PENANTIAN
Part 2
Seminar baru saja selesai. Peserta lain mulai beranjak berdiri untuk pulang. Sebagian masih
duduk di karpet masjid yang empuk, berbincang dengan temannya. Sedangkan aku, masih
mencerna materi yang diberikan oleh ustaz yang terkenal dengan #UdahPutusinAja itu.
Seharusnya Karin, teman halakahku, datang. Kami sudah janjian sebelumnya. Jarang-jarang
ada seminar sehari untuk muslimah, apalagi yang dibahas tentang virus merah jambu.Tapi
dia membatalkan tadi pagi, ada urusan lain. Karena sudah berniat datang sejak seminggu
yang lalu, aku memutuskan pergi sendiri.
Entah kenapa aku datang ke sini. Jelas-jelas tidak sejalan dengan kondisiku saat ini.
Mungkin, aku ingin mencari celah, membenarkan apa yang aku dan Kak Radit jalani saat ini.
Hubungan tanpa status. Kami tidak pacaran. Kami hanya ... berteman. Iya, teman baik.
Aku dan Kak Radit tahu, hubungan ini akan berujung pada pernikahan. Kami hanya
menunggu waktu. Tepatnya, dia yang minta tenggang waktu. Saat ini laki-laki yang mengisi
hatiku itu sedang mengejar karir, mengumpulkan rupiah, untuk masa depan.
Kak Radit harus memikirkan keluarganya. Dia adalah tulang punggung sejak ayahnya
meninggal dua tahun lalu. Ibunya tidak bekerja. Tiga orang adik perempuannya masih
sekolah. Tanggung jawabnya besar, dan aku mengerti, tidak boleh mementingkan diri
sendiri.
“Laki-laki sejati itu, mendatangi ayah si perempuan, bukan memacari anaknya.”
“Tidak ada pacaran Islami. Pacaran nggak ngapa-ngapain itu bohong. Kalo nggak ngapa-
ngapain, ngapain pacaran?”
Aku mendesah panjang. Mencoba menafikan perkataan ustaz. Tapi tidak bisa. Apa yang
disampaikan benar. Aku dan Kak Radit sudah mengalami sendiri.
Aku tidak jujur saat mengatakan bahwa kami bisa menjaga diri. Bahwa tidak ada kontak
fisik. Bohong.
Awalnya kami masih bisa menahan diri, tapi ... tidak lama.
Tangan kami pernah bersentuhan secara tidak sengaja. Lain waktu dia sengaja menyentuh
tanganku. Awalnya risih, tapi lama kelamaan, aku menganggap itu bentuk perhatian.
Saat naik motor, biasanya aku akan berpegangan pada bagian belakang jok. Suatu ketika,
motornya berhenti mendadak, tanganku otomatis meraih pinggangnya. Setelahnya dia
menyuruhku melingkarkan tangan di pinggangnya, supaya aman. Dan itu menjadi kebiasaan
sampai sekarang.
“Laki-laki itu tidak akan pernah puas. Saat sudah bisa pegangan tangan, dia pasti minta
lebih. Pelukan, ciuman, sampai zina.”
Debar di dadaku menguat. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Saat kami bertemu
setelah dua minggu tidak bertatap muka. Aku begitu merindukannya ketika itu. Sangat.
Apakah kamu pernah merasa rindu pada seseorang. Begitu rindu hingga yang dilakukan
hanya membaca ulang semua pesan darinya. Menatap fotonya. Dan menangis entah karena
apa. Begitu menyiksa.
Setiap bertemu, kami selalu menghindari tempat ramai, agar tidak ada yang memergoki.
Tidak ada yang tahu hubunganku dengan Kak Radit. Termasuk orang tua. Kami memang
sengaja merahasiakan.
PENANTIAN
Part 1
“Taaruf doang, Mila. Kenalan. Nggak langsung nikah juga, kali,” cerocos Ratu, sahabatku,
dengan semangat menggebu. Dia menaikkan kaki ke sofa dan duduk bersila. Wajahnya
serius menatapku.
Aku yang duduk di sampingnya mendengus pelan. Ini sudah kesekian kali perempuan
berhijab panjang itu menyodorkan kandidat calon suami . Semua kutolak. Aku punya alasan
sendiri. Bukan karena takut menikah atau apa.
Usiaku sudah cukup untuk menikah, 24 tahun. Punya pekerjaan bagus. Dan ... penampilanku
tidak jelek-jelek amat. Bayangkan Vanessha Prescilla berhijab. Kira-kira seperti itu. Well,
mungkin tidak persis, tapi mendekati. Dilihat dari jarak seratus meter. He he.
Yah, benar sekali. Perempuan yang sudah menjadi tetanggaku sejak kami duduk di bangku
sekolah dasar ini sudah menikah. Setahun yang lalu tepatnya. Sekarang pekerjaannya adalah
mencarikan jodoh untukku. Ratu menganggap aku terlalu santai dalam mencari pasangan
hidup. Padahal tidak juga. Hanya belum waktunya.
“Ya iyalah baik. Masa jahat,” balasku tidak tertarik. Mataku menatap layar televisi yang
menyiarkan acara masak-memasak.
Jangan salah sangka. Aku menyayangi Ratu. Walau hampir bosan bertemu dengannya setiap
hari. Tidak di rumah, tidak di sekolah, dan itu berlangsung hingga SMA. Syukurlah kami tidak
satu kampus saat kuliah. Bisa-bisa aku tidak punya teman karena ke mana-mana
selalu berdua dengannya.
Tadi pagi Ratu memintaku ke rumahnya. Rumah orang tuanya,sih. Dia dan Mas Rama tinggal
di sini. Tante Sarah, mamanya Ratu, kesepian sejak ditinggal Om Ari, suaminya. Om Ari
meninggal terkena serangan jantung dua tahun yang lalu. Menurutku memang sebaiknya
Tante Sarah tidak tinggal sendiri. Apalagi Mas Raja, kakaknya Ratu, sedang kuliah S2 di luar
kota.
“Mas Rama mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Hari libur begini harusnya dia ada di
rumah. “Kok nggak kelihatan?”
“Ish!” Kali ini Ratu mencubit pinggangku. Aduk, Mak. Perih. Belum sempat kubalas,
terdengar salam dari luar.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Aku dan Ratu menoleh ke pintu. Sosok Mas Rama muncul di sana.
Ratu langsung berdiri menyambut suaminya dengan wajah semringah. Huh, bukannya
barusan dia merasa kesal karena ditinggal futsal? Dasar tidak konsisten!
Aku bangkit berdiri menuju ruang depan. Sudah waktunya pulang. Sepertinya sahabatku itu
sedang ingin berdua-duaan dengan suaminya. Wajar sih, ini kan hari libur. Harusnya
memang dihabiskan bersama pasangan.
“Aku pulang, ya,” sahutku seraya menghampiri Ratu yang langsung melepaskan pelukan
suaminya.
“Loh, kok pulang?” tanya Mas Rama. “Nggak apa-apa kalo mau ngobrol dulu. Saya masih
harus bersih-bersih.”
“He he. Nggak apa-apa, Mas. Mau pulang dulu, tadi udah janji sama Ibu mau bantu masak,”
e…
PENANTIAN
PART 3
Raditya: Assalamu’alaikum.
Aku membaca pesan yang masuk seraya menarik nafas panjang. Sudah sebulan sejak kami
memutuskan untuk tidak bertemu. Tapi dia masih sering mengirim pesan di WA. Kalau
seperti ini sama saja. Tidak bertemu muka, tapi tetap bertukar pesan.
Aku berjengit saat ponsel berbunyi. Dari Kak Radit. Angkat, tidak, ya?
Pada deringan ke enam, bunyinya berhenti. Aku mengembuskan nafas yang sedari tadi
kutahan. Sebaiknya aku balas pesannya, sebelum dia menelepon kembali.
Aku mengaktifkan mode silent dan kembali bekerja. Shop drawing ini harus selesai sebelum
jam istirahat, atau aku harus mengucapkan selamat tinggal pada makan jam siangku.
“Food Colony, yuk,” ajaknya. Menyebutkan sama sebuah tempat makan di dekat sini.
Aku mengalihkan pandangan, menatap sekejap perempuan yang memakai seragam yang
sama denganku, abu-abu membosankan. “Boleh,” sahutku seraya mengembalikan perhatian
ke laptop. Sekali-kali makan di tempat yang agak elit, mumpung baru gajian. Bosan juga
makan menu warteg setiap hari di site.
Saat jam istirahat, aku sudah menyelesaikan tugas dan memberikan ke site manager untuk
diperiksa. Sesudahnya kami, aku, Lani, dan Wisnu naik bus menuju tempat makan. Kurang
dari lima menit kami sampai.
“Duduk di sana, ya,” seru Lani saat kami masuk seraya menunjuk sebuah meja panjang.
Aku mengiyakan dengan anggukan. Setelahnya kami berpencar untuk memesan makanan.
Setelah selesai, aku menuju meja yang Lani tunjuk seraya membawa nampan berisi soto
betawi.
“Toilet,” jawab Wisnu seraya meletakkan nampan berisi dua porsi sate padang di meja. Dia
duduk di hadapanku.
Aku mengangguk dan mulai makan. Wisnu melakukan hal yang sama. Kami ngobrol santai,
membicarakan apapun selain pekerjaan. Aku, Lani, dan Wisnu sudah menjadi teman kerja
selama satu tahun. Wisnu adalah teman bicara yang menyenangkan. Supel dan humoris.
Wajar saja kalau Lani jatuh cinta. Perempuan mana yang tidak menyukai laki-laki yang bisa
membuatnya tersenyum setiap hari?
PART 4
Panggilan: Fatih
Aku sedang duduk di meja kerja kamar, membaca singkat biodata yang diberikan Ratu lewat
imel di laptop.
Fatih ....
Pandangan kualihkan ke foto yang terlampir. Hmmm ... lumayan sih, walau lebih ganteng
Kak Radit.
Haduh. Tuh, kan. Kak Radit lagi. Move on, Mila. Move on.
Tapi sulit untuk melupakan laki-laki yang sudah membuatku nyaman saat bersamanya. Dan
sayang. Cinta .... Apakah itu benar cinta?
Pantas saja Mas Rama hobi futsal, teman halakahnya punya kesukaan yang sama, sih. Kalau
Kak Radit suka berenang.
Pandanganku teralih pada ponsel di meja. Helaan nafas panjang meluncur dari bibir. Tidak
ada telepon. Bahkan pesan.
Kenapa Kak Radit jalan berdua dengan perempuan itu, sih? Harusnya dia menjaga diri, dong,
kan sudah saling janji. Aku akan menunggunya, dia akan menungguku. Apakah dia tidak
yakin dengan kesetiaanku, lalu mencari perempuan lain?
“Oleh-oleh melulu dipikirin. Mas ke sana bukan jalan-jalan, tapi kuliah. Menuntut ilmu,”
ucapnya pura-pura kesal.
“Jangankan kamu, aku aja nggak dibeliin apa-apa,” timpal Ratu seraya menyendok makanan
ke mulutnya.
Aku menatap kakaknya Ratu setengah tidak percaya seraya menggelengkan kepala pelan.
“Ck ck ck. Tak patut .... “
Aku senang Mas Raja memutuskan untuk pulang saat liburan akhir semester. Walau hanya
sebentar. Kangen berkumpul seperti ini. Seperti dulu, saat kami masih sekolah.
Sejak aku dan Ratu kuliah, dan Mas Raja bekerja, kuantitas pertemuan kami mulai
berkurang dikarenakan kesibukan. Ketika ada waktu berkumpul, selalu seperti ini. Ramai
dan hangat. Aku mengajak Mira, adikku, untuk ikut. Tapi ABG jaman sekarang lebih suka
kumpul dengan teman sebaya.
Kami tengah menikmati lasagna buatan Tante Sarah. Di rumah ini, tempat favorit adalah
meja makan. Lebih enak berbincang sambil makan, dibanding nonton televisi di ruang
keluarga. Bonusnya perut kenyang.
“Tante juga nggak dibeliin apa-apa.” Tante Sarah yang sedang mengeluarkan jug berisi
lemon tea dari kulkas menimpali. “Eh, ada deng. Baju kotor,” tambah Tante Sarah seraya
meletakkan minuman di meja dan duduk di sampingku.
Kami terbahak. Sementara yang menjadi objek tertawaan bersikap cuek seraya melanjutkan
makan, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Istri mah bukan buat disuruh nyuci baju, kali. Emang Rama nikahin kamu buat nyuci baju?”
balas Mas Raja.
“Sembarangan…
PENANTIAN
PART 5
Oleh Eria Chuzaimiah
“Gimana?” tanya Ratu antuasias saat kami hanya berdua di meja makan.
Perempuan cantik disampingku merengut. Eh, sudah tahu, kan, temanku yang satu ini layak
disandingkan dengan artis Indonesia, Anna Gilbert. Wajah mereka mirip. Hidung mancung,
kulit putih, alis bak disulam dan ... mirip bule gitu, deh.
“Biasanya, kalo pertama kali ketemu, yang diliatin yang bagus-bagus aja.”
Ini memang pertama kali aku bertemu dengannya. Taaruf perdana. Hanya kami berempat.
Aku, dia, Mas Rama, dan Ratu. Kami berbincang di ruang tengah rumah Tante Sarah.
Melihatnya secara langsung membuat jantung dag-dig-dug dan salah tingkah. Maksudku,
dia calon suamiku. Calon suami. Kemungkinan dia akan menjadi suamiku. Suami beneran.
Gimana nggak panas-dingin, coba
Setelah bertemu langsung, ternyata ... well, lebih ganteng dari fotonya. Lebih ganteng, ya.
Bukan berarti dia ganteng. Cukup enak untuk dilihat setiap hari, lah.
Aku mengingat-ingat isi pembicaraan tadi. Pada dasarnya kami menginginkan hal yang
sama. Pernikahan yang membawa sakinah. Ketenangan hati.
Pernikahan ini seharusnya menguatkan kami agar lebih semangat dalam beribadah. Apalagi
kalau sudah punya anak. Bertambah tanggung jawab bukan berarti keteteran dalam
melaksanakan kewajiban.
“Nah, kan. Apa kubilang. Kak Fatih emang jodoh kamu!” seru Ratu senang.
Terlalu cepat mengatakan dia jodohku. Kami baru satu kali bertemu. Walau ... yah, dia jujur
dan apa adanya. Maksudku, jawabannya atas pertanyaanku singkat dan tepat sasaran, tidak
berusaha ngeles atau berputar. Tapi ngeselin.
Saat aku bertanya apakah dia berniat poligami? Jawabannya, sekarang belum. Ketika aku
lanjut bertanya, kalau nanti? Dia jawab tidak mau berandai-andai, karena masa depan
hanya Allah yang tahu.
Tuh ngeselin, kan?
Tapi, dia cukup humoris juga. Sebuah senyuman terpatri di wajahku, mengingat kembali
percakapan kami. Semua dimulai saat dia bertanya tentang keahlianku di dapur.
Pertanyaan standar. Memasak itu bukan tugas perempuan saja, laki-laki juga. Buktinya
banyak chef dan tukang masak laki-laki dibanding perempuan. “Tidak terlalu,” jawabku
jujur.
Dia tersenyum. “Mendapatkan cinta suami juga bisa lewat perutnya,” candanya.
Mukaku langsung terasa panas. Ratu yang duduk di samping menyikut pinggangku pelan.
Aku melirik sahabatku sekilas hanya untuk mendapatkan cengiran tidak jelas di wajahnya.
Dasar!
PENANTIAN
PART 6
Aku mengecek kembali maps di ponsel. “Iya , bener. Tuh, tulisannya RAMEN HALAL,” aku
menunjuk pada banner yang terpampang di atas tenda.
Ratu memarkirkan mobilnya. “Oke. This is it,” ucap Ratu seraya menarik napas.
Aku memutuskan untuk mencari tahu tentang Kak Fatih lebih jauh. Mulai dari tempatnya
bekerja. Bukan sekolahan, tapi warung ramen, salah satu usahanya selain bimbingan
belajar.
Aku dan Ratu turun dari mobil.
Warung tendanya cukup unik dengan warna merah khas bendera Jepang. Meja dan bangku
kayu panjang untuk empat orang berjejer rapi, sekitar sepuluh meja. Terdapat hiasan kain
merah bertuliskan huruf kanji, tergantung di beberapa tempat. Menambah kekhasan
suasana negeri sakura itu..
Tempat pemesanan dan kasir terdapat di bagian belakanmg tenda. Berupa tiga gerobak
kayu yang disusun memanjang. Bagian bawah gerobak dilapisi bambu. Ada lampion
bertuliskan huruf kanji di setiap sisinya.
Keren juga warungnya, apalagi saat lampion menyala malam hari. Pasti romantis.
Aku dan Ratu mencari tempat kosong . Pengunjung cukup ramai sore ini. Banyak anak
mudanya.
“Silahkan, Kakak,” sapa pramusaji dengan seragam kemeja putih dan celemek hitam
bertuliskan Ramen Halal di bagian dada. Dia meletakkan buku menu, kertas, dan pensil
untuk mencatat pesanan. “Pemesanan langsung di kasir, Kakak,” ucap pramusaji ramah
dengan senyuman di wajah.
Baiklah. Misi dimulai. Aku dan Ratu kemari bukan sekadar makan. Tapi mencari informasi
demi masa depan.
Bismillah.
**
Aku duduk bersila di atas tempat tidur dengan lembaran kertas di tangan, berisi biodata Kak
Fatih. Sudah kesekian kali aku membacanya. Isinya tetap sama.
Dia pekerja keras. Selain mengajar, dia juga punya usaha lain. Warung ramen dan bimbingan
belajar.
Dia juga baik. Hasil investigasi dengan pramusaji di warung ramen, Kak Fatih
memperhatikan karyawannya. Mereka diberikan waktu untuk salat jamaah dan karyawan
perempuan dibolehkan pulang pukul tujuh malam. Menurut mereka, bosnya itu ramah tapi
tegas, gaul tapi disiplin.
Dia juga punya sense of humor yang bagus. Teringat pesan WA di grup kemarin, grup
beranggotakan aku, dia, Ratu, dan Mas Rama. Hanya kami berempat. Dibuat khusus untuk
lanjutan taaruf.
Ratu: Candi?
Mila: Candi?
Fatih: Nyerah?
Ratu: Nyerah.
Fatih: Mila?
Aku tersenyum mengingat tebakannya yang nggak banget, tapi sukses membuat hatiku
berdesir halus. Sepertinya pernikahan kami akan penuh dengan canda tawa.
Tapi ....
Kak Radit.
PENANTIAN
PART 7
Aku menatapnya sekilas. Mata itu tengah menatapku lekat. Segera kualihkan pandangan
dengan dada berdebar . Menatap selain matanya. “Ehem.” Aku melonggarkan tenggorokan.
“Saya berniat tetap bekerja setelah menikah.”
Misal harus bisa membagi waktu antara pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah?
Atau ....
Aku menatap Mas Rama yang duduk di samping Kak Fatih. Lalu beralih ke Ratu, yang duduk
di sampingku. Kami kembali bertemu di ruang keluarga rumah Ratu. Pertemuan kedua. “Ada
satu pertanyaan lagi,” ucapku ragu.
Aku menarik napas pelan. “Apa alasan ayah Kak Fatih pergi dan bagaimana hubungan kalian
sekarang?”
Dia sedikit berjengit sesaat. Jeda lima detik sebelum memberikan jawaban. “Saya akan
cerita kalau Mila sudah jadi istri saya,” ucapnya datar. “Tapi saya tidak merasa dendam.
Hubungan kami baik-baik saja. Dia tetap ayah saya.”
Aku mengangguk seraya menunduk. Berusaha menutupi rona di wajah. Kalau sudah jadi
istrinya ... kenapa aku merasa sebentar lagi akan menikah dengan laki-laki ini?
“Baik. Ada lagi?” Mas Rama bertanya padaku. Aku menggeleng pelan. Sudah cukup. Aku
tahu keputusanku.
Aku mendongak, menatap laki-laki yang entah kenapa terlihat lebih ganteng dari
sebelumnya. Apa lagi?
“Saya tidak mau ada yang disembunyikan. Bila ada sesuatu yang harus saya ketahui, yang
bisa merusak atau membahayakan hubungan ke depannya, harap kita saling terbuka,”
ungkapnya.
Dadaku kembali berdebar kuat. Kali ini untuk alasan yang berbeda.
Kak Radit.
Haruskan aku menceritakannya? Tapi itu masa lalu. Dan tidak penting. Tidak ada yang harus
diceritakan. Lagi pula, hubungan kami sudah berakhir. Well, belum benar-benar berakhir,
sih. Kami belum bertemu. Aku masih takut menemuinya. Dan dia belum membalas pesanku.
Jadi ....
“Tidak ada,” jawabku berusaha terlihat yakin. Setelah ini aku akan menguhubungi Kak Radit,
janjiku.
Harus.
***
“Cieh ..., “ goda Ratu seraya cengar-cengir tidak jelas saat kami berdua saja di ruang
keluarga. Mas Rama sedang mengantar Kak Fatih ke depan untuk pulang. Sepertinya
mereka sedang membicarakan sesuatu.
Aku memukul bahunya pelan. Dikhitbah saja belum, gimana mau nikah?
Ratu tergelak melihatku yang malu-malu. “Udah terima aja, Mila. Apa lagi, sih?” desaknya.
PENANTIAN
PART 8
“Apa?!” seruku cukup kencang dengan kening berkerut, membuat beberapa kepala
menoleh. Mereka menatap penasaran. Aku melirik sekilas, berharap mereka segera kembali
ke urusan masing-masing. Jangan sampai aku dan Kak Radit menjadi tontonan.
Sepertinya dia juga terkejut dengan reaksiku. Alisnya bertaut. Mungkin Kak Radit berharap
aku akan senang mendengar pernyataannya.
“Kakak akan melamarmu,” ucapnya penuh keyakinan. Matanya bersinar lembut menatapku
dalam.
Aku menggigit bibir pelan. Menahan air mata yang menggenang.
“Mila .... “ panggil laki-laki dihadapanku lembut. “Maaf kalau Kakak memperlakukan kamu
tidak pantas selama ini.”
Air mataku menetes. Masih berusaha menahan isak, aku menggeleng pelan. Tidak ada kata
yang keluar dari lisan.
“Kakak akan bicara ke Ibu. Setelahnya, Kakak akan datang ke rumahmu. Secepatnya.
Menemui Ayah,” jelas Kak Radit. “Kakak tidak akan membuatmu menunggu lebih lama.
Percayalah.”
Saat aku sudah menetapkan hati memilih laki-laki lain. Sekarang bagaimana caraku
menjelaskannya?
Dia tahu ada yang aneh dengan reaksiku setelah mendengar penjelasannya. Aku berusaha
tersenyum seraya menatapnya. Tapi tidak bisa. Dada terasa sesak. Aku kembali menggigit
bibir, berusaha menahan sesuatu yang mendesak keluar.
Hanya itu yang keluar dari lisan. Tidak sanggup berkata apa-apa.
“Mila .... “
Kak Radit tahu ada yang salah. Dia bisa membacaku dengan baik.
“Kamu nggak apa-apa?” Dia meraih tanganku yang terjalin di atas meja. Cepat aku menarik
dan menyembunyikannya di pangkuan.
Keningnya berkerut. Matanya bertanya ada apa. Dia sedang menerka sesuatu.
Aku tidak bisa menatap mata itu terlalu lama. Kualihkan pandangan seraya berusaha
menyusun kalimat di kepala. Apa yang akan kukatakan padanya?
Maaf, aku sudah taaruf dengan orang lain dan memilih dia, bukan kamu? Terlalu kejam
rasanya.
“Kamu tidak senang?” tanyanya hati-hati.
Mataku kembali menemukan wajah Kak Radit yang terlihat harap-harap cemas. “A-Aku .... “
“Kamu tidak berubah pikiran, kan? Kamu janji akan menunggu Kakak,” tuntutnya. “Kita
sudah merencanakan pernikahan ini sejak lama .... “
Debaran di dada semakin kuat. Aku menarik napas panjang. Mencoba mengatur suaraku
agar tidak terdengar bergetar. “Sudah terlalu lama .... “
Mata itu terlihat cemas. Dia menggeser kursinya mendekat. Tanpa aba-aba dia meraih
tangan dalam pangkuanku. Aku menjengit, tidak siap dengan reaksinya. Tidak bisa
menghindar. Genggamannya erat.
“Kak ... lepas.” Aku melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang menjadikan kami tontonan.
Bagaimanapun juga, ini tempat…
PENANTIAN
PART 9
Oleh Eria
Chuzaimiah
Bayi berusia satu bulan itu hanya menatapku tak berkedip. Membuatku semakin gemas dan
mencium pipinya yang gembil.
“Mila.”
“Hamasah dibawa keluar. Pada nanyain.” Ratu memberi gestur pada bayi dalam pelukanku.
Aku mendecak kesal. Masih ingin berlama-lama dengannya. “Baru juga sebentar,” rajukku
seraya bangkit dari kursi menyusui yang terdapat di dalam kamar bayi.
Aku menyerahkan Hamasah pada ibunya. Hari ini keluarga besar Tante Sarah dan
rahimahullah Om Ari sedang berkumpul. Syukuran lahirnya cucu pertama mereka, Hamasah.
“Kak Fatih sudah datang,” sahut Ratu seraya memberi tanda dengan matanya. Aku
mengikuti arah pandang Ratu ke ruang depan. Benar saja. Laki-laki itu sudah datang. Dia
memakai sirwal khaki dipadu dengan kemeja dongker bermotif garis yang dikeluarkan.
Terlihat sedang berbincang dengan Mas Rama.
Dia tersenyum. Akupun balas tersenyum. Setelahnya dia kembali ke Mas Rama.
Aku menghela napas dan mengalihkan pandangan. Ratu sedang membawa Hamasah untuk
diperkenalkan ke keluarganya. Aku menyingkir ke dapur, mencari sesuatu untuk di makan.
“Eh, belum, Tan. Ini baru mau,” jawabku pada Tante Sarah yang berdiri di samping.
“Ya udah, makan yang banyak, ya. Tante tinggal dulu,” ucap Tante Sarah seraya menepuk
bahuku ringan dan berlalu.
Aku mengambil piring. Banyak sekali makanan di meja. Ada sate kambing, sate ayam,
lontong, gulai kambing, sop ayam, perkedel, tumis brokoli, dan semur. Belum lagi kue-kue
dan minuman. Lengkap.
Aku mengambil lontong dan sate ayam.
“Assalamu’alaikum.”
Kak Fatih.
“Iya, nih. Tadi di suruh Rama makan,” ucapnya seraya mengambil piring di meja.
Dini. Istri Kak Fatih. Sekarang sedang hamil muda. Wajar kalau masih suka mual.
“Kapan, nih, nyusul?” canda Kak Fatih seraya membawa piring berisi makanan ke tempat
duduk yang kosong. Aku mengikutinya.
“Dari pada nanya doang, bagus juga kenalin sama siapa, gitu,” jawabku pura-pura kesal.
PENANTIAN
PART 10
(TAMAT)
Ruang tamu ini sangat jarang digunakan. Biasanya, tamu yang datang langsung masuk ke
dapur atau duduk di meja makan. Ibu selalu punya makanan untuk disuguhkan. Berbincang
sambil menikmati cemilan adalah paduan yang sempurna. Betah berlama-lama.
Ruangannya tidak besar. Hanya 3x2 meter persegi. Ada satu kursi kayu satu dudukan beralas
busa tebal dilapisi kain batik, dan satu lagi dua dudukan. Di tengah terdapat coffe table
bulat terbuat dari kaca tebal, berdiameter 60 cm. Saat ini di meja tersedia dua cangkir teh
mint kesukaanku. Uapnya masih mengepul dan menguarkan harum khas daun mint.
Bisa dihitung jari berapa kali aku duduk di sini menerima tamu. Mungkin satu atau dua. Ini
yang ketiga kali.
“Mila .... “
Mengalihkan pandangan dari cangkir, aku menatap mata yang tengah menatap lekat.
Napasku tertahan. Entah kenapa lidah kelu. Ada yang berbeda. Biasanya tidak begini saat
bersamanya. Apa dia juga merasakan kecanggungan?
Semua tidak sama. Tidak sejak semalam. Lewat dini hari mata masih tidak mau diajak
terpejam. Pikiran terus memutar kejadian saat Ayah mengatakan tentang lamaran. Tidak
habis pikir, bagaimana bisa? Sejak kapan?
“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanyanya seraya menyunggingkan senyum kecil.
Dada berdebar keras saat menerima senyumnya. Dia tidak sama lagi. Bukan. Dia masih
sama. Aku yang berbeda. Tidak lagi memandangnya sebagai kakak dari sahabatku. Bukan
juga laki-laki pengganti seorang kakak. Hanya sebagai laki-laki.
Dia menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. “Mila ..., “ panggilnya. “Kamu mau
tahu, kenapa Mas melamarmu ke Ayah?”
“Mas sudah mengenalmu sangat baik. Jadi kita tidak perlu taaruf lagi, makanya Mas
langsung datang ke Ayah.”
Aku mendengus kesal seraya mengerucutkan bibir saat meliriknya. Sepertinya dia sengaja.
Senyum lebar menghiasi wajah laki-laki yang duduk tidak jauh.
“Mas tidak pernah menganggap kamu sebagai adik. Tidak pernah. Sejak dulu,” akunya.
Aku tertegun. Tidak pernah? Apa benar? Jadi ... ungkapan sayangnya selama ini ...?
“Mas tahu, kamu menganggap Mas sebagai kakak. Dan itu .... “ Dia memberi jeda.
“Memupuskan harapan.”
Aku memberanikan diri menatapnya. Dia masih tersenyum, walau sedikit pedih.
Dia tertegun dan mengalihkan pandangan ke cangkir di meja. “Mungkin ... karena Mas tidak
punya k…
(Part 2)
Proses perceraian Reina - Dirga berjalan lancar. Diny membantu Rei dengan
merekomendasikan pengacara yang terbaik.
Di hari persidangan putusan cerainya, aku datang ke Pengadilan Agama. Kulihat dia di sana
bersama kedua orang tua dan seorang lelaki. Mungkin kakaknya. Mereka semua terlihat
begitu saling menyayangi.
Aku tidak menghampiri mereka. Kuawasi saja ruang sidang itu, menunggu di salah satu
sudut sambil terus mengucapkan doa terbaik untuk Rei dan keluarganya.
Saat kulihat dia keluar dari ruang sidang dengan tegak tanpa jejak air mata, hatiku lega.
Apalagi melihat Dirga berjalan di belakangnya sambil menunduk. Tak ada seorangpun yang
menyambutnya di luar. Bahkan perempuan selingkuhannya pun tak terlihat.
Aku bernapas lega, lalu segera berlalu dari sana, sebelum mereka mengenali sosokku.
---
Hari-hari berikutnya, kami berlima selalu memperhatikan Rei. Dia tampak baik-baik saja di
permukaan. Itu mengkhawatirkan. Setahuku perceraian itu berat, apalagi jika penyebabnya
adalah pengkhianatan. Ada temanku yang jadi gila setelah bercerai.
Rei memang jadi berbeda. Tapi berbeda yang bagus menurutku. Wajahnya lebih bersinar,
seolah ada beban berat yang akhirnya terangkat dari pundaknya. Senyum dan tawanya
masih menawan. Tubuhnya bahkan menjadi lebih bugar dan berisi.
Kuperhatikan dia menjadi lebih tenang dan religius. Di jam-jam tertentu aku mendapatinya
sedang duduk di mushola sambil membaca ayat-ayat Al Qur'an dengan suara pelan.
Mungkin memang ada perceraian yang membawa kebaikan bagi yang mengalaminya, ya?
Bless in disguise.
---
Tak lama, aku mengundurkan diri dari pekerjaanku di Media Nusantara. Kedua orang tuaku
bersikeras memintaku melamar sebagai abdi negara.
Sebenarnya hatiku menolak, tapi Nisa, adik perempuanku pun ikut-ikutan membujuk.
Menurut keluargaku, bekerja sebagai PNS akan menjamin kesejahteraan keluarga di masa
depan.
Alasan lainnya adalah agar aku mudah mendapatkan jodoh. Huh. Mengapa semua orang
begitu sibuk dengan urusan jodoh ini?
Walau menikah itu adalah untuk menyempurnakan agamaku, tapi tak terbayangkan jika aku
harus tergesa-gesa menikah hanya karena kedua orang tuaku ingin segera menimang cucu.
Aku sering mengatakan pada mereka, jika ingin cucu, segera nikahkanlah adikku dengan
pacarnya. Perkataanku disambut dengan protes berat dari Nisa.
Kujalani pekerjaan sehari-hari dengan santai, sambil tetap mengelola studio foto kecilku.
Secara berkala, aku dan Para Sahabat bertemu, sekedar ngumpul bareng sambil membahas
segala jenis topik pembicaraan yang super random.
Aku tak pernah banyak bicara, seperti biasa. Hanya melihat betapa sehat dan bahagianya
para sahabatku, melihat Reina tersenyum, hatiku sudah tenang. Re-charge.
---
Satu tahun berlalu sejak itu. Langit Jakarta sedang tidak bersahabat. Mendung menggantung
sepanjang hari.
Ada rencana…
(Part 1)
Aku Adam. Lelaki dengan sayap yang patah.
Ada seorang wanita yang telah menghantamkan hatiku ke bumi hingga hancur berkeping.
Wanita biasa bermata indah, namanya Reina.
Inilah kisahku.
---
Semuanya bermula dari saat dia baru masuk kerja di kantor kami. Pagi itu matahari bersinar
malu-malu.
Wanita berusia sekitar 20 tahunan, bertubuh langsing, tingginya sedang, dengan pakaian
muslimah simpel semi formal, khas pekerja kantoran.
Wanita itu sedang berdebat dengan petugas security lantai dasar. Sepertinya dia memaksa
masuk, tapi tidak punya ID khusus pekerja.
"Saya pegawai baru lantai 6, Pak. Baru masuk hari ini," katanya mencoba menjelaskan.
"Maaf mbak, kalau tidak ada ID, tidak boleh masuk," pak satpam berkata tenang.
"Ini hari pertama saya, Pak. Saya sudah terlambat!" Katanya agak keras, nyaris menangis.
"Mbak pegawai perusahaan apa? Biar saya telepon ke atas untuk memastikan," sahut pak
satpam lagi.
Itu tempatku bekerja. Sudah pukul 8 kurang, akupun sudah akan terlambat tiba di kantor.
Perdebatan wanita itu dengan petugas security menghambat jalanku.
Aku mendesak ke samping, lalu menunjukkan IDku kepada pak satpam yang langsung
menyapaku dengan akrab.
"Mas Adam, mbak ini memaksa masuk. Katanya dia anak baru di tempat kerja Mas Adam.
Media Nusantara," katanya.
Kulirik sekilas wanita itu. Dia balas melirikku. Tatapannya sungguh tajam. Tapi matanya
indah sekali.
Aku melengos, "Ya kalo ngga ada ID, jangan boleh masuk, Pak."
Lalu aku melangkah masuk, meninggalkan wanita itu dengan wajahnya yang semakin
memerah.
---
"Oi. Dam!"
Kuhampiri bos sekaligus teman dekatku sejak SMA itu. Nampaknya ada kabar baik yang
ingin disampaikannya.
"Oh, PR. Public Relations? Humas?" jawabku. Lalu kenapa kalau ada anak humas baru?
"Dia bakal banyak bantu kita ngurusin iklan. Dia bisa riset juga," kata Nata lagi, masih girang.
"Oke," jawabku singkat. Aku hanya ingin segera masuk ke ruangan dan memproses hasil
hunting fotoku tadi malam.
"Setengah jam lagi, meeting. Sekalian kenalan sama anak baru!" Instruksi.
"Oke, bro", jawabku sambil lalu, dan melangkah masuk ke ruang kerjaku.
Foto untuk terbitan berikutnya harus segera dipilih. Aku menyukai pekerjaan yang selesai
tepat waktu.
---
Meeting pagi.
Saat aku masuk ruang meeting, semua sudah ada di sana. Lagi-lagi aku yang paling terakhir
muncul.
Wanita bermata indah itu ada di sana. Duduk di ujung meja, di sebelah Nata. Matanya
menancap kepadaku. Tatapan yang sungguh galak.
(Part 3)
Aku tahu, mengambil hati Reina dari genggaman Fahri itu nyaris mustahil. Tapi hanya nyaris.
Tak ada yang mustahil.
Masih ada peluang. Karena Reina bahkan sangat naif untuk menyadari besarnya cinta lelaki
itu padanya.
Aku mulai mendekatinya, awalnya dengan cara mengambil hati anak-anak yang dia sayangi
sepenuh hati. Arya, Salsa, dan Anna. Anna, putri Fahri.
Ternyata tak sulit melakukannya. Anak-anak itu sangat mudah dicintai. Tatapan polos dan
ocehan mereka membuatku langsung menyukai ketiga anak itu. Terutama Salsa.
Di awal bertemu, gadis cilik itu memanggilku "Om Ayam". Aku nyaris terbahak
mendengarnya, tapi kutahan, jangan sampai Salsa tersinggung.
Salsa kecil pernah berbisik padaku, "Om Ayam, jangan bikin Bunda nangis ya. Awas!" Lalu
mata bulatnya memelototiku.
"Adek tidak mau Bunda menangis lagi," katanya lagi dengan tatapan mengancam. Lucu.
---
Pendekatanku ke Reina berjalan lancar. Dalam beberapa bulan, usahaku berbuah manis.
Saat akhirnya kuungkapkan perasaanku padanya, dia terkejut. Reina memintaku berpikir
panjang. Dia mengatakan semua kekhawatirannya. Tentang statusnya. Tentang anak-
anaknya. Tentang kerumitan hidup. Bahkan tentang aku yang dianggapnya tak mengerti arti
cinta.
Aku memahami jalan pikirannya. Setiap orang yang mengetahui hubungan kami, pasti akan
berpikiran sama.
Reina janda beranak 2, aku lelaki single. Bahkan usianya lebih tua dariku. Masyarakat kita
masih sangat sensitif tentang masalah itu.
Namun entah mengapa aku tidak peduli. Persetan apa kata mereka. Ini hidupku. Aku mau
Reina.
Saat kutekankan bahwa aku tidak peduli dengan semua itu, hati Reina pun luluh. Dia
akhirnya menerima perasaanku, dan menjadi kekasihku.
Itu mungkin adalah hal paling indah yang pernah terjadi. Wanita sederhana bermata indah
itu, selangkah lagi menjadi milikku. Akhirnya.
Aku mulai bersikap overprotective padanya. Tak ada satu lelakipun yang boleh
mendekatinya. Teringat percakapan teman-teman sekerja kami di kantor lama dulu, betapa
mereka membicarakan Reina dengan cara yang tidak sopan menurutku.
Mereka bilang Reina cantik, bahkan sampai ada yang menggodanya, bergenit-genit setiap
ada kesempatan. Reina tidak pernah mempedulikan mereka, dia tetap dengan gayanya yang
santai, anggun, namun tetap tegas.
Aku yang naik darah setiap mengingat hal itu. Sekarang dia sudah resmi menjadi calon
istriku. Dia milikku. Aku wajib melindunginya.
Masalahnya, Fahri selalu ada di sekeliling Reina. Fahri adalah lelaki yang paling pertama
ditemuinya setiap pagi. Aku tidak suka. Cemburu membakar dadaku.
Sampai akhirnya hari itu aku akhirnya berhadapan dengan Fahri. Dia menatapku dengan
sorot mata tajam. Agak mengerikan sebenarnya. Tapi kuputuskan untuk tetap
menghadapinya tanpa rasa takut.
(Part 4)
Sepulang dari rumah Reina, mama lebih banyak diam sepanjang jalan.
"Tapi?" Desakku.
"Tapi mama tidak yakin papamu akan setuju," ujar mama. Nada suaranya sedih.
"Mama pasti bisa meyakinkan papa kan?" Ujarku lagi. Memaksa.
Aku merasa panik mulai melanda. Mama adalah orang yang selalu mampu membuat papa
melakukan apapun. Dan saat ini mama merasa tidak yakin.
---
Mama tak henti-henti mencoba menyampaikan pendapat pribadinya tentang Reina kepada
papa.
Menggambarkan betapa cantik, lembut, dan baiknya dia. Bahwa segala yang ada pada Reina
belum tentu ada di diri wanita lain, khususnya yang belum pernah menikah.
Dalam setiap kesempatan, aku dan mama terus mencoba meluluhkan hati papa. Setiap kali
pula papa menolak.
Akhirnya, aku memutuskan bertemu Reina dan menyatakan niat untuk melamarnya.
Kukatakan bahwa setelah menikah nanti, aku akan membawanya pergi. Entah mengapa,
rasanya aku sudah nyaris putus asa dengan sikap papa.
Aku bahkan sudah bilang ke Reina, kami akan memulai segalanya dari nol. Aku berniat
pindah kerja ke daerah lain. Menjauh dari Jakarta dan segala keruwetannya.
Reina saat itu terlihat ragu, namun dia mengatakan siap saat kukatakan akan membawa
kedua orang tuaku untuk melamarnya.
Aku sangat bahagia. Dalam hati berharap ada mukjizat yang dapat membuat papa mama
bisa benar-benar melakukan itu.
---
Usahaku dan mama untuk melunakkan hati papa terus berlanjut. Aku belum pernah
sesungguh-sungguh ini meminta pada kedua orang tuaku. Aku mengemis, mengiba,
memohon restu papa untuk melamar Reina.
Namun papa tetap pada pendiriannya. Pendapatnya tentang status Reina tidak berubah,
bahkan mama sudah kehabisan cara untuk membujuk.
Papa membentakku, "Dia janda! Hidupnya penuh masalah. Dia akan menyeretmu kedalam
masalahnya!"
"Reina tidak seperti itu! Dia sangat tegar. Mampu menyelesaikan masalah apapun tanpa
merepotkan orang lain." kataku keras.
Aku melanjutkan, "Cukup papa mama melamar dia untuk Adam, setelahnya kami pergi.
Adam takkan pernah merepotkan mama papa lagi."
"Tidak. Papa tidak akan melamar wanita itu untukmu." Kata papa tegas.
Aku berteriak sekarang, "Kalau begitu Adam akan melamarnya sendiri!" Emosiku
memuncak.
Papa mengatupkan mulut. Tak lama suara papa terdengar, "Kalau kau tetap menikah
dengannya, maka kau bukan anak papa lagi. Takkan ada rumah atau warisan apapun
untukmu!" Tandasnya.
(Part 5)
Hari itu juga kuputuskan, aku harus pergi meninggalkan kota ini.
Aku tak bisa hidup di sini, kota yang ada Reina di setiap sudutnya. Kemanapun mataku
memandang, kemanapun kakiku melangkah, ingatan tentang Reina terus muncul. Udara
berwarna kelabu terasa mencekik. Jakarta membunuhku.
Awalnya aku mengajukan mutasi kerja ke Surabaya, alasannya ada salah satu adik mama di
sana. Tante Maryam selalu baik padaku, beliau pasti akan menerimaku jika pindah kesana.
Mama juga bisa menengokku kapan saja.
Namun setelah kupikir lagi, aku tak ingin ditemukan. Aku ingin memulai hidup yang baru.
Hidup baru, dimana tak ada siapapun yang mengetahui kisahku dengan Reina.
Saat kau ingin melupakan sebuah kenangan menyakitkan, sebaiknya lepaskan semuanya.
Cabut hingga akar-akarnya. Pasti sakit. Tapi itu cara terbaik untuk mempercepat proses
penyembuhan lukamu.
Akhirnya aku mengajukan pengunduran diri. Saat melakukannya, di dalam kepalaku, aku
nyaris bisa membayangkan wajah papa yang marah. Puas rasanya.
Aku lalu menjual studio foto, usaha yang kurintis sejak bertahun-tahun lalu. Terlalu banyak
bayangan Reina di sana.
