Anda di halaman 1dari 7

LELAKI PENJUAL BUNGA

Lelaki bertubuh ideal itu selalu memandangiku beberapa detik


ketika aku akan masuk atau keluar tempat kerja. Kulitnya yang sedikit
keriput dan tidak terlalu pendek perawakannya. Dengan sepeda
tuanya yang memuat bunga mawar, tulip, dan lili untuk dijualnya, lelaki
itu terkadang membuatku cukup penasaran dibuatnya. “Mengapa dia
selalu memandangiku? Ada yang tidak sesuai kah dengan pakaian ku
hari ini? Apa maksud dia menatapku bukan untuk sekali saja?”,
batinku.

Sebagai perempuan yang masih lajang, kelakuan lelaki


tersebut kadang membuatku risih, juga kadang was-was. Bukan
karena motor matic warna merah yang baru aku beli atau handphone
keluaran terbaru yang aku pegang di tangan. Akankah laki-laki itu
suatu saat ingin mengikutiku ketika aku hendak berangkat atau pulang
kerja kemudian ia merampas semua barang itu.

“Ah, sepertinya bukan itu.”, pikirku untuk menenangkan diri


ketika rasa cemas itu timbul. “Toh semua barang yang aku miliki itu
juga sudah ku daftarkan ke lembaga asuransi, sehingga jikalau ada
apa-apa dengan barang tersebut, aku bisa melakukan klaim asuransi,
meskipun prosesnya tidak semudah yang ditawarkan.”, pikirku lagi
untuk menguatkan penyangkalan yang aku ciptakan.

Bukan soal itu, akan tetapi soal rasa ketidak nyamanan


bahkan keanehan yang ditimbulkan dari kegiatan berulang-ulang
tersebut. Coba kalau yang diinginkan bukan barang yang serta-merta
denganku, tapi yang lelaki itu incar adalah aku. Diriku sendiri.

Kulitku memang tidak seputih dan secantik model iklan


produk kecantikan kulit. Tubuhku apalagi. Meskipun kata orang
proporsi badanku cukup menarik bagi sebagian orang. Sehingga
sebagai seorang gadis, rasa kekhawatiran itu tentu lumrah terjadi.
Kekhawatiran yang lambat laun berubah menjadi kegentaran yang
beralasan.
Aku bekerja di tempat kerjaku yang sekarang ini memang
tidak terlalu lama. Kepindahanku ke tempat yang sekarang dengan
maksud untuk diperbantukan di bidang keuangan perusahaan yang
sedang mengalami penurunan omset penghasilannya. Mungkin
karena pandemi yang tidak diharapkan oleh banyak orang, sedang
melanda di seluruh bumi ini. Atau karena orang-orang yang dulu
bekerja dalam mengatur soal finansial perusahaan, mereka berbuat
tidak jujur dalam pengelolaan keuangan perusahaan yang ada. Lagi-
lagi aku pun juga belum tahu penyebab pastinya. Saat ini tugas dan
tanggung jawabku adalah untuk menganalisa dan mengecek hal pasti
apa yang sedang terjadi di dalam perusahaan. Tidak mudah memang,
tapi harus dilakukan.

Hari ini, aku berangkat ke kantor jauh lebih awal. Sekitar pukul
setengah tujuh pagi aku sudah tiba di depan gerbang. Lelaki yang
membuatku penasaran dengan kelakuannya itu juga sudah ada di
sekitar tempat kerja. Dia mulai menjajakan bunganya ke setiap orang
yang hilir mudik melewatinya. “Beli neng, bunga mawarnya cantik-
cantik. Silahkan dibeli Bu, bunga-bunganya masih wangi dan
menarik.,” kata lelaki tersebut cukup lantang terdengar di telingaku
ketika aku berada di depan gerbang kantor. Bukan hanya suaranya
saja yang terdengar, sorotan matanya juga tidak lalu dari menatapku.
Tidak hanya sebentar, 10-20 detik mungkin tatapan tersebut terjadi.

