Anda di halaman 1dari 7

JODOH RAHASIA BAPAK

OLEH : WILYA ADISA

[Aku mencintanya, aku masih mencintainya]

Kutulis kalimat itu, berulang kali di buku diariku. Meski sosok samar itu belum kukenal, tapi
aku sudah menyimpan rasa untuknya.

Kami bertemu saat acara arisan keluarga. Keluarga bapak sangat banyak. Kata orang, ada
darah ningrat turun temurun di masa lalu. Sehingga, setiap lima tahun sekali, selalu diadakan
acara akbar untuk menyambut dan melepas rindu antar keluarga dan juga tidak kepaten obor.

Acara keluarga yang diadakan di sebuah gedung pertemuan tentu tak semua saling mengenal.
Karena dari satu leluhur, menelurkan generasi-generasi yang terus-menerus, menyesuaikan
dengan siapa mereka menikah. Ada yang blasteran, ada yang pernikahan beda suku, ada juga
yang sama-sama orang jawa.

Tak terkecuali aku yang selalu hadir mengikuti acara itu. Terhitung sudah empat kali di setiap
jadwal pertemuan semasa aku hidup. Kedatanganku tentu saja bersama bapak dan ibu.

*******

{Di, liat koran hari ini, ada pengumuman kelulusan dari lowongan kerja yang kita ikutin
kemarin}

Pesan aplikasi hijau dari temanku, Sofi.

{Serius? Aduh, aku deg-degan, thanks ya infonya}

Setelah membalas pesan Sofi, dengan gembira aku membuka koran baru langganan bapak, di
ruang tamu.

“Bismillahirahmanirahim,” batinku.

Hari ini mulai memasuki bulan Desember, sudah hampir setahun aku belum mendapat
pekerjaan setelah awal tahun diwisuda. Ada sedikit rasa iri melihat teman-teman sudah
bekerja bahkan ada yang sudah menikah. Sementara aku, pekerjaan masih mencari, pasangan
pun belum pasti. Ah, nasib.
Namaku Dian Dini Ariska, aku sudah berumur 25 tahun pada bulan Januari tahun depan. Itu
artinya, tinggal hitungan hari aku akan mencapai high risk level. Istilah peringatan yang
kubikin sendiri dari targetku untuk menikah. Tapi nyatanya, sampai detik ini pekerjaan saja
belum kudapatkan. Aku jadi menyesali kenapa dulu mengambil jurusan yang tergolong
susah.

Ya, kuliahku memang terbilang lama, aku mengambil jurusan Teknik yang ternyata tak
seindah yang dibayangkan. Dosennya killer, penelitian lama, teman-teman lebih banyak pria
yang pastinya, tak ada rajin-rajinnya untuk saling membantu membuat laporan. Huh.

DAFTAR PESERTA YANG LOLOS SEBAGAI KARYAWAN DI PT. BANK ***


KANTOR WILAYAH SURABAYA.

Headline di salah satu halaman koran, membuatku semakin deg-degan. Begitu banyak list
nama yang tertulis di sana. Satu per satu aku menelisik namaku. Mataku mencolos saat
berakhir di nomer urutan 222. Masyaallah, akhirnya ada namaku tertera di sana. Antara
jantung, mata dan pikiran, beradu sinergi untuk menata hati, ini benar atau tidak. Ini namaku
atau tidak. Aku bolak balik membaca ulang dan mengejanya. Sampai akhirnya, Sofi muncul
di layar ponselku.

“Selamat ya Di, kamu keterima, Alhamdulillah, perjuangan kita gak sia-sia. Kita berhasil
Di.”

“Alhamdulillah, berarti nomer 222 ini beneran namaku ya? Aku ulang berkali-kali untuk
memastikan, ini beneran apa gak, aku takut di-php-in lagi sama mata,” suaraku serak
menjawab telepon dari Sofi, sungguh rasanya bahagia sampai hampir nangis.

“Astaga Di, bener Di, itu namamu di urutan 222, aku di urutan 115. Ini aku warnain nama
kita,” jelas Sofi.

“Alhamdulillah kalau mataku bener. Makasih ya Sof, kamu emang sohib terbaik,” jawabku
sebelum menutup ponsel.

