Anda di halaman 1dari 5

Ingin Naik Haji

Sungguh sulit sekali bagiku memaafkannya. Mencari uang sepuluh ribu buat membayar listrik susahnya bukan main. Aku sampai menjual induk ayam yang hampir mengeram karena harus menambal uang rokok. Uang satu juta kok dengan mudahnya ia pinjamkan ke orang lain. Bagaimana? ibuku yang ingin lekas naik haji meminta pertimbangan. Jumlah uang setorannya masih kurang satu setengah juta. Jika akan menjual sawah atau kebun, pasti dapat menutupi. Tapi masa anak-anaknya yang punya uang tunai harus membiarkan orang tuanya menjual sawah dan kebun untuk menambah ongkos naik haji. Seandainya peninggalan kakek yang telah berjasa menghidupi keluarga kami dari tahun ke tahun dijual, dari mana pula ibu memperoleh sayur dan beras sepulang dari tanah suci nanti? Sabar saja, Bu. Pasti ada jalan keluar, aku mencoba mengendorkan ketegangan syaraf ibu. Memang tiap usaha menuju kebaikan ada kendalanya. Betapa membosankan hidup yang tanpa kendala. Toh batas waktu setoran belum terlalu mepet. Paman Husen seharusnya kamu hubungi, ibu mengusulkan dengan raut wajah penuh harap. Dia pasti mau membantu. Uang itu bukannya untuk dipakai liburan. Memang, Bu. Beliau akan membantu. Tetapi kita pun harus mempertimbangkan keadaan keluarganya saat ini. Dua tahun lalu Paman Idrus dan istrinya naik haji dibantu Paman Husen. Sekarang, anak-anak Paman Husen sudah besar-besar. Mereka memerlukan biaya tak sedikit. Sanak saudara kita yang miskin pun beliau yang menanggung. Pokoknya . . ., kata Ibu dengan suara tinggi. Kalimat itu tidak berlanjut. Tetapi lewat air mukanya bisa kutangkap apa yang hendak dikatakannya. Uang satu setengah juta itu harus ada. Bagaimana dan apa pun caranya. Pokoknya, tahun ini beliau harus naik haji. Kakak-kakakmu bagaimana? beliau menanyakan ketiga kakakku yang tinggal di pulau seberang. Aku sulit menjawab. Kaki, tangan, dan jidatku berkeringat. Betapa tidak. Memang mereka punya uang dan tergolong mampu. Empat bulan lalu Bang Said dan Kak Erni serentak membeli mobil baru. Sedangkan Bang Husni baru saja membangun rumah. Kabar terakhir kudengar ia membeli tanah. Tapi dua orang kakak laki-lakiku diperbudak istri mereka. Bang Said mirip robot dan Bang Husni bagaikan patung. Jangankan uang ratusan ribu mendekati juta, buat menambah biaya untuk membeli obat ibu, mereka pikir-pikir. Dan Erni, kakakku yang tak pernah berpihak pada keluarga itu, kalau kuku dan ingusnya dapat dijadikan uang ia pasti menimbang dan menjualnya untuk memperkaya diri. Meski demikian, di hadapan ibu mereka tetap kubela. Aku selalu menceritakan kebaikan mereka walau itu omong kosong; karena

aku tak mau hati ibu terluka. Sesungguhnya, aku kasihan pada ketiga kakakku (Bang Said dan Bang Husni yang sudah tidak bisa menjadi dirinya, dan Kak Erni yang remuk bentuk kehilangan nurani). Karena manisnya mulutku, tetap saja ibu mengirimi mereka apa saja; sarung tenun hingga dendeng menjangan; tetapi tetap saja hubungan searah. Kini, saat ibu menghendaki kebenaran tentang anakanaknya, haruskah aku berbohong dan memendam kebusukan karena alasan menghibur? Untuk berapa lama aku harus berbohong? Tapi bukankah kakakkakakku pun mesti diselamatkan dari kutukan ibu? Pintu depan yang dibuka dan ditutup berbunyi. Suara sepatu perempuan yang telah akrab di telinga mengikuti. Istriku pulang dari kantor, terlambat satu jam. Hatiku mendidih. Pa . . ., suaranya manja. Bibir tipisnya tersenyum. Tangan kanannya menjinjing tas dari butik yang telah kukenal. Sini dong . . ., ia memanggilku dengan wajah tak berdosa, seolah-olah di dalam rumah itu tak ada perkara yang perlu dirisaukan. Aku menghindar masuk kamar. Ia mengikuti, menghadangku dengan tas pakaian yang ia bawa. Dibuka dong. Papa pasti suka. Kuraih tas yang ia sodorkan, melihat dua lembar pakaian di dalamnya. Tatkala melirik harga yang tertempel, hatiku semakin panas. Uang sebanyak itu kamu buang untuk pakaian. Pakaianku kan masih banyak! Tetapi sekarang kan hari ulang tahun papa. Persetan ulang tahun!. Singkirkan pakaian itu sebelum kubakar! Saya tak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin memenuhi janji. Dari dulu saya punya niat. Tapi baru hari ini terlaksana. Kamu! Uang satu juta kamu lempar pada pedagang tak tahu diri. Ah, kamu. Jangan sentuh saya! Saya tahu uang itu banyak. Saya memang bersalah. Tapi mana kutahu orang itu menipu. Siapa yang mau ditipu? Ya, kamu itu. Pokoknya, kakakmu yang polisi atau yang tentara itu suruh tagih ke sana. Uang itu harus ada. Ibu harus naik haji. Tak ada pilihan bagiku sore itu selain keluar rumah. Pokoknya asal keluar. Itulah realisasi protesku atas kejengkelan pada istri.

