Anda di halaman 1dari 26

a#Maafkan Aku

Fiksi

Part 1

“Mas, ini siapa?” tanya istriku sambil memegang hp ku.

“Mana? Coba lihat” kataku sambil mencoba merebut hp itu dari tangan Mia istriku.

“Pantas mas sudah jarang kemari sekarang. Pasti mas lebih memilih menghabiskan waktu
dengan dia”. Kata istriku dengan menahan marah.

“Sabar. Coba aku lihat dulu. Mana tau ada yang salah kirim kan”. Kataku mencoba
menenangkan istriku.

Dalam hatiku berdegup kencang. Apa mungkin chat WA aku dengan Dissa ada yang belum
sempat terhapus. Padahal rasanya begitu selesai kami chat aku langsung menghapusnya.

“ini coba mas baca”. Kata istriku sambil sambil memberikan hp padaku.

Masya Allah ternyata benar dugaanku ada chat WA yang belum sempat kuhapus.

“Mas, pulang ke rumah istrimu ya? Jangan lama-lama ntar ada yang kangen lho”. Isi chat
WA dari Dissa selingkuhanku.

Awalnya aku tidak berniat mengulang kembali kesalahan yang seharusnya tak kembali
kulakukan. Tapi karena selalu ada kesempatan hal itu kembali terulang.

Aku dan istriku sudah belasan tahun menikah tapi selama kami menikah kami belum pernah
merasakan suka duka berumah tangga berdua. Karena istriku tetap memilih di tempat
tugasnya di daerah lain dengan tempat tinggalku. Dan aku pun tetap memilih tinggal di
tempat tugasku dan kota kelahiranku.

“Dia siapa mas?” tanya istriku sambil merebut hp dari tanganku.

“Cuma teman dek. Bukan siapa-siapa”. Kataku sambil menenangkan istriku.

“Bohong...! Chat mesra itu mas bilang bukan siapa-siapa” kata istriku sambil terisak tertahan.

“Mia, dengar dulu penjelasanku”. Kataku mecoba membujuk istriku sambil mencoba
memeluknya. Tapi Mia memilih berlari ke kamar sambil menangis.

“Aku nggak perlu penjelasan kamu mas. Sudah jelas semuanya nggak perlu kudengar alasan
apapun lagi”kata Mia dari kamar sambil menutup pintu kamar dengan kasar.

“Mia, dengar dulu sayang. Aku bisa jelaskan semuanya. Buka pintunya aku ingin bicara”.
Kataku sambil mengetuk pintu kamar.

“Pulanglah mas aku ingin sendiri’. Jawab istriku dari kamar.


“Aku bisa jelaskan semuanya dek”. Kataku masih berusaha membujuk istriku.

“Pulanglah mas aku ingin sendiri”. Kata istriku lagi.

“Baiklah kalau itu maumu. Aku pulang dulu besok aku kemari lagi untuk menjelaskan
semuanya”. Kataku sambil melangkah pergi.

Aku tau betapa sakitnya hati istriku. Aku menyadari kesalahanku. Tapi aku pun butuh teman
disaat aku sepi. Pernikahan kami dulu tak dilandasi cinta. Kami tidak pernah mengalami
masa pacaran. Usia kami sama-sama usia yang sudah cukup matang untuk menikah. Usiaku
sudah 32 tahun dan Mia berusia 30 tahun waktu itu. Kami dikenalkan di salah satu pelatihan
di kota Propinsi. Kami hanya mengenal pribadi masing-masing hanya di masa pelatihan
singkat 10 hari kala itu. Mungkin karena jodoh akhirnya kami sepakat untuk menikah walau
tanpa pacaran lebih dulu. Aku berusaha mencintainya setulus hatiku.

Sayangnya setelah menikah janjinya yang akan mengurus pindah tugas ke tempat asalku
tidak dia tepati. Dia memilih tetap bertugas di tempat tugasnya dan memilih tetap tinggal di
rumah dinas. Sementara aku terpaksa mengalah dan aku pun memilih tetap tugas di tempat
tugasku dan tinggal di kota asalku. Akhirnya kami sepakat seminggu sekali aku ke tempat
tugasnya atau kalau ada waktu dia yang datang ke tempat tinggalku.

Part 2

Karena waktu sudah hampir jam 10 malam dan pikiranku juga tidak tenang tidak mungkin
aku pulang ke kota asalku yang jarak tempuhnya hampir 2 jam. Aku memutuskan untuk
menginap di rumah adik laki-lakiku yang rumahnya kebetulan tak jauh dari rumah dinas
istriku.

Kebetulan lampu ruang tamu adikku belum dimatikan berarti penghuninya belum tertidur.
Adikku petani sukses di desa itu. Adikku juga mempunyai ruko yang cukup besar untuk
ukuran di desa.

Setelah tak lama memarkirkan mobilku kulihat adikku segera membuka pintu rumahnya
sambil tersenyum dan segera menyambut kedatanganku.

“Lho tumben mas malam-malam datang kemari. Apa kabar ibu mas? Kenapa mas sudah
jarang kemari?” tanya adikku dengan pertanyaan yang berlapis yang belum sempat kujawab
karena aku masih mengatur emosiku.

“Ibu baik-baik saja dek. Pekerjaanku sedang tak bisa diajak kompromi sekarang mangkanya
aku jarang kemari menjenguk mbakmu.” Kataku menjawab pertanyaan adikku.

“Mari silahkan masuk, mas.” kata Mita istri adikku dengan ramah

“Makasih,dek” kataku sambil segera menuju ke ruang tamu mengikuti adikku

“Mas, boleh numpang menginap semalam disini ya dek?” kataku pada Dimas adikku.
Kebetulan Mita istri adikku sudah menuju ke ruang belakang jadi aku bebas berbicara dengan
Dimas.

“Saya tidak keberatan mas mau nginap disini. Tapi ada apa mas? Janggal rasanya mas ada
istri kenapa mau menginap disini?” tanya Dimas penuh selidik.

“Mas, ada masalah dengan mbak Mia? Nggak biasanya mas menginap di rumahku.” Tanya
Dimas penuh selidik.

“sssst...jangan keras-keras nanti istrimu tau.” Kataku sambil memperkecilnada suaraku.

“Masalah apa mas?” tanya Dimas lagi.

“ini, dek.” Kataku sambil mengulurkan hp kepada Dimas.

Selintas Dimas memandang Hp ku dan terlihat keningnya mengkerut.

“mas, mas. Aku tau perasaan mas kepada mbak Mia itu bagaimana? Mas tidak pernah bisa
mencintai mbak Mia sepenuh hati. Karena kalian dijodoh-jodohkan oleh teman-teman mas.
Mas malu selalu dibully karena telat kawin.” Kata Dimas memojokkanku.

Memang benar semua apa yang dikatakan Dimas adikku. Entah mengapa dulu setiap ada
wanita yang ku taksir mereka selalu mengelak dan menjauhiku. Sampai akhirnya aku tidak
mau untuk mencoba mendahului mengungkapkan perasaanku pada wanita yang kutaksir dan
memilih Allah memilihkan dan mengantarkan sendiri jodoh untukku.

Sampai masanya waktu pelatihan imunisasi beberapa tahun yang lalu mempertemukan kami
berdua. Kebetulan temanku sekolah dulu rekan kerja Mia istriku.

“Hei, Ardi apa kabar? Aku Dewi masih ingatkan? Kita teman sekelas dulu di SPK? Masih
ingat nggak?” Kata Dewi kala itu.

Aku mengingat-ingat kejadian masa sekolah dulu. Aku ingat Dewi termasuk idola di sekolah
kami. Aku sering menjadi mak comblang teman-teman pria yang minta antarkan surat pada
Dewi lewat aku. Aku juga pernah memberanikan diri mengirimi Dewi surat cinta. Tapi
sayang Dewi memilih Faisal rekan sebangkuku yang memang memiliki wajah tampan dan
anak orang kaya pula.

“Dewi? Bener kamu Dewi kan?” tanyaku berulang karena tak percaya melihat Dewi tetap
cantik seperti masa sekolah dulu.

“ya, aku Dewi.” Jawab Dewi tersenyum

“Apa kabar kamu? Sejak kita lulus hanya teman yang satu kota yang ku tau pasti kabarnya.
Suamimu Faisal?” Basa basiku pada Dewi.

“Ya, Alhamdulillah rupanya Allah memberiku jodoh cinta pertamaku Faisal. Faisal sekarang
tugas di rumah Sakit DKT di kota kami karena lulus dari SPK Faisal mengikuti seleksi
Tentara Angkatan Darat.” Kata Dewi mengisahkan selintas hidupnya.
“Kamu apa kabar? Maaf, kalau boleh aku tau apa benar kamu belum menikah sampai
sekarang?’ tanya Dewi yang mengejutkanku.

“Ya, aku belum menikah sekarang. Belum ada yang pas.” Kataku pada Dewi

“kamu terlalu pemalu dan pendiam masa sekolah dulu. Padahal wajahmu tidak jelek-jelek
amat.” Kelakar Dewi padaku

“Kamu ada temen yang masih single nggak? Siapa tau jodoh.” Kataku pada Dewi.

