Anda di halaman 1dari 6

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Fatra Aiddina Fajri


Tempat tanggal lahir : Mojokerto, 17 Mei 1988
Alamat : Balongsari 1 / 40 RT 2 RW 1 Kelurahan Balongsari
Kecamatan Magersari Kota Mojokerto

1. Bahwa saya menikah dengan Dewi Anggraini binti Hanip pada tangal 25 Mei 2016 di
KUA Driyorejo Kab. Gresik.
2. Bahwa saya belum dikaruniai anak dalam pernikahan saya.
3. Alasan saya untuk melakukan perceraian adalah
1. Ketidak cocokan dan tidak bisa nya timbul sepemahaman dalam menjalankan rumah
tangga, sehingga terjadi perselisihan dan perdebatan terus emenrus yang tidak dapat
diselesaikan dan menemukan titik terang
2. Saya dan istri sudah tidak serumah lagi sejak Februari 2019
3. Saya dan istri sudah tidak ada kontak ataupun komunikasi sejak 2019
4. Baik saya dan istri sudah tidak menerima ataupun memberi nafkah lahir batin sejak
Oktober 2018
5. Saya berfikir untuk menyelesaikan dengan baik dan cara kekeluargaan serta baik
saya dan istri agar terhindar dari bertambahnya dosa akibat dari masalah ini.
6. Bahwa keputusan untuk menyelesaikan dan mengakhiri hubungan ini adalah
kehendak dan kemauan saya dan istri. Keputusan ini diambil pada Januari 2019.

Awal pertemuan saya dengan istri adalah karena kami bekerja dalam satu instansi di
tahun 2014. Kami berdua saling berusaha untuk mengenal seperti yang biasa dilakukan
pasangan yang lain. Kedekatan kami berdua tentunya untuk bisa melanjutkan ke arah jenjang
yang lebih serius. Tepat 1 tahun, saya merasa sudah cukup untuk saling mengenal. Saya
utarakan niat saya untuk meminang istri dan melamarnya pada 30 Agustus 2015.
Sesuai dengan berjalannya waktu, sembari menunggu balasan lamaran dari pihak istri.
Ada sebuah momen yang mengejutkan saya. Yaitu pada saat calon istri saya tidak ada kabar
selama kurang lebih 2-3 hari, juga tidak masuk kerja. Telfon dan SMS pun juga tidak ada
respons. Dan ternyata Dewi sedang sakit. Karena saya khawatir, saya, ibu, dan teman kerja
nya berniat untuk menengok, karena Dewi berada di rumah sendiri tidak ada keluarga karena
ortu dan saudara ada di rumah Driyorejo, Gresik. Usaha untuk menengok Dewi pun tidak
membuahkan hasil, karena pagar dan rumah terkunci. Kemudian kami berfikir kalau untuk
menjemput ortu atau saudara nya yang memiliki kunci dan mengabarkan keadaan Dewi,
sekaligus agar ada orang yang merawat atau menemani saat Dewi sakit. Setelah saya jemput
ortunya, kami semua pun bisa masuk ke rumah dan menemui Dewi. Namun yang tidak
disangka-sangka, Dewi malah marah-marah ke saya, marah ke ortunya. Dewi berkata
“Sampean lapo pakai ngomong dan bawa ortuku ke sini. Aku tidak apa-apa. Aku bisa
mengurus dan merawat diriku sendiri. Aku gak butuh di kancani. Aku iso ngurus urusanku
sendiri. Sampean lapo …urusen urusan pean sendiri..” Sebuah tamparan dan hal yang
mengejutkan bagi saya. Karena saya berfikir saya khawatir di rumah sendiri, apa lagi sedang
sakit. Bukan kah lebih baik kalau ada yang merawat atau paling tidak menemani. Saya niat
baik bukan yang lain. Seketika saya meminta maaf dan pamit pulang. Pulang dengan
perasaan hancur dan kaget mendapatkan hal seperti ini. Saya berhari – hari memikirkan
kejadian ini. Dan saya merasa bersalah terlalu mencampuri urusannya, walaupun niat saya