Motor kesayangan juga kuputuskan dijual. Aku akan membutuhkan setiap receh yang bisa
kukumpulkan, untuk membangun hidup baru nanti.
Langkah terakhir, walau berat. Aku keluar dari grup Para Sahabat. I just left. No explanation.
"Ah, nggak mungkin! Kita ketemu, gue ke studio foto sekarang." Kata Nata, sambil memutus
telepon.
Aku tahu, setelahnya dia pasti menelepon Reina. Dan para sahabat akan segera mengetahui
semuanya. Tak apalah. Toh mereka sahabat kami. Memikirkan kata "kami" saja, hatiku
berdenyut perih.
Saat bertemu Nata, kondisiku sangat menyedihkan. Orang bilang, patah hati itu sakit.
Bohong. Patah hati itu menyiksa. Lebih dari sekedar sakit.
Nata membawakan makanan untukku. Dipaksanya aku makan dulu. Aku mengunyah dan
menelan, tapi tak bisa merasakan nikmatnya makan.
"Lu terakhir makan kapan, Dam?" Tanya Nata.
"Minum." Perintahnya.
Aku patuh.
"Gue udah tau ceritanya dari Rei, and I'm sorry to hear that," ujar Nata.
Aku masih diam. Di dalam kepalaku banyak kalimat yang ingin keluar. Aku ingin menanyakan
kondisi Reina. Apa kabarnya? Apakah dia semenyedihkan aku? Atau justru bahagia tanpaku?
Nata menarik napas panjang. Mata sipitnya menatapku. Ada rasa iba di sana.
"Oke. Kemanapun lu pergi, baik-baik ya. Kalo ada perlu apa-apa, kabarin gue." Kata Nata
sungguh-sungguh.
"…
(Part 6)
Dadaku berdentam-dentam. Rasanya sulit bernapas. Deru kereta api semakin membuatku
merasa tak tenang. Aku khawatir tentang papa.
Tengah malam, aku beranjak dari kursiku. Kakiku melangkah ke gerbong restorasi, perut
mulai terasa keroncongan. Sepertinya aku juga butuh kafein untuk menenangkan diri.
Gerbong restorasi cukup sepi. Aku memilih kursi yang paling pojok, dan mulai menikmati
mie rebus hangat yang nikmat.
"Eh, mas-mas tukang foto! Ketemu lagi!" Mendadak terdengar suara yang cukup familier
tapi mengganggu.
Sebuah tangan mungil menepuk bahuku, dan si pemilik tangan sekarang tiba-tiba sudah
duduk di hadapanku.
Tubuh mungil berkulit putih pucat. Rambut pendek acak-acakan, mata bulat berbinar, dan
gigi kelinci. Tak salah lagi, si cerewet penikmat fotografi.
"Mana kamera yang waktu itu?" Tanyanya dengan mata bulat memandang lurus ke arahku.
"Hah?"
"Jangan pura-pura budek. Mana kamera yang waktu itu?" Diulanginya pertanyaan tadi.
"Hmm.." kataku lagi sambil mengunyah. Berharap dia segera pergi. Aku terganggu dengan
kemunculannya.
"Sudah lama aku ingin beli kamera tipe itu. Tapi harganya muaaahaall sekali. Uang hasil
motret setahun belum cukup untuk membelinya. Bahkan yang second-pun tidak mampu."
Dia bercerita tanpa peduli aku tertarik atau tidak.
Dia melanjutkan, "Waktu aku lihat Mas Adam punya kamera itu, aku langsung jatuh cinta!"
"Adams' Place. It's obvious! Itu namamu kan?" Katanya sambil menatapku riang. Matanya
yang bersinar-sinar, menatapku.
"Tenang, aku bukan jatuh cinta padamu. Tapi pada kameramu," lanjutnya sambil
memberiku tatapan melecehkan.
Aku mendelik, tapi segera menunduk lagi. Mie rebusku sebentar lagi dingin, bisa hilang
kenikmatannya.
"Tenang, aku ngga doyan om-om, kok," katanya lagi sambil tertawa renyah.
"Jangan panggil aku Om, aku tidak pernah menikah dengan tantemu."
"Oh, Om Adam belum menikah?" Tanyanya lagi. Suaranya makin cempreng.
Dia bertanya lagi, "Kenapa belum nikah? Berapa usiamu?". Mata bulatnya menganalisa
wajahku.
Aku tidak menjawab. Berharap dengan diabaikan, gadis ini akan tersinggung lalu pergi.
(Part 7)
Aku bertemu mama yang sedang duduk diam di luar kamar rawat. Matanya menatap
kosong. Wanita yang melahirkanku itu terlihat begitu tua. Rambut mama nyaris putih
seluruhnya, sangat berbeda dari terakhir kali bertemu.
Mama terus menangis sambil terbata-bata bercerita, kuusap punggung mama, berharap
bisa mengurangi kesedihan. Mataku mengabur, tak lama akupun menangis.
---
Papa sadar tak lama setelah itu, kondisinya sangat lemah. Saat melihatku, papa
mengulurkan tangan memintaku mendekat.
"Kamu sudah pulang, kan? Tidak pergi lagi?" Tanya papa lagi.
Kepalaku mengangguk. Walau hatiku berontak, tapi tak mungkin aku berkata tidak untuk
saat ini.
---
Setelah 3 hari dirawat, papa dinyatakan sehat dan boleh pulang. Dokter mengingatkan agar
papa mengelola stres dengan baik. Jantung papa bermasalah, tidak boleh terlalu lelah,
jangan berpikir yang berat-berat.
Namun kebahagiaaan kami tak berlangsung lama. Papa mulai mempertanyakan tentang
rencana hidupku. Menikah salah satu topik utama pembicaraan di rumah ini.
Sekali dua kali, aku bisa menghindar. Lama-lama aku bosan. Hatiku tak tenang. Luka lama
kenangan dengan Reina masih berdenyut perih setiap papa menyinggung tentang kapan aku
akan menikah.
Aku tahu, usiaku sudah 33 tahun. Usia yang sangat matang. Papa berkali-laki mengingatkan
tentang usiaku. Tentang keinginannya menimang cucu. Tentang warisan.
Tutup kuping. Aku tak mau mendengarnya. Kembali ke Jakarta bukan pilihanku, hanya
semata-mata karena aku menyayangi kedua orang tuaku.
Sampai suatu hari, papa berkata dengan nada merendahkan, "Kau masih cinta pada janda
itu, makanya susah untukmu membuka hati."
Sore itu juga, kutinggalkan rumah untuk kedua kalinya. Ternyata kembali ke Jakarta bukan
ide yang baik.
---
Aku kembali ke Yogyakarta, menjalani hari dan rutinitasku lagi. Hari-hari yang damai, hidup
semauku sendiri.
Pelanggan studio fotoku semakin banyak. Bahkan saat ini usahaku melebar, aku sering
menjadi teman seperjalanan, semacam personal tour guide bagi para turis penggila
fotografi. Para traveller berjiwa bebas. Lelah tapi mengasyikkan.
Beberapa dari traveller cewek mengakui terang-terangan jatuh hati padaku. Tua dan muda.
Kadang ada yang tanpa malu menyentuhku, dengan cara yang membuat risih. Mungkin
mereka pikir, aku ini lelaki kesepian. Saat itu terjadi, aku memilih tersenyum, lalu pergi.
Entah bagaimana, aku sama sekali tidak pernah merasa tertarik dengan wanita manapun.
Terngiang kalimat papa, "Kau masih cinta pada janda itu, makanya susah untukmu
membuka hati." Mungkin hati kecilku mengakuinya.
Sore itu, sepulang kuliah Anaya datang lagi, di tangannya ada jinjingan plastik kresek berisi
entah apa.
Kau tahu, dia pernah memberiku seekor anak kucing yang masih merah. Dia memungut
kucing itu dari jalanan, lalu menaruhnya di dalam kotak kardus bergambar makanan. Saat
itu aku masih lugu, kupikir dia berbaik hati membawakan makanan betulan. Jantungku
nyaris copot, saat kubuka kotak itu dan isinya bisa mengeong!
Sejak saat itu aku sangat berhati-hati pada setiap pemberian Anaya.
Dia menyeringai, "Nasi goreng spesial kesukaanmu, dari Marcie." Tatapannya menggoda.
Aku tersipu. Ah, Marcie.. Gadis blasteran Jawa - Perancis pemilik kafe di dekat UGM itu
akhir-akhir ini sedang sering mengirimkan makanan untukku.
Aku membuka bungkusan titipan Marcie, lalu mulai menikmatinya. Sementara Anaya
ngeloyor melewatiku, dan langsung duduk di depan komputer.
"Dam, menurutmu Marcie gimana?" Katanya memulai percakapan, yang aku tahu akan
kemana arahnya.
Akhir-akhir ini Anaya sering mengomporiku untuk mendekati Marcie. Katanya dia bosan
melihatku jomblo terus.
Sambil mengangkat bahu, aku terus menyendokkan nasi goreng ke mulutku. Aku menunggu
gadis itu meneruskan usahanya.
Dia melanjutkan, "Setiap kali aku mampir makan di sana, Marcie selalu bertanya 'How's
Adam?'. Biasanya kujawab 'Adam is still alive'. Gitu."
"Lalu Marcie ketawa, dan menitipkan makanan lagi untukmu. Tapi makananku tetap kena
charge," gerutunya.
"Dia titip salam, lalu minta aku mengingatkanmu agar kesana lagi," ujar Anaya lagi. Matanya
mengamati reaksiku.
"Iya, nanti," jawabku, sambil membersihkan sisa makanan yang sudah ludes.
"Kalau kamu ketemu dia, bilang aku nagih ongkos kirim salam. Paling tidak, free lunch
buatku. Ya? Ya?" Cerocosnya serius.
"Ha! Cumi, bentar lagi kamu punya ibu baru, and free food forever!" Katanya sambil
menyeringai lebar.
---
Tiba di Kafe Marcie, Anaya langsung turun dari boncengan motorku. Sambil berlari kecil, dia
membuka pintu kaca kafe, lalu berkata keras, "Marcie, aku bawa Adam!"…
💔
(Part 9)
"Segitu dulu infonya, nanti gue kabarin lagi," ucapnya, lalu memutuskan pembicaraan.
Kuremas rambut kuat-kuat, berharap sakit kepala yang mendadak muncul bisa sedikit
berkurang.
----
Kubuka mata, Anaya sudah berdiri di samping tempat tidurku. Aku sontak bergerak duduk.
Lalu dia melanjutkan, "Aku mampir sebelum berangkat kuliah, soalnya semalaman WA
kamu dan tidak dijawab."
"Nyampe sini, studio belum buka. Lampu teras masih nyala, si Cumi ngeong-ngeong di
depan pintu. Aku pikir kamu mati," katanya.
Dia menarik tangannya, lalu membungkuk hingga matanya sejajar dengan mataku.
Kuraih cangkir dari tangannya, dan menyesap teh manis buatan Anaya. Hangat menjalari
tubuhku.
Saat aku mengunyah roti isi coklat pemberiannya, Anaya mengamatiku terus. Mata bulatnya
menatap penuh kekhawatiran.
Selesai makan, aku beranjak keluar kamar. Berharap udara pagi Yogyakarta bisa menolong.
Anaya mengikuti dari belakang.
Kami berdua tidak membuka studio hari itu. Anaya juga memutuskan tidak masuk kuliah.
Aku duduk di teras depan, menikmati pemandangan manusia lalu lalang. Anaya duduk di
kursi sebelahku sambil menggendong si kucing hitam.
Aku menoleh sekilas ke arahnya, mata bulat itu memandangku. Dia menunggu.
Cerita tentang aku dan Reina mengalir begitu saja dari bibirku, seolah bosan karena sudah
begitu lama terpendam, dan kini kisah itu memaksa untuk diceritakan.
Anaya menyimak dengan diam. Sesekali mengangguk, terperangah, lalu mengangguk lagi.
Sementara jemarinya terus mengusap kepala si Cumi. Kucing hitam itu tertidur di
pangkuannya.
Setelah semuanya sudah kuceritakan, hatiku terasa lebih ringan. Seolah ada beban berat
yang terangkat dari sana.
"Pantas kamu selalu terlihat murung. Sejak awal mengenalmu, hampir 3 tahun ini, hanya 2
kali aku melihatmu tertawa." Ujarnya.
[10:52, 3/17/2019] Ebu ❤: Untuk jilid 10 dan 11 kisah Lelaki dengan Sayap Patah tidak
dikirim dari sononya... Jadi langsung dari jilid 9 ke 12
LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
(Part 12)
(Adam dan Anaya ke Jakarta menghadiri pernikahan Reina dan Fahri. Setelah beberapa
tahun tidak bertemu, Adam disambut sangat hangat keempat sahabatnya. Anaya
diperkenalkan Adam kepada Nata, Diny, Melly dan Rafi. Anaya yg biasa dengan penampilan
casual dan rambut acak2 an pada acara akad nikah dan resepsi Reina dan Fahri, oleh Diny
didandani menjadi putri yg sangat cantik dan anggun mempesona. Adam menatap Anaya
dengan sangat terpana dan kagum. Demikian pula sahabat - sahabat Adam. Semua
terpesona. Anaya senang tapi merasa kurang nyaman dengan sepatu hak tingginya)
--------
Anaya menatapku sambil mengunyah sesuatu. Sepatu hak tinggi tergeletak di lantai dekat
kakinya. Dia duduk dengan gaya seenaknya, kedua kaki telanjangnya diluruskan ke depan.
"Sini Dam, ini cake coklatnya eeenaaaakk," kata gadis itu sambil mengibas-ngibaskan kertas
kecil bekas alas kuenya.
Aku ikut mencomot sepotong kue dari meja prasmanan, lalu duduk di kursi sebelahnya.
Gadis itu bicara lagi, "Reina cantik ya, Dam." Matanya menghadap ke depan, tidak
menatapku.
Aku mengangguk, sambil mengunyah cake coklatku. Ternyata benar, rasanya enak. Empuk.
Coklatnya terasa pekat.
"Fahri juga ganteng. Padahal dia udah tua ya?" celotehnya lagi. Masih menghadap ke depan,
lalu menyesap minuman di gelas plastik yang sedari tadi dipegangnya.
"Iya. Kamu kan udah tua, berarti dia lebih tua lagi," katanya lagi. Kali ini dia menoleh ke
arahku, mata bulatnya mengamatiku.
Kalimat Anaya membuatku tersadar. Usiaku sudah 35 tahun. Sudah tua. Lalu aku
menyeringai.
"Cepet nikah, Dam. Biar bahagia kayak Reina," celetuk Anaya, mata bulatnya melirikku
sekilas.
"Menurutku, menikah belum tentu bahagia. Kadang kita berpikir, kebahagiaan bisa diukur
dengan menikah, lalu punya anak, bekerja dengan gaji besar, bisa beli apa saja yang
diinginkan," ujarku sambil melayangkan pandangan ke arah para tamu.
Anaya menatapku, menunggu.
Aku melanjutkan "Menurutku bahagia bukan hanya itu. Terlalu dangkal jika menilai
kebahagiaan dari hal-hal seperti itu."
"Menikah takkan membuatmu bahagia, jika kau menikah tanpa niat yang benar. Misal, niat
menikahi seseorang karena kecantikan wajah, kekayaan, atau kesempurnaan fisiknya. Itu
pasti akan terasa indah."
"Namun semua itu akan pudar. Seseorang tak selamanya cantik atau tampan, kaya, dan
langsing. Pada saatnya nanti, wanita tercantik dan lelaki tertampan di duniapun akan
menua. Bisa juga sebelum tua, dia sudah kehilangan semua itu."
"Pernikahan itu jangka panjang, butuh komitmen tingkat tinggi. Jika semua kecantikan fisik
telah memudar, kekayaan tak lagi melimpah, maka komitmenlah yang akan membuat
pernikahan itu bertahan."
Anaya masih terbahak-bahak saat kami keluar dari gedung bioskop. Tawanya menarik
perhatian banyak mata. Aku berjalan di depannya sambil menggelengkan kepala, berlagak
tak kenal dengan gadis yang sedang ngakak di belakang.
Tiba-tiba Anaya menarik bagian belakang jaketku, masih sambil tertawa.
Dia tergelak lagi, lalu menutup mulutnya sambil menggembungkan pipi. Matanya bersinar
jenaka, seolah berkata "Lihat, aku berhenti tertawa, walau susah. Hahahahaha.."
Sebenarnya aku malu, tertidur di bahu Anaya sepanjang film tadi. Aku ini lelaki, tapi insiden
tidur itu membuatku terlihat seperti gadis belasan tahun yang bermanja-manja pada
pacarnya. Huh. Itu bukan styleku. Itu bukan Adam banget!
Tiba di luar, malam sudah semakin larut. Lalu lintas Jakarta masih tetap padat. Malam
minggu adalah malam panjang untuk warga Jakarta. Kota ini akan menyala sepanjang
malam.
Perutku keroncongan. Baru menyadari betapa aku nyaris tidak makan hari ini. Di pernikahan
Reina-Fahri, aku hanya mencicipi beberapa kudapan, tanpa nasi.
Kulirik gadis yang berjalan di sebelahku. Dia masih sibuk nyerocos tentang betapa
disayangkannya aku tertidur saat menonton film fenomenal itu.
"Orang normal mengantri panjang untuk dapat tiket nonton film tadi. Orang aneh, tidur saat
film mulai tayang!" katanya keras-keras dengan nada mengejek.
"Nay, laper. Cari makan yuk?" ajakku. Dan segera saja mata bulatnya berbinar-binar
menatapku.
Anaya memesan satu porsi nasi plus pecel lele, kangkung cah udang, satu lele goreng
tambahan, dan dua botol air mineral. Mungkin perutnya memang berkapasitas besar.
Aku memesan yang normal saja, satu porsi pecel lele dan segelas teh hangat.
Pesanan datang, kami segera menikmatinya dengan membabi buta. Makan di saat lapar itu
sungguh nikmat, kawan.
Tak lama, semua makanan di meja, tandas. Anaya masih memesan tahu goreng, untuk
cemilan. Ck ck ck. Kadang aku curiga, dia punya lambung cadangan di dalam sana.
"Heh, kenapa menatapku seperti itu?" sentaknya, mengagetkan.
Aku menyeringai.
"Aku hanya penasaran, kemana larinya semua makanan itu," kataku sambil menahan tawa.
"Entahlah, mungkin langsung dilahap sama naga api di dalam perutku," jawabnya enteng.
Anaya menatapku, lalu berkata hati-hati, "Seharian tadi teman-temanmu menggoda tentang
kamu pacaran denganku. Apakah itu mengganggumu?"
Aku tersedak. Pertanyaan itu yang juga bergaung di dalam kepalaku sepanjang hari.
Kutatap mata bulatnya yang seolah sedang meneliti, lalu aku menunduk sambil mengaduk
teh hangat di depanku.
Malam menjelang.
Kutatap pantulan diriku di cermin besar. Lelaki itu bertubuh tinggi, ramping namun kokoh.
Berbahu lebar, dengan dada yang bidang. Kulit gelap eksotis, rambut hitam sedikit acak-
acakan yang menutupi sebagian wajah dan tengkuknya.
Sorot mata lelaki itu terkesan tidak bersahabat, tatapannya dalam, dengan alis tebal yang
hampir menyatu di atas pucuk hidung mancungnya. Tulang pipi tinggi, bibir tipis yang
senantiasa terkatup rapat. Dagu dan bagian atas bibirnya mulai ditumbuhi rambut tipis tak
beraturan.
Lelaki itu aku. Adam yang telah matang, namun bahkan tak bisa memahami mengapa tak
pernah ada cinta lain hinggap di hatinya setelah Reina.
Jika kuingat lagi kata-kata Anaya siang tadi, semakin aku yakin dia benar. Mungkin memang
aku terlalu takut sayapku patah lagi.
Sebenarnya aku merasa nyaman dengan gadis lincah bermata bulat itu. Bahkan aku mulai
menyayanginya. Jika dia tak ada, hariku seolah berjalan begitu lambat. Membosankan.
Namun rasanya tak ada getaran yang seperti dulu, saat aku mencintai Reina. Dengan Anaya,
aku merasa tenang, tidak ada rasa takut akan kehilangannya. Aku merasa Anaya akan selalu
ada dalam hidupku. Gadis mungil bermata bulat itu takkan kemana-mana.
Aku mengenakan hoodie hitamku, menyambar helm, lalu meluncur ke Kafe Marcie.
Udaranya cukup dingin di luar.
----
Tiba di sana, Marcie telah menungguku. Gadis bule itu terlihat begitu cantik dengan terusan
selutut model simple lengan pendek berwarna merah marun. Kaki jenjang yang putih
terlihat jelas. Belahan dadanya terlalu rendah. Ya tapi begitulah Marcie, kan?
Dia menatapku bingung. Mungkin karena dandananku tidak jauh berbeda dengan biasanya.
Jins dan kaus, ditutupi oleh jaket model hoodie hitam dan kaki beralaskan sepatu casual
berwarna abu-abu.
Yang sedikit berbeda adalah aku tadi mencukur sedikit kumis dan jenggot hingga wajahku
terlihat agak bersih. Rambutku juga kusisir lebih lama, namun sekarang sudah acak-acakan
lagi.
Aku mengangguk.
"Terima kasih. Kamu juga cantik," pujiku.
Saat melangkah keluar, mendadak hujan turun begitu deras. Kami berdua saling
berpandangan. Marcie mendongakkan kepala memandangku.
"Adam, sepertinya semesta tidak mendukung kita kencan di luar malam ini."
Aku menatap rinai hujan di depan sana. Derainya membawa perasaan damai di hati. Sejak
dulu aku selalu menyukai hujan.
Marcie lalu berbalik masuk ke dalam kafe, ditariknya aku agar ikut masuk.
Aku melangkah ke dalam kafe. Marcie mempersilahkan aku duduk di pojokan favoritku di
ujung ruangan, dekat dengan jendela. Aku melanjutkan menatap rinai hujanku di luar sana,
lalu terhanyut dalam nostalgia.
---
Aku teringat, dulu pernah berlari di bawah hujan bersama Anaya. Waktu itu kami sedang
hunting foto di kawasan Laweyan, Solo.
Aku meliput kegiatan para pengusaha batik rumahan di sana, se…
Rintik hujan masih menyirami kota Yogyakarta. Udara malam ini terasa dingin menyejukkan.
Aku berdiri di depan rumah Anaya. Detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Kutarik napas
panjang, berharap kalimat-kalimat yang sudah ada di kepala nanti akan lancar
tersampaikan.
Sepanjang jalan menuju kesini, aku memikirkan hubunganku dengan Anaya. Kami begitu
dekat. Begitu terikat. Memang bukan cinta yang menggebu, melainkan bentuk kasih sayang
yang masih belum mampu kuuraikan.
Tak ada rindu yang menyiksa. Namun setiap bertemu dengannya, aku merasa tenang dan
bahagia. Bersyukur setiap memandang layar HP dan namanya muncul, walau hanya sekedar
percakapan tak jelas.
Tak ada kata-kata penuh cinta. Namun setiap berbicara dengannya, waktu terasa begitu
berharga. Tak ingin cepat berakhir. Aku bisa membicarakan apapun dengannya, bahkan hal
paling memalukan sekalipun.
Tak ada romantisme seperti yang kerap kubaca atau tonton. Namun saat bersamanya, aku
merasa bisa menjadi diri sendiri. Bahkan aku bisa menuangkan pemikiranku dengan bicara
panjang lebar, dan tak ada rasa khawatir dia akan menilaiku salah.
Tak ada ungkapan kata manis penuh cinta. Namun segala sesuatu yang terjadi, apapun yang
kurasakan, dia selalu menjadi orang pertama yang kuberitahu.
Anaya selalu ada untukku, seperti udara yang kuhirup. Tak terlihat tapi membuatku
bertahan hidup.
Aku tersenyum lagi, lalu memasuki halaman rumah dengan arsitektur sederhana khas Jawa
itu.
[Heh? Lagi kencan, malah chat aku] pesannya diikuti emoticon wajah kuning bulat yang
meleletkan lidah.
[Kesini, Nay]
Anaya is typing....
Mendadak pintu di hadapanku menjeblak terbuka. Wajah Anaya muncul, terlihat bingung
tapi ada kilat senang di sana.
"Hei, ngapain? Mana Marcie?" tanyanya sambil melihat sekeliling. Mungkin dia pikir Marcie
sedang bersembunyi dan akan tiba-tiba muncul dengan membawa gudeg kesukaannya.
Anaya mengenakan kaus longgar berwarna putih kusam yang bagian lehernya tampak
melar. Celana panjang berbahan kaus dengan motif teddy bear warna kuning, sebelah
kirinya tergulung ke atas.
Rambut sebahunya dijepit membentuk cepol kecil di atas tengkuknya. Ada sisa remah-
remah makanan di pinggir bibirnya.
"Yailah, dari tadi berdiri di situ, kamu haus?" katanya sambil tertawa lalu menarik tanganku
masuk ke dalam rumah.
Jumat pagi.
Cuaca Yogyakarta cukup dingin. Kurapatkan jaket, memeluk diri sendiri. Secangkir teh
hangat kuseduh, semoga bisa membantu mengurangi rasa dingin.
3 hari sudah aku tak bertemu dengannya. Kami bahkan tidak berkomunikasi lewat telepon.
Aku tak mau mengganggu konsentrasinya. Itu kesepakatan yang kusesali. Aku rindu.
Untunglah aku sudah berjanji menjemputnya di kampus. Kami akan bertemu sebentar lagi.
[Makasiiih.. Eh, nanti jadi jemput?] tanyanya. Aku seolah bisa melihat mata bulatnya
berbinar.
[Jadi]
[Ketemu di tempat Marcie aja, ya?] pintanya. Lho?
Anaya is typing...
Anaya is typing....
---
Pukul 10.35
Tiba di Kafe Marcie, aku langsung menuju spot favorit yang kosong di ujung sana. Ada
Marcie sedang duduk di salah satu kursinya. Mata kelabunya menatapku. Senyum manis
menghiasi wajah cantiknya.
Gadis itu berdiri menghampiri, lalu menggamit lenganku. Dia mengajakku duduk
bersamanya.
"Adam, how's Anaya? Hari ini dia sidang, betul?" tanyanya dengan nada perhatian yang
begitu tulus
Aku tersenyum.
"Iya, dia sidang hari ini. Selesai sidang, dia akan menemuiku di sini."
"Tadi pagi dia mampir kesini, ask me to wish her luck. Kukatakan, dia pasti bisa. Anak
pintar," kata Marcie lagi.
Aku mengangguk-angguk.
"Kau mau pesan makanan?" tanyanya.
Aku mengangguk lagi, lalu menoleh keluar jendela, berharap Anaya muncul dengan
langkahnya yang seringan peri.
---
Tak lama, mataku menangkap sosoknya di seberang jalan. Dia melangkah cepat sambil
tersenyum lebar. Nampaknya sidang berjalan lancar.
Saat matanya menatapku, senyum gigi kelincinya mengembang semakin lebar. Dia
melambaikan tangan, lalu bergegas menyeberang jalan dengan matanya berbinar ke
arahku.
Sebuah mobil melaju cepat, lalu menghantam tubuh mungilnya, hingga terpental beberapa
meter. Suara ban berdecit, dan mobil tersebut berhenti setelah menabrak tiang listrik.
Semua seperti gerakan super lambat di mataku. Tatapan mata Anaya penuh senyum
kepadaku, sedetik kemudian tubuhnya menghilang.
Kurasakan ada seseorang duduk di sebelahku. Marcie. Dia duduk sambil memeluk lutut.
Mata kelabunya masih berurai air mata. Bibirnya bergetar mengucap doa entah apa.
Pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter dan perawat keluar dari sana.
Aku dan Marcie berdiri serentak. Memandang penuh harap kepada mereka.
Dokter menghampiriku. Matanya berselimut duka. Dia menggeleng pelan, lalu mengatakan
sesuatu yang takkan pernah akan kulupakan seumur hidupku.
"Maaf, Mas. Kami sudah berusaha, namun luka Anaya terlalu parah. Kami tidak dapat
menyelamatkannya."
Samar kudengar Marcie menangis di sebelahku. Sementara aku berusaha tetap berdiri di
atas kedua kakiku.
---
Tim medis bekerja cepat membersihkan tubuh Anaya yang sudah mulai kaku.
Aku menelpon om dan tante Anaya. Mereka harus datang untuk mengambil jenazah Anaya.
Tante Rina menangis histeris, menyayat hati. Aku turut menangis di dalam hati.
Aku mengetikkan kalimat itu dengan air mata yang terus mengalir di wajahku.
Bergantian Diny, Nata, Melly, dan Rafi menelponku. Mereka semua menangis, namun tetap
berusaha memberiku kata-kata penghiburan.
Aku diam. Kakiku seolah tidak berpijak di bumi. Masih belum dapat mempercayai kenyataan
yang terjadi.
Marcie duduk di depan kamar jenazah, matanya sembap. Bibirnya masih bergetar oleh
tangis yang seolah tanpa jeda.
Pernahkah kau merasakan sakit yang luar biasa? Seperti tertusuk pisau hingga menembus
jantungmu? Kau kesakitan, merasa sulit bernapas, menyadari bahwa waktumu telah tiba.
Kau akan segera menghadap Penciptamu.
Namun ternyata tidak, Dia tidak mengambilmu. Dibiarkannya kau mengerang kesakitan,
berupaya mencabut bilah pisau itu dari dadamu sendiri.
Aku tahu persis rasanya. Bedanya, di dadaku tak nampak pisau yang menghunjam. Tak ada
darah yang mengalir. Namun rasa sakitnya melebihi itu. Terlalu sakit, hingga aku berharap
mati saja.
----
Keluarga Anaya memutuskan untuk memakamkan Anaya sore itu juga, selepas Ashar.
Tante Rina berkali-kali pingsan dalam pelukan suaminya. Aku ikut mengantar jenazah Anaya
ke rumah duka. Tubuhnya akan disemayamkan di sana hingga saatnya dimakamkan nanti.
Marcie datang membawakanku pakaian ganti. Entah dari mana dia mendapatkannya, aku
tak peduli.
Aku meminta ijin Tante Rina untuk membersihkan diri di rumah mereka.
Di dalam kamar mandi, kutatap pantulanku di kaca. Pakaianku penuh noda darah Anaya,
begitupun wajahku. Aku ingat, tadi aku menciumi rambutnya.
Rambut Anaya yang selalu wangi, walau terlihat acak-acakan. Dadaku terasa sesak lagi.
Segera kubersihkan tubuh di bawah shower. Air hangat menyiramiku, tapi entah mengapa
tubuhku masih terasa dingin. Tanpa sadar aku menggigil, air mataku mengalir lagi
membayangkan tubuh kaku Anaya bersemayam di ruang tamu.
_______
Suara langkah kaki terdengar dari kamar Halimah yang begitu gelap, tak ada cahaya lampu
disana, hanya sinar rembulan yang menerangi kamarnya dan dua buah lilin yang diletakkan
Mbok sum saat senja menjelang malam tadi.
Suara langkah itu makin jelas, kemudian tanpa ada yang mengetuk pintu gagang pintu itu
pun berputar, Halimah benar-benar merasakan ketakutan yang amat mendalam,
“Astagfirullah…Astagfirullah.. Allahuma ya Allah lindungi aku” Ia terus menerus berdzikir,
wajahnya semakin panik ketakutan, bibirnya biru, tubuhnya pun menjadi dingin, ia
mengamati pintu itu tanpa berkedip, dan terbuka.
Laki-laki itu berdiri didepan pintunya, ia sungguh menakutkan, sinar diwajahnya sama sekali
tidak Nampak, rambutnya yang panjang juga janggut dipipi yang memenuhi isi wajahnya.
“Mau apa kamu?” Jawab Halimah gusar, “Jangan mendekat!” Lanjutnya lagi sambil berteriak
seraya mengambil benda keras disebelahnya untuk ia gunakan sebagai senjata.
“Aku mohon jangan..aku mohon!” pinta Halimah ia menangis ketakutan, ia berteriak namun
tak mampu membangunkan setiap jiwa yang ada disekelilingnya ruangan itu begitu rapat
dan jauh dari warga.
"Aku mohoon jangan...!" jiwanya sudah kaku ia terjebak, ia sudah tak mampu melawan.
“Bukankah ajaranmu itu yang selalu menyuruh istrinya untuk Taat pada suami?” jawabnya
seraya menangkap tangan wanita yang sudah tak berdaya itu.
“Aku mohon… jangan lakukan ini.. aku mohon..!” Jawab Halimah memohon tangisannya
pecah, laki-laki itu menciumi wajahnya dengan penuh nafsu dan kegilaan layaknya setan
yang haus akan darah.
“Non… Non… bangun Non..!” Suara itu terdengar ditelinganya dengan jelas.
Astagfirullah..
Astagfirullah..” setelah itu ia meludah kekiri, “Alhamdulillah ya Allah ini hanya mimpi,
terimakasih ya Mbok sum sudah membangunkan saya.”
“Ya Non, Non.. Aden sudah manggil Non dari tadi.”
Setelah ia bisa mengontrol emosi juga rasa takutnya, Halimah keluar, ia menuju kearah meja
makan, saat itu sudah pukul delapan malam, Rumah itu bagaikan istana baginya, sungguh
besar untuk menuju ke setiap ruangan ia perlu berjalan antara 10 hingga 15 meter. Ia pun
berhenti diruang makan, laki-laki itu yang bahkan baru ia kenal sehari ini sudah duduk
dikursi meja makan, ia duduk paling depan menghadap kearahnya,
“Baru sebentar aja udah males-malesan.” Jawab laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya
itu.
“Maaf saya sangat lelah, tadi saya ketiduran.” Jawab Halimah mendekatinya.
“Duduk!” perintahnya.
“Siapa yang suruh kamu duduk disitu?” Halimah sangat kaget mendengarnya, buru-buru ia
berdiri.
Halimah d…
Tiga malam berlalu, Halimah berdiri didepan rumah, ia memandangi bulan. Rasanya ia ingin
sekali berteriak pada bulan untuk menyampaikan rindunya yang teramat dalam pada laki-
laki pujaan hatinya, kadang ia diam, kadang ia berpuisi, kadang ia tersenyum, kadang ia
menangis. Halimah Gadis desa itu sedang dimabuk cinta, ia sangat begitu mengharapkan
kehadiran Haikal dihadapannya.
“Assalamualaikum.".
“Waalaikumsalam Ayu!” Sahabat dekatnya itu datang mengunjunginya, Ayu adalah putri
dari Kepala Desa, ia sahabat dekatnya sejak SMP.
“Halimah, aku sudah tahu kedekatanmu dengan Haikal. Baiknya kamu tinggalkan Haikal.”
“Loh kenapa yu? Mas Haikal sudah melamarku yu, insyaAllah bulan depan kami menikah!”
tegasnya.
“Kalau begitu kamu hati-hati ya.” Jawabnya memperingati seraya meninggalkan Halimah
didalam keheningan malam.
Halimah sedikit khawatir dengan ucapan Ayu barusan, hanya saja ia meyakini barang kali
Ayu hanya ingin menyampaikan pesan, bahwa keluarganya dengan keluarga Haikal tak
semapan, atau mungkin Ayu cemburu.
Halimah tak bisa tidur memikirkan sikap Ayu padanya semalam, kenapa wanita itu
menyuruh untuk berhati-hati, apa yang akan terjadi jika ia tetap menikah dengan Haikal.
Halimah bangun dari tidurnya ia berdoa di sepertiga malam memohon keselamatan baginya
juga laki-laki yang hendak akan menikahinya.
Pagi hari, aktivitasnya berjalan seperti biasa ia membuat sarapan, membereskan rumah,
sholat subuh, lalu berangkat kerja, saat matahari sudah menunjukkan keperkasaannya, ia
kembali mengayuh sepeda. Hari itu sinar matahari tidak begitu terang, cahayanya tertutupi
oleh gumpalan awan Yang terbentui sangat Indah. Mendung , namun tak Ada tanda-tanda
lain Akan turunnya hujan, Halimah terus mengayuh sepeda Tak lupa ia melemparkan
senyum pada setiap warga Yang melintas dihadapannya, dan kemudian seperti biasa ia
akan berjumpa dengan beberapa anak yang bermain di Gedong tua sambil berteriak-teriak
“Setaan..metuu, Setan metuu”(setan keluar, setan keluar).
Seperti biasa ia pun mengusir kerusuhan mereka, ia memandang keatas, melihat gedong tua
yang nampak memang tak berpenghuni, rumah itu sangat besar pantas disebut gedong
warna putih pada cat dindingnya sudah berubah gelap kecoklatan, pepohonan disekitar
rimbun bagaikan hutan yang tak terjamah, dedaunan kering dan sudah dua musim berlalu
menumpuk membuat rumah itu semakin angker dan menakutkan, jika senja tiba kabut akan
berkumpul menyelimuti rumah itu dan tak ada satupun yang berani melewati rumahnya,
hanya mereka yang menggunakan kendaraan beroda empat saja yang berani melintas
didepannya.
Halimah terperangah, ada tirai yang bergerak disalah satu jendela atas lantai dua, ia sangat
kaget dan takut, ia kayuh kembali sepe…
_______
Alunan ayat suci sendu terdengar di tengah keheningan malam. Gelapnya malam tak terlalu
tampak dengan tertutupnya jendela dengan kain tipis berwarna putih dikamarnya. Cahaya
lampu menjadi begitu mempesona ketika malam tanpa mentari dan hanya rembulan yang
datang dengan sinar tanpa silau.
Mulut Halimah semangat melantunkan ayat-ayat Tuhan, tak sedikit yang mengatakan
suaranya terdengar amat merdu, ia terkenal didesanya sebagai guru ngaji di surau masjid
Pendopo desa, 5 kali dalam seminggu ia mengajar setiap harinya, dan ia harus mengayuh
sepeda menuju surau yang kurang lebih 10 kilometer dari rumahnya, melewati lembah
perbukitan lalu turun mengikuti arus sungai mengalir.
Desanya memang sangat terpencil, setiap warga pasti memiliki kendaraan roda dua tak
bermesin, hanya orang-orang mampu dan sugih (kaya) saja yang mampu membeli
kendaraan bermesin.
Desa kecil di kaki gunung lawu ini adalah desa terakhir dari semua desa yang menuju kekota,
udaranya sangat dingin kadang kabut datang lebih awal dari semestinya, pukul delapan
malam kabut-kabut itu akan berkumpul membuyarkan pandangan, tak satupun warga desa
yang berani keluar dari rumah, mereka sibuk bershalawat, bertasbih, dan ada pula yang
bersemedi, mandi kembang dan banyak lagi ritual lainnya yang dilakukan saat malam sudah
menjemput.
Halimah konsisten, sehabis Isya ia habiskan waktunya untuk menderes bacaan quraannya
dirumah bersama dua adik laki-lakinya dan ibunya yang renta. Malam itu langit cerah
bintang tersenyum menyambut alunan suaranya yang merdu, bulanpun meruncingkan
sabitnya dan membentuk sebuah lengkungan indah untuk menunjukkan indahnya
kebesaran Tuhan.
““shadaqallahul Adzim” (Maha benar Allah Yang Maha Agung ...) Ucapnya terakhir seraya
mencium mushaf bersampul emas yang ada digenggamannya.
“Nduk.., kenapa kamu berhenti nduk… ?” teriak ibunya dari ruang tengah, ia sedang sibuk
menjahit dan kedua adiknya sedang sibuk belajar. Tak ada TV dirumahnya yang bisa
membantu hari-hari mereka ceria. Hanya ada beberapa tumpuk buku peninggalan ayahnya,
mesin jahit tua milik ibunya dan dua buah sepeda ontel satu miliknya, dan yang satu milik
mendiang Ayahnya yang sekarang dipakai Sur dan Dwi kedua adiknya.
“Wah serius banget toh?, kamu sms dia nduk jangan malam-malam tidak enak dengan
tetangga.”
“Nggih bue.”
Tak lama suara motor terdengar tiba di pekarangan mereka, kebanyakan orang kampung
masih mengendarai RX King, suaranya memang kurang enak terdengar namun tarikannya
untuk melewati perbukitan perlu diberikan bintang. Ustad Haikal turun dari motor, ia
bersama ustad Sholih pengurus surau tempat Halimah mengajar., lalu kemudian Faisal
sahabatnya menyusul dari belakang.
“Assalamualaikum..” Suaranya yang tebal itu terdengar, menggetarkan hati Halimah yang
sedang bersiap memilih kerudung terbaik.
_______
Tiga malam berlalu, Halimah berdiri didepan rumah, ia memandangi bulan. Rasanya ia ingin
sekali berteriak pada bulan untuk menyampaikan rindunya yang teramat dalam pada laki-
laki pujaan hatinya, kadang ia diam, kadang ia berpuisi, kadang ia tersenyum, kadang ia
menangis. Halimah Gadis desa itu sedang dimabuk cinta, ia sangat begitu mengharapkan
kehadiran Haikal dihadapannya.
“Assalamualaikum.".
“Waalaikumsalam Ayu!” Sahabat dekatnya itu datang mengunjunginya, Ayu adalah putri
dari Kepala Desa, ia sahabat dekatnya sejak SMP.
“Halimah, aku sudah tahu kedekatanmu dengan Haikal. Baiknya kamu tinggalkan Haikal.”
“Loh kenapa yu? Mas Haikal sudah melamarku yu, insyaAllah bulan depan kami menikah!”
tegasnya.
“Kenapa?”
Halimah sedikit khawatir dengan ucapan Ayu barusan, hanya saja ia meyakini barang kali
Ayu hanya ingin menyampaikan pesan, bahwa keluarganya dengan keluarga Haikal tak
semapan, atau mungkin Ayu cemburu.
Halimah tak bisa tidur memikirkan sikap Ayu padanya semalam, kenapa wanita itu
menyuruh untuk berhati-hati, apa yang akan terjadi jika ia tetap menikah dengan Haikal.
Halimah bangun dari tidurnya ia berdoa di sepertiga malam memohon keselamatan baginya
juga laki-laki yang hendak akan menikahinya.
Pagi hari, aktivitasnya berjalan seperti biasa ia membuat sarapan, membereskan rumah,
sholat subuh, lalu berangkat kerja, saat matahari sudah menunjukkan keperkasaannya, ia
kembali mengayuh sepeda. Hari itu sinar matahari tidak begitu terang, cahayanya tertutupi
oleh gumpalan awan Yang terbentui sangat Indah. Mendung , namun tak Ada tanda-tanda
lain Akan turunnya hujan, Halimah terus mengayuh sepeda Tak lupa ia melemparkan
senyum pada setiap warga Yang melintas dihadapannya, dan kemudian seperti biasa ia
akan berjumpa dengan beberapa anak yang bermain di Gedong tua sambil berteriak-teriak
Seperti biasa ia pun mengusir kerusuhan mereka, ia memandang keatas, melihat gedong tua
yang nampak memang tak berpenghuni, rumah itu sangat besar pantas disebut gedong
warna putih pada cat dindingnya sudah berubah gelap kecoklatan, pepohonan disekitar
rimbun bagaikan hutan yang tak terjamah, dedaunan kering dan sudah dua musim berlalu
menumpuk membuat rumah itu semakin angker dan menakutkan, jika senja tiba kabut akan
berkumpul menyelimuti rumah itu dan tak ada satupun yang berani melewati rumahnya,
hanya mereka yang menggunakan kendaraan beroda empat saja yang berani melintas
didepannya.
Halimah terperangah, ada tirai yang bergerak disalah satu jendela atas lantai dua, ia sangat
kaget dan takut, ia kayuh kembali sepe…
______
Malam semakin larut, Halimah dan kedua adiknya sholat berjamaah disebelah tubuh
Dasinun yang tak berdaya, Dwi yang menjadi imam sholat tak sanggup membaca ayat-ayat
Allah ia tahu betul arti dari Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an) Alfatihah, ia membacakan
dengan lantang seraya menangis terisak-isak, Dwi memberikan penekanan pada ayat
“Maaliki yawmiddiin yang artinya “Yang menguasai Hari Pembalasan”, ada dendam
membara dalam hatinya melihat keluarganya diperlakukan bagai sampah.
