Anda di halaman 1dari 11

Rianty Tayu Syafna & Irsyam Syam

ATTUMATE
[Dedikasi untuk Alm. Syahrir daeng Nalla]

#1
Entah kau-aku; ada yang terasa hilang
Melenyap dalam kawanan kabut di malam itu

“Sudahlah, ammak, ritual attumate itu membutuhkan biaya banyak.


Darimana kita memperoleh uang sebanyak itu dalam sekejap? Apakah kita
harus berutang? Bukankah, daeng Nalla’ku juga sudah dikuburkan? Cukuplah
kita mengundang tetangga-tetangga saja datang ke rumah untuk mengaji
dan mendo’akannnya, insya Allah, daeng Nalla juga sudah ikhlas kok.” Ini
perdebatan yang berulang dengan mamaku dan entah sudah berapa kali aku
pun tak ingat sejak kematian Almarhum kakakku tiga hari lalu. Tragis. Yah,
itulah kata yang patut kugambarkan untuk kematiannya yang mendadak. Aku
masih ingat. Suatu siang di terminal di Surabaya. Handphone ku berbunyi.

‘Ndi’ tayu, bajik-bajik jaki? Nontonka berita tadi pagi kalo salah satu kereta
tujuan Surabaya telah terperosok ke jurang. Bukanji kereta yang kau
tumpangi toh?” Begitulah pertanyaannya dengan nada kehawatiran begitu
tinggi dan logat Makassarnya yang khas.

“Iyye bukanji daeng, buktinya saya masih angkat telponta toh? Saya
sekarang sudah tiba di terminal pasar ikan di Surabaya,” jawabku dengan
sedikit tertawa dan bersikap tenang. Kudengar helaan nafasnya yang begitu
berat dan ucapan syukur Alhamdulillah yang berulang. Lalu, kujelaskan pula,
kalo KA yang terperosok ke jurang itu adalah di arah selatan, di Madiun.

“Hati-hatiki Ndi’ nah. Salamakki battu mae ri ballaka.” Aku mendengarnya


dengan hati yang terenyuh. Entah, perasaanku merasa tersentuh dengan
perkataan kakakku ini. Setiap kali aku ke luar kota, selalu saja di cek
keberadaanku sudah di mana, tetapi kali ini seperti ada yang berbeda.
Bahagia, karena aku sangat diperhatikan. Tetapi ada sedih yang mengiris
batinku seolah aku diisyaratkan oleh suatu hal yang membuatku menangis
kelak. Oh Tuhan, semoga semuanya baik-baik saja.

Telepon terputus setelah mendapat beberapa wejangan penting di kota


orang.

Aku lupa memberitahumu, kan? Sepanjang perjalananku siar ke beberapa


kota besar dan pertama kali dengan tidak ditemani oleh siapapun. Rute
akhirku adalah dari Jakarta-Surabaya, aku ngotot menggunakan kereta api.
Meskipun, semua kakak sepupuku di Jakarta memintaku agar naik pesawat
saja. Mengenai biaya, mereka yang menanggung. Rengekanku tak lebih dari
rengekan kanak-kanak usia 5 tahun yang ingin dibelikan permen dan coklat.
Akhirnya, pintaku terkabulkan, jadilah daeng Halusu, istri kakak sepupu, yang
bernama daeng Tenreng, yang bekerja sebagai manajer koki di kapal laut
PELNI pergi ke agen tiket untuk mengabulkan keinginanku. Yah, kalian pasti
heran kan, mengapa kami sangat akrab, meski hanya bersepupu terlebih pula
hanya hubungan sepupu dua kali.

