Karya : Zheilaanf
Untuk : Sindy
Dari : Kakakmu, Nindy
Hai. Gimana kabarmu? Apa keluarga barumu merawatmu dengan baik seperti Kakak
merawatmu, Dik? Semenjak kamu diadopsi, Kakak belum mendengar kabar apapun darimu.
Kakak khawatir, Dik. Cuma kamu keluarga kakak yang kakak miliki. Tolong kabari Kakak
ketika kamu sudah menerima surat ini. Love you.
Dengan lesu, aku mengirimkan surat itu ke kantor pos. Berkali-kali aku cek alamatnya
takut aku salah menulis. Sudah 3 bulan semenjak adikku, Sindy yang berumur 7 tahun itu
diadopsi. Rasanya hampa. Kenapa dulu aku mengizinkan mereka untuk mengadopsi Sindy? Aku
takut kalau mereka tidak benar-benar menyayanginya.
Awalnya aku meminta untuk membawa aku juga. Tapi, mereka tidak bisa membiayai
lebih banyak anak, apalagi diusiaku yang sudah menginjak 12 tahun ini. Padahal, aku juga sudah
menawarkan, tidak perlu membiayaiku, cukup satukan aku dengan Sindy. Tapi, demi masa
depannya, dengan berat hati aku mengizinkannya. Sulit bagiku melepasnya, apalagi melihat
Sindy menangis ketika dibawa masuk ke dalam mobil. Aku tak bisa berhenti memikirkan
tangisan Sindy pada hari itu. Semakin hari, aku semakin khawatir. Setiap aku meminta Ibu panti
untuk mengantarku ke alamat itu, ia selalu menolak. Aku tak tahu mengapa.
Akhirnya, aku menndatangi alamat tempat Sindy berada. Aku mengintip dari balik
pagarnya dan melihat satu keluarga bahagia yang sedang asyik bermain di halaman sambil
menyantap beberapa cemilan. Aku sangat senang melihat Sindy yang ikut serta di sana dan
terlihat begitu ceria. Ternyata kekhawatiranku selama ini salah. Jadi, aku kembali ke Panti
dengan perasaan bahagia.
Aku pergi ke kamar Ibu panti untuk menyampaikan kalau Sindy baik-baik saja dengan
keluarga barunya. Tapi, aku tidak menemukan keberadaannya. Lalu, aku melihat ada kertas yang
mengintip dari laci meja. Karena rasa penasaranku, aku mengambil kertas itu dan membacanya.
Sungguh, aku bingung membaca surat itu. Rasanya sangat tidak masuk akal. Lalu, aku
mengambil surat kedua, mungkin surat itu akan menjelaskan semuanya.
Anak mana yang tidak merasa sakit ketika mengetahui berita sepahit ini? Aku lebih baik
menganggap diriku yatim piatu dibanding harus mengetahui kenyataan bahwa aku anak haram.
Anak yang tak diinginkan. Aku selama ini meridukan sosok Ayah dan Ibu yang bahkan tidak
ingin mengakui keberadaanku.
Aku merasa hancur. Rasanya aku ingin menjerit sampai terdengar oleh seisi dunia betapa
hancurnya aku saat ini. Tapi, yang aku lakukan hanyalah, menangis sesak menahan jeritan.
Sungguh, aku benci semua ini. Mereka, Ibu panti, dan diriku.
Aku hanya meringkuk di lantai dan menangis. “Tuhan, apa yang terjadi?Mereka yang
melalukan kesalahan, mengapa aku ikut menerima hukuman menyakitkan ini?” batinku menjerit.
Tanpa diduga, Ibu panti masuk ke kamar. Tentunya ia terkejut melihatku yang sedang
menangis. Ah! Tidak. Ia lebih terkejut melihat surat yang membuat aku menangis itu. Dengan
cepat Ibu panti berusaha untuk tenang agar bisa menenangkanku.
“Ibu mau jelasin dari sudut pandang manapun, nggak akan merubah apapun.” Aku
menyela Ibu Panti saat ia hendak berbicara. Aku tak ingin mendengarkan penjelasan apapun.
Semua ini sudah terlalu dramatis. Ibu panti mengusap-usap punggungku dan terlihat meneteskan
air mata.
Aku yang marah kepadanya karena menyembunyikan fakta sebesar ini, langsung pergi
keluar meninggalkannya sendiri. Saat ini, aku mengerti perasaan bagaimana orang yang
kehilangan semangat hidup dan ingin mengakhiri hidupnya. “Gini rasanya, ya?” batinku sambil
menatap tali yang ada di luar rumah.