Setelah salam, tangisan Halimah pecah, Dwi dan Sur memeluknya dengan erat diatas koran
yang mereka jadikan alas untuk bersujud.
Malam berlalu, pagi menjadi satu-satunya harapan mereka untuk tetap bertahan. Halimah
harus bangkit mencari uang, ia harus membiayai biaya Rumah Sakit yang tak sedikit nilainya,
Dwi dan Sur pun harus tetap bersekolah. Halimah berfikir keras, ia tak memegang satu
rupiah pun ditangannya.
“Dwi, Sur, Mba mau pulang dulu kerumah, Mba harap celengan ibu juga Mba masih
tersimpan rapat di lemari, semalam kita terlalu panik sehingga lupa apa saja yang harus kita
bawa.”
“Jangan mba, bahaya!” cetus dwi “tidak ada jalan lagi, Mba harus kesana wi.” Jawab
Halimah.
Halimah mengangguk ,
“Sur, Mba dan Mas Dwi pergi dulu ya, jaga bue ya kalau kamu lapar, kamu minum air putih
saja dulu yang banyak ya sur, Insya Allah Mba dan mas Dwi akan datang bawa makanan.”
Lanjut Halimah. Ia menangis, dan menguatkan adiknya yang masih duduk dibangku SD itu,
Sur memeluk tubuh Mbanya ia tersenyum dan menguatkan Mbanya.
Halimah dan Dwi berangkat menggunakan sepeda ontel yang berhasil mereka pinjam oleh
petugas Rumah Sakit yang iba pada mereka. Dwi mengayuh sepeda itu dengan hati-hati,
Halimah memeluk tubuhnya dengan erat, pandangan mereka kosong. Air mata Halimah tak
henti-hentinya mengalir.
Sesampai di desa mereka berjalan pelan-pelan menyelinap seperti maling, mereka masuk
kedalam rumah, ruang tamu,kamar depan milik Dasinun juga ruang tengah sudah habis
terbakar hanya tersisa dapur dan dua kamar belakang. Bersyukur beberapa pakaian juga
celengan yang ia simpan dilemarinya masih tertata rapih, ia mengambil beberapa plastik
dan memasukkan segala kebutuhan didalamnya, begitupun Dwi yang mengambil beberapa
kebutuhan untuknya juga Sur.
Halimah menuju kamar Dasinun yang sudah terbakar habis, ia berharap celengan ibunya
masih selamat. “Alhamdulillah”pujinya, Dasinun menyimpan uangnya ditoples kaleng bekas
biscuit, celengannya utuh hanya warnanya saja jadi hitam.
Halimah diam-diam bersama Dwi keluar dari bangunan yang hampir roboh itu, dari jauh
suara yang tak ia inginkan terdengar “HALIMAH!” Ia kaget, Dwi dan Halimah buru-buru naik
keatas sepedanya, namun kalah cepat dengan langkah warga yang ingin mengulangi
kesalahan mereka lagi.
“HALIMAH, KELUAR KAMU DARI KAMPUNG KAMI!” teriak seorang wanita yang seusia
dengan Dasinun. Halimah diam ia tak menghiraukan kata-kata mereka.
“PERGI KAMU HALIMAH!” usir mereka kembali. Seseorang berusaha mengulangi kejahatan
serupa, ia melemparka…
______
Halimah bergegas, ia meninggalkan Rhandra sendiri halimah pergi ke dapur, Mbok sum
sudah siap dengan beberapa sayuran yang sudah dibeli pak Darmin setiap minggunya.
“Biar saya saja yang masak mbok.” Halimah lebih tenang, rasa takut juga trauma akan
gangguan makhluk astral itu sedikit berkurang.
“Den Rhandra hanya makan sayur-sayuran, dada ayam tanpa kulit, ikan, beras merah, roti
gandum, buah-buahan kecuali yang asam, buah alpukat ia sangat suka, dan semua harus
dimasak tanpa minyak Non, kalau Non mau pakai minyak, hanya boleh menggunakan
minyak zaitun, semua sudah Mbok catat dan tempel di kulkas, oh ya susu kedelai, mbok
sudah buatkan stok untuk Aden Non, nanti tinggal dihangatkan saja, ia hanya boleh minum
susu nabati Non, setiap pagi biasanya Mbok bawakan dia susu kedelai ditambah roti isi
sayur.”
Halimah membuatkan roti isi yang berbeda dengan yang si mbok buat kemarin, kemarin
pagi ia sempat mencicipi roti buatan si Mbok, pagi ini ia ingin membuatnya sedikit berbeda
dengan tulus ia membuatkan roti isi sayur yang ia campur dengan potongan daging ayam
yang sudah direbus lalu ia potong kecil-kecil, ia campurkan semua sayuran juga ayam
kedalamnya ia tambahkan minyak zaitun, garam dan sedikit lada. Halimah lalu memanggang
sedikit rotinya, terakhir menyusunnya menjadi potongan roti isi yang lezat, brokoli dan
wortel rebus yang sudah ia bumbui menjadi penghias disekitarnya, Halimah memang pandai
memasak. Halimah berharap Roti ini bisa mengungkapkan rasa terimakasihnya pada
Rhandra.
Pelan Halimah membawa nampan itu menuju kekamarnya, didalamnya Rhandra masih
tertidur pulas, ia belum beranjak dari posisi ia tidur semalam, meringkuk dan menghadap ke
arah pintu.
Halimah meletakkan roti isi juga susu kedelai itu di nakas sebelah Rhandra kemudian ia
duduk dilantai persis disebelahnya berhadapan dengan wajahnya. Halimah terpaku, ia
duduk dan mengamati Rhandra lebih dalam, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung,
juga kulitnya yang sedikit agak kecoklatan, Rhandra terlihat begitu manis saat tertidur
sejenak ia teringat dengan Haikal, ia membandingkan wajah juga prilakunya yang sangat
berbeda jauh dengannya, Haikal pun juga memiliki hidung yang mancung, bibir yang tipis
dan warna kulit sedikit lebih putih dibandingkan Rhandra, namun ia berbeda
ketidakpercayaan nya padanya sungguh membuah Halimah kecewa, bahkan Rhandra bisa
jadi lebih baik darinya.
Halimah hanyut, tiba-tiba hembusan angin menerpa wajahnya, hijab yang ia kenakan lepas
seketika, Alam seperti menunggu penyatuan dua insan yang sudah sah menjadi sepasa…
Rembulan malam tertutup awan gelap, kamar Halimah malam itu terlihat lebih gelap dari
biasanya, setelah semalam ia resmi menjadi istri sah dari Rhandra Abyakta pikiran liar terus
menghantuinya, ia membayangkan laki-laki itu akan datang kekamarnya dan mencabik-
cabik kehormatannya, seluruh tubuhnya berkeringat, kepalanya terus menggeleng-geleng
memikirkannya ia terus berdoa agar Laki-laki yang kini menjadi suaminya itu tidak
merenggut kesuciannya malam ini.
“Deg..deg..”
Suara langkah kaki itu menuju kamarnya, malam itu sudah pukul satu malam dan Halimah
masih terjaga karena khawatir, Halimah merespon ia berlari menuju arah pintu, ia menarik
nakas yang berada disebelah tempat tidurnya lalu ia rapatkan dipintu dengan rapat, dan
benar kenop pintunya berputar, dorongan kuat dari arah luar untuk membuka pintunya tak
bisa ia bendung, Halimah terlempar, Rhandra mendorong pintu yang terhalang oleh nakas.
“Ini..!” Rhandra melemparkan pakaian padanya, “ganti pakaianmu itu, pakaianmu sudah tak
layak.” Halimah memang belum berganti pakaian dari kemarin, ia masih Nampak kacau,
debu pun masih menempel ditubuhnya, ia tak ada gairah untuk membersihkan diri.
“Dengar baik-baik, aku tidak akan memaksa untuk masuk kekamarmu, kamar kita terpisah,
tapi jangan sesekali kamu mengunci diri seperti malam ini, karena aku bebas masuk
kekamarmu kapanpun aku mau, jika terulang habis kau.!” Ia merutuk kemudian beranjak
keluar
Rhandra pergi tanpa menjawab sedikitpun, ia tinggalkan Halimah dengan pintu terbuka dan
kunci yang menempel dari arah dalam.
Halimah berbaring diatas ranjang, tubuhnya meliuk ketakutan suasana kamarnya begitu
gelap hanya ada dua cahaya yang berasal dari lampu minyak yang tak begitu terang. Ia
menangis terus menerus meratapi nasibnya, ia bagaikan rembulan yang terkungkung
malam, tak bisa bergerak, ingin menjerit pun tak akan ada yang mendengar.
Halimah melamun, pikirannya melayang ke Haikal laki-laki yang beberapa hari lalu telah
membebaskan ikatan dengannya, semudah itu dia membebaskan ikatannya, jika tidak ada
y…
_______
Haikal terperangah pesan singkat itu ia buka sesaat setelah ia sholat subuh. Sudah lama
Haikal mencari keberadaannya karena sampai saat ini ia belum juga menemukan bukti atau
saksi yang dapat membantunya menghilangkan keraguan akan Halimah.
Sejujurnya ia sangat menyesali telah mengecewakan Halimah lewat ucapannya minggu lalu,
Ada keraguan besar yang menghalangi kepercayaan dihatinya. Kekhawatiran untuk
menikahi seorang penzinah pun melintas saat itu. Kalaupun ia tetap menikah dengan
Halimah saat itu tanpa menemukan kebenaran terlebih dahulu, maka seumur hidup ia akan
dihantui dengan keraguan atas perlakuan keji yang entah benar atau tidak dan
pernikahannya dengan Halimah pun akan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkannya.
Harapan besar di hatinya ia dapat menemukan bukti bahwa Halimah tidak bersalah, dan ia
bisa kembali dengan wanita pujaannya itu.
Pagi ini Haikal langsung meluncur ke Polsek Magetan, Faisal ditangkap atas tuduhan
pemakaian Narkoba, wajahnya yang culas itu menempel di jeruji besi. Di wajahnya tak
tersirat perasaan bersalah telah memfitnah Halimah, sesekali ia berteriak untuk minta
dikeluarkan.
Sejujurnya Haikal sama sekali tidak tahu wujud Faisal sebenarnya. Faisal adalah sahabat
lama Haikal yang sudah lama hidup di Jakarta sebulan sebelum ia melamar Halimah. Faisal
datang dan menginap di rumahnya dengan alasan ingin mengembangkan bisnis di desanya
juga belajar agama darinya. Haikal tertipu, ternyata Faisal adalah laki-laki culas yang hanya
bisa menipu sahabatnya sendiri.
“Faisal!” seru Haikal pada Faisal yang saat itu sedang duduk memojok di jeruji besi, ia
tampak terlihat masih sakau akibat obat ia pakai.
“Brengsek kamu Faisal!” rutuk Haikal menarik baju tahanan yang ia pakai, hingga tubuhnya
menempel di jeruji.
“Santai Kal!"
“Halimah…Halimah lagi, kal banyak wanita cantik diluar sana kalau kamu mau aku bisa
kenalkan yang lebih cantik dari dia.”
“Langsung saja Katakan!” rutuk Haikal kesal, tangan kanannya ia angkat mengepal ingin
segera meninju wajahnya.
“Kamu tau aku sangat mencintainya! kenapa kamu tega berbuat keji!” lanjut Haikal Murka.
“Lebih baik kamu dengan gadis desa yang bernama Ayu saja kal, dia lebih cantik
dibandingkan Halimah, ia juga sangat mencintaimu, ia bahkan berani membayarku untuk
bisa mendekati Halimah.
“Hahaha! bodoh sekali wanita-wanita itu kenapa ia begitu mencintai laki-laki bodoh
sepertimu!” Jawabnya tanpa merasa berdosa, ia tertawa dibalik jeruji, “mengapa banyak
sekali yang mencintaimu kal.” Lanjutnya mengulangi kata-katanya.
“Ayu!”
Haikal terkejut, ia sangat kaget dengan apa yang Faisal katakan, air matanya langsung
mengalir, ia menyesali perbuatannya terhadap Halimah. Buru-buru ia ke balai desa, untuk
meminta pertanggungjawaban Ayu anak si kepala desa, Ayu selalu berada di sana karena ia
bekerja sebag…
______
Menjelang pagi Rhandra dan Halimah belum juga menunjukkan mukanya, mereka masih
berdua didalam kamar. Sepanjang malam itu Rhandra dan Halimah terlelap dengan
pulasnya, bagai pengantin baru yang masih segar-segarnya, tak satupun dari mereka yang
ingin menjauh, Halimah terlelap diatas lengannya yang kekar seraya memeluk dadanya dan
tangan Rhandra yang satunya memeluk perutnya.
Sementara itu Sum terharu, sepanjang pagi ini ia menangis di dapur. Sesekali ia melihat foto
Rhandra saat ia masih bayi, ia memeluk foto itu dengan penuh haru layaknya seorang ibu.
“Den belum keluar Sum?” tanya Darmin yang tak lain suaminya.
“Semoga tidak ada pertengkaran lagi diantara mereka, semoga Non Halimah bisa mencintai
dia dengan tulus dan mau hidup dengannya selamanya.”
“Dia anak yang baik Min.. saya yakin, dalam hatinya ia tak berani menyakiti wanita polos itu,
biarlah Allah membukakan pintu Non Halimah hanya untuknya.”
“Laki-laki itu kembali lagi Sum, kita harus membangunkannya.”
“Biarlah Min, dia tidak akan bisa melewati pagar itu kan?”
“Sepertinya dia tau Non Halimah ada didalam, saya khawatir dia akan berbuat nekat”
“Apa kamu ngga bosan hidup dalam kegelapan seperti ini Min? bahkan Setan-Setan itu
sudah seperti sahabat bagi kita, hanya Non Halimah yang merasa ketakutan sendiri. Biarkan
saja mereka mendobrak benteng ini, siapa tahu masalah Den Rhandra justru akan
terselesaikan.”
“Saya ingat betul Min, tapi melihat anak itu sedih hati ini sakit Min, bahkan anak kita yang
sudah kita bantu saja tak pernah menemui kita”
_______
Halimah tersenyum lebar, air matanya mengalir di pipinya. Belum pernah ia merasakan
kebahagiaan seluar biasa ini. Meskipun Rhandra belum menyatakan perasaannya padanya,
namun ia bisa melihat dari sorot matanya. Rasa cinta yang teramat dalam, haus akan
kerinduan yang mungkin selama hidupnya belum pernah ia rasakan.
Halimah terus menatap Laki-laki itu, ia perhatikan betul-betul setiap detail diwajahnya,
alangkah tampannya ia, tangannya begitu kekar dan kuat. Bidang tubuhnya mampu
melindungi siapapun yang bersandar. Rhandra adalah makhluk sempurna yang diciptakan
Tuhan ke bumi.
Tak lama angin berhembus ditelinga mereka, hembusan angin yang begitu sejuk dan damai,
Halimah memejamkan matanya dan menghirupnya dengan penuh suka cita, hembusan itu
menerbangkan rambut Rhandra yang panjang tak beraturan, semakin membuatnya
rupawan.
Hembusan itu adalah sesosok Ruh. Ruh yang senantiasa hadir bersamanya di rumah yang
penuh sejarah. Ruh itu tersenyum mengamati dua insan yang…
_______
Halimah terbangun, ia bergegas mengejar waktu Sholatnya yang hampir terlewat. Rhandra
terperangah, lagi-lagi wanita itu Sholat dihadapannya. Ia memperhatikan langkahnya
dengan seksama, tangan lentiknya meraih mukena yang tergantung pada tiang disebelah
lemari pakaian.. Air wudhu membuat wajahnya basah dan terlihat cerah, dan tak lama ia
memulai Sholatnya dengan khusyuk dan penuh khitmad.
Rhandra bangkit, ia langkahkan kakinya keluar kamar. Ia berjalan menuju balkon belakang
rumahnya yang menghadap ke arah taman dan makam, balkon yang tak jauh dari ruangan
kerjanya. Balkon yang sengaja ia tutup, karena melihat makam itu membuat hatinya hancur
dan sesak.
Ia melangkahkan kakinya keluar, lantai itu sudah penuh dengan debu, dua kursi yang
menghadap kedepan pun sudah hampir berwarna hitam. Ia kembali menatap makam yang
penuh misteri itu dengan penuh sesak, kenapa tangan Tuhan tak ada saat pembantaian itu
terjadi, kenapa juga ia lahir dari wanita yang jahat, kenapa Tuhan tidak melahirkannya dari
wanita selembut Halimah.
Halimah keluar dari kamarnya, ia hadapkan wajahnya pada lorong yang berujung pada
sebuah balkon. Rhandra berdiri disana membelakanginya.
Pelan Halimah datang menghampirinya, jantungnya berdegup kencang karena takut atau
bahkan mungkin karena rasa cinta yang mendalam.
“Rhandra....” sapanya.
Halimah berdiri disebelahnya seraya memandang taman belakang rumah ini yang sudah tak
terawat, ia pun membayangkan taman itu berubah menjadi bersih dalam sesaat.
Tembok besar yang ditumbuhi tanaman-tanaman rambat yang indah, di tengahnya ada
sebuah kolam air mancur besar, dan bunga-bunga yang menghiasi sekelilingnya.
Jauh dari sana ia kembali melihat sebuah makam yang dikelilingi pagar berwarna hitam.
Halimah diam, sesekali ia melirik kearahnya. Wajahnya terlihat gelap tak ada cahaya yang
menyelimutinya. Rhandra memerlukan sinar, sinar yang dapat mencerahkan hatinya. Sinar
yang mampu membuat seseorang lemah karenanya, dan sinar itu yang selalu Halimah sebut
dalam doanya.
“Ehmm..” Rhandra bergeser, ia selimuti tubuh Halimah dengan pelukannya yang hangat.
Rhandra memeluknya dari belakang, kedua tangannya ia letakkan di perut Halimah, Kepala
Halimah sejajar dengan dadanya. Hati Halimah berdegup kencang, berdesir bagaikan air
yang jatuh dari pegunungan. Ia tersenyum dan menikmati saat-saat bersamanya.
“katakan.”
“Makam itu...? Siapa mereka? Kenapa terlihat begitu banyak makam disana?”
“Kenapa?”
“Keinginan?”
“Ya.”
“Mel…
_______
Sementara itu, setelah Haikal bertemu dengan Dwi ia terus berusaha mencari keberadaan
Halimah, ia menanyakan kepada semua warga desa yang mengetahui tentang misteri
Gedong tua, banyak dari mereka takut untuk menceritakannya.
Kepercayaan mereka sangat kental sebuah musibah besar tidak boleh dibicarakan katanya.
Haikal buntu, Pak Dirjo memberi informasi bahwa rumah itu milik keluarga Abyakta, dan
Ayah Haikal adalah teman dekat dari Abyakta, Haikal terus menelusuri jejak keluarga
Abyakta.
Malam itu setelah ia menemukan Gedong tua kosong dan tidak adanya mushaf milik
Halimah, Haikal berangkat ke Jakarta, ia menemui Ayahnya disana.
Malam itu dari bandara Haikal langsung menuju ke rumahnya yang berada di bilangan
Cilandak Jakarta, Ayah Haikal memiliki perusahaan di Jakarta. Ia juga mempunyai yayasan
pendidikan Agama di Magetan dan yang mengurus yayasannya adalah anak laki-laki satu-
satunya Haikal Mahardika.
Haikal tiba dirumahnya pukul 8 malam, dan tak disengaja kedatangannya sangat diharapkan
oleh kedua orang tuanya. Rumahnya sedang kedatangan tamu agung katanya. Seorang
wanita cantik, duduk diruang depan bersama laki-laki disebelahnya.
“Assalamu’alaikum...”
“Alhamdulillah berjodoh...insyaAllah...” ucap Ibu Haikal, pada tamu yang sedang duduk di
kursi depan.
Mereka bernama Maharani dan Harsa, Percakapan membaur kearah pendekatan Haikal dan
seorang wanita yang hari itu baru ia kenal, bernama Maharani.
Wanita itu juga asal Magetan, kampung yang sama dengannya. Ia terlihat cantik juga bersih,
tubuhnya tinggi, rambutnya lurus sebahu berawarna coklat, matanya bulat.
Pikirannya tak fokus, apa yang mereka bicarakan tak masuk kedalam otaknya, otaknya
sudah penuh dengan misteri akan hilangnya Halimah.
Ibunya berusaha mengenalkannya dengan Maharani, anak dari sahabat Ayahnya. Ia hanya
bisa melemparkan senyum dan berharap pertemuan mereka lekas usai.
Maharani anak yang cantik, sebagai laki-laki seharusnya ia tertarik untuk berbicara
dengannya, namun ia tak merasakan perasaan senang atau apapun, nama Halimah masih
terus mengusik hati juga pikirannya.
“Gimana kabar yayasan nak?” tanya Ayahnya yang baru saja bergabung.
“Ayah...tolong ceritakan sejarah keluarga Abyakta!” Anggoro dan istrinya tercengang dan
tak lama senyum mereka melebar.
“Iya Gedong tua, apa itu milik mereka?” tanyanya tak sabar.
“Rumah itu milik Abyakta, namun sudah lama mereka tinggalkan Magetan, mereka
meninggalkan semua kenangan b…
_____
Masih terlintas di pikiran Halimah makam bertuliskan nama suaminya. Rhandra tak
pernah berbicara banyak tentang makam yang ada di sana, jika ditanya Suaminya, Sum dan
Darmin selalu menghindar.
Kepalaya terasa ingin pecah memikirkan ratusan pertanyaan juga keraguan yang melintas di
pikirannya.
Pagi itu Halimah tak ingin bangkit dari makam yang jelas bertuliskan nama Rhandra,
berulang kali ia cubit tubuhnya, ia rasakan sakit yang ada dalam tubuhnya. Ia yakin apa yang
ia lalui bersama Rhandra suaminya bukanlah halusinasi semata.
Ada Dwi, penghulu yang mungkin bisa dicari tau kebenarannya dan dua orang saksi yang
saat itu menikahkan mereka. Halimah memang tidak melihat langsung bagaimana Rhandra
bisa menikahinya. Namun pernyataan Dwi adiknya bisa dijadikan dasar.
Pagi itu langit seakan berduka, langit mendung, angin bertiup kencang mengembuskan
dedaunan kering ke arah wanita yang sedang meratapi makam bertuliskan nama suaminya.
Halimah terus berbaring di atas makam bertuliskan ‘Rhandra abyakta’.
Terlintas dipikirannya saat ia berjumpa dengan bayangan anak kecil di tempat ini. Malam itu
Rhandra begitu marah karena ia hampir memasuki makam.
“Apa yang Mas Haikal lakukan sama sekali tak akan mengubah pendirian saya. Saya mohon
Mas, menjauhlah dari saya, saya wanita yang sudah bersuami. Jauhi saya sebelum nilai-nilai
agamamu menjadi rusak….”
“Mas mengerti perasaanmu Halimah, Mas tak akan menyerah sampai kamu menyadari
kekeliruanmu.”
“Rhandra masih di Genilangit, Halimah yakin …Halimah akan kesana,” rutuknya kesal.
“Tidak Usah!”
“Hentikan keras kepalamu Halimah! Dengan apa kamu mau pergi kesana? Mas akan antar
kamu kesana,” rutuk Haikal, ia berjalan menuju mobil seraya membukakan pintu mobil
untuknya.
Halimah menuju Genilangit. Haikal masih setia menemaninya. Laki-laki itu sangat yakin,
bahwa Halimah mengalami halusinasi atau semacam gangguan Jin dan lainnya.
'Malam itu Halimah sangat kacau, pikiran dan hatinya pun kosong, sangat wajar jika
makhluk astral datang dan menganggu alam bawah sadarnya’ pikir Haikal.
Halimah diam, ia lemas tubuhnya ia sandarkan di kursi, tangan kirinya memegang
pelipisnya. Wajahnya berbanding terbalik dengan sebelumnya. Kali ini ia begitu terlihat
marah, bibirnya menyungging keatas, sorot matanya begitu tajam.
Gerimis membasahi Desa Genilangit, jalan menjadi basah karenanya. Pepohonan bergerak
berayun-ayun mengikuti arah angin.
Mereka hampir sampai menuju Villa Abyakta, Haikal dan Halimah melewati taman
Genilangit, taman yang pernah Halimah datangi berdua saja dengan Rhandra, taman yang
pertama kali menjadi tempat ken…
_______
Hari itu Halimah sudah mulai membiasakan diri, menyiapkan sarapan untuk suaminya, ia
turun setelah sholat subuh.
Pagi itu Sum tidak terlihat, entah dimana wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya itu.
Halimah memulai semua pekerjaan yang biasa dilakukan Sum, mulai dari mencuci piring,
membersihkan dapur yang sebenarnya tidak terlalu kotor dan banyak hal.
Ia mulai mengeluarkan semua bahan masakan yang Sum sudah siapkan di meja, hanya ada
beberapa sayuran dan tak terlihat bumbu-bumbu disana. Biasanya saat ia masak, Sum
sudah menyediakan semua bahan yang akan ia gunakan di meja dapur yang besarnya sama
dengan meja makan rumahnya.
Halimah membuka beberapa lemari. Ia terperangah. “Obat Aden,” sebuah tas ia temukan
dilaci dapur. Gerak tubuhnya mulai melambat, perlahan ia mengambil tas tersebut dan
membuka isinya.
Satu botol obat kapsul beserta catatan kecil jadwal meminum obat tertulis dengan rapih,
jadwal terakhir Rhandra minum obat tadi malam pukul 10 malam, waktu dimana ia sudah
terlelap. Dalam satu hari ada tiga jadwal yang dituliskan Sum. Halimah shock ia tak tahu
bahwa selama ini Rhandra mengkonsumsi obat. Detak jantungnya kian melemah,
kekhawatiran yang begitu besar mengeruak di dadanya.
Halimah masih diam, tangannya masih menggenggam obat yang ia curigai milik Rhandra.
“Jawab Mbok…”
“Hmm…itu…”
“Apa ini punya Rhandra…? Mbok jawab Mbok!” tanya Halimah dengan nada yang mulai
meninggi.
“Kenapa saya tidak tahu Mbok? Rhandra sakit apa?” Mata Halimah berkaca-kaca.
“Mbok bohong…pasti ada rahasia disini, ada yang tidak saya ketahui kan Mbok? Mbok
jawab Mbok…saya istrinya Rhandra saya berhak tahu apa yang terjadi dengan suami saya…”
ucap Halimah seraya mengguncangkan bahu Sum.
“Itu hanya vitamin Halimah!” Mendadak Rhandra datang dan menjawab semua
pertanyaannya.
“Jika itu vitamin, mengapa minumnya harus terjadwal. Ada apa dengan kamu Rhandra?”
tanya Halimah penasaran.
“Kalau begitu biar aku yang memberikan vitamin itu, aku istrimu aku yang harus
merawatmu…”
Rhandra diam, ia tak menjawab dan pergi membawa tas berisi obat bersamanya.
Menu yang tersaji di meja hari ini sayur bayam, Jagung juga ada tempe dan satu buah
kelapa.
#PART13
__
Halimah membuka mata, gemiricik air terdengar lembut di telinganya. Ia lihat jam di
kamarnya, sudah pukul 4 lewat 30 menit pagi. Hari ini ia bangun lebih siang dari biasanya.
Dwi, Sur dan Dasinun tengah bersiap untuk sholat subuh berjamaah. Buru-buru Halimah
mengambil wudu dan bergabung dengan mereka.
Dwi mengucap salam, dan semua beriringan mengikuti. Selepas doa, kedua adiknya
mendekat juga Dasinun mencium kening Halimah.
‘Hah’ Halima terperangah, hari ini adalah hari kelahirannya, genap 24 tahun usianya.
“Semoga Mba Halimah diberikan kebahagiaan ya mba,” ucap kedua adiknya seraya
mencium tangannya.
Hari semakin siang, seorang wanita tengah berdiri di pekarangan rumah Halimah
menunggunya keluar.
Wanita itu mengenakan setelan seragam pegawai balai desa, hijab coklat yang ia lingkarkan
di sekitar lehernya juga kacamata hitam. Wanita itu berdiri bersandar di balik mobil sedan
miliknya berwarna merah.
“Selamat ulang tahun Halimah,” sapanya saat melihat Halimah keluar dari pekarangan
rumah.
“Ayu,” ada dendam di hati Halimah, kesalahan Ayu padanya tak bisa ia lupakan. Halimah
melangkah maju ke arahnya, kemarahan di matanya terlihat jelas.
Ayu membuka kaca matanya. “Rumah ini ternyata lebih nyaman ya, dibandingkan yang
lama.”
“Ini hanya sebuah tamparan,Yu. Belum hukuman dari Allah!” rutuk Halimah, di hadapan
wajahnya.
Ayu diam, ia tak membalas tamparan Halimah. Ayu menerima tamparan keras darinya.
“Kesalahanku hanya mencintai Haikal, Halimah. Aku tak punya kemampuan untuk
mendatangkan warga kerumahmu, dan membakar rumahmu.”
“Mana yang lebih jahat, seorang sahabat yang sudah tau sahabatnya mencintai seseorang
lalu merebutnya atau …”
“Aku tidak lagi mengharapkan Haikal, saat ini aku sudah menikah. Pergilah bersamanya jika
kamu mau!”Halimah berbalik menjauhinya.
“Berhentilah menjadi manusia yang selalu ingin dikasihani,” Ayu tau benar cara menyakiti
Halimah. Halimah diam, ia menarik nafas panjang.
“Kemarin karena miskin, dan sekarang karena halusinasi, menikah dengan orang mati? he ...
Segitu besarnya kah usahamu untuk mendapatkan Mas Haikal?”
Halimah diam. Ingin rasanya ia mejambak rambut juga menamparnya lagi. Sabar, hanya itu
yang bisa ia lakukan. Ia lanjutkan langkahnya dan membiarkan Ayu akan prasangkanya.
Jauh di belakang ia meninggalkan Ayu. Ia berjalan melintasi perbukitan, jalan raya hingga
sampai ke surau tempat ia mengajar.
#PART14_BEBERAPA_MINGGU_SEBELUM
____
Dihadapan laki-laki paruh baya itu, Rhandra marah anak muda itu murka, wajahnya
memerah. Gelas digenggamnya langsung ia lempar ke lantai. Nafasnya tersengal-sengal,
emosi dalam jiwanya kembali ke permukaan. Niat untuk mengembalikan semua hartanya
pupus.
Untuk beberapa saat Darmin terdiam, memperhatikan amarahnya yang memuncak. Laki-laki
itu tidak berani menenangkan amarah Rhandra.
“Polisi sudah memeriksanya Den, serahkan semuanya ke mereka,” begitu tenang Darmin
menyikapi hatinya yang sedang berkecamuk.
“Baik Den!”
“Bagaimana dengan Non Halimah Den?” tanya Sum yang mendadak hadir di tengah mereka.
Rhandra diam sesaat, hati dan pikirannya tak sejalan. Wajah istrinya beberapa belakangan
ini terus hadir di mimpi juga pikirannya. Namun keinginan untuk mengakhir hubungan
dengan Halimah amatlah besar. Rhandra ingin menyelesaikan semua masalahnya, kehadiran
Halimah hanya membuatnya lemah tak berdaya.
“Siapkan semua perlengkapan saya Mbok, besok saya berangkat.” Rhandra menghindar dari
pertanyaan Sum.
Rhandra Abyakta baru saja duduk di kursi pesawat, menuju Jakarta. Laki-laki itu berangkat
sendiri tanpa pengawal, ia meminta Darmin untuk terus mengawasi Halimah, istrinya.
Penemuan jasad Arkadewi menimbulkan luka di hatinya, Sudah dipastikan bahwa ia bukan
korban dari tindak kekejaman warga desa. Sampai saat ini pun Rhandra masih bertanya-
tanya, jasad siapa yang terkubur di Gedong tua, kenapa nama dia dan nama ibunya persis
tertulis diatas makam.
Perjalanan menuju Jakarta tak memakan waktu lama, atas saran Dirk Haan pamannnya,
Rhandra langsung menuju ke kediaman Haris Gunawan, laki-laki yang dulunya pernah
menjadi pengacara pribadi Abyakta Ayahnya. Haris kini tak bekerja lagi dengan keluarga
Abyakta, sejak meninggalnya Mahadi, posisinya sebagai pengacara keluarga tergantikan.
Rumah Sakit Adinata, pria bernama Haris Gunawan sedang terbaring lemah didalam.
Rhandra masuk, ia langkahkan kakinya menuju ruangan VVIP di Rumah Sakit kenamaan di
bilangan Jakarta. Laki-laki itu Nampak terbaring lemah, persis disebelah Haris seorang
wanita yang seusia dengan Rhandra terlelap dengan posisi menunduk, kedua tangannya
terlipat menopang kepalanya.
“Hmm ….” Wanita itu terbangun. Rambutnya ikal sebahu, tubuhnya tinggi semampai,
lipstick merah mengukir bibirnya yang tebal.
“Kenapa kamu baru datang!” rutuk wanita itu seraya menunjukkan jarinya pada Rhandra.
----
Halimah tak menyesali perkataannya, hatinya lelah. Jika Rhandra tak ingin ia mendampingi
hidupnya di dunia, biarlah ia menunggu hingga mati , agar Halimah bisa menemani Rhandra
di Surga, tempat yang abadi, kekal, tak ada sakit ataupun luka. Halimah, wanita itu berjalan
lemah, tubuh bagai di lolosi tulang belulang yang remuk.
Wanita itu begitu mencintai suaminya, melihat penolakan, sorot mata yang tajam, suara
yang menggelegar membuat hatinya rapuh. Sesampai di rumah, Halimah tak bicara banyak
pada Dasinun, ia memilih untuk diam. Wanita itu menjalani hari-harinya dengan sorot mata
kosong tak ada arti. Ia membantu Dasinun, dengan kondisi yang ia paksakan. Tubuhnya
lemah, kepala nya sakit. Ia biarkan tubuhnya habis di makan lelah atau sakit.
Sementara jauh di sana. Laki-laki bernama Haikal pun menyesali atas kepergian Halimah dari
Surau. Ia tak bisa berbuat banyak, usahanya untuk membuatnya tetap di yayasan tak
berhasil. Halimah sendiri yang meminta untuk mundur.
Kebahagiaan di wajah Halimah tak dapat ia raih, laki-laki itu kini merasa semakin jauh
dengan Halimah. Wajah sinis halimah masih terbayang dipikiran. Haikal semakin penasaran
dengan apa yang terjadi pada Halimah. Laki-laki itu untuk kedua kalinya mencari jejak akan
Rhandra Abyakta. Ia semakin yakin, bahwa laki-laki yang diceritakan Halimah adalah nyata.
Siang itu Haikal pergi menuju Gedong tua, ia lihat makam Rhandra, juga beberapa makam
lainnya disana. Kenapa Ayah Haikal begitu yakin, bahwa Rhandra telah meninggal, dan ia
begitu yakin anak yang ia rengkuh adalah Rhandra. Haikal edarkan pandangan ke setiap
sudut makam, ia melihat setiap nama yang tertera di setiap makam. Disebelah Makam
Rhandra persis, makam Arkadewi ibunya, dan diantara mereka tertulis beberapa nama desa
yang dijadikan satu dalam sebuah makam besar.
Ia semakin penasaran, Haikal masuk ke dalam Gedong tua, ia langsung naik ke lantai tiga, ia
tahu hanya ruangan ini yang hidup saat terakhir ia datang. Ia bongkar ranjang, setiap nakas
ia buka, ia buka lemari, meja kerja Rhandra tak luput ia periksa. Haikal melangkah, sebuah
keramik kosong terasa di ujung kakinya. Haikal menunduk, ia ketuk keramik yang berada
persis dibawah kakinya. Haikal membukanya, ia terperangah beberapa kertas tertinggal
disana. Sebuah hasil pemeriksaan hasil tes darah terlihat disana, bertuliskan nama Rhandra
Abyakta usia 31 tahun dan positif HIV.
Haikal ambruk, benar Halimah. Laki-laki itu belum meninggal, Haikal murka bagaimana laki-
laki yang jelas terinfeksi HIV itu tega menikahi Halimah. Laki-laki itu menarik nafas, ia
memikirkan nasib Halimah kedepannya. Namun akalnya tak sanggup, ajaran agama
melarang untuk seseorang mendekati istri orang lain, berharap saja pun tak boleh.
Haikal pulang dengan perasaan tak menentu, cinta dan kesedihan Halimah seperti berada di
pelupuk matanya. Wajah Halimah selalu terlintas di pikiran, mengetahui kabar bahwa
Halimah sudah dinikahi Rhandra, hati Haikal hancur. Jika memang Halimah resmi menikah
dengan Rhandra, sudah semestinya ia terkena efek penyakit yang sama. Na…
#PART15_VIRUS_ITU_BERNAMA_HIV
------------
Kata ‘membebaskan’ yang terucap di mulut Rhandra begitu menusuk jantungnya. Halimah
masih diam, ia terus menerus menyangkal perkataan Rhandra kepalanya menggeleng
berulang kali, air matanya kering, sorot matanya kosong tak berisi.
Wanita itu terus merenung di kamarnya, wajahnya berpangku pada tangan diatas lututnya,
ia masih termenung memikirkan Rhandra dengan penyakitnya, memikirkan dirinya yang
hancur akan perasaanya, Rhandra lebih berarti dari apapun, ia begitu berharga untuknya.
Tak peduli seberat apapun penyakitnya Halimah hanya ingin bersamanya, bernafas
untuknya, menghabiskan sisa usianya bersama Rhandra suaminya.. Halimah tak setegar
seperti saat Haikal mengatakan membebaskannya. Kali ini ia hancur.
Air mata Dasinun meleleh, ia menyaksikan jiwa yang hilang dari jasad Halimah. Halimah
hidup namun tak bernyawa, ia bisa mendengar namun tak ingin mendengar. Berulang kali ia
mengingat ke masa lalu, mengingat dosa-dosa yang mungkin pernah ia lakukan, sehingga
putrinya kini menerima akibatnya.
Sebelumnya kemarin, Dasinun sibuk mencarinya. Halimah tidak pulang, Dwi juga Sur turut
larut dalam pencarian. Setiap rumah Dasinun ketuk hanya untuk menanyakan keberadaan
putrinya.
Malam itu pun Dwi pergi menemui Haikal dirumahnya, Haikal juga beberapa warga desa
turut membantu Dasinun untuk mencari Halimah. Mereka pun mengunjungi Gedong tua, ia
menemukan sepeda Halimah disana, namun setelah mencari hingga keseluruh penjuru
Gedong tua, mereka tak jua menemukan Halimah.
Berita kehilangan Halimah pun tersebar hingga ke desa sebelah. Berita tentang pernikahan
Halimah dengan arwah Rhandra Abyakta makin menguat setelah ditemukan sepeda
Halimah di Gedong tua.
“Istighfar Nak….”
“Halimah, istighfar….”
Halimah tetap bergeming, hidupnya terasa hampa. Yang ia ingin kan hanya Rhandra, ia ingin
Rhandra kembali untuknya, tak peduli seberat apapun penyakitnya asal Rhandra
bersamanya, tak peduli berapa lama lagi usia Rhandra, Halimah hanya ingin bersamanya.
Siang menjelang, Halimah tak juga sadar. Ia terus duduk diam, entah kemana arah
pandangannya. Halimah tak mau makan juga minum.
Haikal datang, tak lama setelah ia memarkirkan mobilnya. Sur berlari ke arahnya. “Mba
Halimah sudah pulang Mas.”
Atas seizin Dasinun, Haikal bisa masuk melihat Halimah di kamarnya. Halimah terlihat duduk
diam di ujung tempat tidurnya, dua lututnya menempel di dadanya, sorot matanya kosong
dan hanya ada kesedihan di dalamnya.
Haikal duduk disamping tempat tidurnya. Menatap wajah wanita yang kini genap berusia 24
tahun, kecantikannya tidak larut meskipun kesedihan melanda dirinya.
“Halimah ….”
#PART17_KERISAUAN_HAIKAL
__
Haikal kembali pulang dengan kondisi tak menentu, hatinya berusaha untuk ikhlas melepas
Halimah, ia tak sanggup melihat air mata Halimah. Halimah begitu mencintai Rhandra
sepenuh hatinya. Laki-laki itu tiba di rumahnya pukul 8 pagi, rumah yang berarsitektur jawa
itu nampak elok jika dilihat, rumah tak berpagar namun memiliki halaman yang begitu luas,
rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu jati, di setiap tiang rumahnya terdapat ukiran-
ukiran jawa. Sangat kental dengan budaya jawa.
Dari jauh Haikal melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di depan, Haikal bergegas
masuk ke dalam. Pelan Haikal masuk kedalam, ia limbung. Pikirannya kosong, kekecewaan
merejam hatinya.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Laki-laki itu tersenyum, ia merengkuh ke dua tangan orang tuanya dan meninggalkan
mereka tanpa sepatah kata terucap.
Haikal masuk ke dalam kamar, ia merengkuh tubuhnya. Hatinya sesak, ia terlalu terpatri
dengan aturan agama yang merundung sikapnya pada Halimah dulu. Saat fitnah zinah
melayang pada Halimah, setidaknya Halimah dan penuduh memerlukan dua orang untuk
bersaksi, agama mengajarkannya untuk bisa membuktikkan sebuah persaksian akan
perzinahan, dan saat itu saksi yang menuduh Halimah bahkan lebih dari dua. Haikal marah
dengan dirinya sendiri, ia tak lebih dari mereka yang turut menuduhnya berzinah.
Haikal merengkuh dan menjambak rambutnya, lagi lagi ia merintih ia berteriak. Hatinya
sakit, bahkan gelar Lc seperti tidak ada makna baginya.
Sementara Rhandra, ia masih terlelap di sisi Halimah. Wanita itu beberapa kali bangun
untuk mengerjakan sholat, namun Rhandra tak terganggu. Suaminya benar-benar lelah. Ia
butuh istirahat untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Halimah duduk di bawah, ia menatap
wajah Rhandra yang kian tampan menurutnya. Suaminya tetap terlihat gagah saat tidur. Jari
lentik Halimah meraba wajahnya, mulai dari dahi hingga hidungnya yang begitu mancung.
Halimah tersenyum, ia begitu mencintai Rhandra. Sujud syukur berulang kali ia lakukan, ia
ingin suaminya mendampingi dirinya untuk selama-lamanya, untuk sisa usianya. Usia
berapapun asalkan bisa bersamanya sudah cukup membuat hati Halimah lega.
“Halimah.” Dasinun memanggilya dari luar.
Sum dan Darmin sudah berada di muka pintu. Senyum Halimah mengembang, Halimah
berlari ke arah Mbok Sum.
“Non …” Sum memeluknya. Halimah menangis, begitu rindunya dia dengan Sum yang selalu
senantiasa menjaga Rhandra juga dirinya.
“Ini obat-obatan Aden Non, dia harus minum. Bantu dia agar sembuh …” Sum menarik
nafas, tangisann…
#PART_18_DUKA_MENDALAM
__
“BUNUH DIA!”
Rhandra bangkit suara itu membangunkannya, Ia berjalan, kondisinya lebih baik dari
sebelumnya. Obat ARV cukup meningkatkan jumlah CD4 dalam tubuhnya, kondisinya
mendadak lebih baik saat mendengar suara-suara gemuruh dan teriakan Dasinun. Ia keluar
dan menunjukkan wajah bengisnya. Dilihatnya mereka sedang berkumpul diluar
menghakimi Halimah juga keluarganya.
Haikal tiba, laki-laki itu langsung melewati penuhnya massa yang mengerumini kediaman
Halimah.