baik. Dalam hati kecil saya, kejadian ini sekaligus jadi bahan evaluasi saya untuk
melanjutkan hubungan saya ke depan nya. Yang tadinya saya semangat untuk menatap
pernikahan, entah mengapa jadi ragu untuk melanjutkan. Akhirnya Saya utarakan, saya
ceritakan semua kegundahan hati ke Ortu saya dan berniat untuk tidak melanjutkan hubungan
ini. Karena saya benar-benar khawatir kalau rumah tangga, kejadian seperti ini terjadi
kembali. Namun Ortu menolak keinginan saya. Karena memang sudah ada lamaran. Saya
menyampaikan ke ortu, saya takut. Lebih baik di akhiri sekarang daripada nanti pas ada di
tengah-tengah rumah tangga. (Naudzubillahimin Dzalik. Fikir saya saat itu). Tapi tetap orang
tua menolak dan kurang sependapat dengan maksud saya. Beliau berdua tetap menyarankan
harus melanjutkan rencana pernikahan. Dan Akhirnya dengan berat hati dan masih ada
keraguan, saya harus berfikir positif. Bismillah saya tetap maju. Saya pingin membahagiakan
orang tua saya yang selama ini saya belum pernah memberikan kebahagiaan buat beliau. Tak
lupa saya memohon doa restu beliau. Dan pada tanggal 25 Mei 2016 kami melangsungkan
pernikahan di KUA Driyorejo. Dengan ditemani dan disaksikan oleh kedua pihak keluarga.
Alkhamdulillah acara pernikahan berjalan dengan baik dan lancar. Dan kami memulai
menjalin rumah tangga berdua. Kemudian kami tinggal bersama di rumah Dewi di Perum
Residen Site Surodinawan. Pada bulan pertama kedua, rumah tangga kami semua berjalan
dengan baik. Tidak ada apa-apa. Sampai pada bulan ketiga, saya mulai merasakan ada
beberapa hal yang aneh, ada beberapa hal yang mungkin berbeda. Namun saya masih
menepis semua nya. Masih berfikir positif. Pada bulan keempat, mungkin karena setelah
bersama-sama jadi semua sifat dan sikap kami terbuka. Apa yang saya rasakan semakin
mengusik hati dan fikiran saya. Saya merasakan mbak Dewi sangat keras hati, kaku, sangat
tertutup dan sangat sulit untuk ditata ataupun diatur. Kewajiban yang seharusnya dilakukan
sedikit demi sedikit diabaikan. Baik itu kewajiban kepada suami dan kepada agama nya. Saya
berusaha untuk mengingatkan, berusaha untuk memberi tahu. Namun hanya sebatas “iya iya
dan iya”. Sekali dua kali saya tegur, namun masih belum di perhatikan. Dan akhirnya emosi,
menggerutu. Pun begitu dengan saya. Akhirnya kami berdebat, kami berselisih. Kejadian
seperti itu hampir setiap hari terjadi. Terus menerus berulang. Akhirnya kami berdua saling
diam. Saya tidak pernah melarang untuk bermain HP, toh saya juga suka main game. Tapi
maksud saya, selesaikan dulu kewajiban dan pekerjaan rumah yang harus di kerjakan. Main
game dan buka HP untuk baca novel tiap malam berjam-jam. Pernah saya sedikit bercandain.
HP nya saya ambil. Dan saya nyeletuk. “ini lho aku juga pingin di urusin ,jangan pegang HP
terus. “. Mbak nya malah sewot dan pernah. Sampai balik bilang, “wes pean juga main HP
aja. Aku gak tau ganggu pean kok. Kenapa pean kok ganggu aku ?“. Suatu ketika saya pernah
bertanya masalah gaji. Saya sebagai suami bertanya masalah gaji. Pingin tahu gajinya
seberapa. Dan digunakan berapa.sisa berapa. Tapi apa yang saya dapat.? jawaban sewot dan
sangat menyesakkan. “”kenapa pean tanya2 gajiku. Wes iki urusanku. Rumah dan oang tuaku
ya urusanku. Pean gak usah ikut2 ngurusi. “ Apa salah kalau saya hamya ingin tahu gaji istri
saya ???