Baiklah akan kuceritakan sedikit perihal hubungan keluraga dalam adat


Bugis-Makassar, umumnya dan keluarga kami, khususnya, bahwa hubungan
darah bukan saudara sekandung seayah dan seibu, dinamakan sepupu satu
kali, yakni jika pihak ayah atau ibu bersaudara dengan ayah atau ibu mereka.
Sedangkan, sepupu dua kali, jika pihak ayah atau ibu bersepupu satu kali
dengan salah satu pihak kedua orangtua sepupu satu kali. Begitulah
seterusnya. Yang paling dekat hubungannya adalah sepupu sekali, sudah
seperti saudara kandung karna masih sedarah dengan salah satu pihak ayah
dan ibu kami. Sedangkan, sepupu dua kali, memiliki satu sekat atau
perantara sehingga terkadang ada kesan tidak begitu dekat lagi. Tetapi, hal
ini tentu berbeda dengan keluargaku. Sepupu satu kali dan dua kali tetap
seperti saudara kandung bagi kami. Saking begitu eratnya, hingga kadang
keluarga bahkan orang lain berusaha menjodohkan kami satu sama lain.
Tapi, kami hanya tertawa mendengarnya. Guyonan yang tak lazim lagi.
Hampir tiap hari menjadi pembicaraan-pembicaraan semua purinangku.

#2
Subuh yang basah
Kaukah yang memberi Nyawa?
Meneteskan rindu pada jiwa yang masih terbaring?

Titik-titik bening mengalir deras di wajahku. Aku tak menyadarinya.


Sementara mataku terus saja tak berkedip menatapi barisan-barisan kata
dalam novel yang kubaca sepanjang kereta api melaju. Suara gemerisik
hujan terdengar dari luar seperti tarian pakarena yang diiringi nyanyian
Mangkasarak. Petir menampar-nampar langit seolah isyarat kematian kian
mendekat. Tangisan bayi usia 7 bulan di sampingku tiada henti, sedang bibir
ibunya tiada jenuh mengeloni lagu jawa yang tak kupahami artinya. Aku
terkejut ketika ibu bayi itu menegurku, “Mbak, nangis yah? Ini ada tissue,”
ujarnya sambil menyodorkan tissue lembut dan harum. Aku melihat
senyumnya yang manis. Ah, ibu ini cantik sekali. Sungguh beruntung
suaminya. Ujarku membatin. Dengan tersipu malu, kuraih tissue
pemberiannya dan kusapu airmataku segera.

“Makasih Mba, kenalin, namaku Ayuri,” kusodorkan tanganku untuk


berkenalan. “Arsih Halimah”, jawabnya singkat.

“Mba, kenapa nangis tadi? Abis putus ma pacar yah?” tanyanya begitu pelan,
seolah ragu memberiku pertanyaan yang sensitif. Kuurai senyumku.

“Ah, tidak kok mba. Novel ini sangat mengharu biru. Baru kali ini, aku
membaca novel yang membuatku miris. Teriris-iris. Ada yang menggoncang
di sini,” sambil aku menunjuk ke dadaku dan memperlihatkan halaman depan
Novel itu. Bidadari Surga. Perjuangan seorang kakak perempuan untuk
membiayai pendidikan dan hidup adik-adiknya yang berjumlah lima orang.
Dia harus meninggal dalam keadaan yang masih perawan di usianya yang
sudah tak muda lagi, 45 tahun, meski dalam hati kecilnya sangat
menginginkan seorang pendamping sebelum ajal menjemputnya. Kamu harus
membacanya. Lalu, perjalanan kami disertai cerita-cerita yang menarik
antara aku dan Arsih. Bayinya pun sudah tidak rewel lagi. Tertidur lelap
dalam pangkuan ibunya di kursi kereta yang menurutku sangat menyiksa
posisi ibunya duduk. Kualihkan pandanganku ke luar jendela kereta api.
Gelap gulita. Bayangan-bayangan hitam berkelebat seolah menggodaku
menatapnya. Hujan terdiam sejenak seolah memberitahukan kalo subuh
akan menjelang. Subuh yang basah.