“Kebetulan ada bidan desa di Puskesmas tempatku bertugas yang masih single. Usianya 30
tahun. Orangnya lumayan manis. Kalau kamu mau nanti kukenalkan kebetulan dia ikut juga
pelatihan ini. Kamu mau nggak aku kenalkan?” Tanya Dewi padaku.

“Boleh...boleh.” jawabku nggak serius.

“Sebentar, jam istirahat sore nanti aku perkenalkan kamu dengan Diah. Enaknya kita
ketemuan di taman samping gedung Bapelkes saja. Sekarang aku pamit sholat dulu.” Kata
Dewi mengakhiri pembicaraan kami siang itu.

Setelah istirahat sholat Zuhur kami semua peserta pelatihan kembali memasuki ruangan
pelatihan. Dari jauh selintas kulihat Dewi dan teman perempuannya yang lumayan cantik
berjalan memasuki ruangan. Dalam hatiku mungkinkah wanita itu yang akan dikenalkan
Dewi padaku.

Tak terasa sore hari yang ditunggu itu pun tiba. Aku menunggu Dewi di bangku taman
gedung Bapelkes tempat pelatihan itu. Aku penasaran siapakah gadis yang akan dikenalkan
Dewi padaku. Tak lama kemudian Dewi menepati janjinya. Dia berjalan ke arahku bersama
wanita yang tadi bersamanya memasuki ruang pelatihan.

“Ardi, maaf ya aku agak telat sedikit menemuimu. Kenalkan ini Mia. Mia kenalkan ini Ardi
teman sekolahku dulu.” Kata Dewi memperkenalkan kami berdua.

“Kenalkan namaku Amardi. Biasa dipanggil Ardi. Aku teman SPK Dewi dulu.” Kataku
sambil mengulurkan tangan tanda perkenalan pada Mia.

“Namaku Sasmia Wulansih. Biasa dipanggil Mia. Ya, mbak Dewi sudah selintas cerita
tentang mas Ardi tadi.” Kata Mia sambil membalas uluran tanganku.

“Eh, Ardi, Mia aku ke kamar mandi sebentar ya. Lanjutin aja dulu ngobrolnya.” Kata Dewi

Aku tau itu cuma alasan Dewi untuk memberikan kesempatan padaku dan Mia untuk
mengenal pribadi masing-masing.

Entah apa yang ada dibenakku waktu itu setelah ngobrol tanya sana sini tentang kehidupan
pribadi kami berdua tanpa ragu aku langsung to the point tentang niatku menjadikan istriku.

“Bagaimana, usia kita sudah sama-sama dewasa. Kita berdua sudah pantas untuk menikah.
Apakah kamu bersedia?” tanyaku serius pada Mia.
Aku sendiri sebenarnya tidak percaya mengapa aku berani mengutarakan hal penting itu pada
wanita yang baru kukenal itu. Kupikir sudah terlanjur kata yang terucap tak mungkin kutarik
kembali.

“Apakah mas Ardi yakin? Secepat ini mas langsung mengajak menikah?” tanya Mia tak
percaya.

“Insya Allah kalau niat kita baik Allah SWT akan melancarkan urusan kita dek.” Jawabku
meyakinkan Mia.

“hey, yang lagi asyik PDKT sampai nggak sadar kalau ada yang lain didekatnya.” Kata Dewi
tiba-tiba mengejutkan kami.

“Bagaimana udah ada hasil dari perundingan kalian berdua?” tanya Dewi pada kami berdua.

“Ah, kebiasaan kamu Wi pengen tau urusan orang.” Sambil tersenyum melirik kepada Mia.

“Alhamdulillah. Awas ya kalau nanti diundang nggak dateng.” Kataku pada Dewi

“Tenang aku nanti yang ngasih kado paling gede.” Balas Dewi sambil tertawa.

“Eh, Mia ayo kita siap-siap besokkan kita harus pulang.” Kata Dewi pada Mia.

“Ardi, kamu nggak pulang besok? Ayo cepet pulang. Kamu kan mau menghadap orang tua
kamu meminta restu untuk menikahi Mia.” Kata Dewi membuat Mia yang mendengar tersipu
malu.

“Pastilah, aku kan segera menemui orang tuaku untuk membicarakan ini.” Kataku membalas
ucapan Dewi.

Pertemuan pertama hari itu berakhir sudah. Setelahnya aku berkemas-kemas karena besok
kami harus pulang ke daerah masing-masing.

Keesokan harinya setelah kembali ke rumah dan waktu yang pas aku segera menemuiorang
tuaku yang kebetulan sedang bersantai sore di ruang tamu ditemani teh hangat dan sepiring
pisang goreng bikinan ibu.

“Bu, pak boleh saya bicara?” kata saya dihadapan orang tua saya.

“Ada apa Di? Apakah ada hal yang serius yang ingin kau sampaikan pada aku dan ibumu?”
tanya bapak padaku.

“Pak, bu Ardi ingin menikah.” Kataku memohon izin.

“Serius, Di? Siapa wanita itu? Selama ini kamu belum pernah membawa teman wanitamu
kerumahini. Dan memperkenalkan pada kami sebagi calon istrimu. Tapi tiba-tiba saja kau
mendadak mengutarakan niatmu ingin menikah. Kamu serius nak?”Kata bapak panjang lebar
karena tidak percaya dengan ucapanku.
“Serius pak. Wanita itu memang baru Ardi kenal berapa hari yang lalu. Kami sesama anggota
pelatihan kemarin pak. Dia bidan desa di Kabupaten tetangga.” Kataku menjawab pertanyaan
bapak.

“Ardi, bukan ibu melarang kalau kamu mau menikah. Usiamu sudah cukup matang untuk
menikah. Boleh dikatakan kamu telat menikah malah dibanding teman-temanmu yang di
kampung kita ini. Tapi apa secepat itu kamu ambil keputusan nak? Kamu baru kenal
beberapa hari. Apa tidak lebih baik kamu mengenal pribadinya dulu atau kamu pilih anak
kampung kita yang lebih kamu kenal.’ Jawab ibu meragukan keinginanku.

“Bener kata ibumu, Di. Kenapa kamu tidak pilih Ambar anak pak lek Yono. Kita semua
sudah tau bebet bibit bobot pak lek Yono dan keluarganya.” Kata bapak lagi.

“ya, nak ibu bapak sudah lama menunggu kabar baik dari kamu. Tapi kenapa harus dengan
yang baru kamu kenal? Apa kamu yakin dengan wanita itu nak?” kata bapak

“Ardi yakin pak, bu. Semoga pilihan Ardi tidak salah.” Kataku meyakinkan kedua orang
tuaku.

“Risma anak lek Yono masih rajin menyambangi rumah kita nak. Dia sering bantu ibu
memasak makanan kesukaan bapakmu. Sesekali dia juga kirim masakannya kemari. Risma
cantik dan baik nak.” Kata ibu mencoba merubah pikiranku.

Dalam hatiku kuakui Risma lebih cantik dari Mia wanita yang baru kutemui. Tapi mungkin
karena jodohku aku mantap memilih Mia yang wajahnya biasa saja.

“Bagaimana? Apakah bapak dan ibu setuju?” tanyaku lagi pada orang tuaku

“ya, kalau keputusanmu sudah bulat kami sebagai orang tua Cuma bisa manut dan berdoa
untuk kebaikan masa depanmu nak.” Kata bapak

“Kapan rencanamu ingin melamar?” kata bapak lagi.

“Insya Allah saya rundingkan dengan Mia dulu pak. Kalau bisa secepatnya.” Kataku
menjawab pertanyaan bapak.

Hari Minggu aku datang ke tempat tugas Mia. Pertemuan kami ditemani Dewi.

“Dek, aku sudah membicarakan rencana pernikahan kita dengan orang tuaku. Apakah kamu
tidak berubah pikiran menerima aku sebagai calon suamimu?” tanyaku pada Mia.

“Aku tidak berubah pikiran, mas.” Jawab Mia.

“Hanya satu syarat yang kuajukan padamu dek. Apakah kamu mau menuruti satu
permintaanku dek?” kataku pada Mia.

“Apa syarat yang mas ajukan aku akan terima mas.” Jawab Mia
“Aku hanya ingin nanti kalau kita sudah menikah kamu urus pindah tugas ke tempat asalku
dek. Kita urus rumah tangga sama-sama. Kita membesarkan anak-anak kita nanti sama-
sama.” Pintaku pada Mia.

“Aku akan turuti kemauan mas saja.” Jawab Mia

“Alhamdulillah, terima kasih dek.” Kataku pada Mia sambil tersenyum.

Setelah itu aku pulang dengan hati senang. Makin mantap hatiku untuk menikah dengan Mia.

Tak terasa waktu itu tiba. Hari yang sudah lama dinantikan kedua orang tuaku dan Mia.
Seminggu setelah lamaran acara langsung dilanjutkan dengan peresmian pernikahan kami.
Kebetulan kami sama-sama mengambil cuti tahunan 16 hari kerja jadi kami bisa
menghabiskan waktu bersama untuk saling mengenal lebih dekat satu sama lain.