Pernah saat sakit, saya coba dekati, saya ajak periksa, saya tawari apa yang di mau,
malah saya di suruh pergi. Mbak nya bilang “wes pean urus diri pean sendiri ae. Pean maem
sendiri. Aku bisa ngurus diriku sendiri. “ Astagfirullah …rumah tangga macam apa ini? . tiap
hari saya Cuma diam dan pasrah. Mengurus semua nya sendiri. Tapi saya ndak menceritakan
ini sama ortu. Saya berusaha baik-baik saja di hadapan beliau. Kami serumah tapi seperti
hidup sendiri-sendiri. Saya mencoba merenung. Saya hanya bisa diam dan pasrah
mengahdapi keadaan seperti ini. Saya mempunyai istri tapi saya merasakan seperti saya
sendiri. Saya berfikir. Apa salah dan dosa saya Yaa Allah sampai saya mendapat ujian seperti
ini. Kemudian sekilas tersirat di hati, apa mungkin ini sebagai balasan atau saya dulu pernah
berbuat salah sama orang. Oleh sebab itu, saya mencoba mencari dan menggali, meraba-raba
kepada siapa dan bagaimana saya pernah berbuat salah. Semua teman baik laki-laki atau
perempuan baik itu teman lama atau baru saya cari dan saya hubungi mereka. Tujuan saya
hanya sekedar untuk meminta maaf apabila dulu secara sengaja ataupun tidak saya sengaja
dimana saya pernah berbuat salah…Dan ternyata tanpa saya sadari, mbak Dewi membuka HP
saya. Membuka chat saya semua nya. Dia lantas bertanya, kenapa seperti itu dan kepada
siapa saja yang saya chat. Saya diam sejenak dan lalu berusaha menjelaskan. Namun mbak
Dewi salah sangka. Dikiranya saya menjalin hubungan lagi dengan mantan pacar saya.
Karena salah satu chat, saya memang menghubunginya. Tapi bukan seperti yang dituduhkan,
seperti yang disangkakan mbak Dewi. Semua isi chat saya, hanya sebatas minta maaf dan
tidak ada hubungan apapun dengan siapapun. Namun bagi mbak Dewi, tidak bisa menerima
penjelasan saya. Alasan inilah yang selalu mbak Dewi ucapkan setiap kami berdebat ataupun
ngobrol.
Keadaan seperti terus berlanjut. Hari-hari sepi.diam dan tidak ada kontak. Saya terus
berusaha menjelaskan dan menenangkan mbak Dewi, tapi tidak menemui hasil. Saya malah
dicuekin. Pergi kemana-mana ndak pamit. Tidak ada komunikasi atau apapun. Kami tinggal
serumah tapi kami saling diam. Bagi saya. Saya lebih baik mengalah dan diam. Daripada
saya emosi. Puncaknya adalah saat akan Lebaran. Dimana H-2, mbak Dewi akan pulang
kampung ke rumah ortu nya. Dari sebelah saya melihat, saya Tanya mau kemana. Tapi tidak
ada jawaban. Mbak nya hanya diam. Dan saat akan pergi dan keluar rumah, tetapi saya
cegah. Saya mau antar pulang. Tapi dia berontak. Dia tetap ingin pergi sendiri. Dan tanpa
pamit. Tanpa berkata sepatah kata pun dia meninggalkan rumah. Di sinilah saya mulai emosi
dan tidak bisa menahan diri lagi. Saya sudah tidak kuat mendapat perlakuan seperti ini. Saya
merasa sebagai suami sudah tidak dihargai. Saya kemasi baju dan barang-barang saya. Saya
pulang ke rumah ortu saya juga di Balongsari. Pulang dengan membawa duka dan air mata.
