Anda di halaman 1dari 5

NAMA: MUH AMRAN PRATAMA K

KELAA:XI IPS 1

NO URUT ABSEN:14

Cerpen "Sandal Jepit Merah" Karya S.Rais

Senja memerah. Langit sajikan semburat jingga yang berkobar di batas horison. Sesaat lagi malam
akan menebarkan keremangan yang membaur bersama napas kesunyian. Perlahan, alam mulai
melepaskan diri dari jeratan hari. Seakan jemu menimbun lelah, bumi mulai meredupkan
kehidupannya. Aroma sepi mulai menyebar ke setiap celah udara. Berbondong-bondong angin
malam mulai menjalankan tugasnya menyelimuti semesta hitam. Malam pun menetas.

Di salah satu sudut remang, seorang perempuan tua berselonjor di atas sebuah bangku bambu.
Dipijatnya urat-urat kaki yang menegang akibat rutinitas melelahkan sehari ini. Kulit-kulit keriputnya
seakan bicara tentang lelah yang telah menggunung seperti tumpukan sampah yang ada di belakang
gubuk reyotnya. Matanya layu dan redup. Sepasang mata itu digendong kantung mata kehitaman
yang makin melebar. Sesekali, dikedipkan dalam-dalam, sebagai cara untuk memperjelas apa yang
menghampar di hadapannya. Tetapi percuma saja. Matanya telah tua, setua perjalanan
kepedihannya yang menahun, dan perempuan itu tak mampu lagi menikmati tarian kunang-kunang
yang muncul sebagai teman dalam pekat malamnya.

Sepasang sandal jepit tipis berwarna merah tergeletak begitu saja di bawah bangku bambu. Sandal
itu dihinggapi lubang di sana-sini. Tak hanya itu, sandal tua itu pun dihinggapi bercak-bercak
kecoklatan.

Seperti darah yang mengering. Ya, darah! Bahkan, di atas permukaan salah satu sandal itu masih
terdapat darah segar. Darah itu bermuncrat dari kakinya. Di kakinya masih terdapat serpih pecahan
kaca yang belum sempat dibersihkannya. Pecahan kaca yang tadinya berada di gundukan sampah
belakang rumahnya itu telah bercampur dengan darah merah, darah yang terus menumpuk di atas
sandal jepit merahnya.

Lima tahun berlalu setelah Mamat mengawini perempuan itu dalam usia belia, lima belas tahun.
Sebagai anak yatim piatu sebatang kara, perempuan itu tak mungkin menolak lamaran Mamat, lelaki
berumur dua puluh lima, yang begitu sayangemburat jingga yang berkobar di batas horison. Sesaat
lagi malam akan menebarkan keremangan yang membaur bersama napas kesunyian. Perlahan, alam
mulai melepaskan diri dari jeratan hari. Seakan jemu menimbun lelah, bumi mulai meredupkan
kehidupannya. Aroma sepi mulai menyebar ke setiap celah udara. Berbondong-bondong angin
malam mulai menjalankan tugasnya menyelimuti semesta hitam. Malam pun menetas.
Di salah satu sudut remang, seorang perempuan tua berselonjor di atas sebuah bangku bambu.
Dipijatnya urat-urat kaki yang menegang akibat rutinitas melelahkan sehari ini. Kulit-kulit keriputnya
seakan bicara tentang lelah yang telah menggunung seperti tumpukan sampah yang ada di belakang
gubuk reyotnya. Matanya layu dan redup. Sepasang mata itu digendong kantung mata kehitaman
yang makin melebar. Sesekali, dikedipkan dalam-dalam, sebagai cara untuk memperjelas apa yang
menghampar di hadapannya. Tetapi percuma saja. Matanya telah tua, setua perjalanan
kepedihannya yang menahun, dan perempuan itu tak mampu lagi menikmati tarian kunang-kunang
yang muncul sebagai teman dalam pekat malamnya.

Sepasang sandal jepit tipis berwarna merah tergeletak begitu saja di bawah bangku bambu. Sandal
itu dihinggapi lubang di sana-sini. Tak hanya itu, sandal tua itu pun dihinggapi bercak-bercak
kecoklatan.

Seperti darah yang mengering. Ya, darah! Bahkan, di atas permukaan salah satu sandal itu masih
terdapat darah segar. Darah itu bermuncrat dari kakinya. Di kakinya masih terdapat serpih pecahan
kaca yang belum sempat dibersihkannya. Pecahan kaca yang tadinya berada di gundukan sampah
belakang rumahnya itu telah bercampur dengan darah merah, darah yang terus menumpuk di atas
sandal jepit merahnya.