#3
Kelak kau akan paham,
sebab titik hanyalah ada pada keinginan Tuhan kita
14.15 WIB. Menyusuri lekuk-lekuk tubuh Surabaya yang menggarang. Peluh
keringat membanjiriku. Bermodalkan petunjuk kawanku Mas Arif, kuyakini
diriku akan bisa menjumpai bandara Juanda sebentar lagi. Ah, Makassar, aku
tak sabar lagi. Entah, ada yang membuncah di dadaku. Ada yang bergemuruh
di nafasku. Lelah ini tak terasa lagi. Hmm…. Lambat nian laju taxi ini. Sejam
lagi aku harus boarding pass. Ujarku membatin.

Handphoneku berbunyi. Kali ini bukan sms, sebab tujuh sms tak ku¬ reply
sebelumnya. Kutatap layar HP-ku, tertulis KkQ Nalla Boger. Segera kuangkat,
helaan nafasku memanjang. “Kau sudah di mana ndi’? Kenapa sms daeng
Nalla tidak dibalas?” suara wanita terdengar khawatir di seberang sana. Oh,
istri kakakku, namanya Daeng Singara.

“Saya sudah di bandara Juanda, daeng. Menurut informasi tadi, setengah jam
lagi, pesawat kami akan berangkat.”jawabku dengan suara melemah.
“Iyya pale Ndi’, hati-hatiki nah. Oya, mau bicara daeng Nalla,”

“Ndi’ Tayu, temaemako anne kah? tette siapa nu battu Ndi’?” Tanya kakakku
dengan logat Makassarnya yang kental.

“Jam delapan tibama ri Makassar daeng. Salamku untuk I ammak na bapak


nah.”

“iyya Ndi’ bau’ku. Hati-hatiki nah. Salamakki Ndi’.”


Klik. Telepon terputus lagi.

Bunyi microphone pengeras suara dari ruang informasi mulai terdengar.


Panggilan bagi seluruh penumpang tujuan Makassar dan Kendari. Aku
membenahi tas miniku.

*****

Prangggg….. Handphoneku terjatuh ke lantai pesawat tidak lama setelah


pesawat tinggal landas di bandara Hasanuddin. Telepon dari adikku begitu
mengagetkan dan membuatku shock. Aku belum melangkahkan kaki turun ke
tangga pesawat ini. Rasanya petir dan kilat menamparku baru saja. Sungguh,
tak memercayainya. Antara ada dan tiada. Aku lengah. Tubuhku hampir
tumbang. Andai saja tak diraih oleh seorang teman satu barisan kursiku di
pesawat. Dia menenangkanku. Memberiku air mineral untuk ku minum.
Tuhan, kau telah memperlihatkan kuasamu, kini. Selang hanya kurang dari
satu setengah jam yang lalu, aku disambut oleh kabar buruk tentang
kematian kakakku, daeng Nalla. Tragis. Aku kalang kabut. Aku ingin mati
saja. Aku… ah, kukuatkan langkahku menuruni tiap tangga pesawat. 2 jam
lagi, barulah aku sampai di rumahku, di Butta Turatea. Beginikah rupa
ketiadaan itu? Seperti kau melihat dirimu terbaring di keranda hijau itu.

*****

Riuh. Gemuruh. Gersang.


Dua hari berlalu. Rasanya tak percaya semua ini. Kebiasaan-kebiasan kita
dulu, terbayang tiap detik. Menari-nari di pelupuk mata sembabku. Tubuh
gempalmu kini tak bisa kunikmati lagi. Seperti sarapan pagi, aku selalu
menggodamu sambil menepuk-nepuk perutmu yang kian hari kian
membuncit, seperti bos-bos atau pejabat yang korupsi saja kataku.
Menyuruhmu agar melakukan diet, biar wajah gantengmu semasa remaja
dulu nampak lagi. Tubuh atletismu yang menggoda mata para gadis di
kampung bahkan senior wanita di sekolahmu sering kali menggoda wajahmu
yang tampan. Tahukah apa yang membuat mereka tertarik? Bukan tanganmu
tentunya. Tapi, kau lelaki sempurna di mata wanita, masa itu. Hidung yang
mancung. Bibir seksi yang mengalahkan bibir beberapa gadis di sekolah,
bahkan bibirku. Tatapan yang sendu tapi tajam, seakan menghujam jantung
mereka. Tubuh atletis. Kulit sawo matang pun hampir mengalahkan mereka.
Sempurna. Kau idola. Bahkan, gadis-gadis itu yang menyatakan perasaannya
padamu. Betapa beruntungnya aku memiliki kakak yang hampir sempurna.

