Anda di halaman 1dari 4

Kejujuran Masih Hidup

Oleh : The Liang Gie

Seusai dengan suatu urusan di Gedung Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang
menjulang megah di Jalan Thamrin, aku terus menjelajahi took-toko di daerah Pasar Pagi.
Maksudku mencari mainan robot besi made in Japan yang bisa diubah pasang menjadi berbagai
bentuk untuk putraku yang terkecil Andri. Hari telah lewat tengah hari dan panas Jakarta Kota
yang amat terik tidak mengendorkan semangatku untuk berputar kayuh mendapatkan mainan itu.
Tampaknya aku terlalu memanjakan putraku. Tetapi, telah menjadi kebiasaanku bisa
pergi ke kota metropolitan yang segala apa serba ada itu, pulangnya aku membelikan oleh-oleh
mainan, walaupun pernah hanya selembar gambar tempel si Unyil. Seakan-akan dalam hati
kecilku ada perintah bahwa aku harus memberi ganti kerugian kepada anakku yang haknya untuk
berkumpul dengan ayahnya dikurangi 2-3 hari kalua aku mempunyai urusan ke Jakarta.
Namun, ku merasa pasti bahwa alasannya bukan bisikan hati kecil itu saja, melainkan
suatu thrill, suatu getaran kalbu yang kurasakan sewaktu menyerahkan oleh-oleh mainan dan
melihat ada kilatan sinar memancar dari mata Andri menunjukan perasaan kejutan (surprise) dan
diikuti dengan wajah cerah yang memantulkan kebahagiaan. Hidup ini memang menarik sekali
jika kadang-kadang muncul suatu kejutan yang menyenangkan, suatu happy surprise menurut
Alan Hodgkin Ketika menerima berita bahwa ia telah terpilih untuk memperoleh hadiah Nobel
dalam ilmu kedokteran.
Kalau Andri merasa Bahagia dengan surprise yang menyenangkan itu, aku sebagai
ayahnya lebih Bahagia lagi. Aku merasakan suatu getaran kalbu yang sungguh menyenangkan,
mungkin kadarnya dua kali lipat kebahagiaan putraku, yakni rasa bahagianya yang dapat pula
kunikmati ditambah dengan getaran bahagia yang berasal dari lubuk hatiku sendiri karena
berhasil menyenangkannya. Getaran hati thrill Bahagia inilah yang kurasa dicari-cari oleh
pasangan suami istri yang sebegitu jauh belum punya anak dan sangat mendambakan dikaruniai
seorang bayi, ingin menimang-nimangnya dengan penuh kesayangan, dan melihatnya tertawa
riang dalam pengakuan. Thrill inilah yang tak pernah dinikmati oleh ketiga adikku laki-laki yang
perasaan batinnya mungkin telah tumpul karena sampai hari ini tidak mau berkeluarga apapun
alasannya.
Setelah berkemas-kemas aku meninggalkan hotel menuju stasiun Jakarta Kota karena
hari itu juga ingin terus pulang ke Yogyakarta dengan Bima II yang berangkat pukul 14.00 sore.
Perjalanan di Pasar Baru ke kota sering macet, tetapi siang itu kebetulan lancer sehingga aku
cukup awal tiba di stasiun. Aku tidak memesan karcis secara mendadak. Begitu tiba di depan
tangga stasiun pandanganku tertumbuk pada sebuah spanduk berwarna orange yang terpancang
melintang di antara pilar-pilar bangunan antic peninggalan Belanda dahulu. Spanduk itu
bertuliskan kalimat: “bantulah pemberantasan calo dengan membeli karcis di loket.”
Aku tidak begitu memperhatikan tulisan itu dan langsung ke loket. Di dalamnya tak
tampak petugas penjualnya, sedang di belakang kaca tergantung pengumuman “Karcis Habis”
sesuai dengan pengalaman waktu-waktu yang lalu, kuhampiri seorang petugas stasiun yang
berseragam biri dan minta dicarikan karcis, kelas ekonomi saja yang harga resminta 17.500
rupiah. Ia menyanggupi dengan harga 19.500, yakni dengan tambahan 10% yang dibulatkan ke
atas menjadi noceng. Setelah tak dapat kutawar lagi, aku menyetujuinya.
“Namanya siapa?” tanyanya.
“Tulis saja Pak The, tee haa ee,” kueja.
Ia kemudian menuju ke Lorong stasiun sebelah kanan dan beberapa menit kemudian
menyerahkan karcis yang kuperlukan. Sewaktu akan memasuki peron, mataku tertumbuk lagi
pada sebuah spanduk dengan tulisan: “Belilah karcis di loket. Jangan beli karcis calo.”
“Bohong, dusta, munafik!” aku memaki dalam hatiku. Sungguh suatu ironi menganjurkan
penumpang membantu pemberantasan calo, tetapi kalua penumpang akan membeli di loket
dumumkan karcis habis. Dalam kenyataan karcis masih bisa diperoleh melalui petugas yang
bertindak sebagai calo. Apa gunanya pasang spanduk-spanduk dengan pengumuman atau slogan
yang justru dilarang oleh petugas-petugas instansi itu sendiri?
Rel nomor 12 masih kosong belum ada rangkaian wagon Bima. Para penumpang yang
menunggu juga belum banyak. Tetapi, pada peron rel-rel jurusan lain penumpang cukup penuh
dan suasana ramai. Aku duduk pada salah satu bangku Panjang yang tersedia. Suatu pigur yang