Lima tahun berlalu setelah Mamat mengawini perempuan itu dalam usia belia, lima belas tahun.
Sebagai anak yatim piatu sebatang kara, perempuan itu tak mungkin menolak lamaran Mamat, lelaki
berumur dua puluh lima, yang begitu sayang padanya. Dengan berbekal keterampilan di bidang
bangunan, Mamat mampu membiayai hidupnya dan menyewa sepetak kamar di pinggiran kota.
Kebahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun saat itu
usianya baru enam belas.

Anak laki-laki itu dinamainya Zaenal Mutakin yang tumbuh sebagai anak yang pintar, cerdas, dan
pandai bernyanyi. Tak terhitung doa dan harapan yang diajukannya pada Sang Pencipta demi masa
depan anaknya itu. Dalam pelukan mimpi, seringkali ia melihat anaknya tumbuh menjadi laki-laki
tampan, terkadang menjadi dokter, olahragawan, bahkan presiden. Mimpi-mimpi itulah yang selalu
jadi motivasinya untuk selalu bersemangat menjalani hidup meski dililit beban sesulit apapun.
Tetapi, mimpi-mimpi itu harus mati dilindas hari. Di suatu senja yang memerah, burung gagak
bertengger di atap kamar kontrakannya. Berbondongbondong para tetangga mendatanginya yang
sedang memasak agar-agar untuk pangeran kecilnya. Pak RT memimpin rombongan sambil
menggendong Zaenal mungil yang baru berusia empat tahun itu. Tubuh bocah itu kuyup. Matanya
terpejam bagai putri tidur.

Tangannya menggelantung lemas. Tak ada napas. Langit merah mulai menghitam setelah keriuhan
dihantam lantunan adzan. Air mata membanjir. Zaenal mungil telah pergi dijemput malam. Sungai
yang tenang di pinggir kampung terlalu dalam untuk direnanginya tadi siang. Saat ditemukan,
tubuhnya telah mengambang bagai perahu. Di pinggir sungai, sepasang sandal jepit mungil berwarna
merah darah kesayangan Zaenal mungil terbujur bisu.
***

Empat puluh hari setelah kematian Zaenal mungil kesayangannya, perempuan itu selalu melangkah
dalam mata kosong di atas sepasang sandal jepit merah. Hidupnya seakan usai begitu saja setelah
cahaya hatinya pergi dicuri takdir. Tak ada lagi cahaya dalam hidupnya, tak terkecuali suami yang
selama ini dicintainya sepenuh hati. Kematian Zaenal mungil telah menimbun kebencian dalam
benak Mamat. Masih terngiang di telinga perempuan itu ketika Mamat mencacinya habis-habisan
setelah tahu buah hatinya pergi mendahului.

"Brengsek! Istri macam apa kamu? Ceroboh! Tak bisa menjaga anak!"

"Ampun, Kang! Saya akui saya memang ceroboh, tetapi ini semua sudah jadi takdir-Nya. Terimalah,
Kang. Saya ibunya, saya lebih pedih ketimbang akang. Maafkan saya, Kang!"

"Pergi kamu!"

Perempuan itu memeluk kaki suaminya sambil menangis hebat penuh penyesalan. Tetapi tak ada
ampun dari Mamat, perempuan itu ditendangnya. Kepalanya membentur dinding, tubuhnya
tersungkur di atas sandal jepit merahnya. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi. Sandal jepit merahnya
kini dibasahi air matanya.

Alangkah terkejutnya perempuan itu setelah tahu suaminya berniat mengawini perempuan lain. Ia
hanya pasrah, berharap kabar itu tidak benar adanya. Dan kalaupun benar-benar terjadi, ia hanya
berharap suaminya mau memaafkannya dan tetap mencintainya seperti lima tahun yang lalu. Tetapi,
harapannya kembali usang. Suatu hari, ketika perempuan yang telah diusir suaminya itu bermaksud
kembali ke kontrakannya, kamar penuh kenangan itu kosong. Tak ada yang tahu kemana perginya
sang suami harapannya. Ia hanya mendengar kabar bahwa suaminya akan tinggal di desa asal istri
barunya, entah di mana. Seketika hatinya seakan dibanjiri darah. Darah merah semerah sandal
jepitnya. Ia gamang menentukan kelanjutan langkahnya. Ia hanya melangkah mengikuti helai demi
helai angin yang sirna setelah menyapanya. Ia berjalan menyusuri kehidupan dialasi sepasang sandal
jepit merah. Entah harus ke mana lagi.

