Anda di halaman 1dari 4

TAKDIR YANG BERBEDA

OLEH : WILYA ADISA

Aku mendesah, kuhirup nafas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku yang kalut.
Dadaku terasa sesak. Ada sedikit nyeri yang tertahan teringat beberapa waktu lalu Ibu
meneleponku memohon sesuatu yang sangat penting. Ya, permohonan ijin dan restu untuk
Adikku.

“Kasih restu Adikmu ya Nduk, niat baik harus segera disegerakan. Adikmu sudah hampir 30
tahun, tahun depan. Sudah jadi perjaka tua. Ibu juga sudah semakin sepuh, bayangan
Bapakmu dalam mimpi Ibu selalu muncul. Ibu takut tak bisa melihat anak-anaknya
menemukan kebahagiaan. Jika waktunya tiba dan Bapak menginginkan Ibu segera
mendampinginya kembali, Ibu sudah siap. Ibu juga ingin segera gendong cucu, biar kalau ajal
menjemput, ibu sudah legowo karena sudah merasakan sebagai Uti.”

Kata-kata Ibu terngiang-ngiang. Perih tapi tak berdarah. Ada rasa trauma dalam hati Ibu dan
luka itu adalah luka yang sama yang ada dalam diriku.

Aku memang kakak, tapi aku juga wanita biasa. Aku manusia yang punya hati dan perasaan.
Bahagia, iri, sedih, cemburu, bercampur jadi satu. Di sisi lain, aku bisa merasakan apa yang
dirasakan Ibu. Beban tanggungjawab sebagai orang tua tunggal tentu saja menyeruak senang
tatkala anak laki-lakinya yang masih dielu-elukan sebagai anak paling kecil nyatanya berani
mengambil resiko besar dalam hidupnya. Menjadi kepala keluarga.

“Ibu juga gak enak sama Bu Marko, Nduk ... Anak gadisnya, Tiara, digonceng Adikmu terus-
terusan. Wajar jika beliau ingin kepastian. Karena Tiara juga lebih dari seperempat abad,
umurnya. Jika saja waktu itu Ibu melakukan hal yang sama, mungkin …”

Ada kesedihan dalam tutur kata Ibu. Bahwa aku, anak gadisnya, harusnya mendapatkan
kebahagiannya terlebih dulu. Mengingat aku yang lebih tua. Harusnya saat itu, Ibu juga
seperti Bu Marko yang mendesak orang tuanya untuk segera menentukan sikap menghalalkan
diriku sebelum ada godaan yang merebutnya.

Tapi kisah tinggal sebuah kenangan. Kenangan pahit yang sekarang membuat diriku merasa
iri hingga menjalar memenuhi hati. Kenapa nasibku begini sampai harus dilangkahi? Oh Ibu,
maafkan anak gadismu yang belum bisa memenuhi keinginanmu. Jauh di dalam kalbu, hal
yang Ibu inginkan juga menjadi impian besarku. Menjadi seorang istri dan ibu. Tapi
beginilah nasibku, aku masih sendiri, belum ada yang ingin memiliki.

Kutatap layar gawai yang baru saja terpakai. Tanpa kukuasi, setetes air mata bergulir jatuh di
sisi jemari yang harusnya terisi oleh sebuah cincin cantik tanda ikatan suci. Takdir berkata
lain. Adikku ternyata lebih dulu menemukan belahan jiwanya. Haruskah aku benar-benar
cemburu? Atau memang aku sedang cemburu. Bijakkah aku? Sebagai seorang kakak,
harusnya aku senangkan? Pikiranku berkecamuk saling bertanya dan menjawab. Hingga
teringat akan pesan Bapak sebelum meninggal.

“Yang rukun sama Adikmu ya Nduk, nanti kalau bertemu dengan jodohmu, Adikmu yang
akan menjadi wali nikahmu, sayangi dia sebagai saudaramu dan hormati dia sebagai laki-laki
pengganti Bapak.”

Pesan yang membuat dadaku terasa pengap, terngiang-ngiang kembali dalam ingatan.

Adikku memang begitu beruntung nasibnya. Sekolah lancar tanpa halangan dan langsung
dapat pekerjaan. Lalu dia bertemu Tiara, gadis manis yang lincah dan murah senyum itu
membuat Adikku bertekuk lutut di hadapannya. Hingga menjadikannya wanita istimewa.
Kesetiaan di antara hubungan mereka mengiringi langkah demi langkah yang mereka lalui.
Hingga tiba hari ini.

Aku sadar, sebagai kakak dan seorang wanita, hari ini akan tiba. Jika saat itu, tidak ada
kendala di hidupku tentu saja hari ini akan menjadi berita besar yang menggembirakan semua
pihak. Tapi, cerita pahit yang pernah terukir menorehkan luka besar tidak hanya pada diriku
dan keluargaku. Aku yakin, sebenarnya mereka memiliki rasa yang kurasakan. Tapi memang,
bagaimanapun, setiap manusia punya cerita hidup yang berbeda bukan?

