaNya!Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk, maka tetaplah persembahkan doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan; kerana Tuhan, dengan rahmatNya akan tetap menerima mata wang palsumu!Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan mengenai Tuhan, maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.Begitulah caranya!Wahai pejalan! Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji, ayuhlah datang, dan datanglah lagi!Kerana Tuhan telah berfirman:

Ketika engkau melambung ke angkasa ataupun terpuruk ke dalam jurang, ingatlah kepadaKu, kerana Akulah jalan itu. KESUCIAN HATI Di manapun, jalan untuk mencapai kesucian hati ialah melalui kerendahan hati. Maka dia akan sampai pada jawaban Ya dalam pertanyaan Bukankah Aku Tuhanmu? MENYATU DALAM CINTA Berpisah dari Layla, Majnun jatuh sakit. Badan semakin lemah, sementara suhu badan semakin tinggi.Para tabib menyarankan bedah, Sebagian darah dia harus dikeluarkan, sehinggu suhu badan menurun.Majnun menolak, Jangan, jangan melakukan bedah terhadap saya.Para tabib pun bingung, Kamu takut? padahal selama ini kamu masuk-keluar hutan seorang diri. Tidak takut menjadi mangsa macan, tuyul atau binatang buas lainnya. Lalu kenapa takut sama pisau bedah?Tidak, bukan pisau bedah itu yang kutakuti, jawab Majnun.Lalu, apa yang kau takuti?Jangan-jangan pisau bedah itu menyakiti Layla.Menyakiti Layla? Mana bisa? Yangn dibedah badanmu.Justru itu. Layla berada di dalam setiap bagian tubuhku. Mereka yang berjiwa cerah tak akan melihat perbedaan antara aku dan Layla. MEMAHAMI MAKNA Seperti bentuk dalam sebuah cermin, kuikuti Wajah itu. Tuhan menampakkan dan menyembunyikan sifat-sifat-Nya. Tatkala Tuhan tertawa, maka akupun tertawa. Dan manakala Tuhan gelisah, maka gelisahlah aku. Maka katakana tentang Diri-Mu, ya Tuhan. Agar segala makna terpahami, sebab mutiara-mutiara makna yang telah aku rentangkan di atas kalung pembicaraan berasal dari Lautan-Mu.

TUHAN HADIR DALAM TIAP GERAK Tuhan berada dimana-mana. Ia juga hadir dalam tiap gerak. Namun Tuhan tidak bisa ditunjuk dengan ini dan itu. Sebab wajah-Nya terpantul dalam keseluruhan ruang. Walaupun sebenarnya Tuhan itu mengatasi ruang. AKU ADALAH KEHIDUPAN KEKASIHKU Apa yang dapat aku lakukan, wahai umat Muslim? Aku tidak mengetahui diriku sendiri. Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Majusi, bukan Islam. Bukan dari Timur, maupun Barat. Bukan dari darat, maupun laut. Bukan dari Sumber Alam, Bukan dari surga yang berputar, Bukan dari bumi, air, udara, maupun api; Bukan dari singgasana, penjara, eksistensi, maupun makhluk; Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqseen; Bukan dari kerajaan Iraq, maupun Khurasan; Bukan dari dunia kini atau akan datang: surga atau neraka; Bukan dari Adam, Hawa, taman Surgawi atau Firdaus; Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak. Baik raga maupun jiwaku: semuanya adalah kehidupan Kekasihku LIHATLAH YANG TERDALAM Jangan kau seperti iblis, Hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam. Lihatlah di balik lumpur,

Beratus-ratus ribu taman yang indah! KETERASINGAN DI DUNIA Mengapa hati begitu terasing dalam dua dunia? Itu disebabkan Tuhan Yang Tanpa Ruang, Kita lemparkan menjadi terbatasi ruang. RUMAH Jika sepuluh orang ingin memasuki sebuah rumah, dan hanya sembilan yang menemukan jalan masuk, yang kesepuluh mestinya tidak mengatakan, Ini sudah takdir Tuhan. Ia seharusnya mencari tahu apa kekurangannya. DEBU DI ATAS CERMIN Hidup/jiwa seperti cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya. Kecantikan kita tidak terasa, karena kita berada di bawah debu. UPAYA Ikat dua burung bersama. Mereka tidak akan dapat terbang, kendati mereka tahu memiliki empat sayap. BURUNG HANTU Hanya burung bersuara merdu yang dikurung. Burung hantu tidak dimasukkan sangkar DUA ALANG-ALANG Dua alang-alang minum dari satu sungai. Satunya palsu, lainnya tebu.

KERJA Kerja bukan seperti yang dipikirkan orang. Bukan sekadar sesuatu yang jika sedang berlangsung, kau dapat melihatnya dari luar. Seberapa lama kita, di Bumi-dunia, seperti anak-anak Memenuhi lintasan kita dengan debu dan batu dan serpihan-serpihan? Mari kita tinggalkan dunia dan terbang ke surga, Mari kita tinggalkan kekanak-kanakan dan menuju ke kelompok Manusia. BURUNG HANTU dan ELANG RAJA Seekor elang kerajaan hinggap di dinding reruntuhan yang dihuni burung hantu. Burung-burung hantu menakutkannya, si elang berkata, Bagi kalian tempat ini mungkin tampak makmur, tetapi tempatku ada di pergelangan tangan raja. Beberapa burung hantu berteriak kepada temannya, Jangan percaya kepadanya! Ia menggunakan tipu muslihat untuk mencuri rumah kita. By : Jalaluddin Rumi

Anda mungkin juga menyukai