Kebetulan pagi itu, gerbang kantor belum juga terbuka


kuncinya. Mungkin karena aku datangnya kepagian dan juga petugas
kebersihan yang merangkap menjadi penjaga kantor itu sedang
pulang ke rumahnya sebentar. Sehingga, aku coba menunggu Pak
Roni, begitu sapaanya di kantor, tiba kembali di kantor dan
membukakan pintu gerbang.

Sambil menunggu, aku pun berdiri di depan gerbang dengan


rasa sedikit risih karena tatapan lelaki penjual bunga yang belum ku
kenal namanya itu. Dengan sesekali kepala menunduk, terkadang aku
coba menatap kembali mata lelaki itu. “Apa maksud lelaki tersebut
menatapku terus-menerus?”, lagi batinku penasaran.
Dan tak terlalu lama, syukurlah, Pak Roni segera tiba. “Maaf
Bu, saya tadi ijin pulang ke rumah karena harus mengantar anak gadis
saya masuk sekolah untuk ikut pembelajaran tatap muka. Dia tidak
mau berangkat sekolah jika bapaknya tidak mengantarnya”, ucap Pak
Roni kepadaku sembari membukakan pintu gerbang untukku masuk
ke gedung kantor.

Pernah suatu kali di tanggal 14 Februari, banyak sekali


pembeli yang datang menghampiri lelaki penjual bunga itu. Ya,
menurut budaya sebagian orang, hari itu dikenal sebagai hari kasih
sayang. Momentum dimana banyak orang mulai sibuk menyatakan
rasa cinta dan kasih sayangnya kepada orang lain. Rasa cinta dan
sayang yang ditujukan untuk kekasih, pasangan, orang tua, atau
sanak famili. Ada juga yang ingin merayakan hari tersebut hanya
untuk ikut-ikutan saja, tanpa mengerti makna sesungguhnya.

Sehingga pada hari itu, banyak sekali orang yang ingin


merayakan hari tersebut dengan berbagai cara. Ada yang
mengadakan makan malam romantis, memborong berbagai jenis
coklat di minimarket, menulis kata-kata indah di kertas warna-warni,
atau membeli bunga dan memberikannya kepada yang terkasih.

Pada hari kasih sayang itu, kadang tampak beberapa tempat


umum seperti rumah makan, pusat perbelanjaan, toko kado, atau
bunga, ramai dikunjungi banyak orang. Tak terkecuali di tempat lelaki
penjual bunga yang ada di depan kantor ku itu. Meskipun dia
menjajakan bunganya hanya dengan menaruh bunga-bunga di
sepeda tuanya itu. Jenis bunga yang ditawarkan pun sebenarnya juga
tak sebanyak di toko-toko bunga yang popular di kota ini. Akan tetapi,
tampak begitu banyak pembeli yang menghampiri lelaki itu untuk
membeli beberapa bunga atau hanya sekedar menawar bunga yang
dijual.

Di hari itu pula aku coba keluar dan berdiri di depan gerbang
kantor untuk menunggu kiriman makanan dari sahabat karibku. Aku
menunggu di depan gerbang dengan tak sebentar.
Di tengah keramaian pembeli atau calon pembeli bunga
jualan lelaki tersebut, dia masih juga menyempatkan untuk
menatapku. Entah apa yang dipikirkan lelaki tersebut kepadaku. Itu
yang masih aku pertanyakan hingga saat ini.

“Kok lama sekali kiriman makanan dari Tania ini datang”,


kataku dalam hati, di tengah kegusaran akan tatapan yang coba lelaki
itu berikan. “Ngapain sih lelaki tua itu tetap berusaha menatapku,
padahal kan dia lagi banyak pembeli”, keluhku lagi.

Sambil terus menunduk kepala dan pura-pura sibuk


memainkan handphone, aku juga sesekali menatap lelaki yang
mengenakan topi coklat itu. “Aku punya banyak topi yang tak terpakai
di rumah, apa aku berikan saja ke penjual bunga itu”, tiba-tiba pikiran
itu terbesit di benakku. Tapi, untuk apa aku berikan topi kepunyaanku
kepada lelaki yang sudah membuat aku tak nyaman dibuatnya.
Sangkalan untuk berbuat baik itu tiba-tiba muncul begitu saja.