Kebahagiaan kami makin bertambah karena 3 bulan setelah pernikahan kami Mia dinyatakan
positif hamil. Betapa senang aku dan kedua orang tua aku dan Mia. Karena aku dan Mia beda
daerah tempat tugasku seminggu sekali aku mengunjungi tempat tugas Mia untuk melepas
rindu pada Mia dan calon anak kami.

“Dek, nanti kalau anak kita sudah lahir aku ingin kamu cepat urus surat pindah. Aku ingin
kita merawat anak kita sama-sama.” Pintaku pada Mia.

“Insya Allah, mas.” Kata Mia sambil mengelus perutnya yang kian membesar.

Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba tepat tanggal 17 Agustus 2000 Putra pertama kami
lahir dengan selamat. Dengan berat 3,2 kg kami beri nama Rizki Merdeka dan panggilan
sayangnya Rimey.

Aku tidak bisa lama menemani istriku merawat anak kami. Seminggu sesudah istriku
melahirkan aku harus kembali ke tempat tugasku lagi. Walaupun aku pimpinan di Puskesmas
tempatku bertugas tapi sebagai pemimpin yang baik aku harus menjadi contoh yang baik bagi
rekan kerjaku yang lain.

Seperti biasa seminggu sekali aku mengunjungi istri dan anakku. Untuk membantu dan
menemani istriku merawat bayinya istriku mengajak sepupu jauhnya dari kampung orang
tuanya. Gadis remaja lulusan SMP bernama Mila yang kebetulan broken home karena korban
perceraian orang tuanya. Anak itu sangat ringan tangan tidak menyesal kalau istriku
mengajak anak itu membantu merawat bayi kami.

Tak terasa waktu berlalu setelah putra kami berusia 1 tahun aku menagih janji Mia untuk
mengurus surat pindah ke kota asalku. Tapi dengan bermacam alasan Mia belum mau
mengurus kepindahannya. Aku mengalah kuizinkan dia menunda mengurus kepindahannya.

Tak terasa tahun berganti kesabaranku habis. Kubiarkan saja dan pasrah kalau akhirnya Mia
tidak menepati janjinya untuk pindah mengikutiku dan memilih tetap di tempat tugasnya.
Tepat 3 tahun usia Rimey kami dipercaya Allah SWT memiliki buah hati lagi, Alhamdulillah
kembali hadirnya seorang putra ditengah kami. Kami beri nama putra kedua kami Dynasty
dengan panggilan sayangnya Dey.

Tapi sayangnya Mia tetap tidak mau menepati janjinya untuk mengurus kepindahannya.
Sebagai suami yang baik aku memilih bersabar dan mengalah untuk menjenguk keluarga
seminggu sekali.

“Mas, mas kenapa melamun?” sentuhan dipundakku menyadarkanku dari lamunan masa lalu.
Aku baru tersadar kalau aku sekarang berada di rumah Dimas adikku.

“Sudah malam mas. Ayo mas tenangkan pikiran dulu. Mas tidurlah dulu di kamar depan.”
Kata Dimas sambil mengulurkan selimut biru kepadaku.

Walau pikiranku masih berkecamuk kucoba membaringkan tubuh dan berusaha menutup
mataku. Sesekali kupandang Hp ku mungkin saja ada WA dari Dissa yang menanyakan
kabarku. Sesekali kulihat Dissa masih online tapi aku tidak ingin chat dia karena aku ingin
meredam suasana dulu.

Dissa adalah janda almarhum kakak kelasku sekolah SPK dulu. Mas Imam suaminya yang
mengenalkan kami. Dan aku dengan mas Imam ditemukan kembali di kampus tempat kami
sekolah dulu dan sekarang tempat kami kuliah. Dissa seorang tenaga honorer di salah satu
kantor pemerintah di kota asal kami. Dissa juga biasa menerima ketikan tugas kuliah
mahasiswa.

Jadilah sejak kuliah itu aku membuat tugas kuliah dengan dengan Dissa melalui mas Imam.
Ku akui ada rasa yang aneh sejak perkenalan kami berdua. Dissa memiliki postur tubuh
pendek padat berisi. Dissa lumayan cantik dan lebih mudah dari istriku. Kelihatan Dissa istri
yang patuh pada suami.

Sepeninggal suaminya karena aku sudah terlanjur kenal dengan Dissa dan tugas buatannya
cukup rapi jadilah aku tetap membuat tugas dengan Dissa walau sebetulnya rental dekat
rumahku banyak.

Entah mengapa sejak mas Imam meninggal setiap aku bertemu untuk urusan tugas kuliah ku
rasakan ada getaran rindu yang tak bisa kulawan. Kata apapun yang sejak di rumah sudah
kurangkai untuk menjelaskan materi tugas kuliah yang akan dibuat Dissa blas hilang begitu
bertemu Dissa.

Jadilah aku seperti orang linglung. Gugup garuk-garuk kepala tak tau apa yang akan
kuucapkan. Akhirnya Alhamdulillah selesai sudah urusan kuliahku hingga akhirnya aku
wisuda. Dan sejak itu aku tidak pernah bertemu Dissa dan WA Dissa lagi. Tapi entah
mengapa hatiku selalu merasakan rindu yang tak biasa pada Dissa. Tidak mungkin aku
menemui Dissa lagi. Apa alasan untuk bertemu dia karena kuliah sudah berakhir. Untunglah
kebetulan Puskesmas tempatku bertugas sedang persiapan akreditasi. Jadi aku harus
mempersiapkan kelengkapan administrasi yang dibutuhkan. Aku ingat selama kuliahku Dissa
yang biasa membuat tugasku. Jadi pasti Dissa bisa membantu aku menyelesaikan tugas
kantorku yang tidak beda dengan materi kuliah dulu.

Akhirnya kuhubungi Dissa lagi. Dan kebetulan Dissa tidak sedang sibuk. Setelah tugasku
selesai entah mengapa hatiku tetap tidak bisa jauh dari Dissa. Jadilah aku mulai rajin WA
Dissa. Aku mulai dengan obrolan ringan. Memberi perhatian kecil seperti nanya kabar, kalau
tidur jangan terlalu malam, jaga kesehatan dan kata-kata yang kiranya mampu membuat
Dissa merasa tersanjung dan membutuhkanku. Jadilah kami intens chat lewat WA saling
mencurahkan isi hati.

Tapi satu yang aku kagumi dari Dissa dia bukan seperti janda yang umum diberitakan selama
ini. Dia bukan wanita penggoda. Sejak mas Imam meninggal Dissa tetap seperti masih ada
mas Imam. Kalau tidak hal penting yang harus dilakukan diluar rumah sepulang dari kantor
dia lebih memilih pulang ke rumah.

Cara chat dia dengan aku pun sewajarnya tidak menunjukkan kalau dia sebetulnya butuh
teman yang bukan hanya teman curhat. Tidak ada kata-katanya yang menggoda yang
menjurus ke arah pornografi.

Cara dia dengan aku pun seolah tidak ada yang spesial antara kami. Dia mampu
menyembunyikan perasaannya. Pernah sekali waktu kami bertemu di salah satu gedung di
pesta pernikahan anak teman sekolahku dulu. Aku melihat Dissa datang sendirian. Karena
aku lebih dulu datang ke gedung itu aku memilih duduk di barisan belakang yang kebetulan
dekat dengan teman seangkatan sekolah dulu. Dissa akhirnya duduk di barisan tengah yang
tak begitu jauh dari tempat dudukku. Sehingga sesekali aku bisa melihat selintas dia
tersenyum sembari mengobrol dengan tamu yang duduk di sebelahnya. Sepertinya Dissa
mampu menjaga diri. Dia pilih duduk dekat ibu-ibu atau remaja putri daripada pilih duduk di
dekat bapak-bapak.

Sekali waktu tatap mata kami bertemu dan dia hanya tersenyum padaku. Dia tidak segera
menghampiriku. Sampai akhirnya acara berakhir dia tidak mendekati tempat dudukku.
Setelah santap siang alumni sekolahku diharuskan naik ke panggung untuk bernyanyi dan
berjoget sekaligus reunian.

Di atas panggung hatiku tidak tenang. Mataku kuarahkan kemana saja gedung seluas itu. Aku
ingin tahu dimana wanita pujaanku itu. Akhirnya setelah tamu undangan mulai beranjak
pulang dan gedung berangsur sepi kulihat cukup jauh dari panggung aku melihat Dissa
berdiri dengan ph ditangannya. Hatiku berdegup kencang. Rasa di dadaku berkecamuk.
Rasanya aku ingin turun dari panggung dan menemuinya. Tapi karena aku sudah berada di
antara teman seangkatanku dan aku malu kuurungkan niatku.

