Anda di halaman 1dari 5

Kau, Aku, dan Gerimis

Langkahnya tertatih menuju pojok rumah. Lemah. Mekar bunga di pagi hari tak henti mengayun
seolah mau menyapa Charles yang baru terbangun. Tidur semalam rupanya tak nyaman. Perasaan
cemas terus menghantui. Entah. Liburan kali ini jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Sengatan
mentari mengawali hari. Bukan seperti biasanya. Panas menusuk tanpa iba. Keringat bercucuran
membasahi tubuh. Dengan bermodalkan nekat, Charles bergegas menelusuri lorong-lorong rencana
awal. Entah apa yang telah direncanakan jauh sebelumnya. Sengatan mentari kian menyiksa. Di
sebuah halte tua Cha menanti akan datangnya janji sahabat-sahabatnya. Semua ini merupakan
pengalaman pertamanya. Ya, seumur hidup, gumannya ketika menatap jauh pemandangan dari
dalam mobil yang mereka tumpangi. Panorama yang dilewati rupanya belum cukup untuk
melengkapi ceritanya nanti sehingga walau berdempetan, dia berusaha untuk menikmati setiap
lembaran panorama alam pada setiap perkampungan yang mereka lalui. Hanya satu yang terus
membayang dalam pikiran, bahwa suatu saat nanti moment ini akan tersulam menjadi sebuah cerita
indah. Semuanya disimpan rapi dalam benak. Sayang cuaca cerah yang menemani perjalanan
rupanya tak lagi bersahabat. Langit yang tadinya kelihatan senyum kini perlahan mulai murung.
Gumpalan awan murka pun melaju dengan jalur yang tak beraturan. Warna awan yang terpantul di
setiap pojok kaca mobil seperti menyisakan ingatan dari sebuah masa. Masa silam yang pernah
membawah nuansa asmara sesaat yang kini tinggal puing-puing kenangan. Hilang ditelan amukan
badai liar. Mendung yang datang bagai lukisan pujian para Malaikat bagi yang Yang Kuasa secara
acak, berganti-ganti seperti kepulan asap kendaraan deru yang pikuk berteriak tentang banyak hati
sepi yang sedang rindu. Aneh. Sepertinya sangat mengenal kesunyian yang berbicara atas nama sepi
dan terus berbaur bersama udara, seperti senja yang begitu akrab melahirkan ketakutan akan sunyi
tepat menjelang matahari lenyap di batas hari. Mendung merapat mendahului hamburan Yang
Kuasa. Murka menyapa. Semua penumpang kelihatan kesal ketika menatap pilu bumi ini kembali
dibasahi. Beberapa dari gerombolan pasrah akan keadaan. Basah kuyuk. Mengawali gulita terlihat
lampu yang tersusun rapi pada mobil itu mulai memancarkan sinar kelembutan, menyapa.
Menerangi setiap hati sesal. Malam pun perlahan menguasai. Sekitar 30 menit lagi kita akan tiba,
bisik sahabat karibnya menguatkan. Malam kian larut, percikan Yang Kuasa pun belum beranjak.
Sesaat Charles merasa kesal akan tidak bersahabatnya alam. Remang-remang lampu dari kota tua itu
nampak memukau, sapaan sinarnya terus menyoroti. Menembus kaca seolah mau mengucapkan
selamat datang. Sejanak Cha terdiam, lalu Terimakasih Tuhan sepucuk syukur terlahir dalam jiwa.
Di tempat liburannya, Cha tinggal terpisah dengan yang lainnya. Pagi yang indah di tempat
liburannya yang baru. Fajar baru saja terlepas dari pelukan malam. Ditandai dengan merdunya
kicauan burung. Para petani bergegas menuju tempat mengaso asa. Ada rindu di sana. Kerinduan
akan sang mentari yang akhir-akhir ini enggan mampir. Rumput-rumput liar di sekitar kelihatan
murka berharap. Rupanya tetesan si embun malam tidak seperti biasanya. Tidak ada harapan di
sana. Hanya sekuntum mawar yang bersolek merayu. Begitu indah menghijau permai mewarnai
alam. Tiada henti, walau sakit. Lambayannya seakan mengucapkan selamat pagi, ketika mentari
malas menyapa. Cha terdiam di bawah tudung rumah. Entah apa yang akan ia lakukan. Sarapan pun
tersedia. Cha terus melirik jadwal harian yang telah direncanakan jauh sebelum liburan. Otaknya
mulai bekerja keras mencari cara yang mulia untuk memulai kegiatan perdananya itu. Di sebuah
rumah yang sedang dalam perjalanan menuju usia senja, perlahan mereka mulai dikawal jadwal.