Hari demi hari berjalan, minggu ke minggu terlewati, bahkan


bulan berganti bulan, namun lelaki penjual bunga itu tetap melakukan
tindakan yang sama ketika aku melewati pagar kantor atau hendak
kembali ke rumah. Tindakan yang sepertinya tidak pernah bosan dia
lakukan. Ia menatapku. Menatap. Terus menatap walau dalam
hitungan sekejap. Tak pernah lalu pandangannya dari padaku apabila
melihatku lewat.

Pernah sekali waktu aku tak berpapasan dengan lelaki itu.


Biasanya ketika hujan gerimis turun, lelaki itu tak berada di tempat
biasanya ia berjualan bunga. Kalaupun tidak turun hujan, penyebab
lelaki itu tidak berjualan, mungkin karena dia sedang tidak enak badan
atau stok bunga terlambat untuk datang. Tetapi kejadian itu sungguh
jarang. Bisa dihitung menggunakan jari tangan selama rentang waktu
yang ada.

Aku pernah menceritakan kegelisahanku ini pada sahabat


karibku, Tania. Akan tetapi Tania malah kadang tak cukup serius
mendengar ceritaku, bahkan kadang dia meledek ku. “Mungkin dia
naksir sama kamu. Atau mungkin lelaki itu tahu kalau kamu masih
single makanya dia tertarik kepadamu”, ledek Tania kepadaku.
Ledekan yang tak pernah aku hiraukan juga sebenarnya. “Mana
mungkin lelaki itu punya rasa kepadaku. Atau mungkin dia punya anak
atau mantan istri yang mirip denganku”, timpal ku atas ledekan Tania.

-----

Ketika aku berada di rumah kontrakanku, tiba-tiba aku melihat


topi yang pernah aku koleksi dan tersimpan di lemari. Aku pernah
berniat untuk memberi lelaki penjual bunga itu beberapa koleksi topi
kepunyaanku yang cocok digunakan oleh pria ataupun wanita.
Kemudian aku bulatkan tekadku untuk memberikan beberapa topi
tersebut. “Ya hitung-hitung beramal”, bisikku dalam hati.

Di hari libur, aku coba bereskan beberapa barang yang tidak


aku pakai yang masih aku simpan di rumah kontrakanku itu. Memang
kepindahanku ke kontrakan itu rasanya belum terlalu lama, namun
sepertinya sudah terlalu banyak barang yang ada di rumah tersebut.
Mungkin jiwaku sebagai seorang wanita, suka berbelanja meskipun
barang itu tidak terlalu genting diperlukan.

Aku kemas beberapa topi yang pernah aku miliki dan juga
beberapa kaos yang kupikir dapat dikenakan lelaki penjual bunga itu.
Ada satu tas kantong plastik ukurang sedang yang ternyata mampu
menampung topi dan kaos itu. Tak terlalu banyak isinya, namun
semoga lelaki penjual bunga itu bersedia dengan senang hati
menerima pemberianku ini.

Aku bawa tas kantong plastik berisi topi dan kaos itu ke kantor
pada keesokkan harinya. Akan tetapi di hari itu, kebetulan lelaki
penjual bunga itu tidak ada di tempat biasanya dia berjualan. Aku
tunggu kehadirannya di sore, lelaki itu juga tak muncul batang
hidungnya. “Ah, apa mungkin ini cara Tuhan supaya aku tidak bisa
berkenalan dengan dia. Mungkin lelaki itu punya niat yang tidak baik
kepadaku, sehingga aku tidak dipertemukan dengannya saat aku
punya niat yang baik”, pikirku sejenak.
Hari-hari berikutnya, lelaki penjual bunga itu juga tak datang
untuk berjualan di tempat biasanya. Aku jadi penasaran dan mungkin
juga cemas akan keadaannya.