Aku hanya melihat dari atas panggung gerak gerik Dissa. Kulihat beberapa kali dia
mengambil foto ke arah panggung. Sepertinya dia mengambil gambarku yang sedang asyik
berjoged sambil ngobrol dengan temanku. Sesekali aku melirik dan tersenyum padanya. Tak
lama kemudian kulihat Dissa keluar gedung itu. Hatiku masih gelisah tak menentu rasanya
aku ingin turun dari panggung dan keluar menyusul Dissa.
Tapi tak lama kami peserta alumni harus naik ke panggung pelaminan untuk melakukan sesi
pemotretan dengan pengantin. Semua teman asyik dengan arahan penata gaya dan fotograer
tapi aku tetap fokus menatap ke pintu samping keluar gedung.

Setelah acara sesi pemotretan dengan pengantin usai aku segera bersalaman dengan temanku
yang punya hajat dan kedua mempelai serta rekan-rekanku yang lain untuk berpamitan.
Hatiku tetap gelisah tak karuan kupikir Dissa pasti sudah pulang. Alhamdulillah rupanya
dugaanku salah Dissa masih ada diluar gedung. Dia duduk sendiri tapi duduk menghadap ke
arah parkiran. Hatiku makin tak karuan tapi coba kutahan.

Tak lama kemudian dia mungkin menyadari keberadaanku yang duduk tak jauh darinya.
Dissa segera menghampiriku dan menyapaku sambil berdiri. Dissa tampak anggun dengan
make up sederhana dan gaun pinknya.

“Mas, Ardi kenapa sendiri? Mbak Mia mana?” tanya Dissa padaku.

“Aku pergi sendiri dek. Mbak Mia sedang ada urusan dinas di kota Provinsi” jawabku
setengah gugup.

“Mas, kenapa keluar? Teman-temas mas masih di panggung tuh. Nggak pengen nyanyi atau
joget lagi?” tanya Dissa lagi.

“Nggak dek. Panas” jawabku singakt

Akhirnya Dissa menjauh dan duduk kembali di kursinya tadi. Sedangkan aku untuk
menyembunyikan rasa gugup dan malu aku putar posisi dudukku menghadap ke dalam
gedung.

Akhirnya tak lama Dissa pamit duluan pulang kepadaku. Tak lama setelah Dissa pulang aku
pun pulang juga dengan degup hati senang bukan main ketemu wanita pujaanku. Itulah
mengapa aku jatuh cinta pada wanita tomboy itu.

#Part 4

Akhirnya antara tertidur atau tidak kudengar suara lantunan ayat kursi dari mesjid yang tak
jauh dari rumah adikku menandakan waktu menjelang Subuh hari. Setelah Adzan Subuh
berkumandang aku segera memunaikan sholat Subuh dan setelah sholat aku menunggu pagi
dengan mengaji beberapa ayat untuk menenangkan hati.

Setelah matahari terbit dan sarapan dengan keluarga adikku aku segera pamit untuk kembali
ke rumah istriku. Begitu mobil kuparkir dan turun dari mobil tidak sabar kuketuk pintu rumah
istriku.

“Assalamualaikum. Dek, ini mas dek.” Kataku sambil berharap istriku akan membukakan
pintu.

Dua sampai lima kali kuulang memanggil namanya. Akhirnya dia membukakan pintu.

“Boleh aku masuk dek? Aku ingin bicara?” pintaku pada Mia.
“Silahkan mas” jawab Mia dengan nada dingin.

Aku segera duduk di kursi ruang tamu. Aku terasa asing di rumah istriku. Karena hanya
sesekali saja aku mengunjunginya. Dan dalam suasana seperti ini makin menambah aku tak
betah di rumah itu.

“Aku buatkan minum sebentar mas” kata Mia segera meninggalkanku tanpa sempat
kukatakan kalau aku sudah sarapan dan ngopi di rumah Dimas adikku.

Setelah beberapa lama menunggu Mia muncul dengan baki berisi secangkir teh dan sepiring
roti tawar oles coklat kegemaranku.

“Maafkan aku kejadian semalam dek. Aku takkan mengulanginya lagi” kataku walau dengan
keraguan di hati.

“beeeep....beeeep....beeeep...! suara getar hp ku yang kuletakkan di atas meja menandakan


ada panggilan masuk. Hp itu sengaja ku diamkan karena takut kalau ada WA dari Dissa.

Kulihat dilayar hp tertera nama Bunda Devi. Itu panggilan dari Mila istri adik sepupuku di
kampung orang tuaku. Aku ragu untuk menerima panggilan itu karena kupikir tidak penting.

“siapa mas? Angkat mana tau penting?” Kata Mia

Akhirnya kuangkat hp yanmg tak terhitung berapa kali berbunyi.

“Halo, ya Mil. Ada apa?” tanyaku

“mas, mas.....mas...nggg Devi....Devi...” suara Mila terdengar gelisah diselingi suara isak
tangisnya.

“ya, Devi ada apa dengan Devi Mil?” tanyaku penasaran.

“Mas, mas, ini Ari mas” terdengar suara Ari ayah Devi.

“ya, Ri ada apa dengan Devi? “ tanyaku sambil menatap ke arah istriku yang terlihat
penasaran dengan pembicaraan telepon kami.

“Devi sekarang sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit Umum kota mas. Devi jadi korban
tabrak lari sewaktu berangkat sekolah tadi. Sampai sekarang Devi belum sadarkan diri mas.”
Kata ardi dengan nada cemas.

“ya, Di mas akan segera menyusul dengan mbak Mia.” Jawabku

“kita harus segera berangkat ke Rumah Sakit Umum kota dek. Devi jadi korban tabrak lari.
Dan sampai sekarang sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Devi belum sadarkan diri”.
Kataku menjelaskan berita yang kuterima barusan.

“Aku ikut mas. Aku ganti baju sebentar” kata istriku sambil segera pergi kekamar dengan
tergesa.
Akhirnya kami berdua berangkat menuju kota asalku. Sepanjang jalan kami hanya diam
membisu. Istriku hanya diam disampingku. Sesekali kucoba genggam tangannya untuk
menenangkannya. Tapi istriku segera menepiskan tanganku.

Akhirnya tibalah kami di Rumah Sakit Umum kota. Aku segera berlari ke UGD rupanya
Devi sudah dilarikan ke ruang ICU. Di koridor depan ruang ICU tampak Ari ayah Devi, Mila
ibu Devi sambil menggendong Serly adik Devi. Mila tampak cemas sesekali tampak dia
menyeka air mata yang jatuh menetes di pipinya sembari menenangkan Sherly yang
menangis di pangkuannya. Dan Mia segera segera menenangkannya.

“Mana, Devi? Bagaimana kabarnya?” Tanyaku sambil bergegas mendekati mereka.

“Disana mas. Terjadi perdarahan hebat mas, Semoga tidak terjadi apa-apa mas.” Kata Ari
segera menuju korodor samping ruang ICU.

Kulihat dari kaca begitu malangnya gadis kecil 8 tahun itu. Dengan selang alat bantu nafas
dihidung yang terhubung dengan oksigen di sisi kiri bed Devi. Infus terpasang di tangan
kanan Devi. Dan kabel di dada yang terhubung dengan layar EKG. Dengan perban di kepala
dan kaki. Masya Allah apa yang terjadi pada gadis kecil kesayanganku itu. Rasanya tak tega
aku melihatnya.

“Ari, apa yang terjadi kenapa bisa begini?” tanya pada Ari dengan nada cemas.

“Tadi pagi seperti biasa aku mengantar Devi berangkat sekolah. Ditengah perjalanan menuju
sekolah tiba-tiba ban motor pecah. Segera kubawa motor ke tukang tambal ban dipinggiran
jalan lintas. Kujanjikan pada Devi kalau tambal ban selesai dia kuantar ke sekolah. Tak lama
kemudian beberapa anak sekolah teman Devi melintas di depan tambal ban. Melihat teman-
temannya Devi meminta izin padaku untuk berangkat bersama teman-temannya. Karena hari
sudah menunjukkan pukul 07.15 aku izinkan Devi mengikuti ajakan teman-temannya. Ku
wanti-wanti Devi agar hati-hati di jalan dan saat menyeberang menuju sekolah. Tak lama
setelah Devi pergi bersama teman-temannya dari ujung jalan terdengar suara teriakan
kepanikan. Aku tak menyadari kepanikan apa itu? Tak lama kemudian ada seorang bapak
mengabarkan kalau Devi menjadi korban tabrak lari” Cerita Ari panjang lebar padaku. Aku
dan Mia mendengar cerita Ari dengan seksama.

“Pak Ari Satria orang tua dari Devi Permata” suara panggilan perawat dari pintu ruang ICU

“ya, saya bu” jawab Ari segera menghampiri perawat tersbut.

“Begini, pak. Karena putri bapak banyak mengalami kehilangan darah karena luka yang
sangat parah mangka kami membutuhkan donor darah. Apakah diantara bapak dan anggota
keluarga yang lain bisa mendonorkan darahny? “ tanya perawat menanyakan pada Ari.

“Saya bersedia, bu. Devi anak saya apapun akan saya lakukan demi kesembuhannya” Jawab
Ari tanpa ragu.