“BERHENTI…!” Teriak Rhandra sekuat tenaga, warga terperangah seorang laki-laki baru saja
keluar dari rumah Halimah. Laki-laki itu mengenakan kemeja gombrong warna hitam.
Tubuhnya tegap, rambutnya panjang sebahu tak karuan, sorot matanya begitu tajam , ia
melangkah ke arah Halimah dan melindungi tubuh Halimah dengan tubuhnya.
“Rhandraa .…”
Rhandra menghajar semua orang yang baru saja menyakiti Halimah dan keluarganya dengan
pukulan telak. Laki-laki itu mencoba untuk kuat, Ia gunakan kayu untuk memukul siapapun
yang merusak juga menyakiti keluarga Halimah.
“HAAA! Habis kalian!” Rhandra murka, tua muda, laki perempuan ia tak peduli. Mereka yang
melempar mereka yang berusaha menyakiti, terkena lemparan kayu juga pukulan telak dari
Rhandra.
“Rhandra … kamu tak boleh terluka,” ucap Halimah pelan suaranya hampir tak terdengar,
Halimah menyaksikan bagaimana Rhandra menghabisi mereka dengan pukulan telak
darinya, ia sanggup melawan tiga orang sekaligus dengan tangannya. Tangannya terluka.
“Rhandra … Aku mohon.” Halimah lemas. Bongkahan batu sempat melukai kepala Halimah.
Halimah oleng dan tak sadarkan diri.
“HAAAAA!” Ia menghunuskan kayu pada warga. Matanya melotot berwarna merah, wajah
bengisnya terlihat cukup jelas, rambut yang tak karuan membuat wajahnya terlihat lebih
menakutkan. Mereka mundur, amarahnya menciutkan hati mereka.
Semua wajah tertuju padanya, laki-laki itu bagai singa kehausan, sorot matanya tajam
memandangi orang-orang yang merasa dirinya paling mulia disisi Tuhan. Takut dan gemetar
mengusai jantung juga hati yang melihatnya.
“SAYA RHANDRA ABYAKTA! dan saya masih hidup, apa yang kalian lakukan terhadap Istri
saya hari ini, akan saya perhitungkan!”
Semua orang tercengang mendengarnya. Rhandra Abyakta yang setahu mereka hanyalah
sesosok Ruh yang menikah dengan Halimah, kini benar nyata. Suara suara cibiran rutukan
akan Rhandra mulai berdatangan, HIV mulai terangkat di permukaan.
Rhandra mendekati Halimah juga keluarganya yang sudah kepayahan dan tak sadarkan diri.
Pakaian yang Halimah kenakan sudah kotor karena tanah, hijabnya terlepas tak jauh dari
tempat ia berbaring Rhandra mengambilnya dan menutupi r…
#PART_19_SURGA_YANG_NYATA
__
Hamparan rumput luas seperti menyatu dengan langit, warna hijau ditanah bercampur
dengan warna biru langit. Gemiricik suara air jelas terdengar begitu lembutnya, air sungai
dan beberapa ikan mas didalamnya begitu menyilaukan mata, awan bergulung berwarna
putih bersih berkumpul di hadapannya. Matahari menyinari namun tidak menyilaukan,
udara sejuk masuk ke sela-sela tubuhnya.
“Surgakah ini?” tanyanya lembut. Halimah nikmati pemandangan alam yang begitu
sempurna. Ia rebahkan dirinya ke tanah, sejuk terasa. Tak ada sakit yang ia rasa, tak ada
pedih yang ia rasakan di jiwa.
“Halimah ….” suara itu terdengar jernih ditelinganya. Halimah bangkit, ia edarkan
pandangannya mencari sumber suara. Sebuah pintu besar dan bercahaya berada persis
dihadapannya, didalamnya hanya ada kegelapan.
Seorang pria tengah berdiri disana memanggil-manggil namanya. Halimah berlari, laki-laki
itu terlihat menunggunya di bibir pintu. Seorang laki-laki paruh baya berpakaian serba
hitam, rambutnya sudah memutih, garis-garis keriput terlihat jelas disekitar mata dan dahi.
Ia tersenyum ke arah Halimah, namun matanya menangis. Keringat mengucur dari dahinya.
Sorot matanya tajam, menusuk kalbu.
“Ayah ….” Air mata Halimah meleleh, wanita itu berlari kearahnya, ada dinding pemisah
besar diantaranya.
“Ayah kenapa?” Halimah terenyuh, air mata yang mengalir di pipinya membuat hati
Halimah luka.
“Ayah tidak dizinkan masuk, berulang kali Ayah mencoba masuk berulang kali pula Ayah
terlempar keluar, tubuh Ayah sakit, sekujur tubuh Ayah menjerit kesakitan.”
“Ayah dimana?” suara Halimah semakin parau, ia tak tega mendengar penjelasan Ayahnya.
“Ayah disini, Nak. Menunggu!”
“Menunggu apa?”
Halimah berlari, terus berlari semakin ia berlari pintu itu semakin menjauh.
“Kenapa sulit sekali menjangkau Ayah?” jawabnya tiada peluh ditubuhnya. Halimah terus
berlari, dan pintu itu semakin menjauh.
“Halimah … Ayah rindu dengan suaramu, kapan Halimah akan membuka Mushaf lagi untuk
Ayah?”
Halimah diam, sudah cukup lama ia tak membuka Mushafnya dan bertadarus. Kecewa akan
cobaan yang menimpa hidupnya juga suaminya membuat halimah lupa akan kewajibannya
sebagai anak, hanya seorang anak yang bisa memberikan mahkota juga istana untuk orang
tuanya, Halimah lupa tujuan ia membaca Mushaf setiap harinya, ia lupa dimana kakinya
berpijak.
#Extra_part_23
#RAHMAT_ALAM
__
Hujan membasahi Genilagit, semalaman Rhandra erat memeluk tubuh Halimah yang
mengigil. ini adalah pertama kalinya Halimah merasakan suhu terdingin selama ia di
genilangit, ia mengenakan kaus kakinya, juga jaket tebal parker milik Rhandra yang tak
pernah ia lepas. Ia berjalan menuju dapur, langit begitu tak bersahabat. Kabut mengepul
seperti asap di sekelilingnya.
Sum, belum terlihat. ‘Mungkin sedang membereskan pakaian’ gumam Halimah dalam hati,
ia langsung melanjutkan pekerjaannya sebagai istri Rhandra. Air yang keluar dari keran,
begitu menusuk kulit dalam ari nya. Cuaca begitu dingin, namun tak sedingin hatinya. Hati
Halimah begitu hangat karena perubahan Rhandra.
Rhandra menemui Halimah yang tengah sibuk menyiapkan sarapan untuknya. Halimah
begitu serius dengan pisau juga buah-buahan di hadapannya. Pipinya yang merona, bibirnya
yang merekah mengeluarkan asap dingin dari mulutnya, membuat hasrat Rhandra
memuncak.
Rhandra menatapnya dari ruang tengah. Seandainya ia bisa menunaikan hak nya sebagai
seorang suami, mungkin ia akan mendekat, ia akan memeluknya, ia akan menciumnya, dan
mengurangi dingin yang ia rasakan, kesempurnaan yang ada pada Halimah tak akan mubazir
begitu saja. Halimah menyambut tatapannya, Rhandra menoleh, ia tak ingin hati itu
berdesir. Rhandra terus mencoba agar Halimah bisa selamat dari penyakitnya.
Halimah maju, Jaket parker dan Gaun jersey fushia yang melekat ditubuh dan celemek
berwarna hitam menempel di tubuhnya, hijabnya ia ikat kebelakang. Rhandra diam, Istrinya
terus maju ke arahnya sebuah apel di tangannya. Kini tubuh istrinya berada persis
disebelahnya, Halimah duduk di sofa, ia dekat … Halimah semakin dekat.
Nafas Halimah kini hanya berjarak 5 cm dari pipi Rhandra. Berat Rhandra menelan salivanya
begitu pun Halimah. Sorot mata itu haus, Halimah pun seorang istri normal yang rindu akan
belaiannya. Sejak pindah ke genilangit, Rhandra mencoba untuk tidak melakukan kontak
fisik secara berlebihan. Ia hanya memeluk, mencium tangan juga kening.
Halimah menarik wajahnya, ia memandangi wajah suaminya yang tegang dan haus akan
belaian wanita. Bingkai di wajah Rhandra gigit. Halimah paham, Rhandra pun pasti ingin
melakukan hasratnya sebagai seorang laki-laki, wanita itu paham Rhandra pun laki-laki
normal yang tak sanggup menahan birahinya.
Halimah mendekat, uap dingin yang keluar dari mulut Halimah berembus di pipi Rhandra
begitu dingin. Halimah mencium pipi suaminya “Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan
suamiku, aku halal untukmu.”
#EXTRA_PART_22
#Pintu_hidayah
___
Cerita Halimah membuka mata batin Rhandra, Rhandra luluh, ia takluk akan kebesaran
Allah. Ribuan keraguan akan Tuhan seketika terjawab, mata angin kini menuju pada
hidayah-Nya, menuju pada rida-Nya. Cinta Halimah menggetarkan hati Rhandra, hidayah
bukan darinya, melainkan dari Allah semata. Bahkan, Nabi Muhammad sekalipun tak
mampu membawa orang kesayangannya mendapatkan hidayah dari-Nya. Rhandra
beruntung, kasih Allah masih berada di ubun-ubunnya, kebenciannya pada Tuhan justru
yang membawanya pada Halimah. Pintu itu terbuka, Rhandra kini bagai singa kehausan di
padang pasir; haus akan ilmu, haus akan hidayah.
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada
orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki,
dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” [Al Qashash/28:
56]
Rhandra mulai menerima cahaya Tuhan. Ia bentangkan hati, juga pikiran selebar-lebarnya
untuk Tuhan. Bukan karena Halimah yang berhati lembut, takut akan kehilangan Halimah,
melainkan cinta Allah padanya. Cinta itu menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Ia
akan menunggu hari bahagia, seperti yang Halimah katakan. Bersamanya kembali mesra,
bercumbu rayu, memadu satu hanya dalam surganya. Jika bukan di dunia, setidaknya ia bisa
berbahagia di akhirat, berbahagia selama yang ia inginkan, memiliki Ratu secantik Halimah.
Malam itu ia melihat kuasa Allah; ribuan bintang, juga bulan yang bersinar begitu indahnya.
Gunung Lawu menunjukkan keperkasaannya. Hal itu hanya bisa dilihat, dan dirasakan
getarannya oleh mereka yang mempunyai iman di hatinya; iman yang senantiasa memuji
karya agung milik-Nya, iman yang senantiasa bersyukur atas penciptaan yang luar biasa
indah.
Pagi itu adalah hari terindah bagi Halimah, saat tubuhnya sudah sanggup berdiri. Rhandra
mendampinginya ke kamar mandi, ia perhatikan setiap gerakan istrinya. Tak lama, Halimah
selesai, ia mengajaknya keluar.
Halimah menuntun Rhandra, ia membantunya mengambil air wudu; mulai dari mulut,
wajah, tangan, kepala, hingga kaki, semua ia usap dengan air yang mengalir. “Asshyadu.”
Halimah menuntun Rhandra membaca syahadat setelah berwudu. Wajahnya merona,
napasnya sesak penuh dengan kebahagiaan.
“As … asyadu.” Rhandra mengikutinya. Air mata Halimah menyentuh hatinya, tak kuasa ia
pun membuka hatinya dan berserah diri pada Allah
“Illaallah.”
“Muhammadan.”
“Abduhu.”
“Abduhu.”
“…
#PART_20_TERSANGKA_UTAMA
#PART_21_AYUB_ALAIHISALAM
Tiga malam berlalu, kondisi Halimah mulai membaik, namun raganya masih terbaring
lemah. Dokter memberikan izin padanya untuk rawat jalan.
“Bawa aku ke Genilangit Rhandra, hanya di sana aku bisa merasakan bahagia bersamamu …”
Sesuai permintaan Halimah, Rhandra memutuskan membawanya ke Genilangit, bersamanya
ia akan merawat Halimah.
Desa Genilangit masih sama seperti terakhir ia tinggalkan. Halimah berpangku pada pundak
Rhandra yang begitu lebar, tangan kiri Rhandra memeluk pundaknya dan yang lain
memegang erat tangan Halimah.
Mobil yang dikendarai Darmin melintasi jalanan bebatuan, juga sungai yang mengalir di sisi
kanan juga kirinya. Gunung lawu menyambut kedatangan mereka, kabut tak menghalangi
perjalanan mereka, langit cerah, burung-burng bersahutan menyanyikan lagu indah.
Halimah lemah, keberadaan Rhandra yang membuatnya semangat untuk hidup, sejuknya
udara Genilangit membantu mencairkan setiap darah yang panas, begitu sejuk hingga
membuat pikiran juga jiwa menjadi tenang.
“Halimah.”
“Hmm,” jawab Halimah. Tubuhnya bersandar di dada Rhandra, tangan kanan Rahndra
melingkar di perutnya, dan yang satu erat memegang tangannya. Selama perjalanan,
keduanya sibuk menikmati pemandangan Genilangit.
“Apa?”
“Lalu?”
“Aku jawab tidak tahu, aku jawab kamu tidak pernah ada. Aku takut mereka akan
melakukan hal buruk padamu.”
Aku akan balas mereka, aku akan membalas setiap perbuatan mereka padamu Halimah,
gerutu Rhandra dalam hati.
Mereka tiba di Genilangit, Rhandra membantu istrinya berjalan. Halimah masih limbung.
Halimah terkejut, Rhandra tau apa yang harus ia lakukan untuk membahagiakan istrinya.
Dilihatnya, Dasinun dan ke dua adiknya menyambut kehadiran Halimah. Senyum mereka
begitu lebar, begitu pun Halimah. Sur dan Dwi berhamburan ke arah Halimah, mereka
mencium tangan kakak perempuannya.
Air mata mengiringi kebahagiaan mereka. Halimah mendekat menuju Dasinun, wanita yang
tak muda lagi itu menitikkan air mata bahagia, ia membuka lebar tangan untuk ia peluk.
Kedua tubuh itu bertemu, tangisan haru mengiringi perjumpaan mereka. Rhandra yang
berdiri di samping Halimah begitu terenyuh, se…
Part 1
"Tuh, kan ibu jahitin aku baju sama lagi sama Gendhis" teriak Nawang tidak suka.
Gendhis hanya bisa menunduk demi mendengar protes Nawang, kakak perempuannya.
Kebaya motif kembang- kembang kecil pemberian ibunya dipegang setengah diremasnya.
"Sekalian ta ndhuk ibu beli kainnya juga ukurannya sama biar mbah Gino gampang jaitnya,
badan kamu sama adhimu kan sama" kilah Bu Harjo menjelaskan.
"Tapi Nawang ndhak suka di sama- samain sama Gendhis bune, iki kok tiap jait baju sama
loh" seru Nawang seraya masuk kamar.
Gendhis makin menunduk, matanya panas mendengar celoteh mbakyunya itu. Susah payah
menahan agar bulir hangat itu tak menetes.
Tak habis pikir dirinya, Nawang seperti kucing melihat tikus kepadanya, padahal mereka
kakak beradik.
"Sudah ndhuk, jangan dengerin mbakyumu, kalo ndhak ngomel bukan Nawang namanya"
hibur Bu Harjo lembut seraya mengelus rambut Gendhis.
Bukan sekali dua kali Nawang tidak suka jika dibelikan barang yang sama dengannya.
Apalagi jika barang itu dipakai barengan, dan Gendhis yang lebih "luwes" mengenakannya
pasti langsung mencak- mencak ngamuk.
"Tuh kan, bune emang sengaja kan pengen bikin Nawang terlihat jelek ketimbang Gendhis"
kata Nawang ber api- api.
"Sudah kamu ndhak usah dipakai itu baju kembangnya ya Ndhis" ancam Nawang bengis.
Bu Harjo cuma bisa geleng-geleng kepala kalau Nawang sudah ngambek. Tapi dia akan
langsung melihat ekspresi wajah Gendhis anak bungsunya.
Gadis bungsunya pendiam, sangat pendiam malah, seringnya hanya pasrah dan nurut sama
apa yang di suruh kakaknya.
Jangankan baju yang motifnya sama, jika model dan motif berbeda pun selalu Nawang tidak
suka kalau mereka sama- sama dibelikan.
Entahlah... mau dipakaikan motif apapun Gendhis memang selalu terlihat lebih manglingi.
Tak heran Nawang hampir selalu minta tukar apapun punya Gendhis namun akan terlihat
biasa ketika di kenakan olehnya.
Itu sungguh membuat Nawang kesal dan makin tidak suka dengan adik cantiknya itu.
Pak Harjo adalah kepala desa di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Selain dipercaya
sebagai kepala desa beliau juga seorang juragan tanah.
Namun walaupun cukup berada, pak harjo tidaklah sombong justru beliau orang yang
sangat bijaksana lagi dermawan.
Pak Harjo dan istrinya mempunyai 2 putri yang masing - masing berumur 18 dan 16 tahun.
Nawang Sari anak sulungnya adalah gadis berkulit putih dan berambut ikal, tubuhnya tinggi
semampai, pandai memasak namun kurang pintar mengontrol emosi.
Beda lagi Gendhis Ayu anak bungsunya, gadis pendiam itu berkulit sawo matang, namun
wajahnya sangat manis dihiasi rambut lurus membuatnya tampak mempesona.
Tutur katanya lembut dan menyenangkan apalagi dia juga sangat cerdas, maka tak heran
temannya banyak.
Beda dengan Nawang yang nada bicaranya cenderung ketus dan mau menang sendiri.
Selisih umur mereka yang hanya berjarak 2 tahun membuat mereka seperti seumuran.
Namun semenjak banyak orang yang sering berkomentar jika Gendhis selalu "lebih" entah
itu dari wajah, kecerdasan maupun perilaku membuat Nawa…
Part 2
Bayangan hitam itu makin mendekat. Nawang semakin gemetaran dan menutup matanya.
Mulutnya komat-kamit entah membaca doa apa. Ekor matanya mengintip ke arah bayangan
itu, ada dua yang satu kurus satunya lagi gendut.
Matanya makin merem dan jantungnya seperti hendak meloncat dari dadanya. Entah
kenapa kakinya seperti dipaku di jalan setapak itu.
"Aduh, itu wewe sama gendruwo kali ya, "batin Nawang ketakutan. Kakinya mulai lemas.
Nawang semakin gemetaran dan komat-kamitnya semakin keras. Semakin tak jelas pula apa
yang diucapkannya.
" Mati aku, wewenya tau namaku " batin Nawang sambil matanya makin merem.
" Mbak Nawang" kembali suara itu memanggil Nawang kali ini ditambah dengan tepukan
lembut di bahunya.
Nawang teriak namun seseorang menutup mulutnya. Nawang memberanikan diri membuka
matanya dan menemukan muka Gendhis hampir menempel di mukanya.
"Allhamdulillah Ndhis, kamu ta? ... Kirain aku wewe" sembur Nawang lega.
Gendhis manyun dikira wewe sama mbakyunya. Ajeng temannya yang tadi jalan bareng
dengannya cuma cekikikan.
" Dan kamu Ajeng, tak kirain gendruwo loh" Nawang berkata masih sambil ngos-ngosan.
Tawa Ajeng lenyap lalu mengikuti gaya cemberut Gendhis.Tubuhnya memang gendut tapi
dia manusia.
Namun tak lama kemudian mata kedua gadis itu menangkap ada yang tidak beres dengan
Nawang. Jariknya basah.
Seketika Gendhis dan Ajeng tertawa terbahak - bahak demi melihat Nawang ngompol saking
ketakutannya.
Nawang yang menyadari jariknya basah karena ompol, merasa wajahnya panas menahan
malu.
"Sudah jangan pada ketawa, aku takut banget tadi tak kira kamu itu wewe sama gendruwo,"
Nawang berusaha membela diri.
" Mbak Nawang lagi apa ta sandingkolo disini?" tanya Gendhis masih sambil cekikikan.
"Bune nyuruh aku nyamperin bapak di balai desa suruh pulang" kata Nawang merengut.
"Oh itu... Pak Lurah, Pak Bau sama Pak Tamping juga lagi jalan pulang kok mbak, tadi kita
lihat, " kata Ajeng.
Ajeng dan Gendhis memang habis mandi di sungai dan balai desa letaknya tidak terlalu jauh
dari sungai.
"Huh tahu gitu aku ndak usah ke balai desa aja tadi." Nawang berjalan sambil bersungut-
sungut.
Menoleh kembali dan melihat adik serta temannya masih cekikikan di belakang membuat
Nawang makin kesal.
"Awas ya, jangan bilang siapa - siapa kalo aku ngompol " teriaknya lantang sambil matanya
melotot.
Ajeng dan Gendhis diam seketika seraya menutup mulut mereka masing- masing.
**
"Kok kamu pakai ta?" tanya Nawang dengan nada tidak suka.
Terlihat Nawang sedang bersandar di pintu kamarnya dengan muka tidak bersahabat.
Dilihatnya Gendhis dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Ada pandangan iri di ma…
Part 3
Hujan deras pagi itu membuat mahasiswa KKN memberikan penyuluhan soal irigasi di
pendopo rumah Pak Lurah.
Target mereka KKN di desa ini adalah membuat bendungan agar pengairan di desa cukup
saat menghadapi musim kemarau yang akan datang.
Hampir semua warga antusias mengikuti penyuluhan itu. Para gadis malah terlihat kompak
tak berkedip saat tiba waktunya Panji yang memberi materi.
Sikap para mahasiswa yang senang membantu warga membuat penduduk desa berebut
mengundang mereka untuk sekedar singgah ke rumah mereka saat waktu makan tiba.
Semenjak ditolong Panji, Gendhis menjadi sedikit memperhatikan pemuda itu. Pemuda yang
kerap kali ketahuan mencuri pandang ke arahnya.
Pemuda yang entah dari kapan masuk menjadi salah satu nama yang diucapkan Nawang
saat berdoa.
Gendhis tengah asik melihat cerahnya sore dari balik jendela kamarnya. Semenjak
jatuh,Gendhis memang tidak boleh keluar rumah dulu.
Dari jauh dilihatnya Panji sedang berjalan sendirian menyusuri jalan setapak.
Melihat Gendhis ada disamping jendela, Panji melempar senyum kepadanya. Namun cepat-
cepat Gendhis menjauhi jendela. Hanya ekor matanya yang masih mengintip keluar.
Ingin rasanya Panji mengajak dara manis ini ngobrol.Tapi entah mengapa gadis itu selalu
berusaha menghindarinya.
Dirinya sudah sering mengobrol dengan Nawang namun gaya Nawang yang lebih sering
membanggakan dirinya membuat Panji malas jika Nawang mengajaknya ngobrol.
Tahu - tahu gadis itu sudah berdiri dibelakang Gendhis, membuatnya kaget sekaligus salah
tingkah.
" Oh... Jadi sekarang kerjaanmu ki ngintip Panji Ndis? tanya Nawang sinis.
"Mentang- mentang lagi sakit, ndak nyuci ndak nyapu ndak bantú bune trus dadi leluasa
ngono ngintip Panji" kata Nawang sok tahu.
" Ndak ko mbak, tadi memang Ndis lagi ngeliat keluar jendela, pas banget mas Panji lewat"
terang Gendhis.
" Alesanmu iku loo... Jujur wae to, nek koe ki naksir Panji kan?" lagi- lagi Nawang membuat
Gendhis serba salah.
"Ini masakan Nawang mas-mas sekalian, monggo-monggo dinikmati" kata Pak Harjo
membuka acara makan malam di pendopo.
Wajah Nawang memerah, dadanya kembang kempis melihat para pemuda memuji
masakannya enak.
Bagas salah satu pemuda KKN bahkan menyebutnya calon istri idaman dan diiyakan oleh
teman-temannya.
Sambil tersenyum, Nawang mencuri pandang ke arah Panji. Ingin melihat bagaimana
reaksinya mendengar pujian bertubi-tubi kepadanya itu.
Namun Panji terlihat sedang memandang tajam ke arah Gendhis. Nawang rela melakukan
apapun demi mendapatkan pandangan penuh makna itu.
Senyum dibibirnya lenyap seketika.
"Yang dipuji …
Part 4
Ajeng jejeritan dari seberang sungai. Dia melihat sebuah baju hanyut.
"Yah... Piye iku" seru Nawang panik. Sambil tangannya berusaha meraih namun sudah tak
terjangkau lagi.
Ajeng blingsatan lari di pinggir sungai mengejarnya. Sayang arus sungai lebih gesit
membawa kebaya bermotif bunga itu ketengah lalu membawanya lebih jauh lagi.
Muka Ajeng terlihat menyesal dan lesu tak dapat meraih baju itu. Masih di tatapnya laju
arus yang mengajak serta kain berwarna ungu tersebut.
Menghela nafas panjang dan sekali lagi memandang lesu baju kebaya favorit sahabatnya
digerus arus sungai.
Pagi ini Pak Harjo dan Nawang akan pergi ke kota. Ada sodara di kota sana yang hajat.
Niatnya mereka akan berada di kota selama 4 hari. Bu Harjo tidak ikut karena tidak ada yang
mengatur makanan pemuda KKN.
Makanya Nawang yang menemani Pak Harjo ke kota. Sebenarnya dia agak keberatan
menemani bapaknya kali ini tapi dia tidak punya pilihan lain.
Gendhis masih belum pulih benar kakinya.Tidak mungkin pula membiarkan bapaknya pergi
sendiri ke kota.
Sepanjang perjalanan pikiran Nawang gelisah. Pergi begitu lama meninggalkan desa,
bagaimana kalo nanti Panji dan Gendhis semakin dekat.
Pak Harjo yang mendengar gumam Nawang melirik sekilas ke arahnya lalu kembali menyetir
mobil tuanya.
Pak Harjo sedikit heran dengan sikap Nawang akhir- akhir ini. Dimulai dengan sikap acuh tak
acuhnya ketika ada Abimana sampai reaksinya pagi ini saat tahu akan diajak ke kota.
Biasanya Nawang bahkan selalu merengek ingin ikut saat dirinya maupun istrinya ke kota.
Nawang akan membeli segala sesuatu yang menarik dan cantik untuk dirinya.
Namun kali ini bahkan ada keengganan yang menggelayuti matanya saat mobil mulai
berjalan menjauhi desa.
" Tak sawang- sawang kok raimu ora legowo nderek bapak nyang kota cah ayu?"
" Mung opo cah Ayu? " tanya pak Harjo lembut.
"Oh iyo, kemarin nak Bima tanya sama bapak, boleh ndak kalau keluarga nak Bima sowan
kerumah" tutur pak Harjo lembut.
"Kok ngono sih cah Ayu, seneng po piye ki artinya?" tanya pak Harjo lagi
Pak Harjo bingung dengan reaksi putrinya. Tiga bulan yang lalu Nawang setengah merengek
meminta bapaknya bertanya keseriusan Abimana dengan dirinya.
Pak Harjo yang mengetahui hubungan mereka baru berjalan beberapa lama meminta
Nawang untuk bersabar dahulu.
Namun sikap Nawang yang keras kepala tak mau berkompromi. Dia seperti ketakutan akan
kehilangan Abimana.
Abimana yang baru merintis usahanya meminta waktu membicarakannya dahulu dengan
keluarganya.
Part 5
Panji segera menyadari perubahan mimik Gendhis begitu dilihatnya muka Nawang
menegang di pinggir pendopo.
"Waah.... Nawang sudah pulang ya"kata Panji mencoba bersikap biasa.
Disikutnya Bagas dan Galih yang saat itu juga bareng dengan mereka. Berdua langsung
paham kode Panji.
"Loh kayaknya sebentar ke kota kok makin cantik ya Nawang ini" puji Galih.
" Waah bener banget Lih,, lebih kelihatan fresh gitu... dan ini aduuuuh giwangnya baru
kayaknya ya Nawang" Bagas melancarkan pujiannya.
Muka Nawang yang semula nyaris meledak berlahan melunak ,sudut bibirnya tertarik tipis.
Mendadak lupa akan amarahnya dia segera membalikkan badan lalu berlahan jalan masuk
ke pendopo, senyum tipis tersungging dibibirnya.
Bagas dan Galih yang berjalan di belakangnya masih tetap melancarkan segala ilmu
kegombalan mereka ke Nawang.
Sedikit lega Gendhis menarik nafas panjang lalu beranjak masuk rumah. Tiba-tiba Panji
menarik lembut tangan Gendhis. Menggenggam erat jemarinya dan kemudian tersenyum
penuh arti.
Hati Gendhis meleleh diperlakukan demikian, sendinya mendadak lemas dan wajahnya
bersemu merah.
Gendhis Segera melepaskan tangannya namun panji menggodanya dengan semakin
mempererat gengamannya membuat Gendhis semakin salah tingkah.
Akhirnya dia berhasil masuk rumah, buru-buru menuju kamarnya lalu mendekap erat
dadanya. Seolah khawatir hatinya akan meloncat keluar jika tak didekapnya.
Perasaannya hangat, genggaman tangan Panji masih terasa di jemarinya dan senyum manis
itu... aah sungguh memabukkan, Gendhis tersenyum.
Gendhis tak sadar mata Nawang sedang memperhatikan tingkahnya. Bongkahan kebencian
itu kian membatu di hati Nawang.
Ajeng bertanya keheranan melihat Panji bersiap hendak naik motor Pak Lurah.
" Ke kota Jeng, mau ikut? Ayo mbonceng?" kata panji menggoda gadis pemalu itu.
" Jeng... Jeng sini dulu to, Panji mau tanya sini"? kata Panji menahan Ajeng
" Nopo mas?"
" Besok kamu sama Gendhis jadi panitia di balai desa to?"
"Kan kalian berdua ikut, sama Nawang sama Lastri juga kan?"
"Gendhis bingung katanya ndak ada baju yang bagus, mau pinjam punya ku kedodoran
semua" jelas Ajeng.
Merasa keceplosan dia segera menutup mulutnya. Berharap Panji tidak menyimak kata
terakhirnya.
Belum sempat Panji menanyakan lebih lanjut, gadis bertubuh subur itu sudah melesat ke
arah pendopo.
Dalam hati Panji pun menyadari sesuatu. Awal mula dirinya datang ke desa ini penampilan
Gendhis benar- benar memukau.
Baju dan jariknya selalu maching. Walaupun wajahnya nyaris tanpa polesan namun justru
itu membuat kecantikannya sangat alami.
Tapi akhir-akhir ini dia lebih sering memakai baju yang lusuh. Jarik juga seadany…
Part 6
Pertunjukan wayang kulit makin malam semakin ramai. Namun itu tak membuat hati
Nawang terhibur sedikitpun. Hatinya semakin dingin bahkan mulai membeku saat melihat
adiknya.
Entah setan apa yang merasuki sukma Nawang, saudara yang bahkan mengalirkan darah
yang sama ditubuhnya itu menjadi manusia yang paling dibencinya.
Sedari Gendhis lahir, Nawang sudah langsung membencinya. Dia selalu merasa Gendhis
merebut segala kebahagian yang Nawang punya.
Apalagi setelah tumbuh dewasa, Gendhis mempunyai paras rupawan dan hati yang
lembut.Semakin mengakar kebencian tak beralasan itu.
Padahal Nawang juga mempunyai wajah yang cantik. Nawang dan Gendhis mempunyai
pesona kecantikan yang berbeda.
Namun aura dari hatinya yang selalu memancarkan kebencian membuat kecantikan fisiknya
tak terlihat.
Penyakit hatinya telah mengakar dan bercokok begitu kuat di dadanya. Hingga apapun yang
Gendhis punya serasa wajib dimilikinya, dirampas sekalipun dia tidak peduli.
Nawang selalu merasa Gendhis ingin mengunggulinya dalam segala hal tanpa dia sadari
dirinyalah yang selalu ingin mengalahkan Gendhis bagaimanapun caranya.
"Ke sungai kan, yuk bareng aku juga mau mandi, Bagas sama Danu udah duluan soalnya"
kata Panji seraya berjalan disamping Nawang.
Bukan main senangnya Nawang mendengar ajakan Panji. Sampai menjawab pun tak
mampu.
"Oh iya Wang, kamu suka warna maroon ya?" tanya Panji hati-hati.
Saat itu matanya tak sengaja menangkap ada kebaya warna maroon di keranjang baju
Nawang.
"Oh iya suka banget mas Panji" kata Nawang agak sedikit kaget.
"Matur nuwun loh mas, sudah beliin Nawang baju, Nawang suka"kata Nawang segera.
Mengetahui arah pembicaraan akan kemana Nawang tampak cekatan menata alur
pembicaraan agar tak menimbulkan kecurigaan.
"Oh iya sama-sama Wang hehehe" panji menjawab sambil garuk- garuk kepalanya yang
tidak gatal.
"Harusnya langsung dikasih ke Nawang saja mas, ndak usah lewat Gendhis"
Sejak kapan dia memberikan kebaya maroon itu untuk Nawang. Tak ada sepatah katapun
yang menyebut nama Nawang saat memberikan bungkusan itu.
Apa jangan-jangan Gendhis ndak suka trus dikasih ke Nawang?pikir Panji bingung.
Aaah masa Gendhis gitu sih ndak mungkin,batin Panji berdebat sendiri.
Melihat Panji seolah bingung Nawang segera mencari topik pembicaraan lain.
"Eh... Mas Panji itu asalnya darimana to?" tanya Nawang manja.
"Belum mas, mbok nanti kalo mas Panji pulang Nawang diajak" kata Nawang lenjeh.
"Boleh Wang ayok" kata Panji. Nanti ya pas nganterin Gendhis boyongan ke rumah aku,
lanjut Panji dalam hati.
Mendapat respon hangat dari Panji membuat Nawang melayang. Dia sangat yakin Panji
menyukainya.
Dia semakin yakin karna ternyata dugaannya benar kebaya itu untuknya.
Ndak sia-sia kan aku ambil dari kamar Gendhis, toh gendhise ju…
Part 7
Beberapa warga yang diutus untuk menjemput pak mantri kembali dengan tangan hampa.
Satu-satunya mantri kesehatan di daerah itu sedang pergi ke kota dan baru akan kembali
esok hari.
Keadaan Panji yang tak juga sadar membuat warga desa panik. Beberapa orang yang
dipercaya sebagai "orang pintar" didatangkan.
Entah berapa kali kepala Panji disembur oleh orang pintar tersebut namun mata itu tetap
terpejam.
Gendhis hanya bisa pasrah melihat kekasihnya tergolek. Dipandanginya wajah tampan
pemuda yang berhasil memiliki segenap hatinya tersebut.
Bibir yang biasanya begitu mudah melengkungkan senyum kepadanya itu hanya terkatup
rapat. Dan mata teduh itu seperti terkunci.
Betapa dia ingin melihat mata itu terbuka dan menatapnya lagi. Namun jauh di hatinya
terselip ketakutan jika mata itu akhirnya terbuka bukan lagi sorot teduh yang ditemuinya.
Keadaan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada Nawang. Setelah melihat Panji di tandu
masuk pendopo dan melihat betapa pemuda tampan itu tak berdaya. Nawang menjadi
sangat ketakutan.
Entah rasa takut seperti apa yang mencengkeramnya. Dia bahkan sampai menggigil seperti
layaknya orang melihat hantu.
Malam itu suasana pendopo mencekam, semua panik dan tampak ketakutan. Tak satupun
warga yang meningalkan pendopo, mereka bergantian menjaga Panji yang bahkan tak
bergerak sedikitpun.
Suara kokok si jalu, ayam jago Pak lurah membangunkan warga yang tertidur kelelahan
menjaga Panji semalam suntuk.
Namun mereka terperanjat kala dipan tempat panji berbaring telah kosong.
Ramai-ramai mereka berkeliling rumah pak lurah dan sekitarnya namun sosok Panji tak juga
mereka jumpai.
Beberapa warga yang mencari ke arah balai desa terkejut melihat Panji sedang berjalan
berselempangkan handuk, seperti baru selesai mandi di sungai.
" Nak Panji dari mana saja?" tanya Pak Karto heran.
"Kita semua panik nyari mas Panji" Wasis putra Pak Karto menimpali.
"Saya baru saja mandi pak Karto, saya merasa seluruh badan saya lengket"
" Saya semalam capek banget ya sepertinya kok di pendopo rame saya ndak tahu"
Jawaban Panji membuat Pak Karto dan Wasis saling berpandangan.
Dari jauh terlihat rombongan warga berdatangan ke arah mereka. Warga heran melihat
Panji sudah segar seperti tak terjadi apa -apa padanya.
Sebaliknya Panji pun merasa heran kenapa warga berbondong -bondong mencarinya dan
menanyakan keadaannya.
Dia merasa baik-baik saja hanya sedikit pusing itupun hilang setelah dirinya mandi.
Sampai di pendopo sorot keheranan kembali mengarah kepadanya bahkan tampak seorang
bapak berpakaian putih sedang menunggunya.
Pak Mantri, begitu warga desa memanggilnya. Satu-satunya tenaga kesehatan di daerah itu.
Setelah berbasa basi seperlunya, pak mantri mulai memeriksa Panji. Wajahnya tampak
berkerut beberapa kali lalu akhirnya menatap semua warga yang hadir.
" Panji ini ndak papa lo ya, semua sehat ndak ada yg konslet"
" Nopo pak mantri" tanya pak Lurah dengan muka kawatir.
Tampak warga yang hadir pun …
Part 8
Tampak raut tak percaya di wajah Galih. Dipandanginya wajah bulat Ajeng seakan mencari
keseriusan dimatanya.
Namun baik muka maupun mata Ajeng tak ditemukannya tanda dia main-main ataupun
bercanda dengan kata- katanya.
"Dulu juga mas Abimana sempat sakit mas,tapi Ajeng lupa sakit apa soale udah lama,trus dia
kerumah pak lurah tapi sek dicari mbak Nawang dudu Gendhis" jelas Ajeng.
"Ya jelas ngerti lah mas Galih, wong tiap hari juga main ke rumah pak lurah og ngapelin
Gendhis trus tiba-tiba nanyain Nawang langsung lupa sama Gendhis".
"Pura- pura ngedeketin Gendhis padahal pengennya sama Nawang kali" tanya Galih masih
mencari adanya logika di cerita Ajeng.
"Kalo dari awal sukanya sama Mbak Nawang kenapa ndak langsung aja deketin mbak
Nawang hayo"
" Wong mbak Nawang yo lenjeh og, pacarnya banyak, la kalo Gendhis, dideketin cowok aja
takut"
"Trus ya mas Galih, itu mas Abimana lama banget lo pendekatane sama Gendhis, aku
sampai wareg ditumbaske serabi yu Jurni ( aku sampai kenyang dibeliin serabinya yu Jurni)"
" Yo iku, tiap mas Abimana tanya-tanya soal Gendhis sama aku, mas Abimana pasti bawain
serabi yu Jurni buat aku hehehe"
"Pas Gendhis sudah mau sama mas Abimana itu mas Abimana mau langsung nglamar loh
tapi wuuuuus tiba-tiba ndak lama nempel pel mbi (nempel banget sama) mbak Nawang,
aneh to"
"Kalo emang bener ada apa-apanya sama Nawang brarti abis ini Panji bakalan ngejar -ngejar
Nawang donk Jeng?"tanya Galih.
"Ya mbuh mas, ayu-ayu og jahate yuh mbak Nawang" geram Ajeng.
"Yaudah Jeng, matur suwun infone ya, nanti kalo ada info apa lagi kasih tahu aku ya" kata
Galih sambil berjalan pulang.
Kepalanya penuh sama teka teki antara Gendhis, Panji dan Nawang.
Di perjalanan pulang dia berpapasan dengan Panji. Sepertinya dia dari balai desa.
"Woi... Darimana aja kamu Lih, Pak lurah sampai bantuin ngecat loh kurang siji sek ngecat"
" Nawang kenapa emang Lih, oiya lagi ngelu ya dia tadi pak Lurah cerita sama aku" jawab
Panji datar.
"Bukan itu, eh Nji... menurutmu Nawang Ayu ndak?",Galih bertanya sambil mengedipkan
mata.
"Ayu, putih lan rajin"
"Piye to, kok malah tanya aku, la yang kamu taksir siapa?"
"Kalo kamu jadi aku kira-kira siapa ya yang pantes dijadikan istri?".
"Waah,, sopo yo Lih, sama cantiknya sama menariknya sih" jawab Panji masih tetap datar.
"Laah tersera…
Part 9
Dari jauh terlihat seorang wanita tua tengah duduk dikursi rotan yang telah menghitam di
teras sebuah rumah kecil, gubug lebih tepatnya.
Bibirnya mengepulkan asap, sebuah rokok lintingan klaras( kulit jagung) terselip di jari
keriputnya.
Sesungguhnya usia mbah Gayem sudah mencapai 113 tahun. Sebuah usia uzur yang jarang
ditemukan adanya di masa sekarang.
Namun pembawaannya yang ayem dan hidup apa adanya membuat tampilan fisik mbah
Gayem tak terlihat sesepuh umurnya.
Ajeng segera menyalami mbah Gayem, diikuti Galih dibelakangnya. Ketela rebus yang
dibawakan mamaknya segera di letakkan di dingklik tua samping mbah Gayem duduk.
Mbah gayem terkekeh melihat ketela rebus itu, lalu mata sipitnya yang cekung termakan
usia memandangi Galih dan Ajeng bergantian.
"Iki sek jenenge Panji to Jeng ( ini yang namanya Panji ya Jeng)?" tanya mbah Gayem.
Ajeng dan Galih saling berpandangan, darimana pula nenek renta ini tahu akan Panji?
Setenar itukah pesona Panji sampai penghuni pinggir hutan macem mbah Gayem saja tahu?
"Sakjane jodo ki wes Ono sek ngatur, campur tangan manungso mung nggawe ngawur
(sebenarnya jodoh itu udah Ada yang ngatur, campur tangan manusia cuma bikin kacau)"
gumam mbah Gayem kepada Ajeng.
"Dadi manungso ojo ketungkul karo kadonyan opo maning nganti nyilakani dulur nduk, ora
ilok(jadi manusia jangan terobsesi dengan duniawi apa lagi sampai mencelakai sodara, tidak
baik) katanya sambil terkekeh.
Mbah Gayem memang terkenal agak aneh namun bagi yang paham, selalu ada maksud
dibalik celotehannya sayangnya orang lebih sering mengabaikan. Malah menganggapnya
tidak waras.
Dipandanginya Galih, "Ngundhuh wohing pakarthi (setiap orang akan mendapatkan balasan
yang setimpal atas perbuatannya)".
Ajeng dan Galih hanya bisa terdiam dan tercekat dengan kata- kata manusia yang
keberadaannya telah lebih dari seabad itu didunia.
"Ciduk banyu tuk sigaru mbi bathok, usapke rikma mbakyune, matur nuwun telone ( ambil
air di mata Air sigaru pakai bathok kelapa lalu usapkan ke rambut kakaknya, terima kasih
singkongnya) nduk" katanya sambil tertatih masuk ke dalam gubugnya.
Ajeng tertegun beberapa saat namun karena dia sudah sering berjumpa dan ngobrol dengan
mbah Gayem sebelumnya tak membuatnya terlampau heran dengan kelakuan nenek renta
itu.
Sebaliknya,Galih pemuda kota yang baru bertemu nenek Gayem tersebut bergidik ngeri.
Mungkin aura mbah Gayem terlalu misterius baginya. Aroma tubuhnya pekat dengan bau
kemenyan bakar yang berasal dari rokok lintingnya.
Rambut putihnya digelung khas wanita jawa, terselip bunga melati yang telah mengering
diantara rambutnya.
Bibirnya menghitam petanda dia perokok berat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya
kebanyakan kiasan jawi kuno yang membingungkan siapa saja yang mendengar menambah
wingit penampilannya.
Part 10
Bu Harjo menghambur ke pelukan Nawang, didekapnya Nawang dengan erat seolah dirinya
telah lama tak bersua dengan gadis cantik ini.
