ATTUMATE
[Dedikasi untuk Alm. Syahrir daeng Nalla]
#1
Entah kau-aku; ada yang terasa hilang
Melenyap dalam kawanan kabut di malam itu
‘Ndi’ tayu, bajik-bajik jaki? Nontonka berita tadi pagi kalo salah satu kereta
tujuan Surabaya telah terperosok ke jurang. Bukanji kereta yang kau
tumpangi toh?” Begitulah pertanyaannya dengan nada kehawatiran begitu
tinggi dan logat Makassarnya yang khas.
“Iyye bukanji daeng, buktinya saya masih angkat telponta toh? Saya
sekarang sudah tiba di terminal pasar ikan di Surabaya,” jawabku dengan
sedikit tertawa dan bersikap tenang. Kudengar helaan nafasnya yang begitu
berat dan ucapan syukur Alhamdulillah yang berulang. Lalu, kujelaskan pula,
kalo KA yang terperosok ke jurang itu adalah di arah selatan, di Madiun.
#2
Subuh yang basah
Kaukah yang memberi Nyawa?
Meneteskan rindu pada jiwa yang masih terbaring?
“Mba, kenapa nangis tadi? Abis putus ma pacar yah?” tanyanya begitu pelan,
seolah ragu memberiku pertanyaan yang sensitif. Kuurai senyumku.
“Ah, tidak kok mba. Novel ini sangat mengharu biru. Baru kali ini, aku
membaca novel yang membuatku miris. Teriris-iris. Ada yang menggoncang
di sini,” sambil aku menunjuk ke dadaku dan memperlihatkan halaman depan
Novel itu. Bidadari Surga. Perjuangan seorang kakak perempuan untuk
membiayai pendidikan dan hidup adik-adiknya yang berjumlah lima orang.
Dia harus meninggal dalam keadaan yang masih perawan di usianya yang
sudah tak muda lagi, 45 tahun, meski dalam hati kecilnya sangat
menginginkan seorang pendamping sebelum ajal menjemputnya. Kamu harus
membacanya. Lalu, perjalanan kami disertai cerita-cerita yang menarik
antara aku dan Arsih. Bayinya pun sudah tidak rewel lagi. Tertidur lelap
dalam pangkuan ibunya di kursi kereta yang menurutku sangat menyiksa
posisi ibunya duduk. Kualihkan pandanganku ke luar jendela kereta api.
Gelap gulita. Bayangan-bayangan hitam berkelebat seolah menggodaku
menatapnya. Hujan terdiam sejenak seolah memberitahukan kalo subuh
akan menjelang. Subuh yang basah.
#3
Kelak kau akan paham,
sebab titik hanyalah ada pada keinginan Tuhan kita
14.15 WIB. Menyusuri lekuk-lekuk tubuh Surabaya yang menggarang. Peluh
keringat membanjiriku. Bermodalkan petunjuk kawanku Mas Arif, kuyakini
diriku akan bisa menjumpai bandara Juanda sebentar lagi. Ah, Makassar, aku
tak sabar lagi. Entah, ada yang membuncah di dadaku. Ada yang bergemuruh
di nafasku. Lelah ini tak terasa lagi. Hmm…. Lambat nian laju taxi ini. Sejam
lagi aku harus boarding pass. Ujarku membatin.
Handphoneku berbunyi. Kali ini bukan sms, sebab tujuh sms tak ku¬ reply
sebelumnya. Kutatap layar HP-ku, tertulis KkQ Nalla Boger. Segera kuangkat,
helaan nafasku memanjang. “Kau sudah di mana ndi’? Kenapa sms daeng
Nalla tidak dibalas?” suara wanita terdengar khawatir di seberang sana. Oh,
istri kakakku, namanya Daeng Singara.
“Saya sudah di bandara Juanda, daeng. Menurut informasi tadi, setengah jam
lagi, pesawat kami akan berangkat.”jawabku dengan suara melemah.
“Iyya pale Ndi’, hati-hatiki nah. Oya, mau bicara daeng Nalla,”
“Ndi’ Tayu, temaemako anne kah? tette siapa nu battu Ndi’?” Tanya kakakku
dengan logat Makassarnya yang kental.
*****
*****
Perih membuncah di dadaku. Tangis ini ingin meledak jika kenangan itu
berlarian di otakku. Masa-masa sekolah dulu, keakraban kita sungguh
membuat iri yang lain. Hingga kau menjadi lelaki yang dikenal paling nakal
ketika usiamu menginjak masa SMA. Kau mulai mengenal rokok. Menenggak
ballo’. Bermain judi. Hingga pernah melawan orang tua kita. Yah, aku tahu,
itu gejolak remajamu. Tahun berlalu begitu saja tanpa meminta pamit pada
kita. Namun, satu hal yang kubanggakan darimu, hingga kematian
menjemputmu, kau telah bertobat beberapa tahun yang lalu, saat minuman
ballo’ itu membuatmu meregang, hampir menghilangkan nyawamu di usiamu
yang ke 19. Namun, Tuhan masih sayang padamu, daeng. Kau diberi waktu 7
tahun untuk menuntaskan dosamu dahulu. Meregang. Kau tertidur dengan
tenang di rumah barumu yang pengap. Dinding tanah hitam. Kau dingin,
daeng? Selimutmu hanya kafan putih tipis itu. Sudah bertemukah kau dengan
mungkar, daeng? Kutitip doa padanya agar dia meloloskanmu dengan
mudah.
*****
“Apa maksudmu, Nak? Kau mau daeng Nallamu tidak tenang di sana? Kau
sama saja dengan puringmu, Haji Suaib, sama-sama Muhammadiyah.” Suara
ammakku begitu keras, bahkan hampir terdengar ke luar kamar. Aku terdiam.
Aku memang selalu dicap anak yang tak setuju dengan adat ini. Di daerahku,
dikenal dari kalangan Muhammadiyah, tidak perlu melakukan prosesi
pattumateang ini. Sesudah dikuburkan, lalu, diadakan pengajian hingga 3
hari, maka dilanjutkan Ta’ziyah di malam keempat meninggalnya.
Sedangkan, kalangan non Muhammadiyah itu adalah yang meyakini adat
sedemikian rupa.
#4
Seperti tatapku yang terhenti dihujammu
Hari ke tujuh.
Pengajian pun ditamatkan malam ini. Acara ta’ziyah pun sedia dilakukan
malam nanti. Seluruh sajian makanan telah lengkap tersaji di meja untuk
menjamu tetamu dan seluruh keluarga besarku. Segala ihwal pattumateang
itu telah tersedia dan tertata rapi di ruang tamu. Kasur No. 2. Tempat tidur
ukuran 2. Segala pernak-pernik dapur mulai piring, gelas, sendok hingga
panci telah siap dipindahtangankan kepada pak Imam, yang mengurusi
jenazah kakakku hingga hari terakhir. Tumpi talle’, bannang-bannang, unti
ti’no dan beragam makanan lainya yang sudah dikantongi dalam plastik
hitam pun siap dibagikan untuk para pembaca Al-qur’an selama 7 hari itu.
Semuanya sudah siap.
Suara Ustadz yang memberikan siraman rohani dan tauziyahnya begitu
menggigit batinku. Airmata menari-nari lagi seperti liukan tarian ular
mendengar seruling pamong. Ambruk. Kulihat senyumnya. Melambai. Aroma
wangi begitu terasa tercium. Putih.
https://www.bookrix.com/-irsyam