“ya, pak. Nanti kita cek darah bapak dan anggota keluarga yang lain. Mari bapak ikut saya ke
ruang laboratorium” ajak perawat itu.
Aku dan Ari segera mengikuti langkah perawat muda itu menuju ruang laboratorium. Setelah
sampai di ruang laboratorium Ari lebih dulu masuk ke dalam untuk dicek golongan darahnya.
Aku menunggu dengan gelisah diruang tunggu. Karena rasa yang berkecamuk di dada
kucoba alihkan dengan keluar menuju koridor depan ruang itu. Tak lama kudengar ada suara
memanggil-manggil namaku. Ku segera mencari arah sumber suara itu. Tak lama kemudian
ada seorang pria jangkung yang tampan mendekatiku.

“Ardi....Amardi kan?” Tanya pria yang rasanya tak asing bagiku tapi sulit untuk kuingat siapa
namanya.

“Ardi...masih ingat aku nggak? Aku Fadli teman sekelas kamu di SPK dulu. Coba kamu
masih ingat tidak?” tanya pria itu lagi.

Aku mencoba mengingat-ingat sosok pria di depanku itu. Ah, aku baru ingat dia pria yang
selalu jahil ke cewek-cewek sekelas. Dia pernah membacakan surat putus cinta dari pacar
Sari di depan kelas. Sehingga Sari yang sedang putus cinta menangis di depan kelas sambil
mengejar Fadli berusaha mengambil surat itu. Wajahnya dengan senyum manis yang khas
masih kuingat. Dengan wajah tampannya dia termasuk idola di kelas kami selain Faisal suami
Dewi.

“Fadli...Fadli kan?” tanyaku ragu.

“ya, aku Fadli si jahil dari kamar 07” jawab Fadli sambil mengulurkan tangannya padaku.

“Kamu, kenapa disini? Kamu tugas dimana?” tanyaku

“Aku memang tugas disini Di. Tapi aku di ruangan Poli Penyakit Dalam. Aku kesini
menunggu istriku untuk pulang bareng. Istriku bertugas disini” jawab Fadli.

“Kamu, ngapain disini?” tanya Fadli padaku.

“Aku menunggu gilran cek darah. Anak adik sepupuku jadi korban tabrak lari jadi
membutuhkan tranfusi darah.” Jelasku pada Fadli.

Kami terus asyik ngobrol sambil menunggu hasil yang pas. Darah siapa yang cocok dengan
darah Devi. Setelah Ari, Mila istri Ari pun dipanggil untuk melakukan cek kecocokan
golongan darah untuk tranfusi Devi.

Sambil ngobrol dengan Fadli aku tak kuasa menahan rasa yang berkecamuk di dada. Rasa
yang membuat aku merasa bersalah kalau kenyataan yang kubayangkan benar adanya. Tapi
aku berusaha bersikap biasa saja di depan Fadli.

Tak lama kemudian Ari dan Mila keluar dari ruangan laboratorium dan mereka berdua pamit
padaku untuk kembali ke ruangan ICU.

Tak lama kemudian aku segera mendapatkan giliran untuk cek golongan darah. Setelah
proses selesai aku menunggu hasilnya di ruang tunggu.
Tak lama kemudian namaku dipanggil petugas laboratorium untuk ke dalam ruangan
laboratorium.

“Maaf pak Amardi bapak dipanggil kedalam pak. Ada yang ingin kami bicarakan” kata
petugas laboratorium yang kebetulan istri Fadli.

Aku semakin gelisah apakah kenyataan yang kan kuhadapi nanti akibat dosaku selama ini?
Aku mencoba menguatkan hati. Kuikuti istri Fadli menuju ruangannya. Aku sedikit heran
mengapa Fadli ada di ruangan istrinya. Padahal seharusnya ruangan itu khusus untuk petugas.

Part 4

“Silahkan duduuk, Di. Maaf sebenarnya ini bukan ruanganku. Tapi karena kamu sahabatku
dan istriku tak enak mengatakannya di depan adik sepupumu dan istrinya. Mangkanya kau
dipanggil sendirian”kata Fadli padaku.

Dalam hatiku berkecamuk rasa tak karuan. Akhirnya dosa ku di masa lalu kan terkuak juga.

“Beeeep....beeep....beeeep....! Hp ku bergetar. Hp ku sengaja dalam mode diam agar tidak


mengusik keadaan. Kulihat layar hp ada panggilan masuk dari Dissa selingkuhanku. Karena
suasana kurang pas nomor WA Dissa kublokir. Kubiarkan saja sms Dissa menanyakan
mengapa aku memblokir dia. Hingga beberapa kali akhirnya Dissa tak sms aku lagi.

“Maaf, Di apakah bisa kita langsung lakukan pengambilan darah kamu untuk segera
menolong putri kamu?” Tanya Fadli yang membuat aku terkejut.

“Nanti, kita bicarakan masalah pribadi ini. Sekarang donor darah harus segera dilakukan.
Apakah kamu bersedia?” tanya Fadli lagi.

“Baiklah, silahkan seberapa banyak aku ikhlas untuk kesembuhan putriku.” Jawabku tanpa
ragu.

Setelah proses pendonoran darahku selesai aku beristrirahat sambil ngobrol dengan Fadli.

“Maaf, Ardi kalau mungkin sebenarnya ada rahasia antara kamu dan ibunya Devi. Tapi kalau
kamu belum siap sekarang kita bisa bicarakan di rumahku” kata Fadli.

“Baiklah, asal kau bisa menyimpan rahasiaku ini. Aku percaya padamu sejak dulu.” Kataku
berharap pada Fadli.

“Aku tunggu kapan saja kau butuh aku di rumahku. Sekarang kau sudah boleh kembali ke
ruang ICU melihat putrimu.” Kata Fadli.

“Terima kasih, Fadli. Kalau ada waktu aku akan ke rumahmu.” Kataku dengan rasa hati tak
menentu.

Tiba di ruang ICU kelihatan Ari ayah dan ibu Devi tampak lebih tenang.Karena darah yang
dibutuhkan oleh Devi sudah bisa ditranfusikan tepat waktunya.
“Terima kasih atas perhatian mas pada Devi,mas. Kalau tidak ada mas entah bagaimana kami
harus mengusahakan keselamatan Devi sendiri” Kata Ari yang membuatku makin merasa
bersalah.

“Kita semua harus berusaha dan berikhtiar untuk kesembuhan Devi. Kau sepupuku berarti
anakmu anakku juga” kataku mencoba menghibur ayah Devi.

Karena aku butuh istirahat karena semalaman kurang tidur dan dari mendonorkan darahku
untuk putriku aku izin untuk pulang lebih dulu. Mia istriku pun ikut pulang bersamaku. Mila
pun kami ajak ikut pulang bersama kami kasian Sherly adik Devi terganggu tidurnya kalau di
rumah sakit. Di rumah sakit pun tidak membolehkan anak dibawa usia 12 tahun ikut
membesuk.

Setelah sampai rumah aku langsung mandi dan makan makanan yang telah disiapkan Mia.
Aku segera tidur siang di kamarku. Saking lelahnya entah jam berapa aku terbangun.
Sepertinya sudah hampir malam. Aku terbangun karena kurasa ada kecupan dibibirku.
Kupkir Mia. Kubalas dengan melumat bibir itu. Nikmat rasanya. Begitu kubuka mata aku
kaget ternyata yang ada di sampingku bukan Mia tapi Mila ibu Devi putriku.

“Mila, apa-apaan kamu? Mana Mia? Mengapa kamu ada disini?” Tanyaku sambil berusaha
menghindar rangkulan Mila. Aku sudah banyak merasa berdosa pada Mia dan juga Dissa.
Mia istri sahku. Walaupun aku tidak seutuhnya mencintainya tapi aku tetap harus jaga
perasaannya. Dia tetaplah wanita pertama yang membelaiku dengan mesra dan berusaha
memberikan kasih sayangnya padaku walaupun karena keegoisannya dia tak utuh melakukan
kewajiban sebagai kistri yang baik. Aku juga harus menjaga nama baikku di depan anak-
anakku.

“Mbak Mia sedang ke tetangga ada yang minta tolong bantuan mau melahirkan mas” Kata
Mila sambil mencoba memelukku.

Kutepiskan tangan Mila dengan kasar. Aku segera berdiri.

“Cukup, Mila. Sudah terlalu banyak dosa yang kita lakukan berdua. Sekarang Tuhan
menunjukkan dosa kita. Devilah yang sekarang harus menanggung dosa kita. “ Kataku pada
Mila.

“Keluarlah dari kamar ini. Aku tidak mau rahasia ini terbongkar. Aku takut Mia tau apa yang
telah kita sembunyikan selama ini. Aku harus pergi. Aku ada urusan.” Kataku pada Mila
yang masih terdiam di tempat tidur.

Aku segera ke kamar mandi yang ada di samping kamar tidurku. Setelah mandi dan
berpakaian kulihat Mia sedang menyiapkan makan malam untuk kami. Kusegera
mendekatinya dan mencium keningnya. Dia tersenyum sambil menatap mataku.