Sejenak suasana haru dan bahagia menyelimuti warga yang ada dipendopo itu.
Terlihat Galih sedang meringis ketika salah satu kakinya sedang dipijit Pak Karto, sepertinya
Galih terkilir.
Kalau Galih terkilir, lain lagi Ajeng, gadis tambun itu belum pernah berlari secepat itu
sebelumnya sekarang nafasnya mendadak sesak.
Salah satu warga yang habis merumput melihat mereka berdua tergeletak lemas di depan
rumah mbah Gayem.
Memang masih bisa meringis tapi mereka benar-benar lemas, perpaduan capek dan takut
kayaknya.
Sesampainya di pendopo, Galih langsung meminta Pak Lurah mengusapkan air yang ada di
bathok kelapa itu ke rambut Nawang.
Dengan wajah bingung Pak lurah menuang sisa air yang isinya nyaris habis itu kemudian
diusapkan ke rambut Nawang yang kebetulan tertidur sejak dikasih obat yang dibawa oleh
Gendhis dari kota.
Tak lama Nawang bangun, mengenali ibunya kemudian minta makan. Berita sadarnya
Nawang cepat tersebar ke penjuru desa.
Warga berduyun-duyun menuju pendopo. Selain ingin melihat Nawang mereka juga
penasaran siapa gerangan yang mampu menyembuhkan Nawang.
Namun keadaan Galih sepertinya belum bisa ditanya banyak. Ajeng apalagi namun mereka
berdua mendadak menjadi pahlawan desa Somawangi.
Gendhis nampak bahagia melihat kakaknya telah pulih. Dirinya dan Panji baru sampai desa
pas waktu mahrib.
Seharian bersama Panji membuat hatinya tak menentu. Dielusnya jaket setengah basah
milik Panji yang masih dikenakannya.
Masih tersisa aroma khas tubuh Panji disana membuat Gendhis merasakan nyaman
sekaligus nyeri. Seandainya cinta bisa terhenti secepat saat dia jatuh hati, mungkin sekarang
dia tak perlu sesakit ini.
Lewat tengah malam tiba-tiba Nawang yang sudah pulih seperti sedia kala kembali
menggigil. Kali ini malah wajahnya semakin pucat dan matanya tampak melotot marah.
Bu Harjo yang tidur menemani Nawang kaget saat melihat tubuh putrinya pucat dan
mengejang, baru beberapa jam yang lalu Nawang minta selalu dipeluknya karena dia bilang
merasa takut.
Kehebohan kembali terjadi di rumah Pak Lurah. Pendopo yang awalnya mulai lengang dan
sepi kembali ramai oleh warga.
Pagi buta ,pak Lurah mengajak serta pak Wongso, mbah Jiwo,beberapa sesepuh desa, Ajeng
dan Galih untuk berdiskusi serius di ruangan khusus samping pendopo.
Sengaja mereka "ngumpet" agar lebih bisa berkonsentrasi dalam membahas Nawang.
Mula-mula Ajeng bercerita soal kedatangannya ke rumah mbah Gayem sampai pada saat
Galih mengajaknya ke siwerak.
Pak Lurah dan yang lainnya tampak serius mendengarkan cerita Ajeng dan Galih. Tak bisa di
sembunyikan jika terpancar dengan jelas raut muka ketakutan di wajah mereka.
Lama terdiam, mbah Jiwo selaku pinisepuh dan orang pintar didesa angkat bicara.
" Agaknya Nawang mencoba meniru Wening Harjo" katanya kepada Pak Lurah.
Pak lurah hanya tertunduk kehabisan kata-kata dia sungguh tak menyangka…
Part 11
Galih tertatih meninggalkan hutan wingit siwerak. Kakinya memang masih belum pulih
benar namun dia sangat semangat kali ini.
Belum lagi dirinya keluar dari hutan, ketemu lagi dengan rombongan bebek putih yang
seperti terdiam menatapnya.
Bulu kuduk Galih meremang tanpa komando. Perlahan dia berjalan menunduk seperti saat
pertama kali melihat bebek itu.
Tanpa menoleh kebelakang lagi, dia berlari secepat mungkin menuju pintu masuk hutan.
Nafasnya agak tersengal dan kakinya mulai terasa berdenyut nyeri. Terseok Galih berjalan di
jalan setapak depan rumah mbah Gayem.
Terlihat wajah wanita renta itu dibalik jendela yang kacanya mulai menghitam,
pandangannya beradu dengan mata Galih membuat galih bergidik ngeri.
Galih semakin mempercepat langkahnya, sampai akhirnya dia merasa tidak kuat lagi
melangkah.
Galih terduduk di rumput jalan setapak sambil meringis memijat kakinya yang sekarang
terasa sangat nyeri.
"Duuh,,, jangan sakit dulu donk, penting ini"keluhnya masih tetap sambil memijit.
Antara ngeri dan senang, ngeri seandainya yang datang bukan sosok manusia tapi senang
jika itu benar manusia berarti dia bisa minta tolong kembali ke desa.
Galih melepas nafas lega melihat wajah bulat itu yang muncul. Ajeng yang melihat Galih
lesehan dirumput segera berlari menghampiri.
"Mas galih kok disini, ndak ikut masuk siwerak to?" tanyanya.
"Ikut Jeng, ini aku bar dari siwerak disuruh mbah Jiwo jemput Gendhis"
"Tuh kan bener dugaan Ajeng, dasar emang mbak Nawang sontoloyo" geram Ajeng berapi-
api tangannya bahkan mengepal gemas.
"Trus mas Galih ngapain nglemprak ( lesehan) disini, katanya suruh jemput
Gendhis?"bisiknya.
" Iya, aku juga lagi jalan mau ke desa Jeng tapi kakiku nyeri banget makanya istirahat
sebentar disini" jawab Galih meringis sambil memijit kakinya.
"Owalah iyo, kaki mas Galih kan kesleo yo, pak Lurah lali (lupa) opo ya kok nyuruh mas Galih
yang jemput Gendhis sih?" sesal Ajeng.
"Gini aja mas, biar Ajeng yang jemput Gendhis ke desa, mas Galih tunggu sini aja
piye?"tawar Ajeng.
" Aku tunggu disini sendirian ngono (gitu)?" Galih terlihat ragu.
"La iyo.. Kan Ajeng nyusulin Gendhis ke desa, piye to? "
"Aduh Jeng, aku takut kalau sendirian di tengah alas( kebun) gini, tadi kamu datang aja tak
kira memedi" jawab Galih dengan muka memelas.
Part 12
Gendhis mencoba mendekati tuk, lalu berlahan dilihatnya dua batok yang mengambang
disitu.
Ada bathok berisi air dan bunga putih satunya lagi bathok berisi bunga merah. Hanya itu
yang dilihatnya.
" Mboten kethingal suryanipun sinten-sinten ( tidak terlihat muka siapapun) mbah?" tanya
Gendhis bingung.
Mata Gendhis tertuju ke arah yang ditunjuk mbah Sruni. Pemandangannya masih sama, air
dan beberapa helai bunga mawar putih disana.
Namun semakin diperhatikan perlahan ada wajah Nawang disana, Nawang yang sedang
tersenyum. Itu senyum Nawang saat pertama kalinya Gendhis bisa menulis. Ya... Nawanglah
yang mengajarinya menulis kala itu.
Masih sama isinya walaupun berlahan tergambar wajah Panji disana, senyumnya yang
manis dan pandangan teduhnya yang melenakan. Perasaan hangat menjalari relung hatinya,
betapa dia merindukan tatapan dan senyum itu.
"Jikuk sidji ( ambil satu) cah ayu,tanya hatimu siapa yang pantas kamu selamatkan"bisiknya
lembut.
Hati Gendhis bergetar, tangannya bahkan sangat berat terangkat. Namun dengan mantap
dia mengambil salah satu bathok.
Bathok itu digenggamnya erat seolah itu satu-satunya harta yang dia miliki.
Pandangan matanya lekat memandang bathok bunga merah dengan senyum Panji disana,
berlahan air tuk memenuhi batok itu hingga akhirnya tenggelam bersama setengah dari
jiwanya.
Pandangannya beralih ke mbah Sruni mencoba mencari tahu sudahkah benar pilihannya.
Mbah Sruni hanya manggut- manggut dengan sorot mata yang menghujam sukma Gendhis.
Ajeng tampak melongo tak percaya memandangi bathok yang kini berada di tangan mbah
Jiwo.
Keheningan tampak menguasai hutan sepi itu sampai ketika seekor bebek mencoba
"nyosor" Ajeng.
"Aduh... Iki bebek opo to,hush... hush" teriak Ajeng mencoba mengusir bebek yang hendak
mematuk kakinya.
Semua tampak kaget oleh jeritan Ajeng, segera mbah Jiwo berkomat-kamit dan ajaibnya
tiga ekor bebek itu langsung lari ke balik rerimbunan hutan.
Ajeng mengangguk malu. Mbah Jiwo sakti banget sih sampai aku lagi haid aja tahu, batin
Ajeng.
"Bukan saya yang tahu Jeng, tapi bebek itu yang ngasih tahu" kata mbah Jiwo membuat
Ajeng terperanjat.
Wiiiih.. Sakti tenan mbah Jiwo iki aku ngomong dalam hati bisa tahu, batin Ajeng sambil
manggut-manggut.
Galih mengaruk kepalanya yang tidak gatal, apa hubungannya bebek itu sama Ajeng yang
lagi haid.
Akhirnya mbah Jiwo menemui mbah Sruni entah mereka berbicara apa setelah itu beliau
berpamitan, disusul oleh semuanya.
Mata Mbah Sruni mengantar kepergian mereka, dipandanginya Gendhis dengan mat…
Part 13
"Ternyata enak ya Jeng," kata Galih dengan mulut monyong penuh serabi.
"Jelas to, serabi yu Jurni ini sudah terkenal sampai kecamatan loh," jawab Ajeng dengan
mulut tak kalah monyong.
Dipandangnya wajah bulat Ajeng yang kegirangan menyantap serabi hangat itu. Gadis lugu
ini memberi warna lain di sisa hari terakhirnya di desa.
"Mas Galih, Ajeng boleh bungkus buat mamak dan mbak Arum ndak," celoteh Ajeng
membuyarkan lamunan Galih.
"Oh iya boleh Jeng, sekalian buat Gendhis dan Nawang juga ndak papa"
"Opo,mbak Nawang... Cih ndak lah yaw buat Gendhis aja,"kata Ajeng mecucu.
"Aku sengit (benci) sama mbak Nawang," gumam Ajeng dengan mimik muka sedih,
mungkin dirinya ingat perlakuan buruk Nawang ke Gendhis sahabatnya.
" Gendhis iku ndak bisa marah mas Galih, ndak tahu Ajeng juga bu Lurah dulu pas mbobot
(hamil) Gendhis nyidam opo ,kok anaknya bisa beda gitu, satu tukang marah satu lagi ndak
bisa marah,"cerocos Ajeng.
Galih terdiam mendengar pendapat Ajeng tentang dua bersaudara yang cantik itu. Diam-
diam terselip perasaan haru untuk Gendhis.
"Mungkin ndak ya Jeng, Panji teringat lagi sama Gendhis" gumam Galih.
"Ndak ada yang ndak mungkin sih mas Galih, kalau pun bukan mas Panji semoga aja Gendhis
dapat gantinya yang lebih baik"
"Jeng, nanti kalau aku sudah kembali ke kota, jangan lupain aku ya" gumam Galih.
"Mas Galih paling yang lupa sama Ajeng" kata Ajeng, serabi yu Jurni mendadak tak lagi
menggugah seleranya.
Pagi ini Nawang sedang menyapu halaman rumahnya. Di ujung pendopo tampak beberapa
pemuda KKN sedang asik bercengkrama.
Nawang semakin semangat menyapunya ketika ekor matanya menangkap bayangan Panji.
"Oh iya.. Sampun mas"balasnya riang, kemarin ibunya cerita kalau dirinya sempat demam
beberapa hari. Namun anehnya dia tidak ingat apapun.
"Besok acara penutupan KKN kamu ikut ndak di balai desa Wang?"tanya Galih.
"I.... Iya"
Ada nada tidak percaya Nawang disana, kemudian Nawang memandang Panji lekat-lekat
namun pemuda itu melengos malah terlihat berlalu dari hadapan Nawang.
Dada Nawang bergemuruh dilemparkannya sapu lidi itu lalu bergegas menuju kamar
Gendhis.
Dilihatnya adiknya sedang duduk menghadap jendela. Diseberang tampak punggung Panji
dan Galih yang sedang menuju balai desa.
Gendh…
Part 14
"Gendhis, selamat pagi, kamu habis menangis yah... Semoga bunga yang aku selipkan
dijendela bisa membuatmu tersenyum yah" sapanya manis sambil tersenyum.
Tanpa menunggu jawaban Gendhis Panji kembali mengatur penataan barang di mobil truk.
Seolah sapaannya memang hanya basi basi yang tak butuh jawaban.
Gendhis tertegun dan tercekat, dia salah. Panji benar-benar telah melupakannya.
Harapan yang tadi sempat meletup padam seketika.Panji meletakkan bunga itu untuk
menghiburnya bukan karena perasaannya yang kembali bersemi.
Terdiam Gendhis kembali memasuki pendopo. Pak Harjo yang sedang membantu para
pemuda KKN berbenah menoleh melihat putrinya.
Raut wajah Gendhis sangat sedih bahkan nyaris menangis. Namun Gendhis langsung berlari
ke kamarnya.
Pak Harjo segera mengejar putrinya, sejak kejadian kala itu baru kali ini dirinya melihat
Gendhis menangis.
Melihat betapa sedih hati putrinya membuat batin Pak Harjo sangat hancur. Sebagai
bapaknya dia bahkan tak bisa berbuat banyak untuk sekedar menengkan hati Gendhis.
2 tahun kemudian.
"Nduk cah Ayu, sudah 3 kali ini kamu menolak ketika ada pemuda yang hendak melamarmu,
apakah kamu benar-benar tidak ingin berumah tangga? " tanya Bu Harjo.
Baru siang tadi rumahnya menerima tamu dari kota yang berniat ingin melamar Gendhis.
Namun lagi- lagi hanya gelengan kepala yang Gendhis berikan. Bu Harjo dan Pak Harjo pun
tidak bisa berbuat banyak apalagi memaksa kehendak putrinya.
Mereka hanya bisa mengucapakan seribu maaf kepada siapa saja yang pernah datang untuk
melamar Gendhis.
"Ora ilok (tidak baik) lo nduk, seorang anak perawan menolak pemuda yang melamarnya,
apalagi sampai berkali-kali",ujar Bu Harjo.
Entahlah, hatinya terasa hampa semenjak kepergian Panji. Separuh dirinya seperti dibawa
serta pemuda itu. Tak ada lagi keinginan untuk membuka hati kepada siapapun.
Bahkan saat melihat kakaknya Nawang menikah dengan Abimana, tak membuat hatinya
bergeming untuk mulai sebuah rajutan cinta agar dirinya bisa segera menyusul Nawang.
Hatinya begitu kosong tak bernyawa, Panji benar-benar seperti membawa serta jiwanya
kala itu.
Namun hatinya sedikit tergerak ketika melihat bapak dan ibunya. Apalagi didesanya gadis
seusia Gendhis hanya ada beberapa yang belum menikah.
Ketika berkumpul dengan kerabat, pertanyaan kapan Gendhis akan menikah selalu menjadi
bahasan, apalagi kakaknya yang berusia tak jauh dari Gendhis sudah mempunyai seorang
putra.
Itu membuat ganjalan tersendiri untuk Gendhis, dia ingin membahagiakan bapak ibunya di
usia tua mereka. Namun saat ada pemuda yang berniat meminangnya hatinya seperti
berontak tak terima.
Padahal sebagai anak kepala desa, para pemuda yang datang melamarnya juga bukan
pemuda sembarangan.
Nama baik Pak Lurah Harjo dan kecantikan Gendhis sudah tersohor sampai kota sana,
namun mereka harus menelan kecewa kala Gendhis hanya menggelengk…
Part 15
Panji terlihat resah dan tidak tenang, berkali kali matanya melirik jam yang melingkar
ditangannya. Sore ini Panji memang sedang menunggu Galih.
Ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya sejak pertama mengingat gadis manis
Somawangi itu. Seperti sesuatu yang besar dan membuncah namun terhalang.
Agak tergesa Galih menghampiri Panji yang terlihat mondar mandir di parkiran.
"Ndak papa Lih.. yuk duduk dimana gitu biar enak ngobrolnya,"kata Panji.
"Siap mas Galih,"jawab pemilik kantin yang biasa dipanggil Bu Tini itu sigap.
"Jadi gimna Nji ada apa kok kayaknya agak serius ini," ujar Galih memulai.
"Gini Lih, kemarin abis ketemu kamu itu aku mendadak pengen nostalgia masa kuliah
ceritane lo, pas lagi bongkaran nemu ini," kata Panji sambil menyerahkan album foto jadul.
"Waah.... Masih ada punyamu Nji, duwekku (punyaku) ilang e," ujar Galih girang sambil
jarinya sibuk membuka lembar demi lembar album itu.
"Waah iki Bagas ireng (hitam) banget hahaha," katanya kegirangan.
"Iki gaweanmu (kerjaanmu) Nji moto aku pas lagi tidur,"katanya lagi sambil meninju pelan
lengan Panji.
Panji hanya tersenyum melihat tingkah sahabat lamanya itu. Jantungnya berdegup tak
beraturan mengikuti jari Galih yang sedang membolak balik album foto itu.
"Waah.. Gendhis sama Ajeng," katanya sambil menunjuk foto dua orang gadis berkebaya
yang sedang mencuci disungai.
Agak lama Galih memandang foto itu, senyum Ajeng memang tampak manis disana.
Teringat kembali berbagai tingkah konyol yang gadis gempal itu lakukan.
"Eh... Tadi kamu mau nanya apa Nji, kok malah aku asik sendiri sih," kata Galih.
"Eem... Gimana ya Lih, aku juga bingung sebenernya, dari kemarin nemu album ini dan lihat
foto Gendhis kok perasaanku aneh ya tapi aku juga bingung apa",kata Panji sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Galih agak terkejut mendengar pengakuan Panji. Pasalnya sampai sekarang dirinya pun tak
bisa melupakan kejadian klenik yang terjadi kala mereka KKN itu.
"Kamu inget apa aja soal Gendhis Nji?" katanya bersemangat.
"Ya... apa ya, cuma inget gitu doank Gendhis anak pak Lurah tempat kita menginap waktu
KKN"
"Lah piye, itu doank sek tak inget Lih, tapi aku bingung, coba deh buka halaman selanjutnya
album itu"
Buru-buru Galih membuka album itu dan beberapa halaman terakhir tampak dipenuhi oleh
foto Gendhis dalam berbagai ekspresi dan tempat.
"Waaah, ayu banget emang Gendhis yo, ndak gaya aja apik lo fotone, pantes kowe (kamu)
klepek-klepek Nji"gumam Galih tanpa sadar.
"Naaah.... Itu yang pengen aku tahu Lih" kata Panji terlonjak.
" Opo.. aku nembe ngomong opo emang?" Galih tampak bingung dan balik bertanya.
"Ada hubungan apa antara aku sama Gendhis, secara ndak mungkin lah... aku moto ndekne
(dia) banyak banget gitu trus aku nd…
Part 16
Galih tampak duduk disalah satu kursi tunggu sebuah rumah sakit. Kebetulan siang itu
suasana agak sepi cuma ada beberapa saja orang yang berlalu lalang didepannya.
Saat sedang asik memperhatikan orang yang lewat matanya tertumbuk kepada sosok
berbaju putih yang baru memasuki ruangan.
Sosok berbaju putih yang sepertinya seorang dokter itu juga nampak memandang ke
arahnya.
"Kamu mahasiswa KKN itu kan ya, siapa namanya aduuh.... lupa saya, temennya Ajeng kan?"
kata pak mantri tak kalah girangnya.
" Galih pak, saya mahasiswa yang di desa Somawangi itu" kata Galih sambil mengulurkan
tangan mengajak bersalaman.
"Walah... Lama ndak ketemu ya, kamu siapa yang sakit, kok ada disini?" tanya Mantri
Sugeng.
"Oh ini... Ndak ada yang sakit alhamdulillah pak, saya sedang menunggu bapak saya
kebetulan tugas di sini " kata Galih.
"Bapakmu kerja disini lih? Siapa namanya siapa tahu saya kenal to?," tanya mantri Sugeng.
"Looh.. dokter Wiratama maksudmu ngger? Kamu ini yang namanya Galih Wiratama to?"
tanya pak mantri dengan nada tak percaya.
Galih mengangguk pelan, dia juga merasa heran pak mantri mengetahui profesi ayahnya
dan bahkan nama lengkapnya kini.
"Kalo kamu mah aku kenal ndak perlu dikenalin lagi, " lanjut mantri sugeng
terkekeh.Membuat Galih semakin bingung.
Tak lama muncul seorang pria paruh baya yang mengenakan mantel putih serupa yang
dipakai mantri Sugeng.Raut mukanya terlihat bijaksana dan ramah, dia adalah dr. Wiratama
bapak Galih.
"Kalian sudah kenal rupanya" sapa dr. Wira sambil berjabat tangan dengan mantri Sugeng.
"Walah pak, Galih ini mahasiswa yang mondok dirumah mbakyuku di Somawangi ya pasti
kenal tapi ndak tahu kalo dia putra pak Wira" jelas mantri Sugeng terkekeh.
"Tumbu ketemu tutup iki jenenge ( sesuatu yang sangat cocok ini namanya)" kata Dr.
Wiratama sambil terkekeh.
Kemudian mereka menuju ke parkiran tak lama mobil yang mereka tumpangi memasuki
sebuah rumah makan yang saat itu tampak lengang.
Rupanya diantara dr. Wira maupun mantri Sugeng telah menyusun sebuah rencana.
Rencana perjodohan Galih dengan Gendhis.
Galih tampak kaget sekaligus tidak setuju mendengar rencana mereka. Apalagi saat ini Panji
tengah berusaha keras mengingat Gendhis.
Bagaimana jika Panji tahu hal ini ,bisa-bisa dibunuh aku sama insinyur muda nan ganteng
itu, batin Galih.
Dan Galih, aah... sudah ada sebuah nama yang menghuni hatinya.
Tapi ditahannya dulu keinginannya. Lagipula ini baru sebuah rencana dan Galih tahu pasti
ayahnya bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendak.
Sejurus kemudian Galih tersedak kala mendengar "rencana" mereka akan direalisasikan…
Part 17
Galih cuma berdua Panji di dalam mobil. Di kursi belakang tampak beberapa "seserahan"
yang apik dibentuk sedemikian rupa.
Panji senyum-senyum sendiri melihat sahabatnya. Baru kali ini sahabatnya tampil rapi,
biasanya slengean banget penampilannya.
" Digatekke ( diperhatikan) kamu ganteng juga Lih" goda Panji sambil terkekeh.
"Laah....selama ini aku tuh cuma pura-pura jelek Nji" jawab Galih santai.
"Halaaah... ini sih cuma efek baju batikmu aja Lih, kamu jadi agak mangklingi"
"Ngawur... wong ibuku bilang aku itu cowok paling ganteng sedunia kok"
"Kenyataannya boro-boro sedunia, cuma berdua kamu aja aku udah kalah telak hahahah"
kata Galih terkekeh.
"Lih... Makasih ya, kamu itu teman terbaik yang aku punya" kata Panji sungguh-sungguh.
Galih hanya tertawa. Liat aja nanti apa kamu masih bisa nyebut aku teman terbaik, batin
galih.
Perjalanan mereka terasa sangat melelahkan. Bahkan waktu telah masuk waktu asyar.
"Lih... ndak salah kamu, calon istrimu jauh banget rumahnya, kenal dimana sih edaaaan"
Panji berkomentar.
"Wes to.. Rasah protes, jodoh itu Allah yang ngatur dimana aja sesulit apapun keadaannya
kalo Allah sudah menggariskan, pasti ketemu ndak ada yang bisa menghalangi ndak ada
yang bisa nuker"kata Galih.
"Tak kira kamu itu ndak suka cewek Lih, soalnya dari dulu kan ndak pernah aku lihat kamu
pacaran opo dekat sama cewek ngono"
"Halah kaya kamu pacaran aja Nji paling banter juga sama Gendhis" ucap Galih.
Panji tampak termangu, memang baru Gendhis perempuan yang mampu menggetarkan
hatinya.Tapi nasib cinta pertamanya sudah pupus kini.
Galih melirik sekilas sahabatnya yang tiba-tiba terdiam. Ada raut sedih disana.
"Nji... tolong kamu gantiin nyetir ya, ngeri aku belum pengalaman medan gini"kata Galih.
Panji mengangguk, sejurus kemudian tampak Panji yang berada dibalik kemudi.
Medan yang dilalui memang terjal dan banyak tikungan tajam.Jika pengemudi tidak jeli
bukan tidak mungkin mobil terperosok ke kebun atau malah jurang.
"Udah lama aku juga ndak nemuin medan gini Lih, kagok ne hehehee"
"Jaman KKN lih, naik motor sih dulu pas nganterin Gendhis ke rumah pakleknya"jawab Panji
lancar.
Kemudian dia terdiam sendiri menyadari kata-katanya. Lalu Panji mulai memperhatikan
jalan didepannya. Sepertinya jalan ini tidak asing baginya.
"Kanapa Nji?" tanya Galih pura-pura bodoh. Padahal dia yakin Panji mulai menyadari ini
jalan menuju kampung dulu mereka KKN.
"Ini bukanya jalan ke Somawangi ya?Tuh... Bner itu jembatan kan dulu kita yang
ngecat,bener g sih ?" kata Panji keheranan.
"Waah... Pak Insinyur selain ganteng ternyata daya ingat seperti gajah ya"Galih terkekeh.
"Sebentar... Sebentar" ucap Panji tiba-tiba lalu mesin mobil dimatikan olehnya.
Gendhis Ayu
Part 18
Sementara itu di dalam kamar Gendhis tampak ditemani oleh sahabat terbaiknya
Ajeng.Gendhis tak henti-hentinya menangis,dia tampak sangat putus asa kali ini.
Ajeng bingung menenangkan sahabatnya itu,malah dirinya kini ikut menangis tak tega
rasanya melihat Gendhis.
"Jeng...aku tak lari aja ya Jeng,aku ndak mau dilamar siapa itu aduh siapa sih aku ndak tau
namanya huhuhuhu" kata Gendhis terisak.
"Ojo no Ndis...mesakke bu Lurah ( jangan donk Ndis kasihan bu Lurah)"kata Ajeng ikut
terisak.
Mereka tidak tahu jika yang datang melamar Gendhis kali ini adalah lelaki yang namanya
selalu Gendhis dengungkan dalam lantunan doanya.
"Gunting...ndi gunting aku tak mati wae saiki yo( gunting,mana gunting aku tak mati aja
sekarang ya)"kata Gendhis sambil matanya nanar mencari keberadaan benda itu.
"Aduuuh...ojo Ndis,walah bu Lurah mana ini,takut Ajeng" kata Ajeng bingung sambil
memeluk erat sahabatnya.
Untunglah tak lama bu Lurah tergopoh masuk kamar Gendhis,terlihat Ajeng dan Gendhis
sedang berpelukan sambil menangis.
"Bune, Gendhis minta maaf bune, tolong Gendhis ndak mau bune" Gendhis memohon
seraya bersimpuh di kaki ibunya.
Diikuti Ajeng yang juga bersimpuh mengharap bu Lurah membatalkan saja lamaran untuk
Gendhis kali ini.
"Aduh... aduh... Piye nek ngene iki ( gimana kalau kaya gini)"kata Bu Lurah kebingungan
sambil berusaha membangunkan keduanya berdiri.
"Coba Jeng cah ayu,kamu cuci muka trus intip ke pendopo kamu lihat ada siapa" perintah Bu
Lurah.
Ajeng segera beranjak ke dapur, menyiuk air di gentong air lalu membasuh mukanya.Lalu
buru-buru berjalan ke arah pendopo.
Melalui celah kecil di penyekat ruangan dia melihat seluruh tamu yang ada dipendopo.
Matanya membulat ketika menangkap sosok yang menonjol disana. Segera dia berlari ke
kamar Gendhis.
"Ndis.... Ndis kali ini kamu harus mau dilamar Ndis, tenan" teriak Ajeng kegirangan.
Gendhis tampak protes ke arah Ajeng, tidak percaya dirinya jika Ajeng berbalik tak
mendukungnya kini.
Bu Lurah mengusap kepala Gendhis perlahan, terasa benar jika beliau amat menyayangi
putrinya itu.
"Ndak papa kalau nanti kamu nolak lamaran ini nduk, cuma setidaknya kamu lihat dulu siapa
yang melamar kamu kali ini" kata beliau.
"Setelah kamu lihat dan kamu merasa tidak cocok bune ndak bakal maksa kamu buat terima
cah Ayu" bujuknya lembut.
"Bune ndak marah kan kalo Gendhis nolak lagi"? kata Gendhis meyakinkan.
"Sudah cuci mukamu dan sini ibu rapiin sanggulnya" perintahnya kemudian.
Gendhis tampak menuruti perintah ibunya, walaupun berat setidaknya ibunya mengizinkan
seandainya dirinya menolak lagi lamaran yang datang.
Part 1
"Aina adalah adik kalian, Papi harap kalian dapat selayaknya menjadi saudara"
Suara Arman Herlambang memecah kesunyian ruang makan yang ditata aristokratis ini.
Suasana tetap hening, hanya terdengar denting sendok dan garpu yang sesekali beradu
dengan piring-piring di meja makan.
Meski demikian, ketenangan hanya nampak dipermukaan saja. Jauh dalam dada mereka
yang duduk melingkari meja makan, bergemuruh
"Aina, mulai saat ini, kau adalah bagian keluarga ini, jangan canggung"
Aina hanya mengangguk perlahan. Lidahnya tak sanggup mengucap satu kata pun ditengah
keluarga barunya. Aina tak nyaman dengan aura ketidaksukaan keluarga ini. Aina mampu
merasakan tatap kebencian dalam diamnya mereka.
Nampak rona terkejut menghiasi wajah kakak-kakak Aina. Namun, hanya sesaat, suasana
kembali tenang seperti tak ada apapun.
Selepas makan bersama keluarga barunya, Aina tak tahu harus melakukan apa, harus
bicara pada siapa dan bagaimana. Semua orang tampak tak mempedulikannya. Jangankan
menyapa, melihat ke arahnya saja tidak.
Hanya Papi yang peduli padanya. Papi kandungnya yang baru diketahui di ujung kematian
kakek. Papi membawanya ke rumah ini sebagai anak kelima keluarga Herlambang.
Aina hanya diam di sudut kamar mewahnya. Dia rindu kampung halaman, rindu kakek dan
nenek. Satu tetes bening lepas dari pelupuk wajahnya.
Tapi, mereka sudah meninggalkannya sendirian di dunia ini. Tersudut di pojok kamar yang
sangat asing dan menyiksanya.
===
Raisa kakak kedua Aina menyerang papi dengan mata menyala. Raisa adalah dokter muda
yang baru saja mendapat izin praktek.
Papi mengumpulkan ke empat anaknya untuk meminta mereka bersikap lebih baik pada
Aina. Dua hari ini Papi melihat mereka membuat Aina seperti diabaikan.
"Ingat, darah yang mengalir di tubuh Aina sama dengan darah kalian"
Arman mulai tersulut emosi
"Kalau kami mengakui dia, sama saja kami mengkhianati Mami, mengakui perselingkuhan
Papi"
Plak!
"Jaga bicaramu!"
"Kenapa, apa aku salah bicara kalau Papi selingkuh, mengkhianati Mami belasan tahun
lamanya! "
Arya menantang Papi. Sebelum Papi lebih murka, Refan membawa Arya keluar dari
ruangan.
Raisa pun pergi dari ruangan, disana tinggal Metta yang diam seribu bahasa. Dia pun
membenci Aina, tapi tak mampu melawan Papi yang sifatnya keras.
Sementara, Aina menangis di balik tirai. Kepingan hatinya terserak entah kemana. Jiwanya
rapuh, tak diakui itu sangat menyakitkan.
Didikan Arman yang keras pada anak-anaknya membentuk pola keras juga pada keempat
anaknya. Hukuman demi hukuman atas kesalahan kecil maupun besar menjadi makanan
harian mereka.
Setahun setelah kematian istrinya, Arman Herlambang bertemu dengan mantan mertuanya,
kakek Aina.
Pertemuan yang tak terduga saat Arman mengurus proyek di Garut. Arman yang sedang
mengemudi mob…
Part 2
Zidan membawa Aina ke sebuah foodcurt di Mall tersebut. Sudah 15 menit Aina menangis di
hadapannya.
Zidan menyodorkan sapu tangannya. Aina tanpa melihat ke arah Zidan, mengambil sapu
tangan biru miliknya. Aina menyeka air matanya perlahan. Harum parfum maskulin Zidan
sedikit membawa ketenangan
Hening....
"Tentu"
Zidan terkejut mendengar perkataan Aina. Dia menangkap ada ketidakberesan disini.
Namun, dia cukup tahu diri untuk tak bertanya lebih jauh.
Ada rona terkejut di wajah Aina. Mulutnya sedikit terbuka. Zidan tersenyum melihat reaksi
Aina
Zidan menopangkan tangannya di dagu. Dia menatap Aina lekat. Ditatap begitu Aina jadi
gugup, hampir saja juice lepas dari tangannya.
Zidan membawa Aina ke mobilnya, Aina duduk di depan bersama Zidan. Gugup Aina
semakin menjadi saat tangannya tak sengaja bersentuhan dengan Zidan.
Selama perjalanan mereka lebih banyak diam, Aina menatap keluar jendela, pandangannya
menerawang menembus macet parah di jalanan Ibu Kota.
Kerlap-kerlip lampu jalan mulai terpasang di sore jelang magrib waktu Jakarta. Barisan
panjang kendaraan roda empat menjadi pemandangan keseharian yang mau tak mau harus
diterima dengan ikhlas. Apalagi di jam sibuk seperti sore ini. Merutuk ditengah kemacetan
hanya menambah daftar penderitaan saja.
Aina merasakan beban berat di hatinya saat harus kembali ke rumah itu. Terbayang
olehnya, Metta yang pendiam saja begitu tega membuangnya seperti sampah, apalagi yang
jelas menampakkan kebencian. Tetes-tetes air kembali jatuh membasahi pipinya yang
kemerah-merahan. Meninggalkan warna hitam di area bawah matanya.
Melihat Aina menangis lagi, Hati Zidan terenyuh. Zidan mampu merasakan ada luka yang
dalam di diri Aina. Terlebih sikap Refan beberapa hari yang lalu, tak menjawab saat dia
menanyakan siapa Aina.
Aina diam membisu, tak mungkin dia menceritakan masalah hidupnya pada orang yang
baru saja dia kenal. Meski menurut Aina, Zidan baik padanya, namun tetaplah dia orang
asing baginya, bukan siapa-siapa.
Zidan tak mencoba berkata apapun lagi. Dia terhanyut dalam kebisuan bersama Aina sampai
mobil mengantarkan mereka ke depan rumah keluarga Herlambang.
Zidan membawa Aina masuk ke dalam rumah. Mereka urung membuka pintu saat terdengar
pertengkaran di ruang utama.
Ai…
Part 3
Aina tergolong gadis pendiam, tidak ekspresif. Untuk berkata iya atau tidak saja butuh jeda
waktu tertentu. Aina menatap Zidan mengisyaratkan kata setuju
"Ayo! "
Tanpa kata iya dari mulut Aina, Zidan mampu membaca persetujuan hanya lewat tatap
mata.
Zidan tergolong pria yang peka terhadap karakter wanita. Hal Itulah yang akhirnya membuat
banyak wanita salah faham pada perhatiannya. Kelembutan yang dia tunjukkan pada
teman-teman wanitanya menjadi point kritis pembangkit bunga-bunga asmara di hati kaum
hawa. Di tambah wajah yang ternilai rupawan, plus body menawan, mahluk berjenis wanita
langsung tertawan.
Karakter orang tua Zidan yang lembut menurun pada anak-anak mereka. Ayah dan Bunda
yang selalu mengajarkan kasih sayang pada mereka, menciptakan anak yang lembut dan
penyayang pula.
Zidan membawa Aina ke Sea World di Ancol Jakarta Baycity. Setelah berkelana di angkasa
raya dengan helikopter, sekarang mereka menjelajah akuarium raksasa yang terbentang
seluas 3 hektar.
Aina dan Zidan memasuki area akuarium utama. Akuarium yang menampung 5 juta liter air
laut ini berisi setidaknya 35.500 ekor ikan laut Indonesia dari 35 spesies. Karena ukuran (38 x
24 meter) dan volume air yang begitu besar, akuarium utama di Seaworld diklaim sebagai
akuarium air laut terbesar di Asia Tenggara
Aina tak henti-hentinya memuja muji keindahan yang terpampang di depannya. Zidan
dengan sabar mengikuti kemana saja Aina mau. Kadang Zidan memfoto Aina diam-diam
atau terang-terangan.
Mereka juga tak mau ketinggalan dari pengunjung lain untuk berselancar di Antasena. Di
terowongan kaca sepanjang 80 meter ini, Aina dan Zidan menikmati sensasi berjalan
dengan travelator sambil menyaksikan kehidupan satwa-satwa laut yang berenang tepat di
atas kepala mereka.
Aina saking girangnya bergaya ingin menangkap ikan-ikan di sekelilingnya. Zidan tersenyum
kadang tertawa melihat tingkah lucu Aina.
Area terakhir yang mereka kunjungi adalah Touch Pool, yaitu 3 area kolam sentuh yang bisa
dicoba oleh setiap pengunjung. Kolam pertama berisikan koleksi bintang laut. Pengunjung
dibebaskan untuk memegang bintang laut dengan lembut
Kolam kedua berisikan penyu. Pengunjung bisa menyentuh hewan jinak berusia panjang ini
dengan aman. Mereka bisa mengusap cangkang, kepala, atau tungkai penyu saat sedang
berenang.
Di kolam terakhir, pengunjung bisa menyentuh ikan pari dan hiu muda (baby shark). Di
kolam ini, pengunjung harus waspada dan menaati seluruh peraturan dari petugas, yaitu
hanya boleh memegang di area punggung dan tidak diizinkan mengangkat mereka dari air,
mengingat hiu bisa melakukan gigitan mendadak, sedangkan ikan pari memiliki sengatan
yang berbahaya di bagian ekor
Di area Touch Pool ini Aina justru tak mau ikut menyentuh binatang-binatang itu, geli
katanya. Z…
Zidan meletakkan handphone diatas meja kecil di samping ranjangnya. Senyum terkembang
lebar di bibirnya.
Meski Aina hanya mengirimkan emoticon senyum atas tembakannya, itu satu langkah
kemajuan pada hubungan mereka. Aina tak menolaknya, meski tak mengiyakan juga.
Zidan merebahkan tubuhnya di atas kasur kesayangannya. Hari ini badannya serasa remuk
redam. Bahunya yang masih cedera ikut berdenyut karena terlalu bekerja keras akibat
dipaksa menerbangkan helikopter
Senyumnya terhenti saat mengingat ucapan Arman, Ayah Aina. Secara tersirat dia
menyetujui hubungannya dengan Aina, namun secara tersurat hubungan itu tak bisa naik
ke jenjang lebih serius sebelum Aina dewasa.
Hatinya berdesir mengingat rintangan yang akan menghadang dalam mewujudkan cintanya
pada Aina. Ya, Zidan sudah paham betul bahwa rasa yang terus memberontak dalam dirinya
adalah cinta.
Zidan berusaha memejamkan mata, namun lintasan bayangan Aina dan ayahnya seolah
berlomba menghantui dirinya.
"Aaagh"
Zidan membenamkan matanya pada kasur, berteriak-teriak meluapkan emosinya. Agar tak
terdengar keluar, dia menutup kepalanya dengan bantal
Setelah puas meluapkan emosinya, Zidan meraih handphonenya. Yang di jelajah pertama
kali adalah galery. Dia ingin menikmati foto-fotonya bersama Aina
Zidan memandangi foto-foto itu dengan getaran-getaran nakal di hati. Matanya tak bosan
memandangi tiap sudut wajah Aina
Fose depan, belakang, kanan, kiri semuanya cantik dan mempesona. Zidan tanpa sadar
mencium foto Aina seolah nyata dihadapannya
Zidan tersenyum melihat fotonya yang sengaja tak sengaja terlihat mesra dengan Aina. Dia
mengambil foto yang paling mesra untuk di setting menjadi wallpaper.
Dia malas mengangkatnya. Marsya tak menyerah, dia terus menelpon sampai akhirnya
Zidan mengangkat juga
"Sorry"
"Udah baikan"
"Hmmm"
Zidan berdehem"
Terdengar helaan berat diujung telpon. Zidan yakin Marsya sedang berusaha menahan
tangis.
"Aku pengen ketemuan besok, plis, untuk terakhir kali, lusa aku terbang"
Hening
"Plis Zidan"
"Okey"
"Yes"
"Good night"
Dalam gulitanya kamar, hati Aina menggelepar. Tercerabut dari ruang persemayamannya.
Tampak luka menganga di sekelilingnya.
Sepi, tanpa ada yang peduli. Merutuki kebodohan diri. Naif terlalu naif, mengharap kerlip
bintang di langit. Melambung menjunjung asa seluas jagat raya, jatuhnya menghempas
bagai meteor menabrak atmosfer, hancur, luluh lantak, ambruk ke bumi paling dasar
Apa salah dan dosa, hingga nestapa tak juga mau pergi darinya. Ain, ain, ain aku akan
menunggumu itu dusta belaka
Dustamu bagai sembilu, menyayat menusuk kalbu. Perih tuan, nyeri tak berperi. Tiadakah
jalan menghilangkannya
Aina semakin larut dalan duka, hingga lelah menyergapnya, mata tertutup jua.
Aina mengerjap-ngerjapkan matanya pukul 7 pagi. Saat hendak bangun, kepalanya terasa
berat.
Aina terpekik lemah saat menyadari ternyata dia bangun kesiangan. Sinar mentari telah tak
sabar menerobos masuk lewat celah jendela kamarnya.
Aina berusaha bangun, namun tubuhnya terasa lemas, terpaksa pasrah tetap berbaring.
Aina mengumpulkan kekuatan agar bisa bangun
Pukul setengah delapan, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dengan sekuat tenaga, Aina
menyeret tubuhnya menuju pintu kamar.
"Papi ...!"
Aina tercengang melihat papi berdiri di depan pintu kamarnya. Saking kaget Aina yang
memang sedang lemas, makin lemas. Tubuhnya tiba-tiba terhuyung.
"Aina! "
Aina menggeleng
"Cuma lelah"
Papi menelpon seseorang
Papi duduk di samping Aina. Melihat kondisi Aina, hati Arman mencelos.
Arman menemui Aina di kamarnya karena khawatir Aina tak menjawab panggilan pelayan
mereka saat menginformasikan waktu sarapan. Selesai sarapan bersama keempat anaknya,
Arman menunda keberangkatannya ke kantor. Dia menuju kamar Aina untuk memastikan
kondisi Aina.
Arman melihat area bawah mata Aina menghitam. Arman menerka Aina banyak menangis,
sebagai seorang Ayah, dia mampu meraba ada masalah dengan putrinya.
Arman melihat rona kaget di wajah Aina mendengar pertanyaannya. Dia melihat mata Aina
mulai mendung
"Zidan? "
Kali ini Aina tak mampu menyembunyikan kekagetannya mendengar papi tepat membidik
masalah yang sedang dia hadapi. Mulutnya ternganga tak percaya.
"Jadi ...."
"Apa ...?"