Awalnya ortu tidak curiga, tapi lama-kelamaan beliau tahu tentang apa yang rasakan.
Pada saat Lebaran, saya telfon dan chat mbak Dewi untuk mengucapkan dan bermaaf-
maafan. Tapi tidak ada respons dan jawaban. Kemudian Bapak ibu mengajak untuk
silaturahmi Ke mertua dan menemui Dewi. setelah sampai sana, hanay mertua yang
menemui. Mbak Dewi nya tidur. Namun mertua tidak membangunkan Dewi. Setelah libur
Lebaran berakhir, saya dan sekeluarga menunggu mertua dan Dewi untuk sislarutahmi ke
rumah, tapi nyatanya yang di tunggu tidak kunjung datang. Kemudian saya menceritakan
semua ke pihak ortu tentang apa yang selama ini saya alami. Itulah awal, kami pisah rumah.
Sesekali saya chat, namun tetap tidak ada balasan. Ya sudahlah…saya diamkan saja.
Kejadian seperti berlangsung sekitar 1 tahun. Di sinilah kami tidak serumah lagi. Saya
kembali ke rumah orang tua saya. Namun hanya sesekali, saya balik ke rumah. Itupun hanya
kalau ada keperluan dengan masyrakat sekitar.
Sampai pada saat menjelang bulan Ramadhan tahun 2018. Tanpa sengaja kami
bertemu di sebuah event yang di adakan RS. Kami ngobrol dan bertegur sapa. Dan semakin
intens menjalin komunikasi lagi setelah 1 tahun. Kami saling membuka hati lagi dan saling
memaafkan. Sehingga kami bisa dekat lagi. Dengan sepengetahuan ortu, beliau menyarankan
untuk “memperbarui nikah”. Kami pun menyetujui. Dan melangsungkan nya di akhir Bulan
Ramadhan tahun 2018. Bismillah. Saya berfikir mungkin dengan ada kesempatan kedua,
kami bisa memperbaiki rumah tangga yang sempat terjadi beberapa masalah. Kami pun
kembali serumah di Surodinawan.
Awal perjalanan kami bersama, semuanya baik-saja. Namun sekitar menginjak bulan
keempat kami bersama, ada saja kejadian-kejadian yang memicu perdebatan dan perselisihan.
Yang berujung kami berdua beradu argumen. Dan sama-sama tidak ada ujungnya. Mbak
Dewi kembali seperti sikapnya yang dulu. Yang keras yang kaku dan sangat sulit untuk
diberitahu. Kejadian seperti tahun lalu pun terulang. Kami berselisih faham yang tidak ada
hentinya. Di tambah lagi, pernah saat Dewi sakit. Di bantu ndak mau. Di ajak berobat ndak
mau. Tetap pada pendirian nya kalau dia tidak perlu bantuan dan tidak perlu siapa-siapa. Bisa
menangani sendiri. Padahal sudah beberapa hari tidak masuk kerja. Lhaa terus saya di anggap
apa dan tidak ada usaha untuk sembuh atau meperbaiki diri gitu. Kemanapun dan kapanpun
saya dan ortu selalu berusaha untuk melakukan buat Mbak nya. Tapi mbak nya seolah tidak
ada pengertian sama sekali. Sampai akhirnya, mertua juga tahu keadaan saya dan Dewi.
Maksud mertua mau menasehati dan mendamaikan kami berdua. Tapi malah beliau kena
marah sama Dewi. Sama ortunya sendiri bisa kasar, berani, dan membentak, gimana sama
saya. Ortu saya juga sama, mencoba untuk ngobrol dan menyelesaikan permasalhan kami.
Namun malah disangka menyalahkan Dewi dan membela saya karena saya anaknya.