***

Berpuluh-puluh tahun lamanya perempuan itu hidup bergantung pada siang dan malam. Ia hanya
gelandangan tanpa tujuan yang hidup dari belas kasihan orang yang lalu lalang di depan tempat
duduknya. Pernah, suatu ketika ia mendapat pekerjaan sebagai seorang pembantu rumah tangga.
Tetapi bukan sebuah keluarga yang diurusinya, melainkan sebuah tempat jual beli narkoba.
Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan lain.
Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki. Mungkin keajaiban Tuhan
pulalah yang telah menghantarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang
bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus
sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia
tidak tertarik sedikit pun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh
perempuan-perempuan cantik yang sering berkumpul di rumah majikannya itu.

Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan memaksanya untuk mengikuti
keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tuna susila. Ia bertahan dengan pendiriannya
dan pergi meninggalkan istana penuh dosa itu. Dengan uang yang dikumpulkannya, ia membeli
sebuah gubuk reyot yang ada di sekitar tempat pembuangan sampah di kota lain. Di situlah ia
memulai kehidupan barunya sebagai seorang pemungut paku bekas yang bersembunyi di tumpukan
sampah yang menggunung. Dan itu berlalu begitu saja, berpuluh-puluh tahun lamanya.

***

Malam masih menyajikan aroma kesunyian di sekitar gubuk reyot itu. Bulan pucat memandanginya
dari balik bayang awan hitam. Lampu tempel di dinding kini telah dihinggapi jelaga seiring dengan
malam yang semakin tua. Perempuan itu membasuh kaki kotornya dengan air dingin. Luka-luka
mengering di telapak kakinya bagai prasasti yang menceritakan bagaimana kepedihan hidupnya
selama ini, selama puluhan tahun.

Seiring dengan pergantian waktu, sandal jepit merahnya yang dulu telah berkali-kali diganti dengan
sandal jepit merah baru. Kini sandal jepit merahnya telah banyak dihinggapi lubang dan bercak
darah karena tusukan beling dan paku berkarat, dan ia harus menggantinya dengan sandal jepit
merah yang baru.

SELESAI

nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen "Sandal Jepit Merah" Karya S.Rais:

1. Nilai Moral

Dalam cerpen tersebut dikisahkan tentang seorang perempuan tua yang memiliki masa lalu yang
sangat menyedihkan. Awalnya, perempuan itu hidup bahagia. Akan tetapi, setelah kematian anak
semata wayangnya, hidupnya berubah menjadi sebuah kesedihan yang berkepanjangan. Akan
tetapi, perempuan itu tidak pernah putus asa. Dia terus berjuang untuk mempertahankan hidupnya.
Bahkan, perempuan tersebut tetap tegar dengan pendiriannya saat dirinya hampir terjerumus ke
dalam lembah hitam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

"Berkali-kali majikannya, seorang bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar
barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai
pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikit pun pada penghasilan yang lumayan besar
seperti yang didapat oleh perempuan-perempuan cantik yang sering berkumpul di rumah
majikannya itu.
Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan memaksanya untuk mengikuti
keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tunasusila. Ia bertahan pada pendiriannya dan
pergi meninggalkan istana penuh dosa itu."

Dari kutipan tersebut, ada sebuah nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengarang
hendak mengemukakan bahwa meskipun kita didera kesulitan hidup, kita tidak boleh terjebak oleh
nafsu dunia. Kita harus berpegang teguh pada pendirian kita dan pada ajaran agama.

2. Nilai Budaya

Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang bertolak dari perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Nilai budaya tersebut dapat mencakup berbagai masalah,
di antaranya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan
bersikap.

Dalam cerpen "Sandal Jepit Merah" tersebut, masyarakat yang digambarkan adalah sekelompok
orang yang tinggal di kawasan pinggiran kota. Mereka tergolong ke dalam strata sosial menengah ke
bawah. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

"Dengan berbekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat mampu membiayai hidupnya dan
menyewa sepetak kamar di pinggiran kota. Kebahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya
lahir seorang anak sehat walaupun saat itu usianya baru enam belas."

3. Nilai Sosial

Dalam cerpen tersebut terdapat beberapa nilai sosial yang dikemukakan oleh pengarang. Di
antaranya adalah mengenai sulitnya menjalani kehidupan sebagai seseorang yang miskin. Hal
tersebut dapat diamati dalam kutipan berikut.

"Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki."

Dalam cerpen ini, juga ditampilkan gambaran sosial kehidupan perkotaan yang suram. Dalam cerpen
tersebut diceritakan mengenai kehidupan tokoh utama yang menyambung hidup di tengah-tengah
kezaliman. Ia terpaksa menjadi seorang pembantu rumah tangga di sebuah tempat jual beli narkoba
dan tempat lokalisasi wanita tunasusila. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

"Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan
lain. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki. Mungkin keajaiban
Tuhan pulalah yang telah menghantarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya,
seorang bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut
sekaligus sebagai wanita tunasusila."

Anda mungkin juga menyukai