Ucapan selamat datang dan perkenalan mengawali kebersamaan dengan warga sekitar. Canda-tawa
turut mewarnai acara tersebut. Kerinduan untuk menyatu pun merapat. Pertemuan itu mengantar
semuanya sampai perkenalan yang mendalam seperti sepasang kekasih yang dicambuk rindu setelah
sekian tahun dipisahkan oleh jarak dan kesempatan untuk bersanding. Hingga suatu siang ketika
mentari enggan menyapa, Cha berkenalan dengan seorang gadis. Gadis separuh baya dari pantai
selatan. Waktu berlalu, satu per satu kegiatan pun tersudahi. Sesaat untuk melepas lelah. Di sebuah
kursi tua keduanya saling berbagi cerita. Senyum manis yang melebar di sudut bibir gadis itu
menghipnotis keadaan menjadi suasana yang begitu damai dan bersahabat. Senyum itu mendahului
kata yang dibarengi canda-tawa. Adelya demikian sapaan gadis itu. Keduanya terus mencoba
mengintip arti dibalik pertemuan itu. Impian jitu seakan hampa. Lagi-lagi cuaca tak bersahabat.
Percikannya terus menghantam bumi. Memaksa setiap insan untuk sejenak diam. Merenung. Pesona
alam yang mewarnai sekitar kini ternoda sudah. Tampannya bermandikan raga bumi lantaran
tangisan yang mencabik tubuh bumi. Tercabik berkeping. Rapuh. Senja yang indah pun diculik paksa
tanpa jejak. Entahlah kalau hilang dikunya amukan tak terduga. Kedua insan berlainan jenis itu pun
nyaris terbawah rayuan waktu. Sejenak Cha melirik arloji yang melingkar diam di tangan gadis itu.
Pukul 17.15. ia tersentak karena malam benar-benar sudah mengambang. aku harus segera kembali
ke tempat penginapan. Gumamnya dalam hati.
Entah apa gerangan yang selalu menuntun jiwanya pada moment sore itu. Entah pulalah kalau ini
yang dinamakan cinta pada pandangan pertama atau sejenisnya? Cha sendiri tak memahaminya
dengan baik. Yang pasti sebuah kerinduan untuk berdua, bersama dan bersatu kian mengusik kalbu.
dari sinar matamu aku mengenalmu, menangkap maksudmu juga bisikan jiwamu tentang aku, kau
dan kita Cha menyulut api keyakinan dalam dada. Lantas membaringkan tubuhnya menjamu malam
yang beranjak pekat dan berselimut pengap meski mata belum sudi berhenti berkedip. Rembulan
padam berganti pekak. Resah, gelisah terus menghantui. Rupanya kerinduan akan tatapan itu kian
melangit. Cha lalu bertanya pada malam tentang semua ini. Namun tak ada jawaban. Malam hanya
terdiam bisu. Rupanya malam tak mengamini semuanya. Semerbak angin malam membawa Cha
menemui malam yang sepi. Sembari menapaki jalan pikiran di hadapannya tanpa tahu apa yang ada
di ujung jalan pikirannya. Walau kunang-kunang menerangi di sepanjang jalan pikiran, namun Cha
masih membisu. Wajah Gadis itu dan segudang pertanyaan menari-nari di benak. Sejenak Cha
melarikan pandangan menjemput purnama yang melayang jauh setelah sekian lama bersembunyi di
balik omega malam selepas mentari terkubur. Malam memang telah mengubun. Pekatnya gulita
kian memaksa para penghuni sekitar merinding. Ada ide liar yang mampir di benak. Cha lalu
bertanya pada waktu. Karena yakinnya hanya waktulah yang tahu benar akan arti sebuah peristiwa.
Sepi, sunyi, pekat, kelam dan diam merayapi punggung bumi dan memenjarakannya dalam
kebisuan. Lingkaran jarum jam terus melaju menjemput fajar. Kidung binatang-binatang liar mulai
bersahutan menyapa guna mengusir malam. Malam akan melepas fajar dari rahim semudera.