“Aku percaya padamu, mas. Tolong jaga perasaanku dimana saja kamu berada” kata Mia
sambil memelukku.
“Ayo makan, mas. Aku masak ikan kembung pepes kegemaran mas” kata Mia sambil
menunjuk hasil masakannya yang sudah tersaji di atas meja.

Setelah makan malam berdua aku meminta izin pada Mia untuk membeli beberapa stok obat
yang sudah habis di rumah. Kebetulan Mia bilang dia mau di rumah saja. Dia ingin istrirahat.
Tujuanku hanya satu yaitu mengunjungi rumah Fadli yang sudah kujanjikan waktu kami
bertemu di ruang Laboratorium siang tadi.

Mencari alamat rumah Fadli tidak sulit karena rumahnya tepat berada di sisi jalan lintas
Sumatera. Rumahnya nampak asri dengan pepohonan di depan dan samping rumahnya.
Halaman rumahnya tampak rapi karena ada tangan istri yang merawatnya.

“Assalamualaikum..........!” ucapku dari teras rumah itu.

“Waalaikumsalam. Kamu Ardi silahkan masuk biar kita lebih enak ngobrol” kata Fadli yang
rupanya sudah menunggu kedatanganku.

“silahkan duduk, Di. Aku ke belakang dulu sebentar” kata Fadli mempersilahkan duduk.

Kupandangi foto-foto yang terpajang di dinding ruang tamu. Disana ada beberapa foto
pernikahan Fadli dengan istrinya. Di sisi lain ada foto orang tua Fadli dan orang tua istrinya.
Di sudut lain ada beberapa foto Fadli di masa sekolah SPK dulu. Ada satu foto yang
melihatkan kebersamaan terakhir kami di hari wisuda kami. Aku duduk di tengah tepat di
depan Dewi.

“Maaf Di, membiarkan kamu lama menunggu” kata Fadli mengagetkanku

“Tidak masalah. Aku sambil melihat foto-foto masa kita sekolah dulu. Kamu masih
menyimpan sebagian foto itu” Kataku sambil segera duduk kembali ke tempatku semula.

Setelah selintas menceritakan masa sekolah kami dulu dan diselingi menikmati minuman dan
cemilan yang disajikan istri Fadli kami melanjutkan permasalahan yang terjadi sebenarnya di
kehidupanku hingga masalah Devi.

“Maaf, Di sekali lagi aku minta maaf kalau aku ikut campur urusan kamu. Karena aku yakin
kalau Devi itu anak kandung kamu. Kamu adalah ayah biologis Devi ya, kan?” tanya Fadli
dengan rasa penasaran.

“kau boleh menceritakan semuanya padaku.Percayalah aku takkan membuka rahasiamu pada
siapapun. Dan aku pun meyakinkan istriku untuk tidak menceritakan rahasiamu pada
siapapun. Kau sendiri kan tau di salah satu etika keperawatan adalah menjaga rahasia klien”
kata Fadli meyakinkanku.

“Baiklah, aku akan menceritakan rahasia ini padamu.Semoga kau menepati janji untuk tidak
menceritakan rahasiaku pada siapapun. Aku dan istriku sudah sejak awal menikah tak pernah
tinggal satu atap. Dia tidak pernah mau menepati janjinya untuk mengurus kepindahannya ke
kota ini. Dia memilih bertahan di tempat tugasnya di desa di Kabupaten tetangga. Sampai
kedua putra kami memasuki usia sekolah pun dia tetap tidak mau berubah pikiran. Ibu Devi
ikut kami untuk membantu istriku merawat anak-anak sejak anak pertama kami usia 6 bulan.
Mila ikut kami saat usia 16 tahun. Dia putus sekolah. Dia hanya lulusan SMP. Dia adalah
anak broken home home. Orang tuanya bercerai saat dia kelas 2 SMP. Dia adalah sepupu
jauh istriku. Nah, karena sekolah di desa tempat istriku jauh ke desa lain dan juga jalan masih
tanah berlumpur kalau hujan. Akhirnmya istriku mengizinkan anak-anak ikut aku dan sekolah
di kota ini. Karena pasti aku akan kesulitan merawat kedua putraku di usia mereka yang
masih aktif-aktifnya istriku mengizinkan aku mengajak Devi untuk ikut aku ke kota. “ Kataku
menceritakan awal kehidupan rumah tanggaku.

“Silahkan minum Di. Nanti kamu bisa lanjutkan ceritamu lagi.” Kata Fadli memotong
ceritaku.

“terima kasih Fadli” Kataku sambil menyeruput teh manis yang sudah tinggal setengah gelas.

“Boleh aku lanjutkan lagi ceritaku? Tanyaku meminta persetujuan Fadli.

“Silahkan asal kamu sudah yakin ceritamu pantas kau ceritakan padaku” jawab Fadli

“Waktu itu Rimey putra pertama kami baru mau masuk Taman Kanak-Kanak sedangkan Dey
adiknya baru berusia 3 tahun. Seharusnya Dey masih harus dekat dengan ibunya karena
seusia dia masih butuh kasih sayang seorang ibu. Tapi istriku membiarkanku membawa serta
Dey kecil” kataku sambil menghela napas.

“hari-hariku ceria dengan kehadiran anak-anakku dir rumah. Tangisan, kegembiraan dan
kenakalan mereka mereka tak membuat aku kesal karena saat bersama mereka sudah lama
kutunggu. Hingga akhirnya malapetka itu harus terjadi. Pagi itu setelah aku mengantar
Rimey dan adiknya Dey ke sekolah seperti biasa aku pulang lagi ke rumah sebelum berangkat
ke Puskesmas. Memang Mila sejak ikut aku sangat menggoda aku. Wajahnya tidak cantik
tapi dengan postur tubuh sedang dengan berat ideal dan usia remajanya sudah sering kali
menggoda aku. Tapi kucoba kulawan dengan mengalihkan kegiatan ke hal lain. Aku pilih
cepat pergi ke Puskesmas daripada berlama-lama di rumah. Kebetulan rumahku agak terpisah
dengan tetangga lain. Kanan kiri rumahku masih ada kaplingan kosong punya tuan tanah
tempatku tinggal. Jadi tidak ada yang usil apa yang terjadi di dalam rumahku. Entah mengapa
hari itu setan apa yang mempengaruhi pikiranku padahal seminggu sekali aku mengajak
anak-anak pulang ke tempat istriku untuk melepas rindu. Kesempatan pulang itulah kujadikan
kesempatan memadu kasih dengan istriku sepuas yang kumau” kataku sambil memperhatikan
hp kecilku karena ada nada sms terdengar.

Benar saja ada beberapa sms dari Dissa selingkuhanku. Berulang kali Dissa sms menanyakan
mengapa akumemblokir WA dia dan mengapa aku susah untuk ditelpon. Dia juga
menanyakan kabarku dan dimana aku sekarang. Tapi sms Dissa kuabaikan. Maafkan aku
Dissa aku harus menyelesaikan masalahku dulu.

“Maaf, ceritaku terpotong ada sms dari rekan kerjaku” kataku pada Fadli yang sepertinya
sudah tak sabar menunggu kelanjutan ceritaku.

“Silahkan, aku siap mendengar kelanjutan ceritamu” jawab Fadli


“Hari itu begitu aku mengetuk pintu kebetulan tertutup. Rupanya Mila baru selesai mandi.
Dengan rambut basah dan handuk singkat yang hanya menutup sebagian tubuhnya membuat
aku tak tahan menahan nafsu syahwatku. Dengan nada manjanya Mila menyilahkan aku
masuk rumah. Tapi setan sudah menguasai pikiranku. Aku tidak pikir panjang lagi kalau Mila
sepupu istriku dan pengasuh anakku yang seharusnya aku jaga dan lindungi. Hari itu pertama
kali dalam pernikahanku aku mengkhianati janji suci pernikahan kami. Perbuatan bejat itu tak
hanya kulakukan sekali itu saja. Setiap ada kesempatan tak malam, pagi atau siang kami
selalu melampiaskan nafsu padanya. Dari itu aku jarang mengajak anakku mengunjungi ibu
mereka. Kalaupun aku ke tempat istriku aku tidak begitu bergairah lagi pada istriku” Kataku
sambil menghela napas dan menyeruput minuman di meja.

“Ari, ayah Devi merupakan saudara sepupuku. Ayah Ari adalah paman kandungku. Mereka
bertemu di rumah kami. Karena ayah Devi kupercaya mengurus kebun warisan ayahku yang
ada diluar kota otomatis dia sering ke rumahku untuk menyetorkan hasil kebun kami. Di
rumahku mereka berkenalan dan akhirnya jatuh cinta.Aku tidak cemburu dengan kedekatan
Mila dan Ari. Karena aku tak ada rasa cinta dengan Mila. Mila hanya kuanggap pemuas
nafsuku saat aku butuh” kataku sambil menghela napas dan menunda ceritaku karena rasa
hausku aku segera meminum sisa teh di gelasku.