Perih membuncah di dadaku. Tangis ini ingin meledak jika kenangan itu
berlarian di otakku. Masa-masa sekolah dulu, keakraban kita sungguh
membuat iri yang lain. Hingga kau menjadi lelaki yang dikenal paling nakal
ketika usiamu menginjak masa SMA. Kau mulai mengenal rokok. Menenggak
ballo’. Bermain judi. Hingga pernah melawan orang tua kita. Yah, aku tahu,
itu gejolak remajamu. Tahun berlalu begitu saja tanpa meminta pamit pada
kita. Namun, satu hal yang kubanggakan darimu, hingga kematian
menjemputmu, kau telah bertobat beberapa tahun yang lalu, saat minuman
ballo’ itu membuatmu meregang, hampir menghilangkan nyawamu di usiamu
yang ke 19. Namun, Tuhan masih sayang padamu, daeng. Kau diberi waktu 7
tahun untuk menuntaskan dosamu dahulu. Meregang. Kau tertidur dengan
tenang di rumah barumu yang pengap. Dinding tanah hitam. Kau dingin,
daeng? Selimutmu hanya kafan putih tipis itu. Sudah bertemukah kau dengan
mungkar, daeng? Kutitip doa padanya agar dia meloloskanmu dengan
mudah.

*****

Hujan masih menampar-nampar di luar. Bulan menelikung. Malam


mendingin. Derit seng tua rumahku begitu jelas. Suara riuh dan tangis masih
terdengar bergantian. Di ruang tengah, bapak-bapak A’rate’ Arab.
Dilanjutkan, mengaji. Tak kalah, suara piring-piring berdentingan dari arah
dapur. Aku mengusap pipiku yang sembab. Bengkak. Kucari ammakku.
Beliaulah yang paling terpukul atas kejadian ini. Anak kesayangannya telah
tiada kini. Kudengar isak tangis dari dalam kamarnya. Ku buka pintu kamar
dan menyerbunya dengan pelukanku.

“Sabarlah, Ammak. Takdirlah yang meng-ada-kan kejadian ini hingga


menjadi tiada.” Bujukku dengan mengusap lembut airmatanya.
“iyya Nak.”

“Oya, bagaimana pattumateangna daeng Nalla-ku? Apakah mama masih mau


lakukan itu? Soalnya tabunganku tidak cukup 2 juta lagi. Sisanya, temaiki na
angngalle ammak? Jangan sampai, hanya gara-gara ini, kita berutang dan
perjalanan daeng Nalla ke kuburnya terasa berat. Dia pasti mengerti kok,”
aku masih berusaha menjelaskan pada mama agar tidak usah saja, atau
paling tidak, sederhana dan apa adanya saja. Tapi, begitulah adat Kami di
Turatea. Sebagian orang tua masih meyakini kalau attumate menjadi suatu
ritual keharusan yang harus dilakukan ketika salah satu keluarga yang
meninggal. Jika tidak, maka perjalanan mayat itu tidak akan lancar. Aneh
kan? Tentu saja, aku menentang ini, sebab kadangkala, terkesan dipaksakan.
Menghabiskan dana besar-besaran demi pergumulan adat ini. Padahal, kita
sedang berduka. Kehilangan sebuah nyawa. Mengapa mesti dipertaruhkan
lagi dengan pesta kematian yang tak semestinya. Bukankah agama pun tak
menginginkan demikian?