Unsur Intrinsik
1. Tema 2. Alur 3. Tabel No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. No. : Perjuangan Hidup : Maju ( Cerita dimulai dari awal sampai akhir secara berurutan ) : Tokoh Aku Ibu Paman Husen Bang Said Bang Husni Kak Erni Istri Tokoh Penokohan Anak, suami, adik, dan tokoh utama Calon naik haji dan Ibu Paman dari tokoh aku Kakak dan anak Kakak dan anak Kakak dan anak Istri dari tokoh aku Bukti Penokohan Anak: Sabar saja, Bu..... Suami: Istriku dari kantor.... 1. Aku pulang Watak Tegas, penyayang, dan bijaksana Penyayang dan tidak sabar Baik hati Konsumtif dan tidak peduli Konsumtif dan tidak peduli Konsumtif dan tidak peduli Konsumtif dan penyayang Bukti Perwatakan Tegas: Persetan ulang tahun!.... Penyayang: ...aku mau hati ibu terluka. tak

Adik: ...aku kasihan pada ketiga kakakku....

Bijaksana: Uang sebanyak itu kamu buang Tokoh utama: ...ibuku untuk pakaian!.... yang ingin lekas naik haji.... Penyayang: ...tetap saja ibu mengirimi mereka apa Calon naik haji: ... ingin saja.... lekas naik haji.... 2. Ibu Tidak sabar: Pokoknya, Ibu: Kakak-kakakmu tahun ini beliau harus naik bagaimana?.... haji. Paman dari tokoh aku: Baik hati: Dua tahun lalu Paman Husen Paman Idrus dan istrinya seharusnya kamu naik haji dibantu Paman hubungi,.... Husen.

3.

Paman Husen

Konsumtif: Empat bulan Kakak: Tapi dua orang lalu Bang Said... membeli kakak laki-lakiku mobil baru. diperbudak istri mereka. 4. Bang Said Tidak peduli: ...buat Anak: ...kebenaran menambah biaya untuk tentang anakmembeli obat ibu, mereka anaknya,.... pikir-pikir. Konsumtif: Sedangkan Bang Husni baru saja Kakak: Tapi dua orang membangun rumah. kakak laki-lakiku Kabar terakhir kudengar diperbudak istri mereka. ia membeli tanah. Anak: ...kebenaran Tidak peduli: ...buat tentang anakmenambah biaya untuk anaknya,.... membeli obat ibu, mereka pikir-pikir. Kakak: Dan Erni, Konsumtif: ... Kak Erni kakakku yang tak serentak membeli mobil pernah berpihak pada baru. keluarga itu,... Tidak peduli: ... Kak Erni Anak: ...kebenaran yang remuk bentuk tentang anakkehilangan nurani). anaknya,.... Konsumtif: Kuraih tas yang ia sodorkan, melihat dua lembar pakaian di dalamnya. Tatkala melirik Istri dari tokoh aku: harga yang tertempel, Dibuka dong. Papa hatiku semakin panas. pasti suka. Penyayang: Saya tak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin memenuhi janji....

5.

Bang Husni

6.

Kak Erni

7.

Istri

4. Latar

: Tempat Waktu Suasana

-> Rumah (Pintu depan yang dibuka dan ditutup...) -> Sore Hari ( ... pilihan bagiku sore itu....) -> Sedih dan tegang ( Hatiku mendidih.)

5. Amanat

: - Jangan menghamburkan uang untuk hal yang tidak perlu. - Kita harus peduli terhadap sesama anggota keluarga. - Jangan terpengaruh kehidupan duniawi.

6. S. Pandang : Sudut pandang yang digunakan dalam kutipan cerpen di atas adalah sudut pandang orang pertama.

I Made Wikananda Supartha & Maulana Permana Ajie IX C

Anda mungkin juga menyukai