#Part 5

“kadang seminggu sekali atau sebulan sekali Ari ke kota untuk melepas rindu dengan Mila.
Tak ada rasa cemburu dihatiku melihat mereka bermesraan di depan mata. Mila kuanggap
hanya sebagai pemuas nafsuku. Segala kebutuhannya kupenuhi. Dia kubelikan apapun yang
dia pinta. Sejak itu kemesraan dengan istriku sudah semakin hilang. Kalaupun bertemu hanya
sebagai syarat hubungan kami sebagai suami istri. Aku tidak mau kalau istriku tau kalau aku
sudah sering melakukan hubungan intim dengan Mila yang tentu saja lebih memuaskan
nafsuku karena Mila masih muda belia.” Kataku segera menghentikan pembicaraan. Karena
ada panggilan dari Dissa di hp jadulku.

“Halo, mas. Mas dimana?” tanya Dissa dari seberang sana.

“Maaf dek, aku sedang di tempat mbak Mia. Sedang ada urusan.” Jawabku dengan rasa
gugup dan rasanya sesak dadaku menahan rindu.

“ya, udah mas.” Kata Dissa mengakhiri pembicaraan.

Aku tau Dissa pasti menahan rindu seperti yang kurasakan. Tapi terpaksa hubungan kami
kublokir untuk sementara waktu. Aku ingin fokus dulu ke perawatan dan kesembuhan Devi
putriku,

“Maaf, Di kalau aku boleh tau siapa yang menelponmu barusan. Istrimu? Atau
selingkuhanmu. Aku maklum kalau kamu suka gonta ganti selingkuhan karena kamu jauh
dari istrimu” tanya Fadli penasaran.

“Bukan siapa-siapa. Hanya teman biasa. Rekan bisnis.” Kataku meyakinkan Fadli.
“Baiklah kalau kamu belum mau jujur padaku tentang siapa penelpon tadi. Kamu masih
boleh melanjutkan ceritamu kalau ceritamu belum selesai” Kata Fadli memintaku
melanjutkan ceritaku.

“Akhirnya akibat perbuatan maksiat kami membuahkan hasil. Waktu itu Mila mengeluhkan
kepalanya pusing perutnya mual. Memang aku sudah curiga setiap pagi Mila selalu keluar
masuk kamar mandi dan kudengar dia ingin muntah. Aku terbayang paling masuk angin
biasa. Tapi rasa takut itu tetap ada. Aku takut dia hamil walau sesekali kupakai pengaman.”
Kataku dengan pelan.

“Keberuntungan masih memihakku waktu itu. Tiba-tiba Ari datang ke rumah hari itu.
Dengan gelisah Ari mengajakku berbicara empat mata denganku.

“Mas, aku boleh bicara empat mata dengan mas?” tanya Ari waktu itu.

“Apa yang bisa kubantu? Bicaralah” jawabku meyakinkan Ari.

“Mas, Mila mengeluhkan dia sering mual akhir-akhir ini. Dan juga dia juga mengatakan dia
sudah terlambat datang bulan sudah 2 bulan. Apa mungkin dia hamil ya mas?”tanya Ari
padaku yang sempat membuat aku tersentak dan takut kalau itu hasil perbuatan nakalku.

“Aku tau kalau Ari dan Mila sering pula melakukan perbuatan itu di rumahku. Rumahku
agak terpencil jauh dari tetangga yang lain. Jadi tidak ada yang tau dan tak ada yang peduli
apapun yang terjadi di dalam rumahku” kataku dengan nada pelan.

“Akhirnya dengan perasaan tak karuan kusarankan Ari membeli test pack untuk mengecek
apakah Mila benar-benar hamil ataukah hanya masuk angin biasa. Keesokan harinya aku
dapat laporan dari Ari kalau hasil test pack itu menunjukkan Mila positif hamil. Aku sangat
ketakutan waktu itu. Aku takut yang Mila kandung adalah hasil perbuatanku. Akhirnya kami
sepakat kalau Ari harus bertanggung jawab atas kehamilan Mila. Semua persiapan dari biaya
pernikahan sampai anak itu sebesar ini adalah tanggung jawabku. Karena kehidupan Ari yang
hanya sebagai orang yang kupercaya mengurus kebun warisan orang tuaku. Tetapi
sesungguhnya juga aku merasa tanggung jawab seorang ayah pada anak kandungnya. Apalagi
anak yang Mila lahirkan adalah anak perempuan. Anak yang sangat kudambakan karena
kedua anakku dengan Mia istriku laki-laki” kataku mengakhiri ceritaku.

“Maaf, sepertinya aku harus segera pulang Fadli. Hari sudah larut malam” pamitku pada
Fadli.

“ya, semoga putrimu segera pulih Di” Kata Ari sambil mengantarku ke teras.

“Aku pamit dulu. Lain waktu kusempatkan kemari lagi. Wassalamualaikum” Kataku
berpamitan pada Fadli.

Karena hari sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB aku sudah tidak mungkin lagi ke rumah
sakit melihat perkembangan putriku Devi karena jam besuk hampir berakhir. Aku hanya
menelpon Ari menanyakan perkembangan putriku. Ari mengabarkan Devi sudah berangsur
merespon dan membuka matanya kalau namanya dipanggil. Alhamdulillah aku bersyukur
pada Allah yang maha kuasa.

Sampai di rumah rupanya Rimey putraku yang membukakan pintu pagar. Ari sedang libur
kuliah tapi baru bisa pulang hari itu karena banyak kegiatan yang harus diikutinya.

“Ayah” kata Rimey sambil mengulurkan tangan untuk menyalamiku dengan takzim.

“Kapan kamu datang, nak?” kataku sambil mendorong motorku memasuki rumah lewat pintu
samping.

“Baru jam 07.30 tadi, yah” Jawab Rimey putraku.

“Ibumu dimana? Ayah mau istrirahat dulu ya nak” kataku pada putra

“Ibu tadi di kamar, yah. Rimey juga mau istirahat” jawab Rimey menuju kamarnya.

Sesampai di kamar kulihat Mia istriku sudah lelap tertidur. Setelah berwudhu dan
melaksanakan sholat Isya aku kembali ke kamar untuk beristirhat. Aku membaringkan
tubuhku disamping Mia dan kurapikan selimut istriku. Entah mengapa malam itu aku begitu
bergairah melihat istriku. Setelah sudah hampir sebulan lamanya aku tidak menemuinya dan
aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan kesibukanku sendiri. Kucoba memeluk istriku
dan kukecup keningnya dengan mesra. Mia rupanya belum begitu lelap tertidur atau pura-
pura tertidur. Mia merespon apa yang aku lakukan. Mia membalas pelukanku dan
memberikan ciuman penuh gairah pada bibirku. Akhirnya malam itu kami mampu melupakan
masalah yang kami hadapi walau sejenak. Kami luapkan kerinduan kami berdua. Rasanya
aku tak ingin dia jauh dariku. Sayang selama pernikahan kami hal itu jarang terjadi. Aku
selalu sendirian di kamar itu. Rumahku yang jauh dari tetangga semakin menambah
kesunyian hidupku. Menikah tapi berpisah. Aku tak ingin lagi ranjang itu menjadi ranjang
maksiat pergumulanku dengan Mila istri sepupuku. Ranjang itu hanya untuk aku dan Mia.

Keesokan harinya setelah mandi dan sarapan dengan keluargaku aku pamit pada istriku untuk
ke Puskesmas tempatku bertugas. Aku sengaja pergi agak lebih pagi dari biasanya karena
nanti aku akan ke rumah sakit melihat langsung perkembangan putriku Devi.

Pikiranku terbagi antara Devi dan Dissa yang berulang kali sms aku menanyakan mengapa
aku tega memblokir kontaknya dan meminta sampai puluhan kali supaya aku membuka
blokir kontak dia. Tapi tak satu pun sms dari Dissa kubalas. Aku tahu mungkin Dissa kecewa
dan marah padaku. Tapi aku butuh waktu untuk fokus pada masalah dalam rumah tanggaku
dulu. Tambah lagi dengan kejadian yang dialami putriku sekarang. Aku harus tahu setiap
menit perkembangan kesehatannya. Aku harus menebus kesalahanku pada anak yang tak
berdosa itu. Aku berjanji suatu hari nanti aku akan menemui Dissa dan menjelaskan
semuanya. Semoga dia mau menerima penjelasanku nanti.
#Part 6

Hari itu tidak lama aku berada di tempat tugasku. Karena pikiranku tak tenang terbayang
bagaimanakah perkembangan Devi putriku. Jam 10 lebih aku berpamitan pada rekan-rekanku
kujelaskan alasanku izin pulang lebih dulu.

Sesampainya di rumah sakit aku segera menuju ruang ICU tempat Devi dirawat. Dari
paviliun samping ruang ICU hanya kulihat Mila seorang.

“Bagaimana perkembangan Devi, Mila? Tanyaku pada Mila dengan nada khawatir.

“Alhamdulillah berkat tranfusi darah kemarin Devi sudah menunjukkan kemajuan. Dia sudah
merespon kalau namanya dipanggil, mas” Jawab Devi.