Paduan suara sang jago dan beburungan hutan yang merdu menandai lahirnya sebuah hari baru.
Sayang, tidak seperti biasanya. Pucat, dingin yang menembus tulang mengudang datangnya aneka
rasa yang merujuk pada sebuah tanya atau lebih tepat sebuah omelan. Mengapa bumi tercinta ini
tak henti dikuasai percikan gerimis. Apakah alam sudah muak menatap tingkah kita? Dalam
kegalauan itu, Cha menelusuri setiap lorong genangan air menuju tempat pertemuan itu. Langkah
tertatih penuh enggan. Mengapa gadis itu belum juga merapat? Akh mengapa harus gadis itu,
sadarnya menegurnya. Cha bersandar di sebuah kusri buatan Asing. Pandangan tak henti
mengantar-jemput mereka yang datang dari setiap sudut jalan. Rupanya pengakuan hati akan gadis
itu telah berujung pada kesepian. Suasana sekitar terasa hampa. Menerawang jauh. Ingin kusudahi
semua ini, aku Charles. Detakan jarum jam yang tergantung pasrah di pojok rumah itu terus
melingkar tuk mencari angka pasti. Cha mengayunkan kakinya menuju pintu di barengi tembang
terkini -Motor Metiq-. Sebuah tatapan tajam yang datang seakan menghalangi langkahnya.
Menghentikannya. Tatapan mesra dari sepasang bola mata yang telah melumpuhkan keperkasaan
prinsipnya untuk tidak jatuh hati. Tanpa kata-tanpa langkah kecuali diam dan gelora rindu yang terus
berkecamuk di dada tentang kebersamaan yang baka dalam waktu.
Percumbuan mesra embun dan rerumputan liar, senja dan damai serta malam dan sunyi yang telah
kudandani dengan aneka kegiatan ternyata perlahan mengkredit usiaku di tanah datar yang selalu
mengakrabi banjir. Aku akan segera selesai. Entahlah tentang rasa, tentang dia, tentang aku, tentang
kami juga senja, juga malam dan tentang waktu yang telah merahimi dan melahirkannya dalam
sebuah kisah yang tak mungkin akan usai. Gejolak rasa yang tak bertepi dalam jiwa Cha. Dan lagi
sadarnya berujar, malam ini merupakan malam yang terakhir, malam perpisahan. Bertemu untuk
berpisah, kata orang. Malam yang indah terasa hampa. Percikan gerimis pun tak berhenti menyapa.
Tembang rindu anak jaman mengawali moment yang pantas disesali dan ditangisi. Dalam pelukan
malam. Cha dan Adelya lama terdiam. Terhanyut dalam, dalam malam. Rupanya lantunan anak
jaman memaksa keduanya tuk sejenak merenung. Demikian keduanya tenggelam dalam keheningan
akan kebersamaan yang indah sehingga mereka gagal melihat keindahan yang terhampar di depan
mata. Gadis itu tertunduk, beberapa menit berlalu, ia membuka suara Aku akan memberitahumu
tentang apa yang terjadi di ujung pertemuan ini. Mungkin suatu saat nanti kau akan tahu apa yang
membuatku merasa kehilanganmu. Entah sesaat atau selamanya. Namun jika kamu akan pergi, aku
akan selalu menantimu disini, bersama bulan. Cha, sesaat kehilanganmu bukan berarti akhir
segalanya, namun tanpamu, kutak bisa, aku pemilik seyum manis itu. Jangan pernah lupa akan
datangnya gemercik tatkala langit bergerimis perlahan, yang kita saksikan bersama di awal
pertemuan itu. Karena kala itu kita ketiadaan orang lain, sahabat untuk berbagi kecuali aku, kau dan
germis. Dan lagi akan emperan rumah, tempat kita bertemu dan menunggu hujan segera redah.
Akan switer putih kesayanganku, yang berani lebih dulu memeluk tubuhmu yang mengigil bersama
dinginnya tanah ini, dan akan semuanya saat sejenak kita menggelengkan kepala karena memang
saat itu merupakan kali pertama kita berjumpa. Ingatkah kamu? dan pada akhirnya, memang benar,
tak pernah sekalipun aku memberimu mawar merah saat kita terjebak hujan bersama. Jangan
pernah lupa sesaat kita sama-sama tertawa, kemudian mengabadikannya pada sebuah kamera
buatan asing. Saat sama-sama terdiam pasrah, menatap tajam rintik hujan, saat aku menadahkan
tangan di bawah percikannya, lalu memejamkan mata seolah tak menyetujui percikan itu. Menolak.