Hari ini hari bersejarah, akhirnya selama setahun aku di rumah. Aku akan bekerja dan tidak
merepotkan orang tua. Mungkin orang tuaku tak mempermasalahkan kondisiku yang belum
berpenghasilan. Tapi, sebagai anak, tak elok rasanya jika terlalu lama bergantung pada
mereka. Terlebih aku anak pertama.
Setelah mendapat kabar yang menggembirakan hati, aku langsung menuju kamar, membuka
lemari, dan menyiapkan segala hal yang aku pakai dan butuhkan untuk pertemuan perdana
para karyawan baru di hotel Mulia, Surabaya.

******

“Deg-degan gak?” tanya Sofi sambil memegang tanganku dengan wajah pucat dan keringat
yang mulai timbul di dahinya.

“Tanganmu dingin, Sof, kayaknya kamu yang lebih deg-degan dari aku.” Aku tertawa lirih,
sambil melirik temanku yang cemberut.

Hari ini adalah hari pertama kami masuk kerja. Tugas pertama kami sebagai Customer
Service (CS) di bank *** di Jalan Patimura, Surabaya. Sebagai pegawai baru, tentu kami
merasa canggung untuk memulai pekerjaan. Untungnya ada senior yang membantu.
Namanya Mas Rudi.

Mas Rudi orangnya baik, kalem, dan yang pasti ganteng. Tinggi yang proposional dengan
kulit putih dan senyum memikat, tentu cocok sebagai seorang CS yang melayani nasabah di
meja terdepan sebuah bank ternama. Umurnya mungkin tidak jauh berbeda denganku, hanya
saja, dia sudah bekerja di bank sejak 3 tahun yang lalu pasca lulus dari sarjana. Fresh
graduate dan langsung dapat kerja. Sementara aku, untuk sampai di titik ini, perlu waktu
yang berliku-liku untuk mendapatkannya.

“Kalian bekerja yang baik ya, Rudi, tolong kamu bantu Dian dan Sofi. Agar nanti jika ada
perpindahan SK, tidak ada komplain dari nasabah,” perintah Pak Yasin, Kepala Unitku.

“Siap Pak,” jawab Mas Rudi. “Mari saya antar ke meja kalian dan saya kasih tahu apa saja
yang harus kita kerjakan,” lanjutnya kembali.

Dengan telaten, Mas Rudi mengajari kami tentang produk-produk perbankan dan apa saja
yang dikenalkan kepada nasabah, pembukuan akhir bulan dan file-file pencairan kredit serta
cara membuka dan menutup tabungan.

Ternyata sebagai pegawai bank, tidak seperti yang selama ini aku bayangkan. Mempunyai
latar belakang pendidikan sarjana teknik, sama sekali tidak mendukung pekerjaan yang aku
jalani sekarang ini. Bukan tidak bersyukur, namun aku merasa memulai lagi segalanya dari
nol. Tapi karena ini pekerjaan pertama setelah satu tahun menganggur, tentu saja aku tak
boleh berkecil hati.
Sudah sebulan berjalan, ternyata sebagai seorang CS lumayan juga. Jam tujuh pagi, briefing,
lalu melayani nasabah sampai jam tiga sore. Setelah itu membuat laporan apa saja yang
dilakukan hari itu dan mengarsipkannya dalam file-file yang sudah disediakan. Tak lupa
menata berkas dan mengunci jaminan nasabah di ruang brankas. Jika nasabah hari itu tidak
banyak, jam lima sore aku sudah bisa pulang, tapi jika akhir bulan, jam sembilan malam baru
keluar dari parkiran. Hal seperti ini rutin kulakukan hingga akhirnya sudah setahun berjalan.

Memasuki bulan Januari awal tahun, peringatan yang kubuat sendiri untuk menikah mulai
membuat diri resah, galau. Baru setahun bekerja, sudah tak sabar ingin segera menikah.
Detik-detik menjelang hari ulang tahunku yang ke-26, membuat hati tak nyaman. Apakah aku
akan menjadi perawan tua? Astaga, kugeleng-gelengkan kepala. Jangan sampai pikiran buruk
merasuki diri. Bisa jadi penyakit hati yang mematikan.