Astagfirullah…padahal ortu sama sekali tidak pernah membela atau membedakan saya atau
Dewi. Malah saya selalu yang di marahi sama ortu saya kalau ada apa atau ada masalah sama
Dewi. Sejak saat itu juga, mbak Dewi selalu bilang, “saya disuruh cari istri yang sehat yang
baik yang nurut sama saya, yang bisa mengurus saya dan lain-lain.” Padahal sedikitpun saya
gak pernah punya fikiran kesitu. Saya cerewet saya sering ngomong ini itu karena saya
pingin, saya sebagai kepala keluarga, yang membimbing dan mengatur rumah tangga saya.
Uang bulanan juga yang biasa saya kasih selalu dikembalikan. Dia selalu bilang “ndak usah
kasih uang lagi. Pean tabung aja buat nikah lagi”. Terus bagaimana kalau seperti itu? Tapi
tetap, walau di kembalikan, selalu saya berusaha lagi untuk ngasih. Entah itu saya taruh
tasnya, taruh d bantal, atau d bajunya…Namun tetap dikembalikan sama mbak Dewi.
Masalah sakit yang diderita, mbak Dewi menderita sakit insomnia dan sakit kepala. Jadi saat
pagi sampai menjelang malam, mbak Dewi tertidur. Namun begitu malam datang, mbak
Dewinya terbangun dan bisa tahan melek sampai pagi. Begitu bangun, mbak Dewinya
mengeluh pusing yang teramat sangat. Namun yang membuat saya miris dan sedikit
nelangsa. Karena sifat keras dan susah dikasih tahunya itu lho. Dengan keadaan mbak Dewi
yang seperti, saya membebaskan semua untuk mbak Dewi, saya ndak minta dilayani apapun,
saya tidak minta ini itu. Namun yang saya minta hanya kewajiban kepada Tuhan-Nya jangan
pernah diabaikan apalagi ditinggalkan. Anjuran untuk ibadah tiada henti saya ucapkan. Tapi
entah, tidak sedikitpun dihiraukan. Begitu larut malam, hanya sibuk pegang HP dan hanya
tiduran. Bilangnya sih mbak nya untuk mengurangi sakit kepalanya. Jadi hanya rebahan aja
di kamar. Sampai tertidur lagi. Begitulah keadaan mbak Dewi. Saat mbak Dewi sakit,
berbagai cara Saya dan keluarga tidak pernah berhenti untuk memberikan pengobatan ke
mbak Dewi ,dimanapun dan kapan pun. Baik itu pengobatan medis ataupun non medis.
Dengan keadaan yang seperti itu, kedua pihak keluarga bermusyawarah untuk
mendudukkan kami, untuk mendamaikan kami. Pada Pertemuan pertama tidak membuahkan
hasil. Karena kami berdua masih sama-sama keras dan belum menemukan jalan keluarnya.
Kedua keluarga sepakat untuk mengadakan pertemuan lagi untuk mendamaiakan kami
kembali. Dengan melihat perkembangan ke depan nya. Pada pertemuan kedua, kami berdua
juga masih sama seperti pada pertemuan kedua, pihak keluarga juga pun saling memberikan
masukan dan nasehat, namun masih saja sulit untuk mendamaikan keadaan. Malah mbak
Dewi seolah menantang saya untuk segera memutuskan permasalahan ini. Maksudnya untuk
segera mengakhiri semua. Kemudian saya pun berkata, “ lebih baik kalau emang bisa
diselesaiakan dan kita bisa kembali bersama, saya setuju aja, namun saya minta untuk mbak
Dewi bisa berubah dan memperbaiki diri.”. Namun mbak Dewi nya menolak. Seolah-olah dia
pingin untuk saya segera mengakhiri hubungan ini. Akhirnya saya pun pasrah. Saya tidak
tahu harus berbuat dan ngomong seperti apa lagi. Pihak keluarga pun juga pasrah dengan
keputusan kami berdua. Karena semua cara sudah dilakukan. Semua sudah dijalankan.
Namun tetap tidak menemukan kebaikan dan jalan keluar.

Anda mungkin juga menyukai