Layar gawai kembali menyala, ada pesan masuk tertera. Setelah telepon dari Ibu, sekarang
ganti dari dia yang membuat hatiku pilu. Adikku tersayang, si bungsu.

“Mbak, maaf beribu maaf, tapi, ijinkan aku menikahi Tiara, ya Mbak. Orang tuanya
menginginkan anak gadisnya segera kusahkan karena umur kami dirasa cukup dalam ikatan
yang sah. Sudikah kiranya Mbak Ida memberi restu?”

Restu? Umur?
Astaga, dadaku bergemuruh, kutepuk-tepuk jantungku yang bertalu-talu. Aku tahu aku salah.
aku adalah kakak, aku tak boleh berpikir cemburu pada nasib baik yang menimpa adikku.
Tapi, sebagai wanita, normalkah aku jika ini terasa menyakitkan?

Aku juga pernah punya pasangan dan ingin segera menikah. Dia yang kuanggap pujaan hati
bisa melindungi dan mencintaiku dengan segenap raganya. Tapi nasib yang kuimpikan tak
seindah yang dibayangkan remaja gadis pada umumnya. Bertemu dengan pria tampan bak
pangeran dengan kuda putihnya. Hingga umurku melampaui sepertiga abad. Pria yang
kuidam-idamkan itu nyatanya masih dalam sebatas khayalan.

Dalam kisah nyataku, pria yang pernah menjadi pemilik hati ini sudah mati. Dia pergi, jauh
dengan wanita jalang yang bertopeng sebagai sahabat. Dia yang begitu memujaku dengan
ucapan manisnya, berjanji setia meski terpisah jarak telah membuat hatiku begitu percaya dia
akan mengikatku dalam sebuah ikrar suci pernikahan. Tapi ternyata malah menjadi duri
dalam daging. Luka yang tak akan hilang meski waktu terus mengikisnya.

Siapa yang mengira jika keakraban mereka menjadi bumbu penyedap yang mengharumkan
aroma kisah kasih diantara mereka? Saat kejadian itu, aku merasa kecil. Tersisih. Mereka
bercumbu mesra saat aku tanpa kata datang menjenguknya yang jauh di belahan dunia.
Hatiku remuk. Sakit. Benar-benar perih. Inginku memberi kejutan yang istimewa, ternyata
aku sendiri yang mendapat kejutan menggelegar.

Kata maaf itu, harusnya sebanding dengan ketulusan. Tapi entah kenapa mendengar mereka
mengatakannya seperti menelan racun yang mematikan perasaan. Hatiku menjadi beku.
Sangat kaku. Aku mati rasa dan hampir tak ada daya untuk menumbuhkan kembali benih-
benih cinta pada seorang pria.

Mereka kejam, sangat kejam. Bagaimana bisa, orang yang kucintai dengan sepenuh hati dan
orang yang kupercayai dengan segenap jiwa, menghancurkanku dengan brutal hingga retak,
sampai ke dalam tulang. Aku terkapar.

Missed Call dari Adikku, membuyarkan lamunanku. Dia ingin jawaban segera sebagai tanda
bahwa aku lapang dada. Ah, adikku, dia adalah adik bungsu yang memang berbeda. Pendiam
dan patuh. Tak pernah sekalipun membantah meski aku yang bermain curang dan selalu ingin
menang. Dia Adikku, tapi kuakui dia lebih dewasa dariku. Dia sangat menghormatiku
layaknya kakak perempuan yang selalu ingin diakui sebagai ratu dalam keluarga.
Sekarang, dia sudah menemukan wanita pujaannya. Sungguh beruntung gadis itu
mendapatkan si bungsu. Dia akan mendapatkan suami yang sangat memuja dia dan
melakukan apapun demi kebahagiannya. Sementara aku?

Teringat masa lalu, saat kami masih kecil. Keinginanku yang kuat dan manja pada Almarhum
Bapak, sering membuat adikku jadi amukan kemarahan bapak. Keinginannya disisihkan.
Beralih dengan keinginanku yang kumau. Meski aku kakak, tapi entah kenapa aku tak begitu
peduli akan perasaannya, dia toh akan menurutiku. Begitu pikirku waktu itu. Sekarang, waktu
menjawab. Dia yang selalu aku kesampingkan perasaannya karena sikapnya yang tak pernah
memberontak, malah meminta ijinku untuk mendahului menikah. Suatu impian yang aku
harapkan.

Kedewasaan, umur dan kebijaksanaan memang sering dibenturkan dengan logika dan
kenyataan.

“Iya Le, Mbak meridai keputusanmu untuk segera menikah, menyempurnakan setengah
agama. Semoga Tiara bisa menjadi istri yang salehah.”

Anda mungkin juga menyukai