Kemudian kita mulai memohon agar Yang Kuasa melihat dua insan yang baru saja dipertemukan di
antara kabut dan tanah basah. Jangan pernah lupakan aku. Pada malam ini, malam yang tak
ditemani pancaran bintang-bintang mungil, telah kusaksikan sebuah kejutan yang kau buat untukku,
tapi bukan kejutan yang membawa bahagia seperti dulu melainkan kesedihan yang mendalam, yang
sakit karena kau akan pergi meninggalkanku, lagi-lagi aku gadis itu. Rupanya gadis itu tak mengamini
semuanya. Lama keduanya terdiam. Kemudian ia menyambung, aku bahagia karena telah
dipertemukan dengan dirimu. Aku bahagia. Bagiku kaulah sosok terbaik yang pernah kutemui dalam
setiap lembaran hidupku, kau dan semua perjuanganmu untuk meraih mimpi-mimpimu membuatku
bersemangat dalam menghadapi hidup yang sesaat ini. Aku banyak belajar darimu tentang
senyuman, tentang ketabahan dan pengorbanan untuk melepas orang lain. Kutitipkan mimpi-
mimpiku di hatimu. Kalaupun suatu nanti di dunia ini kita tak lagi satukan, kuberharap di surga nanti,
kelak kita bisa berdua selamanya. Sorotan mata gadis itu mengabur oleh desakan air mata. Adelya,
maafkan aku. Cha beranikan diri menatap ke dalam matanya yang memang sudah tak lagi ditemukan
sorotan cahaya mata yang silam, yang selalu menjadi alamat kerinduan. Kemana hilangnya kemilau
itu, bisik Cha dalam batinnya. Mungkinkah hilang bersama semenit semangat hidupnya? Rasanya
dentang waktu berdetak semakin pelan. Terlihat bibir gadis itu mulai menggulung senyum, tapi tak
seindah senyuman yang dulu ia berikan. Tak lama kemudian ucapan selamat berpisah dan
selamat jalan dibarengi protes keras terdengar lemah dari setiap bibir yang rapuh. Di sudut kampung
yang sepi Cha dan Adelya berpisah. Akhirnya Cha pun berlari, pergi bersama sepoi yang
gemericiknya kembali menyapa. Di sudut kampung itu Cha menengadahkan kepala. Langit
tersenyum kecil. Cha pergi meninggalkan gadis itu bersama segudang pertanyaan yang tak habis
terjawab. Langkah kakinya yang lemah terus mengayun, menjauhi ujung jalan itu. Pulang bersama
rasa yang kini kembali tentang Cha, Adelya dan gerismis yang telah menguping semua kisah di tanah
basah.
Jangan Pernah Takut Dan Jangan Pernah Berhenti Berharap Akan Datangnya Kebaikan.
Untukmu Yang sedang Rindu di Pantai Selatan Pulau Timor (Webriamata)
Malam di Lereng Safari Mof-Ujung Agustus 2013
Chz. Punkcher
Cerpen Karangan: SerryzTaku
Facebook: serryz.taku

UNSUR INTRINSIK
Tema : Cinta
Alur : Maju
Latar :
1. Tempat : Rumah Charles, tempat liburan.
2. Waktu : Saat liburan
3. Suasana : Mengesankan, mengecewakan.
Tokoh : Charles
Adelya
Penokohan : Charles : Keras, penyayang.
Adelya : Penyayang
Sudut pandang : Orang ketiga serba tau
Amanat : 1. Jangan pernah berhenti berharap.
2. Berilah kesan pertama dengan baik, agar orang dapat menyukai (nyaman) berada
di dekat kita.


EKSTRINSIK
1. Nilai moral : Setiap perjalanan yang kita lalui adalah pengalaman, jangan lupakan
pengalaman yang telah kita dapatkan.
2. Nilai budaya : Budaya yang masih dipertahankan sampai sekarang yaitu
menyambut tamu yang datang (turis)

Anda mungkin juga menyukai