Aina keheranan
Aina menutup wajahnya, malu tingkat dewi. Tanpa sadar dia menggeleng-gelengkan kepala
"Mmmm"
Zidan berfikir sekarang saja Aina begitu gugup apalagi malam pengantin. Zidan tersenyum
membayangkan kegugupan yang akan mendera Aina di malam pertama mereka.
"Kak Zidan"
Zidan salah tingkah sendiri, merasa konyol atas lamunannya. Dia mengusap dada yang terus
memberontak gaduh.
Aina melongo melihat Zidan gugup begitu, padahal dari tadi dia yang terus menggodanya.
Rasanya sore ini Aina mendadak sakit jantung. Rayuan-rayuan Zidan membombardir
segumpal merah hati yang bersemayam di dadanya.
Hhhhh
Aina juga terserang sesak nafas, perlu pasokan oksigen murni agar tak masuk unit gawat
darurat.
Apa menikah dengan Zidan akan membuat umur Aina jadi pendek. Akan tak terbatas
untaian-untaian romantis yang mengandung sentuhan magis menghiasi hari-hari yang
manis.
Aina tak berani menatap Zidan. Matanya lurus memandang daun-daun hijau yang ikut
menggodanya.
"Ehem"
Seseorang yang cukup mereka kenal berdehem, mengakhiri drama romansa di sore ini
Zidan dan Aina menoleh berbarengan. Rona kejut nampak di wajah keduanya saat melihat
Refan dan Sofia berdiri di samping bangku taman
Sofia tercekat melihat pria yang duduk di bangku taman rumah Refan.
"Hai Sofia, lama tak jumpa, akhirnya kalian akan menikah, selamat ya"
"Pasti dong"
"Aina"
Mereka berempat ngobrol bareng di taman. Yang mendominasi pembicaraan adalah Sofia
dan Zidan. Sedangkan Refan dan Aina sesekali menanggapi
Papi mengundang Sofia makan malam di rumahnya. Hari pernikahan Refan dan Sofia sekitar
tiga bulan lagi. Selain itu papi ingin mend…
Aina menelpon Zidan sambil terisak. Yang mungkin dimintai tolong saat ini hanya
kekasihnya. Dia tak mungkin menelpon papi, selain tak punya nomornya juga bisa huru
hara. Dia pun tak mungkin minta bantuan kakak-kakaknya yang jelas benci.
Zidan cemas mendengar tangisan Aina di telpon di detik-detik acara debutnya. Zidan
merasakan ada masalah serius.
Jantung Zidan berdegup kencang, jam di tangan nya menunjukkan pukul 18 30. Artinya
waktu yang tersisa hanya satu jam setengah.
"Ain tunggu ya, jangan nangis, aku carikan gaun baru sekarang"
Zidan menyambar kunci mobil, lantas berlari-lari sepanjang kamar menuju halaman depan
rumahnya. Zidan tak mempedulikan pakaiannya yang masih amburadul.
Bunda memicingkan matanya. Tampak mata bunda makin menghilang karena aslinya sudah
sipit
Zidan masih sempat mengecup kening bunda sebelum berlari menuju mobil
Zidan memacu mobilnya menuju butik tante Nesya secepat mungkin. Zidan berpacu dengan
waktu yang terus melaju tanpa mau tahu.
Detik demi detik amat berharga saat ini. Degup jantungnya bertarung dengan dering mesin
ribuan kendaraan di jalanan ibu kota.
"Shit"
Macet membuatnya jengkel setengah mati. Zidan memukul kemudinya dan menekan
klakson tanpa henti membuat pengendara lain mengumbar sumpah serapah.
Saat macet terurai, Zidan langsung tancap gas. Pukul tujuh Zidan sampai di pelataran Grand
Indonesia Mall.
Tanpa lama, Zidan turun dari mobil dan menerobos masuk gerbang mall menuju butik tante
Nesya. Zidan berlari-lari di sepanjang mall. Berulang kali hampir menabrak pengungjung
mall lainnya. Kata maaf terucap entah untuk keberapa kali.
Zidan disambut Joni, pria gemulai yang ngefans berat pada dirinya.
"Aku mau pakaian pesta couple koleksi terbaru! "
Zidan tak mempedulikan ocehan Joni, tujuannya hanya satu, segera dapat baju.
"Ukurannya apa"
Zidan bingung sendiri, baru kali ini dia membelikan baju untuk Aina.
Joni melongo melihat idolanya tak tahu ukuran baju yang akan dibeli
"Okey"
Zidan memilih gaun pesta yang tidak terlalu terbuka, dia tak rela keindahan Aina dinikmati
pria lain.
Part 8
Hati Aina tersayat untuk kesekian kali. Lukanya makin menganga, makin dalam hingga tak
tersentuh dasarnya
Sakitnya menembus ulu hati, merasuk meresap hingga ke tulang sumsum. Inilah sakit tanpa
tetesan darah, hanya airmata menyimbolkan kepedihan nya.
Hidup bersama dengan para pembenci adalah nestapa. Sementara dia tak punya pilihan,
semuanya telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
Seandainya diizinkan, ingin pergi saja, kemana saja, asal tak harus kembali ke rumah itu,
rumah yang tak seagung kemegahannya.
Zidan membawa Aina menjauh dari area pesta. Zidan menerka, kesedihan Aina ada
hubungannya dengan gaun sobek itu.
Meski tak tahu duduk persoalannya, melihat kondisi Aina saat ini, pastilah itu berat. Zidan
memeluk erat Aina, satu hal yang bisa dia lakukan saat ini adalah memberikan ketenangan
dan perlindungan.
Entah sudah berapa lama Aina menangis di dada Zidan. Hanya ini yang mampu dia lakukan,
bersandar di pelukan sang pujaan. Berada dalam dekapannya, mengaliri kerontang hati yang
lara
Perlahan tangisannya mereda, hatinya mulai diselusupi ketenangan. Namun, Aina enggan
beranjak dari pelukan pria yang selalu ada untuknya, dia yang sanggup memberi tanpa
meminta balasan. Terasa nyaman dan tenang bersandar di dadanya.
Cahaya bulan separuh purnama menjadi saksi kebisuan keduanya. Helaan nafas sesekali
terdengar di tengah hembusan angin malam.
"Ain"
Suara Zidan memecah kesunyian. Aina membiarkan suara itu tertelan pekatnya malam.
Zidan kembali mencoba masuk dalam masalah Aina. Tangannya menggenggam jemari Aina,
mencoba mengalirkan kekuatan pada jiwa rapuh dalam dekapannya
"Bisakah kita menikah sekarang, aku ingin tinggal bersama Kak Zidan"
Aina membenamkan wajahnya ke dada Zidan seperti anak kecil yang ketakutan kehilangan
ibunya
Zidan merasakan kepedihan yang ditanggung kekasihnya. Zidan lebih ingin membawa Aina
bersamanya, tinggal dalam satu naungan, hidup bersama, berbagi suka duka. Hanya saja,
jarak itu menghalangi mereka.
Keduanya kembali larut dalam kebisuan, pendar indah cahaya keperakan di langit sana tak
mampu mengusir kepedihan yang menyiksa
Aina membiarkan satu sisi rambutnya tertiup angin malam, menerpa wajahnya yang basah
oleh genangan airmata. Sementara sisi rambutnya yang lain bersembunyi di tubuh Zidan,
tertindih pipinya yang terbenam di dada sang pangeran.
Kedua tangannya melingkar di pinggang Zidan, sangat erat, seakan takut kehilangan
Part 9
Suara Papi menghentak seluruh penghuni ruang makan keluarga Herlambang. Suasana
tenang, berubah menjadi kegalauan
Degup jantung Arya, Raisa dan Metta bagai bom waktu yang siap meledak kapanpun
Hening...
Aina dan papi tertawa. Meski lega, melihat Aina dan papi akrab mereka gondok juga.
"Sementara mobilmu dalam proses, hari ini ikut mobil Metta saja , kalian kan searah"
Metta membulatkan matanya, begitu juga Aina. Keduanya bersitatap dalam jeda
sepersekian menit, aura tak suka nampak disana
"Baru minggu depan, jadi seminggu ini bisa antar jemput aku"
Aina kembali menatap papi. Saat ini kecanggungan pada papinya mulai mencair
"Makasih Pi" ungkap Aina sedikit manja. Papi nampak berbinar melihat senyum Aina.
Metta lega tak harus semobil dengan musuhnya. Namun, dia juga gondok mendengar Zidan
semakin dekat dengan Aina. Di bawah meja, Metta meremas kuat gaunnya, menandakan
emosinya terganggu
Sementara Raisa dan Arya tak jauh beda, mata mereka berkilat penuh kebencian melihat
betapa papi menampakkan kasih sayangnya pada Aina di depan mereka.
Terlebih Raisa yang memang menyukai Zidan, melihat mereka terus bermesraan di pesta, itu
sangat menyiksa. Amarahnya sudah tak terjangkau batasnya.
Raisa dan Metta diam-diam menyukai Zidan sejak bertemu dua tahun lalu saat Refan
membawa Zidan ke rumah mereka.
Sikap Zidan yang bersahabat pada keduanya diartikan lebih. Zidan yang memang lembut
pada wanita, membuat Raisa dan Metta terpesona.
Banyak pria yang menyukai Raisa maupun Metta, namun mereka belum bisa move on dari
Zidan.
Keempat anak Arman dari istri pertamanya tergolong tampan dan cantik. Mereka mewarisi
darah percampuran Belanda, Jawa dan cina dari kakek nenek dan orangtuanya
Wajah mereka tak mirip dengan Aina yang dominan mewarisi genetik ibunya. Aina hanya
mirip matanya saja dengan Arman, selebihnya mirip ibu.
Ibu Aina berdarah campuran sunda, cina dan arab. Aina berkulit kuning langsat, bermata
bulat. Sedangkan kakak-kakaknya berkulit putih kemerahan bermata sipit.
Selesai sarapan yang tak menyenangkan, semua berpamitan pada papi, kecuali Aina yang
masih menunggu jemputan Zidan. Mereka memakai mobil masing-masing menuju tempat
aktivitasnya. Mereka akan kembali sore atau malam hari.
"Dia pria yang sangat mencintaimu, bisa melindungimu, bisa memberikan kehidupan yang
layak untukmu kelak"
"Ji…
Part 10
"Buat lo"
Dimas menyodorkan coklat pada Aina. Aina mendongakkan kepala melihat ke arah Dimas.
Selintas Aina ragu untuk mengambilnya
"Mr Killleeeer"
Hhhhh
Kelas hening, hanya terdengar helaan nafas siswa-siswi yang cukup syok.
Dimas mendelik pada Marta yang masih memegang coklat untuk Aina.
"Okey, hari ini saya mau adakan test"
Whaaaat....!
Satu jam tes selesai. Kepasrahan terlihat diwajah mereka. Dapet lima saja syukur, apalagi
tujuh.
Mr Killer yang super pinter membaca sekilas hasil tes seluruh siswa, hanya 5 menit saja.
"Not bad"
Hhhh
"But! "
Aina bergidik ngeri, Tuhan tolooong. Aina memandang teman-temannya mencari kekuatan.
Seolah sepakat mereka mendoakan dari jauh
"Sumpeh gue mau pingsan pas doi natap elo, gak tega gue"
Aina bisa bergaul baik dengan orang desa maupun kota, kaya maupun miskin, sebab
hidupnya terbiasa berada di lingkungan mereka.
Meski hidup mereka sederhana, kakek memiliki pertemanan yang luas. Kakek orang yang
mudah bergaul dengan siapapun. Aina sering diajak kakek bertemu dan berhubungan
dengan teman-temannya.
Tak heran jika Aina mudah beradaptasi dengan teman-teman barunya. Mereka menganggap
Aina sebagai teman yang enak diajak ngobrol, mau mendengarkan dan peduli pada curhatan
orang lain.
Dalam waktu seminggu, nama Aina menjadi terkenal, apa lagi Mr Kiler semakin
menunjukkan perhatian berbeda. Tonggak baru dalam sejarah Mr Killer, jatuh cinta.
"Aina"
Satu suara mengagetkan Aina yang seperti biasa menunggu Zidan di depan gerbang
"Oh, eh bapak"
Whaat?
Aina hampir saja pingsan, satu lagi pria yang bakal bikin Zidan ngamuk,
Pak Topan alias Mr Killer mendekati Aina. Jantung Aina berdegup kencang, bukan geer, tapi
takut kelihatan Zidan, bisa berabe.
Benar saja, saat Pak Topan berdiri dekat dengan Aina, mobil Zidan datang.
Ya Allah ...!
Zidan turun dari mobil, melihat seorang pria yang kemungkinan usia ta…
[10:59, 3/17/2019] Ebu ❤: CINTA SANG PILOT
Part 11
perasaanku
Di sisiku selamanya"
Zidan memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu cinta untuk Aina di taman rumahnya.
Mereka duduk berdampingan di taman setelah selesai makan siang. Zidan meresapi bait
yang dinyanyikan nya sebagai ungkapan sesungguhnya pada sang pujaan. Matanya intens
menatap mesra Aina.
Sepasang insan yang di mabuk asmara ini menjunjung asa setinggi himalaya, sedalam
samudera hindia. Seakan dunia milik berdua
Melewati masa indah bersama telah mampu menorehkan rasa yang dalam, tak terselami
dasarnya. Mengakar kuat hingga menembus palung hati
Untaian cinta terlantun merdu, meresap ke dalam kalbu. Mengobati rindu yang selalu
menggebu
Sementara disudut sana ada insan yang terluka, terhempas dalam nestapa. Cintanya tak
tergapai tangan
Zaky memacu mobilnya, menghilang adalah jawaban atas sakit yang di deritanya hari ini.
Sepertinya dia harus melakukan operasi hati, sebelum semua terlanjur kronis.
Zaky menepikan mobil, menelungkupkan wajah pada kemudi mobil, menangis, meratapi
cinta yang tak terengkuh, terlalu jauh.
Aina...!
Mengapa....?
===
Mendengar kata terbang, hati Aina berdenyut. Kata yang tak ingin dia dengar. Tubuhnya
terasa lemas seketika
Sakit!
Tak terbayang hari-hari tanpa kekasihnya. Kesepian akan kembali menemaninya seperti
sebelum kehadiran pria yang berhasil membuatnya takluk.
Dia akan rindu canda tawa, rayuan dan pelukan hangat kapten ganteng.
Tess
Tangis Aina yang sejak tadi tertahan, tumpah juga di dada bidang pilot muda itu.
Zidan pun sama, hatinya teriris mengingat akan meninggalkan Aina, untuk waktu yang lama.
Sedangkan sehari saja tak bertemu, rindunya tak tertahankan.
Zidan membelai rambut Aina, menenangkan hati pujaan juga hatinya sendiri.
Dulu, dia sangat semangat untuk terbang berkeliling dunia, mimpinya sejak kecil. Sekarang
semua berbeda, terbang itu berat. Ingin rasanya mengakhiri tugas terbang dan tetap di sisi
Aina. Menjaga, melindungi dan mencintainya.
"Terbang?"
Aina tersenyum.
"Kalau ngeliatnya didepan berarti boleh ya, kan ngelirik itu kesamping"
"Wih galaknya"
===
Ting
"Iya, gue n…
Part 13
Papi tak bisa menyembunyikan kekagetan melihat Aina berdiri di depan pintu kamarnya.
Arman menggandeng tangan putrinya, membawa masuk ke dalam kamar.
Aina sesaat terkesima melihat kamar super mewah milik papi, seperti kamar hotel bintang
lima yang pernah dia lihat di televisi.
Di dinding kamar terpajang foto besar papi dan mami saat mereka menikah dulu. Mami
terlihat sangat sempurna kecantikannya dalam balutan gaun putih pengantin. Papi tampak
gagah, hampir sewajah dengan Refan
Papi mengajak Aina duduk di tepi ranjangnya. Masih jelas terlihat tatapan keheranan
dimatanya
"Tumben"
Papi tersenyum lembut. Meski usianya sudah 63 tahun, garis ketampanannya masih terlihat.
Aina meremas jari, di depan papi dia tak bisa menahan perasaan. Sikapnya memperlihatkan
kegalauan hati yang besar.
Papi mengangguk dan menuntun Aina keluar kamar. Dia paham putrinya canggung berada
di area pribadi.
Papi mengajaknya ke lantai 3, disana lebih nyaman untuk ngobrol, tanpa khawatir ada yang
mendengar. Tempat itu jarang dikunjungi penghuni rumah. Jika sedang memiliki masalah
yang butuh ketenangan barulah lantai 3 menjadi tempat tepat untuk di singgahi.
Papi dan Aina duduk dibangku teras depan lantai 3. Ruangan ini terbuka dengan pagar besi
tinggi mengelilinginya. Area ini pun tak luput dari taman-taman buatan dengan bunga
warna-warninya
Bulan sabit memancarkan cahaya redup keperakan di ufuk barat daya. Cantik terlihat
ditemaramnya malam. Hembusan Angin malam membelai lembut tubuh keduanya
Sesaat mereka terdiam. Asyik menerka isi hati lawan bicaranya. Helaan nafas terdengar
kentara di sunyinya malam
Papi terkesiap mendengar pertanyaan Aina yang tak disangka sama sekali.
Papi menghela udara dingin lama dan menghembuskannya perlahan. Dadanya mulai
berdenyut saat akan membuka kenangan itu. Rasanya seperti menusukkan duri ke jantung.
"Mobil Papi tak sengaja menyenggol motor mamamu, meski tak ada luka serius, Papi
bersikeras membawa Mama ke klinik"
Mata Papi menerawang menembus langit nan kelam membuka kembali memoar yang
tersimpan rapi di sudut otaknya
Aina menatap lurus pekatnya malam, mencoba membayangkan kejadian yang baru saja
diceritakan
"Senyum itu membuat hati Papi meronta, sesaat lupa akan janji setia pada Arsela, Mami
Refan"
Zidan sudah berada di dalam kokpit, bersiap menerbangkan pesawat. Kali ini dia di bantu
Pram sebagai ko-pilot.
Zidan berkomunikasi dengan petugas menara kontrol lalu lintas di bandara untuk perizinan
lepas landas. Seluruh percakapan pilot dan ko pilot dengan petugas menara akan di rekam
oleh kotak hitam
Untuk lepas landas, pilot akan menurunkan sirip pada sayap pesawat dengan menarik tuas
sirip satu notch. Sirip yang diturunkan dapat membuat pesawat lebih terangkat ketika
berjalan lambat.
Pesawat harus dipastikan tegak lurus sekitar 45° pada jalur lepas landas dan mengarah ke
angin.
Dorong throttle ke depan perlahan untuk menghasilkan daya dorong. Pesawat akan mulai
bergerak. Jika pesawat tidak berjalan lurus, gunakan pedal untuk membenarkannya.
Jika terdapat angin dari depan, dapat dikendalikan oleh setir
Percepat pesawat untuk lepas landas, pesawat harus mencapai kecepatan tertentu untuk
membuat daya angkat yang cukup. Saat mesin naik hingga 2200 rpm pesawat siap pergi.
Hidung pesawat akan terangkat dari darat. Tarik setir pengendali dengan perlahan untuk
menerbangkan pesawat.
Pada titik ini, tarik yoke kembali. Ini akan mengangkat seluruh pesawat ke udara. Banyak
pesawat yang terbiasa belok ke kiri ketika meninggalkan daratan, jadi arahkan kemudi ke
kanan.
Kembalikan sirip sayap pesawat ke posisi netral untuk menghilangkan tarikan. Ini dilakukan
pada ketinggian 300 kaki (90 meter) di udara.
Zidan dan Pram menerbangkan pesawat sekitar 6 jam dari Bandara Soekarno Hatta ke
Bandara Incheon Seoul Korea Selatan.
Zidan meminta izin landing pada petugas menara kontrol bandara Incheon. Dengan mulus
pendaratan dilakukan. Seluruh awak kapal dan penumpang dapat bernafas lega.
Setelah landing, Pram menyalami Zidan. Mereka tersenyum lega. Meski sudah memiliki jam
terbang tinggi, pilot tetaplah manusia yang tak luput dari rasa cemas. Tanggung jawab
mereka sebagai pemimpin penerbangan amatlah besar. Urusannya dengan keselamatan
nyawa ratusan orang, salah sedikit, maut akibatnya.
Hups
Setelah membersihkan diri, Zidan merebahkan badannya di kasur hotel yang empuk.
Secepat kilat meraih dan menyalakan ponselnya. Yang dicari pertama adalah chat Aina.
"Sayang, udah landing lum, aku cemas" chat Aina dua jam yang lalu
Waktu di Seoul saat ini pukul 1 malam, berarti di Jakarta pukul 11 malam.
Zidan mencoba menelpon tapi tak diangkat. Sepertinya Aina sudah tidur
Part 14
Seseorang itu ... tersenyum ... menatap
"Kak Zidaan!"
"Ain sayang"
Aina membenamkan wajah ke dada pria yang membuatnya hampir gila. Seakan tak cukup
untuk melepas segala rindu, air mata pun turut serta menyaksikan peristiwa mengharu biru
Beberapa pengunjung restoran nampak berbisik-bisik melihat adegan pria berseragam pilot
dan gadis belia berpelukan lama.
Keduanya masih terhanyut dalam adegan melepas rindu sampai satu suara menyadarkan
Refan mendekati mereka dan berlalu. Dia membawa Aina ke Jepang atas permintaan Zidan.
Setelah menuturkan masalah yang terjadi diantara mereka, temannya itu sekali lagi
memohon bantuan.
Untunglah Aina sudah dibuatkan paspor oleh papi di waktu awal-awal datang ke rumah.
Alasannya jika sewaktu-waktu ada keperluan ke luar negeri jadi mudah. Maklum keluarga
mereka sudah terbiasa bolak-balik luar negeri baik untuk urusan bisnis maupun wisata.
Papi sangat memperhatikan segala kelengkapan administrasi Aina. Melalui asisten, papi
mengurus semuanya dari mulai akte, SIM, perubahan kartu keluarga, juga paspor. Dengan
kekuatan uang yang mereka miliki, semua bisa didapatkan tanpa perlu ribet
Kepergiannya ke Jepang kali ini juga dimanfaatkan untuk urusan bisnis perusahaan. Bertemu
beberapa kolega dan menghadiri pertemuan para pebisnis.
Mereka punya waktu dua hari dan harus kembali sebelum Aina masuk sekolah senin.
Rencananya dari Jepang mereka akan ke Korea mengikuti ritme kerja Zidan. Baru dari sana
kembali ke Indonesia.
Zidan membawa Aina keluar restoran, dia baru saja mendarat, belum sempat ganti baju dan
istirahat. Dia membawanya ke kamar hotel tempatnya menginap.
Aina menunggu Zidan berganti baju di restoran yang dekat dengan kamar kekasihnya itu.
Ditengah penantian, dia melihat gadis-gadis cantik yang ada di foto IG mereka.
Hati Aina berdesir melihat langsung kecantikan gadis-gadis itu, sempurna. Tinggi, ramping
berkulit putih tanpa cela, wajah diatas rata-rata. Sekali lihat saja, pria-pria pasti tergoda.
Saking asyiknya melamun, Aina tak sadar, Zidan sudah ada di sampingnya
"Oh, eh"
Zidan mencolek hidung Aina gemas. Dia menopangkan tangan ke dagunya dan menatap
Aina lekat.
Ditatap begitu, Aina salah tingkah. Semburat merah tak dapat di sembunyikan di pipi
mulusnya.
"Cantik"
Zidan mulai melancarkan jurus maut yang selalu membuat Aina megap-megap. Rayu
merayu wanita adalah keahliannya.
"Wew"
Mereka tertawa renyah. Setelah pesanan datang, Zidan melahap makanannya. Aina melihat
saja sebab perutnya sudah kenyang.
Sesekali mereka tertawa... Sesekali terdiam menahan dagdigdug... Sesekali Zidan menyuapi
Aina... Sesekali dia minta disuapi gadisnya...
Beberapa gadis yang mengenal Zidan, berbeda reaksi melihat adegan itu ... cemburu...
cemberut... marah... kesal... mupeng... atau cukup tersenyum saja.
Selesai maka…
[10:59, 3/17/2019] Ebu ❤: CINTA SANG PILOT Part 15
"Eh, iya". Sedikit kaget dipanggil Aina, siswi itu mengulurkan tangannya.
"Makasih ya"
"Iya, sama"
Keduanya tersenyum. Hati mereka berkeinginan mengenal lebih jauh. Aina dan Sarah
ngobrol sambil berjalan beriringan dari masjid sekolah menuju kelas yang kebetulan searah.
Tiba-tiba bel tanda selesai istirahat berbunyi. Aina gelisah karena ini jam pelajaran Mr Killer.
Gadis itu mengangguk tanda mengerti kecemasan Aina, karena diapun sangat tahu seangker
apa guru matematika itu. Aina berlari-lari sepanjang koridor dengan harapan pak Topan
belum datang. Tapi...
Mr Killer sudah melangkahkan kaki ke kelas. Sesaat sebelum tubuhnya masuk kedalam, Aina
tiba di depan kelas. Gadis itu tersenyum manis untuk mengibarkan bendera perdamaian.
"Masuk!"
Topan segera berjalan ke meja guru sebelum jantungnya bernyanyi kembali. Meski patah
hati, jiwanya tetap tak bisa memungkiri rasa itu belum mati. Kelas pun sunyi...
Seisi ruangan menghela nafas lega saat Topan meninggalkan ruangan. Guru selanjutnya
adalah bu Resti, miss ngaret. Sebelum masuk kelas memiliki agenda khusus memoles diri,
agar wajah tetap berseri
"Napa lo telat"
Aina menjengkitkan bahu. Dia tak mau temannya tahu kalau dirinya habis telponan lama
dengan Zidan selesai sholat di teras belakang masjid.
Kalau mereka tahu bisa diledek habis. Seperti kasus hari senin dia jadi bahan bully karena
postingan foto-fotonya di IG saat di Jepang dan Korea bersama sang kekasih
Benar saja para gadis itu kebakaran lipstik melihat foto-foto mesra mereka bertebaran di IG.
Tuntas sudah pembungkaman nona-nona keganjenan itu
Bel yang paling dinanti para siswa berbunyi. Bagai lagu romantis K-POP. Para siswa
berhamburan seperti lebah diganggu sarangnya.
"Aina"
Sarah menghampiri Aina yang sedang menunggu jemputan Bu Nida. Dia menoleh pada
Sarah
"Iya"
"Aina, jumat ada kajian Islam untuk akhwat, jam 11 30, diruang P5, dateng ya"
"Cewek" Sarah lupa kalau kata akhwat belum tentu dipahami Aina.
"Oooo"
Pria dengan kacamata tipis itu menyunggingkan senyum. Wajahnya yang bersinar makin
mempesona saat senyuman itu menghias bibir.
Hanif tak tahan juga mengungkapkan pertanyaan yang terpendam di hatinya sedari tadi.
Saat melihat Aina memeluk seorang pria, sontak dia kaget. Selain terkejut melihat adegan
terlarang dalam agama bagi sepasang insan yang belum sah, dadanya sedikit nyeri, ada
harapan yang tiba-tiba goyah.
Sarah menjengkitkan bahu. Meski di WA profil Aina dia melihat foto temannya dengan
seorang pilot, dia belum berani menanyakan apapun. Pikirnya, Aina awam terhadap ajaran
agamanya sendiri, wajar banyak yang belum diketahui, termasuk keharaman pacaran.
"Wajarlah Mas, dia kan awam, bener-bener deh aku ngajaknya dari nol"
"Harusnya kamu segera kasih tahu tentang ketidakbolehan mendekati zina, semacam
pelukan begitu"
"Pastilah Mas, pelan-pelan akan aku kasih tahu, kalau langsung tembak entar kabur...
hehehe"
Hanif mengacak kerudung adiknya. Namun wajahnya yang mendadak merah jelas
tertangkap oleh Sarah
"Ada apa". Umi datang sambil membawa sapu. Kedua anaknya bengong
"Ampun miii". Hanif nyengir kuda sambil menangkupkan tangan di dada. Umi tertawa saat
sadar tangannya membawa sapu.
"Kalian ini bikin umi jantungan, bentar lagi azan magrib, sana siap-siap! "
"Siap Umi syantik" Hanif mengecup kening umi dan menjawil hidung adiknya
"Iih nyebelin"
"Sholat yang khusyu, jangan mikirin Aina Hurin" Sarah masih ingin menggoda kakaknya
Deg! Mendengar nama itu lagi, jantung Hanif berdebar tajam. Dia mengelus dadanya sambil
mengucap istigfar.
Beberapa hari ini dia memang kurang khusyu. Pikirannya terganggu oleh wajah cantik
bermata jeli. Entah berapa ratus kali beristigfar untuk mengusir bayangan yang seharusnya
tak mencengkramnya.
Hanif faham bahwa dia tak boleh terjerat rasa yang belum boleh bertahta dalam jiwa.
Namun, apalah daya, pesona gadis muda itu menjerat mata dan hatinya. Sekuat apapun
bertahan, benteng itu jebol juga
Doanya berjeda oleh helaan nafas. Khawatir ucap di lisan tak selaras dengan ikhlas di dada.
Ada ragu saat terucap bait doa terakhir. Bagaimanapun juga harapan itu masih menggelora.
===
"Sering ketemu Sarah dan Hanif? " Zidan pada akhirnya mengucapkan pertanyaan ini juga.
Satu hal yang ditahannya, namun tak sanggup lama.
"Sarah seringlah, Kak Hanif, kebetulan aja di gerbang atau pas aku ke rumah Sarah ikut
kajian"
Air muka Zidan langsung berubah. Dia sudah menyangka, mereka tak sekali ini berjumpa,
terlihat dari keakraban ketiganya di gerbang sekolah.
"Jangan ke rumah Sarah lagi ya" Aina menyipitkan mata, mencari jawaban atas
keheranannya
"Kenapa?"
"Aina masih sekolah, kalian nikmati saja kebersamaan selama setahun ini"
Deg! Jantung Aina dan Zidan kompak terhentak. Hati keduanya gundah, yang ditakutkan
menjadi nyata. Papi keberatan mereka melangkah lebih serius. Keduanya saling pandang
untuk memberi kekuatan memperjuangkan cinta
"Papi, restuilah, karena kalau tidak diresmikan kami harus putus sekarang" Arman terkejut
mendengar pernyataan Aina
"Kenapa? "
"Karena hubungan tanpa ikatan itu terlarang dalam agama kita, aku baru paham Pi"
Papi menghela nafas dalam, ingatannya melayang ke masa dimana penolakan keras
mertuanya waktu itu. Arman memandangi Aina dan Zidan bergantian.
Aina paham akan hal ini. Urusan pertunangannya, akan menjadi penambah kebencian
mereka.
"Apalagi kalau diumumkan, bisa berabe, malah mungkin ada fitnah kalian melampaui batas"
"Tak usah diumumkan, yang penting izin Papi untuk kami" Aina berusaha menguatkan
papinya bahwa mereka tak butuh seremonial apapun. Apalagi jika itu akan membuat
kerusuhan di keluarganya.
Arman kembali terdiam, kegundahan menyelimuti hati. Selain memikirkan perasaan Raisa
dan Metta, alasan lain penolakan adalah belum sempurna keyakinannya pada Zidan.
Mengingat informasi terkait diri pemuda itu yang kurang menyenangkan, sering gonta-ganti
pacar. Arman khawatir Aina dipermainkan.
Melihat keraguan pada diri Arman, Zidan menjatuhkan diri, berlutut di depan papi Aina.
Kedua orang di hadapannya tersentak. Seakan dejavu, Arman melihat masa lalu saat dia
berlutut pada ayah Hilmah untuk meyakinkan calon mertuanya.
"Saya tak bisa menjanjikan apapun, saya hanya membawa kesungguhan untuk mengambil
Aina sebagai pendamping hidup"
"Restuilah, saya bisa menunggunya sampai lulus, namun saya membutuhkan ada ikatan
resmi untuk kami"
Zidan meneteskan airmata, suaranya bergetar menahan kecemasan luar biasa. Hanya pada
Tuhan dia serahkan semua, agar luluh hati pria di depannya.
Aina sibuk menyeka airmata, Hatinya penuh sesak dengan ribuan rasa yang bersatu padu.
Papi melepaskan pelukan dari Zidan, lantas mendekati Aina dan memeluknya.
Ayah dan anak itu berpelukan erat. Aina menangis haru di dada papinya. Entah bagaiman
melukiskan bahagia saat ini. Begitupun Arman, tak menyangka hanya sebentar dia akan
membersamai Aina, sebab putrinya sudah tertawan cinta sang pangeran.
"Besok, jika tidak ada halangan, ayah dan bunda akan datang Om"
"Om sangat menunggu sahabat lama sekaligus calon besan berkunjung " Papi tersenyum
lebar.
"Nah, apa setelah ini kalian mau minta nikah cepat? " Papi melirik Aina yang semburat
merah sudah menghiasi wajahnya
"Tentu saja Om" Zidan mengerling pada Aina yang terlihat makin kikuk
Part 18
Pikiran Zidan kacau, entah seperti apa kesemrawutan otaknya saat ini. Melihat Aina begitu
menderita, hatinya bagai dicincang samurai.
Besok dia harus sudah terbang, meninggalkan gadis itu dalam pilu tak berkesudahan.
Kemana harus mengadukan kegundahan ini. Mencari solusi pasti.
Dia berjanji pada Aina, secepatnya mengikat tali suci. Membawanya dari rumah yang
dipenuhi benci dan dengki. Namun, apakah akan direstui.
Aaarg!
Zidan memukul kemudi setir. Konsentrasinya buyar, dia menepikan mobil agar tak mati
konyol di jalanan ibu kota. Gemuruh di dada berbaur dengan deru mesin-mesin kendaraan
berbagai roda. Saling menyusul, saling menyalip dengan satu harapan, sampai tujuan tepat
waktu.
Dia yang begitu tenang saat mengudara, dalam urusan cinta menjadi setengah gila. Apa
yang harus dilakukan? Menculik Aina, tak mungkin juga.
"Fuck! "
Selepas pulang dari rumah Aina, Zidan langsung ke kantor, ada urusan administrasi terkait
keberangkatannya besok. Urusan tersebut memakan waktu hingga Zuhur tiba.
Pilot muda itu berbaur dengan jamaah yang masih bersedia meluangkan sedikit waktunya
menjawab panggilan suci. Air wudhu membasahi raga sekaligus jiwa yang lelah, berjalan
menjauh dari Nya, tidaklah menghilangkan masalah.
"Ya Allah, ini hamba yang lancang datang, kiranya Engkau sudi menerima sujudku, rukukku
dan munajatku"
"Tunjukkan jalan untukku dan bidadari itu, sampaikanlah kami dalam ikatan suci"
"Tidak ada yang sulit jika Engkau mempermudah, mudahkanlah urusan ini"
Dengan suara bergetar, Zidan memanjatkan permohonan pada Pemilik Segala Kekuatan.
Airmata menjadi simbol kepasrahan diri. Selepas menunaikan sholat dan berdoa, bahunya
ditepuk seseorang
"Mas Zidan kan? " Zidan sedikit terlonjak ditepuk bahu dalam keadaan melamun
Zidan terpana dengan wajah bersinar di hadapannya, sorot mata pria itu nampak teduh dan
menenangkan. Sapaan Hanif hangat bersahabat. Memanfaatkan momen perjumpaan,
mereka duduk di serambi mesjid untuk sekedar ngobrol.
Ketenangan yang ditebarkan aura mesjid ini, menggoda siapapun untuk sekedar duduk
sejenak di terasnya. Tak heran beberapa orang tak langsung beranjak dari masjid selepas
sholat. Di tengah kebisingan ibukota, tempat ini cocok untuk melepas penat dikala stress
mendera.
"Itu karena tugas mas, kalau gak tentu saya di rumah juga" mereka tertawa renyah
"Selamat ya Mas atas rencana pernikahannya" Zidan dihinggapi keheranan atas ucapan
selamat tersebut
"Sarah yang cerita" Seolah memahami keheranan lawan bicara, Hanif menjelaskan sumber
informasi berita
"Iya terima kasih, minta doanya aja Mas…
Zidan berdiri di balkon hotel dekat bandara internasional Pudong, Shanghai Cina. Sendiri
memandang kerlip bintang di langit negeri tirai bambu ini. Angin malam tak henti menerpa
wajah putihnya.
Helaan nafas tertelan deru pesawat yang masih lalu lalang melintasi bandara di awal malam.
Pikirannya, jauh melayang menembus batas negeri para kaisar.
Rasa bersalah akan abainya pada ajaran agama kerap menderanya sejak berbincang dengan
Hanif. Dia tertohok dengan ucapan pemuda sholeh itu. Sebagai muslim setiap
perbuatannya, haruslah dilandasi Ilmu Islam, termasuk pernikahan. Tanpa tuntunan ajaran
Islam, perbuatannya takkan berada pada jalur yang benar.
Seperti menerbangkan pesawat, menjalani kehidupan rumah tangga pun butuh ilmu yang
mumpuni. Jika tidak, keluarga yang dibangun akan oleng bahkan kandas di perempatan
jalan.
Itulah sebabnya, banyak rumah tangga muslim luluh lantak saat badai menghantam.
Pondasi tempat mereka berpijak amatlah rapuh, jalinan rasa semata. Kosong dari tuntunan
agama. Tak paham apa dasar berkeluarga, apa hak dan kewajiban tiap anggota Juga tak
mengerti mana yang boleh, mana yang tidak.
Namun, dia pun bingung, bagaimana bisa memperdalam agama dengan kesibukan kerjanya
saat ini. Sebagai pilot, jam terbang menuntutnya untuk memiliki sedikit waktu senggang
saja.
Zidan mengambil ponselnya dari saku celana. Memeriksa pesan masuk. Matanya langsung
tertuju pada satu pesan dari Hanif.
Waalaikumsalam, Mas Hanif, Alhamdulillah sehat, Mas juga semoga sehat selalu."
Ting!
Saling kirim pesan berlanjut hingga ratusan notifikasi. Selain saling bertanya tentang
aktivitas masing-masing, momen ini dimanfaatkan oleh Zidan untuk bertanya seputar ilmu
Islam.
"Suami itu imam, dia kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas baik buruknya keluarga,
Mas."
"Betul sekali, Mas. Suami wajib memberi nafkah secara baik, bukan ala kadarnya. Dia harus
memenuhi segala keperluan keluarga. Sandang, pangan, papan dan semua kebutuhan
lainnya. Kalau Mas Zidan, gak masalah, kayaknya."
"Suami juga mesti makruf(baik) bergaul dengan istri dan anak. Wah, Mas Zidan, ahlinya
banget nih."
"Istri tak dibebani sedikit pun menopang ekonomi keluarga.Tapi kalau pun dia mau, tak apa,
jadi sedekah untuknya. Syaratnya, tak boleh melalaikan kewajiban mengurus rumah tangga
dan anak-anak."
"Jangan sampai, seorang ibu disibukkan mencari uang, anak terabaikan. Taruhannya,
kehancuran generasi, loh."
"Seorang suami harus membawa keluarga pada jalur yang benar. Ibarat pilot kayak Mas
Zidan, kan bertanggung jawab penuh atas keselamatan penumpang dari take off hingga
landing."
"Bener banget, Mas, saya kalau bawa pesawat berasa tanggungjawab full."
Zidan mengakhiri chatingnya dengan Hanif. Dia senang karena banyak ilmu yang didapatkan
hari in…
[10:59, 3/17/2019] Ebu ❤: Penulis : Hanin Humayrohumayro
Part 20
Bruk!
“Ainaa ....!“
Bruk!
“Bundaa ….!”
Kedua wanita beda usia itu pingsan, sesaat setelah mendengar bahwa Zidan Thoriq masuk
daftar korban kecelakaan yang belum ditemukan jasadnya. Bagian informasi belum mampu
memberi keterangan apakah selamat atau tidak.
Pencarian korban hilang akibat jatuhnya pesawat yang diterbangkan Zidan sudah
berlangsung satu minggu. Beberapa korban sudah ditemukan dalam keadaan mengenaskan.
Keluarga mereka kembali didera kepedihan setelah lama menanti keajaiban.
“Aina … makan dulu.” Papi berusaha membujuk Aina makan. Sudah seminggu gadis itu
hilang selera makannya. Setelah dipaksa, barulah mau membuka mulut. Itu pun hanya
sesuap yang mampu dia telan.
Aina tak mengindahkan bujukan papi. Dia menatap lurus, menembus tembok kokoh di
depan. hatinya laksana kutub utara, dingin, hampa, tanpa cahaya. Tak ada lagi airmata yang
sanggup terteteskan. Separuh nyawanya habis meratapi kekasih yang tak kunjung pulang.
“Kalau kau tidak makan, bagaimana mau menyambut Zidan?” Aina menoleh pada papi.
Sorot matanya menyelusupkan hawa dingin pada yang beradu pandang dengan.
“Jasadnya belum ditemukan, masih ada harapan.” Papi tak putus asa menghadapi putrinya.
Dibelai untaian menghitam yang tergerai hingga ke pinggang.
“Bukannya Allah melarang kita putus asa?” Aina masih bergeming. Tak selera menanggapi
seucap kata pun.
“Tujuh belas tahun, Papi mencari ibumu, tahu, apa yang membuat Papi begitu? “
“Papi melakukan itu, karena yakin Allah akan menjawab harapan manusia, meski kita tak
tahu, kapan doa itu diwujudkan.“
“Makan, ya.” Aina mengangguk, sekali lagi, ucapan papi menguarkan ketenangan di hatinya.
Sebulan pencarian, hasilnya tetap nihil. limabelas korban masih dinyatakan hilang, termasuk
Zidan. Ungkapan belasungkawa berdatangan ke rumah keluarga Thoriq.
Keluarga Thoriq diselimuti duka yang amat besar. Bunda sampai dirawat di rumah sakit,
sebab depresi berkepanjangan. Zaky kembali pulang ke Jakarta. Dia merasa bertanggung
jawab pada pemulihan psikologis ibunya.
Zihan dan Zahira tak luput dari lara. Keduanya sangat terpukul mendapati kenyataan kakak
tercinta entah ada dimana. Masih hidup kah atau sudah tiada?
Sementara, pernikahan Refan akan digelar seminggu lagi. Tak mungkin dibatalkan atau
diundurkan. Undangan sudah tersebar ke karib kerabat juga sahabat, kolega dalam dan luar
negeri.
Hati Refan berkecamuk rasa. Menyeruak bahagia akan menyanding wanita terpuja. Di sudut
lain hatinya, ada duka atas kondisi Aina yang tak pulih jua.
“Aina, hari ini, kita jalan-jalan, yuk!” Aina menoleh pada kakak pertamanya. Lalu kembali
memalingkan pandangan ke arah kolam. Kakinya asyik memainkan air yang dihuni ikan-ikan
lucu. Satu hentakkan kaki, membuat mahluk-mahluk cantik itu berhamburan. Sesekali
tangannya dicelupkan, mencoba menangkap ikan yang terus berkejaran.
“Kak Zaky, terima kasih telah sayang padaku begitu lama. Jujur, Aina kaget mengetahui hal
itu."
“Bagiku, kakak adalah sahabat terbaik, istimewa, hangat dan menyenangkan. Saat kakak
hadir, hatiku selalu terhibur, seakan kepedihan itu sirna."
“Hanya wanita istimewa yang bisa menjadi pendamping kakak kelak. Wanita beruntung itu,
bukanlah aku."
"Aku adalah wanita yang hidup dalam bayangan pria yang entah ada dimana. Zolim, jika aku
memutuskan menerima kakak, sedang di seluruh ruang ini hanya ada dia. Sama saja,
memberi raga tapi memenjara cinta."
“Rasaku pada Kak Zidan mungkin terlalu berlebihan. Sampai tak mampu menerima
kenyataan dia tak pernah pulang. Namun, kakak pasti tahu mengapa kita begitu mendalam
pada seseorang. Seperti apa rasa kakak padaku, seperti itulah aku padanya."