Lalu, aku coba mencari informasi kepada rekan-rekan di


tempat kerjaku, tentang siapa lelaki penjual bunga itu. Siapa
namanya. Rumahnya dimana. Apakah dia tinggal bersama
keluarganya.

Seorang rekan kerjaku, Hasan, memberitahukan kepadaku


banyak hal tentang lelaki penjual bunga itu.

“Apakah kamu tahu tempat tinggal lelaki penjual bunga yang


biasa berjualan di depan gerbang kantor kita ini?, tanyaku kepada
Hasan.

“Iya, aku tahu bapak itu tinggal tidak jauh dari rumahku.
Namanya Pak Setiawan.”, jawab Hasan membuka sedikit rasa
penasaraku akan lelaki itu.

“Bisakah kamu mengantarku untuk ke rumahnya selepas


nanti kita pulang kerja?, kataku. “Iya, bisa. Sepertinya Bapak itu
tinggal seorang diri. Biar aku mengantarmu nanti jika kamu ingin
berkunjung ke rumahnya”, jawab Hasan lagi atas permintaanku.

Sepulang kerja, sekitar pukul 5 sore, kami pun berkunjung ke


rumah lelaki penjual bunga itu. Kami pun tiba di depan rumahnya.
Rumah yang berukuran seluas rumah di kawasan perumahan yang
sedang digemari banyak orang untuk ditinggali dan dikembangkan di
kawasan perkotaan.

Hasan mencoba mengetuk pintu beberapa kali, tak juga ada


yang membuka pintu rumah itu. “Mungkin dia lagi mandi sore atau
berada di belakang rumah”, kata Hasan kepadaku yang sambil
mengamati rumah Pak Setiawan. Teras rumah yang cukup rapi bagi
seorang pria yang tinggal seorang sendiri.

“Assalamualaikum”, seru Hasan sambil mengetuk pintu lagi.


Dan lelaki itu membuka pintunya sambil menjawab salam dari kami,
“Waalaikumsalam”. Pak Setiawan cukup kaget melihat kedatangan
kami. “Oh iya nak Hasan dan neng geulis, ada apa ya? Mari silahkan
masuk”, kata lelaki penjual bunga itu kepada kami sambil
mempersilahkan untuk masuk ke dalam rumah.

“Iya. Ayo masuk ke dalam”, kata Hasan mengajakku masuk


ke dalam rumah Pak Setiawan, penjual bunga itu. Kami pun masuk ke
dalam rumah dan duduk di kursi yang ada di ruang tamu. Sambil tidak
lupa membawa tas kantong plastik yang berisi topi dan kaos yang
ingin aku berikan kepada Pak Setiawan.

Ketika aku dan Hasan duduk di ruang tamu, aku coba


memandangi sekeliling ornament juga foto-foto yang terpanjang di
rumah itu. Seketika matakupun terperanjak saat aku melihat foto yang
berada di pojok ruang tamu itu.

“Loh, Pak, maaf sebelumnya”, kataku sambil diselimuti rasa


kebingungan. “Iya neng, gimana ya?” tanya Pak Setiawan kepadaku.

“Ini foto Bapak ya?”, tanyaku lagi kepadanya. “Iya, neng.


Sebenarnya…”, ucap lelaki itu terhenti.

Mataku langsung berkaca-kaca ketika lelaki yang selalu setia


menatapku setiap hari itu ingin mengatakan sebuah hal yang menjadi
misteri di sepanjang kehidupanku. Aku pun langsung datang sujud
dibawah kakinya dan memeluk lelaki itu dengan erat. Bahkan sangat
erat. Meluruhkan semua rasa kerinduan yang terasa sesak di dalam
dada. Kerinduan akan perjumpaan seorang anak gadis yang lama tak
bertemu dengan lelaki yang sejatinya membuat jatuh hati untuk
pertama kali di hidupnya, sebelum ia menemukan belahan jiwa yang
akan meminangnya.

Ponorogo, 1 Oktober 2021

Anda mungkin juga menyukai