“Apa maksudmu, Nak? Kau mau daeng Nallamu tidak tenang di sana? Kau
sama saja dengan puringmu, Haji Suaib, sama-sama Muhammadiyah.” Suara
ammakku begitu keras, bahkan hampir terdengar ke luar kamar. Aku terdiam.
Aku memang selalu dicap anak yang tak setuju dengan adat ini. Di daerahku,
dikenal dari kalangan Muhammadiyah, tidak perlu melakukan prosesi
pattumateang ini. Sesudah dikuburkan, lalu, diadakan pengajian hingga 3
hari, maka dilanjutkan Ta’ziyah di malam keempat meninggalnya.
Sedangkan, kalangan non Muhammadiyah itu adalah yang meyakini adat
sedemikian rupa.

Aku mendesah. Nafasku saling memburu. Tak sanggup rasanya berdebat


begitu panjang dengan Ammakku, di saat dia terguncang dan
membutuhkanku sebagai putrinya yang diandalkannya kini. Sebab, kedua
adikku masih kuliah. Aku lupa bercerita, kalo aku punya adik dua orang laki-
laki yang sedang berkuliah pada universitas swasta di Makassar.

#4
Seperti tatapku yang terhenti dihujammu

Hari ke tujuh.
Pengajian pun ditamatkan malam ini. Acara ta’ziyah pun sedia dilakukan
malam nanti. Seluruh sajian makanan telah lengkap tersaji di meja untuk
menjamu tetamu dan seluruh keluarga besarku. Segala ihwal pattumateang
itu telah tersedia dan tertata rapi di ruang tamu. Kasur No. 2. Tempat tidur
ukuran 2. Segala pernak-pernik dapur mulai piring, gelas, sendok hingga
panci telah siap dipindahtangankan kepada pak Imam, yang mengurusi
jenazah kakakku hingga hari terakhir. Tumpi talle’, bannang-bannang, unti
ti’no dan beragam makanan lainya yang sudah dikantongi dalam plastik
hitam pun siap dibagikan untuk para pembaca Al-qur’an selama 7 hari itu.
Semuanya sudah siap.
Suara Ustadz yang memberikan siraman rohani dan tauziyahnya begitu
menggigit batinku. Airmata menari-nari lagi seperti liukan tarian ular
mendengar seruling pamong. Ambruk. Kulihat senyumnya. Melambai. Aroma
wangi begitu terasa tercium. Putih.

--- oOo ---


Keterangan:
Ammak : Panggilan untuk Ibu
Attumate: Prosesi pesta kematian.
Pattumateang : Ritual sakral setelah kematian yang dilakukan dengan prosesi
yang panjang.
‘Ndi’ tayu, bajik-bajik jaki? : Adik Tayu, Apakah kamu baik-baik saja?
Nontonka : Saya Nonton
Salamakki battu mae ri ballaka : Semoga selamat sampai di rumah ini nanti
-ki, -ta : Menunjukkan kesopanan dalam tuturan bahasa Makassar atau bugis
Temaemako anne kah? : Kamu sudah di mana sekarang?
Tette siapa nu battu Ndi’? : Jam berapa kamu tiba adik?
Ndi’ bau’ku : Adikku yang ku saying
Ballo’ : Jenis minuman keras tradisional
Purinang : Saudara ayah atau ibu
Tibama : Saya sudah tiba
Tumpi talle : Kue yang dibuat dari gula merah dan tepung beras berbentuk
bulat
Bannang-bannang : kue berbentuk jaring-jaring
Unti ti’no : Pisang masak

Ilustrasi sampul : ittelkom


Kolaborasi : Rianty Tayu Syafna + Irsyam Syam
Publication Date: April 11th 2011

https://www.bookrix.com/-irsyam

Anda mungkin juga menyukai