“Dunia boleh mengatakan kak Zidan takkan kembali, lantas mencap siapa saja yang
berharap adalah pemimpi. Namun, aku rela hidup dalam mimpi itu."
“Jika pun dia telah tiada, aku perlu waktu sepanjang usia untuk melupakannya. Meski, saat
mencintainya hanya butuh sekejap saja.”
“Terima kasih untuk sayang dan cinta Kak Zaky. Maaf sekali lagi, aku tak biisa meluluskan
permintaan.”
Tulang penyangga tubuh Zaky, kehilangan daya topang, saat menerima pesan balasan dari
Aina. Kali kedua, sekerat merah itu berdarah lagi. Tubuhnya luruh, ambruk bersama keping
hati yang terserak.
“Bahkan keberadaanku tak bisa mengalahkan bayangmu, Bang …,” lirih Zaky.
“Bahkan, satu kesempatan untuk membuktikan cinta pun tak ada, Aina ….”
Setelah selesai menetralisir rasa berkecamuk dalam diri, Aina kembali meraih ponselnya. Dia
tak mau memberi asa pada siapapun, sementara di hatinya masih bersemayam sosok yang
belum tergantikan.
“Kak Hanif, sungguh tersanjung diri yang penuh cela, dipinang pria sempurna. Tak ada kata
selain mengucap Alhamdulillah."
“Tak ada alasan diri ini menolak puja puji dari pangeran tanpa cela. Namun, saya tahu diri,
Kak. Teramat jauh untuk bisa bersanding dengan pria berakhlak mulia."
“Kak Hanif adalah imam yang sempurna bagi pendamping hidupnya. Saya bukanlah
makmum yang pantas berdiri di sisi dan di belakang Kakak."
“Terima kasih telah menyanjung saya dengan cinta. Mohon maaf, mungkin garis takdir kita
tak berarah sama.”
Hembusan panas angin negeri piramida, tak mampu menghangatkan hati Hanif yang
terlanjur dingin. Menerima penolakan lebih menyakitkan daripada mencintai dari kejauhan.
Mengikhlaskan adalah satu jalan sulit, namun, tetap harus ditempuh. Rasa itu harus segera
dicabut tanpa sisa. Terang benderang petunjukNya, bahwa takdir mereka tidak untuk
bersama di dunia maupun di alam sana.
===
“Yoi, bokap tugas di ono,” jawab Marta tanpa menoleh pada Reva.
“Yaaah, kita bakalan jarang ketemuan, ya. Aina ke Mesir, Inge ke Bandung, lah, gue?”
“Halah, kalian tuh gengsi aja digedein. Suka, ngomong aja kaleee.” Inge melempar bantal
pada Reva.
“Iyalah Rev, doi tuh dah ngasih sen ijo, elo aja yan…
PULUNG
Jilid 2
“Mbak Rintan, sudah malam, mengapa tak keluar? Simbok sudah sediakan air panas untuk
mandi.”
💔 💔 💔💔
Dengan malas aku beranjak, tak ingin mengecewakan Mbok Yekti yang telah susah payah
memasak air untukku.
☕💔 ☕
Bukan hanya itu, ketika aku bersiap ke kamar mandi, ternyata ia pun sudah menyiapkan teh
panas di meja depan televisi.
Aku menyeruput sedikit, merasakan nikmatnya teh buatan Mbok Yekti. Wanita sepuh itu
telah berpuluh tahun mengabdi di sini. Sejak Mas Wisnu lahir hingga beranak dua. Tentu ia
lebih mengenal rumah ini daripada aku.
Betapa aku terharu waktu itu. Pada hari ketika Ibu meninggal, ia terus di sampingku.
Menjagai dan menghiburku. Dan betapa meluap terima kasihku, karena ia tetap bersedia
tinggal di sini. Ia kasihan padaku, karena hanya seorang diri menghuni rumah besar ini.
💔💔 💔 💔💔
Baginya, tetap diizinkan tinggal di rumah ini dan mengurusku, itu sudah sangat
membahagiakannya. Begitu katanya, ketika suatu hari aku memintanya supaya
mengingatkan, jika aku lupa memberi uang belanja.
💔💔 💔 💔
Aku sering memergoki ia memandangku lama, ketika duduk sambil nyakrik, memilah-milah
batik menurut motif yang diproduksi di rumah ini. Atau, ketika aku melepas penat dengan
nonton televisi.
Ketika aku bertanya apa yang sedang ia pikirkan tentang aku, ia hanya menjawab, “Den
Rintan hebat. Den Rintan adalah pahlawan bagi buruh-buruh batik di rumah ini. Karena, Den
Rintan ternyata mewarisi bakat Ndoro Puteri. Makanya, tidak heran, kalau buruh-buruh di
kebon sangat hormat dan sayang pada Den Rintan.”
💔💔 💔💔 💔
“Iya. Masih ingat dulu waktu Ndoro Puteri bicara, bahwa Den Rintan ujian, Pakde Karto dan
Pakde Marji puasa Senin-Kamis, nyenyuwun, mohon pada Gusti Allah supaya Den Rintan
sukses. Kemarin, sewaktu Den Rintan meresmikan Rumah Batik, seluruh kebon mengadakan
doa pada malam sebelumnya. Supaya usaha yang dirintis Den Rintan berjalan dengan baik.
Rezekinya lancar. Karena, lancar bagi Den Rintan artinya juga lancar bagi para buruh itu.”
💔💔 💔💔♀ 💔💔
“Ah, Mbok. Mana bisa saya hidup tanpa pakde-pakde dan mbokde itu. Jelas saya tidak
mungkin…
Jilid 1
Waktu itu bulan Juni. Ketika tanpa sengaja aku menemukan foto-foto lama keluargaku.
Warnanya sudah sedikit kekuningan, karena lembar-lembar itu telah usang.
💔💔💔
Seingatku, terakhir melihatnya ketika aku masih di bangku SD. Setelah itu, entah di mana
Ibu menyimpan, aku tak pernah tahu. Ternyata, setumpuk itu tersimpan dalam lemari kayu
tua yang sangat jarang dibuka.
Waktu pertama membukanya kembali setelah bertahun terlupakan, aku tersenyum sendiri.
Semua masih seperti dulu, ada foto ketika Romo dan Ibu menikah. Upacara panggih yang
terkesan sakral, lalu upacara tumplak punjen, karena Ibu adalah anak ragil, bungsu.
Lalu, foto-foto yang kutemukan itu menyedotku pada masa lalu. Masa ketika keluargaku
mulai terbentuk.
💔 💔💔 💔💔
Pada album hijau ada foto-foto, ketika Mas Wisnu Wardhana, kakak tertuaku, lahir. Romo
duduk di kursi menggendong bayi mungil dikelilingi para abdi yang duduk bersila di tikar
memanjatkan doa-doa. Pula ada foto Mas Wisnu pada upacara tedhak siten. Adat keraton,
ketika pertama kali seorang anak menginjakkan kaki di tanah. Dan, masih banyak foto-foto
yang menceritakan bagaimana Mas Wisnu tumbuh.
Lalu, di album cokelat ada foto-foto Mas Indra Prabangkara, kakak kedua. Sama seperti foto-
foto Mas Wisnu, foto Mas Indra juga lengkap ketika lahir hingga masa-masa pertumbuhan.
Bahkan, yang ini lebih lengkap. Ada foto ketika Romo membawa payung dan menggendong
gentong kecil yang berisi ari-ari Mas Indra untuk dikubur di samping kiri pintu utama.
Lalu, yang terakhir adalah album merah yang berisi foto-fotoku. Koleksi di album ini lebih
banyak dari album-album yang lain. Jumlahnya hampir dua kali lipat. Bahkan, foto tedhak
siten lebih komplet dari yang lain.
💔 💔💔 💔💔
Wajahku bulat dengan mata bersinar-sinar duduk di dalam kurungan ayam dengan
beberapa mainan terserak. Tetapi, tanganku memegang sempoa kayu berwarna cokelat tua.
Memang, dari ketiga anak Romo dan Ibu, foto-fotokulah yang paling banyak. Tetapi, ada
yang kurang. Karena, aku tak mendapati foto kelahiranku. Tak ada foto, ketika Romo
menggendongku lalu dikelilingi para abdi dalem yang memanjatkan doa-doa.
Tak ada foto Romo menggendong gentong kecil yang berisi ari-ariku untuk dikubur.
Kubolak-balik tetap saja tak kutemukan foto itu.
💔💔💔
Hal itu membuatku mengerutkan kening. Ke mana foto kelahiranku disimpan Romo atau
Ibu. Tak mungkin aku bertanya pada mereka, karena Romo telah meninggal sejak aku
berusia 13 tahun dan Ibu menyusulnya pada musim hujan empat tahun lalu.
Ketiga album itu tetap kusimpan dan rawat baik-baik, seperti kurawat benda-benda lain
peninggalan keluarga tumenggungan ini. Jika ada waktu longgar, sesekali aku melihat
kembali foto-foto itu.
Sebagai seorang tumenggung di Keraton Surakarta, Romo cukup sukses secara materi. Itu
tak lepas dari usaha dan jerih payah Ibu yang sanggup menerus…
PULUNG
Jilid 4
Karena kakak-kakak ipar terus mendesak, akhirnya aku ganti baju juga. Meski kami hanya
makan sup jagung, bakmi, dan nasi goreng spesial masakan Mbok Yekti, kami serasa makan
di restoran.
💔💔💔
Malam itu di rumah sangat ramai, meriah, dan semua itu membuatku sungguh berterima
kasih pada keluargaku. Aku bersyukur memiliki keluarga yang sangat perhatian. Dan tentu
saja terima kasih itu juga kuberikan pada Mbok Yekti. Juga Bagas.
Bagas yang sering mengajak Mbok Yekti bersekongkol untuk memberi kejutan padaku. Aku
yakin ini semua memang idenya.
Bagas..... andai kau tahu bahwa besok aku akan menemui seseorang yang tanpa kusangka
telah melahirkan cintaku. Andai kau tahu.....
💔 💔💔 💔
“Ayo, pokoknya semua masakan Simbok harus dihabiskan", Mbok Yekti sibuk melihat siapa
tahu ada yang perlu ditambah.
💔💔 💔💔 💔
“Terlalu lama pacaran tidak baik. Kalau kalian sudah merasa saling cocok, tunggu apa lagi?”
💔 💔 💔💔
Mereka tak tahu bahwa saat ini hatiku sedang tertawan oleh seseorang hanya dengan
pandangan pertama. Perjumpaan yang hanya beberapa menit.
Tanpa terasa, malam sudah menunjuk pukul sepuluh. Kakak-kakaku pulang karena anak-
anak sudah mengantuk, tetapi Bagas masih tinggal.
“Rintan, bapak dan ibuku ingin bertemu kamu besok, kamu bisa ke sana, ’kan?”
💔💔 💔💔 💔
“Besok? Bagaimana kalau lusa? Karena aku telanjur ada janji dengan rekan yang
membutuhkan batik bukan hanya sekadar barang, tetapi juga beberapa penjelasan.”
“Rintan, jika menuruti pekerjaan, tak akan ada habisnya. Terus terang, Ibu sudah ingin kita
segera menikah.”
Aku diam. Sebenarnya aku tahu maksud pembicaraan ini. Tetapi..... Pulung.....
💔💔 💔 💔💔
Bagas hanya manggut-manggut. Dan, aku berjuang menyembunyikan debar dan bayangan
Pulung.
💔 💔💔♀ 💔💔♀
“Oke... oke... aku akan pulang sekarang. Terima kasih. Selamat malam.” Ia menciumku.
Semenjak siang hatiku diserang gelisah. Ada rasa takut kalau-kalau Pulung menggagalkan
pertemuan. Semua bisa saja terjadi. Atau, tiba-tiba aku yang harus menggagalkan, entah
karena apa. Tetapi, daripada aku terbawa gelisah tak menentu, sebaiknya aku
merencanakan lo…
[11:00, 3/17/2019] Ebu ❤: 💔 Cerbung 💔3
PULUNG
Jilid 3
Memang, selain Mbok Yekti dan kedua kakakku, Bagaslah orang yang mendukungku. Yang
selalu menaruh perhatian kepadaku.
💔💔 💔 💔💔
Dulu, ketika aku membangun rumah batik yang kunamai Putri Kencana ini, ia banyak
memberikan waktunya untuk mengurus tukang, memantau pembangunan. Bahkan, ketika
aku membutuhkan dana mendesak, ia merelakan tabungannya.
Hubungan selama tiga tahun yang telah terjalin, tepatnya setahun sepeninggal Ibu,
membuatku kembali mendapatkan kemanjaan. Aku begitu percaya padanya dan rasanya tak
mungkin aku jatuh cinta lagi selain dia.
Sepertinya aku sudah hentikan langkah, karena telah menemukan yang kucari. Dia anak
sulung, sedangkan aku bungsu. Mbok Yekti bilang, menurut hitungan Jawa, itu sangat klop.
Cocok! Ya! Aku memang merasa cocok dengan Bagas.
💔💔💔
Tetapi, suatu hari pendapatku tentang hubungan kami berubah. Sebenarnya, aku takut
mengatakan, tetapi harus kuakui bahwa aku jatuh cinta lagi.
Awalnya hanya pertemuan biasa. Aku mengenalnya, ketika ia datang mengantarkan turis
asing berkunjung di rumah batikku. Saat itu menjelang malam. Lampu-lampu jalanan sudah
dinyalakan.
Ia bersama tamunya tampak lelah dalam balutan kaus oblong. Seperti kebanyakan
pemandu, penampilannya biasa saja. Jauh dari necis, tetapi secara keseluruhan ia adalah
pria yang menarik. Ketika berbicara, bahasa Inggris-nya begitu fasih dan enak didengar.
💔💔💔♂💔♂
Aku mengamati mereka berdua. Sekilas ia menolehku. Jika melihat cara dia memandang,
barangkali ia menyangka aku pengunjung juga. Ia masih berbincang dengan kawan turisnya,
saat aku datang mendekat.
💔💔💔 💔 💔💔♂
“Terima kasih. Apakah saya bisa bertemu dengan pemilik rumah batik Putri Kencana ini?"
Lalu ia memperkenalkan kawan turisnya. “Dia Fritz, kawan saya dari Belanda. Moyangnya
orang Indonesia. Dulu juga perajin batik dan sekarang ia ingin melihat-lihat kreasi batik yang
dulu pernah ditekuni moyangnya di kota ini."
💔♂ 💔 💔
“Tolong, Ibu.....?"
“Rintan. Nama saya Rintan," kataku, mengenalkan diri.
💔💔 💔💔 💔💔
“Begini, Ibu Rintan, saya kurang menguasai batik dan segala keunikannya. Tolong bantu saya
memberi informasi untuk Fritz."
Dengan senang hati aku menjawab banyak pertanyaan pria itu dan teman turisnya. Dari cara
bertanya, mereka sepertinya memiliki keingintahuan besar tentang batik. Maka kujelaskan
tentang proses pembuatan batik yang sangat makan waktu. Tentu saja proses itu kuhafal di
luar kepala.
“Kalau yang ini motif mega mendung. Ia menyimpan sejarah dan riwayat. Merupakan
perkawinan dua budaya. Sunan Gunung Jati menikah …
PULUNG
Jilid 5
Aku pulang dengan hati patah berkeping. Sekeping buat Pulung, keping lain telanjur terpaut
pada Bagas.
💔💔 💔 💔💔
Sudah kuduga hari-hari selanjutnya aku kerepotan mengatasi perasaan kangen yang amat
sangat. Juga menghadapi desakan Bagas dan ibunya yang terus meminta kepastian tentang
pernikahan.
Tak kusangka hariku demikian rumit. Aku tahu, kerumitan itu bersumber pada hati. Pada
keinginan.
Rasanya akhir-akhir ini aku memiliki kebiasaan baru. Waktu longgar yang biasa kupakai
membaca majalah atau menonton TV, sekarang kugunakan duduk-duduk saja di beranda
atau di pendapa. Memikirkan perjalanan hidup yang rasanya kini sampai pada
persimpangan. Aku harus memilih dan menerima apa pun konsekuensinya.
💔 ❌💔
Begitu juga dengan petang ini. Ketika aku duduk memangku tangan, membiarkan pikiran
berkelana, Mbok Yekti datang membawakan teh panas dan emping melinjo manis
kegemaranku.
“Mbak Rintan, maaf, Simbok mengganggu. Cuma mau bilang, persediaan beras hanya
tinggal untuk besok,” katanya, sambil meletakkan nampan di meja.
“Astaga! Mbok, maaf, saya sampai lupa soal-soal begitu. Saya terlalu bergantung pada
Simbok sehingga tak pernah memikirkan semua itu. Saya juga lupa belum memberi uang
belanja buat Simbok.”
💔💔💔
“Kapan?”
“Hmm... memang bukan Mbak Rintan yang memberi, tetapi Mas Bagas. Dia sangat maklum
kalau Mbak Rintan lupa. Tetapi, kalau soal beras habis, Simbok tidak berani bilang pada Mas
Bagas.”
Aku terenyak. Ah, Bagas, Bagas yang kuabaikan ternyata begitu perhatian hingga persoalan
kecil.....
💔💔 💔 💔
“Mbak Rintan, Simbok mengamati akhir-akhir ini Mbak Rintan murung terus. Dan.....”
“Kenapa, Mbok?”
“Mbak Rintan makin kelihatan kurus, tidak mengurus badan. Lihat saja! Ini sudah hampir
pukul delapan malam, Mbak Rintan belum mandi. Iya, tho?”
💔 💔💔 💔
“Itu! Mata Mbak Rintan tampak cekung. Sepertinya tidur selalu larut malam. Kerja, ya, kerja,
Mbak. Tetapi, harus tetap cantik. Atau.....”
“Mbak Rintan pusing memikirkan hari pernikahan? Simbok mengerti, karena Mbak Rintan
harus mengurusnya sendiri. Andai saja Simbok bisa membantu.”
💔💔 💔💔 💔
“Ah, Simbok sudah sangat membantu, kok. Saya tak bisa membayangkan seandainya di
rumah ini tidak ditemani Simbok.”
“Tapi, Mbak Rintan itu pintar dan mandiri. Tentu Ndoro Kakung dan Ndoro Putri, kalau
masih ada, pasti bangga pada anak bungsu tumenggungan ini.”
💔 💔 💔💔♀
“Tidak.”
“Tidak. Simbok tidak bohong. Simbok tidak pernah berani naksir orang. Mbak Rintan ini
bertanya, kok, aneh.”
PULUNG
Jilid 6
💔💔💔
Aku mengangguk, lalu mengalihkan pandang pada dinding-dinding kamar. Ruang tidur ini
sangat sederhana, namun rapi. Tak ada perabotan mewah. Hanya ada satu almari yang pada
tutupnya terpasang cermin. Lalu di sudut ruang terletak sepasang meja dan kursi. Pada
dinding sebelah kiri ada beberapa foto tertempel di sana. Ketika aku mendekat untuk
melihat koleksi foto itu, alangkah terkejutnya aku, ketika melihat seorang laki-laki yang
menggendong bayi itu sangat mirip dengan laki-laki yang menggendong bayi kakak-kakakku
ketika lahir.
“Itu ayahku. Yang digendong itu aku,” katanya, seraya menunjuk satu foto dalam pigura
kayu.
💔💔 💔💔 💔💔
“Yang ini?”
“Itu adikku.”
Aku menoleh ke arahnya sebentar. Ada yang aneh dari nada suaranya. Dan, entah karena
ada kekuatan apa, hatiku memerintahkan tangan untuk mencuri foto itu. Aku memasukkan
ke dalam tas, ketika Pulung kembali ke pembaringan ibunya, lalu mengusap peluh pada dahi
kusut itu. Benakku terus terisi berbagai macam pertanyaan. Kuharap Pulung tak tahu bahwa
salah satu foto keluarganya hilang.
💔 💔 💔💔
Selepas hari itu, pada waktu istirahat aku suka memandangi lama foto curian itu, lalu
membanding-bandingkan dengan foto kelahiran kakak-kakakku.
Aku tak mengerti, bagaimana bisa Pulung mengatakan bahwa ini adalah foto adiknya.
Bukankah ia anak semata wayang?
Belum pernah sekali pun ia menceritakan tentang saudaranya. Begitu kuat pertanyaan itu,
sehingga aku ingin menghubungi dan menanyakannya.
💔 💔💔 💔
💔 💔💔 💔💔
“Oh, iya. Sekalian aku mau bertanya tentang foto yang ada di kamar ibumu. Hmm.....”
“Aku hanya ingin tahu cerita tentang adikmu yang kau sebut, ketika aku bertanya tentang
foto kelahiran kemarin. Karena, rasanya kamu tak pernah menceritakannya bahwa kau
punya adik. Di mana dia? Kau tak ingin mengenalkannya padaku?”
“Oh, itu. Kemarin ibuku kebingungan, mengapa salah satu fotonya ada yang hilang. Ia
mencari dan bertanya padaku apakah aku memindahkan foto itu. Asal tahu saja, ibuku
sering berlama-lama memandangi foto itu.”
💔 💔 💔💔♀
Aku kaget bukan main. Dihantui rasa bersalah dan malu karena kelakuanku.
“Pulung, maaf. Maaf, aku..... aku..... aku telah mencuri foto itu.”
“…
PULUNG
Jilid 7
“Sudah sejak lama aku menduganya, Rintan. Tetapi, tak kusangka kau benar-benar.....”
💔💔💔
Setitik air mata membasah di matanya. Ia berusaha menahan. “Siapa lelaki itu, Rintan?”
“Pulung. Orang Yogya. Dalam segala hal, dia sangat jauh jika dibanding kamu. Tetapi,
hatiku..... hatiku.....”
“Cukup! Cukup! Aku tak ingin mendengar,” katanya, seraya beranjak pergi.
💔💔♂ 💔💔♂ 💔
Aku diam tak menahannya. Beberapa menit kemudian kembali kudengar suara mesin mobil
dihidupkan. Dan, suara itu lama-kelamaan hilang dari pekarangan. Aku kembali terkungkung
sepi.
Dari sekian pikiran yang menggelayut di benakku, hanya satu yang ingin segera aku lakukan.
Meminta Mbok Yekti menunda pulang. Aku melangkah ke kamarnya. Mencoba membuka
pintu yang ternyata tak terkunci. Wanita sepuh itu tidak main-main. Ia sedang melipat baju-
bajunya, lalu memasukkan ke dalam tas.
Tiba-tiba, air mataku berderai. Aku hanya bersandar di pintu tanpa sanggup berkata-kata.
Bayangan sepi segera melintas.
Bukan karena aku tak sanggup mengerjakan tugas-tugas rumah. Bukan aku tak bisa makan
tanpa dia. Tetapi, wanita itu, aku tak mungkin membiarkannya pergi, setelah begitu banyak
perannya di rumah ini. Membesarkan dan mengasuh kami, anak-anak tumenggungan,
sementara Ibu berdagang di Pasar Klewer. Memandikan dan menyuapi kami, menyetrika
baju-baju dan seragam sekolah kami. Ia mengabdi dan terus mengabdi melebihi tukang-
tukang cap dan para pembatik di kebon.
💔💔💔
Aku menangis. Menangis. Hingga aku sanggup bicara, meski sesekali masih terisak.
“Mbok, silakan Simbok pergi, jika itu memang Simbok inginkan. Tetapi, tolong dengar dan
jawab dulu pertanyaanku.” Ia hanya mendongak, lalu melanjutkan melipat baju.
“Baru saja Bagas datang dan aku sudah katakan bahwa aku jatuh cinta pada pria lain.”
Kutunggu reaksinya, tak ada.
💔💔♀ 💔 💔💔♀
“Mbok, entah mengapa, aku begitu terpaut pada pria itu. Aku tak tahu apa yang
membuatku bisa begitu. Mula-mula ia datang membeli kain batik untuk teman turisnya. Lalu
kami bertemu dan kami saling bercerita tentang banyak hal."
"Saat ini ia sedang mencari ayahnya yang pergi membawa adiknya. Konon, katanya, ayah
yang ia cari itu adalah bangsawan yang dulu mengirim keris, benda bisu yang menggantikan
kehadirannya selaku pengantin laki-laki bagi ibunya."
"Suatu hari saya ke rumahnya untuk menemui wanita itu. Benar kata Pulung. Bahwa mataku
mirip mata ibunya, bibirku mirip bibir ibunya. Yang paling menyesakkan, aku melihat dua
foto kelahiran. Dan, laki-laki itu rasanya mirip dengan lelaki yang memangku Mas Wisnu dan
Mas Indra.”
💔💔💔
Sampai di sini aku menggigit bibir karena tak sanggup melanjutkan. Mbok Yekti berhenti
melipat baju. Bibirnya bergerak-gerak serupa membaca mantra.
PULUNG
Jilid 8
“Oh, ternyata wanita lemah itu ibu kandungku. Akan kubawa dia tinggal di rumah ini. Aku
akan merawatnya. Aku telah utang cinta padanya. Bagaimana menurut Simbok?”
💔💔 💔 💔
Masih bersimbah air mata, aku meminta persetujuan wanita sepuh itu.
Ia mengangguk.
Hari ini, aku telah siap lebih awal. Aku akan pergi ke Yogya untuk mengembalikan foto yang
kemarin aku janjikan dan akan mengatakan sebuah kebenaran. Sebuah rahasia yang sekian
tahun terpendam dengan rapi.
💔💔💔
Kubayangkan, apa yang akan dikatakan Pulung dan ibunya, ketika tahu bahwa akulah bayi
perempuan yang terenggut itu.
Wanita itu masih berbaring lemah. Apa yang dikatakan Pulung ternyata bohong. Ia bilang
ibunya sudah lumayan baik, tetapi yang kulihat sungguh membuatku nelangsa.
Pulung menunggui di sisi pembaringan. Wajahnya kusut. Ia bangkit berdiri, ketika aku masuk
diantar seorang wanita setengah baya yang membantu menjagai dan merawat ibunya.
💔💔♀ 💔 💔
Tak tahan oleh perasaan yang mengimpit, aku langsung menangis dan menubruk wanita itu.
Suaraku serak, dadaku serasa hampir meledak. Ia membuka mata dan menatapku lama.
💔💔 💔💔 💔💔
“Aku anak perempuanmu. Aku anak perempuan Rahayu yang menikah dengan keris
Tumenggung Rekso Darmo.”
💔💔💔
“Intaaann...,” suara lirih wanita yang berbaring itu membungkam kami. Ia berusaha bangkit.
Tangan kami segera menangkapnya.
“Kau?”
“Ya. Aku Intan, anak Ibu yang dilarikan romoku untuk diberikan kepada ibuku, 28 tahun
lalu.”
💔💔💔
Perempuan itu langsung meraihku dan kami satu dalam pelukan. Isak dan air mata kami
menyatu. Pulung membisu. Sepertinya ia belum sadar betul apa yang tengah terjadi.
Ia mengangguk. Tetapi, matanya tak melepasku barang sedetik. Seolah ia telah membaca
sejarah dan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Bibirnya bergerak-gerak, entah apa yang ia
gumamkan. Tangannya menggenggam lemah tangan kiriku.
“Bagaimana bisa?”
💔 💔 💔💔♀
Pulung meraih foto itu. Aku terisak. Memeluk Ibu sekali lagi, lalu keluar kamar. Pulung
menyusulku.
“Rintan.”
“Intan.”
💔 💔💔 💔💔
“Bagiku Rintan atau Intan sama saja. Ternyata aku telah jatuh cinta pada adik kandungku.
Hidup ini sungguh aneh. Ternyata harapan Ibu untuk bertemu dengan putrinya telah
terwujud. …
SAYYIDAH RAHMA
___
“Lepas cadar kamu! Ini peraturan baru Universitas, kami tidak bisa menerima mahasiswa
bercadar!”
“Cadar tidak radikal, Pak. Bapak tidak bisa menuduh seseorang radikal hanya karena pakaian
yang ia kenakan.”
“Ini sudah menjadi keputusan final, maaf Sayyidah kami tidak bisa mempertahankan kamu,
jika kamu tetap mengotot.
Saya tidak ingin, yang lain menjadi korban dari gerakan radikal!”
“Kalau begitu maaf, kamu tidak bisa melanjutkan studi di kampus kami!”
Perjuangan dia untuk menjadi seorang ahli bedah sepertinya akan pupus.
Alasan kampus sungguh tak masuk akal. Bagaimana bisa ia dikeluarkan hanya karena cadar
yang ia kenakan.
Baginya cadar bukan hanya sebuah pakaian melainkan lebih dari itu.
Dari jauh lelaki berkacamata, bertubuh tegap layaknya tentara menguping pembicaraan
Sayyidah dengan dewan kampus.
“Plan B!”
“Baik.”
Tak lama lelaki itu masuk, suasana ruangan semakin tegang karena perseteruan Sayyidah
dengan Dewan Kampus.
“Saya rasa, masalah ini bisa kita pertimbangkan kembali, Pak Atmojo,” ucap lelaki yang
dikenal sebagai salah satu dosen baru di kampus kepada pimpinan dewan kampus.
“Sayyidah, adalah mahasiswi saya yang tekun. Jangan karena masalah ini, ia dikeluarkan!”
lanjutnya tegas.
“Anda siapa? anda hanya dosen tak tetap. Sebaiknya anda diam!”
Sayyidah menatap pada Eru, dosen baru yang baru saja mengajar di kampusnya.
Lelaki itu mati-matian membela hak Sayyidah, Sayyidah terenyuh. Sayyidah terus menangis,
mulutnya begitu berat tak mampu Ia membantu Eru berargument.
“Bangunlah,” ucap Eru, lelaki dihadapan Sayyidah begitu manis, wajah berbentuk persegi,
model rambutnya cepak dan belah pinggir semakin menegaskan bentuk rahang dan garis
dahi Eru.
Eru terlihat semakin maskulin dengan tubuh tegap yang ditutupi dengan kaos berwarna
navy juga jas polos berwarna coklat.
“Terima kasih. Semoga yang bapak lakukan bisa bermanfaat dikemudian hari.
Cadar yang saya pakai bukan untuk menutupi jati diri saya, bukan karena saya kelompok ra…
BRIGADIR ERU
___
Ia bangun dalam keadaan tidak puas, ia regangkan setiap otot di tubuh, kepala ia putar
seraya meregangkan jemari dan membunyikannya.
Ruangan kamar flat yang ia tempati berukuran 3 x 3 meter terdapat satu kamar mandi di
dalam dan dua ranjang tingkat yang terjajar rapi, satu buah jendela menghadap ke selatan.
Eru adalah Brigadir termuda diantara teman-teman sekamarnya, mereka semua sudah
menikah.
Eru pernah sekali menikah dan hanya dalam waktu satu tahun ia bercerai, Agnes mantan
istrinya tak sanggup dengan pekerjaan Eru yang menuntut dirinya untuk setia kepada
Negara 24 jam 7 hari, penghasilan yang Eru terima pun tak seberapa hanya setara UMR.
Jiwa ksatria yang tumbuh alami dalam diri Eru membuat Eru loyal kepada Negara, Agnes
menuntut cerai darinya dan Eru pun menyetujui dengan mudah.
Tak mudah bagi Eru mencari wanita yang bisa menerima diri apa adanya, ia hanya seorang
petugas Negara yang harus siap kapanpun, dimanapun Negara membutuhkan.
Seharusnya hari ini menjadi hari libur untuk Eru. Namun 10 kali panggilan dari Komisaris
Polisi Bram Edi Wijaya cukup menganggunya.
Eru bangkit dan bergegas, ia bersihkan diri lalu berpakaian, rambut cepak dan kaos putih
ketat juga celana PDL Blackhawk berwarna hijau lumut selalu menjadi pilihan Eru saat ia
bertugas.
Eru adalah polisi tak berseragam, seragam hanya ia kenakan saat acara atau upacara
kehormatan.
Eru seraya membenahi rambutnya, ia masuk ke dalam ruangan Bram dengan penuh percaya
diri.
Tubuhnya tegap dan kekar, Eru memberikan hormat pada pimpinan yang sebenarnya
usianya pun hampir sama dengannya.
“Duduk!” ucap Bram yang terlihat kesal, karena Eru tak menjawab panggilannya.
“Pelajari!” lanjutnya.
Eru membuka file di dalamnya, kali ini pasti Bram memintanya lagi untuk menjadi intel.
“Kamu harus mencari tahu keberadaan Abdul Khalik, kita tidak tahu siapa nama aslinya.
Hanya nama itu yang kita dapatkan dari informan, lelaki itu telah merekrut banyak orang
untuk bergabung dalam kelompok ISIS.
Kami mencurigai Abdul Khalik adalah nama samaran yang ia pakai dan saat ini kami
mencurigai satu nama.”
“Siapa?”
Tapi kita belum ada bukti yang mengarah ke sana. Kamu saya tugaskan untuk mencari tahu,
siapa Abdi Wiguna ini sebenarnya.
Saat ini ia sudah mengumpulkan setidaknya hampir 100 orang dan diantaranya akan
berangkat menuju Suriah akhir tahun ini.”
“Caranya?”
“Dia memiliki seorang putri, pernah bertugas menjadi dokter umum di Wonocolo dan saat
ini sedang menempuh pendidikan lanjutan spesialis bedah di Universitas Airlangga Surabaya
semester awal.
Kami juga mencurigai bahwa putrinya mendapatkan biaya pendidikan dari luar. Namanya
Sayyidah Rahma, kamu bisa masu…
MISTERI SAYYIDAH
-------
Hari ke 10.
Sorot nanar kebencian terlihat di mata Sayyidah. Wanita itu seperti tahu Eru
memandangnya sejak tadi.
Sejak ia duduk di bangku kantin rumah Sakit, mata Eru menatapnya penuh dengan rasa
curiga dan rasa ingin tahu.
Lelaki itu duduk tak jauh dari tempat Sayyidah, kantin rumah sakit cukup luas, terlihat dari
jumlah meja yang berjejer di tengah, dan dari kesekian meja, hanya bangku kedua yang
selalu Eru pilih dari tempat sayyidah duduk.
Tiga hari ini Sayyidah merasa diikuti oleh lelaki bertubuh jangkung itu.
Sejak Eru membantunya terlepas dari rencana Rektorat untuk mengeluarkannya dari
kampus. Eru terus menerus mendekatinya, baik di Rumah sakit, maupun di kampus.
Sayyidah terus amati lelaki itu selalu hadir dan menatap mata Sayyidah dengan sejuta tanda
tanya. Tidak nyaman.
Wanita berjubah itu lantas mendekati Eru yang tengah sibuk menyantap makan siangnya.
Eru menghentikan makannya dan tersenyum. Wajah Eru putih bersih, sedikit diperhatikan
seperti keturunan jepang, freckles bintik hitam di wajah terlihat samar.
“Haram?
“Katakan apa yang harus saya lakukan, agar mata ini bisa terus memandangimu!” ucap Eru
demi sebuah misi atau demi kata hati yang mulai jatuh hati akan sosok Sayyidah.
“Tolong jaga sikap Bapak!” Ketus Sayyidah berucap.
Saya perhatikan Bapak terus menerus menatap saya, apa yang Bapak ingin ketahui dari
saya?!”
“Ayah?” tanya Sayyidah heran, tubuhnya bergetar saat Eru menanyakan Ayah.
Hati Sayyidah berdegup, wanita itu menarik napas dan melengos menatap mata wajah Eru
yang terus tersenyum ke arahnya.
Wanita berjubah itu tak menghiraukan pertanyaan Eru, baginya Eru hanya angin lalu yang
tak mungkin bisa singgah di hati.
“Huh!” desah Eru.
Menggoda perempuan adalah keahliannya, jika itu wanita lain mungkin sudah jatuh
kepelukaan lelaki bertubuh jangkung berisi dan putih, sorot mata eru tajam meski sedikit
sipit, bibirnya berwarna kemerahan.
Ia duduk di temani secangkir kopi robusta yang baru saja ia buat, asap kopi mengepul
menebarkan aroma kopi ke ruangan berukuran tiga kali tiga meter.
Dalam sebuah kamar yang ia sewa hanya terdapat sebuah ranjang single dan satu buah
meja bundar juga kursi dan satu…
IDENTITAS SAYYIDAH
Eru berlari ke arah resto mengambil tas milik Mariam yang masih tertinggal di meja.
Lelaki itu lalu bergegas menerjang asap pekat sisa-sisa ledakan besar yang menyebabkan
beberapa orang terluka dan meninggalnya Mariam.
Eru kacau, luka bekas serpihan kaca mengalirkan darah segar dari pelipis hingga ke pipi,
pakaiannya kotor penuh debu, telinganya pun terasa sakit dan pengang karena suara
ledakan yang begitu besar.
Ia edarkan pandangan ke sekitar mencari keberadaan Sayyidah tersangka baginya yang tega
melakukan tindakan pengeboman.
Semua orang berhamburan mencari pertolongan, tak hanya pengunjung kafe, pengunjung
Mal yang jaraknya jauh pun turut cemas dan takut.
Riuh, berantakan, penuh, memanas itu lah yang lelaki bermata sipit itu lihat.
Dari jauh arah selatan, wanita itu ia lihatnya. Sayyidah tersungkur di pekarangan lobby Mal
bersama ratusan pengunjung Mal, matanya terbelalak juga menangis.
Eru beranjak, kesal, benci dengan pelaku terorisme menghilangkan rasa kagum, dalam
sesaat serpihan hati yang sempat ia berikan untuk Sayyidah seketika memudar.
Eru murka.
“Kesini kamu!” Tarik Eru pada lengan wanita lemah di hadapan, Sayyidah tak berdaya.
Lorong jalan berbuntu menjadi tempat Eru untuk mengintrogasi Sayyidah, Eru empaskan
tubuhnya ke dinding dengan keras.
Wajahnya geram, nanar kebencian tersirat, tangan Eru terkepal ingin segera melayangkan
pukulan keras pada wanita yang telah tega melakukan tindakan keji.
“Lepaskan Saya Pak!” rutuk Sayyidah, ia melotot menunjukkan kebencian yang teramat
dalam.
“Kenapa?
Apa menurutmu perbuatanmu di kafe tadi itu lebih mulia dari tubuhmu yang terjaga!”
“BOHONG! LAKNAT!”
“Aku lihat dengan kedua mataku, kamu masuk ke kafe itu!”
Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini benar? KATAKAN?!” seru Eru.
Kekar tangan Eru memukul tembok lalu menghadang tubuh Sayyidah di antara ke dua
lengannya.
Air mata Sayyidah pecah berderai, bibirnya kelu melihat lelaki yang kini hanya berjarak 10
cm dengannya.
“Saya bersumpah bukan saya yang melakukannya!” lirih Sayyidah sesak memegang
dadanya.
“BOHONG!”
Terkejut Sayyidah!
Eru semakin marah dan membentaknya, “Saya akan bawa kamu ke kantor polisi, ikut saya!”
jawabnya seraya menarik lengan perempuan
Tiada arti hidupku tanpa seorang Amir Hartono, lelaki yang pernah datang meminangku.
Dirinya penolong dari jiwa yang lemah, mengangkatku dari lubang kotor menuju
kesempurnaan yang indah, aku dulu bukanlah aku.
Aku sesat, bagai angin yang tak tentu arah. Hatiku rapuh begitu juga jiwaku hancur.
Amir datang bagai penerang untukku, lalu pergi begitu saja membuat kegelapan di hatiku.
Cintaku padanya tak akan berpendar, akan tetap sama hingga aku berjumpa dengannya di
akhirat.
Hati Eru panas, menderu bagai ombak yang tak kunjung habis.
Cemburu.
Lelaki ini termenung di ruangan berbeda, membuka barang-barang pribadi milik Sayyidah
Rahma dan satu yang membuatnya jengkel adalah surat untuk seorang Amir Hartono yang
jelas saat ini keberadaannya tidak diketahui.
Eru mengamati Sayyidah di kamar kosong berdebu, kedua tangan masih terikat dan bibir
Sayyidah basah karena berdzikir tiada lelah.
Hati Eru berkecamuk belum pernah ia merasakan iri teramat dalam pada seorang lelaki.
Wanita dihadapan begitu lugu, juga alim. Sayyidah pantas mendapatkan lelaki yang lebih
baik dari seorang Amir.
Eru terlelap.
Hari semakin larut, suara pintu berdecit menyadarkan Eru dari lelapnya.
Ia bangkit, dan regangkan setiap otot yang kaku. Eru keluar dari kamar, pintu rumah terbuka
lebar, kamar Sayyidah kosong, ikatan tali tergeletak di lantai.
Eru terkesiap buru-buru mengejar wanita yang sepertinya belum lama pergi dari rumah
kosong. Ia kendarai mobil dan mengejar Sayyidah. Beruntung arah jalan rumahnya hanya
satu arah, Sayyidah pasti melewati jalan ini untuk kabur.
Ia edarkan pandangan pada setiap sudut jalan, tak nampak wanita berjubah yang kini
menjadi incaran polisi.
Sayyidah pasti lemah, sejak siang tak satupun makanan yang masuk ke dalam mulutnya.
Rem mobil berdecit, kencang Eru menginjak rem saat melihat wanita di hadapan berlari
terhuyung menyusuri jalan setapak.
Jauh dari pandangan, pemeriksaan kendaraan dilakukan oleh sejumlah patroli guna mencari
keberadaan tersangka pelaku pengeboman, jarak Sayyidah hanya sekitar 100 meter dari
arah patrol.
Keadaan dirinya seperti itu dengan jubah hitam sama yang ia pakai saat peristiwa
pengeboman akan memudahkan polisi untuk menangkapnya.
Refleks Eru turun dari mobil, ia melangkah cepat dan buru-buru mengejarnya.
Wanita itu lemah tak berdaya, terhuyung, dinding kusam sepanjang jalan membantu
Sayyidah untuk berjalan
“Pergilah! Saya tidak akan peduli lagi, dua orang polisi ada di depan.
Den…
IDENTITAS MARIAM
Malam yang melelahkan, kehidupan Eru semakin rumit bagai jaring laba-laba yang tak jelas
arahnya.
Ia buka semua data tentang Mariam, wanita yang rencana akan dijodohkan dengannya itu
begitu polos, ponsel android sama sekali tak berpassword, dompet semua lengkap juga ada
kunci kos-kosan di dalam.
Eru menarik napas, masih terngiang di ingatan bagaimana wanita itu melemparkan senyum
ke arahnya.
“Maafkan aku Mariam … suatu saat aku akan mengembalikan posisimu!” gumamnya.
Waktu Eru sangat terbatas, ia harus bergerak cepat menyetting sebuah rencana agar
Sayyidah dianggap sudah mati.
Lelaki berambut cepak ini membuka ponsel Mariam, beberapa pesan masuk lewat pesan
aplikasi chatting.
Hampir semua menanyakan keberadaannya, pelan Eru balas semua pesan menggunakan
pesan broadcast.
“Bekerja untuk siapa Mariam?
Kenapa tidak ada grup kerja atau nama kantor?” gumam Eru heran.
Dari pesan chat yang ia baca di group sepertinya Mariam tidak bekerja untuk sebuah
Perusahaan tapi untuk perorangan.
Satu pesan yang sangat sering dari seorang wanita bernama Magda, terlihat seperti bosnya
di Bandung.
Eru beranjak, ia berikan semua data kepada wanita berjubah di ruangan berbeda.
“Sayyidah … kamu pelajari ini!” ucapnya seraya memberikan semua data Mariam padanya.
“Saya ragu … sepertinya yang kita lakukan ini berdosa,” jawab Sayyidah ragu.
“Semua … pemboman itu pun berdosa Sayyidah! Mariam akan membantu saya
mengungkap siapa dalang pemboman!
Jika kamu benar tidak bersalah, kamu buktikan. Jiwa saya pun bergemuruh memikirkan
arwah Mariam yang mungkin tak tenang, tapi saya berjanji saya yang akan mengurus semua
pemakaman Mariam, saat ini jasadnya ada di Rumah sakit masih menjalani otopsi.