Hari ini aku merasa berbeda, ada yang tak biasa. Entah kenapa, ada nasabah yang sedari tadi
memandangiku dengan antusias namun sendu. Tatapannya membuat tanganku terasa dingin.
Bukankah dia yang selalu ada dalam diariku? Oh, tidak jantungku!

ANTRIAN NOMER 23, SILAHKAN

Suara antrian dari mesin operator memanggil nasabah.

“Se-selamat pagi Pak, de-dengan saya Dian, a-ada yang bisa saya bantu?” Aku menyapa
nasabahku.

“Ini Mbak, saya mau mengambil tabungan dalam jumlah besar.” Nasabah yang dari tadi
memandangiku, ternyata mendapat antrian layanan di mejaku. Dengan setelan kemeja biru
muda dan celana jeans membuat kulit putihnya kian cerah tertimpa sinar matahari yang
masuk ke dalam kantor.

“Ba-baik Pak, silahkan me-mengisi formulir pengambilan ta-tabungan berikut, silahkan diisi
jumlah no-nominal dan saya minta KTP dan bu-buku tabungan Bapak,” kataku menjelaskan
dengan suara terbata-bata.

Waktu aku mendapatkan KTP-nya, kubaca nama yang tertera di kartu itu, Hafi Pramudya.
Bekerja sebagai anggota kepolisian dan duda, umurnya hampir sebaya denganku, lebih tua
empat tahun.

Astaga, aku baru tahu, ternyata dia sudah pernah menikah. Kupikir selama ini dia masih
sendiri. Bodohnya aku tak pernah bertanya pada bapak. Setiap pertemuan, tak pernah
sekalipun bapak bercengkerama dengan keluarganya. Kukira saudara yang sangat jauh,
sehingga tak saling mengenal.

“Ba-baik Pak, si-silahkan menunggu pada antrian meja teller, nanti Bapak a-akan dipanggil.”
Aku menjelaskan dengan jantung yang masih bertalu-talu kepada Hafi karena tak menyangka
bahwa dia akan menjadi nasabahku di sini. Sebelum dia pergi, tiba-tiba dia menyapa.

“Maaf sebelummya, apakah kamu tak ingat saya?”

“Bapak mengenal saya?” tanyaku, tak percaya.

“Jangan panggil pak, mas saja atau nama saja tak apa, dulu waktu masih anak-anak, kamu
memanggilku Mas Pram.” Hafi yang sebelumnya terlihat canggung, tiba-tiba lebih percaya
diri, ketika mata kami bertemu.

Bingung menjawab apa, aku masih menata hati agar tidak terlalu ketara jika aku benar-benar
merasa berdebar-debar. Untungnya, suara operator panggilan nasabah memecah keheningan
di antara kami.

KEPADA BAPAK HAFI, SILAHKAN MENUJU MEJA TELLER

Diapun berlalu sambil melambaikan tangan setelah memberikan nomer ponselnya.

“Bolehkah aku mendapatkan nomer ponselmu? Ini nomer ponselku.”

*********

“Nduk, kamu sudah dewasa, sudah bekerja. Sekarang rencanamu apa?”

Sore hari di hari Sabtu adalah waktu yang biasa aku gunakan untuk ngobrol ngalor ngidul
secara santai dengan bapak dan ibu. Pertanyaan bapak tiba-tiba membuat jantungku berpacu,
hawa dingin merayap seperti tersiram es. Tak biasanya bapak bertanya terlalu pribadi seperti
ini. Bahkan ketika aku mengganggur setahun pun, bapak tak pernah membahasnya secara
detail.

“Baru setahun bekerja, Pak. Jadi ya dinikmati dulu,” jawabku singkat.

Ibu yang biasanya tak pernah nimbrung ikut berbicara. “Maksud Bapak, putri kami ini apa
sudah ada calon yang bisa dikenalkan pada kami?”

Aku yang menikmati pisang goreng, tersedak, diikuti senyum dari mereka.
“Masih belum Bu, nggeh nyuwun doane mawon, seperti dapat kerja kemarin,” jawabku
singkat lagi.