“Terima kasih, mas. Karena mas mau mendonorkan darah mas untuk Devi putri kita” kata
Mila yang membuat aku tersentak.

“Mila, jaga mulutmu! Ini masih di rumah sakit. Aku tidak mau semua orang tau perbuatanku.
Aku tidak mau Mia tau kelakuanku saat aku tak bersamanya. Sampai kapan pun kumohon ini
hanya jadi rahasia kita” kataku pelan pada Devi.

Tak lama kemudian Ari datang sambil menggendong Sherly. Kucoba menggendong Sherly
tapi anak kecil itu menangis menolak tawaranku. Akhirnya Ari memberikan Sherly pada Mila
dan segera diajak Mila menjauh dari kami.

“Bagaimana perkembangan Devi? Maaf semalam aku kecapekan jadi aku tidak sempat
kemari.” Kataku pada Ari.

“yah begitulah, mas. Sejak tranfusi darah kemarin sudah ada kemajuan pada Devi. Dia sudah
mulai merespon kalau namanya dipanggil walau hanya dengan gerakan jari.”jawab Ari.

“Mbak Mia dan Rimey belum kemari?” tanyaku pada Ari.

“Tadi mbak Mia dan Rimey sudah kemari mas. Tapi tak lama kata mbak Mia dia akan
memasak untuk mas kalau pulang dinas nanti” jawab Ari.

Aku memilih tetap di rumah sakit untuk melihat perkembangan langsung Devi putriku.
Hatiku tidak tenang aku takut terjadi hal terburuk yang tak kuinginkan. Aku ingin menebus
kesalahanku pada putriku. Aku ingin suatu hari nanti bisa melihat keberhasilannya
mewujudkan apa cita-citanya.

Sambil menunggu Devi di samping ruang ICU aku memandangi hp kecilku. Hatiku gelisah
ada kerinduan membuncah di dada. Ingin rasanya kuhubungi Dissa tapi aku ragu. Aku juga
masih khawatir melihat keadaan Devi putriku.

“Beeeep.....beeep....beeeep.....! terasa getaran disaku bajuku.Kulihat selintas ada panggilan


dari Dissa. Aku ragu untuk menerima panggilan dari wanita berpenampilan casual itu. Tapi
aku juga rindu ingin mendengar suaranya.
“Halo mas Ardi? Kenapa WA aku mas blokir? Tega ya! Pesan Dissa lewat pesan singkat.

Aku tidak bergeming. Kucoba tahan diri untuk tidak membalas pesan singkatnya atau malah
menelponnya. Pasti dia akan menanyakan alasan aku dan beribu pertanyaan yang belum bisa
kusiapkan jawabannya.

Berulang kali aku melihat Devi dari kaca jendela ruang ICU. Aku berharap puteriku akan
pulih seperti semula. Kulihat Ari ayah Devi memasuki ruang ICU dan menatap lekat pada
Devi. Kulihat Ari mengusap air matanya. Tampak kulihat Ari menangis terharu dan
menatapku dari dalam. Aku tak tau apa yang terjadi pada putriku sebenarnya.

“Mas, mas Ardi! Alhamdulillah mas keadaan Devi sudah stabil dan Devi akan segera
dipindahkan di ruang perawatan biasa.” Kata Ari menghampiriku sambil tersenyum bahagia.

“Alhamdulillah. Kalau begitu biar aku yang urus kepindahan ruangannya. Aku akan
pindahkan Devi ke ruang VIP supaya kita bisa fokus merawat Devi tanpa terganggu keluarga
pasien yang lain. Aku akan usahakan yang terbaik demi Devi. Masalah biaya tidak usah kamu
pikirkan.” Kataku meyakinkan Ari yang terlihat bingung mendengar kata-kataku.

Setelah semua urusan selesai Devi pun dipindahkan dari ruang ICU ke ruang VIP yang
kebetulan jendelanya menghadap ke taman samping rumah sakit yang dipenuhi pepohonan
rindang.

Kami semua berkumpul menemani Devi. Aku dan Mia istriku serta Rimey putraku.
Kebetulan istriku sangat menyayangi Devi karena dia memang menginginkan anak
perempuan. Tapi karena faktor usia kalau hamil kembali jadi Mia dan aku sepakat hanya
memiliki dua anak yang kebetulan lelaki. Mia pun begitu sangat perhatian pada Devi. Dia
sangat senang sekali memberikan hadiah pada Devi. Dia pula rajin membelikan Devi
peralatan sekolah kalau waktu ajaran baru tiba. Kebetulan Devi anak yang cerdas di kelasnya.
Devi selalu mendapatkan ranking ke-2 di kelasnya. Oleh karena itulah Mia istriku sering
menghadiahkan liburan ke luar kota pada Devi. Mia tidak menyadari kalau Devi adalah
akibat perbuatanku yang tak bisa mengendalikan hawa nafsuku dengan Mila.

Istriku selalu duduk di samping tempat tidur Devi. Matanya selalu memandangi Devi yang
masih tertidur. Sepertinya Mia tidak mau sedetik pun terlewat perkembangan kesehatan Devi.
Berulang kali Mia kusarankan untuk pulang lebih dulu mungkin kalau dia mau istirahat tapi
dia bilang tetap mau disamping Devi sampai Devi terbangun.

“Dek, kamu pulang dulu deh. Kamu pasti capek menunggui Devi sejak tadi.” Kataku pada
Mia.

“Tidak, mas. Aku akan menunggu sampai Devi terbangun dan Devi memanggilku ibu seperti
biasa” Jawab istriku menolak tawaranku.

“Baiklah kalau kamu mau tetap disini. Mas mau temani kamu. Supaya kita bisa sama-sama
melihat keceriaan Devi seperti dulu” kataku sambil menggenggam tangan istriku.
Ada rasa bersalah dihatiku pada Mia. Seharusnya aku bisa menahan hawa nafsuku walau jauh
dari dia. Walau seminggu sekali kami ketemu tapi pelayanan Mia padaku sangat
memuaskan.Aku memang pantas disebut lelaki bajingan, buaya darat atau julukan kotor
lainnya untukku. Aku yang seharusnya menjaga dan melindungi Mila yang masih sepupu
istriku kujadikan budak nafsuku saat tak bersama istriku.

Seharusnya hanya Mia yang ada dalam hatiku. Tapi sekarang aku sulit menepis perasaanku
pada Dissa istri almarhum sahabatku. Dia wanita sederhana yang sering mengingatkan aku
tetap harus menjaga sikapku pada perempuan lain karena aku masih terikat pernikahan sah
dengan istriku. Aku diingatkan untuk hati-hati memilih pergaulan. Dissa juga sering
mengingatkan aku kalau pas akhir pekan kalau aku harus pulang untuk melepas rindu kepada
istriku. Aku tau selintas dari kata-katanya via chat WA kalau sebenarnya dia cemburu kalau
aku dekat dengan wanita lain selain istriku.

Ah, aku jadi rindu pada Dissa. Tapi aku tidak mau mendahului. Karena selalu kukatakan pada
Dissa hubungan kami hanya sebagai teman saudara dan rekan bisnis. Selalu kuyakinkan dia
kalau aku tetap menganggap dia sebagai adik. Perasaanku padanya tetap tidak berubah seperti
waktu mas Imam masih ada. Walau kuakui entah mengapa rasa suka ke Dissa selalu
menghampiriku.

#Part 7

“Beeep....beeeeep.....beeep....! hp di saku bajuku bergetar. Kulihat ada panggilan dari Dissa.


Aku tak tega untuk mengabaikan panggilan dari Dissa. Aku segera izin keluar kamar pada
Mia untuk menerima telepon.

“Halo, mas kemana aja? Mengapa aku diblokir? Tolong buka blokir mas” kata Dissa
memohon padaku.

“Ya, nanti aku buka blokirnya. Tapi sabar. Aku sedang menunggu keponakanku di rawat di
Rumah Sakit karena kecelakaan. Sudah dulu ya Dis” kataku padaku Dissa yang ada di
seberang sana. Dari suaranya aku tau dia khawatir bercampur rindu padaku.

“ya. Tapi bener ya mas nanti buka blokir aku? Aku tunggu ya” kata dia memaksa aku
menenpati janjiku nanti.

“ya. Nanti mas buka blokirnya kalau urusan di Rumah Sakit sudah selesai” Kataku
meyakinkan Dissa.

Setelah menerima telpon aku kembali ke ruang Devi dirawat. Sampai di depan pintu kamar
kulihat Ari sudah berdiri di depan pintu menyambutku dengan senyum bahagia.

“Mas, Devi sudah bangun mas. Alhamdulillah Devi masih mampu mengenali aku, bundanya,
adiknya dan semua yang sedang menunggunya” kata Ari padaku dengan binar bahagia.

Aku tidak sabar ingin menemui putiku itu. Aku segera memasuki kamar perawatan Devi.
Aku segera mendekati tempat tidur Devi.
“Assalamualaikum. Halo Devi cantik.

Anda mungkin juga menyukai