“Untuk apa?”
“Berikan saja!”
Sayyidah merogoh sakunya ia turuti semua permintaan Eru, kunci berlafazkan bismillah ia
berikan pada Eru.
Sayyidah aku mohon , makanlah. Aku berjanji akan membawamu menemui Amir Hartono,”
jawab Eru memberikannya semangat meski hati sedikit agak ragu.
Tak ada satupun yang tahu akan kepergian Eru, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.
Langit masih berwarna hitam, berkabut seperti memberikan isyarat akan tindakan salah
yang ia lakukan.
Eru nekat.
Jiwa petualang dan keberanian mendadak bangkit karena gairah cinta yang belum pernah ia
rasakan sebelumnya.
Tanpa memikirkan nasib mariam atau pun Ibunya yang hanya hidup sendiri.
___
Dalam heningnya malam, rasa cemas menggebu, suara detak jam terdengar menyeramkan
bagi Sayyidah yang kini terdiam di balik pintu, ia bersandar seraya berdizikir. Lemas, letih
terasa di sekujur tubuhnya yang hampir kaku.
Sunyi.
Sepertinya Mariam adalah wanita yang tak mudah bersosialisasi, sejak pagi ia menempati
ruang sempit berukuran 3x 3 meter itu tak satupun datang atau menyapa.
Layar ponsel terus ia amati berharap Eru brigadier polisi bersenyum manis itu
menghubunginya.
Langkah kaki terdengar tajam di telinga. Sayyidah terperangah panik, mata Sayyidah
terbelalak tajam menengok ke arah knop pintu.
“Astaghfirullah!” Knop pintu terbuka, seseorang hendak masuk kedalam dan sepertinya
memiliki kunci kamar.
“Aghhhh!” Tubuh Sayyidah terempas, jaket Eru menutupi sekujur tubuhnya, masker
pemberian lelaki berjambang tipis itu pun ia kenakan.
“Kemana saja kamu!” Lelaki bertubuh tinggi besar, lelaki yang ia curigai bernama Bagyo.
Memakai jaket coklat dan sebuah topi, wajahnya culas dengan kumis tebal.
“Apa yang kamu lakukan! Keluar!” teriak Sayyidah kencang, berusaha meruntuhkan
keheningan dan memanggil semua pengunjung motel untuk datang.
“Agh! Brengsek!
Terperangah Sayyidah, lengannya baru saja bebas dari tangan germo tua menyeramkan
bernama Bagyo, Eru datang dan menarik tubuh lelaki itu dan menghabisinya di atas ranjang.
Pukulan Eru telak ia layangkan ke wajah berkali-kali hingga darah segar mengalir dari
hidung, telinga juga mulut lelaki berkumis.
Eru tekan tubuhnya dengan lutut, nanar kebencian terlihat di mata Eru, wajahnya berpeluh.
Brengsek!”
Eru mengambil borgol di saku celana lalu menggembok tangan kiri Bagyo dan yang lainnya
ia gembokkan di kaki ranjang.
Eru ambil ponsel di saku, ia hubungi pos terdekat untuk segera menangkap Bagyo.
PART 8:
Kegundahan hati
Sepucuk surat di tangan baru saja Eru berikan padanya untuk ia tandatangani.
Sayyidah mungkin sudah sah dalam agama jika ingin menikah lagi.
Toh Amir tak pernah memberikan kabar juga nafkah padanya dua tahun belakangan namun
hak pisah itu pun sendiri hanya berada di tangannya.
Cinta Sayyidah begitu besar terhadap Amir, lelaki yang sudah banyak berjuang untuk diri
juga keluarganya.
“Sudah kamu tanda tangani?” tanya Eru yang baru saja keluar dari kamarnya.
Seraya mengancingkan kemeja ia berjalan seraya menatap ke arah cermin yang jaraknya tak
jauh dari tempat Sayyidah duduk.
Sayyidah diam, menyebalkan melihat sikap Eru yang terkadang baik namun terlihat licik.
“Sayyidah!” sapanya mendekat, tangan satu ia sandarkan di meja dan satunya disandarkan
di kursi tempat Sayyidah duduk.
Sepasang netra menatap mata Eru yang jaraknya kini hanya 20 cm dari wajahnya.
Eru terlihat serius, wewangian maskulin begitu menusuk penciuman Sayyidah, pagi itu Eru
terlihat rapi dengan kemeja merah marun dan celana berwarna hitam.
“Sayyidah!”
“Cekrek!”
“Untuk apa foto itu!” rutuk Sayyidah seraya menggapai ponsel di tangan Eru.
“Apa ini?”
“Aku akan menghubungimu lewat ponsel itu dan hanya dengan ponsel itu kamu bisa
berkomunikasi.
Dengar Sayyidah aku berniat membantumu, aku harap tidak ada yang kamu sembunyikan.”
Sementara Eru melangkah menjauh meninggalkan Sayyidah kemudian pergi dengan mobil
yang sudah ia panaskan sebelumnya.
*###$
Malam yang hening, setelah membantu Marta. Sayyidah hanya terdiam di kursi kamarnya
seraya membaca mushaf quran yang tersimpan rapi di rak kamarnya.
Beberapa buku tersusun rapi di dalam rak, mulai buku ilmiah, agama ataupun fiksi.
Ketukan pintu terdengar tak lama terbuka, Marta datang membawa secangkir kopi di atas
baki di tangan.
Wanita paru baya itu tersenyum, senyumannya begitu manis untuk wanita seusianya.
“Ini kare…
Rahasia Sayyidah
___
Sinar matahari yang semakin meninggi tak mampu menerobos celah-celah dinding rumah
yang terbuat dari batu pualam.
Untuk kesekian kalinya Sayyidah mencerca mengutuk tindakan Eru karena telah
memaksanya untuk menikah.
Di langit ketuju namanya tak lagi disebut sebagai istri dari seorang Amir Hartono, lelaki yang
ia kenal sebagai lelaki yang taat beragama, lelaki yang baginya akan disandang sebagai
seorang mujahid yang membela agama Allah.
Sayyidah menyesali, hati pun ingin menyandang nama sebagai istri seorang Amir.
Sayyidah terisak pelan, ia usap semua penyesalan yang telah terjadi, toh pernikahannya
dengan Eru tak akan bertahan lama begitu Amir ditemukan, Eru berjanji akan melepaskan
statusnya.
Sayyidah bangkit, ia tak ingin rahmat Allah menjauh darinya. Ia embuskan napas
mengalirkan angin dingin ke setiap aliran darah yang memanas.
Sedangkan Eru masih terlelap, tubuhnya belum berisitirahat sejak dua hari ia bekerja.
Harum seduhan air jahe tercium menjadi aroma yang dapat menerapi setiap pikiran yang
gundah.
Wanita paruh baya itu mendesah khawatir. Tangannya lembut mengelus tangan Sayyidah.
Senyum Sayyidah mengembang ia merengkuh tubuh Marta yang tingginya hampir sama
dengannya lalu memeluk erat.
Apa Eru melakukan sesuatu hal yang buruk padamu?” sepasang netra menatap mata
Sayyidah cemas.
Marta terlalu baik untuk mengetahui sebuah kebenaran, Marta pun terlalu baik untuk
mengetahui siapa Sayyidah sebenarnya.
“Tidak bu … aku hanya rindu dengan keluargaku. Keluarga yang tak pernah ada,” jawab
Sayyidah datar mengingat Amir di bayangan.
“Ibu paham akan perasaanmu Nak, sendiri sejak lahir pasti berat kamu jalani.”
Suara knop pintu terbuka lelaki bernama Eru baru saja keluar dari kamarnya.
Sepasang netra saling bertemu, mata Eru terlihat sipit, kumis dan janggut tipis terlihat,
rambut tak beraturan kemeja dan celana yang ia pakai sama dengan yang ia gunakan
semalam. Eru melengos ia masuk ke kamar mandi dengan handuk putih yang ia singkap di
pundak.
Lelaki itu baru saja keluar dari kamar setelah membersihkan diri.
Aroma maskulin kembali memenuhi isi ruang, rambut Eru terlihat rapi ia tarik lurus
kebelakang, langkahnya tegap lalu duduk berhadapan dengan Sayyidah.
Sepasang netra terus menatap Sayyidah yang terlihat tak acuh dengannya, Sayyidah terus
menghindar, gugup hingga kedua tangan Sayyidah terlihat bergetar.
“Nasi gorengnya buatan Mariam loh Nak …,” teriak Marta yang masih sibuk di dapur.
__
Malam itu, angin seperti enggan bertiup. Kesejukan dan keindahan gunung Arjuna yang
terlihat dari sebuah jendela kecil di kamar mereka senyap dan hilang oleh ketegangan yang
dirasakan Sayyidah.
Ia ambil sapu tangan di saku jaket lalu mengusap air mata yang menghujani wajah Sayyidah.
Sayyidah bagai bidadari surag yang jatuh dari langit, matanya bulat kedua pipi merona saat
tersentuh udara dingin, bibirnya mungil kemerahan.
“Dengarkan aku Sayyidah … sulit bagi aku membantumu, jika ada yang masih kamu
sembunyikan.
Aku tak akan menyentuhmu, aku berjanji mahkotamu akan tetap terjaga hingga dirimu
berjumpa dengan suamimu.”
Ini pun tak adil bagi Eru, beribu pertanyaan hadir di nalar.
“Kenapa?
Sayyidah melengos, Eru bangkit ia rebahkan tubuhnya di atas sofa yang jaraknya tak jauh
dari ranjang.
Kedua kaki jenjang diluruskan di atas ujung Sofa, kedua lengan ia lipat.
Sayyidah diam di atas ranjang berukuran super besar dengan satu buah selimut super tebal
dan empat buah bantal di atasnya.
Sayyidah tepis rasa iba pada lelaki yang sudah berstatus sah suami.
Terjaga pada posisinya masing-masing hingga suara adzan maghrib terdengar senyap dari
arah gunung Arjuna yang menjulang tinggi hingga terlihat di atas awan.
Sayyidah bangkit ia tutup jendela, menarik udara masuk ke dalam tubuhnya lalu
mengempaskan. Eru terlihat kelelahan, sudah menjadi kewajibannya untuk membangunkan
dan mengajaknya sholat bersama.
Wajah Eru terlihat tenang saat ia lelap, tak ada suara mendengkur, tak ada air liur yang
membasahi pipi.
“Ehhh ….” Mata sipit itu perlahan terbuka, lelaki itu mengusap kedua mata lalu bangkit
melihat Sayyidah yang sudah berada di hadapan dengan pakaian yang masih tertutup rapi.
“Aku tahu kamu lelah, maaf … tapi sudah adzan maghrib.”
Eru bangkit ia tersenyum melihat Sayyidah. “Sungguh beruntung lelaki yang memilikimu
Sayyidah!” ucapnya seraya menggulung pakaiannya hingga ke siku lalu mengambil wudu.
Dua sajadah dibentangkan ke arah barat, Sayyidah sudah siap di atasnya duduk bertasbih
seperti sudah melaksanakan sunnah.
Eru datang, air wudu membuat wajahnya terlihat cerah, rambutnya basah begitu pun kedua
ujung pakaiannya.
Celana yang ia kenakan pun terlihat mengatung jauh dari atas lantai.
Tak banyak bicara dia bersiap di depan dan membuka dengan takbir.
Dengan lantang ia membaca surat Al-fatiha dengan tartil yang sangat rapi dan benar Eru
lanjutkan dengan membaca 10 ayat terakhir dari surat Al-baqarah.
Semakin meyakinkan…
ABDUL KHALIK
__
Mobil Eru menepi tak jauh dari pekarangan rumahnya. “Bram!” gumamnya.
“Kenapa?” tanya Sayyidah cemas menatap wajah Eru. Eru diam sepasang netranya terus
bergerak.
“Sayyidah … mobil di depan adalah mobil pimpinanku, mungkin ada satu atau dua orang.
Mereka biasa datang untuk bermain, bisakah kamu menjaga sikapmu?”
Eru menarik napas seraya menatap Sayyidah. Wanita itu mengangguk, mengikuti semua
aba-aba yang Eru berikan.
Bram terlihat sedang asik berbincang dengan Marta di kursi teras dengan dua orang
ajudannya yang sedang menyantap makan siang di dalam.
Lelaki bertubuh tegap berkulit gelap itu bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah mobil.
“Komandan!” Senyum Eru merekah seraya mendekat dan menyalami sahabatnya yang juga
kakak kelas angkatannya.
Sementara Eru berbincang di depan Sayyidah terdiam di dalam menyiapkan mental dan
menata sikap agar Bram tak curiga dengannya.
“Dia ..?” Mata Bram mendelik ke arah kaca mobil melihat seorang wanita yang malu-malu
untuk keluar.
Eru membuka pintu mobil untuknya, kedua tangan Eru memegang tangan Sayyidah yang
terkepal di depan, sepasang netra Eru begitu teduh menatap Sayyidah memberikan sinyal
dirinya akan aman bersamanya.
Lelaki itu berkedip pelan seraya tersenyum, lalu mengambil jaket parker yang ia kenakan
semalam dan lupa ia pakaikan kembali setelah Sayyidah mencoba gaun baru, wanita itu
turun dan refleks Eru memakaikan jaket lalu merangkulnya.
Erat tangan Eru menggenggam pundak Sayyidah, rasa aman mendadak hadir di hati.
Bram menelisik dari atas hingga bawah, bibir Sayyidah bergetar sementara Eru erat
merangkul pundaknya.
Bukan Eru namanya jika tidak bisa menaklukkan wanita, mudahnya wanita secantik dan
selembut di hadapan bisa takluk dan mau direngkuh pundaknya.
Ya. Pernikahan Eru dan Sayyidah tak satupun yang mengetahui, kebiasaan Eru menyentuh
perempuan sudah menjadi rahasia umum.
“Kamu demam?”
“Oooh …”
“Ya … dia sedikit demam, masuklah Mariam aku akan menyusul,” jawab Eru memotong
jawaban Sayyidah yang terlihat gugup.
“Kenapa buru-buru sekali! Bergabunglah dulu bersama kami,” ujar Bram menghentikan
langkah Sayyidah.
Eru menyeringai, mengernyitkan dahi melihat sikap Bram yang mulai mencurigakan.
“Tehnya sudah siap …,” teriak Marta seraya meletakkan beberapa cangkir teh dan kue
toples yang ia sejajarkan di atas meja makan beralaskan kain berwarna merah gelap dengan
vas berisi bunga mawar hidup di atasnya.
Sayyidah diam terus mencekram jemari Eru dan semakin erat Sayyidah menggengam,
lidahnya kelu untuk b…
__
Tubuh Eru beringsut seraya melepaskan tangan Sayyidah, terbelalak melihat kedua mata
yang kini basah.
Abdul Khalik adalah orang yang dicari kepolisian saat ini dan Sayyidah adalah orangnya.
Sayyidah menangis tak henti, tubuhnya gemetar memikirkan nasibnya, ia sudah merekrut
setidaknya 10 orang lebih yang akan berangkat dengannya menuju Aleppo demi menebus
adik lelakinya juga Amir Hartono.
“Kebohongan apa lagi yang kamu buat Sayyidah!” rutuk Eru, matanya memerah, darah di
bagian pupil matanya terbelalak menatap Sayyidah tajam.
Eru mengeragap, ia ambil borgol di laci meja kerjanya lalu mengunci di pergelangan tangan
Sayyidah.
“Ikut aku!”
Aku mohon!”
Menuju garasi mobil, Eru menyeret tubuh Sayyidah layak tersangka kriminal.
“Masuk!”
Tubuh Sayyidah Eru dorong ke dalam mobil dengan kasar, tangannya ia gembok pada
pegangan pintu mobil.
Tangisan Sayyidah pecah namun Eru tak peduli, ia masuk ke dalam mobilnya.
Sorot matanya tajam, telinga hampir tertutup tak ada rasa iba akan rintihan suara Sayyidah,
hingga wanita itu lemas tak berdaya.
Sayyidah terpekur diam, lemas, Eru tak terpengaruh pandangannya lurus ke depan.
Menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi.
Decit suara mobil terdengar.
Bagaimana bisa!
Kamu akan di tahan di dalam, lalu akan dipindahkan ke sel yang sangat tak layak, hari-
harimu akan kelam bahkan mungkin seumur hidupmu!
Tapi aku mohon padamu tolong selamatkan keluargaku, hukuman apapun akan aku
terima!”
“Keluarga?
Kamu melindungi keluargamu dan mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirimu
sendiri!”
“Katakan!”
“Katakan!
Berapa banyak orang yang akan kamu bunuh! Tempat mana lagi yang akan kalian
hancurkan? Jawab!”
RAHASIA BESAR
Air mata Sayyidah kering, tertegun menatap sepasang mata teduh yang kini berjarak hanya
lima centi dari wajahnya.
Napasnya tersengal sama dengannya, suhu tubuh meningkat sama dengan dirinya.
Tak henti ia menatap, sepasang netra pun tau kapan ia berhenti mengeluarkan air.
Kering.
Rasa aman mendadak hadir di jiwa, Eru bagai payung yang akan terus melindunginya dari
terik dan hujan.
Lelaki berkumis tipis itu mengangguk, “Aku sudah tahu rahasiamu, apa kamu tak ingin tahu
rahasia besarku?
“Katakan ….”
Sayyidah pun terjebak dengan permainan seorang brigadir, tak seharusnya ia mencinta,
Sayyidah mengusap sisa-sisa air hujan di wajahnya.
Mengusap bingkai yang terasa hina karena kecupannya.
Ragu menyambangi hati. kepergian wanita yang baru saja menamparnya seperti lebih baik
dari janjinya pada Negara.
Sakit dan semakin sakit, Sayyidah tak berpaling memohon cintanya, ia pun tak berpaling
sekedar memberikan sinyal bahwa ia masih membutuhkannya.
“Bodoh!”
Langkahnya tiga kali lebih cepat dibandingkan wanita yang kini mengecil di pandangan.
“Ahhh!”
Sayyidah meronta, melayangkan pukulan keras ke arah lelaki di hadapan, cekat Eru
menangkap lengannya lalu mendekap tubuhnya.
Wanita bermata bulat itu meronta, begitu kekar tangan Eru meremat pundaknya.
“Bagaimana rasanya?
Sakit?
Itu yang kurasakan saat kau membohongiku. Aku memang pernah berpura-pura tapi saat ini
tidak …
Kita sama-sama pendusta Sayyidah, rasa di dalam ini sungguh nyata Sayyidah, pernikahan
itu pun benar terjadi.
“Aku tidak pernah menjadi pendusta … semua ini kulakukan karena terpaksa.
Bayangan adikku terus menerus menghantuiku, senjata itu persis di kepalanya … aku harus
apa?”
Aku akan membantumu Sayyidah percayalah … dengarkan aku, aku mencintaimu Sayyidah
sangat … aku suamimu sekarang.
Kamu harus percaya padaku, serahkan semua masalahmu padaku, kamu hanya perlu
menuruti dan melaksanakan semua perintahku.
KETULUSAN CINTA
Suasana hangat Ia rasakan, Mulutnya tak berhenti tersenyum, matanya berbinar karena
senang.
Ia baru merasakan menjadi seorang istri seutuhnya setelah sekian lama menikah. Setelah
merawat Marta, wanita bertubuh semampai ini merapikan rumah kemudian melanjutkan
memasak.
Membuat minuman yang terbuat dari jahe bakar, menunggu lelaki yang kini telah sah
menjadi suaminya.
Ia sadar bahwa rasa cintanya sudah begitu besar, berbeda dengan perasaannya dengan
Amir Hartono.
Berdiri di depan teras seraya mengusap-usap pundaknya yang kini terasa dingin.
Udara malam melipir lembut ke pipi hingga membuat kulit dan bibirnya mengering, langit
berwarna kebiruan, cahaya bintang berkilauan menyebar seperti cipratan cat putih yang
menyebar pada sebuah kanvas berwarna biru gelap.
Marta terbangun, suara wanita yang baru saja ia tahu sudah sah menjadi menantunya
begitu merdu terdengar hingga membangkitkan gairah untuk melihat, suaranya bahkan
lebih indah dari alunan nyanyian seorang diva terkenal.
Wanita paruh baya itu berjalan membuka tudung saji, melihat susunan makanan yang telah
dibuat oleh tangan lembut menantunya, dapur rumah terlihat bersih dan rapi.
Ia menuang secangkir jahe hangat yang wanita itu letakkan di dalam teko kecil berwarna
coklat gelap.
“Kamu di mana?”
“Kantor Mah!”
Lelaki di ujung telepon seperti orang bisu yang tak mampu menjawab pertanyaan Ibunya.
Pukul 11 malam, mobil Mitsubishi pajero tahun 1997 berwarna merah akhirnya kembali.
Lelaki yang terbiasa pulang malam itu pun terkejut melihat wajah ayu yang tengah terlelap
di kursi teras, sepasang tangan memeluk mushaf berwarna hitam.
Berat Eru menelan salivanya melangkah pelan menuju ke arahnya, melihat dengan jelas
setiap guratan di wajah.
Matanya, hidungnya selalu ia rindukan. Menunggu hingga malam hal yang tak pernah
dilakukan istri sebelumnya.
Sayyidah. Wanita berparas melayu, cantik adalah bidadari surga yang pantas mendapatkan
kekasih yang baik.
Kedua ujung mata lelaki itu pun basah, menarik napas panjang ada sebuah rasa yang tak
mampu ia ungkapkan.
“Maafkan aku …,” gumamnya tak terasa tetesan air terjatuh dari kedua matanya.
Ia ambil mushaf di tangan meletakkan di saku jaketnya, lalu membopong tubuh istrinya.
Memperhatikan wajah wanita di pangkuan lamat-lamat, memuji dalam hati akan kebesaran
Allah.
Melihat kecantikannya hampir sama saat pertama kali ia melihat puncak gunung Bromo,
bergetar, mengejutkan nadi,tak ingin melepas pandangan meskipun sesaat.
KEPUTUSAN SULIT
Hari semakin sore, Wanita berhijab hitam itu terlelap di dada Eru cukup lama, di sisinya ia
terlihat sangat nyeyak.
Entah sudah berapa lama ia sulit terlelap lepas. Membayangkan ucapannya selama dua
tahun hati Eru tak tenang.
Geram memikirkan lelaki yang harusnya bertanggung jawab padanya namun justru banyak
membawa beban untuknya.
“Bagaimana bisa ketaatanmu begitu besar pada lelaki yang banyak membawa penderitaan,
bagaimana bisa sebuah ikatan membuatmu tunduk pada lelaki yang bahkan tak kau cinta,
bagaimana bisa wanita secantikmu tak berpaling melihat gerlap dunia.
Di luar bahkan lebih indah dari yang kau duga, bagaimana bisa kau memilih untuk menyepi
dan menunggu pada sebuah ketidakpastian. Bagaimana bisa …?”
Dering telepon terdengar, lelaki itu biarkan agar wanita di sisinya tak terganggu.
Semalaman mungkin ia lelah, menunggu kabar darinya yang tak kunjung datang.
Atau mungkin resah akan sebuah keputusan yang akan ia ambil setelah rahasia besar
terungkap.
Eru menarik napas panjang, merapikan anak rambut Sayyidah yang tak sengaja keluar
tertiup angin di dahinya.
Eru tersenyum, kedua tangan merengkuh pipi Sayyidah yang terasa dingin.
“Sayyidah … hal yang paling kusukai dari dirimu adalah saat kau terlelap.”
Wanita itu diam, menunduk, ada yang ingin ia sampaikan namun terlihat berat.
“Terima kasih!”
Lelaki itu mejawab dengan anggukkan kepala pelan lalu kembali menarik lengannya.
Perjalanan menuju arah pulang terhenti, longsor di sekitar perbukitan memaksa mereka
untuk menghentikan perjalanan, lelaki itu diam begitu pun wanita yang duduk di
sebelahnya.
Canggung karena alam memaksa mereka untuk tinggal.
Jantungnya berdebar kencang, udara dingin tak mampu menghilangkan peluh karenanya.
Berat wanita itu menahan kembang kempisnya dada agar tak begitu terlihat.
“Sayyidah!”
Wanita itu hening tak menjawab hanya memberikan anggukan kecil dan tersenyum.
Mobil Eru menepi, masih di sekitar wilayah pegunungan tak jauh dari Sirah kencong, setiap
mobil bisa turun kembali menuju Blitar setelah pukul 10 malam atau putar balik.
Menempuh jalan dengan memutar arah adalah hal yang melelahkan, menginap salah satu
pilihan yang Eru ambil.
Bangunan hotel tampak seperti villa, berbeda dengan hotel di Jakarta yang menjulang tinggi
ke atas, hotel di daerah pegunungan memiliki banyak kamar yang berpencar, area yang
cukup luas terdapat kolam renang, taman bermain j…
Satu bulan berlalu, lelaki yang sudah lama berprofesi sebagai intelligent itu kini lagi-lagi
harus memata-matai istrinya.
Di matanya di salah satu sudut kota Blitar. Sayyidah istrinya tengah mempersiapkan
keberangkatannya menuju Aleppo, yang jadwalnya sudah dirubah sejak berita penangkapan
Abdul Khalik tersebar di media.
Dari jauh di kamarnya lantai dua berhadapan persis dengan kamar yang wanita itu sewa.
Lelaki itu ingin wanita itu kembali menjalankan misinya, dan semua itu sudah ia siapkan
dengan rencana yang sangat matang.
Siang hari menuju bandara, mereka akan berangkat menuju Turki menggunakan pesawat
milik Malaysia MH724, wanita yang kini telah mengenakan niqab di wajahnya duduk seraya
membaca sebuah buku kajian di tangan.
Tangannya gemetar terlihat saat ia menggenggam cangkir, bibir tipisnya berulang kali
menyeruput teh panas yang sudah ia pesan di kafetaria.
Sayyidah bukanlah wanita lugu yang Eru kenal, sepak terjang wanita ini sudah sangat ia
kenal. Setelah kepergiannya ia pergi menuju seseorang yang tengah sibuk mengurus
keberangkatannya.
Sorot mata tajam terpendam di matanya yang bening, entah apa yang diinginkan wanita itu,
ia hanya menginginkan sebuah kebebasan pada keluarganya tanpa memikirkan nasib orang-
orang yang akan menjadi korban baru.
Sisi baiknya Sayyidah memberikan data orang-orang yang akan berangkat bersamanya
hingga polisi dengan mudah mencari tau.
Ini pun menjadi hal yang sangat membuat Eru sangat penasaran dengan maksudnya.
Beberapa menit wanita itu bangkit, terlihat anggun dengan jubah hitam dan pakaian serba
hitam juga niqab yang ia kenakan, beberapa sinyal sudah ia terima.
Terlihat dari beberapa orang yang mengenakan pita berwarna merah di tangan..
Melewati pengecekan juga petugas imigrasi. Sayyidah terlihat sudah siap, niqab di wajah
menutupi rasa tegang di wajahnya.
Perekrutan yang ia lakukan dengan mereka selama ini hanya melalui sebuah pertemuan
singkat kemudian dilanjutkan melaui sebuah email.
Masuk ke dalam pesawat, puluhan kursi berjajar rapi, beberapa pramugari terlihat cantik
dengan seragam yang terlihat seperti batik, rok panjang, pakaian lengan pendek, rambut
yang mereka sanggul tersenyum manis menyambut beberapa penumpang yang hendak
pergi menuju Kuala Lumpur sebelum melanjutkan perjalanan menuju Istanbul Turki.
Sayyidah menuju tempat duduknya, suasana kabin terlihat bersih dan rapi.
Ia duduk persis bersebelahan dengan jendela kecil, kumpulan awan juga langit biru akan
senantiasa menemani perjalanannya.
Berulang kali wanita itu terlihat mengusap tengkuknya, menarik napas panjang dan
menunjukkan sorot mata yang tak seteduh biasanya.
KEINDAHAN MEDITERANIA
__
Sayyidah roboh, matanya terbelalak dan memerah, hatinya pilu, mengetahui kebenaran
bahwa Amir bukan lelaki baik yang ia pikirkan selama ini.
Wanita itu terisak menahan sesak di dada ketakutan hingga sulit bernapas.
Khawatir menyambangi hati, kehilangan Eru suaminya, membayangkan Amir akan menikam
jantungnya.
“Aku mohon datanglah …. kamu di mana?
Malam menjadi menakutkan baginya, pikirannya terus terbang memikirkan nasib keluarga
juga lelaki yang teramat ia cintai.
Berharap lelaki itu datang mengusap keresahan, berharap lelaki itu datang dan memberikan
maaf atas kekeliruannya.
“Room Service!”
“Ok. Madame!”
Sayyidah terduduk di ujung ranjang, menekuk lututnya seraya berdzikir, menutup wajah
dengan kedua belah telapak tangan.
Hening.
Ia begitu takut lelaki berwajah garang itu akan menemuinya atau membunuh suaminya.
Rasa lapar sirna, wanita ini tak ada gairah untuk bangkit dan menyelesaikan masalahnya.
“Room Service!”
Suara tebal itu akhirnya terdengar, suara yang begitu menenangkan jiwa.
Wanita yang sejak tadi menangis itu mengusap kasar wajahnya lalu berlari, menapaki karpet
tebal dan buru-buru membuka pintu.
Napasnya tersengal, Eru terlihat mengenakan kaos hitam dan jaket hijau lumut juga topi
yang menyamarkan wajahnya.
Sayyidah diam mengizinkan lelaki itu masuk, sorot matanya masih tajam.
“Dengar Sayyidah … apapun alasanmu, kamu harus makan … aku cari kau di bawah!
Kamu sakit?”
Seperti terbang ke angkasa Eru merasakan rindu yang kian lapuk terbayar malam ini.
Wanita di hadapan terlihat lemah dan kacau, rindu yang ia rasakan seperti sama besarnya.
Tangan Sayyidah semakin erat memeluk, tubuhnya gemetar begitu pun napas yang
tersengal.
“Lelaki siapa?
Katakan?”
“Bagaimana bisa?”
“Lalu?”
“Eru lelaki itu tidak sedang disandera, dia adalah otak dari semua misi ini!” lanjutnya terisak
di pelukan.
“Aku sudah tahu Sayyidah … aku sudah tahu! Katakan apa kau memberitahu keberadaanku
di tempat ini?”
Sayyidah menggeleng “Aku tak ingin kau mati … aku bersumpah aku tak ingin kau mati!”
“Berjanjilah kau akan terus hidup … berjanjilah!” Lelaki itu merengkuh wajah Sayyidah.
“Aku tidak akan mati … aku bersyukur kau sudah tahu semua.
Dengar … kamu harus tetap berada di sini. Lakukan apapun yang lelaki itu pinta, kamu lihat
kamar itu?” ucap eru seraya menunjuk pada jendela kamar Sayyidah.
Aku ada di sana, selalu melihatmu dari jauh, mengawasimu agar kamu tetap aman.
Maafkan aku … tadi aku sibuk hingga tak sadar ada seseorang masuk ke kamarmu.
Sayyidah bersimpuh di kaki suaminya, menyesali setiap kesalahan yang pernah ia lakukan.
“Sayyidah … Ayahmu aman bersama kami. Kamu harus membantu membebaskan saudara-
saudara kita yang terjebak di sana.
Kamu mengerti!
Kamu adalah dirimu yang dulu, Apa yang kau katakan tentangku padanya?”
“Bagus … bagus sayang! Aku sangat senang! Katakanlah pada semua orang bahwa kau
sudah menikah, kau hanya milikku seorang!
Tapi jangan beritahu mereka, bahwa suamimu seorang intelligent!” ucapnya tersenyum
memberikan gairah semangat yang hampir hilang.
Sayyidah mengangguk lembut, “Aku akan datang lagi … aku mohon kuatlah, kamu harus
makan mengerti.
“Ini!”
Sulit melepas pelukannya, tapi Sayyidah paham ada yang harus suaminya kerjakan.
Kini ia percaya bahwa suaminya adalah seorang pejuang sejati yang akan terus
memperjuangkan cinta, keluarga dan negaranya juga agama.
Eru pergi meninggalkannya hanya untuk beberapa saat dan akan terus mengawasinya.
Lobby penginapan penuh dipenuhi orang-orang yang sedang liburan, dua hari sebelum
mereka menuju Andana, mereka akan pergi menuju pantai laut mediterania tepatnya di
kota Mersin Turki.
Perjalanan darat mereka tempuh membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam untuk tiba di sana.
Sepanjang perjalanan Sayyidah hanya terpaku diam menahan rindu akan suaminya.
Bangunan tua, seperti kapel dan gereja terlihat berjejer di jalanan berbukit, bus bergerak
menuju selatan turki.
Sebelum menuju Mersinn, bus wisata menepi pada sebuah wisata terkenal di kota Izmir.
Museum Celcus.
Wanita itu turun menapakkan kaki di sebuah bangunan kuno ala romawi kuno.
Di tempat ini seolah-olah kita sedang berada di zaman Romawi, gedung terbuat dari
bebatuan dan ratusan artefak terukir di setiap dinding.
Sebuah gambar yang mengkisahkan tentang kerajaan romawi zaman dulu, “kisah Ashabul
Kahfi bermula di tempat ini,” ucap salah seorang tour guide.
Memandang puluhan pilar yang berjejer persis di hadapan, udara Izmir siang ini terasa
panas hingga membuat peluh terus menerus menetes membasahi mata.
Peluh yang tidak hanya berasal dari cuaca melainkan dari rasa ketakutan yang teramat
dalam akan seseorang yang sedang mengawasinya.
“Madame!”
“Yes!”
“Thank you!” jawabnya seraya mengusap pipi gembil seorang anak perempuan yang Eru
suruh.
Sapu tangan yang pernah ia bersihkan dulu, sapu tangan beraroma maskulin.
Jauh dari sana ke arah utara, dua orang lelaki berpakaian sedikit kusam army seperti tengah
mengamatinya.
Dua lelaki tampak mengikuti, entah bagaimana ia bisa menyampaikan pesan pada sang
kasih.
Sayyidah masuk ke dalam kerumunan orang-orang yang tengah mendengar penjelasan dari
seorang tour guide.
“Mereka …?”
“Aku tahu … aku ada di sini, tak akan kubiarkan mereka menyentuh istriku. Percayalah!”
ucapnya seraya menggenggam jemari Sayyidah.
Rasa tenang mendadak merasuk, lelaki itu bagai angin tiba-tiba datang dan mendadak
menghilang.
Kota yang memiliki nuansa alam laut Mediterania, siapapun akan terhipnotis akan
keindahan nuansanya.
Mersin tak hanya beruntung memiliki memiliki susunan kota yang indah dengan laut.
Lautnya berwarna hijau kebiruan, sepanjang jalan dihiasi lampu penerang jalan yang
membuat suasana semakin romantis.
Dua jam berlalu, Sayyidah membuka sedikit kaca jendela busnya, udara pantai melipir ke
wajahnya.
Ia nikmati lalu mengembuskan napas, ia yakin suaminya kini pun sedang melakukan hal
sama. Bunyi desiran ombak mulai terdengar.
Sebuah pemandangan yang begitu indah, lebih indah dari Pudak kampung halamannya.
Pantai di tempat ini terlihat lebih modern, lampu-lampu penghias berjejer di sepanjang garis
pantai, beberapa perahu boat tersusun di muara.
Suara deburan ombak, dan warna laut yang biru semakin menaikkan gairah.
Mereka para wisatawan berlari, bersuka cita menyambut kebebasan sedangkan dirinya
terpaku diam.
Merindukan orang terkasih, berharap bersama dengannya menatap panorama indah hasil
karya terbaik Sang pencipta.
Air mata menetes, menyampaikan pesan bahwa ia sedang rindu, rindu mengucap sayang,
rindu mengucap cinta, rindu bersenda gurau, rindu memadu kasih, rindu untuk mengucap
maaf.
Jubah hitam berbalut niqab hitam menyelimuti tubuhnya, terlihat anggun saat angin laut
berembus ke arahnya.
Sayyidah lebih memilih termenung diam, tak sanggup mengabadikan Mersin di mata, tak
sanggup memuja pada suatu hal yang indah karena hatinya sedang merindu.
“Madame!” Seorang anak lelaki berusia 7 atau mungkin 8 tahun datang membawakan
kertas kecil juga sekuntum mawar merah untuknya.
Tak sabar ia buka buru-buru kertas kecil pemberian anak berambut ikal tersebut.
“Oh my God! They are so fool, they don’t know that my wife more beautiful than this
beach!”
Sayyidah tersenyum, ia edarkan pandangan berharap anak lelaki itu datang kembali
membawakan surat yang berbeda.
“Madame!”
Kali ini wanita itu bangkit dan menggendong seorang anak wanita berusia 5 tahun,
rambutnya ikal, matanya begitu bulat dan besar. Ia edarkan pandangan.
Tak lama anak itu tersenyum lalu berlari, entah disampaikan atau tidak ia merasa Eru pun
sudah tahu betapa bahagia dirinya.
Sebuah kertas kembali ia terima, ia buka.
“Don’t be sad … im here, looking at you!” Sayyidah berdiri berputar mencari suaminya yang
terus menerus memberikan pesan kaleng.
Gaun hitamnya terbang begitu pun cadar yang menutupi wajah. Sekilas bibir merahnya
sedikit terlihat.
“Madame!”
“I love you!”
Mendekap di pelukan duduk di atas pasir, merasakan cinta suaminya yang begitu besar
untuknya.
Rasa syukurnya memuncak, bahagia, surat kaleng ini bahkan lebih indah dirasa
dibandingkan keindahan laut mediterania yang bewarna kebiruan.
Lebih indah dari Gunung Kelud juga Bukit Arjuna yang pernah mereka datangi.
Sayyidah merasa aman, ia bangkit lalu berbaur bersama lainnya. Merasa sedang diawasi dan
diperhatikan.
“I love you … I love you!!!” teriaknya. Lelaki itu mungkin tak mendengar teriakannya namun
ia pasti bisa merasakan gelora yang berbeda.
Dalam kamar hotel di kota Mersin satu hari sebelum keberangkatan mereka ke kota
Andana.
Eru tak muncul satu hari ini, hanya beberapa surat kaleng yang ia sempilkan di lengan
pakaiannya seperti dulu ia menyembunyikan chip.
Ia mondar mandir seraya menatap ke luar, resah sedikit kandas setelah melihat Mersin di
tengah malam.
Tatanan jalan yang rapih dan mulus, sangat cocok untuk berjalan atau bersepeda seharian,
bangunan yang eksotis berbau eropa campur timur tengah menghiasi sudut jalanan, dan
hamparan lautan di sisi jalan hotel membuatnya takjub.
Jendela kamarnya dibiarkan terbuka, suasana romantis laut Mediterania telah menyedot
perhatian wanita berdarah melayu ini, hingga mendadak aliran darah serasa panas, rindu
kian memuncak.
Kamarnya berukuran empat kali lima meter persegi, sebuah ranjang modern dan dua buah
nakas gaya eropa tertata rapi, karpet tebal selalu menjadi teman dekat saat ia menginjakkan
kaki di hotel, sebuah meja rias dengan beberapa perlengkapan hotel di atasnya.
Saat di Mersin sore tadi, ia membeli beberapa helai pakaian juga wewangian.
Entah apa yang diinginkan ia hanya ingin memadu kasih dengan suaminya, memberikan
kebahagiaan yang tak pernah lelaki itu dapatkan, memberikan hak yang semestinya sudah
lama ia dapatkan.
Sayyidah kenakan gaun merah dengan hiasan renda di tepi pakaian, ia gerai rambutnya,
membersihkan wajah, lalu mengenakan wewangian.
Diam, menepi, menunggu lelaki itu datang. Sambil berdzikir, kemudian membaca mushaf,
mondar mandir di dalam kamar menunggu lelaki itu mengetuk pintu kamarnya.
Tak ingin kali ini gagal hanya karena pekerjaan. Ia duduk di atas kursi meja rias, memandang
diri dan teringat akan sebuah janji yang pernah ia sampaikan dulu.
“Aku mencintaimu … sungguh akupun mencintaimu, tapi aku belum bisa percaya padamu"
"Mengertilah, aku berjanji jika suatu hari kepercayaan itu datang aku yang akan
mendatangimu terlebih dulu, menjemput pahala yang sama dengan pahalanya seseorang
yang mati Syahid, Percayalah ….”
Malam ini hatinya tak hanya cinta namun juga percaya sangat yakin.
Ia tarik napas dalam-dalam, mengambil sebuah ponsel yang sempat Eru berikan.
Suara jarum jam berlomba beriringan dengan degup jantungnya yang kian cepat.
Wanita itu terus menunggu dan menunggu. Napasnya tersengal, belum pernah ia
merasakan aliran darah sepanas malam itu. Hingga.
“Sayyidah!”
Wanita itu tersenyum lebar, pipinya mendadak merona memerah karena malu, desiran hati
bagai ombak, tak sanggup ia menahan gelora cinta yang membara.
“Apa yang terjadi!” tanya Eru panik, tak lama tubuh lelaki itu mematung menatap wanita di
hadapan.
Bidadari bergaun merah, tubuhnya semampai, putih, bulu matanya lentik, bulat matanya,
hidung mancung dan bibirnya begitu tipis dan menggoda, rambutnya lurus tergerai sebahu.
“Aku hanya ingin bersamamu, malam ini …,” ucapnya rambut tergerai dan sedikit terembus
oleh udara laut Mediterania dari jendela yang sengaja ia buka.
“Sebentar saja!”
“Sayyidah!”
“Aku mohon!”
Sepasang mata kini saling menatap, Eru lemah tak berdaya di pelukan sang bidadari.
Sayyidah lebih cantik dari keindahan Mediterania, lebih cantik dari pesona Gunung kelud,
perlahan Sayyidah letakkan sepasang tangan di dada, ia kecup dada Eru dengan manja.
Bulir bening menetes di matanya, perlahan Eru kecup setiap air yang terjatuh dari mata.
Keindahan di wajah Sayyidah hampir sama dengan keindahan bunga mawar yang baru saja
merekah, begitu harum, tak jenuh untuk dipandang.
Ia gendong istrinya lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, mengecup setiap sudut
kecantikan di wajah Sayyidah.
Bagai kupu-kupu yang hinggap pada sebuah kuntum bunga, merampas semua benih di
dalamnya, merasakan nikmatnya keindahan bunga, cukup lama dan bunga di hadapan
hanya diam juga turut menikmati karena putik membutuhkan benang sari untuk berbuah.
Malam itu adalah malam terindah bagi lelaki bernama asli Maheru Sakti Bramentya.
Nama yang sejatinya telah sah disebutkan dalam sebuah akad pernikahan, bukan Eru Brijaya
seperti yang ia sebutkan dulu pada wanita yang kini telah jatuh di pelukan.
Sayyidah kini telah mantap dan yakin bahwa ia tak salah mengambi keputusan, ia telah
yakin bahwa Eru adalah suami yang akan membawanya kelak hingga ke surga.
Ribuan malaikat bergerumul mendoakan sepasang manusia yang kini telah sah di mata Allah
…
Kota Mersin empat jam dari kota Aleppo tempat tujuan mereka menjadi saksi akan
bersatunya dua insan yang saling mencinta, saling mengasih.
Sayyidah dan Maheru telah resmi bersatu bukan hanya dalam sebuah ikatan, melainkan
ikatan suci yang sejatinya akan tercatat hingga Lauh Mahfuz.
Tangisan mengiringi keduanya, hingga hampir fajar keduanya belum terlelap, masih
menikmati indahnya berkasih, nikmatnya bercinta yang telah dihalalkan oleh Tuhannya.
END
Catatan Penulis:
Terima kasih untuk semua yang sudah setia menunggu kisah Eru dan Sayyidah. Seperti
biasa demi sesuap nasi, cerita ini akan saya bukukan.
Mohon maaf bagi yang kurang berkenan, semoga Allah terus melapangkan hati semua
emak-emak di sini dan memperbanyak rezeki hingga Novel saya bisa mampir di rumah.?