sudah popular berupa seoarang anak laki-laki dengan pundaknya digelantungi sebuah kotak kayu
kecil menghampiri aku.
“Semir pak?”
“Ndak usah,” ku jawab agak malas karena badanku agak Lelah dari meyelesaikan urusan-
urusan sepagi dan kakiku cukup pegal mondar-mandir mencarikan mainan putraku tengah hari
tadi.
“Untuk bayar sekolah pak,” desak anak itu dengan alasan yang sudah using. Ku takt ahu
apakah ia bohong atau bicara sejujurnya. Ku tak ingin menjadi seperti wartawan yang biasanya
mewwancarainya lebih lanjut. Bicara saja aku sudah agak malas. Tetapi, anak itu perlu
penghasilan, kupikir.
“Berapa?” akhirnya kubicara walaupun sudah tahu jawabannya.
“Seratus pak,”
Secara bersemangat anak itu mulai mengikat dulu sepatuku dan kemudian memoleskan
semir hitam. Ia memakai baju model sport berlengan yang tampak cukup baru dan apik, hanya di
bagian dadanya tercetak garis datar warna coklat dan hitam. Rupanya bekas bagian belakang
sepatu bersemir yang menyentuh kaosnya sewaktu iya menggosok ujung sepatu dengan lap yang
digesel ke kanan-kiri oelh kedua tangannya. Bekas semir itu ternyata tidak hilang dicuci oleh
sabun yang sering diiklankan dapat mencuci sendiri. Kuulurkan uang lima ratusan setelah ia
selesai melakukan tugasnya.
“Tidak ada kembalian, Pak.”
“kembalikan saja tiga ratus.”
“Tidak ada pak,” jawabannya dengan sama sekali tidak berusaha merohog kantong
celananya atau mencari-cari dalam peti sumber hidupnya.
Aku lantas menduga bahwa ia sama sekali tidak punya uang, mungkin karena sampai saat
itu belum memperoleh langganan.
“Tukarkan saja!” Kusodorkan terus lembaran hijau bergambar Gedung Bank Indonesia
yang sepintas lalu menyerupai gedung pusat almamterku Iniversitas Gadjah Mada.
Dengan menenteng peti kayunya ia menuju kea rah barat mungkin menuju ke kios
makan-minuman atau keluar peron pada para penjaja buah-buahan untuk menukarkan uang. Aku
tidak memperhatikan lagi anak itu karena pandangan kuarahkan ke timur menanti masuknya
kereta api. Para penumpang lainnya mulai ramai berdatangan memenuhi bangku-bangku di
kanan-kiriku, termasuk sejumlah pramugari Bima yang dandanannya masih rapi-rapi dan
parfumnya cukup menyengat indera hidung.
“Andaikata anak itu tidak Kembali lagi?” sekilas pertanyaan ini mendadak muncul dalam
pikiranku. Aku akan merasa rugi juga kehilangan 500-100 = 400 rupiah hasil cucuran keringatku
sebagai pengarang (pengarang yang serius di depan mesin tiknya juga mencucurkan keringat!).
Padahal aku baru saja mengeluarkan esktra 200 rupiah untuk “calo”. Boleh jadi aku akan
demikian kecewa sehingga untuk selanjutnya takkan mempercayai seorang manusia pun
sepanjang menyangkut uang atau ……. Kurelakan saja lembaran 500 itu bila mengingat untuk
mainan Andri akum au mengeluarkan ribuan rupiah.
Aku takt ahu berapa lama seolah-olah ada perang tanding dalam pikiranku itu, mungkin
sekitar 5-6 menit atau lebih. Aku berharap anak itu dating lagi, bukan karena uang 500 rupiah
itu, melainkan untuk mendukung keyakinanku bahwa manusia di dunia ini masih punya nilai-
nilai luhur. Selama ini aku masih percaya bahwa kejujuran, kesetiaan, pengabdian, dan kebijakan
lainnya masih hidup pada dan di tengah-tengah umat manusia. Kalau nilai-nilai kebijakan luhur
sudah musnah, hidup ini tiada gunanya diperjuangkan; umat manusia hanyalah seperti hewan-
hewan walaupun katanya hidup dalam masyarakat yang beradab.
Anak itu muncul juga dihadapanku dengan menyerahkan seluruh uang tukarannya berupa
2 keping logam ratusan 6 buah lima-puluh. Secara naluriah bulatan-bulatan gepeng itu kubagi
menjadi dua bagian yang sama wujudnya. Dengan tangan kanan aku menyerahkan satu bagian
kepadanya, sedang tangan kiri memasukan bagian yang satunya ke dalam saku kemeja putihku
guna bayar beca bila turun di Stasiun Tugu subuh nanti.
Anak itu menerima sambal matanya melirik ke telapak tangan kanannya yang
menengadah terbuka.
“Terima kasih pak,” dan biji matanya menatap kea rah mataku. Aku tertegun karena
melihat kilatan sinar happy surprise seperti yang memancarkan dari bola mata Andri. Ku tak
sempat melihat lebih lanjut ekspresi wajah karena anak itu dengan cepat menuju ke arah barat
lagi.
“Kejujuran masih hidup! Kejujuran masih hidup! . . . ! . . . !” demikianlah beberapa kali
hatiku seolah-olah berteriak kegirangan. “Kejujuran masih hidup, terutama pada anak-anak yang
belum mengalami pencemaran dari lingkungan yang bohong, dusta, dan munafik, menggema
hatiku lebih lanjut.”

Anda mungkin juga menyukai