“Gini lo Nduk, ada saudara jauh. Keluarganya baik. Cuma memang sempat tak saling
berhubungan karena jarak. Mereka pernah tinggal di Amerika. Bukan bermaksud
membuatmu terbebani. Tapi, adekmu sudah diminta sama Dimas. Mereka juga sama-sama
sudah bekerja. Jadi, sebelum mereka resmi, kalau kamu bersedia, saudara jauh ini ingin
memintamu sebagai menantu mereka. Ya, ben sambung seduluran juga,” jelas Bapak panjang
lebar.

“Cuma, terus terang dia sudah pernah menikah, tapi tanpa anak. Istrinya meninggal saat
sedang hamil, gugur beserta bayinya,” tambah ibu.

“Kami tahu, mungkin ini terlalu cepat, karena sebelumnya tidak ada pembicaraan tentang ini.
Cuma, kondisinya, kamu sudah bekerja, adekmu sudah diminta, dan waktunya pas juga
dimana saudara bapak sendiri yang memintamu jadi anak mereka. Bapak lihat juga, anaknya
baik, mapan dan keluarganya insyaallah baik, karena mereka masih satu garis leluhur dengan
kita.” Bapak kembali memberikan penjelasan padaku setelah melihatku seperti tak nyaman
membicarakan hal seperti ini.

Bapak ibu tahu, aku adalah gadis yang tertutup dari kecil. Adekku, Ratih, lebih terbuka dan
lebih mudah bergaul daripada aku sejak kecil. Aku sebenarnya tak masalah jika dilangkahi,
namun aku juga mengerti maksud bapak ibu. Mereka ingin semua anaknya bahagia sesuai
urutannya.

“Bapak tadi bilang masih saudara, kalau boleh tahu siapa namanya?” Aku beranikan diri
bertanya pada bapak. Bukan berarti tertarik, namun kurasa aku berhak tahu siapa nama orang
yang dijodohkan denganku. Seandainya bisa berharap, mungkinkah Hafi?

Bapak ibu saling tersenyum mendengar pertanyaanku. “Insyallah, kamu kenal Nak, Ibu
pernah melihat kamu senyum-senyum memandang fotonya di album keluarga besar.”

Detak jantungku berpacu, mereka sepertinya sadar, jika mukaku merah seperti kepiting rebus.
Ibu selalu tahu apa yang terjadi pada anaknya. Tapi, aku tak pernah menyangka bahwa ibu
memperhatikan sampai sedetail ini. Ah, buku diariku? Apakah waktu itu aku lupa
menguncinya? Tanpa sadar aku menepuk kepalaku.
“Namanya Hafi Nak, Hafi Pramudya. Dia bilang, kemarin sempat ke kantormu dan bertemu
denganmu, benarkah?’ tanya ibu padaku, sambil tersenyum.

Dengan malu-malu aku menggangguk, “Jadi dia yang Bapak maksud?” tanyaku pada bapak.

Anggukan dan senyuman mereka, membuat hatiku sulit menggambarkan apa yang aku
rasakan. 20 tahun aku menyimpan rasa padanya. Meski ternyata, cintanya pernah ada untuk
wanita lain, tapi ternyata takdir berkata lain. Aku berjodoh dengannya.

Setelah pembicaraan singkat dengan bapak ibu, dengan mengucap bismillah, aku mengirim
pesan padanya. Usia yang tak lagi muda, keluarga yang sudah saling mengenal, membuat
hubungan kami, berjalan dengan cepat kilat.

Tepat di umur 27 tahun, dia datang melamar ke rumah orang tuaku. Kami melangsungkan
tunangan secara singkat. Sebulan dari hari tukar cincin, kami melangsungkan akad. Ternyata,
target yang kubuat untuk menikah di umur 25 dijawab Allah pada umur 27 tahun. Sempat
hati merasa kecewa karena doaku belum juga dikabulkan pada waktu yang aku inginkan.
Tapi, jika waktunya tiba, dalam sekali hentakan-Nya, semua yang terjadi, maka terjadilah.
Sang maha kuasa memberikan jawaban di waktu yang telah Dia tentukan. Akhirnya aku
terikat janji suci pernikahan dengan kekasih hati yang selalu mengisi sanubari sejak umur
lima tahun silam.

~~~TAMAT~~~

Anda mungkin juga menyukai